Cari Ebook

Mempersiapkan...

[PDF] Biografi Abdullah bin Umar (86 H) Sang Pengikut Setia - Nor Kandir

Muqoddimah

Abdullah bin Umar bin Al-Khoththob Rodhiyallahu ‘Anhuma adalah salah seorang Shohabat Rosulullah yang terkemuka. Sejarah hidupnya dipenuhi perjuangan, pengorbanan, ibadah, mengajar, dan sosial, serta kesabaran.

Cuplikan hidupnya kami ambil dari beberapa kitab siroh terkenal, terutama Thobaqot Ibnu Sa’ad, Hilyatul Auliya Abu Nu’aim, Siyar A’lamin Nubala Adz-Dzahabi, Al-Ishobah fi Tamyiz Shohabah Ibnu Hajar.

Bab 1: Data Diri dan Kehidupan Awal

1. Nasab

Nama dan nasab beliau adalah Abdullah bin Umar bin Al-Khoththob Al-Qurosyi Al-Adawi.

2. Kun-yah (Nama Panggilan)

Kun-yah Abdullah bin Umar adalah Abu ‘Abdurrohman.

3. Ibunda

Ibunda beliau, yang juga merupakan ibunda dari saudarinya, Hafshoh (istri Nabi ), adalah Zainab binti Mazh’un bin Habib Al-Jumhiyyah, saudari dari Utsman bin Mazh’un (Asad Al-Ghôbah, Ibnu Al-Atsir, 3/235).

4. Kelahiran

Abdullah bin Umar lahir dua tahun setelah Nabi diutus (setelah kenabian).

5. Keislaman dan Hijroh

‘Abdullah bin Umar masuk Islam bersama ayahnya, Umar bin Al-Khoththob Rodhiyallahu ‘Anhu, pada usia 4 tahun. Ini karena Umar masuk Islam pada tahun ke-6 kenabian. Beliau berhijroh ke Madinah sebelum ayahnya. Ketika Nabi wafat, umur ‘Abdullah bin Umar adalah 21 tahun (Asad Al-Ghôbah, Ibnu Al-Atsir, 3/236).

6. Keluarga dan Keturunan

Ibnu Umar memiliki 2 orang istri dan 4 milk yamin (budak wanita). Allôh Ta’ala memberinya 16 anak, yang terdiri dari 12 laki-laki dan 4 perempuan (Siyar A’lâm An-Nubalâ’, Adz-Dzahabi, 3/238).


 

Bab 2: Keilmuan dan Fatwa

1. Jumlah Hadits yang Diriwayatkan

‘Abdullah bin Umar meriwayatkan 2.630 Hadits (termasuk pengulangan).

Al-Bukhori dan Muslim (Asy-Syaikhôn) sepakat meriwayatkan 168 Hadits dari beliau.

Al-Bukhori meriwayatkan 81 Hadits secara mandiri (tidak ada di Muslim).

Muslim meriwayatkan 31 Hadits secara mandiri (tidak ada di Al-Bukhori) (Siyar A’lâm An-Nubalâ’, Adz-Dzahabi, 3/238).

2. Kedudukan dalam Fatwa dan Ilmu

Beliau mencapai derajat yang agung dalam ilmu, hingga menjadi mujtahid dan mufti dari kalangan Shohabat yang mulia. Beliau menjadi sumber ilmu dari ayahandanya (Al-Faruq), Abu Bakar, Utsman, ‘Ali, Bilal, dan ‘Aisyah, selain Hadits yang beliau riwayatkan dari Nabi .

Imam Malik (179 H) berkata:

كان إمام الناس عندنا بعد زيد بن ثابت، عبدالله بن عمر، مكث ستين سنة يُفتي الناس

Imamnya manusia di sisi kami setelah Zaid bin Tsabit adalah ‘Abdullah bin Umar. Beliau berfatwa kepada manusia selama enam puluh tahun.” (Siyar A’lâm An-Nubalâ’, Adz-Dzahabi, 3/221).

Ibnu Hazm (456 H) berkata: “Shohabat yang paling banyak berfatwa adalah Umar dan putranya ‘Abdullah, ‘Ali, ‘Aisyah, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, dan Zaid bin Tsabit. Mereka hanya tujuh orang, dan fatwa masing-masing dari mereka dapat dikumpulkan menjadi satu kitab besar.” (Siyar A’lâm An-Nubalâ’, Adz-Dzahabi, 3/237-238).

Ibnu Syihab Az-Zuhri (124 H) berkata: “Pendapat ‘Abdullah bin Umar tidak dapat ditandingi, karena beliau tinggal (hidup) setelah Rosulullah selama 60 tahun, sehingga tidak ada satu pun perkara Nabi dan perkara Shohabat-Shohabat beliau Rodhiyallahu ‘Anhum yang tersembunyi darinya.” (Al-Bidâyah Wan-Nihâyah, Ibnu Katsir, 9/6).

