[PDF] Mengenal Jin, Iblis, dan Syaithon - Edisi 2 - Nor Kandir - PUSTAKA SYABAB
﷽
BAB 1: IMAM KEPADA GHOIB
Sifat Orang
Beriman
Di
antara sifat orang beriman adalah percaya dan menerima setiap kabar dari Allah
dan Rosul-Nya tentang perkara ghoib. Allah berfirman:
﴿الم * ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى
لِلْمُتَّقِينَ * الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ﴾
“Alif
Laam Miim. Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertakwa, (yaitu) mereka
yang beriman kepada yang ghoib, yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian
rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqorah [2]: 1-3)
Sebaliknya,
mendustakan perkara ghoib yang dikabarkan Allah
dan Rosul-Nya adalah kekufuran dan mengeluarkan orang dari Islam, karena
berarti mendustakan Allah dan Rosul-Nya. Orang beriman dilarang ragu sedikitpun
terhadap kabar dari Allah dan Rosul-Nya. Allah berfirman:
﴿إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rosul-Nya kemudian
mereka tidak ragu-ragu.” (QS. Al-Hujurat
[49]: 15)
Di
antara perkara ghoib tersebut adalah jin. Allah berfirman:
﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ﴾
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
Ini
dalil tegas akan keberadaan jin, dan ia mirip dengan manusia dalam beberapa
aspek karena kemiripan mereka dalam perintah dan larangan. Mereka bisa hidup
bisa mati, bisa lapar bisa kenyang, bisa berbicara, bisa melihat, bisa
mendengar, dan berkeluarga. Semua ini untuk menunjang mereka dalam beribadah
kepada Allah, untuk tujuan inilah Allah menciptakan dua makhluk ini.
Keberadaan
jin tidak boleh diingkari, karena mengingkari keberadaan jin akan
berkonsekuensi mengingkari firman-firman Allah yang mengabarkan eksistensi
(keberadaan) jin sebagai alam tersendiri, selain alam Malaikat dan alam
manusia. Bahkan di dalam Al-Qur’an ada surat khusus yang membahas jin dan
dinamai surat Al-Jin, surat ke-71 sebanyak 28 ayat.
Ketidakmampuan
manusia melihat jin bukanlah alasan mengingkarinya. Bukankah manusia
mempercayai adanya arus listrik, udara, dan ruh? Apakah mereka bisa melihatnya?
Ini menunjukkan bahwa keberadaan sesuatu tidak mengharuskan bisa dilihat.
Bukankah Allah ada meski tidak bisa dilihat di dunia? Bukankah Anda percaya
adanya Surga meski tidak melihatnya?
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H) berkata, “Tidak ada seorang pun dari para ulama
yang mengingkari akan keberadaan jin dan tidak pula mengingkari bahwa Muhammad ﷺ diutus Allah kepada mereka juga. Sekelompok orang musyrik juga
menetapkan keberadaan jin. Adapun Ahli Kitab dari Yahudi dan Nashoro, mereka
menetapkan jin seperti kaum Muslimin, meskipun ada pula sekelompok orang dari
mereka yang mengingkarinya, sebagaimana di kalangan kaum Muslimin juga
mengingkarinya, seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah, meskipun kebanyakan tokoh dan
pengikut mereka menetapkannya.
Hal
ini disebabkan keberadaan jin dikabarkan hadits-hadits yang derajatnya mencapai
mutawatir[1]
dan dikenal umum. Dan sudah diketahui bersama bahwa para jin hidup berakal dan
berbuat sesuai dengan keinginan. Bahkan mereka juga mendapatkan beban perintah
dan larangan. Mereka bukanlah sifat yang menempel pada manusia atau selainnya,
seperti yang diyakini para atheis. Tatkala kabar jin adalah mutawatir
dari para Nabi yang diketahui oleh kalangan umum dan khusus, maka mustahil bagi
orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada agama untuk mengingkarinya.”
