[PDF] Tarjamah Aqidah Ath-Thohawiyyah - Edisi 3 - Abu Ja'far Ath-Thohawi (321 H) | Pustaka Syabab
1. [Muqoddimah]
قَالَ الإِمَامُ أَبُو جَعْفَرٍ الطَّحَاوِيُّ
رَحِمَهُ اللهُ:
هَذَا ذِكْرُ بَيَانِ اعْتِقَادِ أَهْلِ
السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ عَلَىٰ مَذْهَبِ فُقَهَاءِ المِّلَّةِ: أَبِي حَنِيفَةَ
النُّعْمَانِ بْنِ ثَابِتٍ الكُوفِيِّ، وَأَبِي يُوسُفَ يَعْقُوبَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
الأَنْصَارِيِّ، وَأَبِي عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ الحَسَنِ الشَّيْبَانِيِّ رَحْمَةُ
اللهِ عَلَيْهِمْ، وَمَا يَعْتَقِدُونَ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ، وَيَدِينُونَ بِهِ
رَبَّ العَالَمِينَ:
Imam Abu Ja’far
ath-Thahawi rahimahullah berkata:
Inilah penjelasan
tentang aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah menurut madzhab ahli fiqih agama
ini, yaitu Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit al-Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari, dan Abu ‘Abdillah Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani —semoga Allah merahmati mereka semuanya—
dan apa yang mereka yakini tentang dasar-dasar agama yang dengannya mereka beragama kepada Rabb Semesta Alam:
2. [Tentang Allah]
[1] نَقُولُ في تَوحِيدِ اللهِ مُعْتَقِدِينَ
بِتَوفِيقِ اللهِ: إنَّ اللهَ وَاحِدٌ لَا شَرِيكَ لَهُ.
[1] Kami meyakini tentang mentauhidkan Allah, dengan taufik dari Allah, bahwa: Allah itu satu, tidak ada sekutu bagi-Nya.
[2] وَلَا شَيْءَ مِثْلُهُ.
[2]
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.
[3] وَلَا شَيْءَ يُعْجِزُهُ.
[3]
Tidak ada sesuatu pun yang bisa melemahkan-Nya.
[4] وَلَا إِلٰهَ غَيْرُهُ.
[4]
Tidak ada yang
berhak disembah selain-Nya.
[5] قَدِيمٌ بِلاَ ابتِدَاءٍ، دَائِمٌ بِلَا
انْتِهَاءٍ.
[5]
Maha Terdahulu tanpa permulaan,
Maha Abadi tanpa akhir.[1]
[6] لَا يَفْنَى وَلَا يَبِيْدُ.
[6]
Dia tidak akan fana dan tidak akan binasa.
[7] وَلاَ يَكُونُ إِلَّا مَا يُرِيدُ.
[7]
Tidak ada yang terjadi kecuali apa yang Dia kehendaki.
[8] لَا تَبلُغُهُ الأَوْهَامُ، وَلَا تُدْرِكُهُ
الأَفْهَامُ.
[8]
Allah tidak bisa dijangkau oleh perenungan dan tidak bisa dijangkau nalar pikiran.
[9] وَلَا يُشْبِهُ الأنَامَ.
[9]
Dia tidak
menyerupai makhluk.
[10] حَيٌّ لَا يَمُوتُ، قَيُّومٌ لَا
يَنَامُ.
[10]
Dia Maha Hidup tidak akan mati, Maha Berdiri (mengurus makhluk-Nya terus-menerus) tidak pernah tidur.
[11] خَاِلقٌ بِلاَ حَاجَةٍ، رَازِقٌ بِلاَ
مُؤْنَةٍ.
[11]
Dia Maha Pencipta tanpa membutuhkan (ciptaan-Nya), Maha Pemberi rezeki tanpa berkurang (kerajaan-Nya).
[12] مُمِيتٌ بِلَا مَخَافَةٍ، بَاعِثٌ بِلاَ
مَشَقَّةٍ.
[12]
Dia Maha Mematikan tanpa takut, Maha Membangkitkan tanpa rasa berat.
[13] مَا زَالَ بِصِفَاتِهِ قَدِيمًا قَبْلَ
خَلْقِهِ، لَمْ يَزْدَدْ بِكَوْنِهِم شَيْئًا لَمْ يَكُنْ قَبلَهُم مِنْ صِفَتِهِ،
وَكَمَا كَانَ بِصِفَاتِهِ أَزَلِيًّا؛ كَذَلِكَ لَا يَزَالُ عَلَيْهَا أَبَدِيًّا.
[13] Dia
telah memiliki sifat-sifat itu semenjak dahulu, sebelum ada makhluk-Nya. Dengan terciptanya para makhluk yang sebelumnya tidak
ada, tak bertambah
sedikitpun sifat-sifat-Nya. Sebagaimana sifat-sifat-Nya azali (ada sebelum
selainnya ada), begitu pula Dia abadi selama-lamanya.
[14] لَيْسَ مُنْذُ خَلَقَ الخَلْقَ
اسْتَفَادَ اسْمَ «الخَالِقِ»، وَلاَ بِإِحْدَاثِهِ البَرِيَّةَ اسْتَفَادَ اسْمَ «البَارِي».
[14] Bukan semenjak Dia menciptakan para makhluk disandangkan
pada-Nya nama al-Khaliq (Pencipta), dan bukan pula karena baru menciptakan makhluk
disandangkan pada-Nya nama al-Bari (Pencipta).
[15] لَهُ مَعْنَى الرُّبُوبِيَّةِ وَلَا
مَرْبُوبٍ، وَمَعْنَى الخَالِقِ وَلَا مَخْلُوقٍ.
[15] Dia memiliki sifat Rububiyah (Pencipta, Pemilik, Pengatur,
Pemberi rezeki) bukan marbub (dicipta, dimiliki, diatur), dan juga
memiliki sifat al-Khaliq bukan makhluk.
[16] وَكَمَا أَنَّهُ مُحْيِ المَوْتَى
بَعْدَمَا أَحْيَا، اسْتَحَقَّ هَذَا الِاسْمَ قَبْلَ إِحْيَائِهم؛ كَذلِكَ اسْتَحَقَّ
اسْمَ الخَالِق قَبْلَ إنْشَائِهِمْ.
[16] Sebagaimana
Dia yang menghidupkan segala yang mati (Al-Muhyi) setelah sebelumnya menghidupkannya, Dia-pun berhak atas sebutan itu sebelum menghidupkan
mereka, demikian juga Dia berhak menyandang sebutan Al-Khaliq sebelum menciptakan mereka.
[17] ذَلِكَ بِأَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ،
وَكُلُّ شَيْءٍ إِلَيهِ فَقِيرٌ، وَكُلُّ أَمْرٍ عَلَيْهِ يَسِيرٌ، لاَ يَحْتَاجُ
إِلَى شَيْءٍ، {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ} [الشورى: 11].
[17] Hal itu karena Dia Mahakuasa
atas segala sesuatu,
sementara segala sesuatu itu sangat butuh kepada-Nya. Segala urusan bagi-Nya mudah dan Dia tidak membutuhkan sesuatu. “Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS. Asy-Syura [42]:
11)
[18] خَلَقَ الخَلْقَ بِعِلْمِهِ.
[18] Dia
menciptakan semua makhluk dengan ilmu-Nya.
[19] وَقَدَّرَ لَهُمْ أَقْدَارًا.
[19] Dan
menentukan takdir-takdir mereka.
[20] وَضَرَبَ لَهُمْ آجَالًا.
[20] Dan
menentukan ajal-ajal mereka.
[21] لَمْ يَخْفَ عَلَيهِ شَيْءٌ مِنْ
أَفْعَالِهِمْ قَبْلَ أَنْ خَلَقَهُمْ، وَعَلِمَ مَا هُمْ عَامِلُونَ قَبْلَ أَنْ
يَخْلُقَهُمْ.
[21] Tiada
sesuatu pun yang tersembunyi
bagi-Nya sebelum Dia menciptakan mereka. Bahkan Dia mengetahui apa yang akan mereka kerjakan,
sebelum menciptakan mereka.
[22] وَأَمَرَهُمْ بِطَاعَتِهِ، وَنَهَاهُمْ
عَنْ مَعْصِيَتِهِ.
[22] Dia
memerintahkan mereka mentaati-Nya dan
melarang mereka bermaksiat kepada-Nya.
[23] وَكُلُّ شَيْءٍ يَجْرِي بِتَقْدِيرِهِ
ومَشِيئَتِهِ، وَمَشِيئَتُهُ تَنْفُذُ، لاَ مَشِيئَةَ لِلْعِبَادِ إِلَّا مَا شَاءَ
لَهُمْ، فَمَا شَاءَ لَهُمْ كَانَ، وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ.
[23] Dan
segala sesuatu berjalan dengan takdir dan kehendak-Nya. Kehendaknya pasti
terjadi. Tidak ada kehendak bagi para hamba kecuali apa yang Dia kehendaki bagi
mereka. Maka, apa yang Dia kehendaki bagi mereka akan terjadi dan apa yang
tidak Dia tidak kehendaki tidak akan terjadi.
[24] يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ، وَيَعْصِمُ
ويُعَافِي فَضْلًا، ويُضِلُّ مَنْ يَشاءُ، ويَخْذَلُ وَيَبْتَلِي عَدْلًا.
[24] Dia
memberi petunjuk siapa saja yang Dia kehendaki, juga melindungi dan menjaganya dengan keutamaan-Nya. Dia membiarkan sesat[2]
siapa yang Dia
kehendaki, membiarkannya hina, dan mengujinya berdasarkan keadilan-Nya.
[25] وَكُلُّهُم يَتَقَلَّبُونَ فِي مَشِيئَتِهِ
بَيْنَ فَضْلِهِ وَعَدْلِهِ.
[25] Seluruh
makhluk berada di bawah kendali kehendak-Nya di antara karunia dan keadilan-Nya.[3]
[26] [وَهُوَ مُتَعَالٍ عَنِ الأَضْدَادِ وَالأَنْدَادِ].
[26] [Dia
mengalahkan
semua musuh dan tandingan][4].
[27] لَا رَادَّ لِقَضَائِهِ، وَلَا
مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ، وَلاَ غَالِبَ لِأَمْرِهِ.
[27] Tak
seorang pun mampu menolak takdir-Nya, menolak ketetapan hukum-Nya, atau mengungguli urusan-Nya.
