[]

Download Arbain Quraniyyah - Pustaka Syabab


Arba’in Qur`aniyyah

Disusun dan diurutkan oleh:
Abu Zur’ah ath-Thaybi

Download PDF atau WORD

 


MUQADDIMAH

 

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

إِنَّ الْحَمْدَ لِلّٰهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئآتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللّٰهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لآ إِلَهَ إِلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أَمَّا بَعْدُ:

Akan tetap ada sekelompok dari umat Islam yang tegak di atas kebenaran. Mereka tekun mempelajari agamanya, mengamalkannya, dan menyebarkannya di tengah-tengah kaum Muslimin.

Penyusun berharap kutaib ini merupakan bagian dari cara Allah menyiapkan generasi tersebut, yakni generasi yang akan tetap tegak di atas petunjuk nubuwwah yang tidak akan memudharatkan mereka orang yang membenci mereka dan tidak akan merendahkan mereka orang yang memusuhi mereka hingga hari Kiamat.

Awalnya penyusun menyangka bahwa penggarapan kutaib ini akan lebih mudah daripada kutaib sebelumnya, tetapi ternyata tidak demikian. Untuk mencari 42 hadits yang benar-benar berbeda temanya amat sulit, apalagi dalam masalah Al-Qur’an ini penyusun menjumpai banyak sekali hadits dho’if, palsu, bahkan mungkar, yang kebanyakan dibuat-buat oleh orang yang menghendaki kebaikan tetapi keliru jalannya.

Empatpuluh dua poin di kutaib ini tidak semuanya hadits, di antaranya penyusun memasukkan lima ayat yang membicarakan Al-Qur’an dan ahlinya, kemudian tiga atsar (ucapan Sahabat) Shohih yang penyusun pandang sangat penting dan banyak faidahnya. Awalnya penyusun ingin mencantumkan hadits-hadits pendek saja agar mudah dihafal, tetapi ternyata hal itu sangat sulit sekali diwujudkan karena keterbatasan ilmu dan tenaga. Akhirnya, apa yang tidak bisa diperoleh semuanya jangan ditinggal semuanya. Penyusun cantumkan hadits-hadits “penyulut” agar semakin mantap dan kokoh untuk mengkaji dan menghafal Al-Qur’an. Semuanya adalah hadits Shohih kecuali satu yang diperselisihkan perawinya yang penyusun singgung di Takhrij Luas dan Tahqiq.

Penulis menyadari bahwa kutaib ini sangat jauh dari kesempurnaan, maka saran dan koreksi dari pembaca sangat berarti sekali bagi penulis, dan bisa dilayangkan ke www.wa.me/6285730219208 ini. Semoga Allah membalas kebaikan orang yang berbuat baik.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَي مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ سَلَكَ سَبِيْلَهُ وَاهْتَدَى بِهَدْيِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

Al-Faqir ilallāh

Abu Zur’ah Ath-Thaybi

Shafar 1435 H/Desember 2013 M


Siapakah Ahli Qur’an atau Shahibul Qur’an Itu?

 

Imam Ibnul Qoyyim (w. 751 H) berkata:

أَهْلُ الْقُرْآنِ: هُمُ الْعَالِمُونَ بِهِ وَالْعَامِلُونَ بِمَا فِيهِ، وَإِنْ لَمْ يَحْفَظُوهُ عَنْ ظَهْرِ قَلْبٍ، أَمَّا مَنْ حَفِظَهُ وَلَمْ يَفْهَمْهُ وَلَمْ يَعْمَلْ بِمَا فِيهِ فَلَيْسَ مِنْ أَهْلِهِ وَإِنْ أَقَامَ حُرُوفَهُ إِقَامَةَ السَّهْمِ

“Ahli Qur’an adalah orang-orang yang mengilmuinya dan mengamalkannya, meskipun belum hafal. Adapun orang yang hafal Al-Qur’an, tetapi tidak memahaminya dan tidak mengamalkannya, bukan termasuk ahli Qur’an, meskipun hafalannya sangat kokoh.” (Zâdul Ma’âd fî Hadyi Khoiril ‘Ibâd I/327, oleh Ibnul Qoyyim)

Syaroful Haq Abadi (w. 1329 H) berkata:

صَاحِبُ الْقُرْآنِ: أَيْ مَنْ يُلَازِمُهُ بِالتِّلَاوَةِ وَالْعَمَلِ لَا مَنْ يَقْرَؤُهُ وَلَا يَعْمَلُ بِهِ

“Shahibul Qur’an adalah orang yang senantiasa membacanya dan mengamalkannya, bukan yang (sekedar) membacanya tetapi tidak mengamalkannya.” (‘Aunul Ma’bûd IV/237, oleh Syaroful Haq Abadi)

/

 

 

 

 

 


بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّباً مُبَارَكًا فِيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَاهُ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ:

1: Perdagangan yang Tidak Akan Pernah Merugi

ﵟإِنَّ ٱلَّذِينَ يَتۡلُونَ كِتَٰبَ ٱللَّهِ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنفَقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ سِرّٗا وَعَلَانِيَةٗ يَرۡجُونَ تِجَٰرَةٗ لَّن تَبُورَ ﵞ

“Sesungguhnya orang-orang yang membaca Kitabullah, menegakkan sholat, dan menginfakkan sebagian harta yang telah Kami berikan kepada mereka baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, berarti menghendaki perdagangan yang tidak akan pernah merugi.” (QS. Fâthir [35]: 29)

2: Ilmu Terkumpul dalam Dada Ahli Qur’an

ﵟبَلۡ هُوَ ءَايَٰتُۢ بَيِّنَٰتٞ فِي صُدُورِ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَۚ ﵞ

“Bahkan Al-Qur’an adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada-dada orang yang diberi ilmu.” (QS. Al-‘Ankabût [29]: 49)

«مَنْ أَخَذَ السَّبْعَ الْأُوَلَ مِنَ الْقُرْآنِ فَهُوَ حَبْرٌ»

“Siapa saja yang mengambil (menghafal) tujuh yang pertama[1] dari Al-Qur’an, maka dia ulama.” (Shohih: HR. Ahmad no. 24531)

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ ، قَالَ: «مَنْ أَرَادَ الْعِلْمَ فَلْيُثَوِّرِ الْقُرْآنَ، فَإِنَّ فِيهِ عِلْمَ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ»

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Siapa saja yang menginginkan ilmu maka dalamilah Al-Qur’an, karena di dalamnya terdapat ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian.” (HR. Ath-Thobroni no. 8666)

3: Al-Qur’an Penyembuh Segala Penyakit, Petunjuk, Sekaligus Rahmat

ﵟيَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَتۡكُم مَّوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَشِفَآءٞ لِّمَا فِي ٱلصُّدُورِ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَﵞ

“Wahai manusia, sungguh telah datang  kepada kalian mau’idhah (pelajaran) dari Rob kalian, penyembuh apa yang ada di dalam dada, dan petunjuk, serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yûnûs [10]: 57)

«عَلَيْكُمْ بِالشِّفَاءَيْنِ: الْعَسَلِ وَالْقُرْآنِ»

“Hendaklah kalian menggunakan dua penyembuh, yaitu madu dan Al-Qur’an.” (Shohih: HR. Ibnu Majah no. 3452)

4: Jaminan Kemudahan Al-Qur’an untuk Dibaca dan Dihafal

ﵟوَلَقَدۡ يَسَّرۡنَا ٱلۡقُرۡءَانَ لِلذِّكۡرِ فَهَلۡ مِن مُّدَّكِرٖ ﵞ

“Sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk dihafal dan dijadikan nasihat, maka adakah orang yang mau menghafalnya dan menjadikannya nasihat?” (QS. Al-Qomar [54]: 17, 22, 32, dan 40)

«إِنَّ هَذَا القُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ، فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ»

“Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf (dialek, maka bacalah apa yang mudah darinya.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Imam Al-Qurthubi (w. 671 H) berkata:

أَيْ سَهَّلْنَاهُ لِلْحِفْظِ وَأَعَنَّا عَلَيْهِ مَنْ أَرَادَ حِفْظَهُ، فَهَلْ مِنْ طَالِبٍ لِحِفْظِهِ فَيُعَانُ عَلَيْهِ؟

“Maksudnya, Kami telah mudahkan ia untuk dihafal dan Kami akan membantu siapa yang mau menghafalnya, maka adakah penuntut ilmu yang berkenan menghafalnya lalu dia akan dibantu?” (Tafsîr Al-Qurthubî XVII/134)

5: Jihad Al-Qur’an Lebih Utama dari Jihad Pedang

ﵟفَلَا تُطِعِ ٱلۡكَٰفِرِينَ وَجَٰهِدۡهُم بِهِۦ جِهَادٗا كَبِيرٗاﵞ

“Janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang kafir, justru berjihadlah melawan mereka dengannya (Al-Qur’an) sebagai jihad yang besar.” (QS. Al-Furqon [25]: 52)

6: Al-Qur’an Mengungguli Semua Kitab Samawi

«أُعْطِيتُ مَكَانَ التَّوْرَاةِ السَّبْعَ، وَأُعْطِيتُ مَكَانَ الزَّبُورِ الْمَئِينَ، وَأُعْطِيتُ مَكَانَ الْإِنْجِيلِ الْمَثَانِيَ، وَفُضِّلْتُ بِالْمُفَصَّلِ»

“Aku diberi sab’u[2] yang menempati kedudukan Taurat, aku diberi ma`în[3] yang menempati kedudukan Zabur, aku diberi matsânī[4] yang menempati kedudukan Injil, dan aku diutamakan dengan mufashshal[5].” (Hasan: HR. Ahmad no. 16982)

7: Tujuh Ayat Sering Diulang

«وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا أُنْزِلَتْ فِي التَّوْرَاةِ وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ وَلَا فِي الزَّبُورِ وَلَا فِي الفُرْقَانِ مِثْلُهَا، وَإِنَّهَا سَبْعٌ مِنَ المَثَانِي وَالقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُعْطِيتُهُ»

“Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, tidak diturunkan di dalam Taurat, tidak pula di Injil, tidak pula di Zabur, dan tidak pula di Furqōn (Kitab manapun yang membedakan antara yang hak dan batil) yang sepertinya, yaitu sab’ul matsânî[6] dan Al-Qur’an yang agung yang diberikan kepadaku.” (Shohih: HR. At-Tirmidzi no. 2875)