Syaikhul
Islam berkata juga, “Semua kaum Muslimin menetapkan keberadaan jin, begitu pula
kebanyakan dari orang-orang kafir seperti pula umumnya Ahli Kitab, begitu pula
kebanyakan musyirikin Arab dan selainnya dari keturunan Ham, begitu pula
kebanyakan bangsa Kan’an dan Yunani dari keturunan Yafits. Kelompok-kelompok
tersebut menetepkan keberadaan jin.”[2]
Hanya Bersandar
Wahyu
Di
antara kesalahan orang-orang yang menetapkan keberadaan jin adalah berbicara
tentang jin tanpa bimbingan wahyu atau menggunakan akal sebagai sumber
referensi, seperti yang dilakukan oleh Yunani dan orang-orang sesat yang
diikuti oleh kaum liberal. Manusia wajib meyakini bahwa ilmu mereka terbatas,
sebagaimana firman Allah:
﴿وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلا قَلِيلا﴾
“Tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit.” (QS. Al-Israa [17]: 85)
Terutama
sekali perkara ghoib, hanya Allah yang tahu. Allah berfirman:
﴿قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ﴾
“Katakanlah:
‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghoib,
kecuali Allah,’ dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.” (QS.
An-Naml [27]: 65)
Bahkan
para Nabi pun tidak tahu perkara ghoib, kecuali jika Allah yang memberi tahu
kepada mereka, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Jin:
﴿عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا * إِلا
مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ
خَلْفِهِ رَصَدًا﴾
“Allah
adalah Yang Mengetahui yang ghoib, Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun
tentang yang ghoib itu, kecuali kepada Rosul yang diridhoi-Nya, maka
sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (Malaikat) di muka dan di
belakangnya.” (QS. Al-Jin [72]: 26-27)
Orang
yang berbicara tentang jin dengan pendapat si A dan si B, maka ini tercela dan
termasuk dosa besar. Selayaknya seseorang berbicara sesuai apa yang dikabarkan
Allah dan Rosul-Nya, dan berhenti dan mengatakan Allahu a’lam (hanya
Allah yang tahu) terhadap apa yang tidak dikabarkan Allah dan Rosul-Nya. Allah
menempatkan berbicara tanpa wahyu dalam posisi dosa paling atas daripada
syirik, zhalim, dan zina. Allah berfirman:
﴿قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ
مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا
بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا
لا تَعْلَمُونَ﴾
“Katakanlah:
‘Allah mengharamkan: (1) perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang
tersembunyi, dan (2) perbuatan dosa, (3) melanggar hak manusia tanpa alasan
yang benar, (4) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujah untuk itu, dan (5) mengada-adakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui.’” (QS. Al-A’rōf [7]: 33)
Allah
melarang mereka mengikuti pendapat ahli filsafat yang berbicara dengan akal dan
kelak akan meminta pertanggungjawaban kepada orang-orang yang berbicara tentang
ghoib tanpa ilmu, Allah berfirman:
﴿وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا﴾
“Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isrō [17]:
36)
***
BAB 2: MENGENAL JIN
Jin, iblis, dan syaithon
adalah tiga istilah ini tidak bisa
dipisahkan, karena saling terkait. Jin adalah alam tersendiri, sebagaimana ada
alam Malaikat dan alam manusia. Jin diciptakan dari api. Adapun iblis adalah
jin yang membangkang diperintah Allah sujud kepada Adam ﷺ, sehingga iblis termasuk bangsa jin. Sementara syaithon
bukanlah jenis makhluk tertentu, tetapi ia adalah sebutan untuk setiap makhluk
jahat, yang bisa melekat pada jin, manusia, dan binatang. Maka setiap jin,
manusia, dan binatang yang jahat disebut syaithon, sehingga syaithon ada dari
kalangan jin, manusia, dan binatang. Dalil-dalil semua ini akan disinggung pada
pembahasannya masing-masing di bawah.
Kenapa Disebut
Jin?
