[PDF] Jahmiyyah - Sejarah, Pemikiran, dan Bantahannya dari Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma Salaf | Nor Kandir
PENDAHULUAN
Pentingnya Mempelajari
Tauhid dan Ancaman Bid’ah
Tauhid (mengesakan Alloh ﷻ) adalah dasar yang paling penting dari agama Islam, yang
merupakan tujuan penciptaan jinn dan manusia. Alloh ﷻ berfirman:
﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ
إِلَّا لِيَعْبُدُونِ﴾
“Tidaklah Aku ciptakan jinn dan manusia melainkan
agar mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Ibadah yang diterima oleh Alloh ﷻ
adalah yang dilandasi oleh Tauhid dan mengikuti contoh Rosululloh ﷺ (As-Sunnah). Jika Tauhid
adalah pondasi, maka lawan dari Tauhid adalah syirik (menyekutukan Alloh ﷻ),
dan syirik
adalah dosa yang tidak akan diampuni. Alloh ﷻ
berfirman:
﴿إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ
أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ﴾
“Sesungguhnya Alloh ﷻ
tidak akan mengampuni dosa Syirik kepada-Nya, dan Dia mengampuni dosa selain
itu bagi siapa yang Dia kehendaki.”
(QS. An-Nisa’: 48)
Bid’ah (perkara baru dalam agama) adalah
lawan dari As-Sunnah, dan ia merupakan pintu gerbang menuju penyimpangan
Aqidah. Rosululloh ﷺ telah memperingatkan bahaya bid’ah
dalam Aqidah dengan sangat keras. Beliau bersabda:
«فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ
كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ ﷺ، وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا،
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ»
“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah
Kitab Alloh ﷻ, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ﷺ, dan sejelek-jelek
perkara adalah yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR.
Muslim no. 867)
Tujuan mempelajari sejarah dan pemikiran
kaum seperti Jahmiyyah adalah untuk melindungi diri dan umat dari bid’ah yang mereka bawa,
karena bid’ah
dalam masalah Tauhid, seperti yang dilakukan oleh Jahmiyyah, dapat merusak
keimanan seseorang secara total. Rosululloh ﷺ bersabda:
«مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي
فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ
الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ»
“Sesungguhnya siapa yang hidup di antara kamu
maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kamu berpegang
teguh pada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa’ur Rosyidin yang diberi petunjuk,
gigitlah ia dengan gigi geraham.” (HR. Abu Dawud no. 4607)
Oleh sebab itu, memahami penyimpangan
Jahmiyyah dalam Aqidah, terutama dalam masalah Asma’ wa Shifat Alloh ﷻ,
adalah langkah penting untuk menjauh dari kesesatan dan tetap berada di atas
Manhaj Salaf (jalan para Shohabat dan Tabi’in).
Sekilas Tentang Firqoh Sesat dalam
Sejarah Islam
Sejak zaman awal Islam, umat Muslim telah
diperingatkan tentang munculnya perpecahan dan golongan-golongan yang
menyimpang dari jalan yang lurus. Rosululloh ﷺ telah mengabarkan bahwa perpecahan ini
pasti akan terjadi. Beliau bersabda:
«وَإِنَّ بَنِي
إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي
عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً»،
قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي»
“Orang-orang Yahudi berpecah menjadi 72 firqoh (golongan), dan umatku akan
berpecah menjadi 73 firqoh, semuanya masuk
Neraka kecuali satu.” Mereka bertanya: “Siapakah mereka (yang selamat) wahai
Rosululloh?” Jawab beliau: “Siapa yang mengikuti aku dan Shohabatku.” (HR. At-Tirmidzi no. 2641)
Dari sekian banyak golongan yang muncul,
hanya satu yang selamat, yaitu yang tetap berpegang teguh pada Aqidah
Rosululloh ﷺ dan para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum.
Secara umum, penyimpangan utama dalam Islam
terbagi dalam 3 kelompok besar, yaitu:
1. Khowarij: Kelompok yang
menyimpang dalam masalah penguasa dan
dosa besar (terutama dalam mengkafirkan Muslim),
didasari oleh pemahaman yang dangkal terhadap Nash (teks) Syar’i.
2. Syi’ah dan Rofidhoh: Kelompok
yang menyimpang dalam masalah Imamah (kepemimpinan), mengkafirkan Shohabat,
dan berlebihan (ghuluw) terhadap Ahli Bait.
3. Jahmiyyah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah,
dan sejenisnya: Kelompok yang menyimpang dalam masalah dalam memahami dan
menetapkan Asma’ wa Shifat (Nama dan Sifat-Sifat) Alloh ﷻ,
seringkali karena terpengaruh oleh Filsafat Yunani (manthiq).
Jahmiyyah yang menjadi fokus pembahasan
buku ini, adalah salah satu golongan bid’ah yang paling berbahaya. Mereka adalah cikal
bakal dari banyak penyimpangan Aqidah yang terjadi sesudahnya, terutama dalam
hal ta’thil (menolak dan menafikan Sifat-Sifat Alloh ﷻ).
Metode
Pembahasan dalam Buku
Buku ini disusun dengan
mengedepankan Manhaj Salaf (metode para pendahulu yang sholih, yaitu Shohabat
dan Tabi’in) dalam menghadapi pemikiran yang menyimpang. Metode yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Pemaparan Ayat dan Hadits: Setiap dalil
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah akan ditampilkan dalam teks Arab yang berharokat
penuh untuk menjamin keakuratan sumber.
2. Berpegang Teguh pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah: Semua dasar bantahan dan argumentasi diambil langsung dari sumber
utama Syari’at, tanpa didasarkan pada akal atau hawa nafsu. Alloh ﷻ
berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah
Alloh ﷻ dan taatilah Rosul ﷺ serta Ulil Amri (penguasa dan ulama) di
antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Alloh ﷻ (Al-Qur’an) dan Rosul ﷺ (As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman
kepada Alloh ﷻ dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (baik) dan lebih
baik akibatnya. (QS. An-Nisa’: 59)
3. Mengutamakan Ijma’ Salaf: Pemahaman
terhadap Nash Syar’i (Ayat dan Hadits) didasarkan pada pemahaman para Shohabat Rodhiyallahu
‘Anhum dan Imam Salaf seperti Imam Abu Hanifah Rohimahullah (150 H), Imam
Malik bin Anas (179 H), Imam Asy-Syafi’i Rohimahullah (204 H), dan Imam Ahmad
bin Hanbal Rohimahullah (241 H).
4. Menukil Ucapan Salaf:
Ucapan-ucapan dari Nabi ﷺ, Shohabat, dan Tabi’in akan dinukil secara
langsung sebagai bukti adanya konsensus (Ijma’) dalam membantah penyimpangan
Aqidah Jahmiyyah.
BAB 1: SEJARAH MUNCULNYA JAHMIYYAH
Siapa Ja’ad bin Dirham (124 H)?
Pendiri Jahmiyyah
Jahmiyyah adalah nama golongan sesat yang
dinisbatkan kepada tokoh sentralnya, Jahm bin Shofwan (128 H). Namun,
cikal bakal pemikiran sesat ini berasal dari guru Jahm, yaitu Ja’ad bin
Dirham (124 H). Ja’ad bin Dirham
adalah orang pertama yang menyebarkan bid’ah ta’thil (menafikan
Sifat-Sifat Alloh ﷻ) secara terang-terangan di tengah Muslimin.