8: Al-Qur’an Sebaik-Baik Pembimbing

«الْقُرْآنُ شَافِعٌ مُشَفَّعٌ وَمَاحِلٌ مُصَدَّقٌ، مَنْ جَعَلَهُ أَمَامَهُ قادَهُ إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَنْ جَعَلَهُ خَلْفَهُ سَاقَهُ إِلَى النَّارِ»

“Al-Qur’an adalah pemberi syafaat yang diterima syafaatnya dan pembela yang kuat hujjahnya. Siapa saja yang menempatkannya di depannya akan membimbingnya ke Surga dan siapa saja yang menempatkannya di belakangnya akan menggiringnya ke Neraka.” (Shohih: HR. Ath-Thobroni no. 10450)

9: Dua Perkara Tidak Akan Tersesat

«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا: كِتَابَ اللّٰهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ »

“Wahai manusia, aku telah tinggalkan di tengah-tengah kalian apa yang jika kalian berpegang teguh padanya tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Shohih: HR. Al-Hakim no. 318)

10: Al-Qur’an Mu’jizat Terbesar Sepanjang Zaman

«مَا مِنَ الأَنْبِيَاءِ نَبِيٌّ إِلَّا أُعْطِيَ مَا مِثْلُهُ آمَنَ عَلَيْهِ البَشَرُ، وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِي أُوتِيتُ وَحْيًا أَوْحَاهُ اللّٰهُ إِلَيَّ، فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ تَابِعًا يَوْمَ القِيَامَةِ»

“Tidak ada Nabi pun dari para Nabi melainkan diberi mu’jizat yang diimani umatnya. Adapun yang diberikan kepadaku adalah wahyu yang diwahyukan kepadaku. Aku berharap menjadi yang terbanyak pengikutnya di antara mereka di hari Kiamat.” (Muttafaqun ‘Alaih)

11: Kesamaan Pahala Baca Al-Qur’an dan Sedekah

«الجَاهِرُ بِالقُرْآنِ كَالجَاهِرِ بِالصَّدَقَةِ، وَالمُسِرُّ بِالقُرْآنِ كَالمُسِرِّ بِالصَّدَقَةِ»

“Orang yang terang-terangan dalam membaca Al-Qur’an seperti orang yang terang-terangan dalam bersedekah, dan orang yang sembunyi-sembunyi dalam membaca Al-Qur’an seperti orang yang sembunyi-sembunyi dalam bersedekah.” (Shohih: HR. At-Tirmidzi no. 2919)

12: Boleh Menerima Hadiah Karena Al-Qur’an

«إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللّٰهِ»

“Upah yang paling berhak untuk diambil oleh kalian adalah Kitabullah.” (Shohih: HR. Al-Bukhori no. 5737)

13: Setan Lari dari Al-Baqoroh

«لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ»

“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan.[7] Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqoroh.” (Shohih: HR. Muslim no. 780)

14: Al-Qur’an Membuat Setan Menangis

«إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ، اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِي يَقُولُ: يَا وَيْلَهُ أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ، وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِيَ النَّارُ»

“Apabila anak Adam membaca ayat Sajdah lalu bersujud, niscaya setan menyingkir sambil menangis. Dia berkata, ‘Celaka aku, anak Adam disuruh sujud lalu sujud maka dia mendapat Surga, sementara aku disuruh sujud lalu enggan maka aku mendapat Neraka.’” (Shohih: HR. Muslim no. 81)

15: Cahaya Membaca Al-Kahfi di Hari Jum’at

«مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ»

“Siapa saja yang membaca surat Al-Kahfi di hari Jum’at, maka dia akan diterangi cahaya[8] antara dua Jum’at.” (Shohih: HR. Al-Baihaqi no. 5996)

16: Sepuluh Lipat Setiap Satu Huruf Al-Qur’an

«مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللّٰهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُولُ اٰلم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ»

“Siapa saja yang membaca satu huruf dari Kitabullah maka dia akan mendapat satu kebaikan, dan kebaikan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh semisalnya. Aku tidak mengatakan alif lam mim satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (Shohih: HR. At-Tirmidzi no. 2910)

17: Baca Al-Qur’an Lebih Utama dari Dunia Seisinya

«أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ أَنْ يَجِدَ فِيهِ ثَلَاثَ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ؟» قُلْنَا: نَعَمْ، قَالَ: «فَثَلَاثُ آيَاتٍ يَقْرَأُ بِهِنَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلَاثِ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ»

“Apakah seorang dari kalian suka jika pulang ke keluarganya menjumpai  tiga unta bunting besar lagi gemuk?” Kami menjawab, “Benar.” Beliau bersabda, “Tiga ayat yang dibaca oleh seorang dari kalian di dalam sholatnya lebih baik baginya daripada tiga unta bunting besar lagi gemuk.” (Shohih: HR. Muslim no. 802)

18: Al-Fatihah Menentukan Sahnya Amal Pertama yang Dihisab

«لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ»

“Tidak ada sholat bagi yang tidak membaca surat Al-Fatihah.” (Muttafaqun ‘Alaih)

19: Pintu Langit Terbuka untuk Al-Qur’an

«تُفْتَحُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ لِخَمْسٍ: لِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، وَلِلِقَاءِ الزَّحْفِ، وَلِنُزُولِ الْقَطْرِ، وَلِدَعْوَةِ الْمَظْلُومِ، وَلِلْأَذَانِ»

“Pintu-pintu langit dibuka untuk lima hal, yaitu untuk bacaan Al-Qur’an, bertemunya dua pasukan yang berperang, turunnya hujan, doa yang terzhalimi, dan adzan.” (HR. Ath-Thobroni no. 490)

20: Ahli Qur’an Sebaik-Baik Manusia

«خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ»

“Sebaik-baik kalian adalah siapa yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (Shohih: HR. Al-Bukhori no. 5027)

21: Mulia Karena Al-Qur’an

«إِنَّ اللّٰهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا، وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ»

“Allah mengangkat dengan Kitab ini beberapa kaum dan merendahkan dengannya pula beberapa kaum lain. (Shohih: HR. Muslim no. 817)

22: Wajib Memuliakan Ahli Qur’an

«إِنَّ مِنْ إِجْلَالِ اللّٰهِ: إِكْرَامَ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ، وَحَامِلِ الْقُرْآنِ غَيْرِ الْغَالِي فِيهِ وَالْجَافِي عَنْهُ، وَإِكْرَامَ ذِي السُّلْطَانِ الْمُقْسِطِ»

“Di antara mengagungkan Allah adalah memuliakan orang Muslim yang sudah tua, ahli Qur’an yang tidak berlebihan dan meremehkannya[9], dan memuliakan penguasa yang adil.” (Hasan: HR. Abu Dawud no. 4843)

23: Ahli Qur’an Keluarga Allah dari Kalangan Manusia

«إِنَّ لِلّٰهِ أَهْلِينَ مِنَ النَّاسِ» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللّٰهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ: «هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ، أَهْلُ اللّٰهِ وَخَاصَّتُهُ»

“Allah memiliki keluarga dari kalangan manusia.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah mereka?” Beliau menjawab, “Mereka adalah ahli Qur’an, yaitu keluarga Allah dan keistimewaan-Nya.” (Shohih: HR. Ibnu Majah no. 215)

24: Ahli Qur’an Kebanggaan Allah

«مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللّٰهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللّٰهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللّٰهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ»

“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah untuk membaca Kitabullah dan saling mempelajari di antara mereka, melainkan turun kepada mereka ketenangan, dinaungi rahmat, diliputi para Malaikat, dan dibanggakan Allah di kalangan makhluk yang ada di sisi-Nya.” (Shohih: HR. Muslim no. 2699)

25: Ahli Qur’an Dicintai Allah dan Rasul-Nya

«مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُحِبَّهُ اللّٰهُ وَرَسُولُهُ فَلْيَقْرَأْ فِي الْمُصْحَفِ»

“Siapa saja senang dicintai Allah dan Rasul-Nya, maka hendaklah dia membaca di mushaf.” (Hasan: HR. Ibnu Syahin no. 191)

26: Ahli Qur’an Mendapat Warisan Kenabian

«مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَقَدِ اسْتَدَرَجَ النُّبُوَّةَ بَيْنَ جَنْبَيْهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يُوحَى إِلَيْهِ، لَا يَنْبَغِي لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ أَنْ يَحِدَّ مَعَ مَنْ حَدَّ، وَلَا يَجْهَلَ مَعَ مَنْ جَهِلَ وَفِي جَوْفِهِ كَلَامُ اللّٰهِ تَعَالَى»

“Siapa saja yang menghafal Al-Qur’an maka sungguh dia telah menempatkan kenabian di antara dua keningnya, hanya saja dia tidak diberi wahyu. Tidak pantas bagi ahli Qur’an melanggar bersama orang yang melanggar, bertindak bodoh bersama orang bodoh, sementara di hatinya ada Kalamullah.” (Shohih: HR. Al-Hakim no. 2028)

27: Mendahulukan Ahli Qur’an dalam Urusan Kepemimpinan

«يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللّٰهِ، فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا» وفِي رِوَايَةٍ: «فَأَقْدَمُهُمْ سِنًّا»

“Yang menjadi imam bagi suatu kaum adalah yang paling aqra`[10] di antara mereka terhadap Kitabullah. Jika mereka sama dalam bacaan, maka yang menjadi imam mereka adalah yang paling berilmu tentang Sunnah. Jika mereka sama dalam Sunnah, maka yang yang paling dahulu hijrahnya. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang paling dahulu masuk Islam,” dalam riwayat lain, “yang paling tua umurnya.” (Shohih: HR. Muslim no. 673)

28: Mendahulukan Ahli Qur’an dalam Pernikahan

«فَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ»

Aku menikahkanmu dengan wanita itu dengan (mahar) hafalanmu dari Al-Qur’an.” (Muttafaqun ‘Alaih)

29: Allah Suka Mendengarkan Bacaan Qori`

«لَلَّهُ أَشَدُّ أُذُنًا إِلَى الرَّجُلِ الْحَسَنِ الصَّوْتِ بِالْقُرْآنِ مِنْ صَاحِبِ الْقَيْنَةِ إِلَى قَيْنَتِهِ»

