Cari Ebook

Mempersiapkan...

[PDF] Perayaan Tahun Baru untuk Para Dewa dan Setan

 

Muqoddimah

Segala puji hanya milik Alloh semesta alam. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rosul terakhir, Nabi Muhammad , kepada keluarganya, para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum, dan seluruh pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.

Pembaca yang budiman, kita hidup di era yang penuh gemerlap fatamorgana. Setiap pergantian hari, pekan, bulan, dan tahun seolah dirayakan dengan gegap gempita, menyeret manusia dari satu maksiat kepada maksiat lainnya. Puncak dari euforia duniawi ini seringkali terlihat pada malam pergantian tahun Masehi, ketika miliaran manusia, termasuk sebagian besar yang menisbatkan diri kepada Islam, larut dalam perayaan yang diwarnai oleh tawa, nyala kembang api, dan kelalaian (ghoflah).

Pentingnya muhasabah (introspeksi) diri kini menjadi kewajiban yang mendesak. Sudahkah kita menggunakan jatah umur yang berkurang ini untuk mendekat kepada Alloh? Atau justru kita habiskan di dalam perayaan yang akarnya bukan dari ajaran kita dan buahnya menjauhkan diri dari Alloh?

Buku ini hadir sebagai panggilan kembali kepada jalan lurus para Salaf. Ia memberikan nasihat yang tulus mengenai dua bahaya besar dalam perayaan tahun baru Masehi: bahaya maksiat (seperti khomr, zina, tabdzir, dan musik) dan yang lebih fundamental, bahaya Aqidah (yaitu tasyabbuh dan wala’ kepada kuffar).

Kita harus senantiasa waspada terhadap fitnah-fitnah akhir zaman yang meracuni keimanan. Malam pergantian tahun seringkali menjadi salah satu gerbang utama masuknya racun syubhat (kerancuan) dan syahwat (hawa nafsu). Marilah kita renungkan bersama, dari mana tradisi ini berasal, tauhid apa yang dilanggarnya, dan dosa apa yang ditimbulkannya. Semoga Alloh membimbing kita semua kepada kebenaran dan keteguhan iman.

Bab 1: Sejarah Tahun Baru Masehi: Sebuah Warisan Pagan

Seorang Muslim wajib memiliki identitas yang jelas, yang membedakannya dari umat-umat lain, sebagaimana kita membedakan antara air tawar dan air asin, antara cahaya dan kegelapan. Perayaan, khususnya hari raya, adalah bagian integral dari identitas sebuah Ummah. Ketika seorang Muslim ikut merayakan hari raya yang bukan berasal dari ajarannya, ia sedang mengikis identitasnya sendiri. Bab ini akan menelisik akar perayaan Tahun Baru Masehi yang ternyata berlumuran sejarah paganisme dan aqidah Yunani-Romawi Kuno.

1.1. Asal Mula Perayaan: Dari Janus hingga Masehi

Perayaan tahun baru yang kita kenal hari ini bukanlah tradisi yang tiba-tiba muncul. Akarnya dapat ditelusuri kembali ke peradaban kuno, terutama di Roma. Bangsa Romawi Kuno merayakan tahun baru pada bulan Januari. Nama bulan ini, Januari, diambil dari nama dewa mereka, Janus. Janus adalah dewa permulaan dan transisi, yang digambarkan memiliki dua wajah: satu menghadap ke depan (masa depan) dan satu menghadap ke belakang (masa lalu). Perayaan untuk Janus adalah ritual syirik yang terang benderang.

Keterlibatan seorang Muslim dalam perayaan ini, meskipun hanya sekadar euforia (bersuka cita), merupakan bentuk pengagungan terhadap apa yang telah diagungkan oleh kaum pagan terdahulu. Islam mengajarkan bahwa kehidupan kita harus fokus pada ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya , bukan pada tradisi kuffur.

Dalil-dalil tentang pentingnya memelihara diri dari tradisi asing:

[1] Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan kita untuk tidak meniru jalan kuffar, karena mereka adalah kaum yang dibenci oleh-Nya.

﴿وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم بَعْدَ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ﴾

“Dan sungguh, jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, tidak ada bagimu pelindung dan tidak (pula) penolong dari Alloh.” (QS. Al-Baqoroh: 120)

Ayat ini adalah peringatan keras bahwa ilmu (wahyu) telah datang kepada kita. Jika setelah ilmu itu datang, kita masih memilih mengikuti keinginan dan tradisi orang-orang yang menyelisihi Syari’at, maka kita telah mencampakkan perlindungan Alloh. Perayaan tahun baru adalah keinginan mereka, bukan ajaran Nabi . Menjaga diri dari perayaan ini adalah bukti ketaatan dan kecintaan kita pada wahyu.

[2] Nabi bersabda, menegaskan pentingnya menjaga identitas keislaman dan menghindari tasyabbuh.

Dari Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma, Nabi bersabda:

«مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HSR. Abu Dawud no. 4031)

Hadits yang agung ini adalah kaidah utama dalam membedakan Ummah Islam. Menyerupai tidak hanya dalam pakaian, tetapi juga dalam perbuatan dan perayaan yang menjadi ciri khas mereka. Malam tahun baru adalah ciri khas perayaan yang bukan Syari’at Islam. Apakah kita rela, hanya karena semalam larut dalam perayaan yang lemah maknanya, kita dianggap termasuk golongan mereka di Hari Kiamat? Kesucian diri dan waktu seorang Muslim terlalu berharga untuk ditukar dengan euforia sesaat yang berakar pada penyembahan berhala.

1.2. Mitos Para Dewa di Balik Nama Bulan

Sejarah kalender Masehi tidak hanya melibatkan dewa Janus, tetapi juga dewa-dewa lain yang namanya kini kita gunakan sehari-hari sebagai nama bulan. Ini adalah warisan nyata dari aqidah Yunani dan Romawi Kuno yang penuh dengan syirik (penyekutuan Alloh).