Ja’ad bin Dirham dikenal pada masa akhir
Tabi’in, dan ia tinggal di Damaskus, Syam. Di antara pemikiran sesat yang ia
sebarkan adalah:
1. Mengingkari Sifat-Sifat Alloh ﷻ: Ia menafikan bahwa Alloh ﷻ
berbicara (Kalam), Dia memiliki Wajah, Tangan, dan Sifat-Sifat Tinggi (Uluw)
lainnya, dengan alasan bahwa penetapan Sifat-Sifat tersebut akan menyamakan
Alloh ﷻ dengan makhluk-Nya.
2. Klaim Al-Qur’an Adalah Makhluk:
Sebagai konsekuensi dari penolakan Sifat Kalam (Berbicara), ia berpendapat
bahwa Al-Qur’an (yang merupakan Kalamulloh) adalah ciptaan (makhluk) Alloh ﷻ,
bukan Kalam Alloh ﷻ yang Azali (terdahulu).
Penyimpangan Ja’ad ini sangat berbahaya
karena menyerang langsung pondasi Tauhid. Para Ulama Salaf telah menetapkan
bahwa Alloh ﷻ memiliki Sifat-Sifat yang sesuai dengan Keagungan-Nya, tanpa
menyerupai makhluk (tasybih) dan tanpa menolaknya (ta’thil).
Penyebaran bid’ah Ja’ad bin Dirham ini tidak berlangsung lama
dan ia mendapatkan hukuman mati. Kholid bin Abdillah Al-Qosri (wali kota Kufah pada masa
itu) melaksanakan hukuman mati terhadap Ja’ad bin Dirham pada Hari Raya Idul
Adha (124 H). Kholid bin Abdillah Al-Qosri berkata saat khutbah Idul Adha:
أَيُّهَا النَّاسُ ضَحُّوا تَقَبَّلَ اللَّهُ
ضَحَايَاكُمْ فَإِنِّي مُضَحٍّ بِالْجَعْدِ بْنِ دِرْهَمٍ إِنَّهُ زَعَمَ أَنَّ اللَّهَ
لَمْ يَتَّخِذْ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا وَلَمْ يُكَلِّمْ مُوسَى تَكْلِيمًا سُبْحَانَ
اللَّهِ عَمَّا يَقُولُ الْجَعْدُ عُلُوًّا كَبِيرًا ثُمَّ نَزَلَ فَذَبَحَهُ
“Wahai sekalian manusia, berkurbanlah,
semoga Alloh ﷻ menerima kurban-kurban kalian. Sesungguhnya aku akan berkurban
dengan Ja’ad bin Dirham. Karena sesungguhnya ia mengklaim bahwa Alloh ﷻ
tidak menjadikan Ibrohim sebagai Kholil (kekasih) dan tidak berbicara kepada
Musa dengan sebenar-benarnya pembicaraan (takliiman). Maha Suci Alloh ﷻ dari
apa yang dikatakan Ja’ad.” Kemudian ia turun lalu menyembelihnya. (Ash-Shofadhiyyah, 2/263, Syaikhul Islam)
Pengaruh Pemikiran Asing (Filsafat
Yunani)
Penyimpangan Aqidah yang dibawa oleh Ja’ad
bin Dirham bukanlah murni dari pemikiran pribadinya, melainkan hasil dari
interaksi dan pengaruh kuat dari Filsafat Yunani kuno.
Pada masa awal Daulah Islam, terjadi
perluasan wilayah dan perkenalan dengan berbagai peradaban, termasuk pemikiran
Filosof (ahli filsafat) dari Yunani dan Persia. Pemikiran yang sangat
mempengaruhi Ja’ad bin Dirham adalah pemikiran tentang Ketuhanan yang dianut
oleh para Filosof seperti Aristoteles dan Plato yaitu tuhan (Causa Prima) harus statis dan tidak
bergerak sehingga tidak boleh memiliki sifat karena sifat mengharuskan adanya
perubahan dan tajsim (adanya jasad hingga mirip makhluk), yang kemudian dikembangkan oleh kelompok Neoplatonisme.
Prinsip utama yang diambil oleh Jahmiyyah
adalah konsep bahwa Alloh ﷻ (mereka sebut sebagai
Al-Wujud Al-Mutlaq atau Dzat yang Mutlak) haruslah bersifat mujarrod (kosong dari segala atribut/sifat) agar tidak disamakan dengan
makhluk. Para Filosof ini berpendapat bahwa menetapkan Sifat seperti Berbicara,
Berkehendak, atau Bersemayam pada Alloh ﷻ
akan:
1. Menyebabkan Kebutuhan: Sifat
seperti Berbicara membutuhkan alat (seperti pita suara) dan Bersemayam
membutuhkan tempat, dan ini dianggap mustahil bagi Dzat yang Maha Sempurna dan
Tidak Membutuhkan apapun.
2. Menyebabkan Persamaan (Tasybih):
Sifat-sifat tersebut juga dimiliki oleh makhluk, sehingga menetapkannya pada
Alloh ﷻ dianggap sebagai tasybih (menyerupakan Alloh ﷻ
dengan makhluk).
Karena alasan ini, Ja’ad bin Dirham dan
pengikutnya menggunakan akal sebagai penentu utama dalam masalah Aqidah, dan bukan Nash Syar’i
(Al-Qur’an dan As-Sunnah). Ketika Nash (seperti: “Alloh ﷻ
Bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. ThoHa: 5)) bertentangan dengan hasil akal mereka (bahwa
Bersemayam = butuh tempat), maka mereka akan memilih untuk menolak (ta’thil) Sifat tersebut atau mentakwil (mengubah makna) Nash tersebut.
Peran Jahm bin Shofwan (128 H)
dalam Penyebaran
Setelah gurunya, Ja’ad bin Dirham (124 H),
dihukum mati, estafet penyebaran pemikiran ta’thil (penolakan
Sifat Alloh ﷻ) dilanjutkan oleh muridnya yang paling terkenal, yaitu Jahm
bin Shofwan Abu Muhriz At-Tirmidzi. Jahm bin Shofwan adalah seorang orator
ulung dan pandai berdebat, sehingga ia lebih efektif dalam menyebarkan bid’ah ini dibandingkan
gurunya. Golongan sesat ini kemudian dinisbatkan kepadanya, dan dikenal sebagai
Jahmiyyah.
Jahm menyebarkan pemikirannya, terutama dua
poin utama, di Khurosan dan Tirmidz:
1. Ta’thil Al-Asma’ wa Ash-Shifat:
Jahm menolak semua Sifat Alloh ﷻ.
Menurutnya, Alloh ﷻ tidak dapat digambarkan dengan Sifat apapun karena setiap Sifat
dapat dikaitkan dengan makhluk. Ia hanya menetapkan nama-nama umum yang harus ada pada tuhan yaitu Al-Hayy (Maha
Hidup), Al-Kholiq (Maha Mencipta), Al-Qodir (Maha Kuasa) tetapi menafikan maknanya. Konsekuensi dari
pemikiran ini adalah bahwa Alloh ﷻ
menjadi Dzat yang ma’dum (tidak ada) atau tidak dapat dipahami.
2. Jabr dan Irja’: Jahm mencetuskan
konsep Jabr (Fatalisme/Paksaan), yang mengklaim bahwa manusia tidak memiliki
daya dan ikhtiar (pilihan) dalam perbuatannya. Hamba hanyalah alat yang dipaksa
oleh Alloh ﷻ untuk berbuat. Sebagai konsekuensinya, ia juga mencetuskan
konsep Irja’, yaitu bahwa iman hanyalah pembenaran hati (tashdiq) saja.
Amal (perbuatan) sama sekali tidak masuk dalam definisi iman.