3. Sikap Hati-hati dalam Berfatwa

Nâfi’ (pelayan dan murid beliau) berkata:

كان ابن عمر وابن عباس يجلسان للناس عند مقدم الحاج، فكنت أجلس إلى هذا يومًا، وإلى هذا يومًا، فكان ابن عباس يجيب ويُفتي في كل ما سُئل عنه، وكان ابن عمر يردُّ أكثر ممَّا يُفتي

Ibnu Umar dan Ibnu ‘Abbas biasa duduk untuk (memberi fatwa) kepada orang-orang saat kedatangan Jama’ah Hajj. Aku duduk bermajlis bersama Ibnu Abbas sehari, dan bersama Ibnu Umar sehari yang lain. Ibnu ‘Abbas menjawab dan berfatwa tentang segala hal yang ditanyakan kepadanya, sementara Ibnu Umar lebih banyak menolak untuk berfatwa daripada berfatwa.” (Siyar A’lâm An-Nubalâ’, Adz-Dzahabi, 3/222).

‘Uqbah bin Muslim berkata: “Ibnu Umar pernah ditanya tentang sesuatu, lalu beliau menjawab: ‘Aku tidak tahu.’ Kemudian beliau berkata: ‘Apakah kalian ingin menjadikan punggung kami sebagai jembatan di Jahannam? Lalu kalian berkata: Ibnu Umar berfatwa kepada kami dengan ini?’ (Al-Ishôbah, Ibnu Hajar Al-’Asqolâni, 2/340).

4. Nasihat Beliau tentang Ilmu

Al-Laits bin Sa’ad berkata: “Seseorang menulis surat kepada Ibnu Umar: ‘Tuliskanlah kepadaku seluruh ilmu.’ Maka beliau membalas:

إن العلم كثير؛ ولكن إن استطعت أن تلقى الله خفيف الظهر من دماء الناس، خميص البطن عن أموالهم، كاف اللسان عن أعراضهم، لازمًا لأمر جماعتهم، فافعل

Sesungguhnya ilmu itu banyak. Tetapi, jika engkau mampu bertemu dengan Allôh dengan punggung yang ringan dari darah manusia, perut yang kosong dari harta mereka, lisan yang tertahan dari menggunjing kehormatan mereka, dan tetap berpegang teguh pada urusan Jema’ah (persatuan) mereka, maka lakukanlah!’ (Siyar A’lâm An-Nubalâ’, Adz-Dzahabi, 3/222).


 

Bab 3: Ibadah dan Ketaqwaan

1. Mengikuti Jejak Rosulullah dengan Ketat

‘Abdullah bin Umar sangat intens dalam mengikuti jejak (Sunnah) Rosulullah .

Beliau singgah di tempat-tempat yang pernah disinggahi Rosulullah dan Sholat di setiap tempat beliau pernah Sholat.

Bahkan, suatu ketika Nabi pernah singgah di bawah sebuah pohon, maka Ibnu Umar merawat pohon itu dengan menyiramnya agar tidak menjadi kering (Asad Al-Ghôbah, Ibnu Al-Atsir, 3/236).

Al-Hâfizh Az-Zubaidi berkata dalam Al-Ithâf bahwa Ibnu Umar Sholat di tempat-tempat tersebut untuk mencari keberkahan (tabarruk).

Diriwayatkan dari Nâfi’, dari Ibnu Umar, bahwa Rosulullah bersabda:

«لَوْ تَرَكْنَا هَذَا الْبَابَ لِلنِّسَاءِ»

 Seandainya kita tinggalkan pintu ini untuk kaum wanita.

Nâfi’ berkata: “Maka Ibnu Umar tidak pernah masuk melalui pintu itu hingga beliau wafat.” (HSR. Abu Dawud, no. 439)

‘Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha berkata: “Aku tidak pernah melihat seseorang yang paling teguh berpegang pada perkara awal (Sunnah yang asli) selain Ibnu Umar.” (Siyar A’lâm An-Nubalâ’, Adz-Dzahabi, 3/211).

Abu Ja’far Al-Baqir (114 H) berkata: “Ibnu Umar, jika mendengar Hadits dari Rosulullah , beliau tidak menambah dan tidak mengurangi, dan tidak ada seorang pun yang seperti beliau dalam hal itu.” (Siyar A’lâm An-Nubalâ’, Adz-Dzahabi, 3/213).

2. Sholat Malam (Qiyamul Lail)

Al-Bukhori meriwayatkan, dari Ibnu Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma, bahwa beliau pernah bermimpi melihat dua Malaikat membawanya ke Neraka, lalu seorang Malaikat lain menemuinya dan berkata:

«لَنْ تُرَاعَ»

 “Engkau tidak perlu takut).”

