[PDF] Pembatal, Makruh, dan Mubah dalam Sholat | Dr. Abdulah bin Furoih dkk
PEMBATAL SHOLAT
(1) Meninggalkan Syarat, Rukun, atau Wajib
Adapun syarat-syarat (seperti bersuci, menghadap Qiblat,
dan lain-lain), maka kapan saja seseorang melalaikan salah satunya, Sholatnya
tidak sah, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam definisi makna syarat.
Adapun batalnya Sholat karena meninggalkan rukun dengan sengaja:
Dalil atas hal itu adalah Hadits tentang orang yang jelek Sholatnya (musi’u Sholatuhu). Karena Nabi ﷺ bersabda kepada A’robi (orang Arab pedalaman) - ketika dia
meninggalkan thuma’ninah (berhenti sejenak, tenang)
yang merupakan rukun Sholat:
ارْجِعْ فَصَلِّ؛ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
“Ulangilah Sholatmu, karena sesungguhnya
kamu belum Sholat.”
Ini menunjukkan bahwa jika dia meninggalkan
rukun dengan sengaja, Sholatnya batal seketika itu juga.
Adapun jika dia meninggalkan rukun karena lupa: Maka
jika dia ingat saat masih dalam Sholat: dia harus kembali untuk melakukannya
(Contohnya: Jika dia lupa ruku’, dan langsung turun ke sujud, maka jika dia ingat sebelum dia sampai pada
posisi ruku’
pada rokaat berikutnya, dia harus kembali untuk melakukan ruku’ yang terlupa itu,
kemudian melanjutkan sisa Sholatnya mulai dari ruku’ ini. Namun, jika dia sudah sampai pada posisi
ruku’ di
rokaat berikutnya, maka rokaat yang dia lupa ruku’nya dianggap laaghiyah (sia-sia), dan dia wajib
menambah 1 rokaat sebagai gantinya, kemudian dia melakukan sujud sahwi.
Adapun jika dia tidak ingat rukun itu
sampai dia selesai Sholat: Jika jedanya panjang (seperti berlalu lebih dari 5
menit kira-kira): Dia harus mengulangi Sholatnya dari awal. Jika jedanya tidak
panjang, dia melanjutkannya, yaitu dia takbir, lalu melakukan 1 rokaat sebagai pengganti rokaat yang
rukunnya terlupa, kemudian dia melakukan Sujud Sahwi. Untuk masalah panjang
atau pendeknya jeda ini dikembalikan kepada kebiasaan dan ‘Urf (tradisi). (Lihat: Al-Mughni,
Ibnu Qudamah, 2/4)
Hukum dalam meninggalkan Wajib Sholat adalah bahwa
jika seseorang meninggalkannya dengan sengaja, Sholatnya juga batal. Adapun
jika dia meninggalkannya karena lupa, dia Sujud Sahwi, dan tidak wajib baginya
untuk melakukannya wajib yang sudah
terluput tersebut.
Faidah:
Syarat Sholat ada 6:
1.
Suci dari hadats.
2.
Suci dari najis.
3.
Masuk waktu.
4.
Menutup aurot.
5.
Menghadap qiblat.
6.
Niat.
Rukun Sholat ada 14:
1.
Berdiri.
2.
Takbirotul ihrom.
3.
Al-Fatihah.
4.
Ruku.
5.
Bangkit darinya.
6.
I’tidal.
7.
Sujud.
8.
Bangkit darinya.
9.
Duduk di antara dua sujud.
10.
Thuma’ninah.
11.
Duduk tasyahhud akhir.
12.
Bacaan tasyahhud akhir.
13.
Salam sekali.
14.
Urut.
Wajib Sholat ada 8, yaitu:
1.
Takbir intiqol (perpindahan).
2.
Membaca subhaanarobbiyal adziim sekali.
3.
Membaca sami’allahu liman hamidah.
4.
Membaca robbanaa wa lakal hamd.
5.
Membaca subhaana robbiyal a’laa sekali.
6.
Membaca robbigh firlii sekali.
7.
Duduk tasyahhud awwal.
8.
Membaca tasyahhud awwal.
(2) Sengaja Makan dan Minum
Ibnu Al-Mundzir berkata: “Ahli ilmu telah
sepakat bahwa siapa yang makan atau minum dalam Sholat fardhu secara sengaja -
maka dia wajib mengulangi Sholatnya.” (Al-Ijma’ hal. 8)
Begitu pula dalam Sholat Nawafil (sunnah)
menurut Jumhur (mayoritas ulama); sebab apa yang membatalkan Sholat fardhu juga
membatalkan Sholat Nawafil.
Pendapat yang lebih kuat (rojih) adalah bahwa makan membatalkan Sholat, baik sedikit maupun banyak.
Sekalipun ada sisa makanan di antara giginya lalu dia menelannya dengan
sengaja, maka Sholatnya batal. Jika dia menelan sesuatu karena dikalahkan
(tidak sengaja/tidak berdaya), atau dia dalam keadaan lupa, maka Sholatnya
tidak batal. (Lihat Al-Majmu’ 4/89-90)
Oleh karena itu, seorang hamba seyogyanya
bersemangat untuk berkumur dan menggunakan Siwak (sikat gigi sunnah) sebelum
Sholat sebisa mungkin.
(3) Sengaja Banyak Bergerak
Yang dimaksud adalah perbuatan-perbuatan
yang bukan termasuk jenis gerakan Sholat.
An-Nawawi Rohimahullah berkata:
“Sesungguhnya perbuatan yang bukan dari jenis Sholat, jika banyak, maka
membatalkan Sholat tanpa perselisihan. Jika sedikit, maka tidak membatalkannya
tanpa perselisihan. Inilah kaidahnya… Beliau berkata: dan Jumhur (mayoritas
ulama) berpendapat bahwa kembalinya (ukuran banyak dan sedikit) adalah kepada
kebiasaan; sehingga tidaklah merusak apa yang dianggap sedikit oleh manusia
seperti memberi isyarat untuk menjawab Salam, melepaskan alas kaki, mengangkat
dan meletakkan Imamah (sorban), memakai dan melepas pakaian tipis, menggendong
dan meletakkan anak kecil, mendorong orang yang lewat, menggosok ludah di
pakaiannya, dan yang serupa itu.” (Al-Majmu’, An-Nawawi, 4/92-93)
Kemudian beliau menyebutkan contoh
perbuatan yang banyak, yaitu langkah-langkah yang berturut-turut, berbeda jika
dia melangkah 1 langkah, kemudian berhenti, lalu langkah yang lain, kemudian
berhenti.
Tidak ada dalil dalam langkah-langkah yang
berturut-turut atas batalnya Sholat... sampai beliau berkata: Maka yang lebih
utama untuk dikatakan adalah: Setiap perbuatan yang membuat orang yang Sholat
terlena dan tidak diizinkan oleh Syara’ untuk dia lakukan dalam Sholat, maka
itu membatalkan Sholatnya. Adapun yang diizinkan oleh Syara’ untuk dia lakukan,
atau yang ada maslahat padanya untuk memperbaiki Sholat, maka tidak dianggap
membatalkan.
