[PDF] Perayaan Tahun Baru untuk Para Dewa dan Setan
Muqoddimah
﷽
Segala puji hanya milik Alloh semesta alam. Sholawat
dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rosul terakhir, Nabi Muhammad ﷺ, kepada keluarganya, para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum,
dan seluruh pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Pembaca yang budiman, kita hidup di era yang penuh gemerlap
fatamorgana. Setiap pergantian hari, pekan, bulan, dan tahun seolah dirayakan dengan gegap gempita,
menyeret manusia dari satu maksiat kepada maksiat lainnya. Puncak
dari euforia duniawi ini seringkali terlihat pada malam pergantian tahun
Masehi, ketika miliaran manusia, termasuk sebagian besar yang menisbatkan diri
kepada Islam, larut dalam perayaan yang diwarnai oleh tawa, nyala kembang api,
dan kelalaian (ghoflah).
Pentingnya muhasabah (introspeksi) diri kini menjadi
kewajiban yang mendesak. Sudahkah kita menggunakan jatah umur yang berkurang
ini untuk mendekat kepada Alloh? Atau justru kita habiskan di dalam perayaan
yang akarnya bukan dari ajaran kita dan buahnya menjauhkan diri dari Alloh?
Buku ini hadir sebagai panggilan kembali kepada jalan lurus
para Salaf. Ia memberikan nasihat yang tulus mengenai dua bahaya besar dalam
perayaan tahun baru Masehi: bahaya maksiat (seperti khomr, zina, tabdzir,
dan musik) dan yang lebih fundamental, bahaya Aqidah (yaitu tasyabbuh
dan wala’ kepada kuffar).
Kita harus senantiasa waspada terhadap fitnah-fitnah akhir
zaman yang meracuni keimanan. Malam pergantian tahun seringkali menjadi salah
satu gerbang utama masuknya racun syubhat (kerancuan) dan syahwat
(hawa nafsu). Marilah kita renungkan bersama, dari mana tradisi ini berasal, tauhid
apa yang dilanggarnya, dan dosa apa yang ditimbulkannya. Semoga Alloh
membimbing kita semua kepada kebenaran dan keteguhan iman.
Bab 1: Sejarah Tahun Baru Masehi:
Sebuah Warisan Pagan
Seorang Muslim wajib memiliki identitas yang jelas, yang
membedakannya dari umat-umat lain, sebagaimana kita membedakan antara air tawar
dan air asin, antara cahaya dan kegelapan. Perayaan, khususnya hari raya,
adalah bagian integral dari identitas sebuah Ummah. Ketika seorang
Muslim ikut merayakan hari raya yang bukan berasal dari ajarannya, ia sedang
mengikis identitasnya sendiri. Bab ini akan menelisik akar perayaan Tahun Baru
Masehi yang ternyata berlumuran sejarah paganisme dan aqidah Yunani-Romawi
Kuno.
1.1. Asal
Mula Perayaan: Dari Janus hingga Masehi
Perayaan tahun baru yang kita kenal hari ini bukanlah
tradisi yang tiba-tiba muncul. Akarnya dapat ditelusuri kembali ke peradaban
kuno, terutama di Roma. Bangsa Romawi Kuno merayakan tahun baru pada bulan
Januari. Nama bulan ini, Januari, diambil dari nama dewa mereka, Janus.
Janus adalah dewa permulaan dan transisi, yang digambarkan memiliki dua wajah:
satu menghadap ke depan (masa depan) dan satu menghadap ke belakang (masa
lalu). Perayaan untuk Janus adalah ritual syirik yang terang benderang.
Keterlibatan seorang Muslim dalam perayaan ini, meskipun
hanya sekadar euforia
(bersuka cita), merupakan bentuk pengagungan terhadap apa yang telah
diagungkan oleh kaum pagan terdahulu. Islam mengajarkan bahwa kehidupan kita
harus fokus pada ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya ﷺ,
bukan pada tradisi kuffur.
Dalil-dalil tentang pentingnya memelihara diri dari
tradisi asing:
[1] Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah
memperingatkan kita untuk tidak meniru jalan kuffar, karena mereka adalah kaum
yang dibenci oleh-Nya.
﴿وَلَئِنِ
اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم بَعْدَ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ﴾
“Dan sungguh, jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah
datang ilmu kepadamu, tidak ada bagimu pelindung dan tidak (pula) penolong dari
Alloh.” (QS.
Al-Baqoroh: 120)
Ayat ini adalah peringatan keras bahwa ilmu (wahyu)
telah datang kepada kita. Jika setelah ilmu itu datang, kita masih memilih
mengikuti keinginan dan tradisi orang-orang yang menyelisihi Syari’at, maka
kita telah mencampakkan perlindungan Alloh. Perayaan tahun baru adalah
keinginan mereka, bukan ajaran Nabi ﷺ. Menjaga diri dari
perayaan ini adalah bukti ketaatan dan kecintaan kita pada wahyu.
[2] Nabi ﷺ bersabda, menegaskan pentingnya menjaga
identitas keislaman dan menghindari tasyabbuh.
Dari Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma, Nabi ﷺ bersabda:
«مَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan
mereka.” (HSR.
Abu Dawud no. 4031)
Hadits yang agung ini adalah kaidah utama dalam membedakan Ummah
Islam. Menyerupai tidak hanya dalam pakaian, tetapi juga dalam perbuatan dan
perayaan yang menjadi ciri khas mereka. Malam tahun baru adalah ciri khas
perayaan yang bukan Syari’at Islam. Apakah kita rela, hanya karena semalam
larut dalam perayaan yang lemah maknanya, kita dianggap termasuk golongan
mereka di Hari Kiamat? Kesucian diri dan waktu seorang Muslim terlalu berharga
untuk ditukar dengan euforia sesaat yang berakar pada penyembahan
berhala.
1.2. Mitos
Para Dewa di Balik Nama Bulan
Sejarah kalender Masehi tidak hanya melibatkan dewa Janus,
tetapi juga dewa-dewa lain yang namanya kini kita gunakan sehari-hari sebagai
nama bulan. Ini adalah warisan nyata dari aqidah Yunani dan Romawi Kuno yang
penuh dengan syirik (penyekutuan Alloh).
