[PDF] Jahmiyyah - Sejarah, Pemikiran, dan Bantahannya dari Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma Salaf | Nor Kandir


 

PENDAHULUAN

Pentingnya Mempelajari Tauhid dan Ancaman Bid’ah

Tauhid (mengesakan Alloh ) adalah dasar yang paling penting dari agama Islam, yang merupakan tujuan penciptaan jinn dan manusia. Alloh berfirman:

﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ﴾

“Tidaklah Aku ciptakan jinn dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Ibadah yang diterima oleh Alloh adalah yang dilandasi oleh Tauhid dan mengikuti contoh Rosululloh (As-Sunnah). Jika Tauhid adalah pondasi, maka lawan dari Tauhid adalah syirik (menyekutukan Alloh ), dan syirik adalah dosa yang tidak akan diampuni. Alloh berfirman:

﴿إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ

“Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa Syirik kepada-Nya, dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’: 48)

Bid’ah (perkara baru dalam agama) adalah lawan dari As-Sunnah, dan ia merupakan pintu gerbang menuju penyimpangan Aqidah. Rosululloh telah memperingatkan bahaya bid’ah dalam Aqidah dengan sangat keras. Beliau bersabda:

«فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ ﷺ، وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ»

“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Alloh , dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad , dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim no. 867)

Tujuan mempelajari sejarah dan pemikiran kaum seperti Jahmiyyah adalah untuk melindungi diri dan umat dari bid’ah yang mereka bawa, karena bid’ah dalam masalah Tauhid, seperti yang dilakukan oleh Jahmiyyah, dapat merusak keimanan seseorang secara total. Rosululloh bersabda:

«مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ»

“Sesungguhnya siapa yang hidup di antara kamu maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kamu berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa’ur Rosyidin yang diberi petunjuk, gigitlah ia dengan gigi geraham.” (HR. Abu Dawud no. 4607)

Oleh sebab itu, memahami penyimpangan Jahmiyyah dalam Aqidah, terutama dalam masalah Asma’ wa Shifat Alloh , adalah langkah penting untuk menjauh dari kesesatan dan tetap berada di atas Manhaj Salaf (jalan para Shohabat dan Tabi’in).

Sekilas Tentang Firqoh Sesat dalam Sejarah Islam

Sejak zaman awal Islam, umat Muslim telah diperingatkan tentang munculnya perpecahan dan golongan-golongan yang menyimpang dari jalan yang lurus. Rosululloh telah mengabarkan bahwa perpecahan ini pasti akan terjadi. Beliau bersabda:

«وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً»، قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي»

“Orang-orang Yahudi berpecah menjadi 72 firqoh (golongan), dan umatku akan berpecah menjadi 73 firqoh, semuanya masuk Neraka kecuali satu.” Mereka bertanya: “Siapakah mereka (yang selamat) wahai Rosululloh?” Jawab beliau: “Siapa yang mengikuti aku dan Shohabatku.” (HR. At-Tirmidzi no. 2641)

Dari sekian banyak golongan yang muncul, hanya satu yang selamat, yaitu yang tetap berpegang teguh pada Aqidah Rosululloh dan para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum.

Secara umum, penyimpangan utama dalam Islam terbagi dalam 3 kelompok besar, yaitu:

1. Khowarij: Kelompok yang menyimpang dalam masalah penguasa dan dosa besar (terutama dalam mengkafirkan Muslim), didasari oleh pemahaman yang dangkal terhadap Nash (teks) Syar’i.

2. Syi’ah dan Rofidhoh: Kelompok yang menyimpang dalam masalah Imamah (kepemimpinan), mengkafirkan Shohabat, dan berlebihan (ghuluw) terhadap Ahli Bait.

3. Jahmiyyah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, dan sejenisnya: Kelompok yang menyimpang dalam masalah dalam memahami dan menetapkan Asma’ wa Shifat (Nama dan Sifat-Sifat) Alloh , seringkali karena terpengaruh oleh Filsafat Yunani (manthiq).

Jahmiyyah yang menjadi fokus pembahasan buku ini, adalah salah satu golongan bid’ah yang paling berbahaya. Mereka adalah cikal bakal dari banyak penyimpangan Aqidah yang terjadi sesudahnya, terutama dalam hal ta’thil (menolak dan menafikan Sifat-Sifat Alloh ).

Metode Pembahasan dalam Buku

Buku ini disusun dengan mengedepankan Manhaj Salaf (metode para pendahulu yang sholih, yaitu Shohabat dan Tabi’in) dalam menghadapi pemikiran yang menyimpang. Metode yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Pemaparan Ayat dan Hadits: Setiap dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah akan ditampilkan dalam teks Arab yang berharokat penuh untuk menjamin keakuratan sumber.

2. Berpegang Teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah: Semua dasar bantahan dan argumentasi diambil langsung dari sumber utama Syari’at, tanpa didasarkan pada akal atau hawa nafsu. Alloh berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا﴾

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul serta Ulil Amri (penguasa dan ulama) di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al-Qur’an) dan Rosul (As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (baik) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’: 59)

3. Mengutamakan Ijma’ Salaf: Pemahaman terhadap Nash Syar’i (Ayat dan Hadits) didasarkan pada pemahaman para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum dan Imam Salaf seperti Imam Abu Hanifah Rohimahullah (150 H), Imam Malik bin Anas (179 H), Imam Asy-Syafi’i Rohimahullah (204 H), dan Imam Ahmad bin Hanbal Rohimahullah (241 H).

4. Menukil Ucapan Salaf: Ucapan-ucapan dari Nabi , Shohabat, dan Tabi’in akan dinukil secara langsung sebagai bukti adanya konsensus (Ijma’) dalam membantah penyimpangan Aqidah Jahmiyyah.

 

BAB 1: SEJARAH MUNCULNYA JAHMIYYAH

Siapa Ja’ad bin Dirham (124 H)? Pendiri Jahmiyyah

Jahmiyyah adalah nama golongan sesat yang dinisbatkan kepada tokoh sentralnya, Jahm bin Shofwan (128 H). Namun, cikal bakal pemikiran sesat ini berasal dari guru Jahm, yaitu Ja’ad bin Dirham (124 H). Ja’ad bin Dirham adalah orang pertama yang menyebarkan bid’ah ta’thil (menafikan Sifat-Sifat Alloh ) secara terang-terangan di tengah  Muslimin.

Ja’ad bin Dirham dikenal pada masa akhir Tabi’in, dan ia tinggal di Damaskus, Syam. Di antara pemikiran sesat yang ia sebarkan adalah:

1. Mengingkari Sifat-Sifat Alloh : Ia menafikan bahwa Alloh berbicara (Kalam), Dia memiliki Wajah, Tangan, dan Sifat-Sifat Tinggi (Uluw) lainnya, dengan alasan bahwa penetapan Sifat-Sifat tersebut akan menyamakan Alloh dengan makhluk-Nya.