Mimpi itu diceritakan kepada Hafshoh, lalu Hafshoh menyampaikannya kepada Nabi , yang kemudian bersabda:

«نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ، لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ»

Sebaik-baik laki-laki adalah ‘Abdullah, seandainya ia Sholat di malam hari.

Sâlim (putra Ibnu Umar) berkata: “Maka ‘Abdullah (Ibnu Umar) tidak tidur di malam hari kecuali sedikit saja.” (HR. Al-Bukhori no. 3738).

Cerita ini menunjukkan bahwa merutinkan Sholat malam termasuk sebab dijauhkan dari Neraka. Juga Sholat malam termasuk ciri orang sholih.

Nâfi’ berkata: “Ibnu Umar menghidupkan malam dengan Sholat, kemudian beliau berkata: ‘Wahai Nâfi’, apakah kita sudah memasuki waktu sahur?’ Aku menjawab: ‘Belum.’ Beliau kembali Sholat. Kemudian berkata lagi: ‘Wahai Nâfi’, apakah kita sudah memasuki waktu sahur?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Maka beliau duduk, beristighfâr, dan berdo’a hingga Shubuh.” (Hilyah Al-Auliyâ’, Abu Nu’aim Al-Ashfahâni, 1/303-304).

Nâfi’ berkata: “Jika Ibnu Umar Rodhiyallahu ‘Anhu luput Sholat ‘Isya’ berjama’ah, beliau menghidupkan sisa malamnya (dengan Sholat).” (Hilyah Al-Auliyâ’, Abu Nu’aim Al-Ashfahâni, 1/303).

3. Sholat Dhuha dan Amalan Lain

Thôwus bin Kaisân (106 H) berkata: “Aku tidak melihat orang yang Sholat dengan posisi seperti ‘Abdullah bin Umar, dan tidak pula orang yang paling khusyu’ menghadap Ka’bah dengan wajahnya, kedua telapak tangannya, dan kedua kakinya selain beliau.” (Hilyah Al-Auliyâ’, Abu Nu’aim Al-Ashfahâni, 1/304).

Nâfi’ berkata: “Ibnu Umar menghidupkan waktu antara Zhuhur sampai ‘Ashor (dengan Sholat sunnah).” (Hilyah Al-Auliyâ’, Abu Nu’aim Al-Ashfahâni, 1/304).

Muhammad bin Zaid berkata: “‘Abdullah bin Umar memiliki mihrôs (wadah air dari batu yang cekung) yang berisi air. Beliau Sholat sekehendaknya, kemudian pergi ke kasur dan tidur sekejap seperti tidurnya burung, kemudian bangun dan berwudhu, lalu Sholat, kemudian kembali ke kasurnya, dan tidur sekejap seperti tidurnya burung, kemudian bangkit dan berwudhu, lalu Sholat. Beliau melakukan itu empat atau lima kali dalam semalam.” (Al-Ishôbah, Ibnu Hajar Al-’Asqolâni, 2/341).

Hâbib bin Asy-Syahid bertanya kepada Nâfi’: “Apa yang Ibnu Umar lakukan di rumahnya?” Nâfi’ menjawab: “Kalian tidak akan sanggup melakukannya: Berwudhu untuk setiap Sholat, dan Mushaf (Al-Qur’an) di antara keduanya.” (Ath-Thobaqôt Al-Kubrô, Ibnu Sa’d, 4/170).

Maksud Mushaf di antara keduanya adalah setelah Sholat ia tilawah Al-Qur’an lalu Sholat lagi.

4. Shoum (Puasa)

Nâfi’ berkata: “Ibnu Umar tidak Shoum saat bepergian, dan beliau hampir tidak pernah tidak Shoum saat tidak bepergian (bermukim).” (Siyar A’lâm An-Nubalâ’, Adz-Dzahabi, 3/215).


 

Bab 4: Zuhud (Sederhana) dan Waro’ (Hati-hati)

1. Zuhud dan Tidak Tergiur Harta Dunia

Mimun bin Mihrôn (117 H) berkata: “Aku masuk ke rumah Ibnu Umar, lalu aku menaksir harga semua yang ada di rumahnya, baik kasur, selimut, permadani, dan segala sesuatu yang ada padanya, dan aku tidak mendapati nilainya mencapai seratus dirham (sekitar Rp 12 juta).” (Ath-Thobaqôt Al-Kubrô, Ibnu Sa’d, 4/165).

‘Ubaidullah bin ‘Ady (mantan budak Ibnu Umar) datang dari ‘Iroq dan menemuinya untuk mengucapkan salam. Ia berkata: “Aku membawakanmu hadiah.” Ibnu Umar bertanya: “Apa itu?” Ia menjawab: “Jawârîsy (sejenis obat).” Ibnu Umar bertanya: “Apa itu Jawârîsy?” Ia menjawab: “Pencerna makanan.” Maka Ibnu Umar berkata:

مَا مَلَأْتُ بَطْنِي طَعَامًا مُنْذُ أَرْبَعِينَ سَنَةً، فَمَا أَصْنَعُ بِهِ؟

Aku tidak pernah mengisi penuh perutku dengan makanan sejak 40 tahun yang lalu, jadi apa yang harus kulakukan dengannya?!” (Hilyah Al-Auliyâ’, 1/300; Ath-Thobaqôt Al-Kubrô, 4/165).

