Download Buku: Rahasia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Memikat Hati
https://www.terjemahmatan.com/2017/03/download-buku-rahasia-nabi-shallallahu-memikat-hati.html
Rahasia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Memikat Hati
Download
pdf > https://norkandirblog.files.wordpress.com/2016/12/rahasia-nabi-saw-memikat-hati-v1.pdf
بِسْمِ
اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ
لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّباً مُبَارَكًا فِيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا
وَيَرْضَاهُ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ
وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ:
A. Muqaddimah
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
satu-satunya manusia sepanjang sejarah kehidupan yang paling dicintai oleh
kebanyakan manusia, baik kawan maupun lawan. Hal ini disebabkan beliau adalah
utusan Allah dan pilihan-Nya. Dari Allah, beliau diberi amanah misi iman dan
amal shalih, lalu karena dua hal ini berakibat beliau dicintai oleh seluruh
manusia karena kesempurnaan iman dan amal shalih beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Allah berfirman:
«إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا»
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal
shalih, ar-Rahman akan jadikan untuk
mereka wudda.” (QS. Maryam [19]: 96)
Apa itu wudda? Wudda artinya hubbun
(rasa cinta) sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Adapun tafsirnnya disampaikan oleh Qatadah:
يَجْعَلُ
لَهُمْ وُدّاً فِي قُلُوْبِ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Dia menjadikan untuk mereka rasa cinta di hati
orang-orang mukmin.” (Zâdul Masîr fî Ilmit Tafsîr (III/148) oleh al-Hafizh Ibnul Jauzi)
Adapun Mujahid menafsirkannya:
مَحَبَّةً
فِي النَّاسِ فِي الدُّنْيَا
“Rasa cinta di kalangan manusia di dunia.” (Tafsîr Ibnu Katsîr V/269)
Hukum kauniyah (sebab-akibat) berlaku bagi Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Rasa cinta manusia kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam merupakan akibat dari akhlak beliau yang sempurna yang
belum pernah ada sepanjang sejarah. Akhlak ini bukan akhlak sembarangan, bukan
asal-asalan, dan bukan semata hasil karya dan usaha Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, tetapi murni karunia Allah. Ini sebagaimana firman-Nya:
«فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ»
“Karena rahmat Allah kamu berlaku lemah-lembut kepada mereka.”
(QS. Alî
Imrân [3]: 159)
Untuk itulah mengapa akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah puncak kesempurnaan akhlak tanpa cela, karena rahmat dari
Allah untuk utusan-Nya agar dengannya beliau gunakan untuk mengajak manusia
kepada indahnya Islam. Allah memuji kemuliaan akhlak beliau, padahal Dia-lah
yang mentakdirkannya untuk beliau. Allah berfirman:
«وَإِنَّكَ
لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ»
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar di atas akhlak yang
agung.” (QS. Al-Qalam [68]: 4)
Kemudian Allah jadikan beliau sebagai uswah (teladan)
bagi segenap manusia terutama orang-orang beriman, sebagaimana firman-Nya:
«لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ»
“Sungguh pada diri Rasulullah terdapat uswah hasanah (teladan
yang baik) bagi kalian.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 21)
Lalu bagaimana gambaran akhlak Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan pengaruhnya terhadap para shahabatnya? Dalam artikel sederhana
ini akan dijelaskan, insya Allah, rahasia akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam memikat hati para shahabatnya sehingga mereka benar-benar
jatuh hati kepada Nabi teladan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
B. Sebagian Akhlak Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
yang Agung
Akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengagumkan amatlah banyak.
Tetapi di sini hanya di singgung 5
akhlak saja.
Pertama: Toleran dan Pemaaf
Manusia adalah tempat kesalahan. Hampir tidak ada manusia
tanpa kesalahan dan kekeliruan, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjuluki manusia sebagai khaththâ`ûn (yang banyak melakukan kesalahan).
Pepatah Arab menyebutkan:
الإِنْسَانُ
مَحَلُّ الْخَطَاءِ وَالْنِسْيَانِ
“Manusia adalah tempat salah dan lupa.”
Untuk itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
suka memberikan toleransi dan pemaafan
atas kesalahan dan kekeliruan para shahabatnya, serta berlapang dada atas
keadaan yang tidak berpihak kepada beliau.
Bagaimana perasaan seorang ayah saat menyuruh anaknya
untuk belanja ke toko tetapi
menolak dengan mengatakan, “Tidak!” Dijamin, si anak setelah itu babak belur
atau menangis karena dimarahi, minimal si ayah cemberut. Tapi hal ini tidak
berlaku di akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu bercerita,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling
mulia akhlaknya. Suatu hari beliau mengutusku untuk suatu keperluan lalu aku
berkata, ‘Demi Allah! Aku tidak akan pergi.’ Tetapi di dalam hatiku aku akan
pergi melaksanakan perintah Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu aku pun keluar hingga melewati anak-anak kecil yang sedang bermain-main di
pasar (dan bergabung dengan mereka). Tiba-tiba Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku dari belakang. Aku menoleh ke
belakang sementara beliau tertawa lalu berkata, ‘Wahai Unais (Anas kecil),
apakah kamu telah pergi melaksanakan perintahku?’ Aku menjawab, ‘Ya. Aku
pergi sekarang, wahai Rasulullah.’” (Shahih: HR. Muslim no. 2310, IV/1805 dan Abu Dawud no.