2. Klaim Al-Qur’an Adalah Makhluk: Sebagai konsekuensi dari penolakan Sifat Kalam (Berbicara), ia berpendapat bahwa Al-Qur’an (yang merupakan Kalamulloh) adalah ciptaan (makhluk) Alloh , bukan Kalam Alloh yang Azali (terdahulu).

Penyimpangan Ja’ad ini sangat berbahaya karena menyerang langsung pondasi Tauhid. Para Ulama Salaf telah menetapkan bahwa Alloh memiliki Sifat-Sifat yang sesuai dengan Keagungan-Nya, tanpa menyerupai makhluk (tasybih) dan tanpa menolaknya (ta’thil).

Penyebaran bid’ah Ja’ad bin Dirham ini tidak berlangsung lama dan ia mendapatkan hukuman mati. Kholid bin Abdillah Al-Qosri (wali kota Kufah pada masa itu) melaksanakan hukuman mati terhadap Ja’ad bin Dirham pada Hari Raya Idul Adha (124 H). Kholid bin Abdillah Al-Qosri berkata saat khutbah Idul Adha:

أَيُّهَا النَّاسُ ضَحُّوا تَقَبَّلَ اللَّهُ ضَحَايَاكُمْ فَإِنِّي مُضَحٍّ بِالْجَعْدِ بْنِ دِرْهَمٍ إِنَّهُ زَعَمَ أَنَّ اللَّهَ لَمْ يَتَّخِذْ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا وَلَمْ يُكَلِّمْ مُوسَى تَكْلِيمًا سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَقُولُ الْجَعْدُ عُلُوًّا كَبِيرًا ثُمَّ نَزَلَ فَذَبَحَهُ

“Wahai sekalian manusia, berkurbanlah, semoga Alloh menerima kurban-kurban kalian. Sesungguhnya aku akan berkurban dengan Ja’ad bin Dirham. Karena sesungguhnya ia mengklaim bahwa Alloh tidak menjadikan Ibrohim sebagai Kholil (kekasih) dan tidak berbicara kepada Musa dengan sebenar-benarnya pembicaraan (takliiman). Maha Suci Alloh dari apa yang dikatakan Ja’ad. Kemudian ia turun lalu menyembelihnya. (Ash-Shofadhiyyah, 2/263, Syaikhul Islam)

Pengaruh Pemikiran Asing (Filsafat Yunani)

Penyimpangan Aqidah yang dibawa oleh Ja’ad bin Dirham bukanlah murni dari pemikiran pribadinya, melainkan hasil dari interaksi dan pengaruh kuat dari Filsafat Yunani kuno.

Pada masa awal Daulah Islam, terjadi perluasan wilayah dan perkenalan dengan berbagai peradaban, termasuk pemikiran Filosof (ahli filsafat) dari Yunani dan Persia. Pemikiran yang sangat mempengaruhi Ja’ad bin Dirham adalah pemikiran tentang Ketuhanan yang dianut oleh para Filosof seperti Aristoteles dan Plato yaitu tuhan (Causa Prima) harus statis dan tidak bergerak sehingga tidak boleh memiliki sifat karena sifat mengharuskan adanya perubahan dan tajsim (adanya jasad hingga mirip makhluk), yang kemudian dikembangkan oleh kelompok Neoplatonisme.

Prinsip utama yang diambil oleh Jahmiyyah adalah konsep bahwa Alloh (mereka sebut sebagai Al-Wujud Al-Mutlaq atau Dzat yang Mutlak) haruslah bersifat mujarrod (kosong dari segala atribut/sifat) agar tidak disamakan dengan makhluk. Para Filosof ini berpendapat bahwa menetapkan Sifat seperti Berbicara, Berkehendak, atau Bersemayam pada Alloh akan:

1. Menyebabkan Kebutuhan: Sifat seperti Berbicara membutuhkan alat (seperti pita suara) dan Bersemayam membutuhkan tempat, dan ini dianggap mustahil bagi Dzat yang Maha Sempurna dan Tidak Membutuhkan apapun.

2. Menyebabkan Persamaan (Tasybih): Sifat-sifat tersebut juga dimiliki oleh makhluk, sehingga menetapkannya pada Alloh dianggap sebagai tasybih (menyerupakan Alloh dengan makhluk).

Karena alasan ini, Ja’ad bin Dirham dan pengikutnya menggunakan akal sebagai penentu utama dalam masalah Aqidah, dan bukan Nash Syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Ketika Nash (seperti: “Alloh Bersemayam di atas ‘Arsy.(QS. ThoHa: 5)) bertentangan dengan hasil akal mereka (bahwa Bersemayam = butuh tempat), maka mereka akan memilih untuk menolak (ta’thil) Sifat tersebut atau mentakwil (mengubah makna) Nash tersebut.

Peran Jahm bin Shofwan (128 H) dalam Penyebaran

Setelah gurunya, Ja’ad bin Dirham (124 H), dihukum mati, estafet penyebaran pemikiran ta’thil (penolakan Sifat Alloh ) dilanjutkan oleh muridnya yang paling terkenal, yaitu Jahm bin Shofwan Abu Muhriz At-Tirmidzi. Jahm bin Shofwan adalah seorang orator ulung dan pandai berdebat, sehingga ia lebih efektif dalam menyebarkan bid’ah ini dibandingkan gurunya. Golongan sesat ini kemudian dinisbatkan kepadanya, dan dikenal sebagai Jahmiyyah.

Jahm menyebarkan pemikirannya, terutama dua poin utama, di Khurosan dan Tirmidz:

1. Ta’thil Al-Asma’ wa Ash-Shifat: Jahm menolak semua Sifat Alloh . Menurutnya, Alloh tidak dapat digambarkan dengan Sifat apapun karena setiap Sifat dapat dikaitkan dengan makhluk. Ia hanya menetapkan nama-nama umum yang harus ada pada tuhan yaitu Al-Hayy (Maha Hidup), Al-Kholiq (Maha Mencipta), Al-Qodir (Maha Kuasa) tetapi menafikan maknanya. Konsekuensi dari pemikiran ini adalah bahwa Alloh menjadi Dzat yang ma’dum (tidak ada) atau tidak dapat dipahami.

2. Jabr dan Irja’: Jahm mencetuskan konsep Jabr (Fatalisme/Paksaan), yang mengklaim bahwa manusia tidak memiliki daya dan ikhtiar (pilihan) dalam perbuatannya. Hamba hanyalah alat yang dipaksa oleh Alloh untuk berbuat. Sebagai konsekuensinya, ia juga mencetuskan konsep Irja’, yaitu bahwa iman hanyalah pembenaran hati (tashdiq) saja. Amal (perbuatan) sama sekali tidak masuk dalam definisi iman.

Pemikiran Jahm ini dianggap sangat berbahaya oleh Salaf dan memicu perlawanan keras dari para Imam, khususnya dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Jahm bin Shofwan sendiri akhirnya terbunuh di Marwa pada akhir tahun 128 H, setelah kalah dalam pertempuran (pemberontakan bersama Ibnu Suroij) melawan Salam bin Ahwaz Al-Mazini, bawahan kholifah Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan.