Jin
berasal dari kata (جن) “janna” yang artinya tersembunyi dan tertutup. Disebut jin
karena sifatnya yang tertutup dan tersembunyi dari pandangan manusia. Allah
berfirman:
﴿إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لا
تَرَوْنَهُمْ﴾
“Sesungguhnya
ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa
melihat mereka.” (QS. Al-Arōf [7]: 27)
Lafazh
janna yang berarti tertutup/tersembunyi dikuatkan oleh firman Allah:
﴿فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ
هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ﴾
“Ketika
malam telah tersembunyi (menjadi gelap), dia melihat sebuah bintang
(lalu) dia berkata: ‘Inilah Robku.’ Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia
berkata: ‘Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” (QS. Al-An’am [6]: 76)
Dari
kata ini muncul banyak kata yang artinya berkisaran tertutup dan tersembunyi,
misalkan janin, jannah (Surga), junnah (tameng), jinnah
(gila), dan majnun (gila).
Janin
disebut janin karena tersembunyi di rahim. Surga dinamai Jannah karena
pohon-pohonnya sangat rindang dan lebat hingga menutupi Surga atau karena
kenikmatan Surga tersembunyi dan tidak mampu dijangkau oleh mata, telinga, dan
hati. Tameng dinamai junnah karena digunakan untuk menyembunyikan diri
dari serangan musuh. Gila dinamai jinnah atau majnun karena
akalnya tersembunyi atau tidak normal.
Maka,
secara asal jin tidak bisa dilihat oleh manusia dalam wujud aslinya, tetapi
terkadang manusia melihat jin karena jin telah berubah bentuk dan menampakkan
dirinya kepada manusia. Tidak semua jin bisa berubah bentuk dan menampakkan
diri. Hanya penyihir dari kalangan jin saja yang mampu.
Namun,
ada binatang yang mampu melihat jin yaitu anjing dan keledai.
Dari
Jabir bin Abdillah, dia berkata: Rosulullah ﷺ bersabda,
«إِذَا سَمِعْتُمْ نُبَاحَ الْكِلَابِ، وَنَهِيقَ الْحُمُرِ بِاللَّيْلِ،
فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ فَإِنَّهُنَّ يَرَيْنَ مَا لَا تَرَوْنَ»
“Jika
kalian mendengar gonggongan anjing dan ringkikan keledai pada malam hari, maka
mintalah perlindungan kepada Allah, karena mereka melihat apa yang tidak kalian
lihat (yakni jin).”[3]
Bahan Penciptaan Jin
Jin
diciptakan dari api. Allah berfirman:
﴿وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ﴾
“Dan Dia menciptakan jin dari nyala
api.” (QS.
Ar-Rohmān [55]: 15)
Ibnu
Katsir (w. 774 H) berkata: Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, dan Al-Hasan
menafsirkan ayat ini:
طَرْفُ اللَّهَبِ، وَفِي رِوَايِةٍ: مِنْ خَالِصِهِ وَأَحْسَنِهِ
“Ujung
nyala api,” dalam riwayat lain, “Bagian yang paling murni dan baik dari api.”[4]
Imam
An-Nawawi (w. 676 H) berkata:
المَارِجُ: اللَّهَبُ المُخْتَلَطُ بِسَوَادِ النَّارِ
“Makna
mārij adalah nyala (gejolak) api yang bercampur dengan hitamnya api.”[5]
Dari
Aisyah, dia berkata: Rosulullah ﷺ bersabda,
«خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ
مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ»
“Malaikat
diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari
sesuatu yang sudah kalian ketahui (tanah).”[6]
Jin
diciptakan sebelum Allah menciptakan Adam, berdasarkan firman Allah:
﴿وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ
مَسْنُونٍ * وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُومِ﴾
“Kami telah meciptakan manusia
(Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi
bentuk. Kami
telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (QS. Al-Hijr [15]:
26-27)
Kesimpulannya,
bahan penciptaan jin adalah bagian ujung dari nyala api yang berwarna hitam dan
sangat panas.
Fisik Jin
Karena
jin termasuk perkara ghoib maka kita tidak boleh berbicara kecuali apa yang
dikabarkan Allah dalam Al-Qur’an atau lewat sabda Rosul-Nya.
Al-Qur’an
mengabarkan bahwa jin memiliki hati, mata, telinga, berbicara, makan, minum,
menikah.