Pemikiran Jahm ini dianggap sangat
berbahaya oleh Salaf dan memicu perlawanan keras dari para Imam, khususnya dari
Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Jahm bin Shofwan sendiri akhirnya terbunuh di Marwa pada akhir tahun 128 H,
setelah kalah dalam pertempuran
(pemberontakan bersama Ibnu Suroij) melawan Salam
bin Ahwaz Al-Mazini, bawahan
kholifah Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan.
Perkembangan Jahmiyyah Setelah Ja’ad
dan Jahm
Meskipun Ja’ad bin Dirham dan Jahm bin
Shofwan tewas pada masa Tabi’in, pemikiran Jahmiyyah tidak langsung hilang.
Sebaliknya, pemikiran ini terpecah dan menyebar, menjadi benih bagi lahirnya
golongan-golongan bid’ah selanjutnya, yaitu:
1. Mu’tazilah
Golongan ini berkembang pesat dari
pemikiran Jahmiyyah. Mu’tazilah sepakat dengan Jahmiyyah dalam masalah ta’thil (menolak Sifat-Sifat Alloh ﷻ). Bedanya, Mu’tazilah menetapkan Nama-Nama Allah
tetapi tanpa makna, berbeda dengan Jahmiyyah yang menolak semuanya.
Mu’tazilah mengklaim
Al-Qur’an adalah makhluk, namun mereka menolak konsep Jabr (paksaan) yang
dianut Jahmiyyah. Sebaliknya, mereka berpegang pada
konsep Qodariyyah (manusia bebas berkehendak/berbuat). Jahmiyyah dan Mu’tazilah
sempat bersatu dalam keyakinan tentang penciptaan Al-Qur’an (Al-Qur’an
Makhluk), yang kemudian memicu fitnah Kholqil Qur’an (ujian berat bagi Ulama untuk mengakui Al-Qur’an
sebagai makhluk) pada masa Kekholifahan Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq.
2. Kullaabiyyah dan Asy’ariyyah
Setelah menghadapi bantahan yang sangat
keras dari para Imam Salaf, terutama Imam Ahmad bin Hanbal (241 H), para
pengikut Jahmiyyah dan Mu’tazilah berupaya melakukan koreksi dan moderasi atas
ajaran mereka.
Kullaabiyyah:
Dinamakan dari Abdulloh bin Sa’id bin Kullaab (240 H). Ia mulai
menetapkan 7 (tujuh) Sifat saja untuk Alloh ﷻ, dan
menolak Sifat-Sifat Khobariyyah (Sifat yang terkait dengan anggota badan
seperti Tangan atau Wajah), yang merupakan langkah moderat dari ta’thil total Jahmiyyah.
Asy’ariyyah:
Dinamakan dari Abul Hasan Al-Asy’ari (324 H). Pada tahap awal, beliau adalah seorang Mu’tazilah,
kemudian beliau kembali ke ajaran Kullaabiyyah, dan di akhir hidupnya, beliau
berbaiat dan kembali ke Manhaj Salaf (sebagaimana tertuang dalam kitab
Al-Ibanah). Namun, mayoritas pengikutnya setelah itu hanya mengambil ajaran
Kullaabiyyah (penetapan 7 Sifat) dan tetap mentakwil Sifat-Sifat lainnya.
Dengan demikian, Jahmiyyah adalah akar dari
semua golongan yang mengutamakan akal daripada Nash Syar’i dalam masalah Asma’
wa Shifat, dan merupakan musuh terberat yang dihadapi oleh Ahlus Sunnah wal
Jama’ah pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyyah.
BAB 2: POKOK-POKOK PEMIKIRAN JAHMIYYAH
Pemikiran Tentang Asma’ wa Shifat
(Nama dan Sifat Alloh ﷻ)
Penyimpangan Aqidah yang paling mendasar dan
menjadi ciri khas dari Jahmiyyah adalah dalam masalah Asma’ wa Shifat (Nama dan
Sifat Alloh ﷻ). Prinsip mereka adalah ta’thil (penolakan,
penafian) secara total terhadap Sifat-Sifat Alloh ﷻ.
Konsep Ta’thil (Penolakan) Terhadap Sifat-Sifat Alloh ﷻ
Jahmiyyah berpandangan bahwa setiap Sifat
yang ditetapkan bagi Alloh ﷻ akan berkonsekuensi tasybih (menyerupai) Alloh ﷻ
dengan makhluk-Nya. Akal mereka berhujjah bahwa karena manusia memiliki tangan, wajah, atau berbicara, maka menetapkan
Sifat yang sama bagi Alloh ﷻ berarti menyamakan Alloh ﷻ
dengan manusia.
Untuk menghindari tasybih, mereka melakukan ta’thil (penolakan) total. Mereka menolak
Sifat-Sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, di antaranya:
1.
Sifat
Kalam (Berbicara): Mereka menolak bahwa Alloh ﷻ
berbicara dengan Suara dan Huruf yang didengar, seperti ketika Dia berbicara
kepada Nabi Musa ﷺ.
2.
Sifat Uluw
(Ketinggian): Mereka menolak bahwa Alloh ﷻ
Bersemayam (Istiwa’) di atas ‘Arsy atau berada di tempat yang Tinggi, dengan
dalih bahwa menetapkan tempat berarti Alloh ﷻ
membutuhkan ‘Arsy, padahal Alloh ﷻ Maha
Kaya dan Tidak Membutuhkan apapun.
3.
Sifat
Khobariyyah (Sifat yang terkait dengan anggota): Mereka menolak Sifat Wajah,
Tangan, Kaki, dan Mata bagi Alloh ﷻ.
Konsekuensi dari ta’thil ini sangat fatal dalam Aqidah. Para Imam Salaf seperti Imam Ibnu
Qudamah (620 H) menjelaskan bahwa jika semua Sifat dinafikan, maka Dzat Alloh ﷻ yang
mereka yakini menjadi sesuatu yang tidak dikenal, bahkan menyerupai ma’dum (sesuatu yang tidak ada).
Klaim Bahwa Al-Qur’an Adalah Makhluk (Bukan Kalamulloh)
Konsekuensi logis dari penolakan Sifat
Kalam adalah klaim bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (ciptaan Alloh ﷻ) dan
bukan Kalamulloh (Firman Alloh ﷻ) yang
Qodim (terdahulu).
Jahmiyyah berpendapat bahwa jika Al-Qur’an
adalah Kalam Alloh ﷻ yang Azali (terdahulu) dan bukan makhluk, maka akan ada dua
Qodim (dua yang dahulu) selain Alloh ﷻ,
yaitu Alloh ﷻ dan Kalam-Nya, yang menurut akal mereka mustahil. Mereka hanya
mengakui bahwa makna dari Al-Qur’an adalah Qodim, tetapi lafazh
(teks) yang kita baca adalah makhluk.
Pendapat ini memicu fitnah besar, yaitu fitnah kholqil Qur’an, di mana pada masa itu para Ulama yang menolak mengakui Al-Qur’an
sebagai makhluk disiksa dan dipenjara, termasuk Imam Ahmad bin Hanbal (241 H)
yang gigih mempertahankan Aqidah Salaf.
Nabi Musa ﷺ disebut dalam Al-Qur’an sebagai Kalimulloh
(yang diajak Bicara oleh Alloh ﷻ).
Alloh ﷻ berfirman:
﴿وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا﴾
“Alloh ﷻ
telah berbicara kepada Musa dengan sebenar-benar pembicaraan (QS. An-Nisa’:
164)
Ucapan ini adalah dalil jelas bahwa Alloh ﷻ
Berbicara. Jahmiyyah dan pengikutnya menolak makna takliiman yang berarti pembicaraan
sebenarnya, untuk menafikan Sifat Kalam.