  • Januari (Janus, dewa berwajah dua, dewa permulaan).
  • Maret (Mars, dewa perang Romawi).
  • Juni (Juno, dewi utama dan ratu para dewa).
  • Juli (Julius Caesar, didewakan).
  • Agustus (Augustus, didewakan).

Meskipun bagi sebagian orang nama-nama ini hanya sekadar konvensi bahasa, namun bagi Ummah yang menjunjung tinggi Tauhid, mengetahui asal-usul ini adalah pengingat bahwa fondasi peradaban kuffar dibangun di atas pengagungan terhadap makhluk, bukan Kholiq (Sang Pencipta).

Dalil tentang larangan menyekutukan Alloh dan berlepas diri dari kesyirikan:

[1] Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan dosa terbesar yang tidak diampuni, yaitu syirik.

﴿إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا﴾

“Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Alloh, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48)

Keagungan Tauhid adalah benteng terkuat seorang Muslim. Jika Alloh Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa syirik adalah dosa terbesar yang tidak diampuni, maka segala sesuatu yang berpotensi menyerempet syirik harus dijauhi. Ikut merayakan hari yang dinamai berdasarkan dewa pagan, meski tanpa niat menyembah dewa, secara zhohir (lahiriah) telah mendekatkan kita pada pengagungan terhadap tradisi syirik tersebut. Berlepas diri dari perayaan ini adalah manifestasi konkret dari Laa Ilaha Illallah.

[2] Rosul mengajarkan kita untuk tidak ikut mengagungkan perayaan yang batil.

Dari Anas bin Malik Rodhiyallahu ‘Anhu berkata, “Ketika Rosulullah datang ke Madinah, penduduknya memiliki dua hari yang mereka jadikan waktu bermain. Maka Rosulullah bertanya: ‘Dua hari apakah ini?’ Mereka berkata: ‘Dahulu kami bermain (euforia) pada dua hari itu di masa Jahiliyyah.’ Maka Rosulullah bersabda:

«إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْأَضْحَى، وَيَوْمَ الْفِطْرِ»

‘Sesungguhnya Alloh telah mengganti untuk kalian dengan dua hari yang lebih baik: Iedul Adhha dan Iedul Fithr.’ (HSR. Abu Dawud no. 1134)

Hadits ini jelas menunjukkan bahwa Rosul menghapus secara total perayaan-perayaan Jahiliyyah yang sudah menjadi tradisi turun-temurun, meskipun tujuannya hanya untuk bermain. Nabi tidak membiarkan umatnya merayakan tradisi dari masa lalu, bahkan yang hanya berniat hiburan. Ini menunjukkan bahwa segala perayaan yang tidak berasal dari Syari’at harus diganti dengan apa yang telah disyariatkan oleh Alloh. Perayaan tahun baru adalah Ied yang tidak disyariatkan, dan kita wajib meninggalkannya.

1.3. Mingguan atau Pekanan?

Kata Minggu (sebagai nama hari pertama dalam sepekan dan juga sebagai kata benda untuk periode tujuh hari) memiliki akar yang sangat jelas dari konteks non-Muslim.

  • Asal Kata: Kata “Minggu” berasal dari bahasa Portugis Domingo.
  • Makna Domingo:Domingo” itu sendiri berasal dari bahasa Latin dies Dominicus yang berarti “Hari Tuhan”. Hari ini secara historis dirayakan oleh umat Kristen sebagai Hari Kebangkitan Yesus Kristus (Hari Alloh). Pada hari Ahad, mereka mendatangi gereja dan mengganti Ahad dengan Mingguan.
  • Adopsi dalam Bahasa Indonesia: Kata ini masuk ke dalam perbendaharaan Melayu (dan kemudian Bahasa Indonesia) melalui kontak dengan pedagang dan penjajah Portugis sejak abad ke-16.

Kata “Mingguan” kemudian berarti: “berlangsung setiap tujuh hari sekali” atau “sesuatu yang terjadi setiap hari Minggu”.

Dalam konteks penulisan yang menjaga kesucian istilah dan menghindari tasyabbuh (menyerupai) syiar non-Muslim, penggunaan kata “pekan” atau “pekanan” lebih dianjurkan oleh para ahli bahasa dan Syari’a karena alasan berikut:

1) Bebas dari Konotasi Syirik atau kufur

Kata “pekan” adalah istilah murni dalam bahasa Melayu/Indonesia yang merujuk pada periode tujuh hari tanpa membawa konotasi agama tertentu.

Pekan: Berasal dari bahasa Melayu asli yang merujuk pada satuan waktu tujuh hari. Ia memiliki padanan yang diterima secara universal dalam bahasa Arab, yaitu (أُسْبُوع) yang berarti tujuh hari.

  • Minggu: Membawa konotasi “Hari Tuhan” (dies Dominicus). Meskipun dalam penggunaan sehari-hari, konotasi agamanya sering dilupakan, secara asal-usul ia adalah syiar yang dikaitkan dengan aqidah tertentu.

2) Menjaga Identitas Ummah dan Menghindari Tasyabbuh

Dalam kaidah penulisan dan terminologi Islam (khususnya yang ketat terhadap tasyabbuh), sangat ditekankan untuk menjaga perbedaan dengan syiar non-Muslim. Sebagaimana Nabi melarang Ummah untuk merayakan hari raya di luar Iedul Fithr dan Iedul Adhha, menghindari istilah yang memiliki akar aqidah asing dalam penamaan waktu juga merupakan bagian dari kehati-hatian aqidah.

