[PDF] Tarjamah Lum'atul I'tiqod - Secercah Cahaya Aqidah Hanabilah - Edisi 3 - Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (620 H)
﷽
الحَمْدُ لِلّٰهِ المَحْمُودِ بِكُلِّ لِسَانٍ،
المَعْبُودِ فِي كُلِّ زَمَانٍ، الَّذِي لَا يَخْلُو مِنْ عِلْمِهِ مَكَانٌ، وَلَا
يَشْغَلُهُ شَأْنٌ عَنْ شَأْنٍ، جَلَّ عَنِ الأَشْبَاهِ وَالْأَنْدَادِ، وَتَنَزَّهَ
عَنِ الصَّاحِبَةِ وَالأَوْلَادِ، وَنَفَذَ حُكْمُهُ فِي جَمِيعِ العِبَادِ، لَا تُمَثِّلُهُ
العُقُولُ بِالتَّفْكِيرِ، وَلَا تَتَوَهَّمُهُ القُلُوبُ بِالتَّصْوِيرِ
Dengan menyebut nama Alloh yang kekal kasih sayang-Nya dan sangat sayang
kepada makhluk-Nya.
Segala puji milik Alloh Yang dipuji oleh setiap lisan, Yang disembah di
setiap waktu, Yang tidak ada tempat manapun yang tidak terjangkau oleh ilmu-Nya.
Urusan demi urusan tidak membuatnya sibuk. Dia Mahatinggi dari segala bentuk
keserupaan dan tandingan. Dia tersucikan dari memiliki istri dan anak.
Hukum-Nya berlaku kepada seluruh hamba. Akal pikiran tidak bisa
menggambarkan-Nya, tidak pula hati bisa membayangkannya dengan khayalan.
﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ﴾
“Tidak ada yang serupa dengan-Nya
dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS. Asy-Syūrō: 11)
لَهُ الأَسْمَاءُ الحُسْنَى وَالصِّفَاتُ العُلَا:
﴿الرَّحْمٰنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى * لَهُ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى * وَإِنْ
تَجْهَرْ بِالقَوْلِ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى﴾
Dia memiliki nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang mulia. Ar-Rohmān tinggi
di atas ‘Arsy. Milik-Nya segala di langit dan di bumi serta di antara keduanya,
juga di perut bumi. Jika kamu mengeraskan suara, sungguh Dia mengetahui apa
yang nampak dan tersembunyi.” (QS. Thōhā [20]: 5-7)
أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا، وَقَهَرَ كُلَّ مَخْلُوقٍ
عِزَّةً وَحُكْمًا، وَوَسِعَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا: ﴿يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ
بِهِ عِلْمًا﴾
Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Dia menguasai seluruh makhluk dengan
keperkasaan dan hikmah. Rohmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. “Dia
mengetahui apa yang ada di depan mereka (belum dikerjakan) dan apa yang ada di
belakang mereka (sudah dikerjakan), dan mereka tidak bisa menjangkau ilmu-Nya.”
(QS. Thōhā [20]: 110)
مَوْصُوفٌ بِمَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ
العَظِيمِ وَعَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ الكَرِيم
Dia disifati dengan sifat yang ditentukan sendiri oleh-Nya di Kitab-Nya
yang agung dan lewat lisan Nabi-Nya yang mulia.
[1. Beriman Kepada Sifat Alloh]
وَكُلُّ مَا جَاءَ فِي القُرْآنِ أَوْ صَحَّ عَنِ المُصْطَفَى
ﷺ مِنْ صِفَاتِ الرَّحْمٰنِ؛ وَجَبَ الإِيمَانُ بِهِ، وَتَلَقِّيهِ بِالتَّسْلِيمِ وَالْقَبُولِ، وَتَرْكُ
التَّعَرُّضِ لَهُ بِالرَّدِّ وَالتَّأْوِيلِ وَالتَّشْبِيهِ وَالتَّمْثِيلِ
Setiap kabar Al-Qur`an dan hadits shohih tentang sifat-sifat Ar-Rohmān
wajib diimani dan diterima dengan pasrah dan tidak membantahnya dengan menolak[1], mentakwil[2], tasybih, dan tamtsil[3].
وَمَا أَشْكَلَ مِنْ ذَلِكَ وَجَبَ إِثْبَاتُهُ لَفْظًا،
وَتَرْكُ التَّعَرُّضِ لِمَعْنَاهُ، وَنَرُدُّ عِلْمَهُ إِلَى قَائِلِهِ، وَنَجْعَلُ
عُهْدَتَهُ عَلَى نَاقِلِهِ، اِتِّبَاعًا لِطَرِيقِ الرَّاسِخِينَ فِي العِلْمِ، الَّذِينَ
أَثْنَى اللَّهُ عَلَيْهِمْ فِي كِتَابِهِ المُبِينِ بِقَوْلِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى:
﴿وَالرَّاسِخُونَ فِي العِلْمِ يَقُولُونَ اٰمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا﴾
Apa yang tersamar dari kabar tersebut maka wajib menetapkannya secara
lafazh dan tidak menolak maknanya dan mengembalikan ilmunya kepada Pengucapnya[4]. Kita menyerahkannya kepada penukilnya untuk
meneladani jalan orang-orang yang dalam keilmuannya yang Alloh puji mereka
dalam Kitab-Nya yang jelas dalam firman-Nya Subhānahu wa Ta’āla, “Dan
orang-orang yang dalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepadanya karena semuanya
berasal dari sisi Rob kami.’” (QS. Ali Imrōn [3]: 7)
وَقَالَ فِي ذَمِّ مُبْتَغِي التَّأْوِيلِ لِمُتَشَابِهِ
تَنْزِيلِهِ: ﴿فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا
تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ
إِلَّا اللَّهُ﴾
Alloh berfirman mencela orang-orang yang suka mencari-cari takwil
ayat-ayat mutasyabihat (tersamar)[5], “Adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada zaigh
(penyimpangan/ kesesatan/ kekufuran) akan mengikuti yang samar-samar untuk
mencari-cari fitnah dan mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang
mengetahui takwilnya kecuali Alloh.” (QS. Ali Imrōn: 7)
فَجَعَلَ ابْتِغَاءَ التَّأْوِيلِ عَلَامَةً عَلَى
الزَّيْغِ، وَقَرَنَهُ بِابْتِغَاءِ الفِتْنَةِ فِي الذَّمِّ، ثُمَّ حَجَبَهُمْ عَمَّا
أَمْلَوْهُ، وَقَطَعَ أَطْمَاعَهُمْ عَمَّا قَصَدُوهُ، بِقَوْلِهِ سُبْحَانَهُ: ﴿وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ﴾
Dia menjadikan mencari-cari takwil sebagai tanda zaigh dan
mengiringinya dengan celaan bagi yang mencari-cari fitnah. Kemudian Dia
menghalangi mereka dari mendapatkan itu dan memutus ketamakan tersebut lewat
firman-Nya, “Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Alloh.”
[2. Ucapan Para Imam Tentang Sifat Alloh]
1. [Ucapan Imam Ahmad]
قَالَ الإِمَامُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ أَحْمَدُ بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ فِي قَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ: «إِنَّ اللهَ يَنْزِلُ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا» أو
«إِنَّ اللهَ يُرَى فِي القِيَامَةِ» وَمَا
أَشْبَهَ هَذِهِ الأَحَادِيثِ: نُؤْمِنُ بِهَا، وَنُصَدِّقُ بِهَا، لَا كَيْفَ، وَلَا
مَعْنَى، وَلَا نَرُدُّ شَيْئًا مِنْهَا، وَنَعْلَمُ أَنَّ مَا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ
حَقٌّ، وَلَا نَرُدُّ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ
Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal tentang sabda Nabi ﷺ,
“Sesungguhnya Alloh turun ke langit dunia,” atau, “Sesungguhnya Alloh dilihat
di Hari Kiamat,” atau hadits-hadits yang serupa dengannya: “Kami mengimaninya
dan membenarkannya tanpa takyif[6] dan tanpa makna[7], juga kami tidak menolak sedikitpun. Kami
meyakini bahwa kabar dari Rosulullah ﷺ
benar dan kami tidak menolak apapun
dari Rosulullah ﷺ.
وَلَا نَصِفُ اللَّهَ بِأَكْثَرَ مِمَّا وَصَفَ بِهِ
نَفْسَهُ، بِلَا حَدٍّ وَلَا غَايَةٍ: ﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ﴾ وَنَقُولُ كَمَا قَالَ،
وَنَصِفُهُ بِمَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ، لَا نَتَعَدَّى ذَلِكَ، وَلَا يَبْلُغُهُ وَصْفُ
الوَاصِفِينَ
Kami tidak mensifati Alloh tanpa batas dan ujung (melampaui batas), melebihi
apa yang Dia sifati diri-Nya sendiri, ‘Tidak ada yang serupa dengan-Nya dan Dia
Maha Mendengar dan Maha Melihat.’ (QS. Asy-Syūrō: 11) Kami berucap
seperti firman-Nya dan mensifati-Nya seperti Sifat yang diberikan-Nya sendiri.
Kami tidak melampaui batas akan itu karena orang yang mensifati-Nya tidak akan
mampu melampaui-Nya.
نُؤْمِنُ بِالْقُرْآنِ كُلِّهُ مُحْكَمِهِ وَمُتَشَابِهِهِ،
وَلَا نُزِيلُ عَنْهُ صِفَةً مِنْ صِفَاتِهِ لِشَنَاعَةٍ شُنِّعَتْ، وَلَا نَتَعَدَّى
القُرْآنَ وَالْحَدِيثَ، وَلَا نَعْلَمُ كَيْفَ كُنْهُ ذَلِكَ إِلَّا بِتَصْدِيقِ
الرَّسُولِ ﷺ وَتَثْبِيتِ القُرْآنِ
Kami beriman kepada Al-Qur`an seluruhnya baik yang muhkam (ayat yang
jelas maknanya) dan mutasyabihat (ayat yang tersamar maknanya)[8]. Kami tidak menyimpangkan Sifat-Nya kepada sifat-sifat
yang dikreasikan akal. Kami tidak melampaui Al-Qur`an dan hadits. Kami tidak
tahu hakikatnya seperti apa, kami hanya membenarkan Rosulullah ﷺ dan
menetapkan Al-Qur`an.”
2. [Ucapan Imam As-Syafi’i]
قَالَ الإِمَامُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ
إِدْرِيسَ الشَّافِعِيُّ: أٰمَنْتُ بِاللَّهِ وَبِمَا جَاءَ عَنِ اللَّهِ عَلَى مُرَادِ اللَّهُ، وَأٰمَنْتُ بِرَسُولِ اللَّهِ، وَبِمَا
جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ، عَلَى مُرَادِ رَسُولِ اللَّهِ.
Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i berkata, “Aku beriman
kepada Alloh dan apa saja yang datang dari Alloh sesuai yang dikehendaki Alloh.
Aku beriman kepada Rosulullah dan apa saja yang datang dari Rosulullah sesuai
yang dikehendaki Rosulullah.”
وَعَلَى هَذَا دَرَجَ السَّلَفُ، وَأَئِمَّةُ الخَلَفِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، كُلُّهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى الإِقْرَارِ، وَالْإِمْرَارِ،
وَالْإِثْبَاتِ لِمَا وَرَدَ مِنَ الصِّفَاتِ فِي كِتَابِ اللَّهِ، وَسُنَّةِ رَسُولِهِ،
مِنْ غَيْرِ تَعَرُّضٍ لِتَأْوِيلِهِ، وَقَدْ أُمِرْنَا بِالِاقْتِفَاءِ لِآثَارِهِمْ،
وَالِاهْتِدَاءِ بِمَنَارِهِمْ.
Metode ini dipegang oleh Salaf dan para imam Kholaf (generasi setelah
Salaf) Rodhiyallahu ‘Anhum. Mereka semua sepakat mengukuhkan,
membiarkan, dan menetapkan Sifat-Sifat yang terdapat di dalam Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya tanpa membantahnya dengan takwil (mengartikan kepada
makna lain yang bukan kandungan lafazhnya). Kita diperintah untuk mengikuti
jejak-jejak mereka dan mengambil petunjuk dengan cahaya mereka.
وَحُذِّرْنَا المُحْدَثَاتِ، وَأُخْبِرْنَا أَنَّهَا
مِنْ الضَّلَالَاتِ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي، عَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ»
Kita juga diperingatkan dari perkara baru yang kita diberitahu bahwa itu termasuk kesesatan. Nabi ﷺ
bersabda: “Hendaklah kalian mengikuti Sunnahku dan Sunnah Khulafa Rosyidin yang
terbimbing. Pegang teguh ia dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Waspadalah
terhadap perkara yang baru dalam agama karena setiap perkara baru adalah bid’ah
dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”[9]
3. [Ucapan Ibnu Mas’ud]
وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ: «اتَّبِعُوا وَلَا تَبْتَدِعُوا
فَقَدْ كُفِيتُمْ».
‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ikutilah dan jangan berbuat bid’ah, karena
kalian sudah dicukupi.”
وَقَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ العَزِيزِ كَلَامًا مَعْنَاهُ:
قِفْ حَيْثُ وَقَفَ القَوْمُ، فَإِنَّهُمْ عَنْ عِلْمٍ وَقَفُوا، وَبِبَصَرٍ نَافِذٍ
كَفُّوا، وَهُمْ عَلَى كَشْفِهَا كَانُوا أَقْوَى، وَبِالْفَضْلِ لَوْ كَانَ فِيهَا
أَحْرَى
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata secara makna, “Berhentilah di mana para Sahabat
berhenti, karena mereka berhenti di atas ilmu, dan dengan pandangan terang
mereka menahan diri. Mereka lebih kuat dalam memahaminya dan lebih layak dengan
keutamaan, andai ada di dalamnya.
فَلَئِنْ قُلْتُمْ حَدَثَ بَعْدَهُمْ، فَمَا أَحْدَثَهُ
إِلَّا مَنْ خَالَفَ هَدْيَهُمْ، وَرَغِبَ عَنْ سُنَّتِهِمْ، وَلَقَدْ وَصَفُوا مِنْهُ
مَا يَشْفِي، وَتَكَلَّمُوا مِنْهُ بِمَا يَكْفِي، فَمَا فَوْقَهُمْ مُحَسِّرٌ، وَمَا
دُونَهُمْ مُقَصِّرٌ، لَقَدْ قَصَّرَ عَنْهُمْ قَوْمٌ فَجَفَوْا، وَتَجَاوَزَهُمْ آخَرُونَ
فَغَلَوْا، وَإِنَّهُمْ فِيمَا بَيْنَ ذَلِكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ.
Jika kalian berkata, ‘Telah terjadi perkara baru sepeninggal mereka.’ Tidak
ada perkara baru (yang dibuat seseorang) melainkan sebabnya karena orang itu
menyelisihi petunjuk mereka dan membenci Sunnah mereka. Para Sahabat telah
mensifati-Nya dengan apa yang memuaskan dan berbicara tentang-Nya dengan apa
yang mencukupi. Apa yang di luar itu hanya kerugian dan apa yang di bawah itu
hanya kehinaan. Sungguh kaum tersebut berhenti, tetapi orang-orang justru
meremehkan atau melampaui batas sehingga mereka ghuluw (berlebihan).
Adapun kaum yang berada di antara hal tersebut benar-benar di atas jalan yang
lurus.”
4. [Pendapat Al-Auzai]
وَقَالَ الإِمَامُ أَبُو عَمْرٍو الأَوْزَاعِيُّ: «عَلَيْكَ بِآثَارِ مَنْ سَلَفَ
وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ، وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ الرِّجَالِ وَإِنْ زَخْرَفُوهُ لَكَ
بِالْقَوْلِ».
Imam Abu ‘Umar Al-Auzai berkata, “Hendaklah kalian mengambil jejak-jejak kaum
Salaf (Sahabat dan Tabi’in) meskipun menyebabkan manusia meninggalkanmu.
Waspadalah akan pendapat-pendapat baru (bid’ah) meskipun mereka menghiasai
ucapannya tersebut kepadamu.”
5. [Sanggahan Al-Adromi Kepada Ahli
Bid’ah]
وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ الأَدْرَمِيُّ لِرَجُلٍ تَكَلَّمَ
بِبِدْعَةٍ وَدَعَا النَّاسَ إِلَيْهَا: هَلْ عَلِمَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَأَبُو
بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ، أَوْ لَمْ يَعْلَمُوهَا؟ قَالَ: لَمْ يَعْلَمُوهَا.
قَالَ: فَشَيْءٌ لَمْ يَعْلَمْهُ هَؤُلَاءِ عَلِمْتَهُ أَنْتَ؟ قَالَ الرَّجُلُ: فَإِنِّي
أَقُولُ قَدْ عَلِمُوهَا. قَالَ: أَفَوَسِعَهُمْ أَلَّا يَتَكَلَّمُوا بِهِ، وَلَا
يَدْعُوا النَّاسَ إِلَيْهِ، أَمْ لَمْ يَسَعْهُمْ؟ قَالَ: بَلَى وَسِعَهُمْ، قَالَ:
فَشَيْءٌ وَسِعَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَخُلَفَاءَهُ، لَا يَسَعُكَ أَنْتَ؟ فَانْقَطَعَ
الرَّجُلُ، فَقَالَ الخَلِيفَةُ وَكَانَ حَاضِرًا: لَا وَسَّعَ اللَّهُ عَلَى مَنْ
لَمْ يَسَعْهُ مَا وَسِعَهُمْ.
Muhammad bin ‘Abdurrohmān Al-Adromi berkata kepada seseorang yang berbicara
bid’ah dan mendakwahkannya kepada manusia, “Apakah hal itu diajarkan Rosulullah,
Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali? Atau justru mereka tidak mengetahuinya?”
Jawabnya, “Mereka tidak mengetahuinya?” Ia berkata, “Mungkinkah ada sesuatu
yang tidak mereka ketahui tetapi diketahui olehmu?” Lelaki itu menjawab, “Aku
ralat bahwa mereka mengajarkannya.” Al-Adromi berkata, “Apakah mereka mampu
membicarakannya tetapi tidak mendakwahkannya kepada manusia? Atau mereka tidak
mampu?” Jawabnya, “Bahkan mereka mampu.” Al-Adromi berkata, “Mungkinkah sesuatu
yang Rosulullah ﷺ dan para kholifahnya merasa cukup (tidak membicarakan Sifat Alloh
secara berlebihan) tetapi justru kamu tidak?” Lelaki itu pun terpatahkan. Kholifah
yang hadir di sana berkata, “Alloh tidak memberi kecukupan kepada orang yang
tidak merasa cukup atas apa yang membuat mereka (para Sahabat) cukup.”
وَهَكَذَا مَنْ لَمْ يَسَعْهُ مَا وَسِعَ رَسُولَ اللَّهِ
ﷺ وَأَصْحَابَهُ وَالتَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ، وَالْأَئِمَّةَ مِنْ بَعْدِهِمْ،
وَالرَّاسِخِينَ فِي العِلْمِ، مِنْ تِلَاوَةِ آيَاتِ الصِّفَاتِ، وَقِرَاءَةِ أَخْبَارِهَا،
وَإِمْرَارِهَا كَمَا جَاءَتْ، فَلَا وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ.
Demikianlah siapa saja yang tidak merasa cukup dengan apa yang mencukupi Rosulullah
ﷺ, para Sahabatnya,
dan Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, serta para imam sepeninggal
mereka dan orang-orang yang mendalam keilmuannya dalam membaca ayat-ayat Sifat
dan membaca kabar-kabar-Nya dan membiarkannya apa adanya, maka Alloh tidak akan
memberi kecukupan kepadanya.
[3. Ayat-Ayat Sifat]
1. [Sifat Wajah]
فَمِمَّا جَاءَ مِنْ آيَاتِ الصِّفَاتِ قَوْلُ اللَّهِ
عَزَّ وَجَلَّ: ﴿وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ﴾
Di antara ayat-ayat Sifat adalah firman Alloh Azza wa Jalla, “Wajah Rob-mu
kekal.” (QS. Ar-Rohmān: 27)
2. [Sifat Tangan]
وَقَوْلُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: ﴿بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ﴾
Juga firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala, “Bahkan kedua Tangan-Nya
terbentang.” (QS. Al-Maidah: 64)
3. [Sifat Jiwa]
وَقَوْلُهُ تَعَالَى إِخْبَارًا عَنْ عِيسَى عَلَيهِ
السَّلَامُ أَنَّهُ قَالَ: ﴿تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ
مَا فِي نَفْسِكَ﴾
Juga firman-Nya yang mengabarkan ‘Isa ‘Alaihissalam bahwa ia
berkata, “Engkau tahu apa yang ada di dalam jiwaku dan aku tidak tahu apa yang
di dalam Jiwa-Mu.” (QS. Al-Maidah: 116)
4. [Sifat Datang]
وَقَوْلُهُ سُبْحَانَهُ: ﴿وَجَاءَ رَبُّكَ﴾
Juga firman-Nya Subhānahū wa Ta’ālā, “Datanglah Rob-mu.” (QS.
Al-Fajr: 22)
وَقَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللَّهُ﴾
Juga firman-Nya Ta’ala, “Tidak ada yang mereka tunggu selain Alloh
mendatangi mereka.” (QS. Al-Baqoroh: 210)
5. [Sifat Ridho]
وَقَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ﴾
Juga firman-Nya Ta’ala, “Alloh ridho kepada mereka, dan mereka ridho
kepada-Nya.” (QS. At-Taubah: 100)
6. [Sifat Cinta]
وَقَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ﴾
Juga firman-Nya Ta’ala, “Dia mencintai mereka dan mereka
mencintai-Nya.” (QS. Al-Maidah: 54)
7. [Sifat Murka]
وَقَوْلُهُ تَعَالَى فِي الكُفَّارِ: ﴿وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ﴾
Juga firman-Nya Ta’ala tentang orang kafir, “Alloh murka kepada
mereka.” (QS. Al-Fath: 6)
وَقَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ﴾
Juga firman-Nya Ta’ala, “Mereka mengikuti apa yang membuat Alloh
murka.” (QS. Muhammad: 28)
8. [Sifat Benci]
وَقَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ﴾
Juga firman-Nya Ta’ala, “Alloh membenci keberangkatan mereka.” (QS.
At-Taubah: 46)
[4. Hadits-Hadits Sifat]
1. [Sifat Turun]
وَمِنَ السُّنَّةِ قَوْلُ النَّبِيِّ ﷺ: «يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى سَمَاءِ
الدُّنْيَا»
Di antara hadits-hadits (tentang Sifat) adalah sabda Nabi ﷺ, “Rob
kita Tabāroka wa Ta’āla turun setiap malam ke langit dunia.”[10]
2. [Sifat Takjub]
وَقَوْلُهُ: «يَعْجَبُ
رَبُّكَ مِنَ الشَّابِّ لَيْسَتْ لَهُ صَبْوَةٌ»
Juga sabda beliau, “Rob-mu kagum kepada pemuda yang tidak memiliki
syahwat.”[11]
3. [Sifat Tertawa]
وَقَوْلُهُ: «يَضْحَكُ
اللَّهُ إِلَى رَجُلَيْنِ قَتَلَ أَحَدُهُمَا الآخَرَ ثُمَّ يَدْخُلَانِ الجَنَّةَ»
Juga sabda beliau, “Alloh tertawa kepada dua orang yang satu membunuh
lainnya lalu keduanya masuk Surga.”[12]
فَهَذَا وَمَا أَشْبَهُهُ مِمَّا صَحَّ سَنَدُهُ، وَعُدِّلَتْ
رُوَاتُهُ؛ نُؤْمِنُ بِهِ، وَلَا نَرُدُّهُ، وَلَا نَجْحَدُهُ، وَلَا نَتَأَوَّلُهُ
بِتَأْوِيلٍ يُخَالِفُ ظَاهِرَهُ، وَلَا نُشَبِّهُهُ بِصِفَاتِ المَخْلُوقِينَ، وَلَا
بِسِمَاتِ المُحْدَثِينَ.
Hadits ini dan yang serupa dengan sanad yang shohih dan terpercaya perowinya,
kami mengimaninya, tidak menolaknya, tidak mengingkarinya, dan tidak
mentakwilnya dengan takwil yang menyelisihi lahiriyah lafazh, tidak
menyerupakannya dengan sifat makhluk dan segala yang baru.
وَنَعْلَمُ أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَا
شَبِيهَ لَهُ، وَلَا نَظِيرَ ﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ
البَصِيرُ﴾ وَكُلُّ مَا تُخُيِّلَ فِي الذِّهْنِ، أَوْ خَطَرَ بِالْبَالِ، فَإِنَّ اللَّهَ
تَعَالَى بِخِلَافِه.ِ
Kami yakin bahwa Alloh Subhānahū wa Ta’ālā tidak ada yang
menyerupai-Nya dan tidak ada bandingan-Nya, “Tidak ada yang serupa dengan-Nya
dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS. Asy-Syūrō: 11) Apapun
yang terbayang dalam benak atau terlintas di akal maka dipastikan Alloh tidak
seperti itu.