Pemikiran Tentang Iman
Pemikiran Jahmiyyah dalam masalah Iman
sangat dipengaruhi oleh konsep dasar yang mereka bawa (bahwa
tuhan harus statis), yang dikenal sebagai Irja’
(penundaan). Istilah Irja’ artinya menunda atau memisahkan amal perbuatan dari
definisi Iman, sehingga amal (perbuatan) tidak dianggap sebagai bagian dari
hakikat Iman.
Konsep Irja’ (Iman Cukup dengan Pembenaran Hati)
Menurut Jahmiyyah, Iman adalah cukup dengan
pembenaran di dalam hati (tashdiq), atau hanya sekadar pengetahuan (ma’rifah)
tentang keberadaan Alloh ﷻ.
Konsekuensi dari pemikiran ini sangat
berbahaya:
1. Amal Tidak Wajib: Karena amal
tidak dianggap bagian dari iman, maka meninggalkan Sholat, Zakat, Puasa, atau
melakukan dosa besar tidak akan mengurangi keimanan seseorang sedikit pun. Bagi
mereka, Firaun dan Iblis dapat dikatakan sebagai Mu’min karena mereka
mengetahui dan meyakini keberadaan Alloh ﷻ di
dalam hati, meskipun mereka ingkar secara ucapan dan perbuatan.
2. Iman Setiap Orang Sama: Mereka
berpendapat bahwa iman para Nabi dan Rosul (seperti Nabi Muhammad ﷺ) setara dengan iman orang
yang paling berdosa di antara Mu’min, karena iman hanyalah pembenaran di hati,
dan hati setiap orang yang membenarkan adalah sama.
Pemikiran ini jelas bertentangan dengan
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Alloh ﷻ
mencela orang yang hanya mengakui dengan lisan tetapi tidak beramal, serta
menggambarkan Iman dengan hati, lisan, dan perbuatan. Rosululloh ﷺ juga bersabda:
«الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ - أَوْ بِضْعٌ
وَسِتُّونَ - شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا
إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ»
“Iman itu ada 70 sekian cabang, yang paling
utama adalah ucapan Laa Ilaaha Illalloh, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari
jalan, dan malu adalah salah satu cabang dari iman.” (HR. Muslim no.
35)
Hadits ini membuktikan bahwa Iman mencakup
ucapan (Laa Ilaaha Illalloh), perbuatan (menyingkirkan gangguan), dan keyakinan
hati (malu), yang kesemuanya ditolak sebagai bagian hakiki dari Iman oleh
Jahmiyyah. Golongan yang berpemahaman seperti ini kemudian dikenal secara umum
sebagai Murji’ah. Akan tetapi
Mur’jiah bertingkat-tingkat, yang paling ringan adalah Murji’ah Fuqoha yang
mengatakan iman adalah keyakinan dan ucapan, sementara amal tidak termasuk iman
tetapi meninggalkan amal bisa fasik.
Pemikiran Tentang Takdir
Dalam masalah Takdir, Jahmiyyah menganut
paham Jabr (Fatalisme/Paksaan) yang ekstrem. Paham ini disebut juga Jabariyyah.
Konsep Jabar (Paksaan) dalam Perbuatan Hamba
Jahmiyyah mengklaim bahwa manusia tidak
memiliki daya dan ikhtiar (pilihan) sama sekali dalam perbuatannya. Mereka
berpandangan bahwa hamba hanyalah seperti benda mati atau bulu yang
diterbangkan angin. Semua perbuatan, baik itu Sholat, Zakat, mencuri, atau
berzina, seluruhnya diciptakan oleh Alloh ﷻ, dan
hamba tidak memiliki peran kecuali sebagai tempat terjadinya perbuatan
tersebut.
Mereka berhujjah bahwa mengakui adanya
ikhtiar bagi hamba berarti menyamakan hamba dengan Alloh ﷻ dalam
hal penciptaan perbuatan.
Konsekuensi dari pemikiran Jabariyyah ini adalah:
1. Penghilangan Tanggung Jawab: Jika
manusia dipaksa dalam perbuatannya, maka hukuman dan pahala menjadi tidak adil,
karena seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia
lakukan tanpa kehendaknya sendiri.
2. Pembenaran Dosa: Seseorang dapat
berdalih bahwa segala dosa yang ia lakukan adalah paksaan dari Alloh ﷻ,
sehingga ia tidak layak dicela.
Pemikiran ini ditolak oleh Ijma’ Salaf.
Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan bahwa:
﴿لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا
مَا اكْتَسَبَتْ﴾
“Ia (jiwa) mendapat pahala (dari kebaikan)
yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dilakukannya (QS.
Al-Baqoroh: 286)
﴿فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ
وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا﴾
“Siapa yang ingin
beriman, silahkan. Begitupula yang ingin kafir juga silahkan. Tetapi Kami
sediakan bagi orang-orang zholim (kafir) Neraka.” (QS. Al-Kahfi: 29)
Dua ayat ini menunjukkan
bahwa hamba memiliki kasb (usaha/kemampuan) dan irodah
(keinginan) terhadap perbuatannya, meskipun semua perbuatan hamba, baik
kehendak maupun pelaksanaannya, tetap berada dalam Takdir Alloh ﷻ. Inilah jalan tengah antara Jabariyyah (yang menolak ikhtiar)
dan Qodariyyah (yang menolak Takdir Alloh ﷻ).
Pemikiran Tentang
Hari Akhir
Pengingkaran Melihat Alloh ﷻ di
Jannah (Ru’yatulloh)
Jahmiyyah juga
mengingkari bahwa Mu’min akan melihat Alloh ﷻ secara langsung di Jannah pada Hari Kiamat. Ini adalah
konsekuensi logis dari ta’thil mereka terhadap Sifat Alloh ﷻ. Bagi mereka, karena Alloh ﷻ tidak dapat digambarkan dengan Sifat apapun, maka mustahil
Dzat-Nya dapat dilihat. Padahal, Al-Qur’an secara tegas
menyebutkan:
﴿وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ
إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ﴾
“Wajah-wajah (orang Mu’min) pada hari itu
berseri-seri, melihat kepada Robb-nya (QS. Al-Qiyamah: 22-23)
Mereka juga mengingkari
Hisab, Telaga, syafaat, dan kekekalan Surga-Neraka.
BAB 3: BANTAHAN TERHADAP PEMIKIRAN JAHMIYYAH
Bantahan Terhadap Ta’thil Asma’ wa
Shifat
Ta’thil (penolakan Sifat Alloh ﷻ)
adalah inti bid’ah
Jahmiyyah. Ahlus Sunnah wal Jama’ah membantah pemikiran ini dengan tegas,
berpegang pada metode yang disimpulkan dalam 3 kaidah: itsbat (menetapkan Sifat), bilaa takyif (tanpa mempertanyakan bagaimana),
dan bilaa tasybih (tanpa menyerupakan dengan makhluk).
Bantahan terhadap ta’thil
didasarkan pada ratusan Nash Syar’i, yang intinya menguatkan bahwa Alloh ﷻ memiliki Sifat-Sifat Kesempurnaan yang sesuai dengan
Keagungan-Nya.