4773)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak marah
kepada Anas bahkan sikap beliau tetap santai dan ceria meskipun Anas
menunda-nunda perintah beliau. Bahkan beliau tersenyum kepadanya dan
memanggilnya dengan panggilan kasih sayang “Unais”. Hal yang lebih mengagumkan
adalah selama 10 tahun bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Anas tidak pernah dikomentari Rasulullah atas kesalahannya, padahal 10 tahun
itu waktu yang sangat panjang, apalagi anak kecil biasa melakukan kesalahan dan
meremehkan tugas.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
فَمَا أَمَرَنِي بِأَمْرٍ فَتَوَانَيْتُ عَنْهُ أَوْ
ضَيَّعْتُهُ فَلَامَنِي، فَإِنْ لَامَنِي أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ إِلَّا
قَالَ: «دَعُوهُ، فَلَوْ قُدِّرَ - أَوْ قَالَ: لَوْ قُضِيَ - أَنْ يَكُونَ كَانَ»
“Beliau tidak pernah mencelaku atas perintah beliau yang
aku tunda-tunda atau remehkan. Jika ada seorang dari kelurga beliau yang
mencelaku, beliau berkata, ‘Biarkan saja dia. Jika memang sudah ditakdirkan
pasti terjadi.’” (Shahih: HR. Ahmad no. 13418, XXI/103 dalam Musnadnya.
Syu’aib al-Arna`uth)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu juga berkata:
خَدَمْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ سِنِينَ، فَمَا قَالَ لِي: أُفٍّ! وَلاَ: لِمَ
صَنَعْتَ؟ وَلاَ: أَلَّا صَنَعْتَ؟
“Aku menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam selama 10 tahun, tetapi beliau tidak pernah berkata kepadaku, ‘Kamu
ini!’ tidak pula, ‘Kenapa berbuat begini?’ dan tidak pula, ‘Kenapa kamu tidak
berbuat begini?’” (Muttafaqun
‘Alaih:
HR. Al-Bukhari no. 6038, VIII/14 dan Muslim no. 2309)
Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah safar bersama sebagian para shahabatnya. Saat malam tiba beliau
menawarkan siapa yang bersedia begadang malam menjaga keamanan, lalu tampillah
Bilal bin Rabbah radhiyallahu ‘anhu yang menyanggupinya. Lama sekali Bilal berjaga malam, akhirnya dia tidak bisa menguasai
dirinya hingga dia tertidur. Rasulullah terbangun di pagi hari karena sengatan
matahari lalu disusul para shahabatnya. Mereka gaduh karena belum shalat
Shubuh. Nabi menghampiri Bilal mengapa tidak membangunkan dan melaksanakan
tugas dengan baik. Bilal menjawab, “Ya Rasulullah, saya telah berjaga-jaga tadi
malam. Tetapi saya hanya manusia biasa sehingga menimpa saya apa yang menimpa
Anda.” Ya, Bilal
juga manusia yang bisa mengantuk. Rasulullah tidak berkomentar dan menerima
alasan Bilal. Tanpa pikir panjang, beliau langsung berwudhu dan shalat Subuh.
Buat apa menyalahkan Bilal, nasi sudah menjadi bubur. Yang terpenting sekarang
adalah segera shalat. (Diringkas
dari Istamti’ bî Hayâtik karya Prof. Dr. Muhammad al-‘Arifi secara makna)
Kalaupun ada yang perlu diluruskan dan akan fatal jika
didiamkan, maka beliau pun tetap menggunakan etika yang mulia. Kebiasan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika mengoreksi kesalahan orang bukan di hadapan umum, kalaupun
di hadapan umum tanpa tunjuk hidung.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا بَلَغَهُ عَنِ الرَّجُلِ الشَّيْءُ لَمْ يَقُلْ: مَا بَالُ
فُلَانٍ يَقُولُ؟ وَلَكِنْ يَقُولُ: مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَقُولُونَ كَذَا
وَكَذَا؟
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendapat kabar sesuatu tentang
seseorang (yang perlu diluruskan), beliau tidak berkata, ‘Mengapa si fulan
(sebut nama) mengatakan ini?’ Tetapi beliau berkata, ‘Mengapa ada orang-orang
yang mengatakan ini dan itu?’” (Shahih: HR. Abu Dawud no. 4788, IV/250 dan al-Baihaqi no.
7745 dalam Syu’abul Imân. Dinilai shahih oleh al-Albani)
Dengan metode seperti ini, beliau berhasil menyelamatkan
orang yang tersalah tersebut untuk menyelamatkan mukanya tanpa menolak nasihat.
Ibarat borok yang dihinggapi lalat, jika ditampar keras justru menambah luka
tetapi jika diberi ayunan ringan perlahan lalat akan pergi dengan sendirinya
tanpa meninggalkan luka.