Perkembangan Jahmiyyah Setelah Ja’ad dan Jahm

Meskipun Ja’ad bin Dirham dan Jahm bin Shofwan tewas pada masa Tabi’in, pemikiran Jahmiyyah tidak langsung hilang. Sebaliknya, pemikiran ini terpecah dan menyebar, menjadi benih bagi lahirnya golongan-golongan bid’ah selanjutnya, yaitu:

1. Mu’tazilah

Golongan ini berkembang pesat dari pemikiran Jahmiyyah. Mu’tazilah sepakat dengan Jahmiyyah dalam masalah ta’thil (menolak Sifat-Sifat Alloh ). Bedanya, Mu’tazilah menetapkan Nama-Nama Allah tetapi tanpa makna, berbeda dengan Jahmiyyah yang menolak semuanya.

Mu’tazilah mengklaim Al-Qur’an adalah makhluk, namun mereka menolak konsep Jabr (paksaan) yang dianut Jahmiyyah. Sebaliknya, mereka berpegang pada konsep Qodariyyah (manusia bebas berkehendak/berbuat). Jahmiyyah dan Mu’tazilah sempat bersatu dalam keyakinan tentang penciptaan Al-Qur’an (Al-Qur’an Makhluk), yang kemudian memicu fitnah Kholqil Qur’an (ujian berat bagi Ulama untuk mengakui Al-Qur’an sebagai makhluk) pada masa Kekholifahan Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq.

2. Kullaabiyyah dan Asy’ariyyah

Setelah menghadapi bantahan yang sangat keras dari para Imam Salaf, terutama Imam Ahmad bin Hanbal (241 H), para pengikut Jahmiyyah dan Mu’tazilah berupaya melakukan koreksi dan moderasi atas ajaran mereka.

Kullaabiyyah: Dinamakan dari Abdulloh bin Sa’id bin Kullaab (240 H). Ia mulai menetapkan 7 (tujuh) Sifat saja untuk Alloh , dan menolak Sifat-Sifat Khobariyyah (Sifat yang terkait dengan anggota badan seperti Tangan atau Wajah), yang merupakan langkah moderat dari ta’thil total Jahmiyyah.

Asy’ariyyah: Dinamakan dari Abul Hasan Al-Asy’ari (324 H). Pada tahap awal, beliau adalah seorang Mu’tazilah, kemudian beliau kembali ke ajaran Kullaabiyyah, dan di akhir hidupnya, beliau berbaiat dan kembali ke Manhaj Salaf (sebagaimana tertuang dalam kitab Al-Ibanah). Namun, mayoritas pengikutnya setelah itu hanya mengambil ajaran Kullaabiyyah (penetapan 7 Sifat) dan tetap mentakwil Sifat-Sifat lainnya.

Dengan demikian, Jahmiyyah adalah akar dari semua golongan yang mengutamakan akal daripada Nash Syar’i dalam masalah Asma’ wa Shifat, dan merupakan musuh terberat yang dihadapi oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyyah.

 

BAB 2: POKOK-POKOK PEMIKIRAN JAHMIYYAH

Pemikiran Tentang Asma’ wa Shifat (Nama dan Sifat Alloh )

Penyimpangan Aqidah yang paling mendasar dan menjadi ciri khas dari Jahmiyyah adalah dalam masalah Asma’ wa Shifat (Nama dan Sifat Alloh ). Prinsip mereka adalah ta’thil (penolakan, penafian) secara total terhadap Sifat-Sifat Alloh .

Konsep Ta’thil (Penolakan) Terhadap Sifat-Sifat Alloh

Jahmiyyah berpandangan bahwa setiap Sifat yang ditetapkan bagi Alloh akan berkonsekuensi tasybih (menyerupai) Alloh dengan makhluk-Nya. Akal mereka berhujjah bahwa karena manusia memiliki tangan, wajah, atau berbicara, maka menetapkan Sifat yang sama bagi Alloh berarti menyamakan Alloh dengan manusia.

Untuk menghindari tasybih, mereka melakukan ta’thil (penolakan) total. Mereka menolak Sifat-Sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, di antaranya:

1.    Sifat Kalam (Berbicara): Mereka menolak bahwa Alloh berbicara dengan Suara dan Huruf yang didengar, seperti ketika Dia berbicara kepada Nabi Musa .

2.    Sifat Uluw (Ketinggian): Mereka menolak bahwa Alloh Bersemayam (Istiwa’) di atas ‘Arsy atau berada di tempat yang Tinggi, dengan dalih bahwa menetapkan tempat berarti Alloh membutuhkan ‘Arsy, padahal Alloh Maha Kaya dan Tidak Membutuhkan apapun.

3.    Sifat Khobariyyah (Sifat yang terkait dengan anggota): Mereka menolak Sifat Wajah, Tangan, Kaki, dan Mata bagi Alloh .

Konsekuensi dari ta’thil ini sangat fatal dalam Aqidah. Para Imam Salaf seperti Imam Ibnu Qudamah (620 H) menjelaskan bahwa jika semua Sifat dinafikan, maka Dzat Alloh yang mereka yakini menjadi sesuatu yang tidak dikenal, bahkan menyerupai ma’dum (sesuatu yang tidak ada).

Klaim Bahwa Al-Qur’an Adalah Makhluk (Bukan Kalamulloh)

Konsekuensi logis dari penolakan Sifat Kalam adalah klaim bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (ciptaan Alloh ) dan bukan Kalamulloh (Firman Alloh ) yang Qodim (terdahulu).

Jahmiyyah berpendapat bahwa jika Al-Qur’an adalah Kalam Alloh yang Azali (terdahulu) dan bukan makhluk, maka akan ada dua Qodim (dua yang dahulu) selain Alloh , yaitu Alloh dan Kalam-Nya, yang menurut akal mereka mustahil. Mereka hanya mengakui bahwa makna dari Al-Qur’an adalah Qodim, tetapi lafazh (teks) yang kita baca adalah makhluk.

Pendapat ini memicu fitnah besar, yaitu fitnah kholqil Qur’an, di mana pada masa itu para Ulama yang menolak mengakui Al-Qur’an sebagai makhluk disiksa dan dipenjara, termasuk Imam Ahmad bin Hanbal (241 H) yang gigih mempertahankan Aqidah Salaf.

Nabi Musa disebut dalam Al-Qur’an sebagai Kalimulloh (yang diajak Bicara oleh Alloh ). Alloh berfirman:

﴿وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا﴾

“Alloh telah berbicara kepada Musa dengan sebenar-benar pembicaraan (QS. An-Nisa’: 164)

Ucapan ini adalah dalil jelas bahwa Alloh Berbicara. Jahmiyyah dan pengikutnya menolak makna takliiman yang berarti pembicaraan sebenarnya, untuk menafikan Sifat Kalam.