1. Bantahan Terhadap Penolakan Sifat Uluw (Ketinggian) dan
Istiwa’ (Tinggi)
Jahmiyyah menolak bahwa Alloh ﷻ istiwa (tinggi) di atas ‘Arsy dengan dalih tasybih (menyerupakan Alloh ﷻ
butuh tempat). Bantahannya adalah firman Alloh ﷻ:
﴿الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ
اسْتَوَىٰ﴾
“Ar-Rohman (Yang Maha Pengasih) istiwa di atas ‘Arsy
(Singgasana). (QS. Thoha: 5)
Imam Malik bin Anas (179 H) ketika ditanya
tentang makna Istiwa’ ini, beliau berkata:
الِاسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ، وَالكَيْفُ مَجْهُولٌ،
وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
“Istiwa’ itu diketahui (secara bahasa), dan kaifiyahnya (cara atau bagaimana) itu tidak diketahui, dan mengimaninya adalah wajib,
dan bertanya tentang bagaimana caranya adalah bid’ah.”
(Tafsir
Al-Qurthubi, 2/219)
Ini menunjukkan bahwa Salaf menetapkan
Sifat Istiwa’ tanpa takyif (tanpa mempertanyakan bagaimana)
dan tanpa ta’thil (penolakan).
2. Bantahan Terhadap Penolakan Sifat Kalam (Berbicara)
Jahmiyyah menolak bahwa Alloh ﷻ
Berbicara dengan Suara dan Huruf (sehingga mereka mengklaim Al-Qur’an adalah
makhluk). Alloh ﷻ berfirman:
﴿وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ
صِدْقًا وَعَدْلًا ۚ لَّا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ﴾
“Telah sempurna Kalimat (Firman) Robb-mu
(Alloh ﷻ) dengan benar (dalam
berita) dan adil (dalam hukum). Tidak ada yang dapat mengubah
Kalimat-Kalimat-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 115)
Hadits dari Rosululloh ﷺ juga menguatkan bahwa
Alloh ﷻ memiliki Sifat Kalam yang hakiki dan didengar, seperti sabda
beliau:
«إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ العَبْدَ
نَادَى جِبْرِيلَ: إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحْبِبْهُ»
“Apabila Alloh ﷻ
mencintai seorang hamba, Dia akan memanggil Jibril, ‘Sesungguhnya Alloh ﷻ
mencintai si fulan, maka cintailah ia.’” (HR. Al-Bukhori no. 3209 dan Muslim no. 2637)
Panggilan (nidaa’) adalah bentuk
Kalam (Berbicara).
3. Bantahan Terhadap Penolakan Sifat Khobariyyah
Jahmiyyah menolak Sifat
Wajah, Tangan, dan Sifat lainnya bagi Alloh ﷻ. Bantahannya adalah firman Alloh ﷻ:
﴿وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو
الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ﴾
“Dan kekal Wajah Robb-mu yang memiliki
Keagungan dan Kemuliaan.” (QS. Ar-Rohman: 27)
Alloh ﷻ juga
berfirman:
﴿بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ
يُنفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ﴾
“Bahkan kedua Tangan-Nya terbentang, Dia memberi sebagaimana Dia
kehendaki.” (QS. Al-Ma’idah: 64)
Manhaj Salaf adalah menetapkan Wajah,
Tangan, dan Sifat lainnya bagi Alloh ﷻ
sebagaimana yang Dia tetapkan untuk Diri-Nya, namun tanpa tasybih kepada makhluk. Alloh ﷻ
berfirman:
﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ﴾
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan
Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuro: 11)
Ayat ini adalah kaidah utama. Jahmiyyah
mengambil bagian awal ayat dan menyalahgunakannya untuk ta’thil, sementara mereka meninggalkan bagian akhir ayat. Ahlus Sunnah
mengambil seluruhnya: tidak ada yang serupa dengan-Nya (menolak tasybih), namun Dia tetap Maha Mendengar lagi Maha Melihat (menetapkan
Sifat).
Bantahan Terhadap Klaim Al-Qur’an
Adalah Makhluk
Pokok pemikiran Jahmiyyah yang paling keras
ditentang oleh Salaf adalah klaim bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (ciptaan).
Mereka meyakini ini sebagai konsekuensi logis dari penolakan mereka terhadap
Sifat Kalam (Berbicara) bagi Alloh ﷻ.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan bahwa
Al-Qur’an adalah Kalamulloh (Firman Alloh ﷻ)
yang diturunkan, bukan makhluk. Bantahan Salaf didasarkan pada poin-poin
berikut:
1. Al-Qur’an Adalah Kalamulloh yang Qodim (Terdahulu)
Al-Qur’an merupakan Sifat dari Alloh ﷻ,
yaitu Sifat Kalam. Jika Kalam Alloh ﷻ
adalah makhluk, maka konsekuensinya Alloh ﷻ pada
suatu waktu dahulu tidak memiliki Sifat Kalam, atau Dia baru berbicara setelah
menciptakan Al-Qur’an. Ini menunjukkan Alloh ﷻ
mengalami kekurangan atau perubahan, yang mustahil bagi Dzat yang Maha Sempurna
dan Azali (tiada permulaan).
Bantahannya adalah firman
Alloh ﷻ:
﴿قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ
مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي
وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا﴾
“Katakanlah: ‘Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis)
Kalimat-Kalimat Robb-ku, sungguh habislah lautan sebelum habis Kalimat-Kalimat
Robb-ku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).’” (QS. Al-Kahfi: 109)
Ayat ini menunjukkan bahwa Kalimat Alloh ﷻ
(Firman-Nya) tidak terbatas dan tidak akan habis, menunjukkan Sifat Kalam yang
melekat pada Dzat Alloh ﷻ, bukan sekadar ciptaan
yang terbatas dan akan musnah.
Sifat Berbicara adalah
Sifat Fi’liyyah, yaitu terjadi jika Allah menghendaki.
2. Fitnah Kholqil Qur’an dan Kegigihan Imam Ahmad
Klaim bahwa Al-Qur’an adalah makhluk ini menjadi
fitnah
(ujian) terbesar bagi para Ulama pada abad ke-3 Hijriyyah, yang dikenal sebagai
fitnah kholqil Qur’an. Fitnah ini
dipaksakan oleh Kholifah Al-Ma’mun dan penerusnya, yang dipengaruhi oleh pemikiran Mu’tazilah
(turunan Jahmiyyah).
Para Ulama dihadapkan
pada pilihan: mengakui Al-Qur’an sebagai makhluk agar selamat dari siksaan,
atau berpegang teguh pada Aqidah Salaf dan siap disiksa. Tokoh sentral yang berdiri teguh menolak klaim ini adalah Imam Ahmad
bin Hanbal (241 H). Beliau berpegang teguh pada:
الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ غَيْرُ مَخْلُوقٍ
“Al-Qur’an adalah Kalamulloh, bukan
makhluk.
Kegigihan Imam Ahmad Rohimahullah
dalam mempertahankan Aqidah ini menyelamatkan umat dari penyimpangan yang
terstruktur. Beliau berkata kepada para penyiksanya, “Berikan kepadaku satu
dalil saja (dari Al-Qur’an atau As-Sunnah) yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu
makhluk, maka aku akan mengikutinya.”
3. Pemahaman Shohabat dan Tabi’in
Tidak pernah dinukil dari seorang Shohabat
pun Rodhiyallahu ‘Anhum atau Tabi’in yang mengatakan bahwa Al-Qur’an
adalah makhluk. Bahkan, para Tabi’in telah mencela orang yang mengatakan hal
ini.