Tentang
hati, mata, dan telinga jin, Allah berfirman:
﴿وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ
وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ
بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ
أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ﴾
“Kami
jadikan untuk isi Neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati,
tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka
mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka
itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’rōf [7]: 179)
Tentang
jin berbicara, Allah berfirman:
﴿وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ﴾
“Dan hasunglah siapa yang kamu
sanggupi di antara mereka dengan suaramu
(bujukan).” (QS. Al-Isrō [17]: 64)
Adapun
jin berbicara, makan, minum, menikah, maka semuanya telah tetap di Al-Qur’an
dan hadits shohih yang akan kita jumpai pada banyak tempat di buku ini.
Pembagian Jin
Dari
Abu Tsa’labah Al-Khusyanni dia berkata: Rosulullah ﷺ bersabda,
«الْجِنُّ ثَلَاثَةُ أَصْنَافٍ: صِنْفٌ لَهُمْ أَجْنِحَةٌ يَطِيرُونَ
فِي الْهَوَاءِ، وَصِنْفٌ حَيَّاتٌ وَكِلَابٌ، وَصِنْفٌ يَحِلُّونَ وَيَظْعَنُونَ»
“Jin
ada tiga golongan, yaitu golongan yang memiliki sayap yang terbang di udara,
golongan ular dan anjing, dan golongan yang berdomisili dan suka
berpindah-pindah tempat.”[7]
***
BAB 3: MENGENAL IBLIS
Kenapa Disebut Iblis?
Sebagian ahli bahasa
mengatakan kata iblis (إبليس) berasal dari (أبلس) yang
artinya menyesal dan berputus asa, sebab ia berputus asa dari rohmat Allah,
yaitu ketika Allah sudah memvonisnya sesat dan masuk Neraka. Allah berfirman:
﴿قَالَ اخْرُجْ مِنْهَا مَذْءُومًا مَدْحُورًا لَمَنْ
تَبِعَكَ مِنْهُمْ لأمْلأنَّ جَهَنَّمَ مِنْكُمْ أَجْمَعِينَ﴾
“Allah
berfirman: ‘Keluarlah
kamu dari Surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barang
siapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi Neraka Jahanam
dengan kamu semuanya.’” (QS. Al-Arōf
[7]: 18)
Al-Hafizh Ibnu Katsir
berkata:
وَسَمَّاهُ "إِبْلِيسَ" إِعْلَامًا لَهُ بِأَنَّهُ
قَدْ أبْلَس مِنَ الرَّحْمَةِ
“Dia dinamakan iblis
sebagai pemberitahuan kepadanya bahwa dirinya sudah berputus asa dari rohmat.”[8]
Makna ini dikuatkan dalam
firman Allah:
﴿فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ
أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ
بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ﴾
“Maka tatkala mereka
melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami-pun membukakan
semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira
dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba,
maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am [6]: 44)
Telah dijelaskan di awal
buku bahwa syaithon adalah setiap sebutan untuk makhluk yang sangat jahat dan
membangkang perintah Allah. Dari sini, terkadang nash menyebut iblis dengan
panggilan syaithon, seperti pada surat Ibrohim ayat 22.
Iblis dari Malaikat atau Jin?
Sebagian kitab tafsir dan
ahli sejarah berpendapat iblis dari bangsa Malaikat dan yang lain berpendapat
dari bangsa jin. Yang terbaik adalah mengembalikan keputusan kepada wahyu.
Allah berfirman:
﴿وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى
اللَّهِ﴾
“Tentang
sesuatu apa pun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (QS. Asy-Syūrā [42]: 10)
Al-Qur’an secara tegas
menyatakan bahwa iblis dari bangsa jin. Allah berfirman:
﴿وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا
إِلا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ
أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ
بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلا﴾
“Dan (ingatlah) ketika
Kami berfirman kepada para Malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah
mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin,
maka ia mendurhakai perintah Rob-nya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai
pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis
itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang lalim.” (QS. Al-Kahfi [18]: 50)
Ketika Allah mengatakan
iblis dari golongan jin maka itu artinya ia bukan dari golongan Malaikat dan
manusia, karena Nabi ﷺ membedakan tiga golongan ini, satu dengan
lainnya berbeda bahan penciptaanya.