Dengan menggunakan “pekanan” (misalnya, Laporan Pekanan), kita memastikan bahwa istilah yang digunakan adalah netral secara agama dan tidak memiliki keterkaitan historis dengan pengagungan hari kuffur.

1.4. Tasyabbuh (Menyerupai) dan Peringatan Keras

Konsep tasyabbuh (menyerupai) bukan sekadar masalah penampilan, tetapi masalah hati, aqidah, dan identitas. Secara bahasa, tasyabbuh berarti menyerupai, meniru, atau meneladani. Dalam Syari’at, yang dilarang adalah tasyabbuh terhadap hal-hal yang menjadi kekhususan atau syiar (simbol) kaum kuffar atau ahli maksiat.

Perayaan Tahun Baru Masehi adalah syiar global kaum kuffar. Mulai dari ritual hitung mundur (countdown), pesta besar-besaran, hingga kebiasaan saling mengucapkan ‘selamat tahun baru’, semuanya adalah kebiasaan yang tidak dikenal dalam Syari’at Islam, melainkan diimpor dari tradisi lain. Mengucapkan selamat pada hari raya kuffar adalah bentuk ridho (kerelaan) terhadap perayaan mereka, yang merupakan pintu masuk tasyabbuh yang berbahaya.

Dalil Hadits tentang larangan tasyabbuh terhadap suatu kaum:

[1] Kembali kepada Hadits utama tentang tasyabbuh yang menjadi fondasi dalam pembahasan ini.

«مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HSR. Abu Dawud no. 4031)

Hadits ini memberikan pesan yang menakutkan, yaitu adanya potensi hisab (perhitungan) di Akhirat bersama kaum yang kita tiru, meskipun niat kita baik. Seorang Muslim harus merasa bangga dengan identitas Ummah yang diberikan Alloh. Kita adalah Ummah terbaik (QS. Ali Imron: 110), mengapa kita harus meminjam syiar dan tradisi dari Ummah lain? Menjaga batas-batas perayaan adalah menjaga kemuliaan diri kita sebagai pengikut Nabi .

[2] Sikap tegas Shohabat terhadap Ied (hari raya) non-Muslim.

اِجْتَنِبُوا أَعْدَاءَ اللَّهِ فِي أَعْيَادِهِمْ

‘Umar bin Al-Khoththob Rodhiyallahu ‘Anhu berkata: “Jauhilah musuh-musuh Alloh dalam perayaan-perayaan mereka.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubro, 9/234, shohih dari ‘Umar)

Ini adalah sikap tegas dari salah satu Khulafa’ur Rosyidin. Perkataan ‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhu ini merupakan penafsiran praktis dari larangan tasyabbuh. Perayaan adalah saat di mana suatu kaum menampakkan agama dan keyakinan mereka. Jika kita hadir atau berpartisipasi, kita telah memberikan legitimasi terhadap syiar mereka. Seorang Muslim sejati harus menunjukkan sikap wala’ (loyalitas) dan baro’ (berlepas diri) yang jelas. Wala’ hanya kepada Alloh, Rosul-Nya, dan orang-orang beriman. Baro’ dari syirik dan syiar kufur.

Bab 2: Ancaman Aqidah: Merayakan Peringatan Kuffar

Pilar utama agama Islam adalah Tauhid (mengesakan Alloh), dan salah satu konsekuensi dari Tauhid adalah membedakan diri secara total dari segala bentuk syirik dan kufur. Dalam Islam, perayaan (Ied) adalah bagian dari manhaj (metode) beragama yang sakral dan terikat langsung dengan Syari’at. Hari raya bukan sekadar liburan, tetapi syiar (simbol) yang menunjukkan keyakinan dan identitas suatu Ummah. Merayakan hari raya kaum kuffar bukan hanya maksiat, tetapi berpotensi merusak aqidah karena ia melanggar prinsip wala’ dan baro’ (loyalitas kepada Islam dan berlepas diri kepada non-Islam).

2.1. Membedakan Hari Raya dalam Islam dan Selainnya

Islam adalah agama yang sempurna. Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan nikmat dan Syari’at bagi kita, termasuk menetapkan hari raya yang mulia. Rosulullah telah menegaskan bahwa Ummah ini hanya memiliki dua hari raya resmi: Iedul Fithr dan Iedul Adhha. Hari-hari raya ini disyariatkan berdasarkan ibadah yang agung (puasa di bulan Romadhon dan Haji dan qurban). Selain dua hari tersebut, perayaan apa pun, termasuk tahun baru, merupakan penambahan yang tidak diajarkan, yang disebut bid’ah (inovasi baru dalam agama).

Dalil-dalil Hadits yang membatasi perayaan hanya pada dua Hari Raya tersebut:

[1] Ketika Rosulullah datang ke Madinah, masyarakatnya bereuforia pada hari yang dahulu mereka jadikan hari raya di masa Jahiliyyah lalu Nabi menegur mereka dan bersabda:

«إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ»

Sesungguhnya Alloh telah mengganti untuk kalian dengan dua hari yang lebih baik: Iedul Adhha dan Iedul Fithr. (HSR. Abu Dawud no. 1134)

Perhatikanlah kata-kata Nabi : “Alloh telah mengganti”. Ini menunjukkan bahwa Islam datang untuk mengganti dan menghapuskan semua perayaan batil yang ada sebelumnya, termasuk perayaan tahunan yang tidak bersumber dari Syari’at. Syari’at yang sempurna tidak membutuhkan tambahan; ketika kita merayakan tahun baru, seolah kita merasa Syari’at Alloh belum cukup. Syukur atas nikmat Syari’at yang sempurna adalah dengan mencukupkan diri hanya pada yang telah Nabi ajarkan.

[2] Peringatan Nabi tentang segala sesuatu yang baru dalam urusan agama.