“Sungguh Allah lebih suka mendengarkan seorang lelaki yang bagus suaranya dalam membaca Al-Qur’an melebihi seseorang kepada kekasihnya.” (Shohih: HR. Al-Hakim no. 2097)

30: Perbedaan Jauh Ahli Qur’an dengan Selainnya

«مَثَلُ المُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ القُرْآنَ كَمَثَلِ الأُتْرُجَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ، وَمَثَلُ المُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ القُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ لاَ رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ، وَمَثَلُ المُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ القُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ، وَمَثَلُ المُنَافِقِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ القُرْآنَ كَمَثَلِ الحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ»

“Perumpamaan orang beriman yang membaca Al-Qur’an seperti buah uthrujah (sejenis lemon) yang aromanya wangi dan rasanya enak, dan perumpamaam orang beriman yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah kurma yang tidak beraroma dan rasanya manis. Perumpamaan orang munafiq yang membaca Al-Qur’an seperti raihanah yang aromanya wangi tetapi rasanya pahit, dan perumpamaan orang munafiq yang tidak membaca Al-Qur’an seperti hanzholah yang tidak beraroma dan rasanya pahit.” (Muttafaqun ‘Alaih)

31: Anjuran Iri Kepada Ahli Qur’an

«لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللّٰهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللّٰهُ مَالًا فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ»

“Tidak boleh iri[11] kecuali kepada dua orang, yaitu seseorang yang Allah beri Al-Qur’an lalu dia sholat dengannya di malam dan siang hari, dan seseorang yang diberi Allah harta lalu dia sedekahkan di malam dan siang hari.” (Muttafaqun ‘Alaih)

32: Keutamaan Menyibukkan Diri dengan Sebaik-Baik Kalam

«يَقُولُ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ: مَنْ شَغَلَهُ الْقُرْآنُ عَنْ ذِكْرِي وَمَسْأَلَتِي أَعْطَيْتُهُ أَفْضَلَ مَا أُعْطِيَ السَّائِلِينَ، وَفَضْلُ كَلَامِ اللّٰهِ عَلَى سَائِرِ الكَلَامِ كَفَضْلِ اللّٰهِ عَلَى خَلْقِهِ»

“Rob azza wa jalla berkata, ‘Siapa saja yang tersibukkan oleh Al-Qur’an dari berdzikir kepada-Ku dan meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan berikan kepadanya melebihi apa yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta. Keutamaan Kalamullah atas seluruh ucapan seperti keutamaan Allah atas seluruh makhluk-Nya.” (Hasan: HR. At-Tirmidzi no. 2926)

33: Mahkota Kemuliaan untuk Ahli Qur’an dan Kedua Orang Tuanya

«مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَعَمِلَ بِمَا فِيهِ، أُلْبِسَ وَالِدَاهُ تَاجًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ضَوْءُهُ أَحْسَنُ مِنْ ضَوْءِ الشَّمْسِ فِي بُيُوتِ الدُّنْيَا لَوْ كَانَتْ فِيكُمْ، فَمَا ظَنُّكُمْ بِالَّذِي عَمِلَ بِهَذَا؟»

“Siapa saja yang menghafal Al-Qur’an dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya, maka akan dipakaikan kepada kedua orangtuanya mahkota pada hari Kiamat yang cahayanya lebih indah daripada cahaya matahari yang masuk ke celah rumah-rumah dunia, seandainya masuk di tengah-tengah kalian. Lantas apa pendapat kalian, balasan bagi orang yang mengamalkannya?” (Shohih: HR. Abu Dawud no. 1453)

34: Naungan Khusus Bagi Ahli Qur’an di Akhirat

«اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ، اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ، فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا، اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلَا تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ»

“Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari Kiamat sebagai pemberi syafaat bagi ahlinya. Bacalah dua Zahrah yaitu Al-Baqoroh dan surat Ali Imran, karena keduanya akan datang para hari Kiamat laksana dua naungan atau laksana dua teduhan atau laksana dua kepakan sayap burung yang menaungi ahlinya. Bacalah surat Al-Baqoroh, karena mengambilnya adalah berkah, meninggalkannya adalah kerugian, dan tidak dapat dikalahkan oleh para tukang sihir (dukun).” (Shohih: HR. Muslim no. 804)

35: Ahli Qur’an Bersama Iringan Malaikat

«الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ»

“Orang mahir Al-Qur’an bersama dengan Malaikat yang mulia lagi ta’at. Sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dan terbata-bata serta merasa berat, dia mendapat dua pahala.” (Muttafaqun ‘Alaih)

36: Syafaat Al-Qur’an Bagi Ahli Qur’an

«الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُولُ الصِّيَامُ: أَيْ رَبِّ، مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ! وَيَقُولُ الْقُرْآنُ: مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ!» قَالَ: «فَيُشَفَّعَانِ»

“Puasa dan Al-Qur’an memberi syafaat kepada hamba pada hari Kiamat. Puasa berkata, ‘Wahai Rob-ku, sesungguhnya aku telah menahannya makan dan syahwat di siang hari, maka berilah aku syafaat untuknya, dan Al-Qur’an berkata, ‘Aku telah menahannya tidur di malam hari, maka berilah aku syafaat untuknya.’ Lalu keduanya diizinkan memberi syafaat.” (Shohih: HR. Ahmad no. 6626)

37: Al-Qur’an Membela Ahli Qur’an di Akhirat

«يَجِيءُ القُرْآنُ يَوْمَ القِيَامَةِ فَيَقُولُ: يَا رَبِّ حَلِّهِ! فَيُلْبَسُ تَاجَ الكَرَامَةِ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا رَبِّ زِدْهُ! فَيُلْبَسُ حُلَّةَ الكَرَامَةِ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا رَبِّ ارْضَ عَنْهُ! فَيَرْضَى عَنْهُ، فَيُقَالُ لَهُ: اقْرَأْ وَارْقَ! وَيُزَادُ بِكُلِّ آيَةٍ حَسَنَةً»

“Al-Qur’an datang pada hari Kiamat lalu berkata, ‘Wahai Rob-ku, berilah dia perhiasan!’ Lalu dia (ahli Qur’an) dipakaikan mahkota kemuliaan, lalu dia berkata, ‘Wahai Rob-ku, tambahlah!’ Lalu dipakaikan kepadanya hiasan kemuliaan, lalu dia berkata, ‘Wahai Rob-ku, berilah dia keridhaan-Mu!’ Lalu Dia meridhainya, lalu dikatakan kepadanya, ‘Bacalah dan naiklah!’ Setiap ayat satu, ia mendapatkan tambahan satu kebaikan (tingkat Surga).” (Shohih: HR. At-Tirmidzi no. 2915)

38: Dada Ahli Qur’an Tidak Terbakar Api Neraka

«لَوْ أَنَّ الْقُرْآنَ جُعِلَ فِي إِهَابٍ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ مَا احْتَرَقَ»

“Seandainya Al-Qur’an dirasukkan ke kulit lalu dilempar ke Neraka, niscaya tidak akan terbakar.” (Hasan: HR. Ahmad no. 17365)

39: Tingkatan Tertinggi Surga Bagi Ahli Qur’an

«يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ: اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا، فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا»

“Akan diseru nanti kepada ahli Qur’an, ‘Baca dan naiklah. Bacalah dengan tartil seperti kamu dulu membacanya dengan tartil di dunia. Sesungguhnya kedudukanmu (di Surga) di akhir ayat yang kamu baca.[12](Hasan Shohih: HR. Abu Dawud no. 1464)

40: Khatam Al-Qur’an Punya Doa Mustajab

عَنْ ثَابِتٍ، قَالَ: «كَانَ أَنَسٌ إِذَا خَتَمَ الْقُرْآنَ، جَمَعَ وَلَدَهُ وَأَهْلَ بَيْتِهِ فَدَعَا لَهُمْ»

Dari Tsabit (Al-Bunani), dia berkata, “Apabila Anas (bin Malik) mengkhatamkan Al-Qur’an, maka beliau mengumpulkan anak dan keluarganya lalu mendoakan kebaikan untuk mereka.” (Shohih: HR. Ad-Darimi no. 3517)

عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللّٰهِ بْنُ مَسْعُودٍ : «مَنْ خَتَمَ الْقُرْآنَ فَلَهُ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ» قَالَ: فَكَانَ عَبْدُ اللّٰهِ إِذَا خَتَمَ الْقُرْآنَ جَمَعَ أَهْلَهُ ثُمَّ دَعَا وَأَمِّنُوا عَلَى دُعَائِهِ.

Dari Ibrohim At-Taimi bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Siapa saja yang mengkhatamkan Al-Qur’an maka dia memiliki doa mustajab.” Perawi berkata, “Apabila ‘Abdullah mengkhatamkan Al-Qur’an, beliau mengumpulkan keluarganya kemudian berdoa dan mereka mengamini doanya.” (HR. Abu Ubaid Al-Qosim bin Sallam, hal. 108)

«تِلْكَ السَّكِينَةُ تَنَزَّلَتْ لِلْقُرْآنِ»

“Itu adalah ketenangan yang turun untuk Al-Qur’an.” (Muttafaqun ‘Alaih)

41: Al-Qur’an Adalah Akhlaq Ahli Qur’an

قَالَتْ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةُ ڤ:  «إِنَّ خُلُقَ نَبِيِّ اللّٰهِ كَانَ الْقُرْآنَ»

وَفِي رِوَايَةٍ: «كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ»

Ummul Mu`minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Sesungguhnya akhlaq Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Al-Qur’an.” (Shohih: HR. Muslim no. 746)

Dalam riwayat lain, “Akhlaq beliau adalah Al-Qur’an.” (Shohih: HR. Ahmad no. 24601)

42: Ahli Qur’an Tidak Akan Pikun

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ: «مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ لَمْ يُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ بَعْدَ عِلْمٍ شَيْئًا، وَذَلِكَ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ: ﵟثُمَّ رَدَدۡنَٰهُ أَسۡفَلَ سَٰفِلِينَ ٥ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَٰتِﵞ  قَالَ: «إِلَّا الَّذِينَ قَرَءُوا الْقُرْآنَ»

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Siapa yang membaca Al-Qur’an tidak akan pikun, tidak tahu apapun setelah sebelumnya mengetahuinya. Demikian itu karena ‘Kemudian Kami kembalikan ia kepada keadaan yang paling rendah, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih,’[13] yaitu kecuali orang-orang yang membaca Al-Qur’an.” (Shohih: HR. Al-Hakim no. 3952)

/


TAKHRIJ LUAS DAN TA’LIQ

[2] Shohih: HR. Ahmad no. 24531, XLI/78-79 dalam Musnadnya, Al-Hakim no. 2070 dalam Al-Mustadrâk, Al-Baihaqi no. 964 dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan no. 2191 dalam Syu’abul Iman, Ath-Thohawi no. 1377 dalam Syarh Musykilil Atsâr, Ibnu Adh-Dhurois no. 72 dalam Fadhō`ilul Qur`ân, dan Al-Faryabi no. 65 dalam Fadhō`ilul Qur`ân dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Al-Hakim berkata, “Ini hadits Shohih sanadnya tetapi tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhori Muslim,” dan dinilai hasan oleh Al-Arna`uth.

b. Diriwayatkan Ath-Thobroni no. 8666 dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr, Ibnu Abi Syaibah no. 30018 dalam Mushannafnya, Ibnu Al-Mubarak no. 814, hal. 280 dalam Az-Zuhd war Raqō`iq, dan Al-Baihaqi no. 1808 dalam Syu’abul Iman.