Pemikiran Tentang Iman

Pemikiran Jahmiyyah dalam masalah Iman sangat dipengaruhi oleh konsep dasar yang mereka bawa (bahwa tuhan harus statis), yang dikenal sebagai Irja’ (penundaan). Istilah Irja’ artinya menunda atau memisahkan amal perbuatan dari definisi Iman, sehingga amal (perbuatan) tidak dianggap sebagai bagian dari hakikat Iman.

Konsep Irja’ (Iman Cukup dengan Pembenaran Hati)

Menurut Jahmiyyah, Iman adalah cukup dengan pembenaran di dalam hati (tashdiq), atau hanya sekadar pengetahuan (ma’rifah) tentang keberadaan Alloh .

Konsekuensi dari pemikiran ini sangat berbahaya:

1. Amal Tidak Wajib: Karena amal tidak dianggap bagian dari iman, maka meninggalkan Sholat, Zakat, Puasa, atau melakukan dosa besar tidak akan mengurangi keimanan seseorang sedikit pun. Bagi mereka, Firaun dan Iblis dapat dikatakan sebagai Mu’min karena mereka mengetahui dan meyakini keberadaan Alloh di dalam hati, meskipun mereka ingkar secara ucapan dan perbuatan.

2. Iman Setiap Orang Sama: Mereka berpendapat bahwa iman para Nabi dan Rosul (seperti Nabi Muhammad ) setara dengan iman orang yang paling berdosa di antara Mu’min, karena iman hanyalah pembenaran di hati, dan hati setiap orang yang membenarkan adalah sama.

Pemikiran ini jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Alloh mencela orang yang hanya mengakui dengan lisan tetapi tidak beramal, serta menggambarkan Iman dengan hati, lisan, dan perbuatan. Rosululloh juga bersabda:

«الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ - أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ - شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ»

“Iman itu ada 70 sekian cabang, yang paling utama adalah ucapan Laa Ilaaha Illalloh, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu adalah salah satu cabang dari iman.” (HR. Muslim no. 35)

Hadits ini membuktikan bahwa Iman mencakup ucapan (Laa Ilaaha Illalloh), perbuatan (menyingkirkan gangguan), dan keyakinan hati (malu), yang kesemuanya ditolak sebagai bagian hakiki dari Iman oleh Jahmiyyah. Golongan yang berpemahaman seperti ini kemudian dikenal secara umum sebagai Murji’ah. Akan tetapi Mur’jiah bertingkat-tingkat, yang paling ringan adalah Murji’ah Fuqoha yang mengatakan iman adalah keyakinan dan ucapan, sementara amal tidak termasuk iman tetapi meninggalkan amal bisa fasik.

Pemikiran Tentang Takdir

Dalam masalah Takdir, Jahmiyyah menganut paham Jabr (Fatalisme/Paksaan) yang ekstrem. Paham ini disebut juga Jabariyyah.

Konsep Jabar (Paksaan) dalam Perbuatan Hamba

Jahmiyyah mengklaim bahwa manusia tidak memiliki daya dan ikhtiar (pilihan) sama sekali dalam perbuatannya. Mereka berpandangan bahwa hamba hanyalah seperti benda mati atau bulu yang diterbangkan angin. Semua perbuatan, baik itu Sholat, Zakat, mencuri, atau berzina, seluruhnya diciptakan oleh Alloh , dan hamba tidak memiliki peran kecuali sebagai tempat terjadinya perbuatan tersebut.

Mereka berhujjah bahwa mengakui adanya ikhtiar bagi hamba berarti menyamakan hamba dengan Alloh dalam hal penciptaan perbuatan.

Konsekuensi dari pemikiran Jabariyyah ini adalah:

1. Penghilangan Tanggung Jawab: Jika manusia dipaksa dalam perbuatannya, maka hukuman dan pahala menjadi tidak adil, karena seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan tanpa kehendaknya sendiri.

2. Pembenaran Dosa: Seseorang dapat berdalih bahwa segala dosa yang ia lakukan adalah paksaan dari Alloh , sehingga ia tidak layak dicela.

Pemikiran ini ditolak oleh Ijma’ Salaf. Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan bahwa:

﴿لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ﴾

“Ia (jiwa) mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dilakukannya (QS. Al-Baqoroh: 286)

﴿فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا﴾

“Siapa yang ingin beriman, silahkan. Begitupula yang ingin kafir juga silahkan. Tetapi Kami sediakan bagi orang-orang zholim (kafir) Neraka.” (QS. Al-Kahfi: 29)

Dua ayat ini menunjukkan bahwa hamba memiliki kasb (usaha/kemampuan) dan irodah (keinginan) terhadap perbuatannya, meskipun semua perbuatan hamba, baik kehendak maupun pelaksanaannya, tetap berada dalam Takdir Alloh . Inilah jalan tengah antara Jabariyyah (yang menolak ikhtiar) dan Qodariyyah (yang menolak Takdir Alloh ).

Pemikiran Tentang Hari Akhir

Pengingkaran Melihat Alloh di Jannah (Ru’yatulloh)

Jahmiyyah juga mengingkari bahwa Mu’min akan melihat Alloh secara langsung di Jannah pada Hari Kiamat. Ini adalah konsekuensi logis dari ta’thil mereka terhadap Sifat Alloh . Bagi mereka, karena Alloh tidak dapat digambarkan dengan Sifat apapun, maka mustahil Dzat-Nya dapat dilihat. Padahal, Al-Qur’an secara tegas menyebutkan:

﴿وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ﴾

“Wajah-wajah (orang Mu’min) pada hari itu berseri-seri, melihat kepada Robb-nya (QS. Al-Qiyamah: 22-23)

Mereka juga mengingkari Hisab, Telaga, syafaat, dan kekekalan Surga-Neraka.

 

BAB 3: BANTAHAN TERHADAP PEMIKIRAN JAHMIYYAH

Bantahan Terhadap Ta’thil Asma’ wa Shifat

Ta’thil (penolakan Sifat Alloh ) adalah inti bid’ah Jahmiyyah. Ahlus Sunnah wal Jama’ah membantah pemikiran ini dengan tegas, berpegang pada metode yang disimpulkan dalam 3 kaidah: itsbat (menetapkan Sifat), bilaa takyif (tanpa mempertanyakan bagaimana), dan bilaa tasybih (tanpa menyerupakan dengan makhluk).

Bantahan terhadap ta’thil didasarkan pada ratusan Nash Syar’i, yang intinya menguatkan bahwa Alloh memiliki Sifat-Sifat Kesempurnaan yang sesuai dengan Keagungan-Nya.