[28] آمَنَّا بِذَلِكَ كُلِّهِ، وأَيْقَنَّا
أَنَّ كُلًا مِنْ عِنْدِهِ.
[28] Kita
mengimani semua itu, dan kita pun meyakini bahwa segalanya datang dari-Nya (terjadi karena takdir-Nya).
3. [Tentang Rasulullah]
[29] وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ المُصْطَفَى،
وَنَبِيُّهُ المُجْتَبَى، وَرَسُولُهُ المُرْتَضَى.
[29] Sesungguhnya
Muhammad ﷺ adalah hamba-Nya yang terpilih, Nabi-Nya yang terpilih, dan Rasul-Nya yang diridhai.
[30] وَأَنَّهُ خَاتَمُ الأَنْبِيَاءِ، وَإِمَامُ
الأَتْقِيَاءِ، [وَسَيِّدُ المُرْسَلِينَ، وَحَبِيبُ رَبِّ العَالَمِينَ].
[30] Sesungguhnya
beliau adalah penutup para Nabi, imam orang-orang bertakwa, [penghulu para rasul, dan
kekasih Rabb semesta alam].
[31] وَكُلُّ دَعْوَى النُّبُوَّةِ بَعْدَهُ
فَغَيٌّ وَهَوًى.
[31] Segala
pengakuan sebagai Nabi sesudah beliau adalah kesesatan dan hawa nafsu.
[32] وَهُوَ المَبْعُوثُ إِلَى عَامَّةِ
الجِنِّ وَكَافَّةِ الوَرَى بِالحَقِّ وَالهُدَى، [وَبِالنُّورِ وَالضِّيَاءِ].
[32] Beliau
diutus kepada seluruh jin dan seluruh manusia dengan membawa kebenaran dan petunjuk, [cahaya
dan kemilau][5].
4. [Tentang
Kalamullah]
[33] وَإِنَّ القُرْآنَ كَلاَمُ اللهِ
تَعَالَى، مِنْهُ بَدَأَ بِلاَ كَيْفِيَّةٍ قَوْلًا، وَأَنْزَلَهُ عَلَىٰ
رَسُولِهِ وَحْيًا، وَصَدَّقَهُ المُؤْمِنُونَ عَلَىٰ ذَلِكَ حَقًّا، وأَيْقَنُوا
أَنَّهُ كَلاَمُ اللهِ تَعَالَىٰ بِالحَقِيقَةِ، لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ كَكَلاَمِ البَرِيَّةِ،
فَمَنْ سَمِعَهُ فَزَعَمَ أَنَّهُ كَلاَمُ البَشَرِ؛ فَقَدْ كَفَرَ، وَقَدْ ذَمَّهُ
اللهُ تَعَالَى وَعَابَهُ وَأَوْعَدَهُ بِسَقَرٍ، حَيْثُ قَالَ تَعَالَىٰ: {سَأُصْلِيهِ سَقَرَ} [المدثر: 26]. فَلَمَّا
أَوْعَدَ اللهُ بِسَقَرٍ لِمَنْ قَالَ: {إِنْ
هَذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ} [المدثر: 25]؛ عَلِمْنَا وأَيْقَنَّا أَنَّهُ
قَوْلُ خَالِقِ البَشرِ، وَلَا يُشْبِهُ قَوْلَ البَشَرِ.
[33] Dan
sesungguhnya al-Qur’an adalah Kalamullah. Dari-Nya
ia bermula tanpa mempertanyakan bagaimana hakikatnya. Dia menurunkannya kepada Rasul-Nya
sebagai wahyu, dan orang-orang Mukmin membenarkannya dengan sebenarnya dan
mereka menyakini bahwa itu adalah Kalamullah secara hakikat, bukan makhluk seperti ucapan
makhluk. Barangsiapa yang mendengarnya lalu menyangka bahwa itu adalah ucapan
makhluk, maka sungguh dia telah kafir. Sungguh Allah telah mencela, mengecam,
dan mengancam orang tersebut dengan Neraka Saqar, yaitu firman-Nya, “Kelak Aku akan memasukkannya ke
Neraka Saqar.” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 26)
Ketika
Allah mengancam dengan Neraka Saqar
seseorang yang mengatakan, “Al-Qur`an ini tidak lain adalah ucapan manusia.” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 25) Maka kami mengetahui dan meyakini bahwa
al-Qur`an adalah ucapan Pencipta makhluk dan tidak ada ucapan makhluk yang
serupa dengannya.
[34] وَمَنْ وَصَفَ اللهَ تَعَالَى بِمَعْنًى
مِنْ مَعَانِي البَشَرِ؛ فَقَدْ كَفَرَ، فَمَنْ أَبْصَرَ هَذَا اعْتَبَرَ، وَعَنْ
مِثْلِ قَوْلِ الكُفَّارِ انْزَجَرَ، وَعَلِمَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى بِصِفَاتِهِ لَيسَ
كَالبَشَرِ.
[34] Dan
barangsiapa yang mensifati Allah dengan makna sifat makhluk[6],
maka dia telah kafir. Maka, siapa yang memperhatikan ini akan mengerti, dan ia akan menahan diri dari menyerupai ucapan orang kafir. Dan dia mengetahui bahwa Allah dengan sifat-sifat-Nya
tidak sama dengan makhluk.
5. [Tentang
Rukyatullah]
[35] وَالرُّؤْيَةُ حَقٌّ لِأَهْلِ الجَنَّةِ،
بِغَيْرِ إحَاطَةٍ وَلَا كَيْفِيَّةٍ، كَمَا نَطَقَ بِهِ كِتَابُ رَبِّنَا: {وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ * إِلَى
رَبِّهَا نَاظِرَةٌ} [القيامة: 22، 23]، وتَفْسِيرُهُ عَلَىٰ مَا أَرَادَهُ
اللهُ تَعَالَىٰ وَعَلِمَهُ، وَكُلُّ مَا جَاءَ فِي ذَلِكَ مِنَ الحَدِيثِ الصَّحِيحِ
عَنِ الرَّسُولِ ﷺ فَهُوَ كَمَا قَالَ، وَمَعْنَاهُ عَلَىٰ مَا أَرَادَ، لَا نَدْخُلُ
فِي ذَلِكَ مُتَأَوِّلِينَ بِآرَائِنَا، وَلَا مُتَوَهِّمِينَ بِأَهْوَائِنَا، فَإِنَّهُ
مَا يَسلَمُ فِي دِيْنِهِ إِلاَّ مَنْ سَلَّمَ لِلّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ
ﷺ، وَرَدَّ عِلْمَ مَا اشْتَبَهَ عَلَيْهِ إِلَى عَالِمِهِ.
[35] Ar-Ru`yah
(melihat Allah di Surga) benar adanya bagi penduduk Surga, tanpa meliputi
dan membagaimanakan (difahami apa adanya), sebagaimana yang telah dinyatakan
oleh Kitab Rabb kita, “Wajah-wajah
pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabblah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah [75]: 22-23) Tafsirnya adalah sebagaimana yang Allah
kehendaki dan ketahui. Setiap hadits shahih dari Rasulullah ﷺ tentang hal itu adalah
sebagaimana yang beliau sabdakan dan maknanya sebagaimana yang beliau
kehendaki. Kita tidak boleh masuk ke dalam permasalahan itu dengan mentakwilnya
menggunakan akal-akal kita dan tidak pula mereka-reka menggunakan hawa nafsu
kita. Sebab, sesungguhnya tidak ada yang selamat dalam agamanya kecuali orang
yang pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ
dan mengembalikan ilmu yang belum jelas baginya kepada yang mengetahuinya.
[36] وَلَا تَثْبُتُ قَدَمُ الإِسْلَامِ
إِلَّا عَلَىٰ ظَهْرِ التَّسْلِيمِ وَالِاسْتِسْلَامِ، فَمَنْ رَامَ عِلْمَ مَا حُظِرَ عَنْهُ
عِلْمُهُ، وَلَمْ يَقْنَعْ بِالتَّسْلِيمِ فَهْمُهُ، حَجَبَهُ مَرَامُهُ عَنْ
خَالِصِ التَّوْحِيدِ، وَصَافِي المَعْرِفَةِ، وَصَحِيحِ الإِيمَانِ، فَيَتَذَبْذَبُ
بَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيمَانِ، وَالتَّصْدِيقِ وَالتَّكْذِيبِ، وَالإِقْرَارِ وَالإِنْكَارِ،
مُوَسْوِسًا تَائِهًا، شَاكًّا، لَا مُؤْمِنًا مُصَدِّقًا، وَلَا جَاحِدًا
مُكَذِّبًا.
[36] Pijakan Islam seseorang tidak akan kokoh kecuali di atas taslim
(pasrah) dan istislam (tunduk). Siapa yang menerka suatu ilmu yang ilmu
tersebut tersembunyi baginya dan pemahamannya tidak merasa puas dengan taslim,
maka terkaannya itu akan menghalanginya dari kemurnian Tauhid, kejernihan
makrifat (mengenal Allah), dan kebenaran iman. Ia akan terkena keraguan antara
kafir dan iman, membenarkan dan mendustakan, menetapkan dan mengingkari, selalu
was-was, ragu, menyimpang, bukan mukmin yang membenarkan juga bukan penentang
yang mendustakan.
[37] وَلَا يَصِحُّ الإِيمَانُ بِالرُّؤْيَةِ
لِأَهْلِ دَارِ السَّلَامِ لِمَنِ اعْتَبَرَهَا مِنْهُمْ بِوَهْمٍ، أَوْ
تَأَوَّلَهَا بِفَهْمٍ، إِذْ كَانَ تَأْوِيلُ الرُّؤْيَةِ وَتَأْوِيلُ كُلِّ
مَعْنًى يُضَافُ إِلَى الرُّبُوبِيَّةِ؛ بِتَرْكِ التَّأْوِيلِ، وَلُزُومِ
التَّسْلِيمِ، وَعَلَيْهِ دِينُ المُسْلِمِينَ، وَمَنْ لَمْ يَتَوَقَّ النَّفْيَ
وَالتَّشْبِيهَ؛ زَلَّ وَلَمْ يُصِبِ التَّنْزِيهَ، فَإِنَّ رَبَّنَا جَلَّ
وَعَلَا مَوْصُوفٌ بِصِفَاتِ الوَحْدَانِيَّةِ، مَنْعُوتٌ بِنُعُوتِ الفَرْدَانِيَّةِ،
لَيْسَ فِي مَعْنَاهُ أَحَدٌ مِنَ البَرِيَّةِ.