Sebagaimana beliau memberi udzur kepada manusia, beliau
juga memberi udzur kepada keadaan yang tidak berpihak kepada beliau.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:
مَا
عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ، إِنِ
اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِلَّا تَرَكَهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
mencela makanan sama sekali. Jika berselera beliau memakannya, tetapi jika
tidak beliau membiarkannya.” (Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari no. 3563, IV/190 dan Muslim no.
2064)
Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah dihidangkan dhab (sejenis binatang melata yang biasa di makan orang
Arab), tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diam saja dan tidak
memakannya. Melihat itu Khalid bin al-Walid bertanya:
أَحَرَامٌ الضَّبُّ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟
قَالَ: «لاَ، وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي، فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ»
قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ إِلَيَّ
“Apakah dhab haram, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak.
Hanya saja ia tidak ada di daerah kaumku. Aku mendapati diriku tidak berselera
terhadapnya.” Khalid berkata, “Aku pun menyantapnya dengan lahap, sementara
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku.” (Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari no. 5391, VII/71
dan Muslim no. 1945)
Seni bergaul Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang satu ini juga tidak kalah hebatnya. Diamnya beliau lebih menjaga perasaan
orang yang menghidangkan dari pada komentar. Namun, ajaibnya saat beliau
diminta memberi komentar oleh Khalid, beliau menjawab dengan jawaban yang tidak
mencela makanan sekaligus menjaga perasaan penghidang makanan. Beliau tidak
menjawab, “Tidak. Ia menjijikkan dan aku tidak menyukainya,” karena
kesempurnaan akal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak
mencela makanan sekaligus menjaga hati manusia.
Kedua: Murah Senyum
‘Abdullah bin al-Harits bin Jaz` radhiyallahu ‘anhu berkata:
مَا
رَأَيْتُ أَحَدًا أَكْثَرَ تَبَسُّمًا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang paling banyak
tersenyum melebihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 3641, V/601)
dan Ahmad (no. 17704) dalam Musnadnya. Dinilai shahih oleh al-Albani dan
al-Arna`uth)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
benar-benar melakukan hal ini. Beliau memikat manusia dengan tersenyum manis
meskipun saat pertemuan pertama, baik anak kecil maupun dewasa, miskin maupun
kaya. Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengaku:
مَا حَجَبَنِي
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ أَسْلَمْتُ، وَلاَ رَآنِي
إِلَّا تَبَسَّمَ فِي وَجْهِي
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
menghijabku[1]
semenjak aku masuk Islam dan beliau tidak pernah menatapku kecuali beliau tersenyum
di wajahnya.” (Maksudnya,
beliau tidak pernah melarangku meminta izin masuk mengunjungi rumahnya saat
beliau di rumah. Fathul Bârî (XXI/137) oleh al-Hafizh Ibnu Hajar)
‘Amr bin ‘Ash sangat memusuhi Islam, bahkan dia termasuk
pioner pengusung perang Badar dari pihak Quraisy. Setelah masuk Islam, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam murah senyum kepadanya hingga dia merasa sungkan sendiri
saat menatap beliau, ini bisa diketahui dari penuturannya sendiri:
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَبْغَضَ
إِلَيَّ مِنْهُ. فَلَمَّا أَسْلَمْتُ، لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيَّ
مِنْهُ، وَلَا أَجَلَّ فِي عَيْنِيْ مِنْهُ
“Sungguh tidak ada seorang pun yang paling aku benci selain
beliau. Namun, tatkala aku masuk Islam, tidak ada seorang pun yang paling aku cintai selain
beliau dan aku sungkan untuk memadang beliau.” (Aqîdatut Tauhîd (hal. 150) oleh Syaikh Fauzan
al-Fauzan)
Saking percaya dirinya, dia memberanikan diri untuk
bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang siapakah
orang yang paling dicintai beliau, karena dia merasa adalah orang yang paling
dicintai beliau karena sikap hangat beliau kepadanya.
‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu
‘anhu bertanya:
أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ:
«عَائِشَةُ»، فَقُلْتُ: مِنَ الرِّجَالِ؟ فَقَالَ: «أَبُوهَا»، قُلْتُ: ثُمَّ
مَنْ؟ قَالَ: «ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ» فَعَدَّ رِجَالًا
“Siapakah orang yang paling Anda cintai?” Beliau
menjawab, “’Aisyah.” Aku bertanya, “Dari kalangan laki-laki?” Beliau
menjawab, “Ayahnya.” Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau
menjawab, “Kemudian ‘Umar.” Beliau menyebut beberapa orang. (Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari no. 3662, V/5 dam Muslim no. 2384)
Ketiga: Sabar dan Penyantun
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ambil
pusing atas sikap orang yang kurang adab kepada beliau, tetapi beliau sikapi
mereka dengan sikap sabar dan santun.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bercerita, “Aku pernah berjalan bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam saat beliau memakai selendang Nejran yang tepi-tepinya
tebal lalu datanglah seorang badui. Tiba-tiba dia menarik selendang beliau
dengan keras. Aku memperhatikan leher Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan tepi selendang itu menimbulkan bekas karena saking keras tarikannya.