- Januari (Janus, dewa berwajah dua, dewa permulaan).
- Maret (Mars, dewa perang Romawi).
- Juni (Juno, dewi utama dan ratu para dewa).
- Juli (Julius Caesar, didewakan).
- Agustus (Augustus, didewakan).
Meskipun bagi sebagian orang nama-nama ini hanya sekadar
konvensi bahasa, namun bagi Ummah yang menjunjung tinggi Tauhid,
mengetahui asal-usul ini adalah pengingat bahwa fondasi peradaban kuffar
dibangun di atas pengagungan terhadap makhluk, bukan Kholiq (Sang
Pencipta).
Dalil tentang larangan menyekutukan Alloh dan berlepas
diri dari kesyirikan:
[1] Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan dosa
terbesar yang tidak diampuni, yaitu syirik.
﴿إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن
يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا﴾
“Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik
kepada-Nya, dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang
Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Alloh, maka sungguh, dia
telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48)
Keagungan Tauhid adalah benteng terkuat seorang
Muslim. Jika Alloh Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa syirik
adalah dosa terbesar yang tidak diampuni, maka segala sesuatu yang berpotensi
menyerempet syirik harus dijauhi. Ikut merayakan hari yang dinamai
berdasarkan dewa pagan, meski tanpa niat menyembah dewa, secara zhohir
(lahiriah) telah mendekatkan kita pada pengagungan terhadap tradisi syirik
tersebut. Berlepas diri dari perayaan ini adalah manifestasi konkret dari Laa
Ilaha Illallah.
[2] Rosul ﷺ mengajarkan kita untuk tidak ikut
mengagungkan perayaan yang batil.
Dari Anas bin Malik Rodhiyallahu ‘Anhu berkata, “Ketika
Rosulullah ﷺ datang ke Madinah, penduduknya memiliki dua hari yang mereka
jadikan waktu bermain. Maka Rosulullah ﷺ
bertanya: ‘Dua hari apakah ini?’ Mereka berkata: ‘Dahulu kami bermain (euforia)
pada dua hari itu di masa Jahiliyyah.’ Maka Rosulullah ﷺ
bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ
الْأَضْحَى، وَيَوْمَ الْفِطْرِ»
‘Sesungguhnya Alloh telah mengganti untuk kalian dengan
dua hari yang lebih baik: Iedul Adhha dan Iedul Fithr.’” (HSR.
Abu Dawud no. 1134)
Hadits ini jelas menunjukkan bahwa Rosul ﷺ
menghapus secara total perayaan-perayaan Jahiliyyah yang sudah menjadi
tradisi turun-temurun, meskipun tujuannya hanya untuk bermain. Nabi ﷺ tidak membiarkan umatnya merayakan tradisi dari masa lalu,
bahkan yang hanya berniat hiburan. Ini menunjukkan bahwa segala perayaan yang
tidak berasal dari Syari’at harus diganti dengan apa yang telah disyariatkan
oleh Alloh. Perayaan tahun baru adalah Ied yang tidak
disyariatkan, dan kita wajib meninggalkannya.
1.3. Mingguan atau Pekanan?
Kata Minggu (sebagai nama hari pertama dalam sepekan
dan juga sebagai kata benda untuk periode tujuh hari) memiliki akar yang sangat
jelas dari konteks non-Muslim.
- Asal Kata: Kata “Minggu” berasal dari bahasa
Portugis “Domingo”.
- Makna Domingo: “Domingo” itu
sendiri berasal dari bahasa Latin “dies Dominicus” yang
berarti “Hari Tuhan”. Hari ini secara historis dirayakan oleh umat
Kristen sebagai Hari Kebangkitan Yesus Kristus (Hari Alloh). Pada hari Ahad, mereka
mendatangi gereja dan mengganti Ahad dengan Mingguan.
- Adopsi dalam Bahasa Indonesia: Kata ini
masuk ke dalam perbendaharaan Melayu (dan kemudian Bahasa Indonesia)
melalui kontak dengan pedagang dan penjajah Portugis sejak abad ke-16.
Kata “Mingguan” kemudian berarti: “berlangsung setiap
tujuh hari sekali” atau “sesuatu yang terjadi setiap hari Minggu”.
Dalam konteks penulisan yang menjaga kesucian istilah dan
menghindari tasyabbuh (menyerupai) syiar non-Muslim, penggunaan
kata “pekan” atau “pekanan” lebih dianjurkan oleh para ahli
bahasa dan Syari’a karena alasan berikut:
1)
Bebas dari Konotasi Syirik atau kufur
Kata “pekan” adalah istilah murni dalam bahasa
Melayu/Indonesia yang merujuk pada periode tujuh hari tanpa membawa konotasi
agama tertentu.
Pekan: Berasal dari bahasa Melayu asli yang merujuk
pada satuan waktu tujuh hari. Ia memiliki padanan yang diterima secara
universal dalam bahasa Arab, yaitu (أُسْبُوع) yang berarti tujuh
hari.
- Minggu: Membawa konotasi “Hari Tuhan” (dies
Dominicus). Meskipun dalam penggunaan sehari-hari, konotasi agamanya
sering dilupakan, secara asal-usul ia adalah syiar yang dikaitkan
dengan aqidah tertentu.
2)
Menjaga Identitas Ummah dan Menghindari Tasyabbuh
Dalam kaidah penulisan dan terminologi Islam (khususnya yang
ketat terhadap tasyabbuh), sangat ditekankan untuk menjaga perbedaan
dengan syiar non-Muslim. Sebagaimana Nabi ﷺ melarang Ummah untuk merayakan hari raya di luar Iedul
Fithr dan Iedul Adhha, menghindari istilah yang memiliki akar aqidah
asing dalam penamaan waktu juga merupakan bagian dari kehati-hatian aqidah.
Dengan menggunakan “pekanan” (misalnya, Laporan
Pekanan), kita memastikan bahwa istilah yang digunakan adalah netral secara
agama dan tidak memiliki keterkaitan historis dengan pengagungan hari kuffur.