Dari
Aisyah, dia berkata: Rosulullah ﷺ bersabda,
«خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ
مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ»
“Malaikat
diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari
sesuatu yang sudah kalian ketahui (tanah).”[9]
Ibnu
Katsir (w. 774 H) berkata: Al-Hasan Al-Bashri berkata:
مَا كَانَ إِبْلِيسُ مِنَ الْمَلَائِكَةِ طَرْفَةَ عَيْنٍ قَط،
وَإِنَّهُ لَأَصْلُ الْجِنِّ، كَمَا أَنَّ آدَمَ أَصْلُ الْإِنْسِ
“Iblis sama sekali bukan
dari kalangan Malaikat, meski sekejap mata. Dia adalah nenek moyang jin,
sebagaimana Adam adalah nenek moyang manusia.”[10]
Maka, batallah orang yang
beranggapan bahwa iblis dari kalangan Malaikat. Malaikat dan iblis memiliki
banyak perbedaan, di antaranya:
Pertama, Malaikat disifat Allah sebagai makhluk yang
senantiasa taat perintah dan tidak pernah durhaka, sementara iblis
kebalikannya. Allah berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ
وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ
غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا
يُؤْمَرُونَ﴾
“Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-Malaikat yang kasar, yang keras,
yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka
dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim [66]: 6)
Kedua, Malaikat disifati sebagai makhluk yang banyak
beribadah dan tidak pernah letih, berbeda dengan iblis. Allah berfirman:
﴿وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ
لا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلا يَسْتَحْسِرُونَ * يُسَبِّحُونَ
اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لا يَفْتُرُونَ﴾
“Dan
kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan Malaikat-Malaikat yang
di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada
(pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada
henti-hentinya.” (QS. Al-Anbiyā
[21]: 19-20)
Ketiga, Malaikat disifati dengan tidak makan dan minum
serta tidak beranak pinak, berbeda dengan iblis. Allah berfirman:
﴿وَلَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُنَا إِبْرَاهِيمَ بِالْبُشْرَى
قَالُوا سَلامًا قَالَ سَلامٌ فَمَا لَبِثَ أَنْ جَاءَ بِعِجْلٍ حَنِيذٍ * فَلَمَّا
رَأَى أَيْدِيَهُمْ لا تَصِلُ إِلَيْهِ نَكِرَهُمْ وَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً
قَالُوا لا تَخَفْ إِنَّا أُرْسِلْنَا إِلَى قَوْمِ لُوطٍ﴾
“Dan
sesungguhnya utusan-utusan Kami (Malaikat-Malaikat) telah datang kepada Ibrahim
dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: ‘Salaman’ (Selamat). Ibrohim menjawab: ‘Salamun’ (Selamatlah), maka tidak
lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Maka tatkala
dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan
mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata: ‘Jangan kamu takut,
sesungguhnya kami adalah (Malaikat-Malaikat) yang diutus kepada kaum Lut.” (QS. Hūd [11]: 69-70)
Kisah Iblis Menggoda Adam
Allah
yang Maha Benar menceritakan:
﴿وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ
خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ
نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ﴾
“Ingatlah
ketika Rob-mu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang kholifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau
hendak menjadikan (kholifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan menyucikan Engkau?’ Rob berfirman: ‘Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’ (QS. Al-Baqorah [2]: 30)
Maksud
Malaikat adalah para jin yang lebih dulu tinggal di bumi dan berbuat kerusakan.
Mereka beranggapan manusia sifatnya seperti jin sehingga berucap seperti itu.
