[PDF] Sifat-Sifat Ibadurrohman - Prof. Dr. Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr
Pendahuluan
﷽
Segala puji bagi Alloh. Sholawat dan salam atas Rosululloh,
serta atas keluarganya, Shohabatnya, dan siapa yang mengikutinya.
Adapun setelah itu:
Sungguh kedudukan penghambaan (ubudiyyah) kepada
Alloh adalah kedudukan yang agung. Bahkan, ia adalah kedudukan yang paling
mulia yang Alloh puji para Nabi-Nya dan para wali-Nya. Alloh telah menyandarkan
(menghubungkan) pemilik kedudukan itu kepada Diri-Nya dalam ayat-ayat yang
banyak, sebagai bentuk pemuliaan bagi mereka dan pengangkatan bagi kedudukan
mereka.
Sungguh Alloh telah menyebutkan orang-orang yang memiliki kedudukan
mulia ini sifat-sifat yang banyak, dan tanda-tanda yang berkah, dalam banyak
nash (ayat). Agar
Muslim bersungguh-sungguh untuk menyifati dirinya dengan sifat-sifat itu, dan
beramal sesuai tuntutannya. Agar ia meraih kedudukan yang tinggi, dan kemuliaan
yang besar di sisi Robb semesta alam.
Di antara tempat yang paling menonjol yang Alloh sebutkan di
dalamnya sifat-sifat hamba-hamba-Nya yang Mu’min dalam satu rangkaian adalah yang terdapat di
penutup-penutup suroh
Al-Furqon. Di sana Alloh menyebutkan 8 sifat. Alloh memulainya dengan firman-Nya:
﴿وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ
عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا﴾
“Hamba-hamba Ar-Rohman adalah siapa yang berjalan di atas
bumi dengan tenang (rendah
hati)...” (QS. Al-Furqon: 63)
Dalam Ayat
ini terdapat petunjuk atas keagungan kekhususan mereka dengan apa yang
ditunjukkan oleh nama ini dari makna-makna rohmat. Dengan rohmat-Nya, Alloh
memberikan petunjuk kepada mereka menuju Iman, mendidik mereka di atas ketaatan
kepada Ar-Rohman, dan kebaikan dalam mendekatkan diri kepada-Nya secara cepat.
Kemudian Alloh menyebutkan sifat-sifat mereka, tiap sifat
diawali dengan firman-Nya: (وَالَّذِينَ). Alloh menutup
rangkaian yang mulia ini dengan menyebutkan apa yang telah Dia siapkan untuk
mereka berupa pahala yang agung, dan balasan yang besar.
Pantas bagi setiap Muslim yang berusaha untuk keselamatan
dirinya dan kebahagiaannya untuk
merenungkan sifat-sifat Ibadurrohman yang disebutkan dalam rangkaian yang
berkah ini. Agar ia mengetahuinya dengan pengetahuan yang baik. Kemudian
setelah itu ia berusaha untuk merealisasikannya di atas wajah yang paling
sempurna.
Sifat ke-1: Ketenangan,
Kewibawaan, dan Tawadhu’ kepada Alloh dan Hamba-Nya
Alloh ﷻ berfirman:
﴿وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ
هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا﴾
“Hamba-hamba
Ar-Rohman adalah siapa yang berjalan di atas bumi dengan tenang (rendah hati),
dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan salam (ucapan
yang baik).” (QS. Al-Furqon: 63)
Termasuk
sifat-sifat Ibadurrohman dan keindahan pujian atas mereka adalah ketawadhu’an
mereka kepada Alloh ﷻ dan
kepada hamba-hamba-Nya. Mereka berjalan dengan tenang, thuma’ninah, dan
wibawa. Tawadhu’ yang nampak pada cara berjalan mereka dan penampilan mereka,
sungguh hanyalah buah dan bekas dari Iman.