[3] Shohih: HR. Ibnu Majah no. 3452, II/1142, Al-Hakim no. 7435 dan 8225 dalam Al-Mustadrâk, Ath-Thobroni no. 8910 dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr, Al-Baihaqi no. 19565 dalam As-Sunan Al-Kubrâ dan no. 2345 dalam Syu’abul Iman, Abu Nu’aim VII/133 dalam Hilyatul Auliyâ`, dan Ibnu Abi Hatim no. 10418, VI/1957 dalam tafsirnya dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.

Al-Hakim berkata, “Ini sanadnya Shohih tetapi tidak dikeluarkan Al-Bukhori Muslim,” dan disetujui adz-Dzahabi. Al-Haitsami menilainya Shohih dan para perawinya tsiqah dalam az-Zawâ`id (IV/55) dan juga dinilai Shohih Al-Baihaqi.

[4] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhori no. 4992, VI/184, Muslim no. 818, At-Tirmidzi no. 2943, Abu Dawud no. 1475, a-Nasa`i no. 936, Ahmad no. 158 dalam Musnadnya, Ibnu Hibban no. 741 dalam Shahîhnya, Al-Baihaqi no. 2845 dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ath-Thoyalisi no. 39 dalam Musnadnya, Ibnu Abi Syaibah no. 30125 dalam Mushannafnya, Abu ‘Awanah no. 3849 dalam Al-Mustakhrōj, Al-Bazzar no. 300 dalam Musnadnya, Malik no. 5 dalam Al-Muwaththa`, Ath-Thohawi no. 3104 dalam Syarh Musykilil Atsâr, Ibnul ‘Arabi no. 85 dalam Al-Mu’jam, dan Al-Ajurri no. 148 dalam asy-Syarî’ah dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu.

[6] Hasan: HR. Ahmad no. 16982, XXVIII/188 dalam Musnadnya, Ath-Thobroni no. 187 dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr dan no. 2734 dalam Musnad Asy-Syammiyyin, Al-Baihaqi no. 962 dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan no. 2192 dalam Syu’abul Iman, Abu Nu’aim no. 6485 dalam Ma’rifatush Shahâbah, Ath-Thoyalisi no. 1105 dalam Musnadnya, Ath-Thohawi no. 1379 dalam Syarh Musykilil Atsâr dari Watsilah bin Al-Asqa’ radhiyallahu ‘anhu. Al-Arna`uth berkata, “Sanadnya hasan.”

Imam Ath-Thabari berkata dalam tafsirnya (I/101-102, “As-Sab’u adalah surat Al-Baqoroh, Ali Imran, an-Nisa`, Al-Ma`idah, Al-An’am, Al-A’raf, dan Yunus, menurut Sa’id bin Jubair. Dinamakan as-sab’u (tujuh yang panjang) karena suratnya panjang-panjang dibanding surat lainnya. Adapun al-ma`in (seratusan) yaitu surat-surat yang ayatnya seratus, atau lebih, atau kurang sedikit…. Adapun al-mufashshal (terpisah, dinamakan demikian karena suratnya pendek-pendek dan banyak pemisahnya dengan basmalah.”

[7] Shohih: HR. At-Tirmidzi no. 2875, V/155, An-Nasa`i no. 11141 dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ahmad no. 8682 dan 9345 dalam Musnadnya, Al-Hakim no. 2051 dalam Al-Mustadrâk, Al-Baihaqi no. 3954 dalam As-Sunan Al-Kubrâ dan no. 1427 dalam Syu’abul Iman, Abu Ya’la no. 6482 dalam Musnadnya, dan Ath-Thohawi no. 1208 dalam Syarh Musykilil Atsâr dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu.

[8] Shohih: HR. Ath-Thobroni no. 10450, X/198 dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr, Al-Baihaqi no. 1855 dalam Syu’abul Iman, Ibnu Hibban no. 124 dalam Shahîhnya, Abdurrozzaq no. 6010 dalam Mushannafnya, Ibnu Abi Syaibah no. 30054 dalam Mushannafnya, Abu Nu’aim IV/108 dalam Hilyatul Auliyâ`, Ibnu Adh-Dhurois no. 93 dalam Fadhō`ilul Qur`ân, Al-Faryabi no. 23) Fadhō`ilul Qur`ân, dan Imam Ahmad no. 843 dalam az-Zuhd dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma.

[9] Shohih: HR. Al-Hakim no. 318, I/171 dalam Al-Mustadrâk, dan Al-Baihaqi no. 20336 dalam As-Sunan Al-Kubrâ dan (V/449 dalam Dalâ`ilun Nubuwwah dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Al-Hakim berkata, “Al-Bukhori berhujjah dengan haditsnya ‘Ikrimah dan Muslim berhujjah dengan haditsnya Abu Uwais dan sisa para perawi muttafaq (telah diakui, dan hadits ini merupakan khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muttafaqun ‘alaih yang dikeluarkan di kitab Shohih,” dan disetujui adz-Dzahabi dan mengatakan bahwa ia memiliki hadits asal di kitab Shohih.

[10] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhori no. 4981, VI/182, Muslim no. 152, Ahmad no. 8491 dan 9828 dalam Musnadnya, Al-Baihaqi no. 17712 dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Abu ‘Awanah no. 327 dalam Al-Mustakhrōj, An-Nasa`i no. 7923 dan 11064 dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ibnu Mandah no. 372 dan 695 dalam Al-Imân, dan Abu Nu’aim X/233 dalam Al-Hilyah dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu.

[11] Shohih: HR. At-Tirmidzi no. 2919, V/180, Abu Dawud no. 1333, An-Nasa`i no. 1663 dan 2561, Ahmad no. 17368, 17444, dan 17796 dalam Musnadnya, Ibnu Hibban no. 734 dalam Shahîhnya, Al-Baihaqi no. 4712 dalam As-Sunan Al-Kubrâ dan no. 2372 dalam Syu’abul Iman, Abu Ya’la no. 1737 dalam Musnadnya, Ar-Ruya`i no. 267 dalam Musnadnya, Ath-Thobroni no. 3235 dalam Al-Mu’jam Al-Ausath dan no. 1164, 1165, 1209, dan 1991 dalam Musnad Asy-Syammiyyin, dan Ibnu ‘Arofah no. 84 dalam Juz`nya dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu.

[12] Shohih: HR. Al-Bukhori no. 5737, VII/131, Ibnu Hibban no. 5146 dalam Shahîhnya, Al-Baihaqi no. 2551 dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan no. 2019, 11676, dan 14404 dalam As-Sunan Al-Kubrâ, dan Ad-Daroquthni no. 3038 dalam Sunannya dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Dalam sebuah riwayat disebutkan:

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: عَلَّمْتُ رَجُلًا الْقُرْآنَ، فَأَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللّٰهِ ، فَقَالَ: «إِنْ أَخَذْتَهَا أَخَذْتَ قَوْسًا مِنْ نَارٍ»، فَرَدَدْتُهَا

Dari Ubay bin Ka’ab, dia berkata, “Aku mengajar seseorang Al-Qur’an lalu dia memberiku hadiah sebuah busur. Lalu kuceritakan itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau bersabda, ‘Jika kamu mengambilnya, berarti kamu mengambil busur dari api Neraka.’ Lantas aku mengembalikannya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 2158, II/730) dan Al-Baihaqi no. 11684 dalam As-Sunan Al-Kubrâ dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dinilai Shohih oleh Al-Albani dalam Shohih Ibnu Majah, Al-Irwa` no. 1493, dan Ash-Shahîhah no. 256). Begitulah ijtihad beliau, meskipun sebenarnya hadits ini masih diperbincangkan dan dinilai dho’if oleh sebagian ahli hadits, karena ada Al-Mughiroh bin Ziyad Al-Mushili yang dinilai cacat Ibnu Hibban dalam Al-Majrûhin (III/6) dan lain-lain. Allahu a’lam.

[13] Shohih: HR. Muslim no. 780, I/539, At-Tirmidzi no. 2877, An-Nasa`i no. 7961 dan 10735 dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ahmad no. 7821, 8443, 8915, dan 9042 dalam Musnadnya, Ibnu Hibban no. 783 dalam Shahîhnya, Al-Baihaqi no. 957 dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan no. 2164 dalam Syu’abul Iman, Abu ‘Awanah no. 3892 dan 3907 dalam Al-Mustakhrōj, Ibnu Adh-Dhurois no. 172 dan 183 dalam Fadhō`ilul Qur`ân, dan Al-Faryabi no. 36 dan 37 dalam Fadhō`ilul Qur`ân dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu.