Abdullah bin Al-Mubarok (181 H) pernah berkata:
الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ وَلَيْسَ بِمَخْلُوقٍ
“Al-Qur’an adalah Kalamulloh, dan bukan
makhluk.” (Al-Ibanah
Al-Kubro, Ibnu Baththoh, 6/16)
Harb Al-Kirmani (270 H)
berkata dalam kitab kesepakatan Salaf:
وَالْقُرْآنُ كَلَامُ
اللَّهِ تَكَلَّمَ بِهِ لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ، فَمَنْ زَعَمَ أَنَّ الْقُرْآنَ مَخْلُوقٌ
فَهُوَ جَهْمِيٌّ كَافِرٌ.
Al-Qur’an adalah Kalam
(Firman) Alloh. Dia berfirman dengannya, dan Al-Qur’an bukanlah makhluk. Siapa
pun yang mengklaim Al-Qur’an adalah makhluk, maka dia adalah Jahmi (pengikut
Jahm bin Shofwan) yang kafir.
وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ
الْقُرْآنَ كَلَامُ اللَّهِ وَوَقَفَ، وَلَمْ يَقُلْ: لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ، فَهُوَ أَكْفَرُ
مِنَ الْأَوَّلِ وَأَخْبَثُ قَوْلًا.
Siapa pun yang mengklaim
Al-Qur’an adalah Kalam Alloh, tetapi dia berhenti dan tidak mengatakan:
“Al-Qur’an bukan makhluk,” maka dia lebih kafir dari orang sebelumnya dan ucapannya
lebih keji.
وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ
أَلْفَاظَنَا بِالْقُرْآنِ وَتِلَاوَتَنَا لَهُ مَخْلُوقَةٌ وَالْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ
فَهُوَ جَهْمِيٌّ خَبِيثٌ مُبْتَدِعٌ. وَمَنْ لَمْ يُكَفِّرْ هَؤُلَاءِ الْقَوْمَ وَالْجَهْمِيَّةَ
كُلَّهُمْ فَهُوَ مِثْلُهُمْ.
Siapa pun yang mengklaim
bahwa lafal-lafal kita ketika membaca Al-Qur’an dan bacaan kita terhadapnya
adalah makhluk, sedangkan Al-Qur’an adalah kalam Alloh, maka dia adalah seorang
Jahmi yang keji lagi ahli bid’ah. Siapa tidak mengkafirkan kaum ini dan seluruh
golongan Jahmiyyah, maka dia seperti mereka. (Ijmaau As-Salaf fil I’tiqod, Harb
Al-Kirmani)
Konsensus para Salaf ini
menunjukkan bahwa klaim Jahmiyyah adalah bid’ah yang bertentangan dengan Ijma’
(kesepakatan) Ahli Sunnah.
Bantahan Terhadap Konsep Iman ala
Jahmiyyah (Irja’)
Irja’ adalah bid’ah Jahmiyyah yang paling berbahaya kedua
setelah ta’thil. Irja’ adalah pemikiran yang memisahkan amal perbuatan dari hakikat
Iman, yang menganggap bahwa Iman cukup hanya dengan pembenaran hati (tashdiq)
atau pengetahuan (ma’rifah). Pemikiran ini memiliki konsekuensi yang
merusak Syari’at Islam.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah membantah Irja’
dengan menetapkan bahwa: Iman adalah Ucapan dengan lisan, Keyakinan dengan
hati, dan Amal dengan anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan
berkurang dengan maksiat.
1. Bantahan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
secara jelas menghubungkan Iman dengan amal perbuatan dan ucapan:
a. Menghubungkan Iman dengan Amal Sholih
Alloh ﷻ
dalam banyak ayat selalu menyebut Iman bersamaan dengan amal sholih, yang
membuktikan bahwa keduanya adalah kesatuan yang tidak terpisahkan.
﴿إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ
مَمْنُونٍ﴾
“Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amal sholih, maka bagi mereka pahala yang tidak putus-putusnya.”
(QS. At-Tin: 6)
Jika amal sholih bukan bagian dari Iman,
maka penyebutan keduanya secara berulang kali di dalam Al-Qur’an akan menjadi
sia-sia.
Begitupula Allah menyebut
perbuatan menghadap qiblat sebagai iman dalam ayat:
﴿وَمَا
كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ﴾
“Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu (yakni Sholat dulu yang menghadap Baitul Maqdis).” (QS.
Al-Baqoroh: 143)
b. Sholat Sebagai
Tiang Iman
Rosululloh ﷺ
menjadikan Sholat (amal perbuatan) sebagai pembeda antara keimanan dan
kekafiran. Beliau bersabda:
«إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ
تَرْكَ الصَّلَاةِ»
“Antara seseorang dengan syirik dan kekafiran
adalah meninggalkan Sholat.” (HR. Muslim no. 82)
Hadits ini menunjukkan bahwa meninggalkan
amal tertentu, yaitu Sholat, dapat mengeluarkan seseorang dari lingkungan Iman,
yang mustahil terjadi jika Iman hanyalah tashdiq (pembenaran hati)
semata seperti klaim Jahmiyyah.
2. Bantahan dengan Contoh Logis
Jika Iman adalah murni tashdiq
(pembenaran hati) saja, maka klaim Jahmiyyah akan memiliki konsekuensi yang
mustahil:
Iman Firaun:
Firaun, meskipun secara lisan mengaku sebagai Robb (Tuhan), ia mengetahui dan
meyakini di dalam hati bahwa Robb yang sebenarnya adalah Alloh ﷻ dan
Nabi Musa ﷺ adalah benar. Alloh ﷻ
berfirman tentang Firaun:
﴿وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا
أَنفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا﴾
“Dan mereka mengingkarinya (Ayat-Ayat Alloh
ﷻ) padahal hati mereka meyakininya, karena kezoliman dan kesombongan.” (QS.
An-Naml: 14)
Apabila Irja’ Jahmiyyah benar, maka Firaun
haruslah dianggap sebagai Mu’min karena hatinya membenarkan. Ini jelas
merupakan kesesatan yang nyata, sebab Alloh ﷻ dan
Rosul ﷺ telah menetapkan Firaun sebagai kafir yang kekal di Naar.
Iman Iblis:
Iblis juga meyakini dan mengetahui Alloh ﷻ,
bahkan ia berbicara langsung kepada-Nya. Namun, karena ia menolak beramal
(sujud kepada Adam), ia divonis kafir oleh Alloh ﷻ.
Kesimpulannya, Irja’ adalah pemikiran yang
membuka pintu bagi orang-orang untuk meninggalkan amal ketaatan sambil merasa
aman dari adzab Alloh ﷻ, karena mengklaim Iman mereka sudah sempurna di hati. Pemikiran
ini mematikan Jihad, Zakat, dan semua Syi’ar (simbol) Islam.
Bantahan Terhadap Konsep Jabr
(Paksaan)
Jahmiyyah menganut paham Jabariyyah
(Fatalisme) ekstrem yang mengklaim bahwa hamba tidak memiliki ikhtiar (kehendak
bebas) dalam perbuatannya. Mereka menganggap perbuatan manusia sepenuhnya
dipaksakan oleh Alloh ﷻ, sehingga manusia tidak lebih dari sekadar alat atau wadah.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah membantah konsep
Jabr ini dengan menetapkan adanya kemampuan dan kehendak bagi hamba, meskipun kedua hal ini tetap berada di bawah Kehendak
Mutlak Alloh ﷻ. Ini adalah jalan tengah antara Jabariyyah dan Qodariyyah (yang
menolak Qodar Alloh ﷻ).