[37] Tidak sah keimanan rukyah ‘melihat Allah’ —bagi
penghuni Darus Salam (Surga)— bagi yang suka membayangkan-Nya dengan keraguan atau
mentakwilnya dengan akal. Karena penafsiran rukyah dan juga penafsiran
segala pengertian yang disandarkan kepada Rabb adalah dengan tanpa
mentakwilkannya dan dengan kepasrahan diri. Itulah agama kaum Muslimin. Barangsiapa
yang tidak menghindari penafian dan tasybih (menyerupakan-Nya dengan
makhluk), dia akan tergelincir dan tak akan dapat memelihara kesucian diri.
Sebab, Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, tersifati dengan sifat
Wahdaniyah (Maha Tunggal), tersifati dengan sifat Fardaniyah (ke-Maha Esa-an).
Tak seorangpun dari hamba-Nya yang menyamai sifat-sifat tersebut.
[38] وَتَعَالَىٰ عَنِ الحُدُودِ وَالغَايَاتِ،
وَالأَرْكَانِ وَالأَعْضَاءِ وَالأَدَوَاتِ، لَا تَحْوِيهِ الجِهَاتُ السِّتُّ
كَسَائِرِ المُبْتَدَعَاتِ.
[38] Maha tinggi diri-Nya (Allah terbebas) dari batas-batas
(seperti timur dan barat), arah-arah (seperti bawah dan atas), anggota tubuh
(seperti tangan dan wajah), organ (seperti saraf dan urat), dan perangkat-perangkat
(seperti tongkat untuk memukul). Dia tidak dikelilingi oleh enam penjuru arah sebagaimana
semua makhluk-Nya.[7]
6. [Tentang Isra
dan Mi’roj]
[39] وَالمِعْرَاجُ حَقٌّ، وَقَدْ أُسْرِيَ
بِالنَّبِيِّ ﷺ وَعُرِجَ بِشَخْصِهِ فِي اليَقْظَةِ، إِلَى السَّمَاءِ، ثُمَّ
إِلَى حَيْثُ شَاءَ اللهُ مِنَ العُلَا، وَأَكْرَمَهُ اللهُ بِمَا شَاءَ،
وَأَوْحَى إِلَيْهِ مَا أَوْحَى، [مَا كَذَبَ الفُؤَادُ مَا رَأَى، فَصَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ فِي الآخِرَةِ وَالأُولَى].
[39] Mi’raj (naiknya Nabi ke Sidratul Muntaha—tempat tertinggi di
langit) adalah benar
adanya. Beliau telah diperjalankan di malam hari dan dinaikan (ke langit) dengan tubuh jasmani dalam keadaan sadar, dan
juga ke tempat-tempat yang dikehendaki Allah di langit. Allah memuliakan beliau sesuai kehendak-Nya dan mewahyukan kepadanya
apa yang hendak Dia wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang dilihatnya. Semoga Allah melimpahkan
shalawat dan salam atas diri beliau di dunia dan di Akhirat.
7. [Tentang
Telaga]
[40] وَالحَوْضُ الَّذِي أَكْرَمَهُ اللهُ تَعَالَىٰ
بِهِ غِيَاثًا لِأُمَّتِهِ حَقٌّ.
[40] Haudh (telaga) yang dijadikan Allah
kemuliaan baginya sebagai minuman bagi umatnya benar
adanya.
8. [Tentang
Syafaat]
[41] وَالشَّفَاعَةُ الَّتِي
ادَّخَرَهَا لَهُمْ حَقٌّ، كَمَا رُوِيَ فِي الأَخْبَارِ.
[41] Syafa’at yang disimpan beliau untuk mereka adalah benar adanya sebagaimana
diriwayatkan dalam banyak hadits.
9. [Tentang
Persaksian Tauhid dari Keturunan Adam]
[42] وَالمِيثَاقُ الَّذِي أَخَذَهُ اللهُ تَعَالَىٰ
مِنْ آدَمَ وَذُرِّيَّتِهِ حَقٌّ.
[42] Perjanjian
yang diambil Allah atas diri Adam dan anak
cucunya (sebelum mereka dilahirkan) benar adanya.
[43] وَقَدْ عَلِمَ اللهُ فِيمَا لَمْ يَزَلْ
عَدَدَ مَنْ يَدْخُلُ الجَنَّةَ، وَعَدَدَ مَنْ يَدْخُلُ النَّارَ، جُمْلَةً
وَاحِدَةً، فَلَا يُزَادُ فِي ذَلِكَ العَدَدِ وَلَا يُنْقَصُ مِنْهُ.
[43] Semenjak
zaman azali, Allah telah mengetahui jumlah hamba-Nya
yang akan masuk Surga dan jumlah yang akan masuk Neraka secara keseluruhan. Jumlah itu tak akan ditambah
dan dikurangi.
[44] وَكَذَلِكَ أَفْعَالُهُمْ فِيمَا عَلِمَ
مِنْهُمْ أَنْ يَفْعَلُوهُ، وَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ، وَالأَعْمَالُ
بِالخَوَاتِيمِ، وَالسَّعِيدُ مَنْ سَعِدَ بِقَضَاءِ اللهِ، والشَّقِيُّ مَنْ
شَقِيَ بِقَضَاءِ اللهِ.
[44] Demikian
juga halnya perbuatan-perbuatan mereka yang telah Allah ketahui apa yang akan
mereka perbuat itu (juga tak akan berubah). Setiap pribadi akan dimudahkan
menjalani apa yang sudah menjadi takdirnya, sedangkan amalan-amalan itu (dinilai) bagaimana akhirnya. Orang
yang bahagia adalah orang yang bahagia karena ketetapan Allah dan orang yang
sengsara adalah orang yang sengsara karena ketetapan Allah.
[45] وَأَصْلُ القَدَرِ سِرُّ اللهِ فِي
خَلْقِهِ، لَمْ يَطَّلِعْ عَلَىٰ ذَلِكَ مَلَكٌ مُقَرَّبٌ، وَلَا نَبِيٌّ
مُرْسَلٌ، وَالتَّعَمُّقُ وَالنَّظَرُ فِي ذَلِكَ ذَرِيعَةُ الخِذْلَانِ، وسُلَّمُ
الحِرْمَانِ، وَدَرَجَةُ الطُّغْيَانِ، فَالحَذَرَ كُلَّ الحَذَرِ مِنْ ذَلِكَ
نَظَرًا وَفِكْرًا وَوَسْوَسَةً، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَىٰ طَوَى عِلْمَ القَدَرِ
عَنْ أَنَامِهِ، وَنَهَاهُمْ عَنْ مَرَامِهِ، كَمَا قَالَ تَعَالَىٰ: {لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ
يُسْأَلُونَ} [الأنبياء: 23]، فَمَنْ سَأَلَ: لِمَ فَعَلَ؟ فَقَدْ رَدَّ
حُكْمَ الكِتَابِ، وَمَنْ رَدَّ حُكْمَ الكِتَابِ؛ كَانَ مِنَ الكَافِرِينَ.
[45] Asal
dari takdir adalah rahasia Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tak dapat diselidiki
baik oleh malaikat yang dekat dengan-Nya,
ataupun Nabi yang diutus-Nya. Memberat-beratkan diri menyelidiki hal itu adalah
sarana menuju kehinaan, tangga keharaman, dan mempercepat penyelewengan. Hati-hatilah dengan kesungguhan dari seluruh
pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran, dan bisikan-bisikan tentang takdir
tersebut karena Allah menutupi ilmu tentang takdir-Nya agar tidak diketahui
makhluk-Nya dan melarang mereka untuk mencoba menggapainya. Sebagaimana yang
difirmankan-Nya: “Allah tidak ditanya mengenai perbuatan-Nya tetapi
manusialah yang akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya).”
(QS.
Al-Anbiya [21]: 23) Barangsiapa
yang bertanya: “Kenapa Allah berbuat demikan?” berarti ia menolak hukum
al-Qur`an. Barangsiapa menolak hukum al-Qur`an, berarti ia termasuk orang-orang
kafir.
[46] فَهَذَا جُمْلَةُ مَا يَحْتَاجُ
إِلَيْهِ مَنْ هُوَ مُنَوَّرٌ قَلْبُهُ مِنْ أَوْلِيَاءِ اللهِ تَعَالَىٰ، وَهِيَ
دَرَجَةُ الرَّاسِخِينَ فِي العِلْمِ؛ لِأَنَّ العِلْمَ عِلْمَانِ: عِلْمٌ فِي الخَلْقِ
مَوْجُودٌ، وَعِلْمٌ فِي الخَلْقِ مَفْقُودٌ، فَإِنْكَارُ العِلْمِ المَوْجُودِ
كُفْرٌ، وَادِّعَاءُ العِلْمِ المَفْقُودِ كُفْرٌ، وَلَا يَثْبُتُ الإِيمَانُ
إِلَّا بِقَبُولِ العِلْمِ المَوْجُودِ، وَتَرْكِ طَلَبِ العِلْمِ المَفْقُودِ.
[46] Inilah
sejumlah persoalan yang dibutuhkan oleh orang-orang yang terang hatinya dari
kalangan para wali Allah. Itulah derajat orang-orang yang sudah mendalam
ilmunya. Sebab, ilmu itu ada dua macam, yaitu: ilmu yang dapat digapai makhluk
(ilmu maujud/wahyu) dan ilmu yang
tersembunyi baginya (ilmu mafqud/ghaib). Mengingkari ilmu yang pertama adalah
kekufuran. Dan mengaku-aku memiliki ilmu yang kedua juga kekufuran. Keimanan
tidak akan sempurna kecuali dengan menerima ilmu yang harus digapai manusia,
dan menghindarkan diri dari mencari ilmu yang tersembunyi.