(4) Sengaja Berbicara
Dari Zaid bin Arqom Rodhiyallahu ‘Anhu,
dia berkata:
كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ،
يُكَلِّمُ الرَّجُلُ مِنَّا صَاحِبَهُ، وَهُوَ إِلَى جَنْبِهِ فِي الصَّلَاةِ، حَتَّى
نَزَلَتْ: ﴿وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ﴾ [البقرة: 238]، فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ،
وَنُهِينَا عَنِ الْكَلَامِ
“Kami dulu berbicara dalam Sholat; salah
seorang dari kami berbicara dengan temannya, padahal dia berada di sampingnya
dalam Sholat, sampai turun ayat: ‘Berdirilah karena Alloh (dalam Sholatmu)
dengan khusyu’ (tanpa ngobrol).’ (QS. Al-Baqoroh: 238), sehingga
kami diperintah untuk diam dan dilarang dari berbicara.”
(HR. Al-Bukhori no. 1200, 4534 dan Muslim no. 539)
Hadits ini adalah dalil atas diharomkannya
berbicara dalam Sholat. Tidak ada perselisihan di antara ahli ilmu bahwa siapa
yang berbicara dalam Sholatnya secara sengaja dan mengetahui (hukumnya), maka
Sholatnya batal. Mereka berbeda pendapat mengenai hukum bagi orang yang tidak
tahu (jaahil)
dan lupa (naasi).
Sebagian ahli ilmu berpendapat menyamakan
orang yang tidak tahu dan lupa dengan orang yang sengaja. Akan tetapi yang
lebih kuat (rojih) adalah membedakan antara yang lupa
dan tidak tahu dengan yang sengaja. Orang yang lupa dan tidak tahu, Sholatnya
tidak batal karena berbicara, berbeda dengan orang yang sengaja.
Dalil atas hal ini adalah:
1. Sabda Nabi ﷺ:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي
الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Alloh telah memaafkan dari
umatku kekhilafan, kelupaan, dan apa yang dipaksakan atas mereka.” (HSR. Ibnu Majah no. 2045)
2. Hadits Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami Rodhiyallahu
‘Anhu, dia berkata:
بَيْنَمَا أَنَا أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ ﷺ إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ، فَقُلْتُ: يَرْحَمُكَ اللَّهُ، فَرَمَانِي
الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ، فَقُلْتُ: وَاثُكْلَ أُمِّيَاهْ! مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ
إِلَيَّ؟ فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ، فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ
يُصَمِّتُونَنِي، لَكِنِّي سَكَتُّ، فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَبِأَبِي هُوَ
وَأُمِّي، مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ،
فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِي وَلَا ضَرَبَنِي وَلَا شَتَمَنِي، قَالَ: «إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ
كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ»
“Ketika aku Sholat bersama Rosululloh ﷺ, tiba-tiba seorang
laki-laki dari jamaah bersin. Aku pun mengucapkan, ‘Yarhamukalloh
(semoga Alloh merohmatimu).’ Maka orang-orang melihatku dengan pandangan mata mereka.
Aku berkata, ‘Wa tsuklaa ummiyah (apa-apan kalian)! Mengapa kalian melihatku seperti itu?’ Lalu mereka
memukul paha mereka dengan tangan. Ketika aku melihat mereka menyuruhku diam,
aku pun diam. Setelah Rosululloh ﷺ selesai Sholat, demi ayah dan ibuku
(sebagai tebusannya), aku tidak pernah melihat seorang pengajar sebelum dan
sesudahnya yang lebih baik pengajarannya dari beliau. Demi Alloh, beliau tidak
membentakku, tidak memukulku, dan tidak pula mencaciku. Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya
Sholat ini, tidak pantas padanya sedikit pun dari pembicaraan manusia. Sholat
itu hanyalah Tasbih, Takbir, dan membaca Al-Qur’an.’” (HR. Muslim no. 537)
Pada Hadits ini terdapat dalil atas diharomkannya
berbicara dalam Sholat secara mutlak, baik untuk suatu kebutuhan atau bukan,
baik untuk memperbaiki Sholat atau selainnya. Adapun siapa yang berpendapat
bolehnya berbicara demi kemaslahatan, dengan berdalil Hadits Dzil Yadain, maka hujjah (dalil) itu
tidak dapat dipakai untuk menguatkan pendapat mereka. Akan tetapi, dari Hadits
Dzil Yadain bisa dipahami bahwa jika seseorang berbicara karena dia menyangka
Sholatnya sudah selesai - maka hal itu tidak membatalkan Sholatnya.
Tidak
ada dalil shohih yang menunjukkan bahwa keluarnya 1 huruf atau 2 huruf karena
menangis atau meniup atau semacamnya dapat membatalkan Sholat; sebab hal ini
tidak terhitung sebagai pembicaraan, melainkan seperti meludah. Ahli ilmu telah
sepakat bahwa meludah tidak membatalkan Sholat. Bahkan, ada Hadits yang
menunjukkan sebaliknya; dari ‘Abdullah bin ‘Amr Rodhiyallahu ‘Anhuma:
أَنَّ النبي ﷺ نَفَخَ فِي صَلَاةِ الْكُسُوفِ
“Nabi ﷺ meniup dalam Sholat Kusuf (gerhana).” (HHR. Ahmad 2/188 dan Abu
Dawud no. 1194)
(5) Tertawa
Ibnu Al-Mundzir berkata: “Ada Ijma’
(kesepakatan) atas batalnya Sholat karena tertawa.” (Al-Majmu’, An-Nawawi,
4/89)
Mayoritas
ahli ilmu berkata: Tabassum (tersenyum) tidak mengapa; artinya: tersenyum tidak
membatalkan Sholat.
Ini
bukan berarti membolehkan tersenyum dalam Sholat; karena hal itu bertentangan
dengan keadaan khusyu’ dan menghadap kepada Sholatnya. Akan tetapi jika dia tersenyum,
Sholatnya tidak batal.
MAKRUH DALAM SHOLAT
(1) Iltifat (Menoleh)
Menoleh dalam Sholat terbagi menjadi
beberapa:
Pertama: Iltifatul Qolbi (Menolehnya
Hati).
Yaitu waswas (bisikan) dan godaan Syaithon yang
menghalangi seorang hamba dari Sholatnya. Sedikit sekali orang yang selamat
dari waswas
ini, dan ia mengurangi kesempurnaan Sholat.
Kedua: Menoleh dengan kepala ke kanan dan ke
kiri.
Menoleh ini ada 2 keadaan:
a. Menoleh tanpa ada kebutuhan, maka hal
ini makruh (dibenci) menurut pendapat Madzhab Hanbali, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat.
Dalilnya adalah Hadits ‘Aisyah Rodhiyallahu
‘Anha, dia berkata: “Aku bertanya kepada Nabi ﷺ tentang menoleh dalam
Sholat, lalu beliau bersabda:
هُوَ اخْتِلَاسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ
مِنْ صَلَاةِ الْعَبْدِ
“Itu adalah curian yang dicuri oleh
Syaithon dari Sholat seorang hamba.” (HR. Al-Bukhori)
Ikhtilas (mencuri) maknanya: mengambil
sesuatu dengan cepat.
b. Menoleh karena ada kebutuhan, maka ini tidak
mengapa, dan ini adalah pendapat Madzhab, dan ini adalah yang rojih.