Kemudian
Allah mewujudkan kehendak-Nya dengan menciptakan Adam dengan kedua Tangan-Nya dan
mengajari Adam berbagai hal, seperti dalam firman-Nya:
﴿وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى
الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
* قَالُوا سُبْحَانَكَ لا عِلْمَ لَنَا إِلا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ
الْحَكِيمُ * قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ
بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ﴾
“Dan
Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku
nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!’ Mereka menjawab:
‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah
Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. Allah
berfirman: ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada
mereka nama-nama benda ini.’ Maka setelah
diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: ‘Bukankah sudah Kukatakan kepadamu,
bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa
yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?’” (QS. Al-Baqoroh [2]: 30-33)
Setelah
itu, Adam dianugrahi Allah istri bernama Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk
Adam ‘Alaihissalam. Mereka bersenang-senang di Surga lalu diuji Allah
agar jangan mendekati sebuah pohon. Inilah pohon larangan. Allah menceritakan:
﴿وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلا
مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ
الظَّالِمِينَ﴾
“Dan
Kami berfirman: ‘Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu Surga ini, dan
makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai,
dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang
yang lalim.’ (QS. Al-Baqoroh [2]: 35)
Sebelum
Allah menciptakan Adam, Allah sudah mengumumkan ke penduduk langit bahwa Dia
akan menciptakan Adam dan memerintahkan mereka untuk bersujud sebagai tanda
taat kepada Allah dan tanda penghormatan kepada Adam. Allah menceritakan:
﴿وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا
إِلا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ﴾
“Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada
Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia
termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 34)
Malaikat
di sini adalah Malaikat yang ada di bumi. Abul Aliyah mengatakan tentang firman
Allah di atas:
لِلْمَلَائِكَةِ الَّذِينَ كَانُوا فِي الأَرْضِ
“Kepada
para Malaikat yang berada di bumi.”[11]
Adam
dan Hawa menurut tetapi iblis datang dan menggoda mereka. Ia meyakinkan bahwa
mereka dilarang dari pohon itu hanya agar mereka tidak kekal di Surga seperi Malaikat.
Lalu iblis menamakan pohon itu sebagai pohon khuldi (pohon kekekalan).
Allah menceritakan:
﴿فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ
عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لا يَبْلَى * فَأَكَلا مِنْهَا فَبَدَتْ لَهُمَا
سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ وَعَصَى آدَمُ
رَبَّهُ فَغَوَى * ثُمَّ اجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدَى * قَالَ اهْبِطَا
مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى﴾
“Kemudian
syaithon membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: ‘Hai Adam, maukah
saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan
binasa?’ Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi
keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun
(yang ada di) Surga, dan durhakalah Adam kepada Rob dan sesatlah ia. Kemudian Robnya memilihnya maka
Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk. Allah berfirman: ‘Turunlah kamu berdua dari Surga
bersama-sama, sebagian keturunanmu akan saling bermusuhan. Maka jika datang kepadamu petunjuk
daripada-Ku, lalu barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat
dan tidak akan celaka.’” (QS. Thōhō [20]: 120-124)
Setelah
itu, Adam dan istrinya tinggal di dunia. Allah menerima taubat Adam dan
istrinya. Allah memberi Adam ‘Alaihissalam ilmu, iman, dan kenabian. Di
antara nikmat Allah adalah diberikannya Adam dan Hawa keturunan yang
menyejukkan pandangan matanya. Setiap kali Hawa hamil, anak yang keluar kembar
laki dan perempuan. Begitu seterusnya sehingga dewasa dan banyak. Kemudian
Allah perintahkan Adam untuk menikahkan puta-putrinya sendiri dengan aturan
nikah silang. Dua saudara kembar laki-perempuan dinikahkan dengan dua saudara
kembar lain. Begitu seterusnya hingga mereka beranak pinak dan menyebar. Mereka
semua Muslim dan bertauhid kepada Allah dan baru muncul kesyirikan pada awal
masa Nabi Nuh ‘Alaihissalam. Di sanalah Allah mengangkat Nuh ‘Alaihissalam
sebagai Rosul pertama untuk mengembalikan mereka kepada tauhid.