4. [Sifat Tinggi]
وَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿الرَّحْمٰنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى﴾
Di antaranya pula adalah firman-Nya Ta’ala, “Ar-Rohmān tinggi[13] di atas ‘Arsy.” (QS. Thōhā: 5)
وَقَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ﴾
Juga firman-Nya Ta’ala, “Apakah kalian merasa aman dari (siksa) Yang
di langit?” (QS. Al-Mulk: 16)
وَقَوْلُ النَّبِيِّ ﷺ: «رَبَّنَا اللَّهُ الَّذِي فِي السَّمَاءِ تَقَدَّسَ اسْمُكَ»
Juga sabda Nabi ﷺ, “Wahai Rob kami Alloh yang di atas langit, Mahasuci nama-Mu.”[14]
وَقَالَ لِلْجَارِيَةِ: «أَيْنَ اللَّهُ؟» قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ، قَالَ: «أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ» رَوَاهُ مَالِكُ
بْنُ أَنَسٍ، وَمُسْلِمٌ وَغَيْرُهُمَا مِنَ الأَئِمَّةِ
Juga sabda beliau kepada budak wanita, “Di mana Alloh?” Jawabnya, “Di atas
langit.” Beliau bersabda, “Bebaskan dia karena ia wanita beriman.” Diriwayatkan
Muslim, Malik bin Anas dan imam-imam selain keduanya.[15]
وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ لِحُصَيْنٍ: «كَمْ إِلٰهًا تَعْبُدُ؟» قَالَ: سَبْعَةً، سِتَّةً فِي الأَرْضِ وَوَاحِدًا فِي السَّمَاءِ، قَالَ: «مَنْ لِرَغْبَتِكَ وَرَهْبَتِكَ؟» قَالَ: الَّذِي فِي
السَّمَاءِ، قَالَ: «فَاتْرُكِ السِّتَّةَ وَاعْبُدِ الَّذِي
فِي السَّمَاءِ، وَأَنَا أُعَلِّمُكَ دَعْوَتَيْنِ فَأَسْلِمْ» وَعَلَّمَهُ
النَّبِيُّ ﷺ أَنْ يَقُولَ: «اَللَّهُمَّ أَلْهِمْنِي رُشْدِي
وَقِنِي شَرَّ نَفْسِي»
Nabi ﷺ
bersabda ke Hushoin, “Berapa yang kamu sembah?” Jawabnya, “Tujuh. Enam di bumi
dan satu di langit.” Beliau bertanya, “Kepada siapa yang kamu gantungkan
harapanmu dan rasa takutmu?” Jawabnya, “Kepada Yang di langit.” Kata beliau,
“Tinggalkan yang enam dan sembahlah Yang di atas langit. Akan kuajari kamu dua
doa dengan syarat masuk Islam.” Lalu Nabi ﷺ mengajarinya doa, “Ya Alloh
bimbinglah aku dan jagalah aku dari keburukan jiwaku.”[16]
وَفِيمَا نُقِلَ مِنْ عَلَامَاتِ النَّبِيِّ ﷺ وَأَصْحَابِهِ
فِي الكُتُبِ المُتَقَدِّمَةِ: أَنَّهُمْ يَسْجُدُونَ بِالأَرْضِ وَيَزْعُمُونَ أَنَّ
إِلٰهَهُمْ فِي السَّمَاءِ
Di antara yang dinukil tentang tanda-tanda Nabi ﷺ dan para Sahabatnya dalam
kitab-kitab terdahulu adalah mereka sujud di atas bumi dan yakin Tuhan mereka
di atas langit.
وَرَوَى أَبُو دَاوُدَ فِي سُنَنِهِ أَنَّ النَّبِيَّ
ﷺ قَالَ: «إِنَّ مَا بَيْنَ سَمَاءٍ إِلَى سَمَاءٍ مَسِيرَةَ
كَذَا وَكَذَا» وَذَكَرَ الخَبَرَ إِلَى قَوْلِهِ: «وَفَوْقَ ذَلِكَ العَرْشُ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ فَوْقَ ذَلِكَ»
Abu Dawud meriwayatkan di dalam Sunannya bahwa Nabi ﷺ
bersabda, “Sesungguhnya jarak antara langit hingga langit berikutnya adalah
sekian dan sekian,” hingga disebutkan, “Di atasnya ada ‘Arsy dan Alloh Subhānahū
wa Ta’ālā di atas itu.”[17]
فَهَذَا وَمَا أَشْبَهَهُ مِمَّا أَجْمَعَ السَّلَفُ
رَحِمَهُمُ اللَّهُ عَلَى نَقْلِهِ وَقَبُولِهِ، وَلَمْ يَتَعَرَّضُوا لِرَدِّه، وَلَا
تَأْوِيلِهُ، وَلَا تَشْبِيهِهِ، وَلَا تَمْثِيلِهِ.
Hadits ini dan yang serupa dengannya telah disepakati kaum Salaf Rohimahumullah
atas penukilan dan diterimanya. Mereka tidak membantahnya dengan menolaknya,
mentakwilnya, tasybih, dan tamtsil.
سُئِلَ الإِمَامُ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ رَحِمَهُ اللَّهُ،
فَقِيلَ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ﴿الرَّحْمٰنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى﴾ كَيْفَ اسْتَوَى؟
فَقَالَ: الِاسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُولٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُولٍ، وَالْإِيمَانُ
بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ، ثُمَّ أَمَرَ بِالرَّجُلِ فَأُخْرِجَ.
Imam Malik bin Anas Rohimahullah ditanya, “Wahai Abu ‘Abdillah, Ar-Rohmān
di atas ‘Arsy, bagaimana hakikat istiwā (ketinggian Alloh)?” Jawabnya, “Istiwā
telah dimaklumi, hakikatnya tidak diketahui, mengimaninya wajib, dan
menanyakannya bid’ah.” Kemudian diperintahkan agar lelaki itu diusir.
5. [Sifat Kalam]
وَمِنْ صِفَاتِ اللَّهِ تَعَالَى، أَنَّهُ مُتَكَلِّمٌ
بِكَلَامٍ قَدِيمٍ، يَسْمَعْهُ مِنْهُ مَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ، سَمِعَهُ مُوسَى عَلَيْهِ
السَّلَامُ مِنْهُ مِنْ غَيْرِ وَاسِطَةٍ، وَسَمِعَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ،
وَمَنْ أَذِنَ لَهُ مِنْ مَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ
Di antara Sifat Alloh adalah berbicara dengan kalam qodim
(terdahulu) yang didengar oleh siapa yang dikehendaki-Nya dari makhluk-Nya.
Musa ‘Alaihissalam mendengarnya tanpa perantara, Jibril ‘Alaihissalam
mendengarnya, juga siapa yang diizinkan dari para Malaikat-Nya dan Rosul-Rosul-Nya.
وَأَنَّهُ سُبْحَانَهُ يُكَلِّمُ المُؤْمِنِينَ فِي
الآخِرَةِ، وَيُكَلِّمُونَهُ، وَيَأْذَنُ لَهُمْ فَيَزُورُونَهُ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:
﴿وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا﴾
Alloh Subhānahū wa Ta’ālā berbicara dengan orang-orang beriman di Akhirat
dan mereka juga demikian. Dia mengizinkan mereka mengunjungi-Nya. Alloh Subhānahū
wa Ta’ālā berfirman, “Alloh berbicara kepada Musa dengan sebenarnya.” (QS.
An-Nisā: 164)
وَقَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿يَا مُوسَى إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالَاتِي
وَبِكَلَامِي﴾
Juga firman-Nya Subhānah, “Wahai Musa sesungguhnya Aku telah
memilihmu atas seluruh manusia dengan risalah-Ku dan kalam-Ku.” (QS.
Al-A’rof: 144)
وَقَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ﴾
Juga firman-Nya Subhānah, “Di antara mereka (para Nabi) ada yang Alloh
ajak bicara.” (QS. Al-Baqoroh: 253)
وَقَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا
أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ﴾
Juga firman-Nya Subhānah, “Tidak mungkin bagi manusia untuk Alloh
berbicara kepada-Nya kecuali lewat wahyu atau dari belakang tabir.” (QS.
Asy-Syūrō: 51)
وَقَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿فَلَمَّا أَتَاهَا نُودِيَ يَا مُوسَى * إِنِّي أَنَا رَبُّكَ
فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ المُقَدَّسِ طُوًى﴾
Juga firman-Nya Subhānah, “Ketika mendatanginya (lembah Thuwa), Musa
diseru, ‘Hai Musa, sesungguhnya Aku adalah Rob-mu maka lepaskanlah kedua
sandalmu. Sesungguhnya kamu di lembah Thuwa yang disucikan.” (QS. Thōhā:
11-12)
وَقَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي﴾
Juga firman-Nya Subhānah, “Sesungguhnya Aku adalah Alloh yang tidak
ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Aku, maka sembahlah Aku.” (QS.
Thōhā: 14)
وَغَيْرُ جَائِزٍ أَنْ يَقُولَ هَذَا أَحَدٌ غَيْرُ
اللَّهِ.
Tidak boleh mengatakan bahwa yang bicara ini pihak lain selain Alloh.
وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ: «إِذَا تَكَلَّمَ اللَّهُ بِالْوَحْيِ،
سَمِعَ صَوْتَهُ أَهْلُ السَّمَاءِ، رُوِيَ ذَلِكَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ».
‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Apabila Alloh berbicara wahyu maka suara-Nya
didengar oleh penduduk langit.” Ini diriwayatkan dari Nabi ﷺ.[18]
وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُنَيْسٍ، عَنِ النَّبِيِّ
ﷺ أَنَّهُ قَالَ: «يَحْشُرُ اللَّهُ الخَلَائِقَ يَوْمَ
القِيَامَةِ عُرَاةً حُفَاةً غُرْلاً بُهْمًا فَيُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مَنْ
بَعُدَ، كَمَا يَسْمَعُهُ مَنْ قَرُبَ: أَنَا المَلِكُ، أَنَا الدَّيَّانُ»
رَوَاهُ الأَئِمَّةُ، وَاسْتَشْهَدَ بِهِ البُخَارِيُّ.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Unais dari Nabi ﷺ bersabda, “Alloh menghimpun
manusia pada hari Kiamat dalam keadaan telanjang, tanpa alas kaki, tanpa
berkhitan, dan tanpa membawa apapun. Lalu ada yang memanggil mereka dengan
suara yang didengar oleh yang jauh seperti didengar oleh yang dekat, “Akulah
raja, Akulah Dayyan (Maha Membalas amal).’” Diriwayatkan oleh para imam.[19]
وَفِي بَعْضِ الآثَارِ أَنَّ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ
لَيْلَةً رَأَى النَّارَ، فَهَالَتْهُ فَفَزِعَ مِنْهَا، فَنَادَاهُ رَبُّهُ: «يَا مُوسَى» فَأَجَابَ سَرِيعًا اِسْتِئْنَاسًا بِالصَّوْتِ
فَقَالَ: لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ، أَسْمَعُ صَوْتَكَ، وَلَا أَرَى مَكَانَكَ، فَأَيْنَ
أَنْتَ؟ فَقَالَ: «أَنَا فَوْقَكَ، وَأَمَامَكَ، وَعَنْ
يَمِينِكَ، وَعَنْ شِمَالِكَ» فَعَلِمَ أَنَّ هَذِهِ الصِّفَةَ لَا تَنْبَغِي
إِلَّا لِلَّهِ تَعَالَى، قَالَ: كَذَلِكَ أَنْتَ يَا إِلَهِي، أَفَكَلَامَكَ أَسْمَعُ،
أَمْ كَلَامَ رَسُولِكَ؟ قَالَ: «بَلْ كَلَامِي يَا مُوسَى»
Dalam sebuah atsar (hadits) disebutkan bahwa Musa ‘Alaihissalam
pada suatu malam melihat api yang bergejolak sehingga membuatnya kaget, lalu Rob-nya
memanggilnya, “Hai Musa!” Maka ia menjawab segera dengan suara, “Aku penuhi,
aku penuhi. Aku mendengar suara-Mu dan tidak melihat tempat-Mu, di manakah
Engkau?” Alloh berfirman, “Aku di atasmu, di depanmu, di kananmu, dan di kirimu[20].” Dia pun menyadari bahwa Sifat ini tidak layak
kecuali milik Alloh Ta’ala. Musa berkata, “Engkau Rob-ku, apakah ini
kalam-Mu yang aku dengar atau kalam utusan-Mu (Malaikat)? Jawab-Nya, “Bahkan
kalam-Ku hai Musa.”