Dalilnya adalah:
1. Hadits Sahl bin Al-Hanzholiyah Rodhiyallahu
‘Anhu, dia berkata: “Dikumandangkan adzan untuk Sholat, yaitu Sholat Shubuh, lalu Rosululloh ﷺ Sholat sambil menoleh ke
arah lembah.” (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim yang menshohihkannya)
2. Perintah Nabi ﷺ kepada orang yang sedang
mengalami waswas
untuk meludah ke kiri 3 kali dan berlindung kepada Alloh dari godaan Syaithon,
sebagaimana terdapat dalam Shohih Muslim dari ‘Utsman bin Abi Al-’Ash. Demikian
juga menolehnya Abu Bakr Rodhiyallahu ‘Anhu dan para Shohabat Rodhiyallahu
‘Anhum ketika Nabi ﷺ keluar kepada mereka saat sakit menjelang wafatnya, sebagaimana
terdapat dalam Ash-Shohihain.
Ibnu ‘Utsaimin (1421 H) berkata dalam
Al-Mumti’ (3/225): “Termasuk dalam hal ini: jika seorang wanita mempunyai
bayinya, dan dia khawatir atas bayinya, lalu dia menoleh kepadanya, maka ini
termasuk kebutuhan, dan itu tidak mengapa.”
Ketiga: Menoleh dengan seluruh badannya.
Maka ini membatalkan Sholatnya karena dia
meninggalkan menghadap Kiblat, dan ini adalah pendapat Madzhab dan ini adalah rojih. Akan tetapi, dalam
keadaan sangat takut, Sholatnya tidak batal karena gugurnya kewajiban menghadap
Qiblat dalam keadaan tersebut, sebagaimana pada Sholat Khouf (Sholat dalam
keadaan takut). Demikian juga orang yang Sholat di dalam Ka’bah, karena jika dia
meninggalkan menghadap 1 arah, maka dia sudah menghadap arah yang lain.
Keempat: Menoleh dengan pandangan mata ke kanan dan ke kiri.
Maka ini juga makruh karena keumuman
larangan menoleh.
Ibnul Qoyyim (751 H) berkata: “Menoleh yang
dilarang dalam Sholat ada 2 jenis: Yang pertama: menolehnya hati dari Alloh
kepada selain Alloh, dan yang kedua: menolehnya pandangan mata. Kedua-duanya
dilarang.”
(2) Mengangkat Pandangan ke Langit
Madzhab Hanbali: Bahwa mengangkat pandangan
ke langit adalah makruh.
Pendapat yang lebih kuat: mengangkat pandangan ke langit adalah harom.
Dalilnya adalah Hadits Anas Rodhiyallahu
‘Anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِ
أَبْصَارِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلَاةِ، أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ
“Hendaklah kaum-kaum berhenti dari
mengangkat pandangan mata mereka ke langit dalam Sholat, atau pandangan mata
mereka akan dicabut.” (HR. Al-Bukhori)
Pada
riwayat Muslim dari Abu Huroiroh dan Jabir Rodhiyallahu ‘Anhu: “Atau tidak akan kembali
kepada mereka.”
(3) Memejamkan Mata
Ini adalah pendapat Madzhab Hanbali bahwa
memejamkan mata adalah makruh.
Ibnul Qoyyim (751 H)
berkata dalam Zad Al-Ma’ad (1/293): “Bukan termasuk petunjuk Nabi ﷺ
memejamkan kedua matanya dalam Sholat… Para ulama berbeda pendapat mengenai
kemakruhannya. Imam Ahmad (241 H) dan selainnya
membencinya, dan mereka berkata: itu adalah perbuatan Yahudi. Sekelompok ulama
membolehkannya dan tidak membencinya, dan mereka berkata: itu bisa jadi lebih
mendekatkan kepada diraihnya Khusyu’ yang merupakan ruh Sholat dan tujuannya.
Yang benar (showab) adalah: jika membuka mata tidak
mengganggu Khusyu’, maka itu lebih utama, dan jika membuka mata menghalanginya
dari Khusyu’ karena adanya ukiran dan hiasan pada Qiblatnya atau hal lain yang
mengganggu hatinya, maka dalam keadaan ini memejamkan mata tidak makruh sama
sekali. Dan pendapat yang mengatakan disunnahkannya dalam keadaan ini lebih
dekat kepada Ushul Asy-Syara’ (pokok-pokok Syariat) dan tujuannya daripada
pendapat yang mengatakan makruh.”
(4) Duduk Iq’a’
Madzhab Hanbali bahwa Iq’a’ dalam Sholat
adalah makruh, dan bentuknya ada beberapa:
Pertama: Dia
menjadikan punggung kedua kakinya di tanah dan duduk di atas tumitnya.
Bentuk ini adalah yang dilarang Hanabilah.
Kedua: Dia
menjadikan jari-jari kakinya di tanah, dan tumitnya berdiri tegak, dan
pantatnya berada di antara kedua tumitnya.
Ketiga: Dia
menempelkan pantatnya ke tanah, dan menegakkan kedua betis dan pahanya, serta
meletakkan kedua tangannya di tanah. Bentuk ini adalah tafsiran dari ahli
bahasa.
Keempat: Dia
menegakkan kedua kakinya dan duduk di atas kedua tumitnya.
Pendapat kedua: Al-Iq’a’ pada bentuk
keempat adalah termasuk As-Sunnah.
Dalilnya adalah Hadits Thowus, dia berkata:
“Kami bertanya kepada Ibnu ‘Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma tentang Al-Iq’a’
di atas kedua kaki? Dia menjawab:
هِيَ السُّنَّةُ
“Itu adalah As-Sunnah.” Kami berkata
kepadanya: Kami melihatnya sebagai kekasaran pada kaki. Ibnu ‘Abbas menjawab:
بَلْ هِيَ سُنَّةُ نَبِيِّكَ ﷺ
“Bahkan itu adalah Sunnah Nabimu ﷺ.” (HR. Muslim)
Sebagian ulama berkata: Dilakukan sesekali,
dan inilah yang paling dekat. Wallohu A’lam.
Faedah:
Hadits: “Jika kamu mengangkat kepalamu dari Sujud, janganlah kamu duduk Iq’a’
sebagaimana anjing duduk Iq’a’.” (HR. Ibnu Majah) adalah Hadits Dho’if (lemah),
karena sanadnya berkisar pada Al-’Ala’ bin Zaid Ats-Tsaqofi dan dia adalah
orang yang lemah yang tidak dapat dijadikan hujjah, dan sebagian ulama
menuduhnya berbuat dusta.
(5) Membentangkan Kedua
Lengan Saat Sujud
Yaitu ketika dia meluruskan kedua tangannya
dari siku hingga telapak tangan dan menempelkannya ke tanah.
Sifat ini makruh menurut Madzhab Hanbali,
dan ini adalah pendapat rojih.
Dalilnya adalah Hadits Anas Rodhiyallahu
‘Anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ، وَلَا
يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ
“Bersikaplah yang lurus dalam Sujud, dan
janganlah salah seorang dari kalian membentangkan kedua lengannya sebagaimana
anjing membentangkannya.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Ibnu ‘Utsaimin (1421 H) berkata dalam
Al-Mumti’ (3/331): “Sesungguhnya Alloh tidak menyebutkan penyerupaan manusia
dengan hewan kecuali dalam konteks cercaan… Jadi, manusia tidak diserupakan
dengan hewan kecuali dalam kondisi tercela. Berdasarkan hal itu, kita katakan:
Jika penyerupaan dengan hewan di luar Sholat itu tercela, maka dalam Sholat itu
lebih utama (untuk dicela).”