Dari ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha, Nabi bersabda:

«مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ»

“Barangsiapa membuat hal baru dalam urusan kami ini (agama) yang tidak ada asalnya darinya, maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhori no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Perayaan tahun baru adalah hal baru (muhdats) dalam Syari’at Islam, dan setiap bid’ah adalah tertolak. Jika perayaan tahun baru dihukumi bid’ah semata (jika diyakini sebagai ibadah), ia sudah tertolak. Apalagi, ia juga menyerupai kaum kuffar dan berakar pada syirik. Oleh karena itu, kita harus menjaga diri agar ibadah dan kehidupan kita tidak tercampur dengan perkara-perkara yang ditolak oleh Alloh.

2.2. Larangan Mengagungkan Syiar-Syiar Kuffur

Tahun baru, dengan segala simbol dan ritualnya (seperti patung Janus, resolusi, kembang api), adalah syiar (simbol) yang diagungkan oleh kaum yang bukan Muslim. Seorang Muslim diwajibkan untuk menjauhi dan tidak ikut mengagungkan syiar kuffur. Mengagungkan syiar mereka dapat mengikis wala’ kita kepada Islam dan menimbulkan maksiat yang bersifat aqidah.

Ibnu Taimiyyah Rohimahullah (728 H) berkata, “Menyerupai mereka dalam sebagian hari raya mereka menyebabkan hati senang dengan kebatilan mereka.”

Dalil-dalil Al-Qur’an tentang menjauhi majelis yang di dalamnya terdapat kesyirikan atau kekufuran:

[1] Perintah untuk berpaling dari orang-orang yang menjadikan agama mereka main-main.

﴿وَذَرِ الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَعِبًا وَلَهْوًا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا ۚ وَذَكِّرْ بِهِ أَن تُبْسَلَ نَفْسٌ بِمَا كَسَبَتْ لَيْسَ لَهَا مِن دُونِ اللَّهِ وَلِيٌّ وَلَا شَفِيعٌ﴾

“Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan senda gurau, dan mereka telah tertipu oleh kehidupan dunia. Ingatkanlah (mereka) dengan Al-Qur’an itu agar diri mereka tidak dijerumuskan ke dalam Neraka, karena perbuatan mereka sendiri. Tidak ada baginya pelindung dan tidak (pula) pemberi syafaat selain dari Alloh.” (QS. Al-An’am: 70)

Perayaan yang tidak berlandaskan wahyu dianggap sebagai permainan dan senda gurau. Malam tahun baru, yang dipenuhi maksiat dan syiar kuffur, jelas termasuk dalam kategori ini. Kita diperintahkan untuk meninggalkannya, menjauhi majelisnya, dan menggunakan waktu tersebut untuk mengingat Al-Qur’an. Menjaga hati dari kotoran duniawi adalah kunci agar kita tidak dijerumuskan ke dalam Naar karena kelalaian.

[2] Sifat hamba Ar-Rohman yang menjauhi perkataan sia-sia.

﴿وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu (zuur), dan apabila mereka bertemu dengan (perbuatan) yang tidak bermanfaat (laghwi), mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqon: 72)

Ibnu Katsir Rohimahullah (774 H) menjelaskan bahwa Az-Zuur (persaksian palsu) di sini juga diartikan sebagai perayaan orang-orang musyrik. Hamba Ar-Rohman adalah mereka yang tidak menghadiri perayaan kuffar. Jika perayaan tahun baru itu sendiri adalah laghwun (sia-sia) dan zuur, maka seorang Mu’min sejati akan berlalu dengan terhormat (kiroman), tanpa ikut campur atau merendahkan dirinya dalam keramaian yang tidak bermanfaat bagi Akhiratnya.

2.3. Sikap Para Shohabat dan Tabi’in Terhadap Perayaan Non-Muslim

Sikap para Salafush Sholih (pendahulu yang sholih) adalah tolok ukur utama bagi keislaman yang murni. Mereka sangat berhati-hati dalam menjaga batas antara Ummah Islam dan Ummah lainnya, khususnya terkait syiar dan hari raya. Para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum dan generasi setelah mereka (Tabi’in) secara mutlak menjauhi perayaan selain Iedul Fithr dan Iedul Adhha.

Perintah Rosulullah untuk mengikuti Sunnah para Khulafa’ur Rosyidin. Dari Al-Irbadh bin Sariyah Rodhiyallahu ‘Anhu, Rosulullah bersabda:

«فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ»

“Maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh pada Sunnah-ku dan Sunnah para Khulafa’ur Rosyidin yang diberi petunjuk. Peganglah ia dan gigitlah ia dengan geraham (peganglah erat-erat).” (HSR. Abu Dawud no. 4607)

‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhu adalah salah satu dari Khulafa’ur Rosyidin yang diberi petunjuk (Al-Mahdiyyiin). Oleh karena itu, atsar beliau yang melarang menghadiri perayaan kuffar adalah bagian dari Sunnah yang wajib kita gigit erat dengan geraham. Kita dituntut untuk konsisten; jika kita mengakui Hadits ini, kita harus mengamalkan pula atsar dari Khulafa’ur Rosyidin yang berisi petunjuk praktis dalam kehidupan, termasuk dalam memelihara aqidah dari syiar asing.

Ibnu Al-Qoyyim (751 H) Rohimahullah berkata:

“Tidak boleh bagi kaum Muslimin menghadiri perayaan-perayaan orang-orang Musyrikin (orang-orang yang menyekutukan Allah) berdasarkan kesepakatan Ahlul ‘Ilmi (para ulama) yang merupakan ahlinya. Para Fuqoha’ (ahli Fiqh) dari pengikut empat Madzhab telah menjelaskan hal ini secara tegas dalam kitab-kitab mereka.