[Al-Qur’an
Kalamullah]
وَمِنْ كَلَامِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ القُرْآنُ العَظِيمُ
وَهُوَ كِتَابُ اللَّهِ المُبِينُ، وَحَبْلُهُ المَتِينُ، وَصِرَاطُهُ المُسْتَقِيمُ،
وَتَنْزِيلُ رَبِّ العَالَمِينَ، نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأَمِينُ، عَلَى قَلْبِ سَيِّدِ
المُرْسَلِينَ بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ، مُنَزَّلٌ غَيْرُ مَخْلُوقٍ، مِنْهُ بَدَأَ،
وَإِلَيْهِ يَعُودُ، وَهُوَ سُوَرٌ مُحْكَمَاتٌ، وَآيَاتٌ بَيِّنَاتٌ، وَحُرُوفٌ وَكَلِمَاتٌ
Yang termasuk Kalamullah adalah Al-Qur`an Al-Azhim, yaitu Kitabullah yang
jelas, tali-Nya yang kokoh, dan jalan-Nya yang lurus. Yang diturunkan oleh Rob
semesta alam. Yang dibawa turun oleh Ruhul Amin (Jibril) kepada qolbu
penghulu para Rosul dengan bahasa Arob yang jelas, yang diturunkan, bukan
makhluk. Dari-Nya ia berawal dan kepada-Nya ia kembali[21]. Ia adalah kumpulan surat-surat muhkamat (jelas)
dan ayat-ayat yang terang, baik huruf-hurufnya maupun kalimat-kalimatnya.
مَنْ قَرَأَهُ فَأَعْرَبَهُ فَلَهُ بِكُلِّ حَرْفٍ
عَشْرُ حَسَنَاتٍ، لَهُ أَوَّلٌ وَآخِرُ، وَأَجْزَاءٌ وَأَبْعَاضٌ، مَتْلُوٌ بِالْأَلْسِنَةِ، مَحْفُوظٌ فِي الصُّدُورِ،
مَسْمُوعٌ بِالْآذَانِ، مَكْتُوبٌ فِي المَصَاحِفِ، فِيهِ مُحْكَمٌ وَمُتَشَابِهٌ،
وَنَاسِخٌ وَمَنْسُوخٌ، وَخَاصٌّ وَعَامٌّ، وَأَمْرٌ وَنَهْيٌ ﴿لَا يَأْتِيهِ البَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ
تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ﴾
Siapa yang membacanya dengan i’rob[22] maka dia mendapat 10 kebaikan pada setiap hurufnya.
Ia memiliki awal dan akhir, berjuz-juz dan terbagi-bagi. Yang terbaca dengan
lisan-lisan, terjaga di hati-hati, didengar di telinga, tertulis di mushaf,
mengandung muhkam (jelas) dan mutasyabihat (tersamar maknanya
oleh sebagian orang), nasikh (yang menghapus) dan mansukh (yang
dihapus)[23], khos (khusus) dan amm (umum)[24], dan perintah dan larangan, “Kebatilan tidak
mendatanginya dari depan dan tidak pula dari belakang. Ia diturunkan dari Yang
Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.” (QS. Fush-shilat: 42)
وَقَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا
بِمِثْلِ هَذَا القُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ
ظَهِيرًا﴾
Juga firman-Nya Ta’ālā, “Katakanlah: ‘Sesungguhnya jika manusia dan
jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak
akan dapat membuat yang serupa, sekalipun mereka saling membantu dan kerjasama.’”
(QS. Al-Isrō: 88)
وَهُوَ هَذَا الكِتَابُ العَرَبِيُّ الَّذِي قَالَ
فِيهِ الَّذِينَ كَفَرُوا: ﴿لَنْ نُؤْمِنَ بِهَذَا القُرْآنِ﴾ وَقَالَ بَعْضُهُمْ: ﴿إِنْ هَذَا إِلَّا قَوْلُ البَشَرِ﴾ فَقَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ
وَتَعَالَى: ﴿سَأُصْلِيهِ سَقَرَ﴾
Inilah kitab berbahasa Arob yang dikomentari orang-orang kafir, “Kami tidak
beriman kepada Al-Qur`an ini.” (QS. Sabā: 31) dan ada pula yang
mengatakan: “Sesungguhnya ini hanya ucapan manusia.” (QS. Al-Muddatstsir:
25) Lalu Alloh Subhānahū wa Ta’ālā membantahnya: “Kelak Kami akan
memasukkannya ke Neraka Saqor.” (QS. Al-Muddatstsir: 26)
وَقَالَ بَعْضُهُمْ: هُوَ شِعْرٌ، فَقَالَ اللَّهُ
تَعَالَى: ﴿وَمَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِي
لَهُ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ﴾
Sebagian mereka berkata bahwa Al-Qur`an hanyalah syair lalu Alloh membatah
mereka, “Kami tidak mengajarinya syair dan memang tidak layak baginya
(Muhammad). Tidaklah ia melainkan peringatan dan bacaan yang jelas.” (QS. Yāsīn:
69)
فَلَمَّا نَفَى اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ شِعْرٌ، وَأَثْبَتَهُ
قُرْآنًا، لَمْ يُبْقِ شُبْهَةً لِذِي لُبٍّ فِي أَنَّ القُرْآنَ هُوَ هَذَا الكِتَابُ
العَرَبِيُّ الَّذِي هُوَ كَلِمَاتٌ وَحُرُوفٌ وَآيَاتٌ، لِأَنَّ مَا لَيْسَ كَذَلِكَ
لَا يَقُولُ أَحَدٌ: إِنَّهُ شِعْرٌ
Tatkala Alloh menafikan bahwa ia adalah syair dan menetapkannya sebagai
bacaan maka tidak ada lagi kesamaran bagi yang memiliki akal cerdas bahwa Al-Qur`an
adalah Kalamullah berbahasa Arob, baik kata-katanya, huruf-hurufnya, dan
ayat-ayatnya, karena jika benar bukan seperti itu tentu tidak ada yang
mengatakannya syair.
وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا
فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ﴾
Alloh Azza wa Jalla berfirman, “Jika kamu (tetap) dalam keraguan
tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu
surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Alloh,
jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqoroh: 23)
وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَحَدَّاهُمْ بِالْإِتْيَانِ
بِمِثْلِ مَا لَا يُدْرَى مَا هُوَ، وَلَا يُعْقَلُ.
Tidak mungkin dikatakan bahwa mereka ditantang untuk membuat yang serupa dengan
apa yang tidak diketahui hakikatnya dan tidak bisa dipahami.
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَإِذَا
تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا
ائْتِ بِقُرْآنٍ غَيْرِ هَذَا أَوْ بَدِّلْهُ قُلْ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أُبَدِّلَهُ
مِنْ تِلْقَاءِ نَفْسِي﴾ فَأَثْبَتَ أَنَّ القُرْآنَ هُوَ الآيَاتُ الَّتِي
تُتْلَى عَلَيْهِمْ
Dia Ta’ālā berfirman, “Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat
Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami
berkata: ‘Datangkanlah Al-Qur'an yang lain dari ini atau gantilah dia.’
Katakanlah: ‘Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku
tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut
jika mendurhakai Rob-ku kepada siksa hari yang besar (Kiamat).’” (QS. Yūnus:
15) Dia menetapkan bahwa Al-Qur`an adalah ayat-ayat yang dibacakan kepada
mereka.
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿بَلْ
هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا العِلْمَ﴾
Dia Ta’ālā juga berfirman, “Sebenarnya, Al-Qur’an itu adalah
ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.” (QS.
Al-Ankabut [29]: 49)
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ * فِي كِتَابٍ
مَكْنُونٍ * لَا يَمَسُّهُ إِلَّا المُطَهَّرُونَ﴾ بَعْدَ أَنْ أَقْسَمَ
عَلَى ذَلِكَ.
Dia Ta’ālā juga berfirman, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan
yang sangat mulia, pada Kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak
menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan (Malaikat).” (QS. Al-Wāqi’ah
[56]: 77-79) setelah Dia bersumpah atas itu.
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿كهيعص﴾،
﴿حم﴾، ﴿عسق﴾ وَافْتَتَحَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ سُورَةً بِالْحُرُوفِ المُقَطَّعَةِ.
Dia Ta’ālā juga berfirman: (كهيعص) dan (حم) serta
(عسق). Dia
membuka 29 surat dengan huruf-huruf terpotong (hurūful muqoththo’ah)
ini.
وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «مَنْ قَرَأَ القُرْآنَ فَأَعْرَبَهُ، فَلَهُ بِكُلِّ حَرْفٍ مِنْهُ عَشْرُ حَسَنَاتٍ،
وَمَنْ قَرَأَهُ وَلَحَنَ فِيهِ، فَلَهُ بِكُلِّ حَرْفٍ حَسَنَةٌ» حَدِيثٌ
صَحِيحٌ.
Nabi ﷺ
bersabda, “Siapa membaca Al-Qur`an dengan i’rob (kaidah bahasa dan
tajwid) maka dia mendapatkan pada setiap hurufnya 10 kebaikan dan siapa
membacanya dengan lahn (kesalahan i’rob) maka dia mendapatkan
pada setiap hurufnya satu kebaikan.” Hadits shohih.[25]
وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: «اِقْرَءُوا القُرْآنَ قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَ قَوْمٌ يُقِيمُونَ حُرُوفَهُ
إِقَامَةَ السَّهْمِ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيهِمْ يَتَعَجَّلُونَ أَجْرَهُ وَلَا يَتَأَجَّلُونَهُ»
Nabi ﷺ
bersabda, “Bacalah Al-Qur`an sebelum datang suatu kaum yang membaguskan
huruf-hurufnya dengan tepat tetapi tidak melampaui kerongkongan mereka[26]. Mereka minta disegerakan upahnya (di dunia) dan
tidak minta di akhirkan (di Akhirat).”[27]
وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ ﭭ: «إِعْرَابُ القُرْآنِ أَحَبُّ
إِلَيْنَا مِنْ حِفْظِ بَعْضِ حُرُوفِهِ».
Abu Bakar dan ‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma berkata, “Mengi’rob Al-Qur`an
lebih kami sukai daripada menghafal sebagian huruf-hurufnya.”
وَقَالَ عَلَيٌّ: «مَنْ كَفَرَ بِحَرْفٍ، فَقَدْ
كَفَرَ بِهِ كُلِّهُ».
‘Ali berkata, “Siapa mengingkari
satu huruf dari Al-Qur`an berarti mengingkari seluruhnya.”
وَاتَّفَقَ المُسْلِمُونَ عَلَى عَدِّ سُوَرِ القُرْآنِ،
وَآيَاتِهِ وَكَلِمَاتِهِ، وَحُرُوفِهِ
Kaum Muslimin sepakat akan jumlah surat Al-Qur`an, ayatnya, katanya, dan
hurufnya.
وَلَا خِلَافَ بَيْنَ المُسْلِمِينَ فِي أَنَّ مَنْ
جَحَدَ مِنَ القُرْآنِ سُورَةً، أَوْ آيَةً، أَوْ كَلِمَةً، أَوْ حَرْفًا مُتَّفَقًا
عَلَيْهِ؛ أَنَّهُ كَافِرٌ
Tidak ada khilaf di antara kaum Muslimin bahwa siapa yang mengingkari satu
surat Al-Qur`an, satu kata, bahkan satu huruf yang disepakati (oleh ahli qurro)
bahwa ia kafir.
وَفِي هَذَا حُجَّةٌ قَاطِعَةٌ عَلَى أَنَّهُ حُرُوفٌ
Ini hujjah (argumentasi) yang kuat bahwa Al-Qur’an terdiri dari huruf-huruf.
[5. Melihat Alloh Pada Hari Kiamat]
وَالْمُؤْمِنُونَ يَرَوْنَ رَبَّهُمْ بِأَبْصَارِهِمْ
وَيَزُورُونَهُ، وَيُكَلِّمُهُمْ، وَيُكَلِّمُونَهُ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ * إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ﴾
Kaum Mukminin melihat Rob mereka di Akhirat dengan penglihatan mereka dan
mereka mengunjunginya. Alloh mengajak berbicara mereka dan mereka berbicara
kepada-Nya. Alloh Ta’ālā berfirman, “Wajah-wajah (orang-orang Mukmin)
pada hari itu berseri-seri. Kepada Rob, mereka melihat.” (QS. Al-Qiyāmah [75]:
22-23)
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ
لَمَحْجُوبُونَ﴾
Dia juga berfirman, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu
benar-benar terhalang dari (melihat) Rob mereka.” (QS. Al-Muthoffifin [83]: 15)
فَلَمَّا حَجَبَ أُولَئِكَ فِي حَالِ السُّخْطِ، دَلَّ
عَلَى أَنَّ المُؤْمِنِينَ يَرَوْنَهُ فِي حَالِ الرِّضَى، وَإِلَّا لَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمَا
فَرْقٌ
Tatkala mereka terhalang dari melihat-Nya saat dimurkai, menunjukkan bahwa
kaum Mukminin melihat-Nya saat diridhoi. Jika tidak demikian maka tidak ada
perbedaan di antara keduanya.
وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا القَمَرَ لَا تُضَامُّونَ
فِي رُؤْيَتِهِ» حَدِيثٌ صَحِيحٌ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Nabi ﷺ
bersabda, “Sesungguhnya kalian akan melihat Rob kalian seperti kalian melihat
bulan ini tanpa berdesakan dalam melihat-Nya.” Hadits shohih muttafaqun
‘alaih.[28]
وَهَذَا تَشْبِيهٌ لِلرُّؤْيَةِ، لَا لِلْمَرْئِيّ،
فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا شَبِيهَ لَهُ، وَلَا نَظِيرَ.
Penyerupaan ini pada cara melihat bukan menyerupakan Alloh dengan
bulan, karena tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak ada bandingan-Nya.
[6. Qodho dan Qodar]
وَمِنْ صِفَاتِ اللَّهِ تَعَالَى أَنَّهُ الفَعَّالُ
لِمَا يُرِيدُ لَا يَكُونُ شَيْءٌ إِلَّا بِإِرَادَتِهِ، وَلَا يَخْرُجُ شَيْءٌ عَنْ
مَشِيئَتِهِ، وَلَيْسَ فِي العَالَمِ شَيْءٌ يَخْرُجُ عَنْ تَقْدِيرِهِ، وَلَا يَصْدُرُ
إِلَّا عَنْ تَدْبِيرِهِ، وَلَا مَحِيدَ عَنِ القَدَرِ المَقْدُورِ، وَلَا يَتَجَاوَزُ
مَا خُطَّ فِي اللَّوْحِ المَسْطُورِ، أَرَادَ مَا العَالَمُ فَاعِلُوهُ، وَلَوْ عَصَمَهُمْ
لَمَا خَالَفُوهُ، وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُطِيعُوهُ جَمِيعًا لَأَطَاعُوهُ، خَلَقَ الخَلْقَ
وَأَفْعَالَهُمْ، وَقَدَّرَ أَرْزَاقَهُمْ وَآجَالَهُمْ، يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ بِرَحْمَتِهِ،
وَيَضِلُّ مَنْ يَشَاءُ بِحِكْمَتِهِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ﴾
Di antara Sifat Alloh Ta’ālā adalah Dia berbuat sesuai kehendak-Nya.
Tidak terjadi apapun kecuali dengan kehendak-Nya. Tidak ada di alam sesuatu pun
yang keluar dari takdir-Nya. Tidak bersandar kecuali dari pengaturan-Nya. Tidak
ada yang meliputi takdir yang ditakdirkan. Tidak ada yang bisa melampaui apa
yang tertulis di Lauhul Mahfuzh. Dia menghendaki bukan makhluk yang
melakukannya. Seandainya Dia menjaga mereka tentu mereka tidak menyelisihi-Nya,
seandainya Dia menghendaki mereka semua mentaati-Nya tentu mereka akan
mentaati-Nya. Dia menciptakan makhluk dan perbuatannya. Dia menentukan rezeki
mereka dan ajalnya. Dia beri petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya dengan rohmat-Nya
dan Dia menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya. Alloh Ta’ālā
berfirman, “Dia tidak ditanya atas perbuatan-Nya tetapi mereka yang akan
ditanya.” (QS. Al-Anbiyā: [21]: 23)
قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ﴾
Alloh Ta’ālā juga befirman, “Sesungguhnya Kami ciptakan segala
sesuatu dengan takdir-takdirnya.” (QS. Al-Qomar: 49)
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَخَلَقَ
كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا﴾
Dia Ta’ālā juga berfirman, “Dia menciptakan segala sesuatu dan
menentukan takdir-takdirnya.” (QS. Al-Furqōn [25]: 2)
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿مَا
أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ
قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا﴾
Dia Ta’ālā juga befirman, “Tidak ada musibah apapun di bumi dan
tidak pula di diri kalian melainkan (tercatat) di Kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya.” (QS. Al-Hadīd: 22)
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿فَمَنْ
يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ
يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا﴾
Dia Ta’ālā juga berfirman, “Siapa saja yang Alloh kehendaki akan
memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk
agama) Islam. Siapa saja yang dikehendaki Alloh sesat, niscaya Alloh menjadikan
dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.” (QS.
Al-An’ām [6]: 125)
رَوَى اِبْنُ عُمَرَ أَنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ
قَالَ لِلنَّبِيِّ ﷺ: «مَا الإِيمَانُ؟» قَالَ:
«أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ،
وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَبِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ» فَقَالَ
جِبْرِيلُ: «صَدَقْتَ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Ibnu ‘Umar meriwayatkan bahwa Jibril ‘Alaihissalam berkata kepada
Nabi ﷺ, “Apa
itu iman?” Jawab beliau, “Engkau beriman kepada Alloh, para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya,
Rosul-Rosul-Nya, Hari Akhir, dan takdir yang baik maupun buruk.” Jibril
berkata, “Kamu benar.” Diriwayatkan Muslim (no. 8).
وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «آمَنْتُ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، وَحُلْوِهِ وَمُرِّهِ»
Nabi ﷺ
bersabda, “Aku beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk, dan yang
manis maupun yang pahit.”[29]
وَمِنْ دُعَاءِ النَّبِيِّ ﷺ الَّذِي عَلَّمَهُ الحَسَنَ
بْنَ عَلِيٍّ يَدْعُو بِهِ فِي قُنُوتِ الوِتْرِ: «وَقِنِي
شَرَّ مَا قَضَيْتَ»
Di antara doa Nabi ﷺ yang diajarkan kepada Al-Hasan bin ‘Ali dalam qunut witir
adalah, “Jagalah aku dari keburukan apa yang Engkau takdirkan.”[30]
وَلَا نَجْعَلُ قَضَاءَ اللَّهِ وَقَدَرَهُ حُجَّةً
لَنَا فِي تَرْكِ أَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيه، بَلْ يَجِبُ أَنْ نُؤْمِنَ وَنَعْلَمَ
أَنَّ لِلَّهِ عَلَيْنَا الحُجَّةَ بِإِنْزَالِ الكُتُبِ، وَبِعْثَةِ الرُّسُلِ، قَالَ
اللَّهُ تَعَالَى: ﴿لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ
حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ﴾
Kita tidak menjadikan qodho dan takdir Alloh sebagai hujjah (argumentasi) kita
untuk meninggalkan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Bahkan wajib kita
beriman dan yakin bahwa Alloh memiliki hujjah atas kita dengan turunnya Al-Kitab
dan mengutus para Rosul. Alloh Ta’ālā berfirman, “Agar tidak ada alasan
bagi manusia membantah Alloh sesudah diutusnya Rosul-Rosul itu.” (QS.
An-Nisā [4]: 165)
وَنَعْلَمَ أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ مَا أَمَرَ وَنَهَى
إِلَّا المُسْتَطِيعَ لِلْفِعْلِ وَالتَّرْكِ، وَأَنَّهُ لَمْ يُجْبِرْ أَحَدًا عَلَى
مَعْصِيَةٍ، وَلَا اضْطَرَّهُ إِلَى تَرْكِ طَاعَةٍ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا﴾
Kita yakin bahwa Alloh Subhānahū wa Ta’ālā tidak memerintah dan
melarang melainkan kepada yang mampu berbuat dan meninggalkan. Dia tidak
memaksa siapa pun untuk bermaksiat dan tidak memaksanya meninggalkan ketaatan. Alloh
Ta’ālā berfirman, “Alloh tidak membebani jiwa melainkan sebatas
kesanggupannya.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 286)
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾
Dia Ta’ālā juga berfirman, “Bertakwalah kepada Alloh semampu
kalian.” (QS. At-Taghōbun: 16)
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿الْيَوْمَ تُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ
لَا ظُلْمَ اليَوْمَ﴾
Dia Ta’ālā berfirman, “Pada hari ini setiap jiwa dibalas atas
perbuatannya dan tidak ada kezholiman pada hari ini.” (QS. Ghōfir [40]: 17)
فَدَلَّ عَلَى أَنَّ لِلْعَبْدِ فِعْلاً وَكَسْبًا،
يُجْزَى عَلَى حُسْنِهِ بِالثَّوَابِ، وَعَلَى سَيِّئِهِ بِالْعِقَابِ، وَهُوَ وَاقِعٌ
بِقَضَاءِ اللَّهِ وَقَدَرِهُ.
Ini menunjukkan bahwa hamba memiliki perbuatan dan usaha yang kebaikannya
dibalas pahala dan keburukannya dibalas siksa, meskipun semua terjadi dengan qodho
dan takdir Alloh.
[7. Definisi Iman]
وَالْإِيمَانُ قَوْلٌ بِاللِّسَانِ، وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ
وَعَقْدٌ بِالْجَنَانِ، يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ، وَيَنْقُصُ بِالْعِصْيَانِ، قَالَ
اللَّهُ تَعَالَى: ﴿وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا
اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
وَذَلِكَ دِينُ القَيِّمَةِ﴾
Iman adalah ucapan lisan, perbuatan anggota badan, dan keyakinan hati yang
bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat. Alloh Ta’ālā
berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Alloh dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan
supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah
agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)
فَجَعَلَ عِبَادَةَ اللَّهِ تَعَالَى، وَإِخْلَاصَ
القَلْبِ، وَإِقَامَ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ كُلَّهُ؛ مِنَ الدِّينِ
Dia menjadikan ibadah kepada Alloh Ta’ālā dan ikhlasnya hati juga
menegakkan sholat dan menunaikan zakat semuanya termasuk agama.
وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً، أَعْلَاهَا شَهَادَةُ
أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ»
فَجَعَلَ القَوْلَ وَالْعَمَلَ مِنَ الإِيمَانِ
Rosulullah ﷺ bersabda, “Iman ada 70 cabang lebih. Yang paling tinggi adalah
syahadat (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ) dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari
jalan.”[31] Dia menjadikan ucapan dan perbuatan termasuk iman.
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا﴾
Dia Ta’ālā juga berfirman, “Lalu imam mereka bertambah.” (QS.
At-Taubah [9]: 124)
وَقَالَ: ﴿لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا﴾
Dia Ta’ālā juga berfirman, “Supaya mereka bertambah imannya.” (QS.
Al-Fath [47]: 4)
وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «يَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي
قَلْبِهِ مِثْقَالُ بُرَّةٍ، أَوْ خَرْدَلَةٍ، أَوْ ذَرَّةٍ مِنْ الإِيمَانِ»
فَجَعَلَهُ مُتَفَاضِلاً
Rosulullah ﷺ bersabda, “Akan keluar dari Neraka siapa yang mengucapkan (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ) sementara di dalam hatinya ada iman meskipun seberat butir
gandum atau biji atau dzarrah (semut).”[32] Dia menjadikan iman bertingkat-tingkat.
[8. Mengimani Semua Kabar]
وَيَجِبَ الإِيمَانُ بِكُلِّ مَا أَخْبَرَ بِهِ النَّبِيُّ
ﷺ وَصَحَّ بِهِ النَّقْلُ عَنْهُ فِيمَا شَاهَدْنَاهُ، أَوْ غَابَ عَنَّا، نَعْلَمُ
أَنَّهُ حَقٌّ وَصِدْقٌ، وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ مَا عَقِلْنَاهُ وَجَهِلْنَاهُ، وَلَمْ
نَطَّلِعْ عَلَى حَقِيقَةِ مَعْنَاهُ.
Wajib mengimani semua
kabar dari Nabi ﷺ yang telah shohih sanadnya baik yang kita ketahui maupun yang
tidak kita ketahui. Kita yakin bahwa ia benar dan jujur, sama saja akal kita
bisa mencernanya atau tidak. Kita tidak memaksa diri mengetahui hakikat
maknanya.