1.4. Tasyabbuh (Menyerupai) dan Peringatan Keras
Konsep tasyabbuh (menyerupai) bukan sekadar masalah
penampilan, tetapi masalah hati, aqidah, dan identitas. Secara bahasa, tasyabbuh
berarti menyerupai, meniru, atau meneladani. Dalam Syari’at, yang dilarang
adalah tasyabbuh terhadap hal-hal yang menjadi kekhususan atau syiar
(simbol) kaum kuffar atau ahli maksiat.
Perayaan Tahun Baru Masehi adalah syiar global
kaum kuffar. Mulai dari ritual hitung mundur (countdown), pesta
besar-besaran, hingga kebiasaan saling mengucapkan ‘selamat tahun baru’,
semuanya adalah kebiasaan yang tidak dikenal dalam Syari’at Islam, melainkan
diimpor dari tradisi lain. Mengucapkan selamat pada hari raya kuffar adalah
bentuk ridho (kerelaan) terhadap perayaan mereka, yang merupakan pintu
masuk tasyabbuh yang berbahaya.
Dalil Hadits tentang larangan tasyabbuh terhadap
suatu kaum:
[1] Kembali
kepada Hadits utama tentang tasyabbuh yang menjadi fondasi dalam
pembahasan ini.
«مَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan
mereka.” (HSR.
Abu Dawud no. 4031)
Hadits ini memberikan pesan yang menakutkan, yaitu adanya
potensi hisab (perhitungan) di Akhirat bersama kaum yang kita tiru,
meskipun niat kita baik. Seorang Muslim harus merasa bangga dengan identitas Ummah
yang diberikan Alloh. Kita adalah Ummah terbaik (QS. Ali
Imron: 110), mengapa kita harus meminjam syiar dan tradisi dari Ummah
lain? Menjaga batas-batas perayaan adalah menjaga kemuliaan diri kita sebagai
pengikut Nabi ﷺ.
[2] Sikap tegas Shohabat terhadap Ied (hari
raya) non-Muslim.
اِجْتَنِبُوا أَعْدَاءَ اللَّهِ فِي
أَعْيَادِهِمْ
‘Umar bin Al-Khoththob Rodhiyallahu ‘Anhu berkata: “Jauhilah
musuh-musuh Alloh dalam perayaan-perayaan mereka.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan
Al-Kubro,
9/234, shohih dari ‘Umar)
Ini adalah sikap tegas dari salah satu Khulafa’ur
Rosyidin. Perkataan ‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhu ini merupakan
penafsiran praktis dari larangan tasyabbuh. Perayaan adalah saat di mana
suatu kaum menampakkan agama dan keyakinan mereka. Jika kita hadir atau
berpartisipasi, kita telah memberikan legitimasi terhadap syiar mereka.
Seorang Muslim sejati harus menunjukkan sikap wala’ (loyalitas) dan baro’
(berlepas diri) yang jelas. Wala’ hanya kepada Alloh, Rosul-Nya, dan
orang-orang beriman. Baro’ dari syirik dan syiar kufur.
Bab 2: Ancaman Aqidah: Merayakan
Peringatan Kuffar
Pilar utama agama Islam adalah Tauhid (mengesakan
Alloh), dan salah satu konsekuensi dari Tauhid adalah membedakan
diri secara total dari segala bentuk syirik dan kufur. Dalam
Islam, perayaan (Ied) adalah bagian dari manhaj (metode) beragama
yang sakral dan terikat langsung dengan Syari’at. Hari raya bukan sekadar
liburan, tetapi syiar (simbol) yang menunjukkan keyakinan dan identitas
suatu Ummah. Merayakan hari raya kaum kuffar bukan hanya maksiat, tetapi
berpotensi merusak aqidah karena ia melanggar prinsip wala’ dan baro’
(loyalitas kepada Islam
dan berlepas diri kepada
non-Islam).
2.1.
Membedakan Hari Raya dalam Islam dan Selainnya
Islam adalah agama yang sempurna. Alloh Subhanahu
wa Ta’ala telah menyempurnakan nikmat dan Syari’at bagi kita, termasuk
menetapkan hari raya yang mulia. Rosulullah ﷺ
telah menegaskan bahwa Ummah ini hanya memiliki dua hari raya resmi: Iedul
Fithr dan Iedul Adhha. Hari-hari raya ini disyariatkan berdasarkan
ibadah yang agung (puasa di bulan Romadhon dan Haji dan qurban). Selain dua
hari tersebut, perayaan apa pun, termasuk tahun baru, merupakan penambahan yang
tidak diajarkan, yang disebut bid’ah (inovasi baru dalam agama).
Dalil-dalil Hadits yang membatasi perayaan hanya pada dua
Hari Raya tersebut:
[1] Ketika Rosulullah ﷺ
datang ke Madinah, masyarakatnya bereuforia pada hari yang dahulu mereka
jadikan hari raya di masa Jahiliyyah lalu Nabi ﷺ
menegur mereka dan bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا
خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ»
Sesungguhnya Alloh telah mengganti untuk kalian
dengan dua hari yang lebih baik: Iedul Adhha dan Iedul Fithr. (HSR.
Abu Dawud no. 1134)
Perhatikanlah kata-kata Nabi ﷺ:
“Alloh telah mengganti”. Ini menunjukkan bahwa Islam datang untuk
mengganti dan menghapuskan semua perayaan batil yang ada sebelumnya, termasuk
perayaan tahunan yang tidak bersumber dari Syari’at. Syari’at yang sempurna
tidak membutuhkan tambahan; ketika kita merayakan tahun baru, seolah kita
merasa Syari’at Alloh belum cukup. Syukur atas nikmat Syari’at yang
sempurna adalah dengan mencukupkan diri hanya pada yang telah Nabi ﷺ ajarkan.
[2] Peringatan Nabi ﷺ
tentang segala sesuatu yang baru dalam urusan agama.