Ibnu Mas’ud Rodhiyallahu ‘Anhu berkata: “Pemuda Quroisy yang paling mampu menahan dirinya dari dunia adalah Ibnu Umar.” (Ath-Thobaqôt Al-Kubrô, Ibnu Sa’d, 4/144).

Jâbir bin ‘Abdillah Rodhiyallahu ‘Anhuma berkata: “Aku tidak melihat seorang pun yang tidak cenderung pada dunia atau dunia cenderung padanya kecuali ‘Abdullah bin Umar.” (Hilyah Al-Auliyâ’, Abu Nu’aim Al-Ashfahâni, 1/294).

2. Kedermawanan dan Infâq

Disamping zuhud, beliau adalah seorang yang sangat dermawan dan cepat membelanjakan hartanya di jalan Allôh, sampai-sampai beliau tidak memiliki sisa harta untuk dirinya sendiri.

Ayyûb bin Wâil Ar-Rôsibi berkata: “Suatu malam, 10.000 dirham (sekitar Rp 1,3 milyar) telah sampai kepada Ibnu Umar (4.000 dari Mu’âwiyah, 4.000 dari orang lain, 2.000 dari orang lain lagi) dan sehelai permadani. Keesokan harinya, aku melihatnya ke pasar mencari pakan untuk untanya dengan harga satu dirham (sekitar Rp 130.000) secara kredit (nasi’ah). Aku mendatangi istrinya, lalu ia (istrinya) berkata: ‘Demi Allôh, ia (Ibnu Umar) belum tidur hingga ia membagi-bagikannya semua. Ia mengambil permadani itu, meletakkannya di punggungnya, lalu pergi dan menghadiahkannya, kemudian kembali.’ Aku berkata (pada pedagang): ‘Wahai para pedagang, apa yang kalian lakukan dengan dunia ini, sementara Ibnu Umar semalam menerima 10.000 dirham murni, dan pagi ini ia mencari pakan untanya dengan satu dirham secara kredit?’” (Hilyah Al-Auliyâ’, Abu Nu’aim Al-Ashfahâni, 1/296-297).

Nâfi’ berkata: “Ibnu Umar biasa membagi-bagikan 30.000 dirham (sekitar Rp 3,9 milyar) dalam satu majelis, kemudian berlalu satu bulan dan beliau tidak makan sepotong pun daging di dalamnya.” (Hilyah Al-Auliyâ’, Abu Nu’aim Al-Ashfahâni, 1/296).

Nâfi’ berkata: “Ibnu Umar tidak wafat hingga beliau telah memerdekakan 1.000 budak atau lebih.” (Hilyah Al-Auliyâ’, Abu Nu’aim Al-Ashfahâni, 1/296).

Harga satu budak bermacam-macam. Sebagai acuan harga Bilal yang dibeli Abu Bakr dari Umayyah bin Kholaf adalah 9 uqiyah emas atau sekitar Rp 700 juta. Maka 1.000 budak yang pernah dimerdekakan Ibnu Umar sekitar 700 milyar (hampir 1 triliyun).

Nâfi’ berkata: “Mu’âwiyah (60 H) pernah mengirim 100.000 dirham (13 milyar) kepada Ibnu Umar, tetapi belum berlalu satu tahun, tidak ada sedikit pun harta itu yang tersisa padanya.” (Hilyah Al-Auliyâ’, Abu Nu’aim Al-Ashfahâni, 1/296).

Beliau pernah membeli lima orang budak. Ketika beliau sedang Sholat, budak-budak itu berdiri di belakang beliau dan ikut Sholat. Ibnu Umar bertanya: “Untuk siapa kalian Sholat ini?” Mereka menjawab: “Untuk Allôh.” Beliau berkata:

 أَنْتُمْ أَحْرَارٌ لِمَنْ صَلَّيْتُمْ لَهُ

Kalian merdeka bagi Siapa kalian Sholat untuk-Nya”, maka beliau memerdekakan mereka.

3. Memerdekakan Hamba yang Dicintai

‘Abdullah bin ‘Abi Utsman berkata: “‘Abdullah bin Umar memerdekakan budak perempuannya yang bernama Rumaitsah (budak wanita yang sangat baik dan cantik), dan berkata: ‘Sesungguhnya aku mendengar Allôh ‘Azza wa Jall berfirman dalam Kitab-Nya:

﴿ لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ﴾

Kalian tidak akan mencapai Al-Birr (kebajikan) hingga kalian menginfakkan sebagian dari apa yang kalian cintai.” (QS. Âli ‘Imrôn: 92)

Dan demi Allôh, sungguh aku mencintaimu di dunia: Pergilah, engkau merdeka karena wajah Allôh ‘Azza wa Jall.’“ (Hilyah Al-Auliyâ’, Abu Nu’aim Al-Ashfahâni, 1/295).