1. [Isro dan Mi’roj]
مِثْلَ حَدِيثِ الإِسْرَاءِ وَالْمِعْرَاجِ وَكَانَ
يَقَظَةً لَا مَنَامًا، فَإِنَّ قُرَيْشًا أَنْكَرَتْهُ وَأَكْبَرَتْهُ، وَلَمْ تُنْكِرِ
المَنَامَاتِ
Seperti hadits Isro-Mi’roj adalah dalam keadaan sadar bukan mimpi, karena
orang-orang Quroisy mengingkarinya dan mengganggapnya mustahil, tetapi tidak
mengingkari mimpi-mimpi.
2. [Musa Memukul Malaikat]
وَمِنْ ذَلِكَ أَنَّ مَلَكَ المَوْتِ لَمَّا جَاءَ
إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ لِيَقْبِضَ رُوحِهِ لَطَمَهُ فَفَقَأَ عَيْنَهُ،
فَرَجَعَ إِلَى رَبِّهِ فَرَدَّ عَلَيْهِ عَيْنَهُ.
Termasuk pula adalah Malaikat Maut ketika mendatangi Musa ‘Alaihissalam
untuk mencabut nyawanya, memukulnya hingga tercongkel mata Malaikat tersebut.
Lalu ia kembali kepada Rob-nya sehingga matanya disembuhkan.”[33]
3. [Tanda Hari Kiamat]
وَمِنْ ذَلِكَ أَشْرَاطُ السَّاعَةِ مِثْلُ خُرُوجِ
الدَّجَّالِ، وَنُزُولِ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَيَقْتُلُهُ، وَخُرُوجِ
يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ، وَخُرُوجِ الدَّابَّةِ، وَطُلُوعِ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا،
وَأَشْبَاهِ ذَلِكَ مِمَّا صَحَّ بِهِ النَّقْلُ
Di antaranya pula adalah tanda-tanda hari Kiamat, seperti munculnya Dajjal,
turunya ‘Isa bin Maryam ‘Alaihissalam lalu membunuhnya, keluarnya Ya’juj
dan Ma’juj, keluarnya Dabbah, terbitnya matahari dari arah barat, dan yang semisalnya
dari kabar yang shohih periwayatannya.
4. [Siksa dan Nikmat Kubur]
وَعَذَابُ القَبْرِ وَنَعِيمُهُ حَقٌّ، وَقَدِ اسْتَعَاذَ
النَّبِيُّ ﷺ مِنْهُ، وَأَمَرَ بِهِ فِي كُلِّ صَلَاةٍ.
Begitu juga siksa kubur dan nikmat kubur adalah benar adanya. Sungguh Nabi ﷺ telah
berlindung darinya dan memerintahkan itu di setiap sholat.
وَفِتْنَةُ القَبْرِ حَقٌّ، وَسُؤَالُ مُنْكَرٍ وَنَكِيرٍ
حَقٌّ
Fitnah kubuh benar
adanya. Pertanyaan Munkar dan Nakir benar adanya.
5. [Tiupan Sangkakala]
وَالْبَعْثُ بَعْدَ المَوْتِ حَقٌّ، وَذَلِكَ حِينَ
يَنْفُخُ إِسْرَافِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي الصُّورِ: ﴿وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَإِذَا هُمْ مِنَ الأَجْدَاثِ إِلَى رَبِّهِمْ
يَنْسِلُونَ﴾
Kebangkitan setelah mati benar adanya, yaitu ketika Isrofil ‘Alaihissalam
meniup sangkakala, “Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka ke luar
dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Rob mereka.” (QS. Yāsīn [36]: 51)
وَيُحْشُرُ النَّاسُ يَوْمَ القِيَامَةِ حُفَاةً عُرَاةً
غُرْلاً بُهْمًا، فَيَقِفُونَ فِي مَوْقِفِ القِيَامَةِ، حَتَّى يَشْفَعَ فِيهِمْ نَبِيُّنَا
مُحَمَّدٍ ﷺ
Manusia dihimpun pada hari Kiamat dalam keadaan tidak beralas kaki,
telanjang, tidak berkhitan, dan tanpa membawa apa-apa. Mereka terhenti di
tempat pemberhentian Kiamat hingga Nabi kita Muhammad ﷺ memberi syafaat.
6. [Catatan Amal]
وَيُحَاسِبُهُمُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، وَتُنْصَبُ
المَوَازِينُ، وَتُنْشَرُ الدَّوَاوِينُ، وَتَتَطَايَرُ صَحَائِفُ الأَعْمَالِ إِلَى
الإِيمَانِ وَالشَّمَائِلِ: ﴿فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ
بِيَمِينِهِ * فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا * وَيَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ
مَسْرُورًا * وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ * فَسَوْفَ يَدْعُو
ثُبُورًا * وَيَصْلَى سَعِيرًا﴾
Alloh Tabāroka wa Ta’ālā menghisab dan diletakkan Mizan (timbangan-timbangan).
Buku catatan dihamparkan dan catatan amal diserahkan ke tangan kanan dan tangan
kiri, “Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia
akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya
(yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang yang diberikan kitabnya
dari belakang, maka dia akan berteriak: ‘Celakalah aku.’ Dan dia akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (Neraka).” (QS. Al-Insyiqōq [84]: 7-12)
وَالمِيزَانُ لَهُ كَفَتَانِ وَلِسَانٍ تُوزَنُ بِهِ
الأَعْمَالُ: ﴿فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ
هُمُ المُفْلِحُونَ * وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا
أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ﴾
Mizan memiliki dua daun timbangan dan lisan untuk menimbang amal perbuatan.
“Siapa saja yang berat timbangan (kebaikan) nya, maka mereka itulah orang-orang
yang dapat keberuntungan. Siapa saja yang ringan timbangannya, maka mereka
itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam Neraka
Jahanam.” (QS. Al-Mukminun [23]: 102-103)
7. [Telaga]
وَلِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ ﷺ حَوْضٌ فِي القِيَامَةِ،
مَاؤُهُ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ، وَأَحْلَى مِنَ العَسَلِ، وَأَبَارِيقُهُ
عَدَدُ نُجُومِ السَّمَاءِ، مَنْ شَرِبَ مِنْهُ شَرْبَةً لَمْ يَظْمَأْ بَعْدَهَا أَبَدًا
Nabi kita Muhammad ﷺ memiliki telaga pada hari Kiamat yang airnya sangat putih
melebihi susu dan sangat manis melebihi madu. Gayung-gayungnya sejumlah
bintang-bintang di langit. Siapa yang minum darinya tidak akan haus selama-lamanya
setelah itu.[34]
8. [Jembatan]
وَالصِّرَاطُ حَقٌّ، يَجُوزُهُ الأَبْرَارُ، وَيَزِلُّ
عَنْهُ الفُجَّارُ
Shirot (jembatan yang membentang di punggung Neraka menuju Surga) benar
adanya yang akan dilewati oleh orang-orang baik, sementara orang-orang pendosa
akan terpleset.
9. [Syafaat]
وَيَشْفَعُ نَبِيُّنَا ﷺ فِيمَنْ دَخَلَ النَّارَ مِنْ
أُمَّتِهِ مِنْ أَهْلِ الكَبَائِرِ، فَيَخْرُجُونَ بِشَفَاعَتِهِ بَعْدَمَا اِحْتَرَقُوا
وَصَارُوا فَحْمًا وَحُمَمًا، فَيَدْخُلُونَ الجَنَّةَ بِشَفَاعَتِهِ، وَلِسَائِرِ
الأَنْبِيَاءِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلَائِكَةِ شَفَاعَاتٌ، قَالَ تَعَالَى : ﴿يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يَشْفَعُونَ
إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى وَهُمْ مِنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ﴾ وَلَا تَنْفَعُ
الكَافِرَ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ
Nabi kita ﷺ akan memberi syafaat kepada orang yang masuk Neraka dari
umatnya pelaku dosa besar. Mereka keluar dengan syafaat beliau setelah terbakar
dan menjadi arang serta menghitam. Lalu mereka masuk Surga dengan syafaat
beliau. Seluruh para Nabi, orang-orang beriman, dan para Malaikat juga memiliki
syafaat-syafaat. Dia Ta’ālā berfirman, “Dia mengetahui segala sesuatu
yang di hadapan mereka (Malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada
memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhoi Alloh, dan mereka itu
selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” (QS. Al-Anbiyā [21]: 28)
Dan orang-orang kafir tidak akan berlaku untuk mereka syafaat siapa pun yang
memberi syafaat.
10. [Surga dan Neraka]
وَالْجَنَّةُ وَالنَّارُ مَخْلُوقَتَانِ لَا تَفْنَيَانِ،
فَالْجَنَّةُ مَأْوَى أَوْلِيَائِهِ، وَالنَّارُ عِقَابُ لِأَعْدَائِهِ، وَأَهْلُ الجَنَّةِ
فِيهَا مُخَلَّدُونَ ﴿إِنَّ المُجْرِمِينَ فِي عَذَابِ
جَهَنَّمَ خَالِدُونَ * لَا يُفَتَّرُ عَنْهُمْ وَهُمْ فِيهِ مُبْلِسُونَ﴾
Surga dan Neraka adalah dua makhluk yang tidak akan punah. Surga adalah
tempat wali-wali-Nya dan Neraka adalah siksa bagi musuh-musuh-Nya. Penduduk Surga
kekal di dalamnya dan “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa kekal di dalam
azab Neraka Jahanam. Tidak diringankan azab itu dari mereka dan mereka di
dalamnya berputus asa.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 74-75)
11. [Kematian Disembelih]
وَيُؤْتَى بِالْمَوْتِ فِي صُورَةِ كَبْشٍ أَمْلَحَ،
فَيُذْبَحُ بَيْنَ الجَنَّةِ وَالنَّارِ، ثُمَّ يُقَالُ: «يَا أَهْلَ الجَنَّةِ خُلُودٌ وَلَا مَوْتَ، وَيَا أَهْلَ النَّارِ
خُلُودٌ وَلَا مَوْتَ»
Kematian akan didatangkan dalam rupa kambing gibas bertanduk. Lalu
disembelih di antara Surga dan Neraka. Kemudian dikatakan, “Wahai penduduk Surga,
kalian kekal, dan tidak ada kematian. Wahai penduduk Neraka, kalian kekal, dan
tidak ada kematian.”[35]
[9. Kekhususan Rosulullah]
وَمُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ خَاتَمُ النَّبِيِّينَ
وَسَيِّدُ المُرْسَلِينَ، لَا يَصِحُّ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يُؤْمِنَ بِرِسَالَتِهِ
وَيَشْهَدَ بِنُبُوَّتِهِ، وَلَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فِي القِيَامَةِ إِلَّا بِشَفَاعَتِهِ،
وَلَا يَدْخُلُ الجَنَّةَ أُمَّةٌ إِلَّا بَعْدَ دُخُولِ أُمَّتِهِ، صَاحِبُ لِوَاءِ
الحَمْدِ، وَالْمَقَامِ المَحْمُودِ، وَالْحَوْضِ المَوْرُودِ، وَهُوَ إِمَامُ النَّبِيِّينَ،
وَخَطِيبُهُمْ، وَصَاحِبُ شَفَاعَتِهِمْ
Muhammad Rosulullah ﷺ penutup para Nabi dan penghulu para Rosul. Iman seorang hamba
tidak sah hingga beriman kepada risalahnya dan mengakui kenabiannya. Manusia
tidak akan diadili pada hari Kiamat kecuali dengan syafaatnya. Tidak ada umat
yang masuk Surga kecuali setelah masuknya umatnya. Beliau adalah pemilik
bendera pujian, kedudukan yang terpuji, dan telaga yang didatangi, yaitu imam
para Nabi dan juru bicara mereka serta pemilik syafaat mereka (Nabi Muhammad).
[10. Keutamaan Para Sahabat]
أُمَّتُهُ خَيْرُ الأُمَمِ، وَأَصْحَابُهُ خَيْرُ أَصْحَابِ
الأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ
Umatnya adalah umat terbaik dan Sahabatnya adalah Sahabat para Nabi terbaik
‘Alaihimussalam.