Banyak ayat yang
menunjukkan bahwa Alloh ﷻ
memberikan tanggung jawab kepada manusia atas pilihan dan usaha (kasb)
yang mereka lakukan, yang membuktikan adanya ikhtiar:
﴿فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن
شَاءَ فَلْيَكْفُرْ﴾
“Maka siapa yang menghendaki (silakan)
beriman dan siapa yang menghendaki (silakan) kafir.” (QS. Al-Kahfi: 29)
﴿إِنَّهَا لَإِحْدَى الْكُبَرِ
نَذِيرًا لِّلْبَشَرِ لِمَن شَاءَ مِنكُمْ أَن يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ﴾
“Sesungguhnya Naar (Jahannam) itu salah
satu bencana yang paling besar, sebagai peringatan bagi manusia. Yaitu bagi
siapa di antara kamu yang berkehendak maju atau mundur.” (QS. Al-Muddatstsir:
35-37)
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa perbuatan
Iman, kufur,
maju, dan mundur adalah hasil dari kehendak (masyi’ah) hamba; dan tidak ada gunanya Syari’at (perintah dan larangan), pahala,
atau hukuman jika manusia hanya dipaksa.
Meskipun hamba memiliki ikhtiar, kehendak
hamba tidak bisa melampaui Kehendak Alloh ﷻ.
Alloh ﷻ berfirman:
﴿وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن
يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ﴾
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (sesuatu)
kecuali jika dikehendaki Alloh ﷻ,
Robb semesta alam.” (QS. At-Takwir: 29)
Ini menyimpulkan Aqidah Ahlus Sunnah:
Perbuatan dan kehendak hamba benar-benar ada (menolak Jabariyyah), tetapi
kehendak hamba tersebut diciptakan dan berada di bawah kehendak dan Takdir Alloh ﷻ
(menolak Qodariyyah).
Bantahan
Terhadap Pengingkaran Ru’yatulloh (Melihat Alloh ﷻ)
Sebagai konsekuensi dari ta’thil
(penolakan Sifat Alloh ﷻ), Jahmiyyah mengingkari bahwa orang-orang
Mu’min akan dapat melihat Alloh ﷻ dengan mata kepala mereka di Jannah kelak.
Bantahan utama bersumber
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang secara eksplisit menetapkan bahwa Ru’yatulloh
(melihat Alloh ﷻ) adalah karunia terbesar bagi Ahli Jannah.
1. Bantahan dari Al-Qur’an
Alloh ﷻ dengan jelas menyebutkan bahwa wajah orang Mu’min akan
berseri-seri karena melihat Robb-nya:
﴿وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ
إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ﴾
“Wajah-wajah (orang Mu’min) pada hari itu
berseri-seri. Kepada Robb-nya mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah: 22-23)
Makna dari naazhiroh (melihat) di sini adalah melihat dengan mata secara hakiki,
sebagaimana yang dipahami oleh Salaf.
2. Bantahan dari As-Sunnah
Rosululloh ﷺ menguatkan hal ini dalam Hadits shohih
yang diriwayatkan oleh Shuhaib
Ar-Rumi Rodhiyallahu ‘Anhu, ketika menjelaskan kenikmatan Ahli Jannah:
«إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ
الْجَنَّةَ، قَالَ: يَقُولُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ؟
فَيَقُولُونَ: أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا؟ أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ، وَتُنَجِّنَا
مِنَ النَّارِ؟ قَالَ: فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ، فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ
مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ»
“Ketika penghuni Surga
telah masuk Surga, Allah tabaaroka wa ta’aalaa berkata: ‘Apakah kalian
ingin sesuatu tambahan?’ Mereka menjawab: ‘Bukankah Engkau telah memutihkan
wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke Surga dan menjauhkan kami
dari Neraka? (Apa lagi yang lebih ni’mat dari ini?).’ Maka Allah menyingkap hijab
(yang menutupi Diri-Nya). Mereka tidak diberi sesuatu yang lebih mereka sukai
dari melihat Rob Azza wa Jalla.” (HR. Muslim no. 181)
3. Kaidah Penetapan
Imam Abu Hanifah Rohimahullah
(150 H) berkata:
وَاللهُ تَعَالَى
يُرَى فِي الْآخِرَة وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُونَ وَهُمْ فِي الْجنَّة بِأَعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ
بِلَا تَشْبِيهٍ وَلَا كَيْفِيَّةٍ
“Allah dilihat di Akhirat
dan akan dilihat oleh orang-orang Mu’min saat mereka di Surga dengan mata
kepala mereka, dan tanpa tasybih (menyerupakan) dan tanpa takyif
(membayangkan cara).” (Al-Fiqhul Akbar, hal. 53)
Dengan demikian,
pengingkaran Jahmiyyah terhadap Ru’yatulloh adalah pengingkaran terhadap keni’matan
terbesar yang Alloh ﷻ janjikan kepada orang Mu’min, yang
didasarkan pada akal batil mereka yang menolak Sifat-Sifat Alloh ﷻ secara umum.
BAB 4: IJMA’ SALAF DALAM MEMBANTAH JAHMIYYAH
Kedudukan Ijma’ (Konsensus) Salaf
dalam Ushuluddin
Setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah, sumber
ketiga yang wajib dijadikan sandaran dalam menetapkan Aqidah (Ushuluddin)
adalah Ijma’ Salaf (konsensus atau kesepakatan para pendahulu yang sholih).
Ijma’ Salaf memiliki kedudukan yang sangat tinggi karena mereka adalah generasi
terbaik yang dijamin oleh Rosululloh ﷺ. Beliau bersabda:
«خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ
الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ»
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku
(Shohabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (Tabi’in), kemudian
orang-orang yang mengikuti mereka (Tabi’ut Tabi’in).” (HR. Al-Bukhori no.
2652)
Jika para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum
dan Imam Salaf seperti Malik bin Anas (179 H), Asy-Syafi’i (204 H), dan Ahmad
bin Hanbal (241 H) telah bersepakat dalam suatu masalah Aqidah, maka
kesepakatan itu menjadi Hujjah (argumen) yang tidak boleh dibantah. Siapa yang
menyalahi Ijma’ mereka, maka ia tergolong ahlul bid’ah (pelaku bid’ah).
Dalam masalah Jahmiyyah, Ijma’ Salaf
terjadi dalam dua poin:
1. Mengkafirkan atau menganggap Jahmiyyah
sebagai golongan bid’ah yang paling sesat, terutama karena klaim mereka bahwa Al-Qur’an
adalah makhluk dan penolakan Sifat Alloh ﷻ (ta’thil).
2. Kewajiban menetapkan
Sifat-Sifat Alloh ﷻ sebagaimana yang datang dalam Nash (teks
Syar’i) tanpa takyif (membayangkan cara) dan tanpa ta’thil (penolakan).
Ucapan Para Imam Salaf Tentang
Jahmiyyah
Para Imam Salaf sangat keras dalam
membantah dan mencela Jahmiyyah. Kecaman mereka menjadi bukti adanya Ijma’
Salaf dalam menganggap Jahmiyyah sebagai kelompok bid’ah yang telah keluar
dari Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Ucapan Imam Malik bin Anas (179 H)
Imam Malik bin Anas (179 H), Imam Kota
Madinah, dikenal sangat membenci perdebatan dalam masalah Aqidah. Beliau telah
memperingatkan tentang bahaya perdebatan kaum Jahmiyyah:
إِيَّاكُمْ وَأَصْحَابَ الرَّأْيِ، فَإِنَّهُمْ
أَعْدَاءُ أَهْلِ السُّنَّةِ
“Jauhilah kalian dari ahlur ro’yi (orang-orang yang mendahulukan akal), karena karena mereka musuh Ahli Sunnah.” (Hilyatul
Auliya, 6/327)
Ucapan ini mengarah
kepada setiap kelompok yang mendahulukan akal di atas Nash, termasuk Jahmiyyah
dan Mu’tazilah.