(6) Perbuatan
Sia-sia/Main-main
Abats adalah perbuatan yang tidak ada
manfaatnya dan tidak ada kebutuhannya, baik itu dengan kaki, tangan, janggut,
pakaian, atau selainnya.
Termasuk ‘Abats adalah mengusap kerikil atau tanah atau
pasir dan selainnya tanpa ada ‘udzur (alasan yang dibenarkan), baik dari dahi maupun tempat
Sujudnya.
Apakah ini makruh?
Madzhab Hanbali, dan ini adalah rojih: itu makruh, dan ini
adalah pendapat Jumhur Ulama (mayoritas ulama).
Dalilnya adalah:
1. Hadits Mu’aiqib Rodhiyallahu ‘Anhu
bahwa Nabi ﷺ bersabda:
لَا تَمْسَحِ الْحَصَى وَأَنْتَ تُصَلِّي
فَإِنْ كُنْتَ فَاعِلًا فَوَاحِدَةٌ لِتَسْوِيَةِ الْحَصَى
“Janganlah kamu mengusap kerikil ketika
kamu Sholat. Jika kamu harus melakukannya, maka sekali saja untuk meratakan
kerikil.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim). Dalam riwayat lain: “Sekali, atau
biarkan.”
2. Hadits Abu Dzarr Rodhiyallahu ‘Anhu
yang dimarfu’-kan
(dinisbatkan kepada Nabi ﷺ):
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ
فَلَا يَمْسَحِ الْحَصَى فَإِنَّ الرَّحْمَةَ تُوَاجِهُهُ
“Jika salah seorang dari kalian berdiri
untuk Sholat, janganlah dia mengusap kerikil, karena sesungguhnya Rohmat
menghadapinya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dan At-Tirmidzi dan An-Nasa’i)
Al-Hafizh (852 H) berkata dalam Al-Bulugh: “Dengan
Sanad yang Shohih.”
Tidak mengapa mengusap kerikil atau tanah 1
kali saat ada kebutuhan, dan jika dia melakukannya sebelum Sholat, maka itu
lebih utama.
Faedah:
Sekelompok dari Salaf membenci tarowwuh (mengipasi diri) dengan kipas atau semacamnya dalam Sholat, karena
hal itu termasuk ’abats. Sebagian ulama memberikan rukhshoh (keringanan) di dalamnya. Imam Ahmad (241 H) berkata dalam
pertanyaan kepadanya: Itu makruh, kecuali jika terjadi perkara yang sangat
sulit atau kesusahan yang sangat, sebagaimana jika panas yang sangat atau
dingin yang sangat mengganggunya, maka dia sujud di atas pakaiannya.”
(7) Berkacak Pinggang
Yaitu meletakkan tangan di pinggang. Ikhtishor makruh menurut pendapat Madzhab Hanbali
dan ini adalah rojih, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama.
Dalilnya adalah Hadits Abu Hurairah Rodhiyallahu
‘Anhu:
نَهَى النَّبِيُّ ﷺ أَنْ يُصَلِّيَ
الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا
“Nabi ﷺ melarang seseorang Sholat sambil berkacak
pinggang.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Para ulama berbeda pendapat tentang alasan
mengapa dilarang ikhtishor:
Dikatakan: Karena itu adalah istirahatnya
penduduk Naar (Neraka), berdasarkan Hadits Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu
yang dimarfu’-kan:
“Berkacak pinggang dalam Sholat adalah istirahatnya penduduk Naar.” (HR.
Ibnu Khuzaimah). Al-’Iroqi (806 H) berkata: “Dhohir Sanadnya Shohih.”
Dikatakan: Terdapat penyerupaan dengan
Syaithon, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallahu ‘Anhu
dalam Mushonnaf Ibni Abi Syaibah.
Dikatakan: Terdapat penyerupaan dengan
Yahudi, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha dalam
Shohih Al-Bukhori.
Dikatakan: Karena itu adalah perbuatan
orang-orang yang sombong dan angkuh.
(8) Membunyikan Persendian
Jari dan Menjalinnya
Membunyikan
persendian: menekan jari-jari hingga persendiannya mengeluarkan suara, baik
jari tangan maupun kaki. Kemakruhannya karena hal itu termasuk abats.
Menjalin
jari-jari: memasukkan jari-jari saatu tangan di antara jari-jari tangan lainnya.
Itu makruh sebelum Sholat dan saat Sholat.
Adapun setelah Sholat, maka tidak ada kemakruhan karena terdapat riwayat dari
Nabi ﷺ sebagaimana dalam Hadits Dzu Al-Yadain yang disepakati oleh
Al-Bukhori dan Muslim.
(9) Saat Menahan Hajat
Haqin adalah orang yang menahan kencingnya.
Haqib adalah orang yang menahan buang air besarnya. Serupa dengan keduanya
adalah orang yang menahan angin (kentut).
Makruh bagi seseorang Sholat dalam keadaan
Haqin atau Haqib, baik dia khawatir ketinggalan Jama’ah atau tidak. Ini adalah
pendapat Madzhab Hanbali, dan ini adalah rojih Wallohu A’lam, dan ini adalah pendapat
sebagian besar ulama. Sebagian dari mereka ada yang mengatakan haromnya Sholat
saat menahan hajat.
Dalil atas kemakruhannya adalah Hadits ‘Aisyah
Rodhiyallahu ‘Anha, dia berkata: Aku mendengar Rosululloh ﷺ bersabda:
لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ، وَلَا
هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
“Tidak ada Sholat (yang sempurna) saat
makanan sudah dihidangkan, dan tidak (pula) ketika dia menahan 2 kotoran (bab dan bak).” (HR.
Muslim)
Hikmah dari larangan ini: berkurangnya
Khusyu’, dan bahaya yang menimpa seseorang karena menahan hajatnya.
Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah (728 H)
berkata dalam Al-Fatawa (21/273): “Sholatnya dengan Tayamum tanpa menahan hajat
lebih utama daripada Sholatnya dengan Wudhu sambil menahan hajat. Karena Sholat
dengan menahan hajat ini makruh dan dilarang, dan tentang keabsahannya ada 2
riwayat. Adapun Sholatnya dengan Tayamum adalah sah tanpa ada kemakruhan
menurut kesepakatan ulama.”
(10) Saat Makanan Sudah
Dihidangkan
Madzhab Hanbali, dan ini adalah rojih: Sholat saat makanan sudah dihidangkan adalah makruh, dan ini
adalah pendapat Jumhur Ulama.
Dalilnya adalah Hadits ‘Aisyah Rodhiyallahu
‘Anha yang telah disebutkan sebelumnya: “Tidak ada Sholat (yang sempurna)
saat makanan sudah dihidangkan.” (HR. Muslim)
Faedah: Para
Fuqoha (ahli fiqih) mensyaratkan 3 syarat bagi kemakruhan Sholat saat makanan
sudah dihidangkan:
a. Bahwa makanan itu sudah (hadir/tersaji),
berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Saat makanan sudah dihidangkan.”
b. Bahwa jiwanya sangat ingin kepada
makanan itu, karena inilah yang menghilangkan Khusyu’ dalam Sholat.
c. Bahwa dia mampu untuk memakannya secara
Syara’ (bukan berpuasa) dan indrawi (bukan
sangat panas sekali).