4. Kisah Penggembala yang Jujur

Nâfi’ berkata: “Ibnu Umar keluar ke suatu daerah di pinggiran Madinah bersama sahabat-sahabatnya. Mereka meletakkan hidangan, lalu lewatlah seorang penggembala kambing dan mengucapkan salam. Ibnu Umar berkata: ‘Kemarilah, wahai penggembala, makanlah dari hidangan ini.’ Penggembala itu menjawab: ‘Aku sedang Shoum (Puasa).’ Ibnu Umar berkata: ‘Apakah engkau Shoum pada hari yang panas terik ini, anginnya sangat kencang, sementara engkau dalam keadaan menggembala kambing-kambing ini?’ Penggembala itu berkata: ‘Demi Allôh, sesungguhnya aku bersegera (memanfaatkan) hari-hariku yang kosong ini.’ Ibnu Umar, yang ingin menguji kewaro’annya, berkata: ‘Maukah engkau menjual kepada kami seekor kambing dari kambing-kambingmu ini, lalu kami memberimu harganya, dan kami berimu sebagian dari dagingnya untuk engkau berbuka?’ Ia menjawab: ‘Ini bukan kambingku, ini adalah kambing tuanku.’ Ibnu Umar berkata: ‘Apa yang akan dilakukan tuanmu jika ia kehilangannya?’ Maka penggembala itu pergi menjauh darinya sambil mengangkat jarinya ke langit, seraya berkata:

«فَأَيْنَ اللهُ؟»

Maka di mana Allôh?

Ibnu Umar terus mengulang-ulang perkataan penggembala itu:

 «قَالَ الرَّاعِي فَأَيْنَ اللهُ؟»

Penggembala itu berkata: Maka di mana Allôh?’”

Ketika sampai di Madinah, Ibnu Umar mengutus seseorang kepada tuannya, lalu membeli kambing-kambing dan penggembala itu. Beliau memerdekakan penggembala itu dan menghibahkan kambing-kambing itu kepadanya. (Asad Al-Ghôbah, Ibnu Al-Atsir, 3/236-237).

5. Memberi Makan Anak Yatim

Abu Bakar bin Hafsh berkata: “‘Abdullah bin Umar tidak pernah makan makanan kecuali di khowân (meja makannya) ada anak yatim.”

Al-Hasan Al-Bashri (110 H) berkata: “Ibnu Umar, jika makan siang atau makan malam, beliau memanggil anak-anak yatim di sekitarnya. Suatu hari beliau makan siang, lalu mengutus (seseorang) kepada seorang anak yatim, tetapi tidak menemukannya. Beliau memiliki sawîqoh (bubur terigu yang manis) yang biasa beliau minum setelah makan siangnya. Anak yatim itu datang setelah mereka selesai makan siang, sementara di tangan Ibnu Umar ada sawîqoh yang akan diminumnya. Beliau menyodorkannya kepada anak yatim itu seraya berkata:

خُذْهَا، فَمَا أَرَاكَ غُبِنْتَ

 “Ambillah, aku tidak melihat engkau merugi.” (Hilyah Al-Auliyâ’, Abu Nu’aim Al-Ashfahâni, 1/299).

6. Waro’ dalam Pakaian dan Pujian

‘Umar bin Muhammad bin Qur’ah berkata: “Aku melihat Ibnu Umar mengenakan pakaian yang kasar. Aku berkata kepadanya: ‘Wahai Abu ‘Abdirrohman, aku membawakanmu pakaian yang lembut yang dibuat di Khurosan. Mataku akan merasa senang melihatnya dikenakan olehmu, karena pakaianmu kasar.’ Beliau berkata: ‘Tunjukkan padaku agar aku bisa melihatnya.’ Ia (Ibnu Umar) menyentuhnya dengan tangannya dan bertanya: ‘Apakah ini sutra?’ Aku menjawab: ‘Bukan, ini dari kapas.’ Beliau berkata:

إِنِّي أَخَافُ أَنْ أَلْبَسَهُ، أَخَافُ أَنْ أَكُونَ مُخْتَالًا فَخُورًا، وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Aku takut memakainya. Aku takut menjadi orang yang sombong dan membanggakan diri, padahal Allôh tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (Hilyah Al-Auliyâ’, Abu Nu’aim Al-Ashfahâni, 1/302).