Kemudian badui tadi berkata, ‘Wahai Muhammad! Berikanlah harta Allah yang ada
padamu kepadaku!’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh kepadanya
sambil tertawa kemudian memberikan itu kepadanya.” (Muttafaqun ‘Alaih: HR. Muslim no. 1057, II/730
dan al-Bukhari no. 3149)
Perhatikan prilaku kurang adab orang badui itu, bahkan
ucapannya pun kurang ajar, meminta dengan memaksa dan mengklaim bahwa selendang
yang dipakai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan milik beliau
sehingga layak untuk diminta. Tetapi alangkah menakjubkannya, beliau memberikan
selendang itu kepadanya. Tetapi yang lebih menakjubkan adalah respon beliau
tanpa marah sedikitpun bahkan bisa langsung tersenyum sambil tertawa.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bercerita,
“Suatu ketika kami di masjid bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Tiba-tiba seorang badui datang lalu
kencing sambil berdiri di dalam masjid. Spontan para shahabat berteriak,
‘Berhenti! Berhenti!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menimpali, ‘Jangan kalian ganggu dia, biarkan saja.’ Kemudian mereka
membiarkannya hingga dia selesai kencing. Kemudian Rasulullah memanggilnya dan
bersabda kepadanya, ‘Sesungguhnya masjid-masjid itu tidak untuk tempat
kencing dan kotoran tetapi hanya untuk berdzikir kepada Allah, shalat, dan
membaca al-Qur`an.’ Atau yang semakna. Lalu beliau memerintah seseorang
untuk mengambil seember air lalu disiramkan kepada bekas kencingnya.” (Shahih: HR. Muslim (no. 285, I/236).
Hadits ini sebenarnya muttafaqun ‘alaih hanya saja terjadi perbedaan redaksi
yang tajam)
Ternyata sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini begitu berkesan bagi dirinya
sehingga beliau menjadi orang yang dicintainya dalam sekejab. Singkat cerita,
orang badui itu turut shalat berjamaah dan di dalam shalatnya dia berdo’a, “Ya
Allah rahmatilah aku dan Muhammad, dan janganlah engkau merahmati seorang pun
bersama kami.” Usai salam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepadanya, “Kamu telah membatasi sesuatu yang luas,” maksudnya rahmat
Allah.” (Shahih: HR. Al-Bukhari no. 6010)
Syaikh al-Utsaimin berkomentar, “Bentuk kemulian akhlak
di sini adalah beliau tidak menghardik orang badui ini dan tidak pula
memukulnya tetapi membiarkannya hingga selesai kencingnya. Kemudian beliau
mengajari si badui bahwa masjid-masjid itu tidak boleh diperlakukan seperti
perbuatannya tersebut tetapi hanya untuk tempat berdzikir, shalat, dan membaca
al-Qur`an.” (Makârimul
Akhlâq
(hal. 54) oleh al-Utsaimin)
Sungguh mengagumkan cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyelesaikan masalah. Lihatlah do’a si badui itu yang menunjukkan
rasa cintanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun dia
keliru lagi dengan membatasi rahmat, padahal rahmat Allah begitu luas. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak menyalahkan si badui dengan mengatakan, “Kamu
keliru! Do’amu salah!” atau yang semisalnya, tetapi beliau memakai ungkapan
yang cukup bisa dipahami bahwa si badui keliru tanpa kehilangan cintanya.
Subahanallah!
Keempat: Dermawan
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللّٰهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى
رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ، وَكَانَ يَلْقَاهُ فِى كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ
فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ، فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
manusia yang paling dermawan. Keadaan beliau paling dermawan adalah pada bulan
Ramadhan saat ditemui oleh Jibril alaihis salam. Dia menemui beliau
setiap malam di bulan Ramadhan untuk tadarrus al-Qur`an. Sungguh Rasulullah
adalah yang paling dermawan dalam kebaikan melebihi angin yang berhembus.” (Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari no. 6, I/8
dan Muslim no. 2308)
Ibnu Syihab az-Zuhri bercerita, “Rasulullah pernah
berperang untuk menaklukkan kota Makkah, setelah itu beliau keluar bersama
pasukan kaum muslimin untuk perang Hunain. Lalu Allah memenangkan agama-Nya dan
kaum muslimin. Kemudian, Rasulullah memberi Shafwan bin Umayyah (ghanimah) unta
sebanyak 100 ekor, lalu ditambah 100 ekor lagi, lalu ditambah 100 ekor lagi.”
Siapa Shafwan bin Umayyah itu?