[14] Shohih: HR. Muslim no. 81, I/87, Ibnu Majah no. 1052, Ahmad no. 9713 dalam Musnadnya, Ibnu Khuzaimah no. 549 dalam Shahîhnya, Ibnu Hibban no. 2759 dalam Shahîhnya, Al-Baihaqi no. 3700 dalam As-Sunan Al-Kubrâ dan no. 1407 dalam Syu’abul Iman, Abu ‘Awanah no. 1945 dan 1946 dalam Al-Mustakhrōj, Ibnul Mubarok no. 981 dalam Az-Zuhd war Raqō`iq, Al-Lalika`i no. 1527 dalam Syarhul Ushul, dan Abu Nu’aim V/60 dalam Hilyatul Auliyâ` dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu.

[15] Shohih: HR. Al-Baihaqi no. 5996, III/353 dalam As-Sunan Al-Kubrâ dan no. 606 dan 967 dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan no. 2220, 2221, dan 2777 dalam Syu’abul Iman dan no. 279 dalam Fadhō`ilul Auqât, Al-Hakim no. 3392 dalam Al-Mustadrâk, Ad-Darimi no. 3450 dalam Sunannya, Nu’aim bin Hammad no. 1579 dalam Al-Fitan, Ath-Thobroni no. 1455 dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, dan Ibnu Adh-Dhurois no. 211 dalam Fadhō`ilul Qur`ân dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.

[16] Shohih: HR. At-Tirmidzi no. 2910, V/175, Ath-Thobroni no. 8647 dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr, Abdurrozzaq no. 5993 dalam Mushannafnya, Ibnu Abi Syaibah no. 29935 dalam Mushannafnya, Ad-Darimi no. 3351 dalam Sunannya, Ibnul Mubarok no. 808 dalam Az-Zuhd war Raqâ`iq, Abu Yusuf Al-Hanbali no. 222 dalam Al-Atsâr, Al-Baihaqi no. 1830 dalam Syu’abul Iman, Al-Khathib Al-Baghdadi no. 78 dalam Al-Jâmi` li Akhlâqir Rō, dan Al-Ajurri no. 11 dan 12 dalam Akhlâq Ahlil Qur`ân dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dengan lafazh-lafazh yang beragam dan sebagian mauquf.

[17] Shohih: HR. Muslim no. 802, I/552, Ibnu Majah no. 3782, Ahmad no. 9152, 10016, 10446 dalam Musnadnya, Ibnu Abi Syaibah no. 30073 dalam Mushannafnya, Ad-Darimi no. 3357 dalam Sunannya, Abu ‘Awanah no. 3777 dalam Al-Mustakhrōj, Al-Bukhori no. 60 dalam Al-Qirâ`ah Khalfal Imâm, Al-Baihaqi no. 2048 dalam Syu’abul Iman, dan Al-Firyabi no. 69 dan 71 dalam Fadhō`ilul Qur`ân dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu.

[18] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhori no. 756, I/151) dan no. 2 dalam Al-Qirâ`ah, Muslim no. 394, At-Tirmidzi no. 247, Abu Dawud no. 822, An-Nasa`i no. 910, Ibnu Majah no. 837, Ahmad no. 22677 dalam Musnadnya, Ibnu Khuzaimah no. 488 dalam Shahîhnya, Ibnu Hibban no. 1782 dalam Shahîhnya, Ath-Thobroni no. 211 dalam Al-Mu’jam Ash-Shaghîr, Al-Baihaqi no. 378 dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan no. 2363 dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ad-Daroquthni no. 1225 dalam Sunannya, Abdurrozzaq no. 2623 dalam Mushannafnya, Ibnu Abi Syaibah no. 3618 dalam Mushannafnya, Ad-Darimi no. 1278 dalam Sunannya, Abu ‘Awanah no. 1664 dalam Musnadnya, Al-Humaidi no. 390 dalam Musnadnya, Ibnul Jarud no. 185 dalam Al-Muntaqâ, dan Al-Khathib Al-Baghdadi (I/544 dalam Al-Faqîh wal Mutafaqqih dari ‘Ubadah bin ash-Shomit radhiyallahu ‘anhu.

[19] Dha’if: HR. Ath-Thobroni no. 490, hal. 167 dalam ad-Du’a` dan no. 471 dalam Al-Mu’jam Ash-Shaghîr dan no. 3621 dalam Al-Mu’jam Al-Ausath dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Dinilai dho’if oleh Al-Albani dalam Dha’îful Jâmi`, sementara Al-Haitsami tidak bersikap dengan perkataannya dalam az-Zawâ`id I/328, “Di dalam perawinya ada Hafsh bin Sulaiman Al-Asadi yang dinilai dho’if oleh Al-Bukhori, Muslim, Ibnu Ma’in, An-Nasa`i, dan Ibnul Madini, tetapi dinilai tsiqah/terpercaya oleh Ahmad dan Ibnu Hibban.” Meskipun kebanyakan menilainya dho’if, hadits ini tidak bertentangan dengan hadits Shohih bahwa langit terbuka sebagaimana riwayat bacaan Al-Qur’an Usaid bin Hudhair radhiyallahu ‘ahnu, dan terkabulkannya doa orang yang sedang berjihad, saat turun hujan, yang terzhalimi, dan saat adzan, yang semuanya ma’ruf diketahui, ini jika dipahami terbukanya langit sebagai naiknya bacaan Al-Qur’an sampai kepada penduduk langit (Malaikat) dan naiknya doa ke langit (terkabul). Jadi hadits ini ringan kedho’ifannya, karena dua hal: tidak menyelisihi hadits Shohih dan Hafs masih diperselisihkan. Allahu’ alam.

[20] Shohih: HR. Al-Bukhori no. 5027, VI/192, At-Tirmidzi no. 2907, Abu Dawud no. 1452, An-Nasa`i no. 7982 dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ibnu Majah no. 211, Ahmad no. 500 dalam Musnadnya, Ibnu Hibban no. 118 dalam Shahîhnya, Al-Baihaqi no. 942 dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ibnu Abi Syaibah no. 30071 dalam Mushannafnya, Abdurrozzaq no. 5995 dalam Mushannafnya, Ad-Darimi no. 3381 dalam Sunannya, Ath-Thoyalisi no. 73 dalam Musnadnya, dan Abu ‘Awanah no. 3766 dalam Al-Mustakhrōj, Al-Bazzar no. 396, II/52 dalam Musnadnya, Ibnul Ja’ad no. 475 dalam Musnadnya, Ath-Thohawi no. 5116 dalam Syarh Musykilil Atsâr, Ibnul Arabi no. 378 dalam Mu’jamnya, Ibnul Muqri` no. 185 dalam Mu’jamnya, Ibnu Baththah no. 24 dalam Al-Ibânah Al-Kubrâ, Al-Lalika`i no. 556 dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahli Sunnah wal Jamâ’ah, Abu Nu’aim IV/193 dalam Hilyatul Auliyâ`, Ibnu Adh-Dhurois no. 132 dalam Fadhō`ilul Qur`ân, Al-Faryabi no. 11 dalam Fadhō`ilul Qur`ân, dan Al-Ajurri no. 15 dalam Akhlâqu Ahlil Qur`ân dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘ahnu.

[21] Shohih: HR. Muslim no. 817, I/559, Ibnu Majah no. 218, Ahmad no. 232 dalam Musnadnya, Ibnu Hibban no. 772 dalam Shahîhnya, Ad-Darimi no. 3408 dalam Sunannya, Al-Baihaqi no. 5125 dalam As-Sunan Al-Kubrâ dan no. 2428 dalam Syu’abul Iman, Abu Ya’la no. 211 dalam Musnadnya, Al-Bazzar no. 249, I/371 dalam Musnadnya, Abu Awanah no. 3762 dalam Al-Mustakhrōj, Ma’mar bin Rosyid no. 20944 dalam Jâmi’nya, Al-Azroqi (II/152 dalam Akhbâru Makkah, Ath-Thohawi no. 2199 dalam Syarh Musykilil Atsâr, Ath-Thobroni no. 2999 dalam Munsad Asy-Syammiyyin, dan Ath-Thabari no. 1109 dalam Tahdzîbul Atsâr dari Umar bin Khoththob radhiyallahu ‘anhu.

[22] Hasan: HR. Abu Dawud no. 4843, IV/261, Al-Bukhori no. 52  dalam Al-Adâb Al-Mufrâd, Al-Baihaqi no. 16658 dalam As-Sunan Al-Kubrâ dan no. 37 dalam Al-Adâb dan no. 2431 dan 10480 dalam Syu’abul Iman, Ibnu Abi Syaibah no. 21922 dan 30258 dalam Mushannafnya, Al-Bazzar no. 3070 dalam Musnadnya, Ibnul Mubarok no. 388 dan 389 dalam Az-Zuhd war Raqō`iq, dan Ibnu Zanjawaih no. 52 dalam Al-Amwâl dari Abu Musa Al-‘Asy’ari radhiyallahu ‘anhu.

[23] Shohih: HR. Ibnu Majah no. 215, I/78, An-Nasa`i no. 7977 dalam As-Sunan Ash-Shughrâ, Ahmad no. 12279 dan 13542 dalam Musnadnya, Al-Hakim no. 2046 dalam Al-Mustadrâk, Abu Ya’la Al-Maushuli no. 2238 dalam Musnadnya, Ad-Darimi no. 3369 dalam Sunannya, Abu Nu’aim III/63 dan IX/40 dalam Hilyatul Auliyâ`, Al-Baihaqi no. 2434 dalam Syu’abul Iman, Ibnu Adh-Dhurois no. 75 dalam Fadhō`ilul Qur`ân, dan Al-Ajurri no. 7 dan 8 dalam Akhlâqu Ahlil Qur`ân dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.