Seorang pria berkata kepada Ibnu Umar: “Wahai sebaik-baik manusia, dan putra dari sebaik-baik manusia!” Maka Ibnu Umar berkata:

مَا أَنَا بِخَيْرِ النَّاسِ، وَلَا ابْنِ خَيْرِ النَّاسِ؛ وَلَكِنِّي عَبْدٌ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، أَرْجُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ، وَأَخَافُهُ، وَاللَّهِ لَنْ تَزَالُوا بِالرَّجُلِ حَتَّى تُهْلِكُوهُ

 Aku bukan sebaik-baik manusia, dan bukan pula putra dari sebaik-baik manusia. Tetapi aku adalah seorang hamba di antara hamba-hamba Allôh ‘Azza wa Jall, aku berharap kepada Allôh ‘Azza wa Jall dan aku takut kepada-Nya. Demi Allôh, kalian tidak akan berhenti memuji seseorang sampai kalian membinasakannya.” (Hilyah Al-Auliyâ’, 1/307; Shifah Ash-Shofwah, Ibnu Al-Jauzi, 1/579).

7. Kekhawatiran dari Allôh Ta’ala

Nâfi’ berkata: “Ibnu Umar masuk ke dalam Ka’bah, dan aku mendengarnya saat beliau sujud, beliau berkata:

قَدْ تَعْلَمُ يَا رَبِّي مَا يَمْنَعُنِي مِنْ مُزَاحَمَةِ قُرَيْشٍ عَلَى الدُّنْيَا إِلَّا خَوْفُكَ

Sungguh Engkau mengetahui, wahai Robb-ku, tidak ada yang mencegahku untuk berebut dunia dengan Quroisy selain rasa takutku kepada-Mu.” (Shifah Ash-Shofwah, Ibnu Al-Jauzi, 1/566; Asad Al-Ghôbah, Ibnu Al-Atsir, 3/238).

Nâfi’ berkata: “Ibnu Umar, jika membaca ayat ini:

 ﴿ أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ ﴾

Belumkah tiba waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allôh? (QS. Al-Hadîd: 16) beliau menangis sampai tangisan itu mengalahkannya (tak mampu membendungnya).” (Asad Al-Ghôbah, Ibnu Al-Atsir, 3/238)

Bahkan, terkadang ia membaca firman Allôh ‘Azza wa Jall:

﴿ وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ ﴾

Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang) hingga mencapai firman-Nya:

﴿ يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ ﴾

 Pada hari (ketika) manusia berdiri menghadap Robb semesta alam.” (QS. Al-Muthoffifîn: 1-6)

Lalu beliau menangis dan tangisannya semakin keras hingga ia tidak mampu melanjutkan bacaan karena banyaknya air mata. Kadang-kadang, ia mendengar satu ayat dan menangis hingga pakaian dan janggutnya basah karena banyaknya air mata dan limpahan tangisannya Rodhiyallahu ‘Anhu.

8. Menginfakkan Harta yang Paling Dicintai

Ibnu Umar sangat berhati-hati untuk mengamalkan ayat

 ﴿ لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ﴾

Kalian tidak akan mencapai Al-Birr (kebajikan) hingga kalian menginfakkan sebagian dari apa yang kalian cintai.” (QS. Âli ‘Imrôn: 92).

Beliau membeli seekor unta, dan ketika menaikinya, beliau terkesan dengan unta itu. Beliau berkata:

يَا نَافِعُ، أَدْخِلْهُ فِي إِبِلِ الصَّدَقَةِ

Wahai Nâfi’, masukkanlah ia ke dalam unta Shodaqoh (Zakat).

Beliau merindukan anggur yang baru datang (musim pertama). Istrinya mengirim satu dirham, lalu dibelikan satu tangkai. Pengantar itu diikuti oleh seorang pengemis. Ketika masuk, ia berteriak: “Pengemis, pengemis!” Ibnu Umar berkata:

أَعْطُوهُ إِيَّاهُ

Berikan itu kepadanya.” Istrinya mengirim dirham lain, dan hal serupa terjadi. Baru pada percobaan ketiga, setelah istrinya mengancam sang pengemis agar tidak datang lagi, barulah Ibnu Umar dapat memakan anggur itu.


 

Bab 5: Perkataan yang Berharga

Berikut adalah sebagian dari mutiara perkataan ‘Abdullah bin Umar:

«الْبِرُّ شَيْءٌ هَيِّنٌ: وَجْهٌ طَلْقٌ وَكَلَامٌ لَيِّنٌ» 

Kebajikan (birr) itu adalah sesuatu yang mudah: Wajah yang ceria (murah senyum) dan perkataan yang lembut.” (Asad Al-Ghôbah, Ibnu Al-Atsir, 3/238)

يَا بْنَ آدَمَ، صَاحِبِ الدُّنْيَا بِبَدَنِكَ، وَفَارِقْهَا بِقَلْبِكَ وَهَمِّكَ؛ فَإِنَّكَ مَوْقُوفٌ عَلَى عَمَلِكَ، فَخُذْ مِمَّا فِي يَدَيْكَ لِمَا بَيْنَ يَدَيْكَ عِنْدَ الْمَوْتِ يَأْتِيكَ الْخَيْرُ     