BAB MUBAH DALAM SHOLAT
(1) Dibolehkan Berjalan karena Suatu Sebab
Dari ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha, dia
berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُصَلِّي فِي
الْبَيْتِ وَالْبَابُ عَلَيْهِ مُغْلَقٌ، فَجِئْتُ فَاسْتَفْتَحْتُ، فَمَشَى فَفَتَحَ
لِي، ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مُصَلَّاهُ
“Rosululloh ﷺ Sholat di dalam rumah,
dan pintu tertutup. Lalu aku datang dan meminta untuk dibukakan, maka beliau
berjalan lalu membukakannya untukku, kemudian beliau kembali ke tempat
Sholatnya.” –Aisyah menjelaskan bahwa pintu itu berada di arah Qiblat. (HSR. Abu Dawud no. 922)
Sebagaimana dibolehkan berjalan ke depan,
dibolehkan juga berjalan ke belakang karena suatu sebab yang timbul. Dari Anas
bin Malik Rodhiyallahu ‘Anhu:
أَنَّ الْمُسْلِمِينَ بَيْنَمَا هُمْ
فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ، وَأَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي بِهِمْ،
لَمْ يَفْجَأْهُمْ إِلَّا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَدْ كَشَفَ سِتْرَ حُجْرَةِ عَائِشَةَ،
فَنَظَرَ إِلَيْهِمْ وَهُمْ صُفُوفٌ فِي الصَّلَاةِ، ثُمَّ تَبَسَّمَ، فَنَكَصَ أَبُو
بَكْرٍ عَلَى عَقِبَيْهِ لِيَصِلَ
الصَّفَّ، وَظَنَّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يُرِيدُ أَنْ يَخْرُجَ إِلَى الصَّلَاةِ،
فَأَشَارَ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِيَدِهِ أَنْ أَتِمُّوا صَلَاتَكُمْ
“Sesungguhnya kaum Muslimin ketika sedang
Sholat Shubuh pada hari Senin, dan Abu Bakr Rodhiyallahu ‘Anhu sedang
mengimami mereka, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh Rosululloh ﷺ yang telah membuka tirai
kamar ‘Aisyah, lalu beliau melihat mereka yang sedang berbaris (bershof) dalam
Sholat, kemudian beliau tersenyum. Lalu Abu Bakr mundur ke belakang - untuk
menyambung Shoff (barisan), dan dia menyangka Rosululloh ﷺ ingin keluar untuk
Sholat. Maka Rosululloh ﷺ memberi isyarat kepada mereka dengan tangan beliau agar mereka
menyempurnakan Sholat mereka.” (HR. Al-Bukhori no. 1205)
Demikian juga siapa yang berjalan beberapa
langkah dengan tujuan untuk mendekat ke Sutroh (pembatas Sholat) (misalnya
tembok atau tiang) agar tidak ada seorang pun yang lewat di depannya saat dia
Sholat. Akan tetapi, dari Hadits yang telah disebutkan, jelaslah bahwa
disyaratkan dalam berjalan saat Sholat adalah tidak menyimpang dengan badannya
dari Qiblat, baik berjalan ke depan, ke belakang, atau mengambil 1 langkah atau
beberapa langkah ke kanan atau ke kiri. Intinya adalah jangan sampai menyimpang
dengan badannya dari Qiblat.
(2) Dibolehkan Menggendong
Anak-anak
Dari Abu Qotadah Rodhiyallahu ‘Anhu,
dia berkata:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَؤُمُّ النَّاسَ،
وَعَلَى عَاتِقِهِ أُمَامَةُ بِنْتُ زَيْنَبَ، فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا، وَإِذَا رَفَعَ
مِنَ السُّجُودِ أَعَادَهَا
“Aku melihat Nabi ﷺ mengimami orang-orang,
dan di pundak beliau ada Umamah binti Zainab. Apabila beliau Ruku’, beliau
meletakkannya, dan apabila beliau mengangkat kepala dari Sujud, beliau
menggendongnya lagi.” (HR. Al-Bukhori no. 516 dan Muslim no. 543)
Akan tetapi kita harus
yakin bahwa pakaian mereka tidak terdapat najis.
(3) Dibolehkan Membunuh Ular dan
Kalajengking
Rosululloh ﷺ telah memerintahkan untuk membunuh aswadain (2 yang hitam) dalam Sholat: kalajengking dan ular. (HSR. Abu Dawud no. 921)
Demikian juga beliau ﷺ memerintahkan untuk
membunuh hud’ah
(burung elang/rajawali), burung ghurob (gagak), tikus, dan anjing yang ganas (kalb aqur) dalam Sholat dan selainnya. (Lihat Shohih Muslim no. 1198, 75 dan Ibnu
Hazm (456 H) dalam Al-Muhalla 3/120)
Ibnu Hazm (456 H) berkata: “Jika seseorang
terganggu dengan wazaghoh (sejenis cicak) - (yang dikenal
dengan nama burosh)
- atau kutu loncat atau kutu, maka wajib baginya untuk menyingkirkannya dari
dirinya. Jika dalam menyingkirkannya itu termasuk membunuhnya tanpa melakukan
perbuatan yang menyibukkan dari Sholat, maka tidak mengapa dalam hal itu.” (Lihat
Al-Muhalla 3/120)
(4) Dibolehkan Menoleh karena
Kebutuhan
Dari Jabir Rodhiyallahu ‘Anhu, dia
berkata:
اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَصَلَّيْنَا
وَرَاءَهُ وَهُوَ قَاعِدٌ، فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا، فَرَآنَا قِيَامًا، فَأَشَارَ إِلَيْنَا،
فَقَعَدْنَا
“Rosululloh ﷺ sakit, lalu kami Sholat
di belakang beliau dalam keadaan beliau duduk. Lalu beliau menoleh kepada kami,
dan melihat kami berdiri, maka beliau memberi isyarat kepada kami, lalu kami
duduk.” (HR. Muslim no. 413)
Dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma,
dia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُصَلِّي يَلْتَفِتُ
يَمِينًا وَشِمَالًا، وَلَا يَلْوِي عُنُقَهُ خَلْفَ ظَهْرِهِ
“Nabi ﷺ Sholat sambil menoleh ke kanan dan ke
kiri, dan beliau tidak memutar lehernya ke belakang punggungnya.” (HSR. At-Tirmidzi no. 587)
Adapun jika menoleh dalam Sholat itu tanpa
ada kebutuhan, maka ia makruh; karena itu bertentangan dengan Khusyu’.