1. Bantahan Terhadap Penolakan Sifat Uluw (Ketinggian) dan Istiwa’ (Tinggi)

Jahmiyyah menolak bahwa Alloh istiwa (tinggi) di atas ‘Arsy dengan dalih tasybih (menyerupakan Alloh butuh tempat). Bantahannya adalah firman Alloh :

﴿الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ﴾

“Ar-Rohman (Yang Maha Pengasih) istiwa di atas ‘Arsy (Singgasana). (QS. Thoha: 5)

Imam Malik bin Anas (179 H) ketika ditanya tentang makna Istiwa’ ini, beliau berkata:

الِاسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ، وَالكَيْفُ مَجْهُولٌ، وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ

“Istiwa’ itu diketahui (secara bahasa), dan kaifiyahnya (cara atau bagaimana) itu tidak diketahui, dan mengimaninya adalah wajib, dan bertanya tentang bagaimana caranya adalah bid’ah.” (Tafsir Al-Qurthubi, 2/219)

Ini menunjukkan bahwa Salaf menetapkan Sifat Istiwa’ tanpa takyif (tanpa mempertanyakan bagaimana) dan tanpa ta’thil (penolakan).

2. Bantahan Terhadap Penolakan Sifat Kalam (Berbicara)

Jahmiyyah menolak bahwa Alloh Berbicara dengan Suara dan Huruf (sehingga mereka mengklaim Al-Qur’an adalah makhluk). Alloh berfirman:

﴿وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا ۚ لَّا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ﴾

“Telah sempurna Kalimat (Firman) Robb-mu (Alloh ) dengan benar (dalam berita) dan adil (dalam hukum). Tidak ada yang dapat mengubah Kalimat-Kalimat-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 115)

Hadits dari Rosululloh juga menguatkan bahwa Alloh memiliki Sifat Kalam yang hakiki dan didengar, seperti sabda beliau:

«إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ العَبْدَ نَادَى جِبْرِيلَ: إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحْبِبْهُ»

“Apabila Alloh mencintai seorang hamba, Dia akan memanggil Jibril, Sesungguhnya Alloh mencintai si fulan, maka cintailah ia.(HR. Al-Bukhori no. 3209 dan Muslim no. 2637)

Panggilan (nidaa’) adalah bentuk Kalam (Berbicara).

3. Bantahan Terhadap Penolakan Sifat Khobariyyah

Jahmiyyah menolak Sifat Wajah, Tangan, dan Sifat lainnya bagi Alloh . Bantahannya adalah firman Alloh :

﴿وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ﴾

“Dan kekal Wajah Robb-mu yang memiliki Keagungan dan Kemuliaan.” (QS. Ar-Rohman: 27)

Alloh juga berfirman:

﴿بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ﴾

“Bahkan kedua Tangan-Nya terbentang, Dia memberi sebagaimana Dia kehendaki.” (QS. Al-Ma’idah: 64)

Manhaj Salaf adalah menetapkan Wajah, Tangan, dan Sifat lainnya bagi Alloh sebagaimana yang Dia tetapkan untuk Diri-Nya, namun tanpa tasybih kepada makhluk. Alloh berfirman:

﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ﴾

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuro: 11)

Ayat ini adalah kaidah utama. Jahmiyyah mengambil bagian awal ayat dan menyalahgunakannya untuk ta’thil, sementara mereka meninggalkan bagian akhir ayat. Ahlus Sunnah mengambil seluruhnya: tidak ada yang serupa dengan-Nya (menolak tasybih), namun Dia tetap Maha Mendengar lagi Maha Melihat (menetapkan Sifat).

Bantahan Terhadap Klaim Al-Qur’an Adalah Makhluk

Pokok pemikiran Jahmiyyah yang paling keras ditentang oleh Salaf adalah klaim bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (ciptaan). Mereka meyakini ini sebagai konsekuensi logis dari penolakan mereka terhadap Sifat Kalam (Berbicara) bagi Alloh .

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan bahwa Al-Qur’an adalah Kalamulloh (Firman Alloh ) yang diturunkan, bukan makhluk. Bantahan Salaf didasarkan pada poin-poin berikut:

1. Al-Qur’an Adalah Kalamulloh yang Qodim (Terdahulu)

Al-Qur’an merupakan Sifat dari Alloh , yaitu Sifat Kalam. Jika Kalam Alloh adalah makhluk, maka konsekuensinya Alloh pada suatu waktu dahulu tidak memiliki Sifat Kalam, atau Dia baru berbicara setelah menciptakan Al-Qur’an. Ini menunjukkan Alloh mengalami kekurangan atau perubahan, yang mustahil bagi Dzat yang Maha Sempurna dan Azali (tiada permulaan).

Bantahannya adalah firman Alloh :

﴿قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا﴾

“Katakanlah: Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) Kalimat-Kalimat Robb-ku, sungguh habislah lautan sebelum habis Kalimat-Kalimat Robb-ku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).’(QS. Al-Kahfi: 109)

Ayat ini menunjukkan bahwa Kalimat Alloh (Firman-Nya) tidak terbatas dan tidak akan habis, menunjukkan Sifat Kalam yang melekat pada Dzat Alloh , bukan sekadar ciptaan yang terbatas dan akan musnah.

Sifat Berbicara adalah Sifat Fi’liyyah, yaitu terjadi jika Allah menghendaki.

2. Fitnah Kholqil Qur’an dan Kegigihan Imam Ahmad

Klaim bahwa Al-Qur’an adalah makhluk ini menjadi fitnah (ujian) terbesar bagi para Ulama pada abad ke-3 Hijriyyah, yang dikenal sebagai fitnah kholqil Qur’an. Fitnah ini dipaksakan oleh Kholifah Al-Ma’mun dan penerusnya, yang dipengaruhi oleh pemikiran Mu’tazilah (turunan Jahmiyyah).

Para Ulama dihadapkan pada pilihan: mengakui Al-Qur’an sebagai makhluk agar selamat dari siksaan, atau berpegang teguh pada Aqidah Salaf dan siap disiksa. Tokoh sentral yang berdiri teguh menolak klaim ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal (241 H). Beliau berpegang teguh pada:

الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ غَيْرُ مَخْلُوقٍ

“Al-Qur’an adalah Kalamulloh, bukan makhluk.

Kegigihan Imam Ahmad Rohimahullah dalam mempertahankan Aqidah ini menyelamatkan umat dari penyimpangan yang terstruktur. Beliau berkata kepada para penyiksanya, “Berikan kepadaku satu dalil saja (dari Al-Qur’an atau As-Sunnah) yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka aku akan mengikutinya.”

3. Pemahaman Shohabat dan Tabi’in

Tidak pernah dinukil dari seorang Shohabat pun Rodhiyallahu ‘Anhum atau Tabi’in yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Bahkan, para Tabi’in telah mencela orang yang mengatakan hal ini.

Abdullah bin Al-Mubarok (181 H) pernah berkata:

الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ وَلَيْسَ بِمَخْلُوقٍ

“Al-Qur’an adalah Kalamulloh, dan bukan makhluk.” (Al-Ibanah Al-Kubro, Ibnu Baththoh, 6/16)

Harb Al-Kirmani (270 H) berkata dalam kitab kesepakatan Salaf:

وَالْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ تَكَلَّمَ بِهِ لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ، فَمَنْ زَعَمَ أَنَّ الْقُرْآنَ مَخْلُوقٌ فَهُوَ جَهْمِيٌّ كَافِرٌ.