Dari ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha, Nabi ﷺ bersabda:
«مَنْ أَحْدَثَ
فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ»
“Barangsiapa membuat hal baru dalam urusan kami ini (agama) yang
tidak ada asalnya darinya, maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhori no. 2697 dan Muslim
no. 1718)
Perayaan tahun baru adalah hal baru (muhdats) dalam Syari’at
Islam, dan setiap bid’ah adalah tertolak. Jika perayaan tahun baru
dihukumi bid’ah semata (jika diyakini sebagai ibadah), ia sudah
tertolak. Apalagi, ia juga menyerupai kaum kuffar dan berakar pada syirik.
Oleh karena itu, kita harus menjaga diri agar ibadah dan kehidupan kita tidak
tercampur dengan perkara-perkara yang ditolak oleh Alloh.
2.2.
Larangan Mengagungkan Syiar-Syiar Kuffur
Tahun baru, dengan segala simbol dan ritualnya (seperti
patung Janus, resolusi, kembang api), adalah syiar (simbol) yang
diagungkan oleh kaum yang bukan Muslim. Seorang Muslim diwajibkan untuk
menjauhi dan tidak ikut mengagungkan syiar kuffur. Mengagungkan syiar
mereka dapat mengikis wala’ kita kepada Islam dan menimbulkan maksiat
yang bersifat aqidah.
Ibnu Taimiyyah Rohimahullah (728 H) berkata, “Menyerupai
mereka dalam sebagian hari raya mereka menyebabkan hati senang dengan kebatilan
mereka.”
Dalil-dalil Al-Qur’an tentang menjauhi majelis
yang di dalamnya terdapat kesyirikan atau kekufuran:
[1] Perintah
untuk berpaling dari orang-orang yang menjadikan agama mereka main-main.
﴿وَذَرِ الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَعِبًا
وَلَهْوًا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا ۚ وَذَكِّرْ بِهِ أَن تُبْسَلَ نَفْسٌ بِمَا كَسَبَتْ لَيْسَ لَهَا مِن دُونِ اللَّهِ وَلِيٌّ وَلَا شَفِيعٌ﴾
“Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka
sebagai permainan dan senda gurau, dan mereka telah tertipu oleh kehidupan
dunia. Ingatkanlah (mereka) dengan Al-Qur’an itu agar diri mereka tidak
dijerumuskan ke dalam Neraka, karena perbuatan mereka sendiri. Tidak ada
baginya pelindung dan tidak (pula) pemberi syafaat selain dari Alloh.” (QS.
Al-An’am: 70)
Perayaan yang tidak berlandaskan wahyu dianggap
sebagai permainan dan senda gurau. Malam tahun baru, yang dipenuhi maksiat
dan syiar kuffur, jelas termasuk
dalam kategori ini. Kita diperintahkan untuk meninggalkannya, menjauhi
majelisnya, dan menggunakan waktu tersebut untuk mengingat Al-Qur’an.
Menjaga hati dari kotoran duniawi adalah kunci agar kita tidak dijerumuskan ke
dalam Naar karena kelalaian.
[2] Sifat
hamba Ar-Rohman yang menjauhi perkataan sia-sia.
﴿وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا
بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا﴾
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu (zuur), dan apabila mereka
bertemu dengan (perbuatan) yang tidak bermanfaat (laghwi), mereka berlalu dengan
menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqon: 72)
Ibnu Katsir Rohimahullah (774 H) menjelaskan bahwa Az-Zuur
(persaksian palsu) di sini juga diartikan sebagai perayaan orang-orang musyrik.
Hamba Ar-Rohman adalah mereka yang tidak menghadiri perayaan kuffar.
Jika perayaan tahun baru itu sendiri adalah laghwun (sia-sia) dan zuur,
maka seorang Mu’min sejati akan berlalu dengan terhormat (kiroman),
tanpa ikut campur atau merendahkan dirinya dalam keramaian yang tidak
bermanfaat bagi Akhiratnya.
2.3. Sikap
Para Shohabat dan Tabi’in Terhadap Perayaan Non-Muslim
Sikap para Salafush Sholih (pendahulu yang sholih)
adalah tolok ukur utama bagi keislaman yang murni. Mereka sangat berhati-hati
dalam menjaga batas antara Ummah Islam dan Ummah lainnya,
khususnya terkait syiar dan hari raya. Para Shohabat Rodhiyallahu
‘Anhum dan generasi setelah mereka (Tabi’in) secara mutlak menjauhi
perayaan selain Iedul Fithr dan Iedul Adhha.
Perintah Rosulullah ﷺ
untuk mengikuti Sunnah para Khulafa’ur Rosyidin. Dari Al-Irbadh
bin Sariyah Rodhiyallahu ‘Anhu, Rosulullah ﷺ
bersabda:
«فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا
وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ»
“Maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh pada Sunnah-ku
dan Sunnah para Khulafa’ur Rosyidin yang diberi petunjuk. Peganglah ia dan gigitlah ia dengan
geraham (peganglah erat-erat).” (HSR. Abu Dawud no. 4607)
‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhu adalah salah satu dari Khulafa’ur
Rosyidin yang diberi petunjuk (Al-Mahdiyyiin). Oleh karena itu, atsar
beliau yang melarang menghadiri perayaan kuffar adalah bagian dari Sunnah
yang wajib kita gigit erat dengan geraham. Kita dituntut untuk konsisten; jika
kita mengakui Hadits ini, kita harus mengamalkan pula atsar dari Khulafa’ur
Rosyidin yang berisi petunjuk praktis dalam kehidupan, termasuk dalam
memelihara aqidah dari syiar asing.
Ibnu Al-Qoyyim (751 H) Rohimahullah berkata:
“Tidak boleh bagi kaum Muslimin menghadiri perayaan-perayaan
orang-orang Musyrikin (orang-orang yang menyekutukan Allah) berdasarkan
kesepakatan Ahlul ‘Ilmi (para ulama) yang merupakan ahlinya. Para Fuqoha’ (ahli
Fiqh) dari pengikut empat Madzhab telah menjelaskan hal ini secara tegas dalam
kitab-kitab mereka.
Al-Baihaqi (458 H) meriwayatkan dengan rantai periwayatan
yang shohih dari ‘Umar bin Al-Khoththob Rodhiyallahu ‘Anhu bahwa beliau
berkata:
لا تَدْخُلُوا
عَلَى المُشْرِكِينَ فِي كَنَائِسِهِم يَوْمَ عِيدِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَنْزِلُ
عَلَيْهِمْ
‘Janganlah kalian masuk ke gereja-gereja orang-orang musyrikin
pada hari raya mereka, karena sukhthoh (kemurkaan Alloh) turun atas mereka.’
‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhu juga berkata:
اِجْتَنِبُوا أَعْدَاءَ
اللَّهِ فِي أَعْيَادِهِمْ
“Jauhilah
musuh-musuh Alloh pada
perayaan-perayaan mereka.”
Al-Baihaqi (458 H) meriwayatkan dengan Isnad Jayyid
(rantai periwayatan yang baik) dari ‘Abdullah bin ‘Amr Rodhiyallahu ‘Anhuma
bahwa beliau berkata:
مَنْ مَرَّ بِبِلَادِ
الأَعَاجِمِ فَصَنَعَ نَيْرُوزَهُمْ وَمِهْرَجَانَهُمْ وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوتَ
وَهُوَ كَذَلِكَ حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Barangsiapa
melewati negeri-negeri Al-A’ajim (orang-orang non-Arab) lalu ia merayakan
Nawruz (hari raya Persia) dan Mahrojan (perayaan kuno Persia) mereka, dan ia menyerupai mereka
hingga ia meninggal dalam keadaan demikian, maka ia akan dikumpulkan bersama
mereka pada Hari Kiamat.” (Ahkam
Ahl Adz-Dzimmah, Ibnu Al-Qoyyim, 1/723-724)
Bab 3: Maksiat yang Mengalir di
Malam Pergantian Tahun
Selain ancaman aqidah berupa tasyabbuh dan
pengagungan syiar kufur, malam pergantian tahun Masehi telah
menjadi malam puncak maksiat secara global. Malam ini seolah menjadi
pembenaran kolektif bagi banyak orang untuk melepaskan segala batas moral dan Syari’at.
Seorang Muslim, yang diperintahkan untuk menjauhi dosa kapan pun, memiliki
tanggung jawab yang lebih besar untuk menghindar dari lingkungan yang secara
terang-terangan diisi oleh maksiat dan kemungkaran.
3.1. Bahaya
Mabuk dan
Khomr (Minuman Keras)
Tak terpisahkan dari perayaan tahun baru adalah konsumsi khomr (minuman keras) dan
segala jenis zat yang memabukkan. Minuman ini adalah induk dari segala
kejahatan, sebagaimana disabdakan oleh Nabi ﷺ.
Ia merusak akal, menghilangkan rasa malu (haya’), dan membuka pintu
lebar-lebar menuju zina, pembunuhan, dan berbagai kerusakan lainnya. Syari’at
Islam dengan tegas mengharomkan setetes pun dari khomr, apalagi menjadikannya bagian
dari perayaan tahunan.
Dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits tentang haromnya khomr dan segala yang
memabukkan:
[1] Alloh
Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk menjauhi khomr karena ia adalah
perbuatan setan.
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya khomar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu
beruntung.” (QS. Al-Ma’idah: 90)
Ayat ini jelas. Khomr adalah rijs (keji) dan
amal Syaithon.
Perintahnya adalah fajtanibuh (maka jauhilah ia), yang merupakan
perintah untuk menjauhi secara total, tidak hanya meminumnya tetapi juga tempat-tempat
yang menyediakan dan mengagungkannya. Perayaan tahun baru seringkali menjadi
sarang bagi perbuatan keji ini. Akal adalah nikmat terbesar yang harus dijaga
dari racun miras; mengorbankan akal demi euforia sesaat adalah
kerugian yang nyata di dunia dan akhirat.
[2] Nabi
ﷺ menegaskan laknat bagi sepuluh pihak yang terlibat dalam khomr.
Dari Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhu, Rosulullah ﷺ bersabda:
«لَعَنَ اللَّهُ
الْخَمْرَ، وَشَارِبَهَا، وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَمُبْتَاعَهَا، وَعَاصِرَهَا،
وَمُعْتَصِرَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ»
“Alloh melaknat khomr, peminumnya, penuangnya, penjualnya, pembelinya,
pemerasnya, yang minta diperaskan, pembawanya, yang dibawakan kepadanya.” (HSR.
Abu Dawud no. 3674)
Hadits ini menunjukkan bahwa dosa khomr menyebar luas
dan melibatkan siapa pun yang berpartisipasi dalam peredaran atau perayaan yang
menggunakannya. Menghadiri pesta tahun baru yang ada khomr-nya adalah
setidaknya termasuk dalam kategori ‘yang dibawakan kepadanya’, jika
tidak menjadi penuang. Seorang Muslim seharusnya menjaga dirinya dari segala
bentuk laknat, dan meninggalkan maksiat kolektif adalah jalan
satu-satunya.
3.2. Zina
dan Pintu-Pintu Pembukaannya
Malam pergantian tahun juga terkenal sebagai malam
percampuran bebas (ikhtilath) antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom.
Kondisi keramaian, kegelapan, dan hilangnya akal akibat khomr seringkali
menjadikan malam tersebut sebagai pintu masuk yang sangat subur bagi zina.
Islam memerintahkan kita untuk menjauhi zina dan segala sesuatu yang
mendekatkannya.
Dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits tentang larangan
mendekati zina dan perintah menjaga pandangan/kehormatan:
[1] Larangan
tegas dari Alloh untuk mendekati zina.
﴿وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا﴾
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isro’:
32)
Alloh tidak hanya mengatakan jangan ber zina, tetapi “janganlah
kamu mendekati zina”. Segala pemicu dan sarana menuju zina harus dihindari,
termasuk ikhtilath di keramaian. Malam tahun baru adalah sarana yang
sangat berbahaya, karena ia menghapus rasa malu yang merupakan perhiasan dan
benteng seorang Mu’min. Jika hati sudah terpatri takut kepada Alloh, maka kita
akan lari dari tempat yang berpotensi menyeret kita pada perbuatan keji
tersebut.
[2] Perintah
untuk menjaga pandangan sebagai benteng awal.
﴿قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ﴾
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka
menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci
bagi mereka. Sungguh, Alloh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS.