Rosululloh ﷺ pernah ditanya tentang menoleh dalam Sholat, lalu beliau
bersabda:
اخْتِلَاسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ
مِنْ صَلَاةِ الْعَبْدِ
“Itu adalah curian yang dicuri oleh
Syaithon dari Sholat seorang hamba.” (HR. Al-Bukhori no. 751)
Menoleh yang makruh ini adalah dengan
wajah; dengan syarat tidak mengubah posisi badan; karena jika dia mengubah
posisi badannya dari Qiblat, Sholatnya batal menurut kesepakatan ulama. Dalam
Hadits (dijelaskan): “Bahwa Alloh memerintahkan Yahya bin Zakariya Rodhiyallahu
‘Anhu dengan 5 kalimat untuk dia amalkan dan dia perintahkan manusia untuk
mengamalkannya – di dalamnya disebutkan: –
وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ،
فَإِذَا صَلَّيْتُمْ، فَلَا تَلْتَفِتُوا؛ فَإِنَّ اللَّهَ يَنْصِبُ وَجْهَهُ لِوَجْهِ
عَبْدِهِ مَا لَمْ يَلْتَفِتْ
“Dan sesungguhnya Alloh memerintahkan
kalian untuk Sholat. Jika kalian Sholat, janganlah kalian menoleh; karena
sesungguhnya Alloh menghadapkan wajah-Nya kepada wajah hamba-Nya selama dia
tidak menoleh.” (HSR. At-Tirmidzi no. 2863)
(5) Dibolehkan Menangis dan
Merintih
Rosululloh ﷺ Sholat dan di dada beliau terdengar aziz (bunyi mendidih) seperti bunyi periuk karena menangis (HSR. Abu Dawud no. 904)
Dari ‘Ali bin Abi Tholib Rodhiyallahu ‘Anhu,
dia berkata: “Tidak ada di antara kami seorang pun yang menjadi ksatria (penunggang kuda) pada
Perang Badr selain Al-Miqdad Rodhiyallahu ‘Anhu, dan tidak ada di antara
kami seorang pun yang berdiri (Sholat) kecuali Rosululloh ﷺ di bawah pohon, beliau
Sholat dan menangis sampai Shubuh.” (HSR. Ibnu Khuzaimah no. 899 dan Ibnu Hibban no.
2257)
Dari Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma,
dia berkata:
لَمَّا اشْتَدَّ بِرَسُولِ اللَّهِ
ﷺ وَجَعُهُ، قِيلَ لَهُ: الصَّلَاةُ، قَالَ: «مُرُوا أَبَا بَكْرٍ يُصَلِّي بِالنَّاسِ»،
فَقَالَتْ عَائِشَةُ: إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ رَقِيقٌ؛ إِذَا قَرَأَ غَلَبَهُ الْبُكَاءُ،
فَقَالَ: «مُرُوهُ فَلْيُصَلِّ...»؛ الحديث
“Ketika sakit Rosululloh ﷺ bertambah parah,
dikatakan kepada beliau: Sholat. Beliau bersabda: ‘Perintahkan Abu Bakr agar
dia mengimami Sholat bagi orang-orang.’ Lalu ‘Aisyah berkata: Sesungguhnya Abu
Bakr adalah laki-laki yang lembut hati; jika dia membaca (Al-Qur’an), dia
dikalahkan oleh tangisnya. Maka beliau bersabda: ‘Perintahkan dia agar dia
Sholat…’ Hadits.” (HR. Al-Bukhori no. 716 dan Muslim no. 418)
(6) Dibolehkan Tasbih bagi
Laki-laki, dan Tepuk Tangan bagi Wanita
Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلَاتِهِ،
فَلْيُسَبِّحْ؛ فَإِنَّمَا التَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ
“Siapa yang mengalami sesuatu (peristiwa)
dalam Sholatnya, maka hendaklah dia bertasbih; karena sesungguhnya tepuk tangan
itu untuk wanita.” (HR. Al-Bukhori no. 684 dan Muslim no. 421)
Asy-Syaukani (1250 H) berkata: “Sabda
beliau: ‘Siapa yang mengalami sesuatu (peristiwa) dalam Sholatnya’; yaitu:
ditimpa sesuatu dari kejadian atau perkara penting, dan dia ingin memberitahu
orang lain, seperti mengizinkan orang masuk, mengingatkan orang buta, dan
mengingatkan orang yang lupa atau lalai.” (Nailul Author 2/372)
(7) Dibolehkan Membetulkan Bacaan
Imam
Dari Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma:
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ صَلَّى صَلَاةً
فَقَرَأَ فِيهَا، فَلُبِّسَ عَلَيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ، قَالَ لِأُبَيٍّ: «أَصَلَّيْتَ
مَعَنَا؟»، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَمَا مَنَعَكَ؟»
“Nabi ﷺ Sholat dan beliau membaca di dalamnya,
lalu beliau salah (saat membaca). Ketika beliau selesai, beliau bertanya kepada
Ubay Rodhiyallahu ‘Anhu: ‘Apakah kamu Sholat bersama kami?’ Dia
menjawab: Ya. Beliau bersabda: ‘Lalu apa yang menghalangimu?’” (yaitu: apa yang
menghalangimu untuk membetulkanku ketika aku salah saat membaca?) (HHR. Abu Dawud no. 907)
Asy-Syaukani (1250 H) berkata: “Dalil-dalil
telah menunjukkan disyariatkannya membetulkan bacaan secara mutlak; ketika Imam
lupa ayat dalam bacaan yang, maka membetulkannya adalah dengan mengingatkannya
ayat itu… dan ketika dia lupa Rukun selainnya, maka membetulkannya adalah
dengan tasbih
bagi laki-laki, dan tepuk tangan bagi wanita.” (Nail Al-Authort 2/373)
Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa
membetulkan bacaan Imam harus setelah kamu memberinya kesempatan untuk
mengoreksi dirinya sendiri. Jika dia diam (seakan-akan dia meminta kamu untuk
membetulkannya), maka pada saat itu kamu membetulkannya. Demikian juga
membetulkan bacaan dilakukan jika Imam mengubah makna ayat secara keseluruhan,
seperti memasukkan orang-orang Mu’min ke Naar (Neraka) dalam ayat atau yang
serupa itu.
(8) Dibolehkan Memberi Isyarat untuk Menjawab Salam
Dibolehkan bagi orang yang Sholat untuk
menjawab Salam dengan isyarat. Dari Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma, dia
berkata:
قُلْتُ لِبِلَالٍ: كَيْفَ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ يَرُدُّ عَلَيْهِمْ حِينَ كَانُوا يُسَلِّمُونَ عَلَيْهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ؟
قَالَ: يُشِيرُ بِيَدِهِ
“Aku bertanya kepada Bilal Rodhiyallahu ‘Anhu:
Bagaimana Rosululloh ﷺ menjawab Salam mereka ketika mereka mengucapkan Salam kepada
beliau saat beliau sedang Sholat? Dia menjawab: ‘Beliau memberi isyarat dengan
tangannya.’” (HSR. Abu Dawud no. 927)
Cara memberi isyarat dalam Sholat adalah
dengan menjadikan telapak tangannya ke arah tanah, dan punggung tangannya ke
atas. Sebagaimana isyarat itu dengan tangan, bisa juga dengan jari (yaitu
dengan mengisyaratkan dengan jarinya sebagaimana isyarat saat Tasyahhud).