Dia adalah orang yang sangat membenci Islam dan Rasulullah atas terbunuhnya
ayahnya oleh kaum muslimin dalam sebuah peperangan. Dia memiliki dendam kusumat terhadap Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Setelah penaklukan Makkah dan orang-orang
berbondong-bondong masuk Islam karena kejayaan yang Allah berikan kepada Islam dan kaum muslimin, tidak
ada jalan bagi Shafwan untuk hidup bebas kecuali masuk Islam. Awalnya dia masuk
Islam tidak sepenuh hati, tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berhasil memikat hatinya dengan hadiah-hadiah yang banyak. Di antara kecerdasan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau sengaja membagi 300
ekor unta menjadi tiga sesi pemberian, sehingga terkesan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sangat perhatian kepada Shafwan. Akhirnya, Allah
melapangkan dadanya untuk mencintai Islam dan Rasul-Nya. Mari kita menyimak
penuturannya sendiri.
Masih dari Ibnu Syihab az-Zuhri bahwa dia mendengar Sa’id
bin al-Musayyib menceritakan bahwa Shafwan pernah berkata:
وَاللَّهِ لَقَدْ أَعْطَانِي رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَعْطَانِي، وَإِنَّهُ لَأَبْغَضُ النَّاسِ
إِلَيَّ، فَمَا بَرِحَ يُعْطِينِي حَتَّى إِنَّهُ لَأَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ
“Demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
benar-benar memberiku apa yang telah diberikannya kepadaku. Sungguh beliau
adalah orang yang paling aku benci. Kemudian beliau senantiasa memberi hadiah
kepadaku hingga benar-benar dia menjadi manusia yang paling aku cintai.” (Shahih: HR. Muslim (no. 2313, IV/1806)
dan al-Baihaqi (no. 13186) dalam as-Sunan al-Kubrâ)
Di samping dermawan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah menolak permintaan. Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu
‘anhuma berkata:
مَا
سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ قَطُّ فَقَالَ:
لاَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
diminta apapun lalu menjawab tidak.” (Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari no. 6034, VIII/13
dan Muslim no. 2311)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
bahwa ada seorang lelaki yang meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
domba-domba di antara dua gunung (saking banyaknya), lalu beliau memberikannya.
Kemudian dia mendatangi kaumnya seraya berkata, ‘Wahai kaumku, masuk Islamlah!
Demi Allah, sungguh Muhammad benar-benar memberi suatu pemberian tanpa khawatir
miskin!’ Awalnya dia masuk Islam karena dunia, kemudian Islam lebih dia sukai
daripada dunia dan seisinya.” (Shahih: HR. Muslim (no. 2312, IV/1806) dan Ahmad (no.
12790) dalam Musnadnya)
Imam an-Nawawi menjelaskan, “Baru sebentar dia memeluk
Islam, lalu Islam
sudah menjadi yang paling dia cintai, yakni dengan bangga akan keislamannya.
Awalnya dia memiliki niat yang tidak benar di dalam hatinya, kemudian dia
konsisten karena berkah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan cahaya
Islam.” (Syarhu
Shahîh Muslim
(XV/72-73)
olehnya)
Betapa singkat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memikat lelaki musyrik itu. Beliau rela dan tanpa beban memberikan gembalaannya
hanya karena satu kalimat. Ini mustahil bisa terjadi kecuali memang Muhammad
adalah utusan Allah. Sebab, manusia memiliki tipikal suka harta dan bakhil
untuk menyedekahkannya, berdasarkan beberapa ayat al-Qur`an yang memberitakan
hal ini. Untuk itu diperlukan keimanan yang kuat kepada Allah dengan
kepercayaan total akan sirnanya dunia dan tabungan di akhirat.
Jika kita renungkan sejenak, ada rahasia agung akan sikap
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam rela menyerahkan domba-domba
ini dalam hitungan menit kepada lelaki musyrik ini. Seandainya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menolak, kemungkinan lelaki itu akan tetap kufur dan
semakin membenci Islam dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sehingga menghalanginya untuk masuk surga yang penuh dengan kenikmatan. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam rela berkorban dengan yang sedikit untuk menggapai mashlahat
yang agung.
Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu,
dia bercerita, “Ada seorang wanita yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan membawa burdah tenunan yang tebal tepi-tepiannya (untuk
dihadiahkan)... Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya
karena memang membutuhkannya. Kemudian beliau keluar dengan memakainya bersama
kain sarungnya. Lalu ada seseorang yang merasa senang (melihatnya) seraya
berkata, ‘Biarkan saya yang memakainya. Sungguh indah sekali pakaian ini!’ Para
shahabat berkata kepadanya (setelah beliau pergi dan menghadiahkannya), ‘Memang
indah! Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakainya karena memang
membutuhkannya, lalu kamu memintanya, padahal kamu tahu beliau tidak pernah
menolak permintaan!’ Dia menjawab, ‘Demi Allah, saya tidak memintanya untuk
saya pakai tetapi agar kelak ia menjadi kain kafanku.’ Benar, dia kemudian dikafani
dengannya.” (Shahih: HR. Al-Bukhari no. 1277, II/78
dan Ibnu Majah no. 3555)
Kelima: Hangat dan Perhatian
Meskipun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sibuk
dengan dakwah dan jihad, tetapi hal itu tidak menghalangi beliau untuk bersikap
hangat dan memberi perhatian kepada shahabat-sahabatnya.