Ibnu Abbas rodhiyallahu
‘anhuma berkata tentang firman Alloh Ta’ala:
﴿الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا﴾
“Yaitu,
dengan ketaatan, menjaga diri dari perkara harom, dan tawadhu’ (rendah hati).” (HR.
Ath-Thobari dalam Tafsirnya, 17/491)
Termasuk
manifestasi tawadhu’ dan ketenangan mereka adalah jika mereka di jalan berhadapan
dengan sebagian orang yang kurang ajar dan bodoh, maka mereka berbicara kepada mereka
dengan perkataan yang selamat dari kurang ajar dan kebodohan. Ini adalah makna
firman-Nya:
﴿وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ
قَالُوا سَلَامًا﴾
Artinya:
Perkataan yang dengannya mereka selamat dari dosa dan perkataan sia-sia.
Dengan ini
mereka telah menghimpun bagi diri mereka keselamatan dari 2 ketergelinciran:
Ketergelinciran kaki, dan ketergelinciran lisan.
Ibnu
Al-Qoyyim (751 H) berkata: “Ketika ketergelinciran itu ada 2: Ketergelinciran
kaki, dan ketergelinciran lisan, maka salah satunya datang sebagai pendamping
yang lain dalam firman Alloh Ta’ala:
﴿وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ
هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا﴾
Maka Alloh
menyifati mereka dengan istiqomah (keteguhan) pada ucapan-ucapan mereka dan
langkah-langkah mereka.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hal. 376)
Maka mereka
tidak menghadapi orang-orang bodoh dan orang-orang yang kurang ajar dengan
semisal kebodohan dan kurang ajar mereka. Tetapi mereka berpaling dari mereka.
Mereka berbicara kepada mereka dengan perkataan yang selamat dari
bencana-bencana ini. Mereka membalas kejahatan dengan kebaikan. Sebagaimana
Alloh ﷻ berfirman:
﴿وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ
وَلِيُّ حَمِيمٌ وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا
ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ﴾
“Tidaklah
sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih
baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan dia ada permusuhan seolah-olah dia
telah menjadi teman yang sangat akrab. Sifat-sifat yang baik itu tidak
dianugerahkan melainkan kepada siapa yang bersabar dan tidak dianugerahkan
melainkan kepada siapa yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS.
Fushshilat: 34-35)
Patut bagi
setiap Muslim dengan kebaikan agamanya, dan keindahan akhlaknya untuk menyifati
dirinya dengan apa yang Alloh ﷻ
sebutkan tentang Ibadurrohman dalam ayat sebelumnya. Ia membalas kejahatan
dengan kebaikan, ia tawadhu’ kepada hamba-hamba Alloh ﷻ
betapapun akhlak mereka.
Sebelum itu
ia memohon pertolongan kepada Alloh ﷻ
dalam semua urusannya. Ia berdoa kepada-Nya agar Dia memberinya petunjuk kepada
akhlak yang terbaik. Agar Ia memalingkan darinya yang terburuknya. Sebagaimana
yang shohih dari Nabi ﷺ bahwa beliau Nabi ﷺ
dahulu berkata dalam doa istiftah:
«اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا
أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ»
“Ya
Alloh, tunjukkanlah aku kepada akhlak yang terbaik, tidak ada yang menunjukkan
kepada akhlak yang terbaik kecuali Engkau. Dan palingkanlah dariku akhlak yang
terburuk, tidak ada yang memalingkan dari akhlak yang terburuk kecuali Engkau.”
(HR. Muslim no. 771)
Nabi ﷺ
dahulu memberikan bimbingan kepada siapa yang keluar dari rumahnya agar ia
mengucapkan:
«اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ أَوْ أَزِلَّ
أَوْ أُزَلَّ أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ»
“Ya Alloh, sungguh
aku berlindung kepada Engkau dari aku tersesat atau disesatkan, atau aku
tergelincir atau digelincirkan, atau aku menzholimi atau dizholimi, atau aku
berbuat bodoh atau diperlakukan bodoh atasku.” (HR. Abu Dawud no. 5094,
At-Tirmidzi no. 3427, An-Nasai no. 5486, dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam
Shohih Al-Jaami’ no. 4709)
Dalam doa
yang berkah ini terdapat perlindungan bagi hamba agar tidak ada kebodohan
darinya kepada para manusia yang lain. Agar ia selamat dari kebodohan para
manusia yang lain terhadapnya.