(9) Dibolehkan Isyarat yang
Dipahami karena Kebutuhan
Dari Ummu Salamah Rodhiyallahu ‘Anha,
dia berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَنْهَى
عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ، ثُمَّ رَأَيْتُهُ يُصَلِّيهِمَا حِينَ صَلَّى
الْعَصْرَ، ثُمَّ دَخَلَ عَلَيَّ وَعِنْدِي نِسْوَةٌ مِنْ بَنِي حَرَامٍ، فَأَرْسَلْتُ
إِلَيْهِ الْجَارِيَةَ، فَقُلْتُ: قُومِي بِجَنْبِهِ وَقُولِي لَهُ: تَقُولُ لَكَ أُمُّ
سَلَمَةَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، سَمِعْتُكَ تَنْهَى عَنْ هَاتَيْنِ، وَأَرَاكَ تُصَلِّيهِمَا؟
فَإِنْ أَشَارَ بِيَدِهِ، فَاسْتَأْخِرِي عَنْهُ، فَفَعَلَتِ الْجَارِيَةُ، فَأَشَارَ
بِيَدِهِ، فَاسْتَأْخَرَتْ عَنْهُ، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ: «يَا بِنْتَ أَبِي أُمَيَّةَ،
سَأَلْتِ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ، فَإِنَّهُ أَتَانِي نَاسٌ مِنْ بَنِي
عَبْدِ قَيْسٍ،
فَشَغَلُونِي عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ، فَهُمَا هَاتَيْن»
“Aku mendengar Rosululloh ﷺ melarang Sholat 2 rokaat setelah ‘Ashar,
kemudian aku melihat beliau Sholat 2 rokaat itu setelah beliau Sholat ‘Ashar. Kemudian
beliau masuk menemuiku, dan di sisiku ada beberapa wanita dari Bani Harom. Lalu
aku mengutus seorang pelayan wanita kepada beliau, dan aku berkata: Berdirilah
di samping beliau dan katakan kepadanya: Ummu Salamah berkata kepadamu: ‘Ya Rosululloh, aku
mendengar engkau
melarang 2 rokaat
ini, dan aku melihat engkau Sholat keduanya?’ Jika beliau memberi isyarat dengan tangannya, mundurlah darinya.
Maka pelayan itu melakukannya, lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya,
dan pelayan itu mundur darinya. Ketika beliau selesai, beliau bersabda: ‘Wahai
putri Abu Umayyah, kamu bertanya tentang 2 rokaat setelah ‘Ashar, sesungguhnya telah datang
kepadaku orang-orang dari Bani ‘Abdul Qois, lalu mereka menyibukkanku dari 2 rokaat yang (biasa
dilakukan) setelah Zhuhur, maka 2 rokaat ini adalah 2 rokaat yang itu (penggantinya).’” (HR. Al-Bukhori no. 1233 dan
Muslim no. 834)
Hal itu juga telah tsabit (terbukti) dari
sekelompok Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum:
Dari ‘Aisyah Ummu Al-Mu’minin Rodhiyallahu
‘Anha bahwa dia memerintahkan pembantunya untuk membagi kuah, lalu
pembantunya melewatinya saat dia Sholat, maka dia memberi isyarat kepadanya
agar menambahkan, dan dia memerintahkan sesuatu untuk orang miskin dengan
mengisyaratkan kepadanya (yaitu: memberi isyarat kepadanya) saat dia Sholat.
Dari Khoitsamah bin ‘Abdurrohman, dia
berkata: Aku melihat Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma memberi isyarat
kepada laki-laki pertama di Shoff - dan dia melihat ada celah - agar maju.
Dari ‘Aisyah Ummu Al-Mu’minin Rodhiyallahu
‘Anha bahwa dia berdiri untuk Sholat dengan baju kurung (dir’) dan kerudung (khimar), lalu dia memberi
isyarat kepada kain penutup (milhafah) lalu pembantunya memberikannya kepadanya. Dan di sisinya
ada beberapa wanita, lalu dia mengisyaratkan kepada mereka dengan sesuatu dari
makanan dengan tangannya (yaitu: saat dia Sholat).
Dari Abu Rofi’ Rodhiyallahu ‘Anhu,
dia berkata: “Pernah datang 2 laki-laki kepada seorang laki-laki dari Shohabat
Rosululloh ﷺ saat dia Sholat, lalu mereka memintanya untuk menyaksikan suatu
persaksian, lalu dia mendengarkannya. Ketika mereka selesai, dia mengisyaratkan
dengan kepalanya; yaitu: Ya.” (HR. Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 3/115-116, dan
Mushonnaf ‘Abdurrozzaq, dan sanad-sanadnya shohih)
(10) Dibolehkan Memuji Alloh
Dari Sahl bin Sa’d Rodhiyallahu ‘Anhu,
dia berkata: “Terjadi perkelahian di antara Bani ‘Amr bin ‘Auf, lalu hal itu
sampai kepada Nabi ﷺ. Maka beliau Sholat Zhuhur, kemudian beliau mendatangi mereka
untuk mendamaikan di antara mereka. Kemudian beliau berkata kepada Bilal Rodhiyallahu
‘Anhu:
يَا بِلَالُ، إِذَا حَضَرَتْ صَلَاةُ
الْعَصْرِ وَلَمْ آتِ، فَمُرْ أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ
‘Wahai Bilal, jika waktu Sholat ‘Ashar tiba
dan aku belum datang, perintahkan Abu Bakr agar dia mengimami Sholat bagi
orang-orang.’
Ketika waktu ‘Ashar tiba, Bilal adzan kemudian iqomah, lalu berkata
kepada Abu Bakr: “Majulah.” Lalu Abu Bakr maju dan memulai Sholat. Kemudian Rosululloh ﷺ datang, lalu beliau
membelah barisan manusia hingga beliau berdiri di belakang Abu Bakr.
Lalu orang-orang bertepuk tangan (yaitu:
mereka menepuk tangan mereka dalam Sholat, dan ini sebelum Nabi ﷺ mengabarkan kepada mereka
bahwa Tasbih itu untuk laki-laki).
Sahl bin Sa’d Rodhiyallahu ‘Anhu
berkata: Abu Bakr Rodhiyallahu ‘Anhu jika sudah memulai Sholat, dia
tidak menoleh. Ketika Abu Bakr melihat tepuk tangan tidak berhenti, dia
menoleh, lalu Rosululloh ﷺ memberi isyarat kepadanya yaitu: Lanjutkanlah. Ketika beliau
mengisyaratkan kepadanya, Abu Bakr berdiam sebentar - memuji Alloh atas
perkataan Rosululloh ﷺ: ‘Lanjutkanlah.’” (HR. Al-Bukhori no. 684 dan Muslim no. 421)
Di dalamnya ada dalil atas dibolehkannya
memuji Alloh dalam Sholat.
Akan tetapi, apakah dibolehkan memuji Alloh
dalam Sholat jika dia bersin?! Asy-Syaukani (1250 H) dalam Nail Al-Author
berpendapat dibolehkannya hal itu.
Ibnu Hazm (456 H) berkata: “Dalam Hadits
ini (yang sebelumnya) terdapat kebolehan Tasbih pada setiap keadaan, dan
kebolehan memuji Alloh Ta’ala pada setiap keadaan.” (Al-Muhalla
3/110)
(11) Dibolehkan Meludah ke Kiri
Rosululloh ﷺ bersabda:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ إِلَى الصَّلَاةِ،
فَلَا يَبْصُقْ أَمَامَهُ؛ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ، وَلَا
عَنْ يَمِينِهِ؛ فَإِنَّ عَنْ يَمِينِهِ مَلَكًا، وَلْيَبْصُقْ عَنْ شِمَالِهِ، أَوْ
تَحْتَ رِجْلِهِ فَيَدْفِنَهُ
“Jika salah seorang dari kalian berdiri
untuk Sholat, janganlah dia meludah ke depannya; karena sesungguhnya dia sedang
bermunajat kepada Robb-nya selama dia berada di tempat Sholatnya, dan jangan
pula ke kanannya; karena di sebelah kanannya ada malaikat, dan hendaklah dia
meludah ke kirinya, atau di bawah kakinya lalu dia menguburnya.” (HR.