Al-Baihaqi (458 H) meriwayatkan dengan rantai periwayatan yang shohih dari ‘Umar bin Al-Khoththob Rodhiyallahu ‘Anhu bahwa beliau berkata:

لا تَدْخُلُوا عَلَى المُشْرِكِينَ فِي كَنَائِسِهِم يَوْمَ عِيدِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَنْزِلُ عَلَيْهِمْ

‘Janganlah kalian masuk ke gereja-gereja orang-orang musyrikin pada hari raya mereka, karena sukhthoh (kemurkaan Alloh) turun atas mereka.

‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhu juga berkata:

اِجْتَنِبُوا أَعْدَاءَ اللَّهِ فِي أَعْيَادِهِمْ

Jauhilah musuh-musuh Alloh pada perayaan-perayaan mereka.”

Al-Baihaqi (458 H) meriwayatkan dengan Isnad Jayyid (rantai periwayatan yang baik) dari ‘Abdullah bin ‘Amr Rodhiyallahu ‘Anhuma bahwa beliau berkata:

مَنْ مَرَّ بِبِلَادِ الأَعَاجِمِ فَصَنَعَ نَيْرُوزَهُمْ وَمِهْرَجَانَهُمْ وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوتَ وَهُوَ كَذَلِكَ حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْمَ القِيَامَةِ

Barangsiapa melewati negeri-negeri Al-A’ajim (orang-orang non-Arab) lalu ia merayakan Nawruz (hari raya Persia) dan Mahrojan (perayaan kuno Persia) mereka, dan ia menyerupai mereka hingga ia meninggal dalam keadaan demikian, maka ia akan dikumpulkan bersama mereka pada Hari Kiamat.” (Ahkam Ahl Adz-Dzimmah, Ibnu Al-Qoyyim, 1/723-724)

Bab 3: Maksiat yang Mengalir di Malam Pergantian Tahun

Selain ancaman aqidah berupa tasyabbuh dan pengagungan syiar kufur, malam pergantian tahun Masehi telah menjadi malam puncak maksiat secara global. Malam ini seolah menjadi pembenaran kolektif bagi banyak orang untuk melepaskan segala batas moral dan Syari’at. Seorang Muslim, yang diperintahkan untuk menjauhi dosa kapan pun, memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk menghindar dari lingkungan yang secara terang-terangan diisi oleh maksiat dan kemungkaran.

3.1. Bahaya Mabuk dan Khomr (Minuman Keras)

Tak terpisahkan dari perayaan tahun baru adalah konsumsi khomr (minuman keras) dan segala jenis zat yang memabukkan. Minuman ini adalah induk dari segala kejahatan, sebagaimana disabdakan oleh Nabi . Ia merusak akal, menghilangkan rasa malu (haya’), dan membuka pintu lebar-lebar menuju zina, pembunuhan, dan berbagai kerusakan lainnya. Syari’at Islam dengan tegas mengharomkan setetes pun dari khomr, apalagi menjadikannya bagian dari perayaan tahunan.

Dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits tentang haromnya khomr dan segala yang memabukkan:

[1] Alloh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk menjauhi khomr karena ia adalah perbuatan setan.

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya khomar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Ma’idah: 90)

Ayat ini jelas. Khomr adalah rijs (keji) dan amal Syaithon. Perintahnya adalah fajtanibuh (maka jauhilah ia), yang merupakan perintah untuk menjauhi secara total, tidak hanya meminumnya tetapi juga tempat-tempat yang menyediakan dan mengagungkannya. Perayaan tahun baru seringkali menjadi sarang bagi perbuatan keji ini. Akal adalah nikmat terbesar yang harus dijaga dari racun miras; mengorbankan akal demi euforia sesaat adalah kerugian yang nyata di dunia dan akhirat.

[2] Nabi menegaskan laknat bagi sepuluh pihak yang terlibat dalam khomr.

Dari Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhu, Rosulullah bersabda:

«لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ، وَشَارِبَهَا، وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَمُبْتَاعَهَا، وَعَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ»

Alloh melaknat khomr, peminumnya, penuangnya, penjualnya, pembelinya, pemerasnya, yang minta diperaskan, pembawanya, yang dibawakan kepadanya.” (HSR. Abu Dawud no. 3674)

Hadits ini menunjukkan bahwa dosa khomr menyebar luas dan melibatkan siapa pun yang berpartisipasi dalam peredaran atau perayaan yang menggunakannya. Menghadiri pesta tahun baru yang ada khomr-nya adalah setidaknya termasuk dalam kategori ‘yang dibawakan kepadanya’, jika tidak menjadi penuang. Seorang Muslim seharusnya menjaga dirinya dari segala bentuk laknat, dan meninggalkan maksiat kolektif adalah jalan satu-satunya.

3.2. Zina dan Pintu-Pintu Pembukaannya

Malam pergantian tahun juga terkenal sebagai malam percampuran bebas (ikhtilath) antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom. Kondisi keramaian, kegelapan, dan hilangnya akal akibat khomr seringkali menjadikan malam tersebut sebagai pintu masuk yang sangat subur bagi zina. Islam memerintahkan kita untuk menjauhi zina dan segala sesuatu yang mendekatkannya.

Dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits tentang larangan mendekati zina dan perintah menjaga pandangan/kehormatan:

[1] Larangan tegas dari Alloh untuk mendekati zina.

﴿وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا﴾

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isro’: 32)

Alloh tidak hanya mengatakan jangan ber zina, tetapi “janganlah kamu mendekati zina”. Segala pemicu dan sarana menuju zina harus dihindari, termasuk ikhtilath di keramaian. Malam tahun baru adalah sarana yang sangat berbahaya, karena ia menghapus rasa malu yang merupakan perhiasan dan benteng seorang Mu’min. Jika hati sudah terpatri takut kepada Alloh, maka kita akan lari dari tempat yang berpotensi menyeret kita pada perbuatan keji tersebut.

