[PDF] Membedah Klaim Keterikatan Asy’ariyah dengan Ahlussunnah wal Jama’ah - Alawi As-Saqqof
📚 Resensi Buku: Membedah Klaim
Keterikatan Asy’ariyah dengan Ahlussunnah wal Jama’ah
Buku Membedah
Klaim Keterikatan Asy’ariyah dengan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah sebuah
risalah ilmiah yang ditulis oleh Alawi bin Abdil Qodir As-Saqqof, yang juga
merupakan Pengawas Umum Yayasan Ad-Duror As-Saniyyah. Edisi pertama buku
ini diterbitkan oleh Pustaka Syabab pada tahun 1447 H (2025), dengan judul asli
dalam bahasa Arob: Naqdh Da’wa Intisab al-Asya’iroh li Ahlis Sunnah wal Jama’ah.
Penerjemah buku ini adalah Nor Kandir, ST., BA.
Buku ini
hadir untuk menguji dan membedah klaim yang dilontarkan oleh kalangan Asy’ariyah
kontemporer yang menyematkan gelar Ahlussunnah wal Jama’ah kepada diri mereka
sendiri. Penulis berargumen bahwa klaim ini bertentangan dengan prinsip-prinsip
yang disepakati oleh Salafus Sholih, yaitu para Shohabat, Tabi’in, dan para
imam pada kurun waktu terbaik.
📝 Tujuan Utama Penulisan
Tujuan
utama dari risalah ini adalah menjelaskan kebenaran dengan menimbang klaim
tersebut melalui penelitian yang mendalam dan objektif, yang berlandaskan dalil
dari Al-Kitab, Sunnah, dan ijma’ Salaf. Penulis berharap risalah ini dapat
menyatukan umat Muslim di atas kebenaran, yaitu manhaj Salaf yang dianggap
sebagai jalan lurus yang membawa keselamatan.
💡 Tiga Persoalan Pokok yang
Dibedah
Penulis
memilih tiga persoalan dalam Tauhid dan ‘Aqidah yang dianggap paling mencolok
menunjukkan perbedaan antara kalangan Asy’ariyah dengan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ketiga masalah tersebut adalah:
1. Masalah Iman
Keyakinan
Asy’ariyah:
Kalangan
Asy’ariyah meyakini bahwa Iman itu hanyalah pembenaran di dalam hati (tashdiq)
saja. Pendapat ini dinukilkan dari tokoh-tokoh mereka, seperti:
Abu Bakar
al-Baqillani (403 H): “Iman kepada Alloh Azza wa Jalla adalah pembenaran
dengan hati...” (Al-Inshof fima Yajibu I’tiqoduhu wala Yajuzu al-Jahlu bihi,
hal. 22).
Al-Juwaini
(478 H): “Hakikat iman adalah membenarkan Alloh Ta’ala...” (Al-Irsyad
ila Qowathi’ al-Adillah fi Ushul al-I’tiqod, hal. 415).
Asy-Syahrostani
(548 H): “...ucapan dengan lisan dan amal dengan anggota badan, maka itu
hanyalah cabang-cabangnya” (Al-Milal wa an-Nihal, 1/101).
Keyakinan
Salaf:
Keyakinan
ini jelas menyelisihi kesepakatan Salaf Ahlussunnah wal Jama’ah, yang meyakini
bahwa Iman mencakup perkataan dan perbuatan. Dalil-dalil yang disajikan
mencakup:
Dari
Al-Kitab: Firman
Alloh Ta’ala yang menjadikan Sholat sebagai Iman, seperti dalam (QS.
Al-Baqoroh: 143). Imam Al-Bukhori (256 H) dan Imam Ahmad (241 H) berpendapat
bahwa Sholat adalah bagian dari Iman.
Dari
Sunnah: Rosululloh ﷺ
bersabda bahwa Iman memiliki 70 lebih cabang, di mana yang paling utama adalah
ucapan (Laa ilaha illallah), yang paling rendah adalah perbuatan
(menyingkirkan gangguan dari jalanan), dan amalan hati (rasa malu) juga
termasuk Iman (HR. Al-Bukhori no. 9 dan Muslim no. 35).
Dari Ijma’
Salaf: Para ulama
Salaf sepakat bahwa Iman adalah perkataan dan perbuatan, serta bisa bertambah
dan berkurang. Kesepakatan ini ditegaskan oleh Yahya bin Sa’id Al-Qoththon (198
H), Ahmad bin Hanbal (241 H), Imam Al-Bukhori (256 H), dan Ibnu Abdil Barr (463
H).
2. Sifat Ketinggian (Uluw) dan Keberadaan Alloh Ta’ala di Atas
Keyakinan
Asy’ariyah:
Kalangan
Asy’ariyah membuat pendapat bahwa Alloh itu tidak di dalam alam dan tidak di luar
alam, tidak di atas dan tidak pula di bawah. Mereka mengingkari sifat
ketinggian (uluw) dan keberadaan Alloh di langit. Pendapat ini didukung
oleh tokoh-tokoh mereka, seperti:
Al-Qusyairi
(465 H): “Dia tidak memiliki arah maupun tempat, dan tidak pula berlaku
bagi-Nya waktu dan zaman” (Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, 1/32).
Al-Ghozali
(505 H): “...wajib melakukan takwil berdasarkan dalil-dalil logika tersebut” (Tahafut
al-Falasifah, hal. 293).
Fakhruddin
Ar-Razi (606 H): “Sang Pencipta Subhanahu wa Ta’ala itu ada,
namun tidak di dalam alam dan tidak di luar alam...” (Al-Matholib al-‘Aliyah
min al-‘Ilm al-Ilahi, 7/50).