1. [Khulafa Rosyidin]
وَأَفْضَلُ أُمَّتِهِ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ، ثُمَّ
عُمَرُ الفَارُوقُ، ثُمَّ عُثْمَانُ ذُو النُّورَيْنِ، ثُمَّ عَلِيٌّ المُرْتَضَى رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ، لِمَا رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ ﭭ قَالَ: كُنَّا نَقُولُ وَالنَّبِيُّ
ﷺ حَيٌّ أَبُو بَكْرٍ، ثُمَّ عُمَرُ، ثُمَّ عُثْمَانُ، ثُمَّ عَلَيٌّ، فَيَبْلُغُ ذَلِكَ
النَّبِيَّ ﷺ فَلَا يُنْكِرُهُ
Yang terbaik dari umatnya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, kemudian ‘Umar Al-Faruq,
kemudian ‘Utsman Dzunnuroin, kemudian ‘Ali Al-Murtadho Rodhiyallahu ‘Anhum
ajmain, berdasarkan riwayat ‘Abdullah bin ‘Umar ﭭ bahwa
dia berkata, “Kami berpendapat saat Nabi ﷺ masih hidup bahwa yang terbaik
dari umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar, kemudian ‘Umar, kemudian
‘Utsman, kemudian ‘Ali. Hal itu sampai kepada Nabi ﷺ dan beliau tidak mengingkarinya.”[36]
وَصَحَّتِ الرِّوَايَةُ عَنْ عَلَيٍّ أَنَّهُ قَالَ:
«خَيْرُ هَذِهِ الأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا: أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرُ، وَلَوْ
شِئْتَ سَمَّيْتَ الثَّالِثَ»
Terdapat riwayat yang shohih dari ‘Ali bahwa dia berkata, “Yang terbaik
dari umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar kemudian ‘Umar dan seandainya
kamu mau akan kuberitahu yang ketiga (yakni Utsman).”[37]
وَرَوَى أَبُو الدَّرْدَاءِ عَنِ النَّبِيِّ ﷺأَنَّهُ
قَالَ: «مَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ وَلَا غَرَبَتْ بَعْدَ
النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ عَلَى أَفْضَلَ مِنْ أَبِي بَكْرٍ»
Abu Darda meriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Tidaklah
matahari terbit dan tenggelam lebih utama setelah para Nabi dan Rosul selain
Abu Bakar.”[38]
وَهُوَ أَحَقُّ خَلْقِ اللَّهِ بِالْخِلَافَةِ بَعْدَ
النَّبِيِّ ﷺ لِفَضْلِهِ وَسَابِقَتِهِ، وَتَقْدِيمِ النَّبِيِّ ﷺ لَهُ فِي الصَّلَاةِ
عَلَى جَمِيعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، وَإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ عَلَى
تَقْدِيمِهِ وَمُبَايَعَتِهِ، وَلَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَجْمَعَهُمْ عَلَى ضَلَالَةٍ
Abu Bakar makhluk Alloh yang berhak terhadap khilafah setelah Nabi ﷺ karena
keutamaannya dan keterdahuluan masuk Islam, juga karena Nabi ﷺ
menyuruhnya maju menjadi imam sholat atas seluruh para Sahabat Rodhiyallahu
‘Anhum, juga kesepakatan para Sahabat lebih mendahulukannya dan membaiatnya,
dan Alloh tidak pernah menjadikan mereka sepakat dalam kesesatan.
ثُمَّ مِنْ بَعْدِهِ عُمَرُ لِفَضْلِهِ وَعَهْدِ أَبِي
بَكْرٍ إِلَيْهِ
Kemudian setelahnya adalah ‘Umar karena keutamaannya dan penunjukan Abu
Bakar atasnya.
ثُمَّ عُثْمَانُ لِتَقْدِيمِ أَهْلِ الشُّورَى لَهُ،
ثُمَّ عَلِيٌّ لِفَضْلِهِ وَإِجْمَاعِ أَهْلِ عَصْرِهِ عَلَيْهِ.
Kemudian ‘Utsman karena ahli musyawarah mendahulukannya,, kemudian ‘Ali
karena keutamaannya dan ijma’ orang-orang di zamannya.
وَهَؤُلَاءِ الخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ المَهْدِيُّونَ
الَّذِينَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِيهِمْ: «عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي، عَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ»
Mereka adalah Khulafa Rosyidin yang terbimbing yang mana Rosulullah ﷺ
bersabda tentang mereka, “Hendaklah kalian mengikuti Sunnahku dan Sunnah
Khulafa Rosyidin yang terbimbing sepeninggalku. Gigitlah ia dengan gigi geraham.”[39]
وَقَالَ ﷺ: «الخِلَافَةُ
مِنْ بَعْدِي ثَلَاثُونَ سَنَةً» فَكَانَ آخِرُهَا خِلَافَةَ عَلَيٍّ
Beliau ﷺ juga
bersabda, “Khilafah sepeninggalku berjumlah 30 tahun.”[40] Akhir kekhilafahan adalah ‘Ali.
2. [Siapa yang Dipastikan Surga]
وَنَشْهَدُ لِلْعَشَرَةِ بِالْجَنَّةِ، كَمَا شَهِدَ
لَهُمُ النَّبِيُّ ﷺ، فَقَالَ: «أَبُو بَكْرٍ فِي الجَنَّةِ،
وَعُمَرُ فِي الجَنَّةِ، وَعُثْمَانُ فِي الجَنَّةِ، وَعَلِيُّ فِي الجَنَّةِ، وَطَلْحَةُ
فِي الجَنَّةِ، وَالزُّبَيْرُ فِي الجَنَّةِ، وَسَعْدٌ فِي الجَنَّةِ، وَسَعِيدٌ فِي
الجَنَّةِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الجَنَّةِ، وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنِ
الجَرَّاحِ فِي الجَنَّةِ»
Kami bersaksi terhadap 10 orang yang dijamin masuk Surga seperti persaksian
Nabi ﷺ kepada
mereka, di mana beliau bersabda, “Abu Bakar di Surga, ‘Umar di Surga, ‘Utsman
di Surga, ‘Ali di Surga, Tholhah di Surga, Az-Zubair di Surga, Sa’ad bin Abi
Waqqosh di Surga, Sa’id bin Zaid di Surga, ‘Abdurrohmān bin ‘Auf di Surga, dan
Abu ‘Ubaidah bin Jarroh di Surga.”[41]
وَكُلُّ مَنْ شَهِدَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ بِالْجَنَّةِ
شَهِدْنَا لَهُ بِهَا، كَقَوْلِهِ ﷺ: «الحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ
سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الجَنَّةِ»
Setiap orang yang dipersaksikan oleh Nabi ﷺ juga kami persaksikan seperti
sabda beliau, “Hasan dan Al-Husain adalah dua pemimpin pemuda-pemuda penduduk Surga.”[42]
وَقَوْلِهِ لِثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ: «إِنَّهُ مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ»
Juga sabda beliau kepada Tsabit bin Qois bahwa “Ia termasuk penduduk Surga.”[43]
3. [Siapa yang Tidak Dipastikan
Surga]
وَلَا نَجْزِمُ لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ القِبْلَةِ بِجَنَّةٍ
وَلَا نَارٍ، إِلَّا مَنْ جَزَمَ لَهُ الرَّسُولُ ﷺ، لَكِنَّا نَرْجُو لِلْمُحْسِنِ،
وَنَخَافُ عَلَى المُسِيءِ وَلَا نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ القِبْلَةِ بِذَنْبٍ،
وَلَا نُخْرِجُهُ عَنْ الإِسْلَامِ بِعَمَلٍ
Kami tidak memastikan seorang pun dari ahli kiblat dengan Surga atau Neraka
kecuali orang yang dipastikan oleh Rosulullah ﷺ, akan tetapi kami berharap bagi
orang-orang yang berbuat baik dan mengkhawatirkan kepada orang yang berbuat
buruk. Kami tidak mengkafirkan seorang pun dari ahli kiblat karena dosanya dan
kami tidak mengeluarkannya dari Islam karena amalnya.
4. [Jihad Bersama Pemimpin]
وَنَرَى الحَجَّ وَالْجِهَادَ مَاضِيَيْنِ مَعَ طَاعَةِ
كُلِّ إِمَامٍ، برًّا كَانَ أَوْ فَاجِرًا، وَصَلَاةُ الجُمُعَةِ خَلْفَهُمْ جَائِزَةٌ
Kami berpandangan haji dan jihad selalu berlaku bersama ketaatan kepada
setiap pemimpin yang baik maupun yang jahat, dan boleh sholat di belakang
mereka.
قَالَ أَنَسٌ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «ثَلَاثٌ مِنْ أَصْلِ الإِيمَانِ، الكَفُّ عَمَّنْ قَالَ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ، وَلَا نُكَفِّرُهُ بِذَنْبٍ، وَلَا نُخْرِجُهُ مِنْ الإِسْلَامِ بِعَمَلٍ،
وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ حَتَّى يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالِ،
لَا يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٌ، وَلَا عَدْلُ عَادِلٍ، وَالْإِيمَانُ بِالْأَقْدَارِ»
رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
Anas berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Tiga pondasi iman adalah: (1) menahan
diri (tidak membunuh, merampas, dan menodai) dari orang yang mengucapkan (لا إله إلا الله) dan tidak mengkafirkan mereka karena dosa, dan tidak
mengeluarkan mereka dari Islam karena perbuatannya; (2) jihad tetap berlaku
semenjak Alloh mengutusku hingga akhir umatku memerangi Dajjal dan tidak bisa
dibatalkan oleh pemimpin baik adil maupun jahat; (3) dan iman kepada takdir.”[44]
5. [Wajib Mencintai Para Sahabat]
وَمِنَ السُّنَّةِ تَوَلِّي أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ
ﷺ وَمَحَبَّتُهُمْ، وَذِكْرُ مَحَاسِنَهُمْ، وَالتَّرَحُّمُ عَلَيْهِمْ، وَاعْتِقَادُ
فَضْلِهُمْ، وَمَعْرِفَةُ سَابِقَتِهِمْ
Termasuk Sunnah adalah setia kepada para Sahabat Rosulullah ﷺ,
mencintai mereka, menyebut kebaikan-kebaikan mereka, mendoakan rohmat kepada
mereka, mendoakan ampunan untuk mereka, dan menahan diri dari menyebut
keburukan-keburukan yang terjadi di antara mereka. Juga meyakini keutamaan
mereka dan mengenal keterdahuluan mereka (dalam berislam).
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَالَّذِينَ
جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ
سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا﴾
Alloh Ta’ālā berfirman, “Orang-orang yang datang sesudah mereka
(Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah ampunan kepada
kami dan saudara-saudara kami (yakni para Sahabat) yang telah beriman lebih
dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami
terhadap orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-Hasyr [59]: 10)
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿مُحَمَّدٌ
رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ﴾
Dia Ta’ālā juga berfirman, “Muhammad itu adalah utusan Alloh dan
orang-orang yang bersamanya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka.” (QS. Al-Fath [48]: 29)
وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا،
مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلَا نَصِيفَهُ»
Nabi ﷺ
bersabda, “Kalian jangan mencela para Sahabatku, karena seandainya salah
seorang dari kalian bersedekah emas seperti gunung Uhud, tidak akan menyamai sedekah
satu mud salah seorang dari mereka, bahkan tidak pula setengahnya.”[45]
وَمِنَ السُّنَّةِ التَّرَضِّي عَنْ أَزْوَاجِ الرَّسُولِ
ﷺ أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِينَ المُطَهَّرَاتِ المُبَرَّآتِ مِنْ كُلِّ سُوءٍ، أَفْضَلُهُنَّ
خَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ، وَعَائِشَةُ الصِّدِّيقَةُ بِنْتُ الصِّدِّيقِ الَّتِي
بَرَّأَهَا اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، زَوْجُ النَّبِيِّ ﷺ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ،
فَمَنْ قَذَفَهَا بِمَا بَرَّأَهَا اللَّهُ مِنْهُ فَقَدْ كَفَرَ بِاَللَّهِ العَظِيمِ
Termasuk Sunnah adalah ridho istri-istri Rosulullah ﷺ
sebagai ibu-ibu kaum Mukminin yang suci
dan terbebas dari segala keburukan. Yang paling utama dari mereka adalah Khodijah
bintu Khuwailid dan ‘Aisyah Ash-Shiddiqoh bintu Ash-Shiddiq yang Alloh telah
membebaskannya dalam Kitab-Nya (dari tuduhan selingkuh orang munafik). Ia
adalah istri Nabi ﷺ di dunia dan di Akhirat. Siapa yang menuduhnya selingkuh padahal
Alloh telah membebaskan ia darinya maka dia kafir kepada Alloh yang Mahaagung.
وَمُعَاوِيَةُ خَالُ المُؤْمِنِينَ، وَكَاتِبُ وَحْي
اللَّهِ، أَحَدُ خُلَفَاءِ المُسْلِمِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
Mu’awiyah adalah paman kaum Mukminin, penulis wahyu Alloh, dan salah satu
khalifah kaum Muslimin Rodhiyallahu ‘Anhum.