Wahai anak cucu Adam, dampingi dunia dengan badanmu, dan tinggalkanlah dengan hatimu dan perhatianmu. Karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban atas amalmu, maka ambillah apa yang ada di tanganmu untuk (bekal) yang ada di hadapanmu (di Akhirat). Ketika kematian datang kepadamu, maka akan datang kebaikan.         (Hilyah Al-Auliyâ’, 1/306)

لَا يَكُونُ الرَّجُلُ مِنَ الْعِلْمِ بِمَكَانٍ حَتَّى لَا يَحْسُدَ مَنْ فَوْقَهُ، وَلَا يَحْقِرَ مَنْ دُونَهُ، وَلَا يَبْتَغِيَ بِالْعِلْمِ ثَمَنًا  

Seseorang tidak akan mencapai kedudukan dalam ilmu, sampai ia tidak iri (dengki) kepada orang yang di atasnya, tidak meremehkan orang yang di bawahnya, dan tidak mencari harga (imbalan) dengan ilmu.” (Hilyah Al-Auliyâ’, 1/306)

لَأَنْ أَشْرَبَ قُمْقُمًا قَدْ أُغْلِيَ، أَحْرَقَ مَا أَحْرَقَ، وَأَبْقَى مَا أَبْقَى، أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَشْرَبَ نَبِيذَ الْخَمْرِ

Sungguh aku minum air mendidih yang telah direbus, yang membakar apa yang dibakarnya dan menyisakan apa yang disisakannya, lebih aku cintai daripada aku minum nabîdz khomr (minuman keras).” (Hilyah Al-Auliyâ’, 1/307)

أَحَقُّ مَا طُهِّرَ الْعَبْدُ لِسَانُهُ   

Anggota badan yang paling berhak disucikan oleh seorang hamba adalah lisannya.” (Hilyah Al-Auliyâ’, 1/307)


 

Bab 6: Perang dan Pengorbanan di Jalan Allôh

1. Partisipasi dalam Perang

Rosulullah ditawarkan Ibnu Umar pada Perang Uhud, padahal saat itu beliau berumur 14 tahun, namun Nabi tidak mengizinkannya.

Kemudian Nabi ditawarkan lagi pada Perang Khondaq, saat itu beliau berumur 15 tahun, maka Nabi mengizinkannya (HR. Al-Bukhori no. 2664).

Oleh karena itu, partisipasi pertama ‘Abdullah bin Umar adalah Perang Khondaq.

Beliau juga turut serta Perang Mu’tah bersama Ja’far bin Abi Tholib, turut serta Yarmûk, dan penaklukan Mesir dan Afrika (Asad Al-Ghôbah, Ibnu Al-Atsir, 3/236).

2. Menghindar dari Perang Saudara

‘Abdullah bin Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma dikenal sebagai salah satu Shohabat yang paling teguh memegang prinsip tidak ikut campur dalam pertikaian politik dan Fitnah yang terjadi setelah wafatnya Rosulullah , terutama saat terjadi perselisihan antara ‘Ali bin Abi Thôlib dan Mu’âwiyah Rodhiyallahu ‘Anhuma.

Meskipun beliau memiliki kekuatan fisik dan keberanian yang terbukti dalam banyak peperangan yang disahkan Rosulullah , Ibnu Umar memilih untuk menjauhkan diri dari pertempuran antar sesama Muslim.

Nâfi’ berkata: “Ibnu Umar masuk ke dalam Ka’bah, dan aku mendengarnya saat beliau sujud, beliau berkata:

 قَدْ تَعْلَمُ يَا رَبِّي مَا يَمْنَعُنِي مِنْ مُزَاحَمَةِ قُرَيْشٍ عَلَى الدُّنْيَا إِلَّا خَوْفُكَ

Sungguh Engkau mengetahui, wahai Robb-ku, tidak ada yang mencegahku untuk berebut dunia dengan Quroisy selain rasa takutku kepada-Mu.”

3. Pandangan Beliau tentang Sahabat

Ibnu Umar sangat menghormati para Shohabat dan memandang mereka sebagai teladan yang sempurna.

Al-Hasan Al-Bashri (110 H) meriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin Umar berkata:

مَنْ كَانَ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ، أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ ، كَانُوا خَيْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبَرَّهَا قُلُوبًا، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا، قَوْمٌ اخْتَارَهُمُ اللَّهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ وَنَقْلِ دِينِهِ، فَتَشَبَّهُوا بِأَخْلَاقِهِمْ وَطَرَائِقِهِمْ؛ فَهُمْ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ ، كَانُوا عَلَى الْهُدَى الْمُسْتَقِيمِ، وَاللَّهِ رَبِّ الْكَعْبَةِ

Barangsiapa yang ingin mengambil Sunnah, hendaklah ia mengambil Sunnah dari orang-orang yang telah wafat. Mereka adalah Shohabat Muhammad , mereka adalah sebaik-baik umat ini, yang paling baik hatinya, paling mendalam ilmunya, dan paling sedikit berlebihan (membebani diri). Mereka adalah kaum yang dipilih Allôh untuk menemani Nabi-Nya dan menyampaikan Din-Nya. Maka serupailah akhlak dan jalan hidup mereka; karena mereka adalah Shohabat Muhammad , demi Allôh Robb Al-Ka’bah, mereka berada di atas petunjuk yang lurus.”