Al-Qur’an adalah Kalam (Firman) Alloh. Dia berfirman dengannya, dan Al-Qur’an bukanlah makhluk. Siapa pun yang mengklaim Al-Qur’an adalah makhluk, maka dia adalah Jahmi (pengikut Jahm bin Shofwan) yang kafir.

وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ الْقُرْآنَ كَلَامُ اللَّهِ وَوَقَفَ، وَلَمْ يَقُلْ: لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ، فَهُوَ أَكْفَرُ مِنَ الْأَوَّلِ وَأَخْبَثُ قَوْلًا.

Siapa pun yang mengklaim Al-Qur’an adalah Kalam Alloh, tetapi dia berhenti dan tidak mengatakan: “Al-Qur’an bukan makhluk,” maka dia lebih kafir dari orang sebelumnya dan ucapannya lebih keji.

وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ أَلْفَاظَنَا بِالْقُرْآنِ وَتِلَاوَتَنَا لَهُ مَخْلُوقَةٌ وَالْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ فَهُوَ جَهْمِيٌّ خَبِيثٌ مُبْتَدِعٌ. وَمَنْ لَمْ يُكَفِّرْ هَؤُلَاءِ الْقَوْمَ وَالْجَهْمِيَّةَ كُلَّهُمْ فَهُوَ مِثْلُهُمْ.

Siapa pun yang mengklaim bahwa lafal-lafal kita ketika membaca Al-Qur’an dan bacaan kita terhadapnya adalah makhluk, sedangkan Al-Qur’an adalah kalam Alloh, maka dia adalah seorang Jahmi yang keji lagi ahli bid’ah. Siapa tidak mengkafirkan kaum ini dan seluruh golongan Jahmiyyah, maka dia seperti mereka. (Ijmaau As-Salaf fil I’tiqod, Harb Al-Kirmani)

Konsensus para Salaf ini menunjukkan bahwa klaim Jahmiyyah adalah bid’ah yang bertentangan dengan Ijma’ (kesepakatan) Ahli Sunnah.

Bantahan Terhadap Konsep Iman ala Jahmiyyah (Irja’)

Irja’ adalah bid’ah Jahmiyyah yang paling berbahaya kedua setelah ta’thil. Irja’ adalah pemikiran yang memisahkan amal perbuatan dari hakikat Iman, yang menganggap bahwa Iman cukup hanya dengan pembenaran hati (tashdiq) atau pengetahuan (ma’rifah). Pemikiran ini memiliki konsekuensi yang merusak Syari’at Islam.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah membantah Irja’ dengan menetapkan bahwa: Iman adalah Ucapan dengan lisan, Keyakinan dengan hati, dan Amal dengan anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.

1. Bantahan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah

Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah secara jelas menghubungkan Iman dengan amal perbuatan dan ucapan:

a. Menghubungkan Iman dengan Amal Sholih

Alloh dalam banyak ayat selalu menyebut Iman bersamaan dengan amal sholih, yang membuktikan bahwa keduanya adalah kesatuan yang tidak terpisahkan.

﴿إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ﴾

“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal sholih, maka bagi mereka pahala yang tidak putus-putusnya.” (QS. At-Tin: 6)

Jika amal sholih bukan bagian dari Iman, maka penyebutan keduanya secara berulang kali di dalam Al-Qur’an akan menjadi sia-sia.

Begitupula Allah menyebut perbuatan menghadap qiblat sebagai iman dalam ayat:

﴿وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ﴾

“Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu (yakni Sholat dulu yang menghadap Baitul Maqdis).” (QS. Al-Baqoroh: 143)

b. Sholat Sebagai Tiang Iman

Rosululloh menjadikan Sholat (amal perbuatan) sebagai pembeda antara keimanan dan kekafiran. Beliau bersabda:

«إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ»

“Antara seseorang dengan syirik dan kekafiran adalah meninggalkan Sholat.” (HR. Muslim no. 82)

Hadits ini menunjukkan bahwa meninggalkan amal tertentu, yaitu Sholat, dapat mengeluarkan seseorang dari lingkungan Iman, yang mustahil terjadi jika Iman hanyalah tashdiq (pembenaran hati) semata seperti klaim Jahmiyyah.

2. Bantahan dengan Contoh Logis

Jika Iman adalah murni tashdiq (pembenaran hati) saja, maka klaim Jahmiyyah akan memiliki konsekuensi yang mustahil:

Iman Firaun: Firaun, meskipun secara lisan mengaku sebagai Robb (Tuhan), ia mengetahui dan meyakini di dalam hati bahwa Robb yang sebenarnya adalah Alloh dan Nabi Musa adalah benar. Alloh berfirman tentang Firaun:

﴿وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا﴾

“Dan mereka mengingkarinya (Ayat-Ayat Alloh ) padahal hati mereka meyakininya, karena kezoliman dan kesombongan.” (QS. An-Naml: 14)

Apabila Irja’ Jahmiyyah benar, maka Firaun haruslah dianggap sebagai Mu’min karena hatinya membenarkan. Ini jelas merupakan kesesatan yang nyata, sebab Alloh dan Rosul telah menetapkan Firaun sebagai kafir yang kekal di Naar.

Iman Iblis: Iblis juga meyakini dan mengetahui Alloh , bahkan ia berbicara langsung kepada-Nya. Namun, karena ia menolak beramal (sujud kepada Adam), ia divonis kafir oleh Alloh .

Kesimpulannya, Irja’ adalah pemikiran yang membuka pintu bagi orang-orang untuk meninggalkan amal ketaatan sambil merasa aman dari adzab Alloh , karena mengklaim Iman mereka sudah sempurna di hati. Pemikiran ini mematikan Jihad, Zakat, dan semua Syi’ar (simbol) Islam.

Bantahan Terhadap Konsep Jabr (Paksaan)

Jahmiyyah menganut paham Jabariyyah (Fatalisme) ekstrem yang mengklaim bahwa hamba tidak memiliki ikhtiar (kehendak bebas) dalam perbuatannya. Mereka menganggap perbuatan manusia sepenuhnya dipaksakan oleh Alloh , sehingga manusia tidak lebih dari sekadar alat atau wadah.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah membantah konsep Jabr ini dengan menetapkan adanya kemampuan dan kehendak bagi hamba, meskipun kedua hal ini tetap berada di bawah Kehendak Mutlak Alloh . Ini adalah jalan tengah antara Jabariyyah dan Qodariyyah (yang menolak Qodar Alloh ).

Banyak ayat yang menunjukkan bahwa Alloh memberikan tanggung jawab kepada manusia atas pilihan dan usaha (kasb) yang mereka lakukan, yang membuktikan adanya ikhtiar:

﴿فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ﴾

“Maka siapa yang menghendaki (silakan) beriman dan siapa yang menghendaki (silakan) kafir.” (QS. Al-Kahfi: 29)

﴿إِنَّهَا لَإِحْدَى الْكُبَرِ نَذِيرًا لِّلْبَشَرِ لِمَن شَاءَ مِنكُمْ أَن يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ﴾

“Sesungguhnya Naar (Jahannam) itu salah satu bencana yang paling besar, sebagai peringatan bagi manusia. Yaitu bagi siapa di antara kamu yang berkehendak maju atau mundur.” (QS. Al-Muddatstsir: 35-37)

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa perbuatan Iman, kufur, maju, dan mundur adalah hasil dari kehendak (masyi’ah) hamba; dan tidak ada gunanya Syari’at (perintah dan larangan), pahala, atau hukuman jika manusia hanya dipaksa.