[24] Shohih: HR. Muslim no. 2699, IV/2074, At-Tirmidzi no. 2945 dan 3378, Abu Dawud no. 1455, Ibnu Majah no. 225 dan 3791, Ahmad no. 7427, 9274, 9772, dan 11892 dalam Musnadnya, Ibnu Hibban no. 768 dalam Shahîhnya, Ath-Thoyalisi no. 2508 dalam Musnadnya, Ibnu Abi Syaibah no. 29475 dalam Mushannafnya, Abu Ya’la Al-Maushuli no. 1252, 1283, 6157, 6159, dan 6160 dalam Musnadnya, Ma’mar bin Rasyid no. 20577 dalam Al-Jâmi’, Ibnul Mubarok no. 45 dalam Musnadnya dan no. 944 dalam Az-Zuhd war Raqō`iq, Ibnul Arabi no. 2064 Mu’jamnya, Ath-Thobroni no. 1500, 3780, 7873 dalam Al-Mu’jam Al-Ausath dan no. 1898, 1900, 1901, 1902, 1903, 1904, dan 1905 dalam Ad-Du’â`, Abu Nu’aim VII/204 dalam Hilyatul Auliyâ`, Al-Baihaqi no. 451 dalam Al-Asmâ` wash Shifât dan no. 527 dan 1572 dalam Syu’abul Iman, Ibnu Abdil Barr no. 45 dalam Jâmi’ Bayânil Ilmi wa Fadhlih, dan Al-Ajurri no. 19 dalam Akhlâq Ahlil Qur`ân dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu.

[25] Hasan: HR. Ibnu Syahin no. 191, I/67 dalam At-Targhîb, Ibnul Muqri` no. 498 dalam Al-Mu’jam, Al-Baihaqi no. 2027 dalam Syu’abul Iman, Ibnu Adi II/111, dan Abu Nu’aim VII/209 dalam Hilyatul Auliyâ` dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Dinilai hasan Al-Albani dalam Ash-Shahîhah no. 2342.

[26] Shohih: HR. Al-Hakim no. 2028, I/738 dalam Al-Mustadrâk, Ibnu Abi Syaibah no. 29953 dalam Al-Mushannaf, Ibnul Mubarok no. 799 dalam Az-Zuhd war Raqō`iq, Al-Baihaqi no. 2352 dan 2353 dalam Syu’abul Iman dan no. 581 dalam Al-Asmâ` wash Shifât, Ibnu Adh-Dhurois no. 65 dalam Fadhō`ilul Qur`ân, Al-Ajurri no. 13 dalam Akhlâqu Ahlil Qur`ân, dan Al-Khathib Al-Baghdadi I/197 dalam Al-Faqîh wal Mutafaqqih dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma. Al-Hakim berkata, “Ini hadits Shohih tetapi tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhori Muslim.”

[27] Shohih: HR. Muslim no. 673, I/465, At-Tirmidzi no. 235, Abu Dawud no. 582 dan 583, An-Nasa`i no. 780, Ibnu Majah no. 980, dan Ahmad no. 17063 dalam Al-Musnad, Ibnu Khuzaimah no. 1507 dalam Shahîhnya, Ibnu Hibban no. 2127, 2133, dan 2144 dalam Shahîhnya, Al-Hakim no. 886 dan 887 dalam Al-Mustadrâk,  Ath-Thobroni no. 602 dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr, Al-Baihaqi no. 503 dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan no. 5132 dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ad-Daroquthni no. 1085 dalam Sunannya, Ath-Thoyalisi no. 652 dalam Musnadnya, Abdurrozzaq no. 3808 dalam Mushannafnya, Ibnu Abi Syaibah no. 3451 dalam Mushannafnya, Abu ‘Awanah no. 1363 dalam Al-Mustakhrōj, Al-Humaidi no. 462 dalam Musnadnya, Ibnul Jarud no. 308 dalam Al-Muntaqâ, Ath-Thohawi no. 3954 dalam Syarh Musykilil Atsâr, Ath-Thobroni no. 4282 dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, dan Ibnul Mundzir no. 1930 dalam Al-Ausath fis Sunan wal Ijmâ` dari Abu Mas’ud Al-Anshari dan ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhuma.

[28] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhori no. 5029, VI/192, Muslim no. 1425, At-Tirmidzi no. 1114, Abu Dawud no. 2111, An-Nasa`i no. 3200, 3280, 3339, dan 3359, Ibnu Majah no. 1889, Ahmad no. 22798, 22831, dan 22850 dalam Musnadnya, Ibnu Hibban no. 4093 dalam Shahîhnya, Ath-Thobroni no. 5750, 5781, 5907, 5915, 5927, 5934, 5938, 5951, 5961, 5980, dan 5993 dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr, Al-Baihaqi no. 2415 dan 2548 dalam As-Sunan Ash-Saghîr dan no. 13363 dan 14398 dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ad-Daroquthni no. 3611 dan 3614 dalam Sunannya, Abdurrozzaq no. 12274 dalam Mushannafnya, Ibnu Abi Syaibah no. 102 dalam Musnadnya dan no. 36166 dalam Mushannafnya, Ad-Darimi no. 2247 dalam Sunannya, Abu ‘Awanah no. 4160 dalam Al-Mustakhrōj, Abu Ya’la no. 7522 dalam Musnadnya, Al-Humaidi no. 957 dalam Musnadnya, dan Ath-Thohawi no. 2475 dalam Syarh Musykilil Atsâr dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu. Potongan dari hadits panjang sekali, dan hadits ini sangat perlu dihafal oleh para pemuda.

[29] Shohih: HR. Al-Hakim no. 2097, I/760 dalam Al-Mustadrâk, Ibnu Majah no. 1340, Ahmad no. 23947 dan 23956 dalam Musnadnya, Ibnu Hibban no. 754 dalam Shahîhnya, Ath-Thobroni no. 772 dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr, Al-Baihaqi no. 21051 dan 21052 dalam As-Sunan Al-Kubrâ dan no. 1957 dalam Syu’abul Iman, Ibnu Baththah no. 92 dalam Al-Ibânah Al-Kubrâ, dan Al-Ajurri no. 80 dalam Akhlâqu Ahlil Qur`ân dari Fudhalah bin ‘Ubaid Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu. Dinilai dho’if oleh Al-Albani dalam adh-Dha’îfah no. 2951, tetapi oleh Al-Haitsami menilainya hasan dalam Az-Zawâ`id. Al-Hakim berkata, “Ini hadits Shohih sesuai syarat Al-Bukhori Muslim tetapi keduanya tidak mengeluarkan.”

Dalam riwayat lain:

«مَا أَذِنَ اللّٰهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِلنَّبِيِّ أَنْ يَتَغَنَّى بِالقُرْآنِ»

“Allah tidak serius mendengarkan sesuatu melebihi serius-Nya mendengarkan bacaan Qur’an seorang Nabi yang indah.”

Diriwayatkan oleh Al-Bukhori no. 5024 VI/191, 5023, 7482, dan 7544, Muslim no. 792 dan 793, Abu Dawud no. 1473, An-Nasa`i no. 1017 dan 1018 dalam As-Sunan Ash-Shughrâ dan no. 1091, 1092, 7994, 7998, dan 7999 dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ahmad no. 7670, 7832, dan 9805 dalam Musnadnya, Ibnu Hibban no. 751 dan 752, Al-Baihaqi no. 980, 981, dan 3366 dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan no. 2428, 4709, 21040, dan 21041 dalam As-Sunan Al-Kubrâ dan no. 577 dalam Al-Asmâ` wash Shifât dan no. 1956 dan 2370 dalam Syu’abul Iman, Abdurrozzaq no. 4166 dan 4167 dalam Mushannafnya,  Ad-Darimi no. 1529, 1532, 3533, 3534, dan 3540 dalam Sunannya, Abu ‘Awanah no. 3866, 3867, 3868, 3870, dan 3912 dalam Al-Mustakhrōj, Abu Ya’la no. 5959 dalam Musnadnya, Al-Humaidi no. 979 dalam Musnadnya, Ath-Thohawi no. 1302 Syarh Musykilil Atsâr, Al-Fakihi no. 262 dalam Al-Fawâ`id, Ath-Thobroni no. 2679 dan 6653 dalam Al-Mu’jam Al-Ausath dan no. 1732 dalam Al-Mu’jam Asy-Syammiyyin, dan Ibnu Baththoh no. 93 dalam Al-Ibânah Al-Kubrâ dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu.

[30] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhori no. 5427 VII/77, 5020, 5059, dan 7560, Muslim no. 797, At-Tirmidzi no. 2865, An-Nasa`i no. 5038, Ibnu Majah no. 214, Ahmad no. 19549, 19614, dan 19664 dalam Musnadnya, Ibnu Hibban no. 121, 770, 771 dalam Shahîhnya, Ath-Thoyalisi no. 496 dalam Musnadnya, Ibnu Abi Syaibah no. 30172 dalam Mushannafnya, Ad-Darimi no. 3406 dalam Sunannya, Abu ‘Awanah no. 3796 dalam Al-Mustakhrōj, Al-Bazzar no. 2985 dan 3028 dalam Musnadnya, Abu Ya’la Al-Maushuli no. 7237 dalam Musnadnya, An-Nasa`i no. 6699, 8027, dan 8028 dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ar-Ruya`i no. 438 dan 566 dalam Musnadnya, Abu Nu’aim IX/59 dalam Hilyatul Auliyâ`, dan Al-Baihaqi no. 1821 dalam Syu’abul Iman dan no. 579 dalam Al-Asmâ` wash Shifât dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu.

[31] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Muslim no. 815, I/558, Al-Bukhori no. 5025 dan 7529, At-Tirmidzi no. 1936, Ibnu Majah no. 4209, An-Nasa`i no. 8018 dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ahmad no. 4550 dalam Musnadnya, Ibnu Hibban no. 125 dan 126 dalam Shahîhnya, Ath-Thobroni no. 13162 dan 13351 dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr, Al-Baihaqi no. 3227 dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan no. 7826 dalam As-Sunan Al-Kubrâ dan no. 1819 dalam Syu’abul Iman, Abdurrozzaq no. 5974 dalam Mushannafnya, Ibnu Abi Syaibah no. 30281 dalam Mushannafnya, Abu ‘Awanah no. 3854 dalam Al-Mustakhrōj, Abu Ya’la no. 5417 dalam Musnadnya, Al-Humaidi no. 629 dalam Musnadnya, Ibnul Mubarok no. 58  dalam Musnadnya dan no. 1203 dalam Az-Zuhd war Raqō`iq, Ar-Ruya`i II/397 dalam Musnadnya, Ath-Thohawi no. 459 dalam Syarh Musykilil Atsâr, Ath-Thobroni no. 2688 dalam Al-Mu’jam Ash-Shaghîr, Abu Nu’aim II/195 dalam Hilyatul Auliyâ`, Ibnu Abdil Barr no. 62, I/78 dalam Al-Jâmi’, dan Al-Faryabi no. 97 dalam Fadhō`ilul Qur`ân, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.