[2] Perintah untuk menjaga pandangan sebagai benteng awal.

﴿قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ﴾

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Alloh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30)

Perintah ini adalah pertahanan pertama bagi kemurnian hati. Di tengah ikhtilath massal malam tahun baru, menjaga pandangan adalah perkara yang hampir mustahil. Dengan menjauhi keramaian tersebut, kita telah melaksanakan perintah Alloh untuk menjaga pandangan dan kehormatan diri. Melindungi mata dari pandangan harom adalah perlindungan bagi hati dan kemaluan.

3.3. Keramaian, Musik, dan Kesiaan

Perayaan tahun baru selalu diiringi oleh pesta, konser musik, dan lahwul hadits (perkataan/perkara sia-sia) lainnya. Musik-musik yang melalaikan adalah alat utama setan untuk menjauhkan manusia dari Dzikrullah (mengingat Alloh) dan Sholat. Seorang Muslim diperintahkan untuk menggunakan waktu luang untuk ketaatan, bukan menghabiskannya dalam kegembiraan yang melalaikan dari Alloh.

Dalil-dalil Hadits atau atsar tentang celaan terhadap alat-alat musik dan lahwul hadits:

[1] Ancaman keras bagi mereka yang lalai dan lebih memilih hiburan yang melalaikan dari Al-Qur’an.

﴿وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ﴾

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan lahwul hadits (perkataan yang tidak berguna) untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Alloh tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman: 6)

Mayoritas Mufassirin (ahli tafsir), termasuk Ibnu Mas’ud Rodhiyallahu ‘Anhu (32 H), menafsirkan lahwul hadits di sini sebagai musik dan nyanyian yang melalaikan. Malam tahun baru yang dipenuhi konser dan keramaian adalah perwujudan nyata dari lahwul hadits. Kita harus memilih: menghabiskan malam dengan mendengarkan Kalamullah (Al-Qur’an) atau lahwul hadits yang bisa menyesatkan dari Alloh? Waktu adalah pedang yang harus digunakan untuk taat, jangan sampai ia menjadi saksi di Hari Kiamat atas kelalaian kita.

[2] Peringatan Nabi tentang kemunculan alat-alat musik dan khomr di akhir zaman.

Dari Abu Malik Al-Asy’ari Rodhiyallahu ‘Anhu, Nabi bersabda:

«لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ، يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ وَالحَرِيرَ، وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ»

“Sungguh, akan ada dari Ummah-ku kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutra (bagi lelaki), khomr, dan alat-alat musik (ma’azif).” (HR. Al-Bukhori no. 5590)

Hadits yang shohih ini seolah menggambarkan malam tahun baru secara sempurna. Di satu malam, tiga hal yang dilarang (alat musik, khomr, dan zina) seringkali berkumpul. Perayaan tahun baru adalah penampakan zaman yang seakan menghalalkan apa yang Alloh haromkan. Seorang Muslim yang berpegang teguh pada Sunnah harus menjauhi majelis yang menghimpun ketiga maksiat besar ini agar tidak termasuk golongan yang digambarkan Nabi .

Bab 4: Boros dan Lalai

Agama kita mengajarkan keseimbangan dalam segala hal (wasathiyyah). Salah satu prinsip etika Islam yang paling ditekankan adalah larangan isrof (berlebihan) dan tabdzir (pemborosan). Di sisi lain, Islam adalah agama yang menghargai waktu dan mengingatkan pemeluknya untuk tidak lalai (ghoflah) terhadap tujuan penciptaan mereka dan semakin dekatnya kematian. Malam tahun baru Masehi ironisnya adalah perwujudan dari kedua hal yang dilarang ini: menghamburkan harta untuk kesia-siaan, dan menghabiskan waktu dengan kelalaian total.

4.1. Tabdzir (Pemborosan) Harta dan Badan

Kembang api, petasan, pesta, dan jamuan besar-besaran adalah pemandangan umum saat malam tahun baru. Semua ini membutuhkan biaya yang fantastis, yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kebutuhan yang lebih mendesak bagi Ummah, atau bahkan sekadar untuk membantu fakir miskin. Tabdzir bukan hanya menghabiskan harta di jalan yang harom, tetapi juga menghabiskannya untuk hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Musyrif (orang yang berlebihan) telah diingatkan Al-Qur’an bahwa ia adalah saudara setan.

Dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits tentang larangan Tabdzir dan Isrof (berlebihan):

[1] Peringatan keras Alloh Subhanahu wa Ta’ala tentang pemborosan dan tabdzir.

﴿وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا * إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا﴾

“Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Alloh.” (QS. Al-Isro’: 26-27)

Ayat ini adalah peringatan yang sangat menakutkan: orang yang boros (mubadzdziriin) disebut sebagai saudara setan. Perayaan tahun baru adalah salah satu contoh tabdzir terbesar, di mana harta dibakar menjadi kembang api dan dihabiskan untuk hiburan yang melalaikan. Harta adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di Hari Kiamat. Jika kita menghamburkannya untuk hal yang diharomkan atau sia-sia, kita telah memilih menjadi saudara setan dan mempertaruhkan Hisab kita di Akhirat.

[2] Larangan keras Nabi terhadap pemborosan air, bahkan saat berwudhu.