10. [Tentang
Lauhul Mahfuzh dan Pena]
[47] وَنُؤْمِنُ
بِاللَّوْحِ وَالقَلَمِ، وَجَمِيعُ مَا فِيهِ قَدْ رُقِمَ، فَلَوِ اجْتَمَعَ الخَلْقُ كُلُّهُمْ عَلَىٰ
شَيْءٍ كَتَبَهُ اللهُ تَعَالَىٰ أَنَّهُ كَائِنٌ، لِيَجْعَلُوهُ غَيْرَ كَائِنٍ؛
لَمْ يَقْدِرُوا عَلَيْهِ. وَلَوِ اجْتَمَعُوا كُلُّهُمْ عَلَىٰ شَيْءٍ كَتَبَهُ
اللهُ تَعَالَىٰ فِيهِ أَنَّهُ غَيْرُ كَائِنٍ، لِيَجْعَلُوهُ كَائِنًا؛ لَمْ
يَقْدِرُوا عَلَيْهِ. جَفَّ القَلَمُ بِمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ،
وَمَا أَخْطَأَ العَبْدَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَهُ، وَمَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ
لِيُخْطِئَهُ.
[47] Kita
juga mengimani adanya al-Lauh al-Mahfudz (lembaran takdir), al-Qalam (pena), dan segala yang
tercatat di dalamnya. Seandainya seluruh makhluk bersepakat terhadap suatu
urusan yang telah Allah tetapkan akan terjadi untuk dibatalkannya, maka mereka
tak akan mampu melakukannya. Seandainya seluruh makhluk bersepakat terhadap
suatu urusan yang telah Allah tetapkan tidak akan terjadi untuk
direalisasikannya, maka mereka tak akan mampu melakukannya. Pena untuk mencatat
apa yang akan terjadi hingga hari Kiamat telah kering. Apa yang tidak menjadi
takdir seorang hamba, tidak akan menimpanya dan apa yang menjadi takdirnya,
tidak akan meleset darinya.
[48] وَعَلَىٰ العَبْدِ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ
اللهَ تَعَالَى قَدْ سَبَقَ عِلْمُهُ فِي كُلِّ كَائِنٍ مِنْ خَلْقِهِ، فَقَدَّرَ
ذَلِكَ بِمَشِيئَتِهِ تَقْدِيرًا مُحْكَمًا مُبْرَمًا، لَيْسَ فِيهِ نَاقِضٌ،
وَلَا مُعَقِّبٌ وَلَا مُزِيلٌ وَلَا مُغَيِّرٌ وَلَامُحَوِّلٌ، وَلَا زَائِدٌ وَلَا
نَاقِصٌ مِنْ خَلْقِهِ فِي سَمَاوَاتِهِ وَأَرْضِهِ. وَذَلِكَ مِنْ عَقْدِ الإِيمَانِ
وَأُصُولِ المَعْرِفَةِ وَالِاعْتِرَافِ بِتَوْحِيدِ اللهِ تَعَالَىٰ
وَرُبُوبِيَّتِهِ، كَمَا قَالَ تَعَالَىٰ: {وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا} [الفرقان: 2]،
وَقَالَ تَعَالَىٰ: {وَكَانَ أَمْرُ
اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا} [الأحزاب: 38]، فَوَيْلٌ لِمَنْ صَارَ لِلَّهِ
فِي القَدَرِ خَمِيصًا، وأَحْضَرَ لِلنَّظَرِ فِيِهِ قَلْبًا سَقِيمًا، لَقَدِ الْتَمَسَ
بِوَهْمِهِ فِي فَحْصِ الغَيْبِ سِرًّا كَتِيمًا، وَعَادَ بِمَا قَالَ فِيهِ
أَفَّاكًا أَثِيْمًا.
[48] Wajib bagi
setiap hamba mengetahui bahwa ilmu Allah telah mendahului segala sesuatu yang
akan terjadi pada makhluk-Nya. Dia telah menentukan takdir yang baku yang tak
bisa berubah. Tak ada seorang makhluk pun baik di langit maupun di bumi yang
dapat membatalkan, meralatnya, menghilangkannya, mengubahnya, mengurangi,
ataupun menambahnya.
Itulah
ikatan keimanan dan dasar-dasar ma’rifat dan pengakuan terhadap ke-Esa-an Allah
dan rububiyyah-Nya, sebagaimana yang difirmankan dalam al-Qur`an: “Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan
Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan [25]: 2) Dan firman-Nya: “Dan ketetapan Allah itu
suatu ketetapan yang pasti terjadi.” (QS.
Al-Ahzab [33]: 38) Maka celakalah orang yang betul-betul menjadi
musuh Allah dalam persoalan takdir-Nya. Dan mengikutsertakan hatinya yang sakit
untuk membahasnya. Karena lewat praduganya ia telah mencari-cari dan
menyelidiki ilmu ghaib yang merupakan rahasia tersembunyi. Akhirnya, karena
perkataannya tentang takdir itu, ia kembali dengan membawa kedustaan dan dosa.
11. [Tentang
Arsy dan Kursi]
[49] وَالعَرْشُ وَالكُرْسِيُّ حَقٌّ، كَمَا
بَيَّنَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ.
[49] ‘Arsy
dan Kursi-Nya adalah
benar adanya, sebagaimana yang Allah kabarkan dalam Al-Quran.[8]
[50] وَهُوَ
جَلَّ جَلَالُهُ مُسْتَغْنٍ عَنِ العَرْشِ وَمَا دُوْنَهُ.
[50] Dia
tidak membutuhkan ‘Arsy-Nya dan apa yang ada di bawahnya.
[51] مُحِيطٌ بِكُلِّ شَيْءٍ وفَوْقَهُ، وَقَدْ
أَعْجَزَ عَنِ الإِحَاطَةِ خَلْقَهُ.
[51] Dia
menguasai segala sesuatu
dan apa-apa yang ada di atasnya. Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk menguasai segala
sesuatu.
12. [Tentang
Al-Khalil Ibrahim dan Kalimullah Musa]
[52] وَنَقُولُ: إِنَّ اللهَ اتَّخَذَ
إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا، وَكَلَّمَ اللهُ مُوسَى تَكْلِيمًا، إِيمَانًا
وَتَصْدِيقًا وَتَسْلِيمًا.
[52] Kita
juga meyakini
bahwa Allah telah
menjadikan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sebagai kekasih-Nya, dan mengajak Nabi Musa ‘alaihis
salam untuk berbicara
dengan sebenar-benarnya ucapan.
13. [Tentang
Rukun Iman]
[53] وَنُؤْمِنُ بِالمَلَائِكَةِ
وَالنَّبِيِّينَ، وَالكُتُبِ المُنْزَلَةِ عَلَىٰ المُرْسَلِينَ، وَنَشْهَدُ
أَنَّهُمْ كَانُوا عَلَىٰ الحَقِّ المُبِينِ.
[53] Kita
mengimani para Malaikat, para Nabi, dan kitab-kitab yang diturunkan kepada para
Rasul. Kita pun bersaksi, bahwa mereka berada di atas kebenaran yang nyata.
[54] وَنُسَمِّي أَهْلَ قِبْلَتِنَا
مُسْلِمِينَ مُؤْمِنِينَ، مَا دَامُوا بِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ ﷺ
مُعْتَرِفِينَ، وَلَهُ بِكُلِّ مَا قَالَهُ وَأَخْبَرَ مُصَدِّقِينَ.
[54] Kita
menyebut mereka yang (shalat) menghadap kiblat kita dengan (sebutan) kaum Muslimin
dan kaum Mukminin selama mereka mengakui apa yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ dan membenarkan segala apa yang beliau ucapkan dan beritakan.
14. [Tentang
Larangan Debat Kusir]
[55] وَلَا نَخُوضُ فِي اللهِ، وَلَا
نُمَارِي فِي الدِّينِ.
[55] Kita
tidak mengolok Allah dan tidak membantah (debat kusir) dalam masalah agama Allah.
[56] وَلَا نُجَادِلُ فِي القُرْآنِ،
وَنَشْهَدُ أَنَّهُ كَلَامُ رَبِّ العَالَمِينَ، نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأَمِينُ، فَعَلَّمَهُ
سَيِّدَ المُرْسَلِينَ مُحَمَّدًا ﷺ، كَلَامُ اللهِ تَعَالَىٰ لَا يُسَاوِيهِ
شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ المَخْلُوقِينَ، وَلَا نَقُولُ بِخَلْقِهِ، وَلَا نُخَالِفُ
جَمَاعَةَ المُسْلِمِينَ.
[56] Kita
tidak menyanggah Al-Qur’an, dan kita bersaksi
bahwa ia adalah Kalam Rabbul ‘Alamin, diturunkan lewat Ruhul Amin (Jibril),
lalu diajarkan kepada Penghulu para Nabi yaitu Muhammad ﷺ. Ia adalah Kalamullah yang tak akan dapat disamakan dengan ucapan makhluk-makhluk-Nya. Kita pun tidak mengatakannya sebagai makhluk dan (dengan itu) kita tidak akan menyelisihi Jama’ah kaum Muslimin.
15. [Tentang
Mengkafirkan]
[57] وَلَا نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ القِبْلَةِ
بِذَنْبٍ، مَا لَمْ يَسْتَحِلَّهُ.
[57] Kita
tidak mengkafirkan Ahli Kiblat (kaum Muslimin)
hanya karena suatu dosa, selama dia tidak menganggapnya halal.
[58] وَلَا نَقُولُ لَا يَضُرُّ مَعَ الإِيمَانِ
ذَنْبٌ لِمَنْ عَمِلَهُ.
[58] Namun
kita juga tidak mengatakan bahwa
dosa bersama
iman, sama sekali tidak berbahaya
bagi orang yang melakukannya.
[59] وَنَرْجُو لِلْمُحْسِنِينَ مِنَ المُؤْمِنِينَ
[أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَيُدْخِلَهُمُ الجَنَّةَ بِرَحْمَتِهِ]، وَلَا نَأْمَنُ
عَلَيْهِمْ، وَلَا نَشْهَدُ لَهُمْ بِالجَنَّةِ، وَنَسْتَغْفِرُ لِمُسِيئِهِمْ، وَنَخَافُ
عَلَيْهِمْ، وَلَا نُقَنِّطُهُمْ.
[59] Kita
berharap
orang-orang baik dari kaum Mukminin [diampuni dan dimasukkan Surga dengan
rahmat-Nya], tidak menganggap mereka aman dan memvonis mereka dengan Surga.
Kita juga berharap orang-orang
yang berbuat fajir (kemaksiatan) dari kalangan Mukminin diampuni dosa-dosa mereka, mengkhawatirkan mereka,
dan tidak menjadikan mereka berputus asa (dari rahmat Allah).