Ucapan Imam Ahmad bin Hanbal Rohimahullah (241 H)
Imam Ahmad bin Hanbal (241 H), yang paling
gigih menghadapi Fitnah Jahmiyyah, mencela Jahmiyyah dengan sebutan yang sangat
keras karena telah menolak Sifat-Sifat Alloh ﷻ:
الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ،
وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ فَقَدْ كَفَرَ
“Al-Qur’an adalah Kalamulloh, bukan
makhluk. Dan siapa yang mengklaim bahwa ia (Al-Qur’an) adalah makhluk, maka
sungguh ia telah kafir.” (Al-Jami li Ulumil
Imam Ahmad, 4/24, Al-Khollal)
Beliau juga menetapkan bahwa semua Sifat
yang datang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah harus diimani, yang secara langsung
membantah ta’thil Jahmiyyah.
Hukum dan Sikap Terhadap Pengikut
Jahmiyyah
Harb bin Isma’il
Al-Kirmani (280 H) berkata tentang Ijma Salaf dalam Aqidah:
وَالْجَهْمِيَّةُ:
أَعْدَاءُ اللَّهِ؛ وَهُمُ الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّ الْقُرْآنَ مَخْلُوقٌ، وَأَنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يُكَلِّمْ مُوسَى، وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِمُتَكَلِّمٍ
وَلَا يَتَكَلَّمُ، وَلَا يَنْطِقُ، وَلَا يُرَى، وَلَا يُعْرَفُ لِلَّهِ مَكَانٌ،
وَلَيْسَ لِلَّهِ عَرْشٌ، وَلَا كُرْسِيٌّ، وَكَلَامٌ كَثِيرٌ أَكْرَهُ حِكَايَتَهُ،
وَهُمْ كُفَّارٌ، زَنَادِقَةٌ، أَعْدَاءُ اللَّهِ فَاحْذَرُوهُمْ.
Jahmiyyah adalah musuh-musuh
Alloh. Mereka adalah orang-orang yang mengklaim bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Bahwa Alloh –’Azza wa Jalla– tidak berbicara kepada Musa. Bahwa Alloh
tidak berbicara, dan tidak berucap. Tidak dapat dilihat, dan tempat Alloh tidak
dapat diketahui, dan Alloh tidak memiliki ‘Arsy maupun Kursi. Banyak lagi
perkataan-perkataan yang saya enggan untuk menceritakannya. Mereka adalah orang-orang
kafir, zanadiqoh (munafik ekstrim), musuh-musuh Alloh, maka
berhati-hatilah terhadap mereka.” (Ijma
As-Salaf fil I’tiqod)
Berdasarkan penolakan
mereka terhadap Sifat-Sifat Alloh ﷻ (ta’thil) dan klaim mereka bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk (kholqil Qur’an), mayoritas Imam Salaf menetapkan bahwa
pemikiran Jahmiyyah termasuk dalam kekafiran atau bid’ah mukaffiroh
(bid’ah yang menyebabkan pelakunya kafir).
Sikap keras ini bukan
didasarkan pada hawa nafsu, melainkan karena Jahmiyyah menolak hal-hal yang
diketahui secara pasti (ma’lum minaddin bidh-dhoruroh) dalam Aqidah,
yaitu:
1. Menolak Sifat Kalam
Alloh ﷻ, padahal Alloh ﷻ sendiri menyebut Al-Qur’an sebagai Kalam-Nya.
2. Menolak Sifat Uluw dan
Istiwa’ (Ketinggian) Alloh ﷻ,
padahal ini adalah Sifat yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah secara
jelas.
Banyak nukilan Salaf yang
mengkafirkan Jahmiyyah. (Syarh Ushul Itiqod Ahlis Sunnah, 2/344)
وَقَدْ أَجْمَعَ المُسْلِمُونَ وَجَمِيعُ
الفِرَقِ عَلَى تَكْفِيرِ الجَهْمِيِّ
Muslimin sepakat serta
seluruh kelompok atas kekafiran Jahmiyyah. (At-Tabshir, hal. 107; Al-Firoq,
hal. 211; Al-Milal wan Nihal, hal. 86)
Bolehkah Mengkafirkan Mu’ayyan (Individu Tertentu)?
Meskipun kaidah umum
menetapkan bahwa pemikiran Jahmiyyah adalah kafir, para Ulama membedakan antara
hukum terhadap kaidah dan hukum terhadap individu (mu’ayyan):
1. Hukum terhadap ucapan “Al-Qur’an makhluk”
adalah ucapan kufur.
2. Hukum terhadap individu (si pengucap): Individu
yang mengucapkan hal ini tidak serta merta divonis kafir, melainkan harus
memenuhi syarat dan tidak adanya penghalang (mawani’ takfir).
Penghalang yang paling sering
dipertimbangkan adalah jahl (ketidaktahuan) atau adanya syubhat (hal yang samar) yang ia yakini. Oleh
karena itu, para Imam Salaf, seperti Imam Ahmad (241 H), meskipun keras
terhadap kaidah Jahmiyyah, seringkali menahan diri dari mengkafirkan setiap
individu Jahmiyyah secara langsung, terutama yang dipaksa atau yang muta’awwil (mengubah makna Nash karena didasari salah tafsir). Akan tetapi,
bagi mereka yang menjadi pentolan dan berdebat secara terang-terangan (seperti
Ja’ad bin Dirham dan Jahm bin Shofwan), vonis kufur dapat dijatuhkan.
RINGKASAN
Pemikiran Jahmiyyah adalah fondasi bagi
semua bid’ah
dalam masalah Aqidah dan telah menjadi sumber penyimpangan yang merusak Tauhid
umat:
1.
Dalam
Tauhid Asma’ wa Shifat: Mereka memicu ta’thil (penolakan
Sifat) dan fitnah
kholqil
Qur’an.
2.
Dalam
Tauhid Uluhiyyah: Mereka memicu Irja’ (pemisahan amal dari iman), yang
melemahkan ibadah dan Jihad.
3.
Dalam
Tauhid Rububiyyah: Mereka memicu Jabr (Fatalisme), yang menghilangkan tanggung
jawab manusia atas perbuatan buruknya.
Jahmiyyah berhasil mengubah fokus umat dari
mempelajari dan mengamalkan Sifat-Sifat Alloh ﷻ
menjadi perdebatan yang kering dan dipenuhi Filsafat.
Wasiat Agar Berpegang Teguh Kepada
Manhaj Salaf
Setelah mengetahui bahaya besar dari
Jahmiyyah dan turunannya, kewajiban setiap Muslim, Mu’min, dan Muslimah adalah
kembali kepada Manhaj Salaf (jalan Rosululloh ﷺ, para Shohabat, dan Tabi’in).
Manhaj Salaf adalah jalan keselamatan, yang
dilandasi oleh 3 prinsip utama:
1. Itsbat (Menetapkan): Menetapkan
semua Nama dan Sifat Alloh ﷻ yang datang dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah.
2. Tanzih (Mensucikan): Mensucikan
Alloh ﷻ dari keserupaan dengan makhluk (bilaa tasybih), sesuai firman Alloh ﷻ:
﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ﴾
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuro: 11)
3. Tafwidh (Menyerahkan):
Menyerahkan cara dan hakikat Sifat Alloh ﷻ
kepada Alloh ﷻ, tanpa mencoba membayangkan caranya (bilaa takyif).
Dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip
ini, seseorang akan terhindar dari kesesatan Jahmiyyah dan turunannya yang
mengedepankan akal di atas Wahyu.
Allahu a’lam.
***