Jika Nabi bertemu ‘Abdurrahman bin ‘Auf sang pedagang,
beliau menanyakan kabar perniagaannya. Jika beliau bertemu Khalid bin al-Walid yang hobi berperang hingga
dijuluki saifullah (sang pedang Allah), beliau berbicara seputar strategi
perang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertemu Jabir bin
‘Abdillah sang pemuda. Kira-kira apa bahan pembicaraan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam? Ya, tentang pernikahan. Tidak ada pembicaraan yang
paling disukai kawula muda selain pernikahan. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pun bertanya kepadanya:
«يَا
جَابِرُ، تَزَوَّجْتَ؟»
“Wahai Jabir, apakah kamu telah menikah?”
(Muttafaqun
‘Alaih:
HR. Muslim no. 715, II/1087 dan al-Bukhari no. 5247)
Terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut
nimbrung dengan perbincangan sebagian shahabatnya yang tidak begitu penting,
selagi tidak mengandung kemaksiatan dan dosa. Beliau melakukan itu semata-mata
karena Allah dan berharap dengan itu bisa memikat hati mereka agar semakin
loyal terhadap Islam dan berjihad di jalan Allah. Jabir bin Samurah radhiyallahu
‘anhu berkata:
«جَالَسْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ مَرَّةٍ، فَكَانَ أَصْحَابُهُ
يَتَنَاشَدُونَ الشِّعْرَ، وَيَتَذَاكَرُونَ أَشْيَاءَ مِنْ أَمْرِ الجَاهِلِيَّةِ
وَهُوَ سَاكِتٌ، فَرُبَّمَا يَتَبَسَّمُ مَعَهُمْ»
“Aku bermajlis dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lebih dari 100 kali. Beberapa shahabat beliau ada yang
menyenandungkan syair dan bercerita segala sesuatu tentang perkara jahiliyah,
sementara beliau diam saja, tetapi terkadang beliau tersenyum bersama mereka.”
(Shahih: HR. At-Tirmidzi no. 2850, V/140
dan Muslim no. 670)
Dalam hal ini beliau telah bersikap pertengahan. Beliau
diam karena memang pembicaraan mereka bukan perkara agama yang penting, dan
terkadang beliau tersenyum untuk cerita mereka yang lucu selagi tidak dusta dan
ghibah. Dengan itu beliau berhasil memikat hati mereka.
Al-Hafizh Ibnul Jauzi bercerita di kitabnya yang
legendaris Shaidul Khathir bahwa dulu ada seorang ahli ibadah yang saat
mendapat kabar kematian putranya justru tertawa terbahak-bahak, seolah-olah dia
sangat ridha dengan takdir Allah. Padahal, dia telah ditipu setan. Adapun Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menangis saat kematian putra kesayangannya, Ibrahim,
tetapi beliau tidak mengucapkan kalimat kecuali yang diridhai Allah. Beliau
berhasil menggabungkan dua kebaikan, beliau beristirja` sebagai isyarat
keridhaannya terhadap takdir Allah dan beliau menangis untuk meringankan
kesedihan kerabat beliau, terutama Mariyah ibu Ibrahim.
Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu
bercerita bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:
«إِنِّي لَأَعْلَمُ إِذَا كُنْتِ عَنِّي
رَاضِيَةً، وَإِذَا كُنْتِ عَلَيَّ غَضْبَى» قَالَتْ: فَقُلْتُ: مِنْ أَيْنَ
تَعْرِفُ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: «أَمَّا إِذَا كُنْتِ عَنِّي رَاضِيَةً، فَإِنَّكِ
تَقُولِينَ: لاَ وَرَبِّ مُحَمَّدٍ! وَإِذَا كُنْتِ عَلَيَّ غَضْبَى، قُلْتِ: لاَ
وَرَبِّ إِبْرَاهِيمَ!» قَالَتْ: قُلْتُ: أَجَلْ وَاللّٰهِ يَا رَسُولَ اللّٰهِ،
مَا أَهْجُرُ إِلَّا اسْمَكَ
“Sungguh aku benar-benar tahu kapan kamu sedang marah
kepadaku dan kapan kamu sedang ridha kepadaku.” Aku
(‘Aisyah) berkata, “Dari mana Anda tahu itu?” Beliau menjawab, “Adapun jika
kamu sedang ridha kepadaku, kamu berkata, ‘Demi Rabb Muhammad!’ Dan jika kamu
sedang marah kepadaku, kamu berkata, ‘Demi Rabb Ibrahim!’” Aku berkata,
“Benar, demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak menjauhi kecuali namamu.” (Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari no. 5228, VII/36 dan
Muslim no. 2439)
Di lain waktu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendoakan ‘Aisyah:
«اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِعَائِشَةَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنَبِهَا وَمَا تَأَخَّرَ، مَا أَسَرَّتْ
وَمَا أَعْلَنَتْ»
“Ya Allah, ampunilah ‘Aisyah dosanya yang akan datang
maupun yang telah berlalu, yang tersembunyi maupun yang nampak.”