[60] وَالأَمْنُ وَالإِيَاسُ يَنْقُلَانِ عَنْ
مِلَّةِ الإِسْلَامِ، وَسَبِيلُ الحَقِّ بَيْنَهُمَا لِأَهْلِ القِبْلَةِ.
[60] Merasa
aman (dari siksa) dan
putus asa (dari ampunan Allah), keduanya dapat mengeluarkan dari Islam.
Jalan yang benar bagi orang Islam adalah antara keduanya.
[61] وَلَا نُخْرِجُ العَبْدَ مِنَ الإِيمَانِ
إِلَّا بِجُحُودِ مَا أَدْخَلَهُ فِيهِ.
[61] Seorang
hamba hanya akan keluar dari keimanannya kalau ia mengingkari apa yang telah ia
imani.[9]
16. [Tentang
Definisi Iman]
[62] وَالإِيمَانُ: هُوَ الإِقْرَارُ
بِاللِّسَانِ، وَالتَّصْدِيقُ بِالجَنَانِ.
[62] Iman
adalah pengakuan dengan lisan,
dan pembenaran
dengan hati.[10]
[63] وَإِنَّ جَمِيعَ مَا أَنْزَلَ اللهُ
تَعَالَى فِي القُرْآنِ وَجَمِيعَ مَا صَحَّ عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ مِنَ الشَّرْعِ
وَالبَيَانِ كُلُّهُ حَقٌّ.
[63] Seluruh
yang Allah
turunkan dalam Al-Quran dan seluruh diriwayatkan dengan shahih dari Rasulullah ﷺ berupa syari’at dan bayan (ilmu) adalah benar adanya.
[64] وَالإِيمَانُ وَاحِدٌ، وَأَهْلُهُ فِي
أَصْلِهِ سَوَاءٌ، وَالتَّفَاضُلُ بَيْنَهُمْ بِالتَّقْوَى، وَمُخَالِفَةِ الهَوَى.
[64] Iman
itu satu. Pemilik keimanan tersebut dilihat dari asal imannya adalah sama.[11]
Keutamaan di antara
mereka diukur dengan ketakwaan,
menghindari hawa nafsu.
[65] وَالمُؤْمِنُونَ كُلُّهُمْ أَوْلِيَاءُ
الرَّحْمٰنِ، وَأَكْرَمُهُمْ عِنْدَ الله أَطْوَعُهُمْ وَأَتْبَعُهُمْ لِلْقُرْآنِ.
[65] Kaum
Mukminin seluruhnya adalah wali-wali Ar-Rahman. Yang paling mulia di antara mereka adalah
yang paling taat dan paling mengikuti ajaran Al-Qur’an.
[66] وَالإِيمَانُ: هُوَ الإِيمَانُ
بِاللَّهِ، وَمَلَائِكَتِه، وَكُتُبِه، وَرُسُلِه، وَاليَوْمِ الآخِرِ، وَالقَدَرِ،
خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، وَحُلْوِهِ وَمُرِّهِ، مِنَ اللهِ تَعَالَىٰ.
[66] Iman
adalah beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan Takdir: baik maupun buruk, manis maupun pahit,
semuanya berasal dari Allah.
[67] وَنَحْنُ مُؤْمِنُونَ بِذَلِكَ كُلِّهِ،
لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ، وَنُصَدِّقُهُمْ كُلَّهُمْ عَلَىٰ مَا
جَاءُوا بِهِ.
[67] Kita
mengimani semua itu. Kita tidak membeda-bedakan seorang pun di antara para
Rasul. Kita membenarkan mereka semua beserta apa yang mereka bawa.
17. [Tentang
Dosa Besar]
[68] وَأَهْلُ الكَبَائِرِ فِي النَّارِ لَا يُخَلَّدُونَ؛
إِذَا مَاتُوا وَهُمْ مُوَحِّدُونَ، وَإِنْ لَمْ يَكُونُوا تَائِبِينَ بَعْدَ أَنْ
لَقُوا اللهَ عَارِفِينَ. وَهُمْ فِي مَشِيئَتِهِ وَحُكْمِهِ: إِنْ شَاءَ غَفَرَ
لَهُمْ وَعَفَا عَنْهُمْ بِفَضْلِهِ، كَمَا ذَكَرَ عَزَّ وَجَلَّ فِي كِتَابِهِ: {وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ}
[النساء: 48]، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ فِي النَّارِ بِعَدْلِهِ، ثُمَّ
يُخْرِجُهُمْ مِنْهَا بِرَحْمَتِهِ وَشَفَاعَةِ الشَّافِعِينَ مِنْ أَهْلِ
طَاعَتِهِ، ثُمَّ يَبْعَثُهُمْ إِلَىٰ جَنَّتِهِ، وَذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ تَعَالَىٰ
مَوْلَى أَهْلَ مَعْرِفَتِهِ، وَلَمْ يَجْعَلْهُمْ فِي الدَّارَيْنِ كَأَهْلِ نُكْرَتِهِ،
الَّذِينَ خَابُوا مِنْ هِدَايَتِهِ، وَلَمْ يَنَالُوا مِنْ وَلَايَتِهِ. اللَّهُمَّ
يَا وَلِيَ الإِسْلَامِ وَأَهْلِه، مَسِّكْنَا بِالإِسْلَامِ حَتَّى نَلْقَاكَ
بِهِ.
[68] Para
pelaku dosa besar, jika masuk Neraka, mereka tak akan kekal di dalamnya, asal mereka mati dalam keadaan bertauhid.
Meskipun pula,
mereka belum bertaubat, tetapi mereka menemui Allah (mati) dengan menyadari dosa mereka. Mereka
diserahkan kepada kehendak dan keputusan Allah. Kalau Dia menghendaki, maka
mereka diampuni dan dimaafkan dosa-dosa mereka dengan keutamaan-Nya,
sebagaimana yang difirmankan Allah ‘azza wa jalla: “Dia
mengampuni dosa (yang tingkatannya) di bawah (dosa) syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48 & 116). Dan jika Dia menghendaki,
mereka diadzab-Nya di Neraka dengan
keadilan-Nya, lalu Allah akan
mengeluarkan mereka darinya dengan rahmat-Nya atau dikeluarkaan dengan syafa’at orang yang berhak memberi syafa’at
di kalangan hamba-Nya yang ta’at. Lalu mereka pun diangkat ke Surga-Nya. Hal itu karena Allah adalah pelindung bagi siapa yang mengenal-Nya. Dia pun tidak menjadikan keadaan mereka (beriman) di dunia dan di Akhirat sama dengan mereka yang tidak mengenal-Nya. Yaitu mereka yang luput, tak mendapatkan petunjuk-Nya, dan tidak
dapat memperoleh hak perlindungan-Nya.
Wahai Dzat yang menjadi pelindung bagi Islam dan pemeluknya, teguhkanlah kami di atas Islam sampai
bertemu
dengan-Mu.
18. [Tentang
Shalat di Belakang Fajir dan Mubtadi]
[69] وَنَرَى الصَّلَاةَ خَلْفَ كُلِّ بَرٍّ
وَفَاجِرٍ مِنْ أَهْلِ القِبْلَةِ، وَعَلَىٰ مَنْ مَاتَ مِنْهُمْ.
[69] Kami
menganggap sah shalat (jama’ah) di belakang imam (pemimpin) yang shalih maupun yang fasik dari kalangan
Ahli Kiblat dan menshalatkan
siapa saja yang meninggal di antara mereka.
[70] وَلَا نُنْزِلُ أَحَدًا مِنْهُمْ جَنَّةً
وَلَا نَارًا، وَلَا نَشْهَدُ عَلَيْهِمْ بِكُفْرٍ وَلَا بِشِرْكٍ وَلَا بِنِفَاقٍ؛
مَا لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُمْ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ، وَنَذَرُ سَرَائِرَهُمْ إِلَى اللهِ
تَعَالَىٰ.
[70] Kita
tak boleh memastikan mereka masuk Surga atau Neraka. Kita juga tidak boleh bersaksi bahwa mereka itu kafir, musyrik, atau munafik, selama semua itu tidak
tampak nyata dari diri mereka. Kita menyerahkan rahasia hati mereka kepada
Allah Ta’ala.
19. [Tentang
Memberontak dan Membunuh]
[71] وَلَا نَرَى السَّيْفَ عَلَىٰ أَحَدٍ
مِنْ أُمَّة مُحَمَّدٍ ﷺ إِلَّا مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ السَّيْفُ.
[71] Kita
tidak boleh memerangi seorang
pun dari ummat Muhammad ﷺ,
kecuali terhadap mereka yang wajib diperangi.[12]
[72] وَلَا نَرَى الخُرُوجَ عَلَىٰ
أَئِمَّتِنَا وَوُلَاةِ أُمُورِنَا، وَإِنْ جَارُوا، وَلَا نَدْعُو عَلَيْهِمْ،
وَلَا نَنْزِعُ يَدًا مِنْ طَاعَتِهِمْ، وَنَرَى طَاعَتَهُمْ مِنْ طَاعَة اللهِ
عَزَّ وَجَلَّ فَرِيضَةً، مَا لَمْ يَأْمُرُوا بِمَعْصِيَة، وَنَدْعُوا لَهُمْ
بِالصَّلَاحِ وَالمُعَافَاةِ.
[72] Kita
tidak boleh memberontak para pemimpin
dan penguasa
kita, meskipun mereka
berbuat zhalim. Kita tidak mendoakan keburukan bagi mereka dan tidak berlepas diri dengan tidak taat kepada mereka. Kita
berkeyakinan bahwa mentaati mereka sepanjang dalam ketaatan kepada Allah adalah
wajib, selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat. Kita tetap mendoakan
kebaikan untuk mereka berupa kebaikan jiwa dan kesehatan.
[73] وَنَتَّبِعُ السُّنَّةَ وَالجَمَاعَةَ،
وَنَجْتَنِبُ الشُّذُوذَ وَالخِلَافَ وَالفُرْقَةَ.
[73] Kita
tetap mengikuti As-Sunnah dan Al-Jama’ah, menghindari kesendirian, perselisihan, dan perpecahan.
[74] وَنُحِبُّ أَهْلَ العَدْلِ وَالأَمَانَةِ،
ونَبْغَضُ أَهْلَ الجَوْرِ وَالخِيَانَةِ.