Sifat ke-2: Menjaga Sholat, Terutama
Qiyamul Lail
Alloh ﷻ berfirman:
﴿وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيمًا﴾
“Siapa yang menghabiskan waktu malam
untuk Robb mereka dalam keadaan sujud dan berdiri.” (QS. Al-Furqon: 64)
Termasuk
sifat-sifat Ibadurrohman yang tampak adalah penjagaan mereka atas pelaksanaan
Sholat yang merupakan amalan badaniyyah yang paling agung, baik fardhu maupun
nafilah (sunnah). Terutama Sholat malam. Karena sungguh ia adalah sunnah
muakkadah (ditekankan) dari Rosululloh ﷺ.
Sungguh telah datang Hadits-Hadits yang banyak tentang keutamaan menjaga Sholat
malam. Karena inilah datang penegasan atasnya dalam ayat sebelumnya bahwa ia
adalah termasuk sifat-sifat Ibadurrohman.
Di antara
yang datang tentang keutamaan Qiyamul Lail (Sholat malam) adalah sabda Nabi ﷺ:
«أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ: صَلَاةُ اللَّيْلِ»
“Sholat
yang paling utama setelah Sholat fardhu adalah Sholat malam.” (HR. Muslim
no. 1163)
Nabi ﷺ
bersabda:
«عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ
وَإِنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ
وَمَنْهَاةٌ لِلْإِثْمِ»
“Hendaknya kalian
melaksanakan Qiyamul Lail (Sholat malam). Karena sungguh ia adalah kebiasaan orang-orang
sholih sebelum kalian. Sungguh Qiyamul Lail adalah kedekatan kepada Robb
kalian, dan penggugur dosa-dosa, dan pencegah dari dosa.” (HR. At-Tirmidzi
no. 3549, dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Gholil no. 452)
Adapun
waktu Qiyamul Lail (Sholat malam), Nabi ﷺ
telah Sholat di seluruh malam. Nabi ﷺ kadang Sholat di awal malam, di
pertengahan malam, dan di akhir malam. Kemudian Sholatnya lebih sering di akhir
malam, yaitu ketika waktu sahur. Itu adalah waktu yang paling utama untuk
Sholat malam. Karena sungguh ia adalah waktu turunnya Robb semesta alam ke
langit dunia. Sebagaimana yang shohih dari Nabi ﷺ, beliau
Nabi ﷺ
bersabda:
«يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ
الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ
لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ»
“Robb kita Yang
Maha Suci lagi Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia ketika
tersisa sepertiga malam terakhir, Dia berfirman: ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku
maka Aku kabulkan untuknya. Siapa yang meminta kepada-Ku maka Aku berikan kepadanya.
Siapa yang memohon ampunan kepada-Ku maka Aku ampuni untuknya.” (HR.
Al-Bukhori no. 1145 dan Muslim no. 752)
Maka semestinya
setiap hamba yang tulus terhadap dirinya sendiri, agar bersemangat untuk
memiliki jatah dari Sholat malam, meskipun dengan beberapa roka’at yang
sedikit. Agar ia meraih keutamaan yang besar ini.
Ini adalah
perilaku Ibadurrohman terhadap Sholat malam. Ia adalah ibadah, munajat,
ketundukan, dan kekhusyu’an kepada Alloh ﷻ
dalam sujud, ruku’, dan berdirinya mereka.
Jika ini
adalah keadaan mereka dalam Sholat malam, yang Alloh ﷻ
tidak fardhukan atas mereka. Lalu bagaimana perilaku mereka terhadap Sholat 5
waktu yang difardhukan yang merupakan rukun Agama yang paling agung setelah 2
kalimat Syahadat?!. Tidak diragukan bahwa mereka lebih bersemangat dan lebih
menjaga.