Adam
adalah bapak para manusia. Orang Barat telah keliru dan berbohong. Nabi ﷺ menceritakan tentang keadaan manusia di Akhirat yang meminta
syafaat Nabi Adam ‘Alaihissalam dan berkata:
«أَنْتَ أَبُو النَّاسِ، خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ، وَأَسْجَدَ
لَكَ مَلاَئِكَتَهُ، وَعَلَّمَكَ أَسْمَاءَ كُلِّ شَيْءٍ، فَاشْفَعْ لَنَا عِنْدَ رَبِّكَ
حَتَّى يُرِيحَنَا مِنْ مَكَانِنَا هَذَا، فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكُمْ، وَيَذْكُرُ
ذَنْبَهُ فَيَسْتَحِي»
“Engkau
adalah bapak manusia. Allah menciptakanmu dengan Tangan-Nya dan menjadikan Malaikat
bersujud kepadamu dan mengajarimu nama-nama segala sesuatu, maka berilah kami
syafaat di sisi Rabb-mu agar kami bisa terbebas dari tempat ini.’ Adam berkata,
‘Aku bukan orang yang berhak itu.’ Adam menyebutkan dosanya sehingga malu.’”[12]
Iblis Menangis
Dari Abu Huroiroh berkata:
Rosulullah ﷺ bersabda,
«إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ
يَبْكِي، يَقُولُ: يَا وَيْلَهُ - وَفِي رِوَايَةِ أَبِي كُرَيْبٍ: يَا وَيْلِي - أُمِرَ
ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ، وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ
فَلِيَ النَّارُ»
“Apabila keturunan Adam
membaca ayat Sajdah lalu bersujud, maka syaithon menyingkir sambil menangis.
Dia berkata, ‘Celaka aku, keturunan Adam diperintah sujud lalu melaksanakannya
sehingga mendapatkan Surga, sementara aku dulu diperintah bersujud lalu aku
enggan sehingga aku mendapatkan Neraka.”[13]
Qotadah berkata, “Musuh
Allah iblis hasad kepada Adam atas pemberian-Nya kepada Adam berupa kemuliaan.
Iblis berkata, ‘Aku api sementara Adam tanah.’ Dosa pertama adalah kesombongan
di mana musuh Allah sombong bersujud kepada Adam.”[14]
Rupa Iblis
Allah mengabarkan rupa
mereka begitu jelek dan buruk. Adapun hakikatnya tidak ada yang mengetahuinya.
Allah berfirman tentang pohon zaqqum yang merupakan makanan penduduk Neraka:
﴿إِنَّهَا شَجَرَةٌ تَخْرُجُ فِي أَصْلِ الْجَحِيمِ * طَلْعُهَا
كَأَنَّهُ رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ﴾
“Sesungguhnya
dia adalah sebatang pohon yang ke luar dari dasar Neraka Jahim. Mayangnya (buahnya) seperti kepala syaithon-syaithon.” (QS. Ash-Shoffāt [37]: 64-65)
Pohon zaqqum
adalah sebuah pohon yang amat buruk baik bentuknya maupun aromanya dan rasanya.
Apalagi buahnya. Dan Allah mengumpamakan buahnya seperti kepala-kepala syaithon.
Orang-orang Kristen
menggambarkan syaithon dengan makhluk berwarna hitam atau merah bertaring,
bertelinga nguncup, bertanduk, dan berekor. Ini hayalan mereka yang diyakini
turun-menurun hingga hari ini. Ini hanyalah khayalan mereka yang tidak
berdasar. Hakikat buruknya rupa syaithon atau iblis tidak diketahui oleh
manusia, sebagaimana mereka tidak mengetahui hakikat rupa Malaikat, kecuali Rosulullah
ﷺ yang pernah melihat Jibril ‘Alaihissalam dengan rupa
asli.
***
BAB 4: MENGENAL SYAITHON
Syaithon bukanlah makhluk
khusus, tetapi ia adalah sifat jahat kepada Allah, Rosul-Nya, dan manusia. Syaithon
bisa dari kalangan jin, manusia, maupun binatang yang jahat.
Kenapa Disebut Syaithon?