Nabi melewati Sa’d Rodhiyallahu ‘Anhu yang sedang berwudhu, lalu beliau bersabda, “Apa-apaan Isrof (pemborosan) ini wahai Sa’d?” Sa’d bertanya, “Apakah dalam wudhu ada pemborosan?” Beliau menjawab,

«نَعَمْ، وَإِنْ كُنْتَ عَلَى نَهَرٍ جَارٍ»

“Ya, meskipun kamu berada di sungai yang mengalir.” (HHR. Ibnu Majah no. 425)[1]

Jika isrof dalam penggunaan air suci untuk ibadah (wudhu) saja dilarang oleh Nabi , bagaimana mungkin kita membenarkan pemborosan jutaan, bahkan miliaran rupiah untuk pesta dan petasan di malam tahun baru yang sudah jelas bernuansa maksiat dan tasyabbuh? Larangan ini menunjukkan betapa Islam mencintai efisiensi dan menjauhi tabdzir dalam segala aspek kehidupan.

4.2. Melupakan Kematian dan Ghoflah

Pergantian tahun seharusnya memicu kesadaran bahwa jatah umur kita berkurang satu tahun. Ini adalah momen untuk muhasabah, bukan untuk pesta pora. Namun, perayaan tahun baru justru membalikkan logika ini, menjadikannya perayaan atas sisa waktu yang makin sedikit. Hal ini menumbuhkan ghoflah (kelalaian) terhadap kematian, Hisab, dan kewajiban utama kita di dunia ini: beribadah kepada Alloh.

Dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits tentang pentingnya mengingat mati dan Hari Akhir:

[1] Perintah untuk mengingat kematian dan kesia-siaan hidup dunia jika tidak diisi ketaatan.

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ * وَأَنفِقُوا مِن مَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari Dzikrullah (mengingat Alloh). Dan barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesal), ‘Ya Robbku, sekiranya Engkau menunda (kematian)ku sebentar saja, maka aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang sholih.’” (QS. Al-Munafiqun: 9-10)

Perayaan tahun baru adalah bentuk nyata dari kelalaian (ghoflah) yang melupakan Dzikrullah. Pesta semalam suntuk menjauhkan kita dari muhasabah dan mempersiapkan diri untuk hari esok yang mungkin tidak pernah tiba. Setiap detik yang kita habiskan dalam ketaatan adalah langkah menuju Alloh. Jangan sampai kita menyesal di Hari Akhir, memohon waktu sebentar saja, sementara kita telah menyia-nyiakan malam-malam yang berharga untuk hal yang sia-sia.

[2] Nasihat Nabi untuk memanfaatkan waktu sebelum datangnya penyesalan.

Dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma, Nabi bersabda:

«اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هِرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاءَكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ»

“Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HSR. Al-Hakim no. 7846(

Malam tahun baru adalah manifestasi dari waktu luang (farogh) yang disalahgunakan. Daripada mengisinya dengan maksiat dan ghoflah, seorang Muslim sejati akan mengisinya dengan ketaatan, Sholat malam (Qiyamul Lail), dan muhasabah. Mengingat mati bukan berarti tidak menikmati hidup, tetapi menikmati hidup dengan cara yang mendatangkan pahala, bukan dosa.

4.3. Kewajiban Nasihat dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Melihat maksiat dan ghoflah yang menjamur di malam tahun baru, seorang Muslim memiliki kewajiban moral dan agama untuk memberikan nashihat dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran) sesuai kemampuannya. Meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar adalah tanda kelemahan iman dan dapat mendatangkan hukuman kolektif dari Alloh.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri Rodhiyallahu ‘Anhu, Rosulullah bersabda:

«مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ»

“Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)

Perayaan tahun baru yang diisi maksiat adalah kemungkaran yang kasat mata. Sebagai Muslim, kita tidak boleh diam. Setidaknya, jika kita tidak mampu mengubahnya dengan tangan atau lisan (misalnya melalui tulisan seperti buku ini atau menyebarkannya), kita harus membencinya dengan hati, dan ini adalah benteng terakhir iman dalam bab ini. Cinta sejati adalah yang mengajak pada Sholat dan menjauhi maksiat. Jika kita mencintai saudara kita, kita akan menasihati mereka untuk menjauhi malam ghoflah tersebut.

Hadits yang menunjukkan bahwa agama adalah nashihat: Dari Tamim Ad-Darimi Rodhiyallahu ‘Anhu, Nabi bersabda:

«الدِّينُ النَّصِيحَةُ»، قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: «لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ»

“Agama adalah nasihat.” Kami (para Shohabat) bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Alloh, Kitab-Nya, Rosul-Nya, para pemimpin Muslim, dan seluruh kaum Muslimin.” (HR. Muslim no. 55)

Menulis buku ini adalah bentuk nashihat kepada seluruh kaum Muslimin. Nashihat yang paling utama adalah menyelamatkan mereka dari maksiat dan syirik. Mengajak Ummah untuk menjauhi perayaan yang merusak harta, waktu, dan aqidah adalah puncak dari nashihat diniyyah (agama). Kita berharap nashihat ini diterima dengan hati terbuka.

Bab 5: Jalan Kembali Menuju Alloh

Setelah kita menelisik akar sejarah pagan, bahaya aqidah berupa tasyabbuh, serta limpahan maksiat dan tabdzir yang menyertai perayaan Tahun Baru Masehi, kini tiba saatnya kita menutup tirai dan membuka lembaran baru dengan jalan yang benar. Seorang Muslim sejati tidak mencari kebahagiaan dalam ghoflah (kelalaian) atau tradisi kufur, melainkan dalam ketaatan yang konsisten dan muhasabah (introspeksi) yang mendalam.

Jalan kembali menuju Alloh adalah jalan yang selalu terbuka lebar melalui taubat (pertobatan) dan penggantian keburukan dengan kebaikan.