Sifat ke-3: Khawatir dan Takut dari
Adzab Naar
Alloh ﷻ berfirman:
﴿وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ
جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا﴾
“Mereka berkata: ‘Robb kami, jauhkanlah dari kami adzab Jahannam, sungguh
adzabnya itu kekal (selalu menyertai). Sungguh Jahannam itu seburuk-buruk
tempat menetap dan tempat tinggal.” (QS. Al-Furqon: 65-66)
Ibadurrohman
bersamaan dengan kebaikan mereka dalam beramal dan beribadah kepada Alloh ﷻ, sungguh mereka merasa takut
dan khawatir dari adzab Alloh dan kemurkaan-Nya. Ini adalah keadaan para Mu’min
yang sempurna.
Sebagaimana
Alloh ﷻ berfirman:
﴿وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا ءَاتَوا وَّقُلُوبُهُمْ
وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ﴾
“Orang-orang
yang memberikan apa yang mereka berikan (yakni sodaqoh atau ibadah), sedang
hati mereka dalam keadaan takut (khawatir tidak diterima), karena sungguh
mereka akan kembali kepada Robb mereka.” (QS. Al-Mu’minun: 60)
Artinya:
Mereka melakukan ibadah dan ketaatan, sedang hati mereka takut (khawatir) jika
amalan mereka ditolak atas mereka, hingga setelah itu adzab dari Alloh ﷻ menimpa mereka.
Maka ini
adalah sifat yang agung dari sifat-sifat Ibadurrohman. Sungguh mereka berbuat
baik dalam amalan mereka, dan pada waktu yang sama mereka khawatir amalan itu
tidak diterima dari mereka.
Dari Aisyah
rodhiyallahu ‘anha, ia berkata: Aku bertanya kepada Rosululloh ﷺ
tentang ayat ini:
﴿وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا ءَاتَوا وَّقُلُوبُهُمْ
وَجِلَةٌ...﴾
“Apakah
mereka itu orang-orang yang meminum khomr dan mencuri?” Nabi ﷺ
bersabda:
«لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُمُ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ
وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا تُقْبَلَ مِنْهُمْ»
“Bukan,
wahai putri Ash-Shiddiq (Abu Bakr), tetapi mereka adalah orang yang Puasa, dan
Sholat, dan bershodaqoh, sedang mereka takut amalan itu tidak diterima dari
mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 3175, dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam
As-Silsilah Ash-Shohihah no. 162)
Al-Hasan
Al-Bashri (110 H) berkata: “Mu’min menghimpun kebaikan dan rasa khawatir, dan
para munafik menghimpun kejahatan dan rasa aman (dari adzab).”
Kemudian
Al-Hasan (110 H) membaca:
﴿إِنَّ الَّذِينَ هُم مِّنْ خَشْيَةِ رَبِّهِم مُّشْفِقُونَ﴾
“Sungguh termasuk
ketakutan mereka kepada Robb mereka adalah selalu khawatir (amal tidak
diterima).” (QS. Al-Mu’minun: 57)
Maka para
munafik—wal ‘iyadzubillah (kita berlindung kepada Alloh)—berbuat buruk
dalam amalan, sedang mereka bersamaan dengan itu aman dari adzab Alloh ﷻ, tidak khawatir. Berbeda
dengan Mu’min, sungguh rasa takut dari adzab Alloh ﷻ
merupakan pencegah baginya dari melakukan kemaksiatan. Sebagaimana rasa harap
akan rohmat Alloh ﷻ
merupakan pendorong baginya untuk menambah keutamaan dan pendekatan diri kepada
Alloh ﷻ. Alloh Ta’ala
berfirman:
﴿أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ
الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ
عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا﴾
Mereka yang
diseru, mereka mencari wasilah (jalan) kepada Robb mereka, siapa di antara
mereka yang lebih dekat. Dan mereka mengharapkan rohmat-Nya dan mereka takut
adzab-Nya. Sungguh adzab Robbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (QS.