Al-Bukhori no. 416 dan Ibnu Hibban no. 2269) (Dan ini ketika Masjid masih
beralaskan kerikil, adapun sekarang Masjid beralaskan karpet dan selainnya,
maka meludah ke kiri juga, akan tetapi di sapu tangan atau selainnya).
Dari Jabir bin ‘Abdullah Rodhiyallahu ‘Anhu,
dia berkata: “Rosululloh ﷺ mendatangi kami di Masjid kami ini, dan di tangan beliau ada
dahan kurma yang kering. Lalu beliau melihat dahak di Masjid di arah Qiblat
Masjid, lalu beliau menghampirinya, dan menggosoknya dengan dahan kurma,
kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu bersabda: ‘Siapa di antara kalian
yang suka Alloh berpaling darinya?’ Lalu kami terdiam (menunduk), kemudian
beliau bersabda: ‘Siapa di antara kalian yang suka Alloh berpaling darinya?’
Lalu kami berkata: ‘Tidak ada seorang pun di antara kami, Ya Rosululloh.’ Beliau bersabda:
إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ يُصَلِّي،
فَإِنَّ اللَّهَ قِبَلَ وَجْهِهِ، فَلَا يَبْصُقْ قِبَلَ وَجْهِهِ، وَلَا عَنْ يَمِينِهِ،
وَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ تَحْتَ رِجْلِهِ الْيُسْرَى، فَإِنْ عَجِلَتْ بِهِ بَادِرَةٌ
فَلْيَقُلْ بِثَوْبِهِ هَكَذَا
‘Sesungguhnya salah seorang dari kalian
jika dia berdiri Sholat, maka sesungguhnya Alloh berada di hadapan wajahnya,
maka janganlah dia meludah ke hadapan wajahnya, dan jangan pula ke kanannya,
dan hendaklah dia meludah ke kirinya di bawah kaki kirinya. Dan jika ada dahak
yang mendahuluinya (ke pakaiannya), maka hendaklah dia lakukan dengan
pakaiannya seperti ini,’ dan beliau menangkupkan sebagiannya ke sebagian yang
lain.” (Yaitu: seakan-akan beliau menggosoknya dengan pakaiannya). (HR. Muslim no. 3008)
Demikian juga dibolehkan menggosoknya dengan
sapu tangan atau selainnya.
(12) Dibolehkan Mencegah Siapa
yang Lewat di Hadapannya
Orang yang Sholat wajib mencegah siapa yang
lewat di hadapannya; agar dia tidak memutus Sholatnya. Rosululloh ﷺ bersabda:
إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَلَا
يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ، وَلْيَدْرَأْهُ مَا اسْتَطَاعَ، فَإِنْ أَبَى
فَلْيُقَاتِلْهُ؛ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ
“Jika salah seorang dari kalian Sholat,
janganlah dia biarkan seorang pun lewat di hadapannya, dan hendaklah dia
menolaknya sebisa mungkin. Jika dia menolak (untuk berhenti), maka hendaklah
dia ‘memeranginya’ (menolaknya dengan lebih keras); karena sesungguhnya dia
hanyalah Syaithon.” (HR. Al-Bukhori no. 509, 4274 dan Muslim no. 505)
Hal itu dilakukan secara bertahap, yaitu
penolakan dimulai dengan lembut, jika dia tidak merespon dan bersikeras untuk lewat,
maka dia menambahkan sedikit kekuatan dorongan, dan seterusnya hingga dia
berhenti lewat di hadapannya.
(13) Masalah Lain yang Dibolehkan
Dibolehkan tarwih (mengipasi diri) bagi siapa yang terganggu oleh panas, baik dengan tangannya
atau dengan menekan tombol untuk AC atau kipas angin di sampingnya atau di
depannya tanpa mengubah posisi badannya dari arah Qiblat. Demikian juga
mengusap keringat saat dia Sholat.
Demikian juga dibolehkan setiap gerakan
yang di dalamnya ada perbaikan bagi Sholatnya agar dia dapat berkonsentrasi dan
Khusyu’ di dalamnya, dengan syarat tidak mengubah posisi badannya dari arah
Qiblat.
Ibnu Hazm (456 H) berkata: “Termasuk di
dalamnya adalah menyingkirkan dari dirinya segala sesuatu yang mengganggunya
dan menyibukkannya dari menunaikan hak Sholatnya secara sempurna, demikian juga
jatuhnya pakaian atau menggaruk badan, atau mencabut bisul... jika semua itu
mengganggunya, maka wajib baginya untuk memperbaiki urusannya; agar dia dapat
berkonsentrasi untuk Sholatnya. Dan siapa yang ditumpangi anak kecil di
punggungnya saat dia Sholat lalu dia diam karena itu, maka itu baik. Dan siapa
yang ragu karena Imam memanjangkan Sujudnya, maka hendaklah dia mengangkat
kepalanya; untuk mengetahui apakah Takbir Imam terlewatkan olehnya atau tidak;
karena dia diperintahkan untuk mengikuti Imam. Jika dia melihat Imam belum
mengangkat (kepalanya), maka hendaklah dia kembali Sujud dan tidak ada apa-apa
atasnya; karena dia telah melakukan apa yang diperintahkan kepadanya untuk
memperhatikan keadaan Imam.
Demikian juga dibolehkan dalam Sholat
menggerakkan orang yang dikhawatirkan oleh orang yang Sholat akan tertidur, dan
memindahkan siapa yang berada di sebelah kiri Imam ke sebelah kanannya.
Dan orang yang Sholat berdoa dalam
Sholatnya; dalam Sujudnya, berdirinya (yaitu dalam doa Qunut), dan duduknya
(yaitu setelah Tasyahhud) dengan apa yang dia sukai selama itu bukan perbuatan
dosa, dan dia boleh menyebut nama siapa yang dia sukai dalam doanya. Rosululloh
ﷺ
pernah mendoakan keburukan atas ‘Ushoyyah dan Ri’l dan Dzakwan, dan mendoakan
kebaikan untuk Al-Walid bin Al-Walid, dan ‘Ayyasy bin Abi ‘Ayyasy, dan Salamah
bin Hisyam dengan menyebut nama mereka, dan beliau ﷺ sama sekali tidak
melarang hal ini.
Dan setiap kemungkaran yang dilihat
seseorang saat dia Sholat, wajib atasnya untuk mengingkarinya (seperti memberi
isyarat dengan tangannya atau bertasbih) dan Sholatnya tidak terputus karena
hal itu; karena memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran adalah benar,
dan pelaku kebaikan adalah orang yang berbuat baik, selama tidak ada Nash
(dalil) atau Ijma’ (kesepakatan ulama) yang melarang sesuatu dari hal itu.
Termasuk di antaranya adalah memadamkan api
yang menyala, menyelamatkan anak kecil, orang gila, orang lumpuh, dan orang
tidur dari api, atau dari binatang buas, atau manusia yang jahat, atau dari
banjir,…” (Al-Muhalla, Ibnu Hazm, 3/119-436 dengan sedikit perubahan)
Dan semua yang telah disebutkan disyaratkan
di dalamnya agar tidak mengubah posisi badannya dari arah Qiblat, dan bahwa
gerakan ini bertujuan untuk perbaikan Sholatnya agar dia dapat berkonsentrasi,
dan Khusyu’ di dalamnya.
Allahu a’lam.[]
Catatan: tulisan ini ditarjamah dan ditata dari tulisan
Dr. Abdulah bin Furoih dan Syaikh Romi Mahmud dari Alukah.