5.1. Doa dan Qiyamul Lail

Mengganti perayaan duniawi yang melalaikan dengan ibadah yang mendekatkan kepada Alloh adalah solusi terbaik bagi malam pergantian tahun. Daripada begadang untuk pesta sia-sia, seorang Muslim seharusnya menghidupkan malam dengan Sholat malam (Qiyamul Lail), Dzikrullah, Istighfar (memohon ampunan), dan doa. Inilah cara terbaik untuk menutup tahun yang berlalu: mengakui dosa dan memohon taufiq (kemudahan) untuk menjadi lebih baik di tahun yang akan datang.

Nabi bersabda tentang keutamaan Sholat malam setelah Fardhu (wajib). Dari Abu Hurairah Rodhiyallahu ‘Anhu, Rosulullah bersabda:

«أَفْضَلُ الصِّيَامِ، بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ، بَعْدَ الْفَرِيضَةِ، صَلَاةُ اللَّيْلِ»

“Puasa yang paling utama setelah bulan Romadhon adalah puasa syahrullah Al-Muharrom (bulan Alloh Muharrom), dan Sholat yang paling utama setelah Sholat Fardhu adalah Sholat malam (Sholatul Lail).” (HR. Muslim no. 1163)

Jika Sholat malam adalah ibadah non-Fardhu yang paling utama, maka menghabiskan malam pergantian tahun dengan Qiyamul Lail adalah pilihan yang sangat mulia, jauh lebih baik daripada menghabiskannya dengan maksiat. Bayangkan, saat orang-orang sibuk di jalanan dengan tabdzir dan ghoflah, kita justru sedang berdiri menghadap Alloh, memohon ampunan. Inilah kemenangan sejati.

Perintah Alloh Subhanahu wa Ta’ala untuk memperbanyak Istighfar di waktu sahur:

﴿وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

“Dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (Istighfar).” (QS. Adz-Dzariyat: 18)

Ayat ini menjelaskan salah satu sifat hamba Muttaqin (orang yang bertakwa). Memanfaatkan sepertiga malam terakhir, waktu di mana Alloh turun ke dunia, untuk Istighfar adalah tindakan muhasabah terbaik. Menutup lembaran tahun yang penuh dosa dengan permohonan ampunan adalah tanda hati yang hidup, bukan hati yang lalai oleh hiruk pikuk dunia.

Juga, Nabi tidak suka begadang setelah Isya. Abu Barzah Al-Aslami berkata:

وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا، وَالحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Nabi membenci tidur sebelum Isya dan ngobrol (begadang) setelahnya.” (HR. Bukhori no. 547)

5.2. Konsisten di Atas Sunnah dan Bersama Jama’ah

Kekuatan seorang Muslim terletak pada konsistensi (istiqomah) di atas Sunnah Nabi dan keterikatannya dengan Jama’ah (kelompok) yang berpegang teguh pada kebenaran. Menjauhi perayaan yang bukan Syari’at dan mengisi hari-hari dengan ketaatan adalah bentuk Istiqomah. Ketika fitnah merajalela, Istiqomah menjadi mata uang yang paling berharga.

Dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani Rodhiyallahu ‘Anhu, Nabi bersabda:

«فَإِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامَ الصَّبْرِ، الصَّبْرُ فِيهِ مِثْلُ قَبْضٍ عَلَى الْجَمْرِ، لِلْعَامِلِ فِيهِمْ مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِينَ رَجُلًا مِنْكُمْ»

“Sesungguhnya di depan kalian ada hari-hari kesabaran. Sabar pada hari itu seperti memegang bara api. Beramal pada hari itu seperti pahala 50 orang dari kalian.”  (HSR. Abu Dawud no. 4341)

Hari-hari yang kita hadapi kini, di mana maksiat seperti perayaan tahun baru dianggap biasa, adalah hari-hari kesabaran. Berpegang teguh pada larangan tasyabbuh dan menjauhi maksiat ini membutuhkan kesabaran yang besar, namun pahalanya pun berlipat ganda. Ini adalah motivasi terkuat untuk menjauhi syiar asing dan kembali kepada Sunnah murni.

Alloh menyuruh untuk berpegang teguh pada tali Al-Qur’an dan Sunnah.

﴿وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Alloh, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imron: 103)

Tali Alloh adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Perayaan tahun baru dan maksiat adalah hal yang memecah belah Ummah dan menjauhkannya dari tali Alloh. Konsistensi di atas Sunnah akan menyatukan kita dan melindungi kita dari fitnah. Kita harus menjadi bagian dari Jama’ah yang berpegang pada kebenaran, bukan Jama’ah yang larut dalam perayaan kuffar.

Penutup

Perayaan Tahun Baru Masehi harus ditinggalkan karena dua alasan utama:

1.  Ancaman Aqidah: Ia adalah tasyabbuh (menyerupai) kaum kuffar yang berakar pada penyembahan dewa-dewa pagan (Janus, Mars, dll.) dan pengagungan syiar yang bukan berasal dari Syari’at Islam.

2.  Limpahan maksiat: Ia menjadi malam puncak di mana khomr, zina, musik yang melalaikan, dan tabdzir (pemborosan harta) diagungkan secara kolektif, disertai ghoflah (kelalaian) total terhadap kematian.

Jangan jual agama Anda, jangan jual waktu Anda, dan jangan jual kehormatan Anda hanya demi euforia semalam yang berujung dosa. Waktu adalah kehidupan. Mari kita isi sisa umur ini dengan ketaatan, muhasabah, dan persiapan menuju pertemuan abadi dengan Alloh.

Semoga Alloh menerima nashihat ini sebagai amal sholih dan menguatkan hati kita di atas Shirot Mustaqim. Allohu a’lam.

 



[1] Awalnya dilemahkan oleh Al-Albani dalam beberapa tempat lalu beliau mengoreksi ulang dan menghasankannya di As-Shohihah no. 3292.


Unduh PDF dan Word

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url