An-Nur: 30)
Perintah ini adalah pertahanan pertama bagi kemurnian hati.
Di tengah ikhtilath massal malam tahun baru, menjaga pandangan adalah
perkara yang hampir mustahil. Dengan menjauhi keramaian tersebut, kita telah
melaksanakan perintah Alloh untuk menjaga pandangan dan kehormatan diri.
Melindungi mata dari pandangan harom adalah perlindungan bagi hati dan
kemaluan.
3.3.
Keramaian, Musik, dan Kesiaan
Perayaan tahun baru selalu diiringi oleh pesta, konser
musik, dan lahwul hadits
(perkataan/perkara sia-sia) lainnya. Musik-musik yang melalaikan adalah alat
utama setan untuk menjauhkan manusia dari Dzikrullah (mengingat Alloh)
dan Sholat. Seorang Muslim diperintahkan untuk menggunakan waktu luang
untuk ketaatan, bukan menghabiskannya dalam kegembiraan yang melalaikan dari Alloh.
Dalil-dalil Hadits atau atsar tentang celaan terhadap
alat-alat musik dan lahwul hadits:
[1] Ancaman
keras bagi mereka yang lalai dan lebih memilih hiburan yang melalaikan dari Al-Qur’an.
﴿وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ
لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ﴾
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan lahwul
hadits (perkataan yang tidak berguna) untuk menyesatkan (manusia) dari
jalan Alloh tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman: 6)
Mayoritas Mufassirin (ahli tafsir), termasuk Ibnu Mas’ud
Rodhiyallahu ‘Anhu (32 H), menafsirkan lahwul hadits di sini
sebagai musik dan nyanyian yang melalaikan. Malam tahun baru yang dipenuhi
konser dan keramaian adalah perwujudan nyata dari lahwul hadits. Kita
harus memilih: menghabiskan malam dengan mendengarkan Kalamullah (Al-Qur’an)
atau lahwul hadits yang bisa menyesatkan dari Alloh? Waktu adalah
pedang yang harus digunakan untuk taat, jangan sampai ia menjadi saksi di Hari
Kiamat atas kelalaian kita.
[2] Peringatan Nabi ﷺ
tentang kemunculan alat-alat musik dan khomr di akhir zaman.
Dari Abu Malik Al-Asy’ari Rodhiyallahu ‘Anhu, Nabi ﷺ bersabda:
«لَيَكُونَنَّ
مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ، يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ وَالحَرِيرَ، وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ»
“Sungguh, akan ada dari Ummah-ku kaum-kaum yang
menghalalkan zina, sutra (bagi
lelaki), khomr, dan alat-alat musik (ma’azif).” (HR. Al-Bukhori no.
5590)
Hadits yang shohih ini seolah menggambarkan malam
tahun baru secara sempurna. Di satu malam, tiga hal yang dilarang (alat musik, khomr,
dan zina) seringkali berkumpul. Perayaan tahun baru adalah penampakan zaman
yang seakan menghalalkan
apa yang Alloh haromkan. Seorang Muslim yang berpegang teguh pada Sunnah
harus menjauhi majelis yang menghimpun ketiga maksiat besar ini agar
tidak termasuk golongan yang digambarkan Nabi ﷺ.
Bab 4: Boros dan Lalai
Agama kita mengajarkan keseimbangan dalam segala hal (wasathiyyah).
Salah satu prinsip etika Islam yang paling ditekankan adalah larangan isrof
(berlebihan) dan tabdzir (pemborosan). Di sisi lain, Islam adalah agama
yang menghargai waktu dan mengingatkan pemeluknya untuk tidak lalai (ghoflah)
terhadap tujuan penciptaan mereka dan semakin dekatnya kematian. Malam tahun
baru Masehi ironisnya adalah perwujudan dari kedua hal yang dilarang ini:
menghamburkan harta untuk kesia-siaan, dan menghabiskan waktu dengan kelalaian
total.
4.1. Tabdzir
(Pemborosan) Harta dan Badan
Kembang api, petasan, pesta, dan jamuan besar-besaran adalah
pemandangan umum saat malam tahun baru. Semua ini membutuhkan biaya yang
fantastis, yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kebutuhan yang lebih
mendesak bagi Ummah, atau bahkan sekadar untuk membantu fakir miskin. Tabdzir
bukan hanya menghabiskan harta di jalan yang harom, tetapi juga menghabiskannya
untuk hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Musyrif (orang yang
berlebihan) telah diingatkan Al-Qur’an bahwa ia adalah saudara setan.
Dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits tentang larangan Tabdzir
dan Isrof (berlebihan):
[1] Peringatan
keras Alloh Subhanahu wa Ta’ala tentang pemborosan dan tabdzir.
﴿وَآتِ
ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ
تَبْذِيرًا * إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا﴾
“Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara
setan dan setan itu sangat ingkar kepada Alloh.” (QS. Al-Isro’:
26-27)
Ayat ini adalah peringatan yang sangat menakutkan: orang
yang boros (mubadzdziriin) disebut sebagai saudara setan. Perayaan tahun
baru adalah salah satu contoh tabdzir terbesar, di mana harta dibakar
menjadi kembang api dan dihabiskan untuk hiburan yang melalaikan. Harta adalah
amanah yang akan dipertanggungjawabkan di Hari Kiamat. Jika kita
menghamburkannya untuk hal yang diharomkan atau sia-sia, kita telah memilih
menjadi saudara setan dan mempertaruhkan Hisab kita di Akhirat.
[2] Larangan keras Nabi ﷺ
terhadap pemborosan air, bahkan saat berwudhu.
Nabi ﷺ melewati Sa’d Rodhiyallahu ‘Anhu
yang sedang berwudhu, lalu beliau bersabda, “Apa-apaan Isrof
(pemborosan) ini wahai Sa’d?” Sa’d bertanya, “Apakah dalam wudhu ada
pemborosan?” Beliau menjawab,
«نَعَمْ، وَإِنْ
كُنْتَ عَلَى نَهَرٍ جَارٍ»
“Ya, meskipun kamu berada di sungai yang mengalir.” (HHR.