Al-Isro’: 57)
Perkataan
Ibadurrohman dalam doa mereka sebelumnya:
رَبَّنَا اصْرِفْ
عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ
“Robb
kami, jauhkanlah dari kami adzab Jahannam.” (QS. Al-Furqon: 65)
Juga mencakup
doa untuk memalingkan sebab-sebab yang menghantarkan kepada adzab Naar
(Neraka), yaitu dengan diberikan taufiq untuk menjauhi sebab-sebab itu.
Sebagaimana yang shohih dari Nabi ﷺ
bahwa beliau Nabi ﷺ mengajarkan Aisyah Ummul Mu’minin rodhiyallahu ‘anha
untuk berdoa dan mengucapkan:
«اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا
مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ
قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ»
“Ya Alloh,
sungguh aku memohon kepada-Mu Jannah dan apa yang mendekatkan kepada Jannah
dari perkataan atau amalan. Aku berlindung kepada-Mu dari Naar (Neraka) dan apa
yang mendekatkan kepada Naar dari perkataan atau amalan.” (HR. Ibnu Majah
no. 3846, dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shohihah no.
1542)
Perkataan
mereka:
﴿إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا﴾
Artinya:
Sungguh adzabnya itu kekal, selalu menyertai, dan sangat keras. (QS.
Al-Furqon: 65)
إِنَّهَا سَاءَتْ
مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا
Artinya:
Seburuk-buruk tempat menetap, dan seburuk-buruk tempat kekal. (QS.
Al-Furqon: 66)
Sifat ke-4:
Pertengahan dalam Harta, Antara Berlebihan dan Pelit
Alloh ﷻ berfirman:
﴿وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ
يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا﴾
“Dan orang-orang
yang apabila mereka berinfaq, mereka tidak berlebihan dan tidak kikir, dan
adalah (nafkah itu) di antara keduanya itu pertengahan.” (QS. Al-Furqon: 67)
Termasuk
sifat-sifat Ibadurrohman adalah perilaku tengah-tengah mereka dalam bab nafaqoh
antara berlebihan dan kikir. Karena sungguh mereka mengetahui Alloh ﷻ akan bertanya kepada mereka
pada Hari Kiamat tentang ni’mat ini yang Dia berikan kepada mereka. Sebagaimana
yang shohih dari Rosululloh ﷺ bersabda:
«لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ
عُمُرِهِ فِيمَ أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ
اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ»
“Tidak akan
bergeser 2 kaki seorang hamba pada Hari Kiamat hingga ia ditanya tentang:
umurnya pada apa ia habiskan, tentang ilmunya pada apa ia amalkan, tentang
hartanya dari mana ia peroleh dan pada apa ia belanjakan, tentang jasadnya pada
apa ia usangkan.” (HR. At-Tirmidzi dalam Al-Jaami’ no. 2416, dan dishohihkan
oleh Al-Albani dalam Shohih Al-Jaami’ no. 7300)
Adapun bentuk
tidak boros dan tidak kikir dalam nafaqoh adalah mereka tidak boros hingga mereka
melampaui batas yang Alloh ﷻ
perbolehkan dari kebutuhan-kebutuhan wajib dan sunnah mereka. Dan sebaliknya
dalam kikir: mereka bersemangat untuk berinfaq untuk apa yang harus mereka
penuhi darinya, yaitu yang menegakkan kehidupan mereka dan menjadi bekal dan
penolong untuk kebaikan Akhiroh mereka.
Ini adalah
kewajiban atas Muslim: agar ia bersikap tengah-tengah dalam semua urusannya
antara berlebihan dan meremehkan, baik dalam bab ini maupun bab Agama dan dunia
yang lain.