[74] Kita
mencintai orang yang adil dan menjaga amanah serta membenci orang yang zhalim
dan khianat.
20. [Tentang
Ucapan Allahu A’lam]
[75] وَنَقُولُ: اللهُ أَعْلَمُ، فِيمَا
اشْتَبَهَ عَلَيْنَا عِلْمُهُ.
[75] Kita
mengucapkan Allahu A’lam[13] terhadap sesuatu yang masih samar ilmunya bagi
kita.
21. [Tentang
Mengusap Khufain]
[76] وَنَرَى المَسْحَ عَلى الخُفَّيْنِ، فِي
السَّفَرِ وَالحَضَرِ، كَما جَاءَ فِي الأَثَرِ.
[76] Kita
berpendapat disyari’atkannya mengusap khuff (sepatu/kaos kaki) baik di waktu mukim maupun safar (bepergian), sebagaimana dijelaskan dalam beberapa riwayat.[14]
22. [Tentang
Haji dan Jihad Bersama Pemimpin]
[77] وَالحَجُّ وَالجِهَادُ فَرْضَانِ مَاضِيَانِ
مَعَ أُولِي الأَمْرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، بَرِّهِمْ وَفَاجِرِهِمْ، إِلَى قِيَامِ
السَّاعَةِ، لَا يُبْطِلُهُمَا شَيْءٌ وَلَا يَنْقُضُهُمَا.
[77] Jihad
dan ibadah haji dilakukan bersama Ulul ‘Amri dari kaum Muslimin, baik yang shalih maupun yang fasik, hingga hari Kiamat. Keduanya tak
dapat dibatalkan dan dirusak oleh segala sesuatu.
23. [Tentang
Malaikat Pencatat]
[78] وَنُؤْمِنُ بِالكِرَامِ الكَاتِبِينَ، وَأَنَّ
اللهَ قَدْ جَعَلَهُمْ عَلَيْنَا حَافِظِينَ.
[78] Kita
mengimani para Malaikat yang Mulia, pencatat amal manusia. Sesungguhnya Allah
telah menjadikan mereka sebagai pengawas bagi kita.
24. [Tentang
Malaikat Maut]
[79] وَنُؤْمِنُ بِمَلَكِ المَوْتِ المُوَكَّلِ
بِقَبْضِ أَرْوَاحِ العَالَمِينَ.
[79] Kita
juga mengimani Malaikat Maut yang diberi tugas mencabut nyawa para makhluk hidup.
25. [Tentang
Adzab Kubur]
[80] وَبِعَذَابِ القَبْرِ لِمَنْ كَانَ لَهُ
أَهْلًا، وَسُؤَالِ مُنْكَرٍ وَنَكِيرٍ فِي قَبْرِه عَنْ رَبِّهِ وَدِينِهِ
وَنَبِيِّهِ، عَلَىٰ مَا جَاءَتْ بِهِ الأَخْبَارُ عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَعَنِ
الصَّحَابَة رَضِيَ اللهُ عَنهُمْ أَجْمَعِينَ.
[80] Kita
pun mengimani adanya adzab kubur bagi orang yang berhak mendapatkannya dan juga
pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di dalam kuburnya tentang Rabb-nya, agamanya, dan Rasul-Nya
berdasarkan riwayat-riwayat dari Rasulullah ﷺ serta para sahabat rodhiyallahu ‘anhum
ajmain.
[81] وَالقَبْرُ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ
الجنَّةِ، أَوْ حُفْرَةٌ مِنْ حُفَرِ النِّيرَانِ.
[81] Alam
kubur adalah taman-taman Surga atau jurang-jurang Neraka.
26. [Tentang
Hari Kebangkitan]
[82] وَنُؤْمِنُ بِالبَعْثِ وَجَزَاءِ الأَعْمَالِ
يَوْمَ القِيَامَةِ، وَالعَرْضِ وَالحِسَابِ، وَقِرَاءَةِ الكِتَابِ، وَالثَّوَابِ
وَالعِقَابِ، وَالصِّرَاطِ وَالمِيزَانِ.
[82] Kita
juga mengimani Hari Kebangkitan dan
balasan amal perbuatan pada hari Kiamat, kita juga mengimani ‘ard (ditampakkannya amal perbuatan) dan hisab[15],
pembacaan catatan amal, pahala dan siksa, shirat (jembatan yang membentang di punggung Neraka menuju Surga),
dan al-mizan (timbangan).
27. [Tentang
Kekekalan Surga dan Neraka]
[83] وَالجَنَّةُ وَالنَّارُ مَخْلُوقَتَانِ،
لَا تَفْنَيَانِ أَبَدًا وَلَا تَبِيدَانِ، وَإِنَّ اللهَ تَعَالَىٰ خَلَقَ الجَنَّةَ
وَالنَّارَ قَبْلَ الخَلْقِ، وَخَلَقَ لَهُمَا أَهْلًا، فَمَنْ شَاءَ مِنْهُمْ
إِلَى الجَنَّةِ فَضْلًا مِنْهُ، وَمَنْ شَاءَ مِنْهُمْ إِلَى النَّارِ عَدْلًا
مِنْهُ، وَكُلٌّ يَعْمَلُ لِمَا قَدْ فُرِغَ لَهُ، وَصَائِرٌ إِلَى مَا خُلِقَ
لَهُ.
[83] Surga dan Neraka adalah dua makhluk yang tidak akan lenyap
selamanya dan tidak akan binasa. Sesungguhnya Allah telah
menciptakan Surga dan Neraka
sebelum penciptaan makhluk lain dan Allah-pun sudah menentukan
penghuni bagi keduanya. Siapa dari mereka yang dikehendaki-Nya masuk Surga maka itu karunia dari-Nya
dan siapa dari mereka yang dikehendaki-Nya masuk Neraka maka itu keadilan dari-Nya.
Masing-masing manusia beramal sesuai takdirnya dan menjadi sesuai untuk apa
penciptaannya.
28. [Tentang
Takdir Baik dan Buruk]
[84] وَالخَيْرُ وَالشَّرُّ مُقَدَّرَانِ عَلَىٰ
العِبَادِ.
[84] Kebaikan
dan keburukan seluruhnya telah
ditakdirkan atas para hamba.
[85] وَالِاسْتِطَاعَةُ ضَرْبَانِ:
أَحَدُهُمَا الِاسْتِطَاعَةُ الَّتِي يَجِبُ بِهَا الفِعْلُ - مِنْ نَحْوِ
التَّوْفِيقِ الَّذِي لَا يَجُوزُ أَنْ يُوصَفُ المَخْلُوقُ بِهِ -: فَهِيَ مَعَ
الفِعْلِ. وَأَمَّا الِاسْتِطَاعَةُ مِنْ جِهَةِ الصِّحَّةِ وَالوُسْعِ،
وَالتَّمْكِينِ وَسَلَامَةِ الآلَاتِ: فَهِيَ قَبْلَ الفِعْلِ، وَبِهَا
يَتَعَلَّقُ الخِطَابُ، وَهُوَ كَمَا قَالَ تَعَالَىٰ: {لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا} [البقرة: 286].
[85] Kemampuan itu ada dua: (pertama) kemampuan yang menyebabkan terjadi perbuatan —semacam taufik yang tidak bisa dilakukan oleh makhluk— ia terjadi menyertai
perbuatan. (Kedua) adapun kemampuan dalam arti kesehatan
tubuh, potensi, kekuatan, dan selamatnya diri dari bermacam musibah, ia terjadi sebelum melakukan amalan[16].
Dengan itulah hukum tersebut digantungkan, sebagaimana yang difirmankan Allah: “Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sebatas kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
[86] وَأَفْعَالُ العِبَادِ خَلْقُ اللهِ،
وَكَسْبٌ مِنَ العِبَادِ.
[86] Perbuatan-perbuatan para hamba adalah makhluk Allah, sementara
usaha dari para hamba.
[87] وَلَمْ يُكَلِّفْهُمُ اللهُ تَعَالَىٰ
إِلَّا مَا يُطِيقُونَ، وَلَا يُطِيقُونَ إِلَّا مَا كَلَّفَهُمْ، وَهُوَ
تَفْسِيرُ«لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ»، نَقُولُ: لَا حِيلَةَ
لِأَحَدٍ وَلَا تَحَوُّلَ لِأَحَدٍ وَلَا حَرَكَةَ لِأَحَدٍ عَنْ مَعْصِيَةِ اللهِ؛
إِلَّا بِمَعُونَةِ اللهِ، وَلَا قُوَّةَ لِأَحَدٍ عَلَىٰ إِقَامَةِ طَاعَةِ اللهِ
وَالثَّبَاتِ عَلَيْهَا؛ إِلَّا بِتَوْفِيقِ اللهِ.
[87] Allah
hanya membebani mereka sebatas yang mereka mampu. Mereka pun memang tidak akan mampu melainkan
sebatas apa yang dibebankan Allah atas mereka. Itulah pengertian kalimat Laa
haula wa laa quwwata illa billah. Kita mengatakan: tidak ada upaya bagi seorang pun, dan tidak ada gerakan bagi seorang
pun, juga tidak ada daya bagi seorang pun dari (menjauhi) maksiat melainkan dengan pertolongan Allah. Tidak ada kekuatan bagi seorang pun untuk melaksanakan dan
bertahan dalam ketaatan kepada Allah melainkan dengan taufik (pertolongan) Allah.
[88] وَكُلُّ شَيْءٍ يَجْرِي بِمَشِيئَةِ
اللهِ تَعَالَىٰ وَعِلْمِهِ وَقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ، غَلَبَتْ مَشيئتُهُ
المَشِيئَاتِ كُلَّهَا، وَغَلَبَ قَضَاؤُهُ الحِيَلَ كُلَّهَا، يَفْعَلُ مَا
يَشَاءُ، وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ أَبَدًا، [تَقَدَّسَ عَنْ كُلِّ سُوْءٍ وَحِينٍ، وتَنَـزَّهَ
عَنْ كُلِّ عَيْبٍ وَشَيْنٍ]: {لَا
يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ} [الأنبياء: 23].
[88] Segala
sesuatu terjadi menurut kehendak Allah, ilmu-Nya, keputusan-Nya, dan takdir-Nya.