Keyakinan
Salaf:
Ahlussunnah
wal Jama’ah menetapkan sifat ketinggian (Uluw) bagi Alloh dan meyakini
bahwa Dia berada di atas langit. Dalil-dalil yang disajikan mencakup:
Dari
Al-Kitab: Terdapat
puluhan ayat yang menunjukkan ketinggian Alloh, terkadang dengan redaksi
pengangkatan (rof’u), kenaikan (‘uruj), pendakian (shu’ud),
atau penurunan (nuzul) dari sisi-Nya. Contoh ayat yang disajikan:
Firman
Alloh Ta’ala: “Apakah kalian merasa aman terhadap (Alloh) yang di
langit...” (QS. Al-Mulk: 16).
Firman
Alloh Ta’ala: “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik...” (QS.
Fathir: 10).
Dari
Sunnah:
Rosululloh ﷺ
bersabda: “...aku adalah orang kepercayaan dari (Alloh) yang ada di atas
langit? Berita dari langit datang kepadaku pagi dan sore...” (HR. Al-Bukhori
no. 4351 dan Muslim no. 1064).
Hadits
tentang pertanyaan Rosululloh ﷺ kepada budak perempuan: “Di
mana Alloh?” Ia menjawab: “Di langit.” Lalu Rosululloh ﷺ
bersabda: “Merdekakanlah dia, karena sungguh ia adalah seorang wanita yang
beriman” (HR. Muslim no. 537).
Perbuatan
mengangkat kedua tangan ke arah langit saat berdoa juga menjadi bukti yang tak
terhitung banyaknya.
Dari
Ijma’ Salaf: Para
ulama Salaf telah sepakat atas ketinggian Alloh dan keberadaan-Nya di atas,
serta bahwa Dia berada di langit. Kesepakatan ini ditegaskan oleh Imam Utsman
bin Sa’id Ad-Darimi (280 H), Al-Hafizh Abu Nu’aim Al-Ashbahani (430 H), dan
Ibnu Abdil Barr (463 H).
3. Sifat Kalam (Berfirman) Bagi Alloh Azza Wa Jalla
Keyakinan
Asy’ariyah:
Asy’ariyah
menetapkan Kalam Nafsi (firman di dalam diri) bagi Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Mereka mengingkari bahwa Alloh berbicara dengan suara yang terdengar dan huruf
yang dibaca. Pendapat ini didukung oleh tokoh-tokoh mereka, seperti:
Al-Baqillani
(403 H): “Wajib diketahui bahwa Alloh Ta’ala, firman-Nya yang qodim
(terdahulu) tidaklah disifati dengan huruf maupun suara” (At-Tamhid, hal.
94).
Abu Al-Ma’ali
Al-Juwaini (478 H): “Berbicara menurut pengikut kebenaran (Ahlu Haqq) adalah
makna yang ada di dalam diri, bukan berupa huruf dan bukan suara”.
Al-Ghozali
(505 H): “Musa ‘alaihis salam mendengar firman Alloh tanpa suara dan
tanpa huruf!” (Qowa’id al-’Aqo’id, hal. 59).
Keyakinan
Salaf:
Ahlussunnah
wal Jama’ah menetapkan bahwa Alloh berbicara kapan pun Dia kehendaki dengan
suara dan huruf. Kalam Nafsi tidak dikenal oleh bangsa Arob. Dalil-dalil yang
disajikan mencakup:
Dari
Al-Kitab:
“Dan Alloh
telah berbicara kepada Musa secara langsung” (QS. An-Nisa: 164).
“...segolongan
dari mereka mendengar firman Alloh” (QS. Al-Baqoroh: 75).
Dari
Sunnah: Hadits yang
membedakan antara bisikan jiwa (hadits nafsi) dengan pembicaraan (kalam): “Sungguh
Alloh memaafkan bagi umatku apa yang dibisikkan oleh jiwanya, selama ia belum
mengerjakannya atau membicarakannya” (HR. Al-Bukhori no. 5269 dan Muslim no.
127). Hadits tentang sholat juga menunjukkan bahwa kalam (pembicaraan)
membatalkan Sholat, sementara bisikan jiwa tidak.
Dari
Ijma’ Salaf:
Abu Nashr
As-Sijzi (444 H) berkata: “Telah terjalin kesepakatan di antara orang-orang
berakal bahwa yang namanya pembicaraan (kalam) itu pastilah berupa huruf dan
suara” (Risalah As-Sijzi ila Ahli Zubaid, hal. 118).
Al-Muwaffaq
Ibnu Qudamah (620 H): “...kita telah sepakat bahwa Musa mendengar firman Alloh Ta’ala
dari-Nya tanpa perantara, dan suara adalah apa yang didengar” (Al-Burhan fi
Bayan Al-Qur’an, hal. 158).
✍️ Kesimpulan Penulis
Buku ini
menyimpulkan bahwa setelah diuji dengan dalil-dalil dan ijma’ Salaf, klaim
keterikatan Asy’ariyah dengan manhaj Salaf Ahlussunnah wal Jama’ah tidaklah
terbukti benar. Hal ini dikarenakan adanya pertentangan nyata dalam masalah
Iman, ketinggian Alloh di atas makhluk-Nya, serta firman Alloh Subhanahu.
Penulis menekankan bahwa kebenaran dicapai melalui dalil, bukan sekadar
pengakuan atau penyandaran diri.
Ahlussunnah
wal Jama’ah (para Salaf) beriman kepada Alloh sesuai dengan apa yang Dia
sifatkan untuk diri-Nya tanpa menyerahkan maknanya (tafwiidh), tanpa
memalingkan maknanya (takwil), tanpa meniadakan sifat-Nya (tathil),
tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk (tamtsil), dan tanpa menanyakan
bagaimana hakikatnya (takyif).