[11. Taat Kepada Penguasa]
وَمِنْ السُّنَّةِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ لِأَئِمَّةِ
المُسْلِمِينَ وَأُمَرَاءِ المُؤْمِنِينَ، بَرِّهِمْ وَفَاجِرِهِمْ، مَا لَمْ يَأْمُرُوا
بِمَعْصِيَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا طَاعَةَ لِأَحَدٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ.
Termasuk Sunnah adalah mendengar dan taat kepada para imam (ulama) dan
pemimpin kaum Mukminin yang baik maupun yang jahat, selagi mereka tidak
menyuruh maksiat kepada Alloh, karena tidak ada ketaatan kepada seorang pun
dalam bermaksiat kepada Alloh.
وَمَنْ وَلِيَ الخِلَافَةَ وَاجْتَمَعَ عَلَيْهِ
النَّاسُ، وَرَضُوا بِهِ، أَوْ غَلَبَهُمْ بِسَيْفِهِ حَتَّى صَارَ خَلِيفَةً، وَسُمِّيَ
أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ؛ وَجَبَتْ طَاعَتُهُ، وَحَرُمَتْ مُخَالَفَتُهُ وَالْخُرُوجُ
عَلَيْهِ وَشَقُّ عَصَا المُسْلِمِينَ.
Siapa yang menjadi kholifah dan manusia menyepakatinya dan meridhoinya atau
ia mengalahkan mereka dengan pedang hingga menjadi kholifah atau ia dipanggil
Amirul Mukminin, maka wajib mentaatinya. Begitu juga harom menyelisihinya, dan
memberontaknya dan membelah tongkat (memecah belah) kaum Muslimin.
[12. Menjauhi Ahli Bid’ah]
وَمِنَ السُّنَّةِ هُجْرَانُ أَهْلِ البِدَعِ وَمُبَايَنَتُهُمْ،
وَتَرْكُ الجِدَالِ وَالْخُصُومَاتِ فِي الدِّينِ، وَتَرْكُ النَّظَرِ فِي كُتُبِ المُبْتَدِعَة
وَالْإِصْغَاءِ إِلَى كَلَامِهِمْ
Termasuk Sunnah adalah meninggalkan ahli bid’ah dan menjauhi mereka,
meninggalkan perdebatan dan debat kusir dalam agama, meninggalkan memperdalam
kitab-kitab bid’ah dan condong kepada ucapan-ucapan mereka.
وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ فِي الدِّينِ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ
مُتَّسِمٍ بِغَيْرِ الإِسْلَامِ وَالسُّنَّةِ مُبْتَدِعٌ، كَالرَّافِضَةِ، وَالْجَهْمِيَّةِ،
وَالْخَوَارِجِ، وَالْقَدَرِيَّةِ، وَالْمُرْجِئَةِ، وَالْمُعْتَزِلَةِ، وَالْكَرَّامِيَّةِ،
والكُلَّابِيَّةِ، وَنَظَائِرِهِمْ، فَهَذِهِ فِرَقُ الضَّلَالِ، وَطَوَائِفُ البِدَعِ،
أَعَاذَنَا اللَّهُ مِنْهَا
Setiap perkara baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap pencetus nama baru
selain Islam dan Sunnah adalah mubtadi (ahli bid’ah) seperti Rofidhoh,
Jahmiyyah, Khowarij, Qodariyyah, Murjiah, Mu’tazilah, Karromiyyah, Kullābiyyah,
dan yang semisal mereka. Mereka semua ini kelompok sesat, golongan ahli bid’ah.
Semoga Alloh melindungi kita dari mereka.
وَأَمَّا النِّسْبَةُ إِلَى إِمَامٍ فِي فُرُوعِ
الدِّينِ، كَالطَّوَائِفِ الأَرْبَعِ فَلَيْسَ بِمَذْمُومٍ، فَإِنَّ الاخْتِلَافَ فِي
الفُرُوعِ رَحْمَةٌ، وَالْمُخْتَلِفُونَ فِيهِ مَحْمُودُونَ فِي اخْتِلَافِهِمْ، مُثَابُونَ
فِي اجْتِهَادِهِمْ، وَاخْتِلَافِهِمْ رَحْمَةٌ وَاسِعَةٌ، وَاتِّفَاقُهُمْ حُجَّةٌ
قَاطِعَةٌ.
Adapun menisbatkan diri kepada imam dalam cabang agama seperti imam madzhab
yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad) maka tidak tercela, karena
perbedaan dalam cabang (fiqih) adalah rohmat. Orang-orang yang berselisih dalam
masalah cabang adalah orang-orang terpuji dalam khilaf mereka, mendapat pahala
dalam ijtihad mereka. Khilaf mereka adalah rohmat, sementara kesepakatan mereka
adalah hujjah (argumentasi) yang kokoh.
نَسْأَلُ اللهَ أَنْ يَعْصِمَنَا مِنَ البِدَعِ وَالفِتْنَةِ،
وَيُحْيِيَنَا عَلَى الإِسْلَامِ وَالسُّنَّةِ، وَيَجْعَلَنَا مِمَّنْ يَتَّبِعُ رَسُولَ
اللهِ ﷺ فِي الحَيَاةِ، وَيَحْشُرَنَا فِي زُمْرَتِهِ بَعْدَ المَمَاتِ بِرَحْمَتِهِ
وَفَضْلِهِ آمِينَ.
Kita memohon kepada Alloh agar menjaga kita dari kebid’ahan dan fitnah,
menghidupkan kita dalam Islam dan Sunnah, dan menjadikan kita termasuk orang
yang mengikuti Rosulullah ﷺ selama hidup dan menghimpun kita di dalam
rombongan beliau setelah meninggal dengan rohmat-Nya dan karunia-Nya. Amin.
وَهَذَا آخِرُ المُعْتَقَدِ، وَالحَمْدُ لِلّٰهِ وَحْدَهُ، وَصَلَّى اللهُ
عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا.
Inilah penjelasan akhir dari Aqidah kami, dan segala puji milik Alloh
semata, dan semoga sholawat Alloh dan salam-Nya tercurah kepada penghulu kita
Muhammad, keluarganya, dan para Sahabatnya.
***
[1] Seperti mengatakan: “Alloh
tidak memiliki Tangan.” Istilah lainnya adalah ta’thīl (membatalkan
sifat Alloh).
[2] Memahami Sifat Alloh dengan makna lain yang bukan asal makna secara bahasa,
tanpa adanya indikasi yang membawa kepada makna tersebut, misalnya Tangan Alloh
(يد الله)
dimaknai kuasa Alloh. Istilah lainnya adalah tahrīf.
[3] Tasybīh dan tamtsīl satu makna, yaitu menyerupakan
Alloh dengan makhluk. Jika ia mengatakan: “Wajah Alloh sama dengan wajah
manusia,” ini dinamakan tamtsīl, dan jika ia mengatakan: “Wajah Alloh
seperti wajahku,” ini dinamakan tasybīh. Keduanya adalah kekufuran.
[4] Yakni ilmu tentang hakikatnya, adapun ilmu tentang makna
secara lafazh maka wajib menerimanya, seperti Sifat Tangan adalah jelas
maknanya, tanpa menyerupakan dengan makhluk.
[5] Yakni tersamar oleh sebagian orang, tetapi jelas bagi ahli ilmu, karena
Al-Qur’an diturunkan sebagai hidayah, dan ini tidak akan terwujud kecuali makna
ayat-ayatnya harus jelas, tidak tersamar secara menyeluruh. “Inilah Kitab yang
semua ayatnya muhkam (jelas).” (QS. Hūd: 1)
[6] Yakni membayangkan bentuk Alloh dengan akal pikirannya. Dilarangnya hal ini
karena akal manusia terbatas. Kita diperintahkan memikirkan makhluk Alloh bukan
Dzat Alloh dan Sifat-Nya.
[7] Yakni hakikat Sifat Alloh. Aqidah Ahlus Sunnah adalah menetapkan makna dari
Sifat Alloh apa padanya sesuai kandungan lafazhnya, adapun hakikat dari
maknanya tidak ada yang tahu kecuali Alloh semata.
[8] Yakni ditinjau dari orang yang membacanya, adapun dari Al-Qur’an sendiri
seluruh ayatnya adalah muhkam (jelas) karena mustahil ia dijadikan
pedoman hidup lalu tidak jelas maknanya.
[9] HR. Abu Dawud no. 4607
dan At-Tirmidzi no. 2676. Dishohihkan Syaikh Al-Albani.
[10] HR. Al-Bukhori no. 1145
dan Muslim no. 758.
[11] HR. Ibnul Arobi no. 887
dalam Al-Mu’jam dan Ahmad no. 17370 dan dinilai hasan oleh Al-Haitsami
dan Al-Arnauth.
[12] HR. Al-Bukhori no. 2826
dan Muslim no. 1890. Yakni pembunuh bertaubat lalu berjihad dan mati sebagai
syahid.
[13] Istawā biasa diterjemahkan bersemayam,
dan saya kira banyak orang yang tidak mengerti arti bersemayam dan boleh jadi
justru salah paham, maka saya menerjemahkannya secara tafsir yaitu tinggi,
seperti yang ditafsirkan oleh Abul Aliyah dalam Shohih Al-Bukhori.
[14] HR. Abu Dawud no. 3892.
[15] HR. Muslim no. 537.
[16] HR. At-Tirmidzi no. 3483.
[17] HR. Abu Dawud no. 4723.
[18] HR. Al-Bukhori IX/141
atau sebelum no. 7481. Ada yang berpendapat mauquf (hanya ucapan
Sahabat).
[19] HR. At-Tirmidzi no. 3167,
An-Nasai no. 2081, dan Ahmad no. 1950, juga dijadikan penguat oleh Al-Bukhori
no. 3349.
[20] Maksudnya ilmu-Nya karena
Alloh di atas ‘Arsy.
[21] Yakni menjelang hari
Kiamat, Al-Qur’an akan diangkat ke langit menuju Alloh, hingga mushaf kosong
dari tulisan dan dada kosong dari hafalan. Lalu Kiamat terjadi pada generasi
yang rusak, tidak mengenal Al-Qur’an.
[22] Yakni sesuai kaidah
bahasa dan tajwid, misalnya majrur dibaca majrur dan mad
dibaca mad.
[23] Contohnya: awalnya sholat Tahajud wajib (Al-Muzzammil: 20) lalu hukumnya
dihapus menjadi sunnah (QS. Al-Isro: 79).
[24] Contohnya: wanita yang
dicerai masa iddahnya 3 kali haid (QS. Al-Baqoroh: 228) lalu ditakhsis
(dikecualikan) jika dicerai sebelum digauli maka tidak ada iddah (QS.
Al-Ahzab: 49).
[25] HR. Ath-Thobaroni no.
7574 dalam Al-Ausath. Al-Wardani matruk tetapi hadits ini memiliki asal
di Shohih At-Tirmidzi.
[26] Yakni tidak paham tafsir
lalu mengamalkan kebatilan. Contohnya adalah kaum Khowarij yang membunuh kaum
Muslimin.
[27] HR. Ahmad no. 12483.
[28] HR. Al-Bukhori no. 554
dan Muslim no. 633. Arti muttafaqun ‘alaihi (disepakati) adalah hadits
yang disepakati Al-Bukhori dan Muslim.
[29] HR. Ath-Thobaroni dalam Az-Zawaid
lil Haitsami no. 16111.
[30] HR. Abu Dawud no. 1425
dan dishohihkan Syaikh Al-Albani.
[31] HR. Muslim no. 35.
[32] HR. Al-Bukhori no. 22 dan
lain-lain.
[33] HR. Al-Bukhori no. 1339
dan Muslim no. 2372.
[34] HR. Al-Bukhori no. 6583
dan Muslim no. 2290-2291.
[35] HR. Al-Bukhori no. 6544.
[36] HR. Abu Dawud no. 4628
dan lain-lain. Dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albani.
[37] HR.
Ahmad no. 879 dan dishohihkan Syaikh Al-Arnauth.
[38] HR. Ahmad no. 135 dalam Fadhōil
Ash-Shohābah.
[39] HR. Abu Dawud no. 4607
dan dishohihkan Syaikh Al-Albani.
[40] HR. Abu Dawud no. 4646
dan dinilai hasan shohih Syaikh Al-Albani.
[41] HR. At-Tirmidzi no. 3747
dan dishohihkan Syaikh Al-Albani.
[42] HR. At-Tirmidzi no. 3768
dan dishohihkan Syaikh Al-Albani.
[43] HR. Muslim no. 119.
[44] HR. Abu Dawud no. 2532.
[45] HR. Al-Bukhori no. 3673
dan Muslim no. 2540. Satu mud adalah cakupan dua tangan orang dewasa
yang dihamparkan.