Di sana juga ada hadits yang setema dengan ini dari Al-Bukhori yang lebih lengkap:

«لاَ حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللّٰهُ القُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ: لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلاَنٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللّٰهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ: لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلاَنٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ»

“Tidak boleh iri kecuali kepada dua orang: seseorang yang diajari Allah Al-Qur’an lalu dia membacanya di malam dan siang hari, lalu didengar oleh tetangganya lalu berkata, ‘Seandainya aku diberi seperti yang diberikan kepada fulan, niscaya aku akan melakukan seperti apa yang dilakukannya.’ Dan seseorang yang diberi Allah harta lalu dia menghabiskannya dalam kebaikan, lalu lelaki itu (tetangganya) berkata, ‘Seandainya aku diberi seperti yang diberikan kepada fulan, niscaya aku akan melakukan seperti apa yang dilakukannya.’”

Diriwayatkan oleh Al-Bukhori no. 5026, 7232, dan 7528, An-Nasa`i no. 5810 dan 8019 dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ahmad no. 10214 dalam Musnadnya, Al-Baihaqi no. 7827 dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Abu ‘Awanah no. 3861 dalam Al-Mustakhrōj, Ath-Thohawi no. 462 dalam Syarh Musykilil Atsâr, Al-Lalika`i no. 578 Syarhul Ushûl, Abu Nu’aim VIII/46 dalam Hilyatul Auliyâ`, dan Al-Firyabi no. 101 dan 102 dalam Fadhō`ilul Qur`ân dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu.

[32] Hasan: HR. At-Tirmidzi no. 2926, V/184, Ad-Darimi no. 286 dan 339 dalam Ar-Radd alal Jahmiyyah, Ath-Thobroni no. 1851 dalam ad-Du’a`, Al-Baihaqi no. 507 dalam Al-Asmâ` wash Shifât, dan ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal no. 128 dalam As-Sunnah dari Abi Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bârî IX/66, “Para perawinya tsiqah (terpercaya) kecuali ‘Athiyyah Al-‘Aufi, dia dho’if.”

Imam Asy-Syaukani (w. 1250 H) mengatakan dalam Al-Fawâ`it Al-Majmû’ah fîl Ahâdîts Al-Maudû’ah (I/296) bahwa Ash-Shaghoni menilainya palsu.

Dinilai dho’if oleh Al-Albani dalam Al-Jâmi’ VI/117, Al-Misykâh no. 2136, dan Al-Ahâdîts adh-Dha’îfah no. 1335.

Syaikh ‘Abdullah Ad-Duwais berkata dalam Tanbîhul Qōri’ li Taqwiyyati Mâ Dho’afahu Al-Albanî hal. 99, “Penilaian ini masih perlu ditinjau, karena hadits ini tidak memiliki cacat kecuali ‘Athiyyah Al-‘Aufi seperti yang diisyaratkan Al-Albani sendiri dalam As-Silsilah Adh-Dho’îfah (III/508) dan At-Tirmidzi sendiri menilainya hasan sebagaimana menilai haditsnya hasan. Kemudian Al-Albani menyebutkan dalam As-Silsilah dua hadits penguat yang salah satunya dari ‘Umar bin Khoththob radhiyallahu ‘anhu yang di dalamnya ada Shofwan bin Abi ash-Shohba` yang masih diperselisihkan, dan yang kedua dari Hudzaifah yang di dalamnya ada Abu Muslim Abdurrohman bin Waqid yang dinilai tsiqah oleh Ibnu Hibban. Al-Hafizh mengatakan bahwa dia shaduq tetapi hafalannya goncang. Sementara perawi lainnya adalah perawi Al-Bukhori Muslim maka sanadnya hasan menurutku (Al-Albani), seandainya tidak ada kekhawatiran akan kegoncangan hafalan Abdurrohman bin Waqid.  Selesai penuturan Al-Albani.

Aku (Ad-Duwais) katakan, maka jika semua hadits-hadits ini dikumpulkan akan menunjukkan bahwa hafalannya benar, dan redaksi terakhir memiliki penguat seperti yang dikatakan ‘Abdullah bin Imam Ahmad di dalam As-Sunnah hal. 82, ‘Ayahku menceritakan kepadaku, menceritakan kepada kami Aswad bin Amir, menceritakan kepada kami Abu Bakar Ibnu Iyyas, dari A’masy dari Al-Hasan dia berkata, ‘Keutamaan Al-Qur’an atas semua kalam seperti keutamaan Allah atas hamba-hamba-Nya,’ kemudian dia berkata hal. 79, ‘Yusuf bin Musa Al-Qoththon, menceritakan kepada kami ‘Amr bin Hamdan dari Sa’id bin Abi ‘Arubah dari Qotadah dari Syahr bin Haysyab dari Abu Huroiroh berkata bahwa ‘Sesungguhnya keutamaan Al-Qur’an...,’ Syaikh Ad-Duwais menyebutkan beberapa jalur dan sanad lain lalu beliau berkata, ‘Riwayat-riwayat ini saling menguatkan sehingga hadits ini menjadi hasan, jika bukan Shohih, terkhusus redaksi hadits yang akhir.’” Allahu a’lam.

[33] Shohih: HR. Abu Dawud no. 1453, II/70, Ahmad no. 15645 dalam Musnadnya, Al-Hakim no. 2085 dalam Al-Mustadrâk, Ath-Thobroni no. 445 dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr, Abu Ya’la Al-Maushuli no. 1493 dalam Musnadnya, Al-Baihaqi no. 1797 dalam Syu’abul Iman, dan Al-Ajurri no. 22 dalam Akhlâqu Ahlil Qur`ân dari Sahl bin Mu’adz Al-Juhanni dari ayahnya radhiyallahu ‘anhu. Al-Hakim berkata, “Hadits Shohih sanadnya tetapi tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhori Muslim.”

[34] Shohih: HR. Muslim no. 804, I/553, Ahmad no. 22146, 22157, 22193, dan 22213 dalam Musnadnya, Ibnu Hibban no. 116 dalam Shahîhnya, Al-Hakim no. 2071 dan 3135 dalam Al-Mustadrâk, Ath-Thobroni no. 7542, 7544, dan 8118 dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr dan no. 468 dalam Al-Mu’jam Al-Ausath dan no. 2862 dalam Musnad Asy-Syammiyyin, Al-Baihaqi no. 956 dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan no. 4056 dalam As-Sunan Al-Kubrâ dan no. 975 dalam Al-Asmâ` wash Shifât dan no. 1827 dan 2156 dalam Syu’abul Iman, Abdurrozzaq no. 5991 dalam Mushannafnya, Abu ‘Awanah no. 3933 dalam Al-Mustakhrōj, ar-Ruba`i no. 1254 dan 1275 dalam Musnadnya, Ibnu Adh-Dhurois no. 98 dalam Fadhō`ilul Qur`ân, Al-Faryabi no. 26 dalam Fadhō`ilul Qur`ân, dan Ibrahim Al-Harbi (I/222) dari Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu.

[35] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Muslim no. 798, I/549, Al-Bukhori no. 4937, At-Tirmidzi no. 2904, Abu Dawud no. 1454, Ibnu Majah no. 3779, Ahmad no. 24211, 24634, 24667, 24788, 25365, 25591, 26028, dan 26296 dalam Musnadnya, Al-Hakim no. 767 dalam Al-Mustadrâk, Al-Baihaqi no. 946 dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan no. 4054 dan 4055 dalam As-Sunan Al-Kubrâ dan no. 1822 dalam Syu’abul Iman, Ath-Thoyalisi no. 1602 dalam Musnadnya, Abdurrozzaq no. 4194 dan 6016 dalam Mushannafnya, Ibnu Abi Syaibah no. 30036 dalam Mushannafnya, Ad-Darimi no. 3411 dalam Sunannya, Abu ‘Awanah no. 3800 dan 3805 dalam Al-Mustakhrōj, Ibnul Ja’ad no. 956 dalam Musnadnya, Ishaq bin Rahawaih no. 1313 dan 1314 dalam Musnadnya, An-Nasa`i no. 7991, 7992, dan 7993, dan 11582 dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ath-Thobroni no. 2194 dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, Abu Nu’aim II/260 dalam Hilyatul Auliyâ`, Ibnu Adh-Dhurois no. 29, 30, 33, dan 35 dalam Fadhō`ilul Qur`ân, dan Al-Faryabi no. 3, 4, dan 5 dalam Fadhō`ilul Qur`ân dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Sengaja penulis mencantumkan redaksi Imam Muslim karena ini yang masyhur beredar dipopulerkan oleh Imam an-Nawawi, tetapi dalam Arbain Muttafaqun ‘Alaih penyusun mencantumkan redaksi Imam Al-Bukhori:

«مَثَلُ الَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهُوَ حَافِظٌ لَهُ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ، وَمَثَلُ الَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهُوَ يَتَعَاهَدُهُ وَهُوَ عَلَيْهِ شَدِيدٌ فَلَهُ أَجْرَانِ»

“Perumpamaan orang yang membaca Al-Qur’an sedang dia hafal, bersama Malaikat yang mulia lagi taat. Perumpamaan orang yang membacanya dengan terbata-bata dan berat membacanya, maka dia mendapat dua pahala.”

[36] Shohih: HR. Ahmad no. 6626, XI/199 dalam Musnadnya, Al-Hakim no. 2036 dalam Al-Mustadrâk, Ath-Thobroni no. 88 dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr, Ibnul Mubarok no. 96 dalam Musnadnya dan (II/114 dalam Az-Zuhd war Raqō`iq, dan Abu Nu’aim VIII/161 dalam Hilyatul Auliyâ` dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma. Al-Hakim berkata, “Ini hadits Shohih sesuai syarat Muslim tetapi tidak dikeluarkannya.”

[37] Shohih: HR. At-Tirmidzi no. 2915, V/178, Al-Hakim no. 2029 dalam Al-Mustadrâk, Ibnu Abi Syaibah no. 30047 dalam Mushannafnya, Ad-Darimi no. 3354 dalam Sunannya, Ibnul ‘Arabi no. 399 dalam Mu’jamnya, Abu Nu’aim VII/206 dalam Hilyatul Auliyâ`, Al-Baihaqi no. 1841 dan 1842 dalam Syu’abul Iman, dan Ibnu Adh-Dhurois no. 101 dan 109 dalam Fadhō`ilul Qur`ân dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu.