(Hasan: HR. Ibnu Hibban (no. 7111, XVI/47)
dalam Shahîhnya dan ath-Thabarani (no. 1458) dalam ad-Duâ`.
Dinilai hasan oleh al-Albani dan al-Arna`uth)
‘Aisyah sangat terkesan dengan do’a beliau ini dan tertawa hingga kepalanya
terjatuh sangking gembiranya. Perlakuan hangat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada istrinya ini menjadikan ‘Aisyah sebagai wanita yang loyal
kepada Islam dengan sabar menyebarkan sunnah-sunnah beliau kepada umat
sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Untuk lebih jelasnya, mari kita dengarkan penuturan Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku melayani Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam selama 10 tahun. Aku sudah mencium banyak aroma, tetapi
aku belum pernah mencium aroma yang lebih wangi dari aroma beliau. Apabila ada
shahabat yang menemui beliau, maka beliau berdiri bersamanya dan tidak menyudahi
hingga dia sendiri yang menyudahinya. Apabila ada shahabat yang menjumpai
beliau lalu menjabat tangan beliau maka beliau menyambut tangannya dan tidak
melepaskannya hingga dia sendiri yang melepaskannya. Apabila ada shahabat yang
menjumpai beliau lalu mendekat ke telinga beliau, beliau memasang
pendengarannya dan tidak menyudahi hingga dia sendiri yang menyudahinya.” (Hasan: HR. Ibnu Sa’ad I/378 dalam ath-Thabaqât
al-Kubrâ. Dinilai hasan oleh al-Albani dalam Shahîhul Jâmi’ no.
4780)
C. Penutup
Betapa agung akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Tidak belebihan jika Allah bersumpah menggunakan umur beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam.
«لَعَمْرُكَ»
“Demi umurmu.” (QS. Al-Hijr [13]: 72)
Al-Hafizh Ibnul ‘Arabi
berkata, “Para ahli tafsir sepakat bahwa sumpah Allah di sini adalah
dengan kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
bentuk pemuliaan kepada beliau.” ... Sementara Abul Jauza` berkata, “Allah
tidak pernah bersumpah dengan kehidupan seorang pun kecuali Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena beliau adalah manusia yang paling mulia di
sisi-Nya.” (Tafsîr
al-Qurthubî
X/39)
Di zaman sekarang, kebanyakan orang-orang Barat melirik
kecerdasaan emosional, tidak semata kecerdasan intelejensial. Mereka
mengembangkan begitu banyak konsep tentangnya dan mengkajinya untuk tujuan
bisnis dan meraup dunia. Sayangnya, banyak kaum muslimin yang ikutan-ikutan
gandrung mempelajari konsep mereka. Padahal, Allah telah menggantinya dengan
yang jauh lebih utama, yakni contoh konkrit kecerdasan emosional yang ada pada
diri sang uswah hasanah Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk memikat hati manusia. Bahkan, berakhlak mulia Allah jadikan sebagai
ibadah, bahkan lebih utama dari segenap ibadah lainnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«إِنَّ
الْمُؤْمِنَ يُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَاتِ قَائِمِ اللَّيْلِ صَائِمِ
النَّهَارِ»
“Sesungguhnya orang mukmin dengan akhlaknya yang mulia
bisa mencapai derajatnya orang yang rajin shalat malam dan puasa siang hari
(sunnah).” (Shahih: HR. Ahmad (no. 24355, 50/414) dalam Musnadnya
dan al-Hakim (no. 199) dalam al-Mustadrâk. Dinilai shahih oleh
al-Albani, al-Arna`uth, dan al-Hakim sesuai syarat al-Bukhari-Muslim dan
disetujui adz-Dzahabi)[]
الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
وَصَلَّى
اللَّهُ عَلَى مُحَمَّدِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ وَاللّٰهُ
الْمُوَفِّقُ
Surabaya, 5 Ramadhan 1435 H
Ditulis oleh Abu
Zur’ah ath-Thaybi
D. Referensi
1. Mushhaf al-Qur`ân rash Utsmani cetakan Beirut.
2. Tafsîrul Qur`ânil Adzîm (Tafsîr Ibnî Katsîr)
karya Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasy ad-Dimasyqi (w. 774 H),
Tahqiq: Sami Muhammad Salamah, Penerbit: Dar Tayyibah, cet. ke-2 th. 1420
H/1999 M.
3. Zâdul Masîr fî Ilmit Tafsîr (Tafsîr
Ibnul Jauzî) karya Abu al-Faraj Abdurrahman bin Ali bin Muhammad al-Jauzi
(w. 597 H), Tahqiq: Abdurrazzaq al-Mahdi, Penerbit: Darul Kutub al-Arabi
Beirut, cet. ke-1 th. 1422 H.
4. Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur`ân (Tafsîr al-Qurthubî) karya
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi (w. 671 H), Muhaqqiq: Ahmad
al-Barduni dan Ibrahim Athfisy, Penerbit: Darul Kutub al-Mishriyyah, cet. ke-2
th. 1384 H/1964 M.