Kehendak-Nya
mengalahkan seluruh kehendak. Takdirnya mengalahkan seluruh upaya. Dia berbuat sekehendak-Nya tanpa zhalim
selama-lamanya. Dia tersucikan dari semua keburukan dan kejahatan, dan
tersucikan dari segala aib dan kekurangan. “Tidaklah Dia ditanya tentang apa yang Dia perbuat,
tetapi merekalah yang akan ditanya tentang apa yang mereka perbuat).” (QS. Al-Anbiya’ [21]:
23)
29. [Tentang Doa
dan Sedekah untuk Si Mayit]
[89] وَفِي دُعَاءِ الأَحْياءِ وَصَدَقَاتِهم
مَنْفَعَةٌ لِلأَمْوَات.
[89] Do’a
dan sedekah orang yang hidup bermanfaat bagi si mayit.
[90] وَاللَّهُ تَعَالَىٰ يَسْتَجِيبُ
الدَّعَوَاتِ، وَيَقْضِي الحَاجَاتِ.
[90] Allah
Ta’ala mengabulkan segala
do’a dan memenuhi segala kebutuhan hamba-Nya.
[91] وَيَمْلِكُ كُلَّ شَيْءٍ، وَلَا
يَمْلِكُهُ شَيْءٌ، وَلَا غِنَى عَنِ اللهِ تَعَالَىٰ طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَمَنِ
اسْتَغْنَى عَنِ اللهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ؛ فَقَدْ كَفَرَ وَصَارَ مِنْ أَهْلِ الحَيْنِ.
[91] Dia
memiliki segala sesuatu namun tidak dimiliki oleh sesuatu. Tidak sekejap pun (hamba-hamba-Nya) lepas dari rasa
butuh kepada-nya. Barangsiapa yang merasa tak butuh kepada Allah sekejap pun, dia telah kafir dan termasuk
orang yang binasa.
30. [Tentang
Allah Benci dan Ridha]
[91] وَاللَّهُ يَغْضَبُ وَيَرْضَى، لاَ كَأَحَدٍ
مِنَ الوَرَى.
[92] Allah benci dan ridha, tetapi sifat tersebut tidak mirip
sama sekali dengan sifat makhluk.
31. [Tentang
Sahabat]
[93] وَنُحِبُّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ ﷺ،
وَلَا نُفْرِطُ فِي حُبِّ أَحَدٍ مِنْهُمْ، وَلَا نَتَبَرَّأُ مِنْ أَحَدٍ
مِنْهُمْ، وَنُبْغِضُ مَنْ يُبْغِضُهُمْ، وَبِغَيْرِ الخَيْرِ يَذْكُرُهُمْ، وَلَا
نَذْكُرُهُمْ إِلَّا بِخَيْرٍ. وَحُبُّهُمْ دِينٌ وَإِيمَانٌ وَإِحْسَانٌ،
وَبُغْضُهُمْ كُفْرٌ وَنِفَاقٌ وَطُغْيَانٌ.
[93] Kita
mencintai para sahabat Nabi ﷺ,
namun tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang di antaranya. Tidak juga
kita bersikap meremehkan terhadap seorang pun dari mereka. Kita membenci
siapa-siapa yang membenci mereka dan siapa-siapa yang menyebutkan mereka dengan
kejelekan. Kita pun hanya menyebut mereka dalam kebaikan. Mencintai mereka
adalah agama, keimanan, dan ihsan, sementara membenci mereka adalah kekufuran,
kemunafikan, dan melampaui batas.
[94] وَنُثْبِتُ الخِلَافَةَ بَعْدَ رَسُولِ
اللهِ ﷺ أَوَّلًا لِأَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ، تَفْضِيلًا لَهُ وَتَقْدِيمًا عَلَىٰ
جَمِيعِ الأُمَّةِ، ثُمَّ لِعُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ، ثُم لِعُثْمَانَ، ثُمَّ
لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، وَهُمُ الخُلَفَاءُ الرَّاشدُونَ وَالأَئِمَّةُ المَهْدِيُّونَ.
[94] Kita
mengakui kekhalifahan sepeninggal Rasulullah ﷺ.
Yang pertama adalah Abu Bakar
As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu karena keutamaannya dan keterdahuluannya atas semua umat Islam. Kemudian ‘Umar bin
Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Setelah itu ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu
‘anhu. Kemudian ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Merekalah
yang disebut dengan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun dan para imam yang mendapat petunjuk.
[95] وَإِنَّ العَشَرَةَ الَّذِينَ
سَمَّاهُمْ رَسُولُ اللهِ ﷺ وَبَشَّرَهُمْ بِالجَنَّةِ، نَشْهَدُ لَهُمْ بِالجَنَّةِ،
عَلَىٰ مَا شَهِدَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ ﷺ، وَقَوْلُهُ الحَقُّ، وَهُمْ: أَبُو
بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ، وَعَلِيٌّ، وَطَلْحَةُ، وَالزُّبَيْرُ، وَسَعْدٌ،
وَسَعِيدٌ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ، وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الجَرَّاحِ،
وَهُوَ أَمِينُ هَذِهِ الأُمَّةِ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ.
[95] Sepuluh
orang sahabat yang disebut-sebut Nabi dan diberi kabar gembira sebagai penghuni
Surga, kita akui sebagai penghuni Surga berdasarkan persaksian Nabi ﷺ, dan perkataan beliau adalah benar. Mereka adalah: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Thalhah [bin
‘Ubaidillah], Az-Zubair [bin Al-Awwam],
Sa’ad [bin Abi Waqqas], Sa’id [bin Zaid], Abdurrahman bin ‘Auf, dan Abu
‘Ubaidah Al-Jarrah sebagai orang terpercaya umat ini radhiyallahu ‘anhum.
[96] وَمَنْ أَحْسَنَ القَوْلَ فِي أَصْحَابِ
رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَأَزْوَاجِهِ [الطَّاهِرَاتِ مِنْ كُلِّ دَنَسٍ]،
وَذُرِّيَّاتِهِ [المُقَدَّسِينَ مِنْ كُلِّ رِجْسٍ]؛ فَقَدَ بَرِئَ مِنَ
النِّفَاقِ.
[96] Barangsiapa
yang membaguskan ucapannya terhadap para sahabat Nabi ﷺ dan istri-istri beliau [yang
bersih dari segala noda]
serta anak cucu beliau [yang
suci dari segala najis], maka orang itu
telah selamat dari kemunafikan.
32. [Tentang
Tabiin]
[97] وَعُلَمَاءُ السَّلَفِ مِنَ
السَّابِقِينَ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ التَّابِعِينَ - أَهْلِ الخَيْرِ وَالأَثَرِ،
وَأَهْلِ الفِقْهِ وَالنَّظَرِ - لَا يُذْكَرُونَ إِلَّا بِالجَمِيلِ، وَمَنْ
ذَكَرَهُمْ بِسُوءٍ فَهُوَ عَلَىٰ غَيْرِ السَّبِيلِ.
[97] Para
‘ulama As-Salaf terdahulu (para
sahabat) dan yang sesudah mereka dari
kalangan Tabi’in —baik ahli kebaikan, ahli hadits, ahli
fiqih, maupun ahli ushul— mereka
semuanya harus disebut dengan baik. Barangsiapa yang menjelek-jelekkan mereka, maka dia tidak berada di
atas jalan yang benar.
33. [Tentang
Wali Allah]
[98] وَلَا نُفَضِّلُ أَحَدًا مِنَ الأَوْلِيَاءِ
عَلَىٰ أَحَدٍ مِنَ الأَنْبِيَاءِ [عَلَيْهِمُ السَّلَامُ]، وَنَقُولُ: نَبِيٌّ
وَاحِدٌ أَفْضَلُ مِنْ جَمِيعِ الأَوْلِيَاءِ.
[98] Kita
tidak mengutamakan salah seorang pun di antara para wali Allah di atas seorang dari para Nabi ‘Alaihimus Sallam. Bahkan kita mengatakan bahwa seorang saja
dari para Nabi itu lebih utama dibanding seluruh para wali.
[99] وَنُؤْمِنُ بِمَا جَاءَ مِنْ
كَرَامَاتِهِم، وَصَحَّ عَنِ الثِّقَاتِ مِنْ رِوَايَاتِهِم.
[99] Kita
mengimani adanya karomah-karomah mereka dan segala riwayat tentang mereka yang dinukil dari para perawi
yang tepercaya.
34. [Tentang
Tanda Kiamat]
[100] وَنُؤْمِنُ بِـ[أَشْرَاطِ السَّاعَةِ:
مِنْ] خُرُوجِ الدَّجَّال، ونُزُولِ عِيسَى بْنِ مَرْيَمَ [عَلَيْهِ السَّلامُ]
مِنَ السَّماءِ، وَنُؤْمِنُ بِطُلُوعِ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا، وَخُرُوجِ
دَابَّةِ الأَرْضِ مِنْ مَوْضِعِهَا.
[100] Kita
juga mengimani adanya [tanda-tanda hari Kiamat
berupa] keluarnya Dajjal dan turunnya Nabi ‘Isa ‘Alaihis
Sallam dari langit. Kita
juga mengimani terbitnya matahari dari barat dan keluarnya Ad-Dabbah (binatang yang dapat berbicara seperti manusia) dari kediamannya.
35. [Tentang
Dukun dan Tukang Ramal]
[101] وَلاَ نُصَدِّقُ كَاهِنًا وَلاَ
عَرَّافًا، وَلاَ مَنْ يَدَّعِي شَيْئًا يُخَالِفُ الكِتَابَ والسُّنَّةَ
وإجْمَاعَ الأُمَّةِ.
[101] Kita
tidak mempercayai (ucapan) dukun maupun peramal, demikian juga setiap orang
yang mengakui sesuatu yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah serta Ijma’ kaum Muslimin.
36. [Tentang
Jamaah dan Perpecahan]
[102] وَنَرَى الجَمَاعَةَ حَقًّا وَصَوَابًا،
والفُرْقَةَ زَيْغًا وَعَذَابًا.
[102] Kita
meyakini bahwa Al-Jama’ah adalah
haq dan kebenaran, sementara pepecahan adalah penyimpangan dan
siksaan.