Imam An-Nawawi berkata:
وَسُمِّيَ شَيْطَانًا لِتَمَرُّدِهِ وَعُتُوِّهِ وَكُلُّ مَارِدٍ
عَاتٍ شَيْطَانٌ وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ مُشْتَقٌّ مِنْ شَطَنَ إِذَا بَعُدَ لِبُعْدِهِ
مِنَ الْخَيْرِ وَالرَّحْمَةِ وَقِيلَ مُشْتَقٌّ مِنْ شَاطَ إِذَا هَلَكَ وَاحْتَرَقَ
“Dinamakan
syaithon karena jahat dan membangkang. Setiap yang jahat dan membangkang adalah
syaithon. Yang tampak, lafazh syaithon diambil dari sya-tha-na yang
artinya jauh, karena jauh dari kebaikan dan rahmat. Adapula yang mengatakan
diambil dari lafazh syaa-tho yang artinya binasa dan terbakar.”[15]
Dari Ibnu Umar, dia
berkata: Rosulullah ﷺ bersabda,
«لَا تَحَرَّوْا بِصَلَاتِكُمْ طُلُوعَ الشَّمْسِ، وَلَا غُرُوبَهَا،
فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بِقَرْنَيْ الشَّيْطَانِ»
“Kalian jangan sengaja sholat
saat matahari terbit dan jangan pula saat terbenam, karena saat itu matahari
terbit di antara dua tanduk syaithon.”[16]
Imam An-Nawawi menjelaskan,
“Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘dua tanduk syaithon’
adalah golongan dan pasukan iblis. Ada yang berpendapat: kekuatan dan menyebar
kerusakan. Ada yang berpendapat dua tanduk maksudnya dua tanduk kepala sesuai
zhahir lafazhnya dan ini yang lebih kuat. Sehingga maknanya, syaithon
mendekatkan kepalanya ke matahari pada waktu-waktu semacam ini agar orang-orang
yang sujud dari kalangan orang-orang kafir kepada matahari seolah-olah bersujud
kepada syaithon.”[17]
Tugas Syaithon
Sebagaimana di kalangan
manusia ada kaum durjana dan tukang sihir, maka di kalangan jin juga demikian
ada jin durjana dan jin tukang sihir. Merekalah syaithon yang suka
menakut-nakuti manusia dan menebar was-was.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
﴿وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ
وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ
رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ﴾
Dan demikianlah Kami
jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaithon-syaithon (dari jenis)
manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian
yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jika Robmu
menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan
apa yang mereka ada-adakan. (QS. Al-An’am [6]: 112)
***
PENUTUP
Inilah sedikit dari
beberapa ayat dan hadits seputar jin, iblis, dan syaithon. Tentu sangat jauh
dari kata sempurna. Semoga Allah memberi kesempatan kepada saya atau siapa saja
untuk melengkapinya sehingga memberi kepuasan kepada setiap orang yang
membacanya.
Semoga Allah menerima risalah
sederhana ini. Sholawat dan salam tercurah atas Rosul-Nya, keluarganya, dan
para Sahabatnya.
***
[1] Kabar yang sampai kepada
kita lewat banyak orang dan jalur di setiap generasi sehingga mustahil mereka
sepakat berbohong.
[2] Majmu Fatawaa, 19/10.
[3] Shohih: HR. Abu Dawud no. 5103.
[4] Al-Bidayah wan Nihayah, 1/59.
[5] Syarh Shohīh Muslim, 18/123.
[6] HR.
Muslim no. 2996.
[7] Shohih: HR. Al-Hakim no. 3702.
[8] Tafsir Ibnu Katsir, 7/82.
[9] HR.
Muslim no. 2996.
[10] Tafsir Ibnu Katsir, 1/231 dan dinilai shohih sanadnya oleh Ibnu
Katsir.
[11] Hasan:
HR. Ibnu Abi Hatim.
[12] HR.
Al-Bukhori no. 4476 dan Muslim no. 193.
[13] HR. Muslim no. 81.
[14] Shohih: HR. Ibnu Abi Hatim no. 364.
[15] Syarah Shohih Muslim, 6/112-123.
[16] HR. Muslim no. 828.
[17] Syarh Shohih Muslim, 6/112.