Ibnu Majah no. 425)[1]
Jika isrof dalam penggunaan air suci untuk ibadah
(wudhu) saja dilarang oleh Nabi ﷺ, bagaimana mungkin kita membenarkan
pemborosan jutaan, bahkan miliaran rupiah untuk pesta dan petasan di malam
tahun baru yang sudah jelas bernuansa maksiat dan tasyabbuh?
Larangan ini menunjukkan betapa Islam mencintai efisiensi dan menjauhi tabdzir
dalam segala aspek kehidupan.
4.2.
Melupakan Kematian dan Ghoflah
Pergantian tahun seharusnya memicu kesadaran bahwa jatah
umur kita berkurang satu tahun. Ini adalah momen untuk muhasabah, bukan
untuk pesta pora. Namun, perayaan tahun baru justru membalikkan logika ini,
menjadikannya perayaan atas sisa waktu yang makin sedikit. Hal ini menumbuhkan ghoflah
(kelalaian) terhadap kematian, Hisab, dan kewajiban utama kita di dunia
ini: beribadah kepada Alloh.
Dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits tentang pentingnya
mengingat mati dan Hari Akhir:
[1] Perintah
untuk mengingat kematian dan kesia-siaan hidup dunia jika tidak diisi ketaatan.
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ
أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ * وَأَنفِقُوا مِن مَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَىٰ أَجَلٍ
قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِينَ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan
anak-anakmu melalaikan kamu dari Dzikrullah (mengingat Alloh).
Dan barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan
infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian
datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesal), ‘Ya Robbku,
sekiranya Engkau menunda (kematian)ku sebentar saja, maka aku dapat bersedekah
dan aku termasuk orang-orang yang sholih.’” (QS. Al-Munafiqun: 9-10)
Perayaan tahun baru adalah bentuk nyata dari kelalaian (ghoflah)
yang melupakan Dzikrullah. Pesta semalam suntuk menjauhkan kita dari muhasabah
dan mempersiapkan diri untuk hari esok yang mungkin tidak pernah tiba. Setiap
detik yang kita habiskan dalam ketaatan adalah langkah menuju Alloh.
Jangan sampai kita menyesal di Hari Akhir, memohon waktu sebentar saja,
sementara kita telah menyia-nyiakan malam-malam yang berharga untuk hal yang
sia-sia.
[2] Nasihat Nabi ﷺ untuk memanfaatkan
waktu sebelum datangnya penyesalan.
Dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma, Nabi ﷺ bersabda:
«اغْتَنِمْ خَمْسًا
قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هِرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاءَكَ
قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ»
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa
mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu,
waktu luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HSR. Al-Hakim no. 7846(
Malam tahun baru adalah manifestasi dari waktu luang (farogh)
yang disalahgunakan. Daripada mengisinya dengan maksiat dan ghoflah,
seorang Muslim sejati akan mengisinya dengan ketaatan, Sholat malam (Qiyamul
Lail), dan muhasabah. Mengingat mati bukan berarti tidak menikmati
hidup, tetapi menikmati hidup dengan cara yang mendatangkan pahala, bukan dosa.
4.3.
Kewajiban Nasihat dan
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Melihat maksiat dan ghoflah yang menjamur di
malam tahun baru, seorang Muslim memiliki kewajiban moral dan agama untuk
memberikan nashihat dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar
(memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran) sesuai kemampuannya.
Meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar adalah tanda kelemahan iman dan
dapat mendatangkan hukuman kolektif dari Alloh.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri Rodhiyallahu ‘Anhu,
Rosulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ رَأَى مِنْكُمْ
مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ»
“Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka
hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan
lisannya. Dan jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan yang demikian itu
adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)
Perayaan tahun baru yang diisi maksiat adalah
kemungkaran yang kasat mata. Sebagai Muslim, kita tidak boleh diam. Setidaknya,
jika kita tidak mampu mengubahnya dengan tangan atau lisan (misalnya melalui
tulisan seperti buku ini atau menyebarkannya), kita harus membencinya dengan
hati, dan ini adalah benteng terakhir iman dalam bab ini. Cinta sejati adalah
yang mengajak pada Sholat dan menjauhi maksiat. Jika kita mencintai
saudara kita, kita akan menasihati mereka untuk menjauhi malam ghoflah
tersebut.
Hadits yang menunjukkan bahwa agama adalah nashihat: Dari
Tamim Ad-Darimi Rodhiyallahu ‘Anhu, Nabi ﷺ
bersabda:
«الدِّينُ النَّصِيحَةُ»،
قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: «لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ
وَعَامَّتِهِمْ»
“Agama adalah nasihat.” Kami (para Shohabat) bertanya, “Untuk
siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Alloh, Kitab-Nya, Rosul-Nya, para pemimpin
Muslim, dan seluruh kaum Muslimin.” (HR. Muslim no. 55)
Menulis buku ini adalah bentuk nashihat kepada
seluruh kaum Muslimin. Nashihat yang paling utama adalah menyelamatkan
mereka dari maksiat dan syirik. Mengajak Ummah untuk
menjauhi perayaan yang merusak harta, waktu, dan aqidah adalah puncak dari nashihat
diniyyah (agama). Kita berharap nashihat ini diterima dengan hati
terbuka.
Bab 5: Jalan
Kembali Menuju Alloh
Setelah kita menelisik akar sejarah pagan, bahaya aqidah
berupa tasyabbuh, serta limpahan maksiat dan tabdzir yang
menyertai perayaan Tahun Baru Masehi, kini tiba saatnya kita menutup tirai dan
membuka lembaran baru dengan jalan yang benar. Seorang Muslim sejati tidak
mencari kebahagiaan dalam ghoflah (kelalaian) atau tradisi kufur,
melainkan dalam ketaatan yang konsisten dan muhasabah (introspeksi) yang
mendalam.
Jalan kembali menuju Alloh adalah jalan yang selalu
terbuka lebar melalui taubat (pertobatan) dan penggantian keburukan
dengan kebaikan.