Dari Ka’ab
bin Furrukh, dari Qotadah, dari Muthorrif bin Abdillah, ia berkata: “Sebaik-baik
urusan ini adalah yang paling tengah, dan kebaikan adalah di antara 2
keburukan.” Aku bertanya kepada Qotadah: “Apa kebaikan di antara 2 keburukan?”
Ia menjawab:
﴿وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا
وَلَمْ يَقْتُرُوا﴾
“Orang-orang
yang apabila mereka berinfaq, mereka tidak berlebihan dan tidak kikir.” (HR.
Ath-Thobari dalam Tafsirnya, 17/500)
Sifat ke-5: Menjauhi Dosa-Dosa
Besar dan Kejahatan
Alloh ﷻ berfirman:
﴿وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ
وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ﴾
“Dan orang-orang
yang tidak menyeru (berdoa) bersama Alloh kepada ilah yang lain, tidak membunuh
jiwa yang Alloh haromkan kecuali dengan hak, dan tidak berzina.” (QS.
Al-Furqon: 68)
Termasuk
sifat-sifat Ibadurrohman yang paling menonjol yang bertaqwa adalah menjauhi
dosa-dosa besar dan kejahatan-kejahatan. Sungguh Alloh Jalla wa ‘Ala
mengkhususkan dalam rangkaian ini 3 dosa besar untuk disebutkan. Karena sungguh
ia adalah dosa-dosa besar yang paling agung dan paling keras secara mutlak,
yaitu:
1. Syirik kepada
Alloh Ta’ala.
2. Pembunuhan jiwa
yang terjaga (ma’shum).
3. Zina.
Adapun syirik
maka ia berkaitan dengan hak Alloh atas hamba-hamba-Nya. Ia adalah dosa yang
Alloh tidak ampuni siapa yang wafat di atasnya, sebagaimana Alloh Ta’ala
berfirman:
﴿إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ
مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا
عَظِيمًا﴾
“Sungguh
Alloh tidak mengampuni dosa syirik kepada-Nya. Alloh mengampuni dosa yang di
bawah itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Siapa yang syirik kepada Alloh, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat besar.” (QS. An-Nisa’: 48)
Maka jika
hamba memalingkan sesuatu dari ibadah kepada selain Alloh; seperti do’a,
istighotsah, nadzar, dan dzabh (sembelihan), dan selainnya, sungguh ia
telah melakukan perbuatan yang paling membinasakan, dan kejahatan yang paling
besar, yaitu syirik kepada Alloh ﷻ.
Adapun
pembunuhan jiwa yang terjaga (ma’shum) maka ia adalah kejahatan yang
sangat keji. Haknya berkaitan dengan si pembunuh yang zholim atas dirinya
sendiri dengan kejahatan ini. Dan ia berkaitan dengan para wali (keluarga) si
terbunuh juga.
Karena
itulah Nabi ﷺ
bersabda:
«لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُسْلِمٍ
بِغَيْرِ حَقٍّ»
“Sungguh
hancurnya dunia adalah lebih ringan bagi Alloh daripada membunuh Muslim tanpa
hak.” (HR. Ibnu Majah no. 2619, dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohih
Al-Jaami’ no. 5078)
Adapun zina
maka ia adalah termasuk perbuatan keji yang paling keras yang membuat hati
sakit dan merusaknya. Dia juga mendatangkan kerugian-kerugian yang banyak dan
beragam pada hamba dan masyarakat, baik kerugian Iman, badaniyyah, nafsiyyah
(kejiwaan), maupun sosial.