5. Al-Jâmi’ as-Musnad ash-Shahîh al-Mukhtashar min Umûri
Rasûlillahi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wa Sunanih wa Ayyamih (Shahîh
al-Bukhârî) karya Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari
al-Ju’fi (w. 256 H), Tahqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir an-Nashir, Penerbit:
Dar Thauqun Najah, cet. ke-1 th. 1422 H.
6. Al-Musnad ash-Shahîh al-Mukhtashar Binaqlil Adli ‘anil
Adli ilâ Rasûlillahi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (Shahîh Muslim)
karya Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi (w.
261 H), Tahqiq: Dr. Muhammad Fuad Abdul Baqi, Penerbit: Ihyaut Turats al-Arabi
Beirut, tanpa tahun.
7. Sunan at-Tirmidzî karya
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah at-Tirmidzi (w. 249 H), Tahqiq: Ahmad
Muhammad Syakir dkk, Penerbit: Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir, cet. ke-2 th.
1395 H/1975 H.
8. Sunan Abû Dâwûd karya Abu Dawud Sulaiman bin
al-Asy’ats as-Sijistani as-Azdi (w. 275 H), Tahqiq: Muhammad Muhyiddin Abdul
Hamid, Penerbit: Maktabah al-Ishriyyah Beirut, tanpa tahun.
9. Sunan Ibnu Mâjah karya
Abu Abdillah Muhammad bin Majah (nama aslinya Yazid) al-Qazwini (w. 273 H),
Tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi, Penerbit: Dar Ihya`ul Kutub al-Arabiyyah.
10. Musnad Ahmad karya Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal
asy-Syaibani (w. 241 ), Tahqiq: Syuaib al-Arnauth dkk, Penerbit: Muassasah
ar-Risalah, cet. ke-1 th. 1421 H/2001 M.
11. Shahîh Ibnu Hibbân karya
Abu Hatim Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban bin Muadz bin Ma’bad
at-Tamimi ad-Darimi (w. 354 H), Tahqiq: Syu’aib al-Arna`ut, Penerbit: Muassasah
ar-Risalah Beirut, cet. ke-2 th. 1414 H/1993 H.
12. Al-Mustadrâk alâsh Shahîhain karya
Abu Abdillah al-Hakim bin Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Hamadiyyah bin
Tsu’aim bin al-Hakam adh-Dhabi ath-Thahmani an-Naisaburi (nama ma’ruf Ibnul
Bayyi’) (w. 405 H), Tahqiq: Musthafa Abdul Qadir Atha, Penerbit: Darul Kutub
al-Ilmiyyah Beirut, cet. ke-1 th. 1411 H/1990 H.
13. Al-Mu’jam al-Kabîr karya
Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Muthir al-Lahmi asy-Syami ath-Thabarani
(w. 360 H), Tahqiq: Hamdi bin Abdul Majid as-Salafi, Penerbit: Maktabah Ibnu
Taimiyyah Mesir, cet. ke-2 tanpa tahun.
14. Al-Mu’jam al-Kabîr (juz 13,
14, dan 21) karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Muthir al-Lahmi
asy-Syami ath-Thabarani (w. 360 H), Tahqiq: penelitian di bawah pengawasan Dr.
Sa’ad bin Abdullah al-Hamid dan Dr. Khalid bin Abdurrahman al-Jarisi, cet. ke-1
th. 1427 H/2006 H.
15. As-Sunan al-Kubrâ karya
Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baihaqi (w. 458 H), Tahqiq: Muhamamd
Abdul Qadir Atha, Penerbit: Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut, cet. ke-3 th. 1424
H/2003 H.
16. As-Sunan ash-Shughrâ karya
Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baihaqi (w. 458 H), Tahqiq: Abdul
Mu’thi Amin, Penerbit: Jami’atud Dirâsât al-Islâmiyyah Pakistan, cet. ke-1 th.
1410 H/1989 H.
17. Syu'abul Imân karya Abu Bakar Ahmad bin al-Husain
bin Ali bin Musa al-Baihaqi al-Khurasani (w. 458 H), Tahqiq: Dr. Abdul Ali
Abdul Hamid Hamid, Penerbit: Maktabah ar-Rusyd Riyadh, cet. ke-1 th. 1423
H/2003 M.
18. Fathul Bârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî karya
Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani asy-Syafi’i (w. 852 H), Tahqiq:
Abdul Aziz bin Baz, Tarqim: Muhammad Fuad Abdul Baqi, Takhrij: Muhibuddin
al-Khathib, Penerbit: Darul Ma’rifat Beirut, cet. th. 1379 H.
19. Al-Minhâj Syarhu Shahîh Muslim bin al-Hajjâj karya
Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi asy-Syafi’i (w. 676 H), Penerbit: Dar
Ihyâ`ut Turâts al-Arabi Beirut, cet. ke-2 th. 1392 H.
20. Aqîdatut Tauhîd karya Shalih bin Fauzan bin
Abdullah al-Fauzan, tanpa penerbit.
21.
Kunjungi
pustakasyabab.blogspot.com untuk ebook gratis lainnya
|