Meskipun hamba memiliki ikhtiar, kehendak hamba tidak bisa melampaui Kehendak Alloh . Alloh berfirman:

﴿وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ﴾

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (sesuatu) kecuali jika dikehendaki Alloh , Robb semesta alam.” (QS. At-Takwir: 29)

Ini menyimpulkan Aqidah Ahlus Sunnah: Perbuatan dan kehendak hamba benar-benar ada (menolak Jabariyyah), tetapi kehendak hamba tersebut diciptakan dan berada di bawah kehendak dan Takdir Alloh (menolak Qodariyyah).

Bantahan Terhadap Pengingkaran Ru’yatulloh (Melihat Alloh )

Sebagai konsekuensi dari ta’thil (penolakan Sifat Alloh ), Jahmiyyah mengingkari bahwa orang-orang Mu’min akan dapat melihat Alloh dengan mata kepala mereka di Jannah kelak.

Bantahan utama bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang secara eksplisit menetapkan bahwa Ru’yatulloh (melihat Alloh ) adalah karunia terbesar bagi Ahli Jannah.

1. Bantahan dari Al-Qur’an

Alloh dengan jelas menyebutkan bahwa wajah orang Mu’min akan berseri-seri karena melihat Robb-nya:

﴿وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ﴾

“Wajah-wajah (orang Mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Robb-nya mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah: 22-23)

Makna dari naazhiroh (melihat) di sini adalah melihat dengan mata secara hakiki, sebagaimana yang dipahami oleh Salaf.

2. Bantahan dari As-Sunnah

Rosululloh menguatkan hal ini dalam Hadits shohih yang diriwayatkan oleh Shuhaib Ar-Rumi Rodhiyallahu ‘Anhu, ketika menjelaskan kenikmatan Ahli Jannah:

«إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ، قَالَ: يَقُولُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ؟ فَيَقُولُونَ: أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا؟ أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ، وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ؟ قَالَ: فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ، فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ»

“Ketika penghuni Surga telah masuk Surga, Allah tabaaroka wa ta’aalaa berkata: ‘Apakah kalian ingin sesuatu tambahan?’ Mereka menjawab: ‘Bukankah Engkau telah memutihkan wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke Surga dan menjauhkan kami dari Neraka? (Apa lagi yang lebih ni’mat dari ini?).’ Maka Allah menyingkap hijab (yang menutupi Diri-Nya). Mereka tidak diberi sesuatu yang lebih mereka sukai dari melihat Rob Azza wa Jalla.” (HR. Muslim no. 181)

3. Kaidah Penetapan

Imam Abu Hanifah Rohimahullah (150 H) berkata:

وَاللهُ تَعَالَى يُرَى فِي الْآخِرَة وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُونَ وَهُمْ فِي الْجنَّة بِأَعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بِلَا تَشْبِيهٍ وَلَا كَيْفِيَّةٍ

“Allah dilihat di Akhirat dan akan dilihat oleh orang-orang Mu’min saat mereka di Surga dengan mata kepala mereka, dan tanpa tasybih (menyerupakan) dan tanpa takyif (membayangkan cara).” (Al-Fiqhul Akbar, hal. 53)

Dengan demikian, pengingkaran Jahmiyyah terhadap Ru’yatulloh adalah pengingkaran terhadap keni’matan terbesar yang Alloh janjikan kepada orang Mu’min, yang didasarkan pada akal batil mereka yang menolak Sifat-Sifat Alloh secara umum.

 

BAB 4: IJMA’ SALAF DALAM MEMBANTAH JAHMIYYAH

Kedudukan Ijma’ (Konsensus) Salaf dalam Ushuluddin

Setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah, sumber ketiga yang wajib dijadikan sandaran dalam menetapkan Aqidah (Ushuluddin) adalah Ijma’ Salaf (konsensus atau kesepakatan para pendahulu yang sholih). Ijma’ Salaf memiliki kedudukan yang sangat tinggi karena mereka adalah generasi terbaik yang dijamin oleh Rosululloh . Beliau bersabda:

«خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ»

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (Shohabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (Tabi’in), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (Tabi’ut Tabi’in).” (HR. Al-Bukhori no. 2652)

Jika para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum dan Imam Salaf seperti Malik bin Anas (179 H), Asy-Syafi’i (204 H), dan Ahmad bin Hanbal (241 H) telah bersepakat dalam suatu masalah Aqidah, maka kesepakatan itu menjadi Hujjah (argumen) yang tidak boleh dibantah. Siapa yang menyalahi Ijma’ mereka, maka ia tergolong ahlul bid’ah (pelaku bid’ah).

Dalam masalah Jahmiyyah, Ijma’ Salaf terjadi dalam dua poin:

1. Mengkafirkan atau menganggap Jahmiyyah sebagai golongan bid’ah yang paling sesat, terutama karena klaim mereka bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan penolakan Sifat Alloh (ta’thil).

2. Kewajiban menetapkan Sifat-Sifat Alloh sebagaimana yang datang dalam Nash (teks Syar’i) tanpa takyif (membayangkan cara) dan tanpa ta’thil (penolakan).

Ucapan Para Imam Salaf Tentang Jahmiyyah

Para Imam Salaf sangat keras dalam membantah dan mencela Jahmiyyah. Kecaman mereka menjadi bukti adanya Ijma’ Salaf dalam menganggap Jahmiyyah sebagai kelompok bid’ah yang telah keluar dari Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Ucapan Imam Malik bin Anas (179 H)

Imam Malik bin Anas (179 H), Imam Kota Madinah, dikenal sangat membenci perdebatan dalam masalah Aqidah. Beliau telah memperingatkan tentang bahaya perdebatan kaum Jahmiyyah:

إِيَّاكُمْ وَأَصْحَابَ الرَّأْيِ، فَإِنَّهُمْ أَعْدَاءُ أَهْلِ السُّنَّةِ

“Jauhilah kalian dari ahlur ro’yi (orang-orang yang mendahulukan akal), karena karena mereka musuh Ahli Sunnah.” (Hilyatul Auliya, 6/327)

Ucapan ini mengarah kepada setiap kelompok yang mendahulukan akal di atas Nash, termasuk Jahmiyyah dan Mu’tazilah.