5.1. Doa
dan Qiyamul Lail
Mengganti perayaan duniawi yang melalaikan dengan ibadah
yang mendekatkan kepada Alloh adalah solusi terbaik bagi malam
pergantian tahun. Daripada begadang untuk pesta sia-sia, seorang Muslim
seharusnya menghidupkan malam dengan Sholat malam (Qiyamul Lail),
Dzikrullah, Istighfar (memohon ampunan), dan doa. Inilah cara
terbaik untuk menutup tahun yang berlalu: mengakui dosa dan memohon taufiq
(kemudahan) untuk menjadi lebih baik di tahun yang akan datang.
Nabi ﷺ bersabda tentang keutamaan Sholat
malam setelah Fardhu (wajib). Dari Abu Hurairah Rodhiyallahu ‘Anhu,
Rosulullah ﷺ bersabda:
«أَفْضَلُ الصِّيَامِ،
بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ، بَعْدَ الْفَرِيضَةِ،
صَلَاةُ اللَّيْلِ»
“Puasa yang paling utama setelah bulan Romadhon adalah
puasa syahrullah Al-Muharrom (bulan Alloh Muharrom), dan Sholat
yang paling utama setelah Sholat Fardhu adalah Sholat
malam (Sholatul Lail).” (HR. Muslim no. 1163)
Jika Sholat malam adalah ibadah non-Fardhu
yang paling utama, maka menghabiskan malam pergantian tahun dengan Qiyamul
Lail adalah pilihan yang sangat mulia, jauh lebih baik daripada
menghabiskannya dengan maksiat. Bayangkan, saat orang-orang sibuk di
jalanan dengan tabdzir dan ghoflah, kita justru sedang berdiri
menghadap Alloh, memohon ampunan. Inilah kemenangan sejati.
Perintah Alloh Subhanahu wa Ta’ala untuk memperbanyak
Istighfar di waktu sahur:
﴿وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ﴾
“Dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (Istighfar).”
(QS. Adz-Dzariyat: 18)
Ayat ini menjelaskan salah satu sifat hamba Muttaqin
(orang yang bertakwa). Memanfaatkan sepertiga malam terakhir, waktu di mana Alloh
turun ke dunia, untuk Istighfar adalah tindakan muhasabah
terbaik. Menutup lembaran tahun yang penuh dosa dengan permohonan ampunan
adalah tanda hati yang hidup, bukan hati yang lalai oleh hiruk pikuk dunia.
Juga, Nabi ﷺ tidak suka begadang setelah Isya. Abu Barzah Al-Aslami
berkata:
وَكَانَ ﷺ يَكْرَهُ النَّوْمَ
قَبْلَهَا، وَالحَدِيثَ بَعْدَهَا
“Nabi ﷺ membenci tidur sebelum Isya dan ngobrol
(begadang) setelahnya.” (HR. Bukhori no. 547)
5.2.
Konsisten di Atas Sunnah dan Bersama Jama’ah
Kekuatan seorang Muslim terletak pada konsistensi (istiqomah)
di atas Sunnah Nabi ﷺ dan keterikatannya dengan Jama’ah
(kelompok) yang berpegang teguh pada kebenaran. Menjauhi perayaan yang bukan Syari’at
dan mengisi hari-hari dengan ketaatan adalah bentuk Istiqomah. Ketika
fitnah merajalela, Istiqomah menjadi mata uang yang paling berharga.
Dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani Rodhiyallahu ‘Anhu,
Nabi ﷺ bersabda:
«فَإِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامَ الصَّبْرِ،
الصَّبْرُ فِيهِ مِثْلُ قَبْضٍ عَلَى الْجَمْرِ، لِلْعَامِلِ فِيهِمْ مِثْلُ أَجْرِ
خَمْسِينَ رَجُلًا مِنْكُمْ»
“Sesungguhnya di depan
kalian ada hari-hari kesabaran. Sabar pada hari itu seperti memegang bara api. Beramal pada hari
itu seperti pahala 50 orang dari kalian.” (HSR. Abu Dawud no. 4341)
Hari-hari yang kita hadapi kini, di mana maksiat
seperti perayaan tahun baru dianggap biasa, adalah hari-hari kesabaran.
Berpegang teguh pada larangan tasyabbuh dan menjauhi maksiat ini
membutuhkan kesabaran yang besar, namun pahalanya pun berlipat ganda. Ini
adalah motivasi terkuat untuk menjauhi syiar asing dan kembali kepada Sunnah
murni.
Alloh menyuruh
untuk berpegang teguh pada tali Al-Qur’an dan Sunnah.
﴿وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا
تَفَرَّقُوا﴾
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Alloh,
dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imron: 103)
Tali Alloh adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Perayaan tahun baru dan maksiat adalah hal yang memecah belah Ummah
dan menjauhkannya dari tali Alloh. Konsistensi di atas Sunnah
akan menyatukan kita dan melindungi kita dari fitnah. Kita harus menjadi bagian
dari Jama’ah yang berpegang pada kebenaran, bukan Jama’ah yang
larut dalam perayaan kuffar.
Penutup
Perayaan Tahun Baru Masehi harus ditinggalkan karena dua
alasan utama:
1. Ancaman Aqidah: Ia adalah tasyabbuh (menyerupai)
kaum kuffar yang berakar pada penyembahan dewa-dewa pagan (Janus, Mars, dll.)
dan pengagungan syiar yang bukan berasal dari Syari’at Islam.
2. Limpahan maksiat: Ia menjadi malam puncak di mana khomr,
zina, musik yang melalaikan, dan tabdzir (pemborosan harta) diagungkan
secara kolektif, disertai ghoflah (kelalaian) total terhadap kematian.
Jangan jual agama Anda, jangan jual waktu Anda, dan jangan
jual kehormatan Anda hanya demi euforia semalam yang berujung dosa.
Waktu adalah kehidupan. Mari kita isi sisa umur ini dengan ketaatan, muhasabah,
dan persiapan menuju pertemuan abadi dengan Alloh.
Semoga Alloh menerima nashihat ini sebagai
amal sholih dan menguatkan hati kita di atas Shirot Mustaqim. Allohu a’lam.
[1]
Awalnya dilemahkan oleh
Al-Albani dalam beberapa tempat lalu beliau mengoreksi ulang dan
menghasankannya di As-Shohihah no. 3292.