 

Bab 7: Pujian dari Salaf Ash-Shôlih

Sa’id bin Al-Musayyib (94 H) berkata:

 لَوْ كُنْتُ شَاهِدًا لِرَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّهُ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ لَشَهِدْتُ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ

Seandainya aku bersaksi untuk seseorang dari kalangan ahli ilmu bahwa ia adalah penghuni Jannah, niscaya aku akan bersaksi untuk ‘Abdullah bin Umar.” (Shifah Ash-Shofwah, Ibnu Al-Jauzi, 1/566).

Sa’id bin Al-Musayyib juga berkata: “Ibnu Umar wafat pada hari wafatnya, dan tidak ada seorang pun di dunia ini yang aku lebih suka bertemu Allôh dengan amalan seperti amalannya selain beliau.” (Al-Bidâyah Wan-Nihâyah, Ibnu Katsir, 9/6).

Muhammad Ibnu Al-Hanifiyyah (81 H), putra ‘Ali bin Abi Thôlib Rodhiyallahu ‘Anhu, berkata:

كَانَ ابْنُ عُمَرُ خَيْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ

Ibnu Umar adalah sebaik-baik umat ini.” (Siyar A’lâm An-Nubalâ’, Adz-Dzahabi, 3/212).

Yakni di zamannya setelah wafatnya para Shohabat utama dan senior.

Hudzhaifah bin Al-Yamân Rodhiyallahu ‘Anhu berkata: “Tidak ada seorang pun di antara kami yang diselidiki (tentang amalnya) kecuali diselidiki tentang jâ’ifah (tusukan yang mencapai rongga) atau munqolah (tusukan yang memindahkan tulang) kecuali Umar dan putranya.” (Siyar A’lâm An-Nubalâ’, Adz-Dzahabi, 3/211).

Yakni Ibnu Umar tidak terlibat darah apapun dari Muslimin.

Abu Salamah bin ‘Abdirrohman bertanya kepada Ibnu Abi Lailâ: “Apakah Umar lebih utama di sisi kalian atau putranya?” Mereka menjawab: “Tentu Umar.” Ibnu Abi Lailâ berkata: “Sesungguhnya Umar hidup pada zaman yang ia memiliki banyak tandingan (orang-orang mulia yang setara dengannya), sedangkan Ibnu Umar hidup pada zaman yang ia tidak memiliki tandingan.” (Siyar A’lâm An-Nubalâ’, Adz-Dzahabi, 3/212).


 

Bab 8: Wafat Beliau

1. Tahun Wafat

‘Abdullah bin Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma wafat pada tahun 74 H.

2. Usia Beliau

Usia beliau saat wafat adalah 86 tahun. Beliau hidup hingga masa Bani Umayyah dan menyaksikan berbagai peristiwa dan fitnah yang menyertai masa tersebut.

3. Sebab Wafat

Diriwayatkan mengenai sebab wafatnya, bahwa Al-Hajjâj Ats-Tsaqofi (95 H) memerintahkan salah satu tentaranya untuk menusuk kaki Ibnu Umar dengan tombak beracun, setelah Ibnu Umar pernah membantahnya saat ia berkhutbah. ‘Abdullah Rodhiyallahu ‘Anhu pun sakit dan wafat karena tusukan itu.

Al-Hajjâj sempat menjenguknya, mengucapkan salam, namun Ibnu Umar tidak membalas Salamnya. Al-Hajjâj berbicara dengannya, namun beliau tidak menjawab. Kemudian ruhnya yang mulia berpisah dari jasadnya. Beliau dimakamkan di pemakaman Al-Muhâjirîn di Makkah, sebagaimana disebutkan dalam Siyar A’lâm An-Nubalâ’ dan Thobaqôt Ibnu Sa’d.

Semoga Allôh melimpahkan rohmat yang luas kepada ‘Abdullah bin Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma, dan membalas jasanya terhadap Islâm dengan sebaik-baik balasan.

Kami memohon kepada Allôh Ta’ala untuk mengumpulkan kita bersamanya di Firdaus Al-A’lâ dari Jannah.

Wa Shollallôhu wa Sallama ‘alâ Nabiyyinâ Muhammad, wa ‘alâ Âlihi, wa Shohbihi, wat-Tâbi’în lahum bi Ihsân ilâ Yaumid-Dîn.


Unduh PDF dan Word

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url