Ucapan Imam Ahmad bin Hanbal Rohimahullah (241 H)

Imam Ahmad bin Hanbal (241 H), yang paling gigih menghadapi Fitnah Jahmiyyah, mencela Jahmiyyah dengan sebutan yang sangat keras karena telah menolak Sifat-Sifat Alloh :

الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ، وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ فَقَدْ كَفَرَ

“Al-Qur’an adalah Kalamulloh, bukan makhluk. Dan siapa yang mengklaim bahwa ia (Al-Qur’an) adalah makhluk, maka sungguh ia telah kafir.” (Al-Jami li Ulumil Imam Ahmad, 4/24, Al-Khollal)

Beliau juga menetapkan bahwa semua Sifat yang datang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah harus diimani, yang secara langsung membantah ta’thil Jahmiyyah.

Hukum dan Sikap Terhadap Pengikut Jahmiyyah

Harb bin Isma’il Al-Kirmani (280 H) berkata tentang Ijma Salaf dalam Aqidah:

وَالْجَهْمِيَّةُ: أَعْدَاءُ اللَّهِ؛ وَهُمُ الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّ الْقُرْآنَ مَخْلُوقٌ، وَأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يُكَلِّمْ مُوسَى، وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِمُتَكَلِّمٍ وَلَا يَتَكَلَّمُ، وَلَا يَنْطِقُ، وَلَا يُرَى، وَلَا يُعْرَفُ لِلَّهِ مَكَانٌ، وَلَيْسَ لِلَّهِ عَرْشٌ، وَلَا كُرْسِيٌّ، وَكَلَامٌ كَثِيرٌ أَكْرَهُ حِكَايَتَهُ، وَهُمْ كُفَّارٌ، زَنَادِقَةٌ، أَعْدَاءُ اللَّهِ فَاحْذَرُوهُمْ.

Jahmiyyah adalah musuh-musuh Alloh. Mereka adalah orang-orang yang mengklaim bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Bahwa Alloh –’Azza wa Jalla– tidak berbicara kepada Musa. Bahwa Alloh tidak berbicara, dan tidak berucap. Tidak dapat dilihat, dan tempat Alloh tidak dapat diketahui, dan Alloh tidak memiliki ‘Arsy maupun Kursi. Banyak lagi perkataan-perkataan yang saya enggan untuk menceritakannya. Mereka adalah orang-orang kafir, zanadiqoh (munafik ekstrim), musuh-musuh Alloh, maka berhati-hatilah terhadap mereka.(Ijma As-Salaf fil I’tiqod)

Berdasarkan penolakan mereka terhadap Sifat-Sifat Alloh (ta’thil) dan klaim mereka bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (kholqil Qur’an), mayoritas Imam Salaf menetapkan bahwa pemikiran Jahmiyyah termasuk dalam kekafiran atau bid’ah mukaffiroh (bid’ah yang menyebabkan pelakunya kafir).

Sikap keras ini bukan didasarkan pada hawa nafsu, melainkan karena Jahmiyyah menolak hal-hal yang diketahui secara pasti (ma’lum minaddin bidh-dhoruroh) dalam Aqidah, yaitu:

1. Menolak Sifat Kalam Alloh , padahal Alloh sendiri menyebut Al-Qur’an sebagai Kalam-Nya.

2. Menolak Sifat Uluw dan Istiwa’ (Ketinggian) Alloh , padahal ini adalah Sifat yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah secara jelas.

Banyak nukilan Salaf yang mengkafirkan Jahmiyyah. (Syarh Ushul Itiqod Ahlis Sunnah, 2/344)

وَقَدْ أَجْمَعَ المُسْلِمُونَ وَجَمِيعُ الفِرَقِ عَلَى تَكْفِيرِ الجَهْمِيِّ

Muslimin sepakat serta seluruh kelompok atas kekafiran Jahmiyyah. (At-Tabshir, hal. 107; Al-Firoq, hal. 211; Al-Milal wan Nihal, hal. 86)

Bolehkah Mengkafirkan Mu’ayyan (Individu Tertentu)?

Meskipun kaidah umum menetapkan bahwa pemikiran Jahmiyyah adalah kafir, para Ulama membedakan antara hukum terhadap kaidah dan hukum terhadap individu (mu’ayyan):

1. Hukum terhadap ucapan “Al-Qur’an makhluk” adalah ucapan kufur.

2. Hukum terhadap individu (si pengucap): Individu yang mengucapkan hal ini tidak serta merta divonis kafir, melainkan harus memenuhi syarat dan tidak adanya penghalang (mawani’ takfir).

Penghalang yang paling sering dipertimbangkan adalah jahl (ketidaktahuan) atau adanya syubhat (hal yang samar) yang ia yakini. Oleh karena itu, para Imam Salaf, seperti Imam Ahmad (241 H), meskipun keras terhadap kaidah Jahmiyyah, seringkali menahan diri dari mengkafirkan setiap individu Jahmiyyah secara langsung, terutama yang dipaksa atau yang muta’awwil (mengubah makna Nash karena didasari salah tafsir). Akan tetapi, bagi mereka yang menjadi pentolan dan berdebat secara terang-terangan (seperti Ja’ad bin Dirham dan Jahm bin Shofwan), vonis kufur dapat dijatuhkan.

 

RINGKASAN

Pemikiran Jahmiyyah adalah fondasi bagi semua bid’ah dalam masalah Aqidah dan telah menjadi sumber penyimpangan yang merusak Tauhid umat:

1.    Dalam Tauhid Asma’ wa Shifat: Mereka memicu ta’thil (penolakan Sifat) dan fitnah kholqil Qur’an.

2.    Dalam Tauhid Uluhiyyah: Mereka memicu Irja’ (pemisahan amal dari iman), yang melemahkan ibadah dan Jihad.

3.    Dalam Tauhid Rububiyyah: Mereka memicu Jabr (Fatalisme), yang menghilangkan tanggung jawab manusia atas perbuatan buruknya.

Jahmiyyah berhasil mengubah fokus umat dari mempelajari dan mengamalkan Sifat-Sifat Alloh menjadi perdebatan yang kering dan dipenuhi Filsafat.

Wasiat Agar Berpegang Teguh Kepada Manhaj Salaf

Setelah mengetahui bahaya besar dari Jahmiyyah dan turunannya, kewajiban setiap Muslim, Mu’min, dan Muslimah adalah kembali kepada Manhaj Salaf (jalan Rosululloh , para Shohabat, dan Tabi’in).

Manhaj Salaf adalah jalan keselamatan, yang dilandasi oleh 3 prinsip utama:

1. Itsbat (Menetapkan): Menetapkan semua Nama dan Sifat Alloh yang datang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

2. Tanzih (Mensucikan): Mensucikan Alloh dari keserupaan dengan makhluk (bilaa tasybih), sesuai firman Alloh :

﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ﴾

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuro: 11)

3. Tafwidh (Menyerahkan): Menyerahkan cara dan hakikat Sifat Alloh kepada Alloh , tanpa mencoba membayangkan caranya (bilaa takyif).

Dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip ini, seseorang akan terhindar dari kesesatan Jahmiyyah dan turunannya yang mengedepankan akal di atas Wahyu.

Allahu a’lam.

***

Unduh PDF

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url