37. [Tentang
Agama Para Nabi]
[103] وَدِينُ اللهِ فِي الأَرْضِ
وَالسَّمَاءِ وَاحِدٌ، وَهُوَ دِينُ الإِسْلَامِ، قَالَ اللهُ تَعَالَىٰ: {إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلَامُ}
[آل عمران: 19]، وَقَالَ تَعَالَىٰ: {وَرَضِيتُ
لَكُمُ الإِسْلَامَ دِينًا} [المائدة: 3].
[103] Agama
Allah di langit dan di bumi hanyalah satu, yaitu agama Islam, Allah berfirman: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi
Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 19) Dia juga berfirman: “Dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al-Maidah [5]: 3).
[104] وَهُو بَيْنَ الغُلُوِّ والتَّقْصِيرِ،
وَبَيْنَ التَّشْبِيهِ والتَّعْطِيلِ، وَبَيْنَ الجَبْرِ وَالقَدَرِ، وَبَيْنَ
الأَمْنِ وَالإِيَاسِ.
[104] Islam
itu berada di antara sikap berlebih-lebihan (guluw) dan sikap meremehkan (taqshir), antara tasybih (menyerupakan sifat-sifat Allah dengan
sifat-sifat makhluk) dan ta’thil (menafikkan/meniadakan makna/lafazh sifat-sifat
itu), antara Jabariyah (kaum yang beranggapan manusia dipaksa takdir) dan Al-Qadariyah (kaum
yang
beranggapan keburukan bukan takdir), dan antara yang merasa aman dari siksa Allah dan yang putus asa dari
rahmat Allah.
[105] فَهَذَا دِينُنَا وَاعْتِقَادُنَا
ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، وَنَحْنُ بُرَآءُ إِلَى اللهِ مِنْ كُلِّ مَنْ خَالَفَ
الَّذِي ذَكَرْنَاهُ وَبَيَّنَّاهُ، وَنَسْأَلُ اللهَ تَعَالَىٰ أَنْ يُثَبِّتَنَا
عَلَىٰ الإِيمَانِ، وَيَخْتِمَ لَنَا بِهِ، وَيَعْصِمَنَا مِنَ الأَهْوَاءِ المُخْتَلِفَةِ،
وَالآرَاءِ المُتَفَرِّقَةِ، وَالمَذَاهِبِ الرَّدِيَّةِ، مِثْلِ المُشَبِّهَةِ، [وَالمُعْتَزِلَةِ]،
وَالجَهْمِيَّةِ، وَالجَبَرِيَّةِ، وَالقَدَرِيَّةِ، وَغَيْرِهِا، مِنَ الَّذِينَ
خَالَفُوا [السُّنَّةَ وَ]الجَمَاعَةَ، وَحَالَفُوا الضَّلَالَةَ، وَنَحْنُ
مِنْهُمْ بُرَآءُ، وَهُمْ عِنْدَنَا ضُلَّالٌ وَأَرْدِيَاءُ.
وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ،
وَإِلَيْهِ المَرْجِعُ وَالمَآبُ.
[105] Inilah
agama dan keyakinan kami lahir maupun batin. Kami berlepas diri dengan kembali
kepada Allah dari setiap yang
menyelisihi apa yang kami sebutkan dan kami jelaskan. Kita memohon kepada Allah
untuk menetapkan diri kita
di atas keimanan, mematikan kita dengan keyakinan itu, memelihara kita dari
pengaruh hawa nafsu yang bermacam-macam, dan dari pendapat-pendapat yang
beraneka ragam, dan madzhab-madzhab yang jelek, seperti: Musyabbiah, [Mu’tazilah,] Al-Jahmiyyah, Al-Jabriyyah, Al-Qadariyyah, dan lain-lain, dari kalangan mereka
yang menyelisihi Al-Jama’ah (Jamaah Sahabat) dan bersanding dengan kesesatan. Kita berlepas diri dari mereka. Dan
mereka menurut kami adalah orang-orang sesat dan jahat.
Allah lebih tahu kebenarannya, dan hanya kepada-Nya tempat kembali dan
berkumpul.[]
[1] (قَدِيمٌ) bukan termasuk sifat Allah
karena tidak disebutkan secara pasti sebagai nama Allah dalam al-Qur`an dan
as-Sunnah. Makna al-Qodim
secara bahasa ‘Arob adalah yang mendahului
sesuatu baik sebelumnya ia didahului olehnya atau tidak, seperti firman Allah:
{وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ
حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ} [يس: 39]
“Dan Kami telah
menentukan peredaran bulaan. Sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir)
kembalilah dia seperti bentuk tandan yang mendahului.” (QS. Yasin [36]: 39).
Untuk itu nama ini tidak dipakai untuk nama Allah
karena nama Allah sifatnya tauqifi (ditetapkan nash). Akan tetapi Ibnul
Qayyim dalam al-Bada-i’ membolehkan penamaan ini dalam rangka mengabarkan
bukan memberi nama:
باب الأخبار أوسع من باب
الصفات التوقيفية
“Bab kabar lebih luas (boleh dipakai) daripada bab
sifat yang tauqifi.”
Yang lebih hati-hati, menggunakan lafazh Quran dan
hadits sudah mencukupi, yaitu Al-Awwāl untuk Al-Qodīm, dan Al-Akhīr untuk
Ad-Dāim.
[2] Ada yang menerjemahkan
“menyesatkannya”, dan “membiarkan sesat”, keduanya diakui dan masing-masing ada perinciannya
dalam bab takdir.
[3] Yakni, yang bisa beramal sholih,
itu murni karena pertolongan Allah, karena Allah yang memberinya akal sehat,
kekuatan, dimudahkan langkahnya, dihindarkan dari rintangan. Sementara jika ia
berbuat kesalahan dan dosa, Allah tidak memaksanya sehingga adil jika Allah
menghukumnya, kecuali jika Allah mengampuninya.
[4] Tambahan ini tidak terdapat di
penelitian Syaikh Abdul Muhsin Qosim, begitu seterusnya lafazh dalam [...].
[5] Yakni Quran dan Sunnah atau
ilmu dan amal.
[6] Seperti memahami pendengaran
Allah seperti manusia yang tidak mampu mendengar jarak jauh, memahami ilmu
Allah seperti makhluk yang tahu jika sudah terjadi, semua ini adalah kekufuran.
[7] Ucapan “Dia tidak di
kelilingi oleh enam penjuru arah sebagaimana semua makhluk-Nya” maksudnya
adalah Allah tidak sebagaimana makhluk-Nya yang membutuhkan arah. Ini benar dan
Imam ath-Thahawi beraqidah Ahlus Sunnah yang lurus dan berusaha dengan
ungkapannya ini membantah kaum Musyabbihat (kaum yang menyerupakan sifat Allah
dengan sifat makhluk). Yang beliau ingkari adalah penyerupaan dengan makhluk,
bukan mengingkari keberadaan sifat Allah. Akan tetapi ungkapan-ungkapan ini
(anggota badan, organ, enam arah, dll) tidak dikenal di kalangan Ahlus Sunnah
dan ayat “Tidak ada yang serupa dengan-Nya” sudah mencukupi untuk
membantah kaum Musyabbihat. Cukup katakan Allah di atas Arsy dan Allah memiliki
Tangan,
sebagaimana yang dikatakan Al-Quran dan Hadits, tanpa menyerupakannya dengan
makhluk.
[8] ‘Arsy adalah makhluk
terbesar Allah menurut para ulama dan Allah tinggi di atas ‘Arsy (tidak
menempel). Sementara Kursi adalah tempat meletakkan dua telapak kaki Allah
(tidak melazimkan menempel karena Allah tidak menyatu dengan makhluk-Nya). Perbandingan besarnya Kursi dengan ‘Arsy adalah
seperti gelang di lempar di padang pasir yang luas. Sementara perbandingan
Kursi dengan 7 langit-bumi seperti itu pula. Mahabesar Allah.
[9] Pembatal iman tidak hanya
menentang, tetapi ada banyak, misalnya istihza (mengolok simbol-simbol
agama).
[10] Yang benar, amal bagian dari iman, sebagian
amal masuk pokok iman dan sebagian lagi sebagai penyempurna. Madzhab Hanafi
menganggap pokok iman semua orang beriman adalah sama, yang membedakan
tingkatan mereka adalah ketaqwaan. Adapun madzhab yang tiga, mereka sepakat
bahwa pokok iman tiap orang berbeda-beda, kita tidak mengatakan bahwa pokok
iman kita sama dengan imannya Jibril dalam satu tingkatan.
[11] Pokok iman tidak sama antara
masing-masing orang. Pokok iman para Rosul tentu berbeda dengan orang awam,
pokok iman orang taat berbeda dengan orang fasiq.
[12] Contoh yang boleh diperangi
adalah pemberontak, dan contoh yang boleh dibunuh adalah murtad, pezina yang
sudah menikah, orang yang membunuh jiwa, tetapi jika dipergok pemimpin dan
pemimpin yang berhak menjatuhkan hukuman bukan rakyat.
[13] Artinya: hanya Allah yang tahu
atau Allah lebih tahu.
[14] Orang yang suci lalu memakai kaos
kaki atau sepatu yang menutupi mata kakinya lalu batal wudhunya, ia boleh hanya
mengusap bagian tersebut dengan tangan yang dibasahi air, tanpa perlu
melepasnya, saat berwudhu. Durasi untuk mukim, sehari semalam; dan untuk
musafir tiga hari tiga malam. Perhitungan awal dimulai dari memakai sepatu atau
kaos kaki tersebut.
[15] Hisab ringan atau ardh
adalah dosa ditampakkan dan hamba disuruh mengakui tetapi Allah ampuni,
sementara hisab berat (munaqosyah) mirip dengan ardh, bedanya
Allah mencelanya dan menghukumnya, tidak diampuni.
[16] Mudahnya, seseorang ingin sholat
atau tidur lalu ia memilih sholat. Dilihat dari kemampuan ia memilih, ia
dinamakan kemampuan hamba, dan manusia tidak dipaksa dalam hal ini, dan ini
sebelum terlaksananya sholat tersebut. Sementara, ditinjau dari terwujudnya
sholat (bagaimanapun keadaan orang tersebut) disebut taufiq, dan ia terjadi
berbarengan dengan perbuatan. Yang pertama adalah perbuatan hamba dan ia
makhluk, sementara peristiwa kedua adalah atas taufik Allah, dan taufik (pertolongan
Allah dalam beramal) adalah sifat Allah bukan mahluk.
syukron
jazakumullahu khairan!
Jazakallohu khoiron Ustadz