[38] Hasan: HR. Ahmad no. 17365, XXVIII/595 dalam Musnadnya, Ad-Darimi no. 3353 dalam Sunannya, Abu Ya’la no. 1745 dalam Musnadnya, Ar-Ruya`i no. 216 dalam Musnadnya, Ath-Thohawi no. 906 dalam Syarh Musykilul Atsâr, Ibnu Syahin no. 197 dalam at-Targhîb, Al-Baihaqi no. 582 dalam Al-Asmâ` dan no. 2443 dalam Syu’abul Iman, dan Al-Faryabi no. 1 dalam Fadhō`ilul Qur`ân dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu.

Dinilai dho’if oleh Al-Haitsami, Husain Salim Asad, dan Syu’aib Al-Arna`uth tetapi Al-Albani menilainya hasan di Ash-Shahîhah no. 3562 dan mengatakan untuk mengabaikan penilaian mereka atas Ibnu Lahi’ah, karena ada jalur lain yang menguatkan. Allah a’lam. Al-Albani berkata, “Maksudnya, yakni hamilul Qur’an yang menghafalnya murni karena Allah ta’ala, tidak mengharap balasan dan pujian manusia, hanya karena Allah. Jika tidak, maka seperti yang dikatakan Abu Abdirahman ‘Abdullah bin Yazid Al-Muqri` di Musnad Abu Ya’lâ, ‘Siapa yang menghafal Al-Qur’an dan dimasukkan Neraka, sungguh dia lebih lebih buruk daripada keledai.’”

[39] Hasan Shohih: HR. Abu Dawud no. 1464, II/73, At-Tirmidzi no. 2914, An-Nasa`i no. 8002 dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ahmad no. 6799 dalam Musnadnya, Ibnu Hibban no. 766 dalam Shahîhnya, Al-Hakim no. 2030 dalam Al-Mustadrâk, Al-Baihaqi no. 988 dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan no. 2425 dalam As-Sunan Al-Kubrâ dan no. 1844 dan 1970 dalam Syu’abul Iman, Ibnu Abi Syaibah no. 30057 dalam Mushannafnya, Ibnu Adh-Dhurois no. 112, 113, dan 114 dalam Fadhō`ilul Qur`ân, Al-Faryabi no. 60 dan 61 dalam Fadhō`ilul Qur`ân, dan Al-Ajurri no. 9 dan 10 dalam Akhlâqu Ahlil Qur`ân dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma.

[40] Shohih: HR. Ad-Darimi no. 3517, IV/2180 dalam Sunannya, Al-Baihaqi no. 1907 dalam Syu’abul Imân, Ibnu adh-Dharais no. 84 dalam Fadhō`ilul Qur`ân, dan Al-Faryabi no. 83 dalam Fadhō`ilul Qur`ân. Dinilai Shohih oleh Al-Baihaqi dan Husain Salim Asad.

b. HR. Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam hal. 108 dalam Fadhō`ilul Qur`ân dan Ibnu Adh-Dhurois no. 76 dalam Fadhō`ilul Qur`ân. Diriwayatkan bahwa Imam Al-Bukhori juga mengatakan hal yang sama. Allahu a’lam.

c. Muttafaqun ‘Alaih: HR. Muslim no. 795, I/547, Al-Bukhori no. 4839, At-Tirmidzi no. 2885, An-Nasa`i no. 11439 dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ahmad no. 18591 dalam Musnadnya, Ibnu Hibban no. 769 dalam Shahîhnya, Ath-Thoyalisi no. 749 dalam Musnadnya, Abu ‘Awanah no. 3938 dalam Musnadnya, Abu Ya’la no. 1722 dalam Musnadnya,  dan Abu Nu’aim IV/342 dalam Al-Hilyah dari Al-Barra` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu.

[41] Shohih: HR. Muslim no. 746, I/512, Abu Dawud no. 1342, Ahmad no. 24269 dalam Musnadnya, Ibnu Khuzaimah no. 1127 dalam Shahîhnya, Ibnu Hibban no. 2551 dalam Shahîhnya, dan Al-Baihaqi no. 1359 dalam Syu’abul Iman.

b. Shohih: HR. Ahmad no. 24601, IXL/148 dalam Musnadnya, Ath-Thobroni no. 72 dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, dan Al-Bukhori (I/87 dalam Khalqu Af’âlil Ibâd.

[42] Shohih: HR. Al-Hakim no. 3952, II/576 dalam Al-Mustadrâk dan Al-Baihaqi no. 2450 dalam Syu’abul Imân. Al-Hakim berkata, “Ini hadits Shohih sanadnya tetapi Al-Bukhori Muslim tidak mengeluarkannya,” dan disetujui adz-Dzahabi.

/

 



[1] Yang dimaksud “tujuh yang pertama” adalah tujuh surat-surat panjang di awal Al-Qur’an, yaitu surat Al-Baqorah 286 ayat, Ali Imron 200 ayat, An-Nisa` 176 ayat, Al-Ma`idah 120 ayat, Al-An’am 165 ayat, Al-A’raf 206 ayat, At-Taubah 129 ayat. Adapun pendapat Sa’id bin Jubair, surat Yunus sebagai ganti At-Taubah. Al-Anfal dulu dianggap satu surat dengan At-Taubah, karena satu tema sehingga tanpa basmalah.

[2] Tujuh surat yang panjang dari Al-Baqoroh sampai Yunus atau Al-Baqoroh sampai Taubah. Ia mewakili kitab Taurot yang diberikan kepada Musa.

[3] Yakni surat yang ayatnya lebih dari 100 seperti Al-Kahfi, dan ia mewakili Zabur yang diberikan kepada Dawud.

[4] Yakni surat-surat yang ayatnya kurang dari 100 seperti Al-Ahqof, dan ia mewakili Injil yang diberikan kepada Isa.

[5] Yakni Qof sampai An-Nas, dan ia menambah keunggulan Al-Qur’an.

[6] Tujuh ayat yang diulang-ulang, yaitu Al-Fatihah. Secara umum, isi Al-Qur’an mengungguli semua Kitab yang pernah Allah turunkan, terutama Al-Fatihah.

[7] Maksudnya tidak dibacakan Al-Qur’an di dalamnya seperti kuburan, karena kuburan bukan tempat membaca Al-Qur’an.

[8] Yakni dosanya di antara dua Jum’at diampuni atau hatinya diterangi cahaya sehingga melenyapkan gelapnya dosa dan membimbingnya kepada ketaatan.

[9] Yakni memuliakan ahli Qur’an sewajarnya, tidak boleh berlebihan hingga mengkultuskannya dan tidak boleh merendahkannya hingga mengabaikannya. Juga mengandung makna dua sifat ahli Qur’an yaitu tidak berlebihan membacanya hingga meninggalkan berbagai kewajiban dan tidak meremehkannya hingga tidak dibaca/dimurojaah.

[10] Muhammad Fuad Abdul Baqi berkata, “Yakni yang paling banyak hafalannya dan paling baik bacaan tajwidnya.” (Ta’lîq Sunan Ibnu Mâjah, I/313)

[11] Iri disini bermakna ghibthah, yakni berharap memiliki apa yang dimiliki orang lain tanpa berharap yang dimiliki itu hilang dari pemiliknya, ini berbeda dengan iri yang dilarang di mana orang yang iri berharap nikmat itu hilang dari pemiliknya.

[12] Maksudnya tingkatanmu di Surga sebanyak ayat yang kamu baca saat di dunia, dan kamu terus naik hingga berhenti di akhir ayat terakhir yang pernah kamu baca.

[13] QS. At-Tîn [95]: 5-6.

Related

TERJEMAH HADITS DAN MUSTHOLAH 2734910853008557382

Posting Komentar

  1. Bismillah, afwan Ustadz izin mengambil manfaat dari file ini
    Jazakumullahu khairan

    BalasHapus

Terima kasih atas komentar Anda yang sopan dan rapi.

emo-but-icon

Total Tayangan Halaman

WAKAF MUSHAF

WAKAF MUSHAF

Tentang Admin

Penulis bernama Nor Kandir ini kelahiran Jepara. Semenjak kecil tertarik dengan membaca terutama tentang alam ghoib dan huru-hara Hari Kiamat. Alumni Mahad Raudlatul Ulum Pati ini juga pernah nyantri di Mahad Tahfizh Qur'an Wadi Mubarok Bogor dan Pondok Mahasiswa Thaybah Surabaya dibawah asuhan Ust. Muhammad Nur Yasin, Lc dan beliau adalah guru utama penulis.

Gelar akademik penulis diperoleh di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya dan LIPIA Surabaya (cabang Universitas Al Imam di Riyadh KSA). Sekarang terdaftar sebagai mahasiswa Akademi Zad Arab Saudi dan Universitas Murtaqo Kuwait. Sertifikat yang diperoleh: ijazah sanad Kutub Sittah (Bukhori, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah) dari Majlis Sama' bersama Dr. Abdul Muhsin Al Qosim dan Syaikh Samir bin Yusuf Al Hakali, juga matan-matan 5 semester Dr. Abdul Muhsin Al Qosim seperti Arbain, kitab² Muhammad bin Abdul Wahhab, Aqidah Wasithiyyah, Thohawiyah, Jurumiyah, Jazariyah, dll. Juga sertifikat hafalan Umdatul Ahkam dari Markaz Huffazhul Wahyain bersama Syaikh Abu Bakar Al Anqori. Kesibukan hariannya adalah mengajar bahasa Arob, dan menerjemahkan kitab-kitab yang diupload secara gratis di www.terjemahmatan.com

PENTING

Semua buku di situs ini adalah legal dan telah mendapatkan izin dari penerbit dan penulisnya untuk dicetak, disebar, dan dimanfaatkan dalam bentuk apapun. Boleh dikomersialkan dengan syarat: meminta izin ke penulis dan harganya dibuat murah (tanpa royalti penulis).

Bagi yang membutuhkan file wordnya untuk keperluan dakwah, bisa menghubungi Penulis di 085730-219-208.

Barokallahu fikum.

Pengikut

Hot in week

Arsip Blog

item