Nabi ﷺ
bersabda:
«إِذَا زَنَى الرَّجُلُ خَرَجَ مِنْهُ الْإِيمَانُ وَكَانَ عَلَيْهِ
كَالظُّلَّةِ فَإِذَا انْقَطَعَ رَجَعَ إِلَيْهِ الْإِيمَانُ»
“Apabila
seorang lelaki berzina, Iman keluar darinya, seakan-akan Imannya seperti
naungan di atasnya. Apabila ia berhenti, Iman kembali kepadanya.” (HR. Abu
Dawud no. 4690, dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shohihah
no. 509)
Sungguh
Alloh ﷻ dan Rosul-Nya telah
memperingatkan dari semua wasilah (jalan) yang mendekatkan kepada perbuatan
keji ini atau menjadi sebab untuk terjadinya. Maka datang larangan dari
berduaan antara lelaki dan perempuan asing. Dan larangan bagi perempuan untuk
menampakkan sedikit dari perhiasannya kecuali kepada para mahromnya. Dan
larangan keluarnya perempuan dari rumahnya dalam keadaan memakai wewangian
sehingga para lelaki mencium baunya. Dan perintah untuk menundukkan pandangan
bagi para lelaki dan para perempuan. Dan itu semua adalah termasuk syari’at
Robbaniyyah yang lain yang menjaga masyarakat dari dosa besar ini. Itu semua
tidak lain adalah karena bahayanya dan buruknya akibatnya.
Setelah
Alloh ﷻ menyebutkan tentang Ibadah-Nya
menjauhi dosa-dosa besar yang 3 ini, Alloh ﷻ
mengikutinya dengan ancaman bagi siapa yang melakukan dosa-dosa ini dengan
adzab yang sangat keras lagi berlipat ganda di Jahannam—wal ‘iyadzubillah
(kita berlindung kepada Alloh)—. Alloh ﷻ
berfirman:
﴿وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا يُضَاعَفْ لَهُ
الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا﴾
“Ssiapa
yang melakukan itu, niscaya ia akan mendapat balasan dosa. Akan dilipatgandakan
adzab baginya pada Hari Kiamat dan ia akan kekal di dalamnya dalam keadaan
terhina.” (QS. Al-Furqon: 68-69)
Kemudian
Alloh mengecualikan dari ancaman yang keras ini siapa yang segera dan bersegera
untuk taubat dari dosa-dosa besar ini, dan kembali kepada Robbnya ﷻ, dan rujuk kepada-Nya. Agar
ia meraih ampunan dan maaf, bersamaan dengan memperbanyak amalan-amalan sholih
dan jenis-jenis ketaatan yang mendekatkan kepada Ar-Rohman agar derajatnya naik
di sisi Robbnya ﷻ, dan
kejahatan-kejahatannya diganti dengan kebaikan-kebaikan.
Alloh ﷻ berfirman:
﴿إِلَّا مَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا
فَأُولَبِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَّحِيمًا﴾
“Kecuali
siapa yang taubat dan beriman dan mengamalkan amalan sholih. Maka Alloh
mengganti kejahatan-kejahatan mereka dengan kebaikan-kebaikan. Alloh Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqon: 70-71)
Sifat ke-6: Menjauhi Majlis Batil
dan Mungkar
Alloh ﷻ berfirman:
﴿وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا
بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا﴾
“Dan orang-orang
yang tidak menyaksikan zuur (kesaksian palsu/ kebatilan), dan apabila
mereka melewati laghwu (perkataan/ perbuatan sia-sia), mereka
melewatinya dengan mulia.” (QS. Al-Furqon: 72)
Termasuk
akhlak Ibadurrohman, dan keindahan sifat-sifat mereka adalah mereka mensucikan
diri mereka dari menghadiri majelis-majelis yang di dalamnya tersebar
kemungkaran, dan diliputi oleh kebatilan dan perkataan sia-sia yang harom.
Firman-Nya:
﴿وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ﴾
Artinya:
Mereka tidak menghadiri zuur dan tidak mendatangi majelis-majelisnya,
dan tidak berpartisipasi dengan ahlinya.
Maka
termasuk dalam ayat sebelumnya:
Majelis-majelis
yang didirikan di atas kemaksiatan dan kejahatan-kejahatan: seperti ghibah, namimah,
sukhriyyah (mengolok-olok), istihza’ (mengejek), kadzib
(dusta), ghina’ (nyanyian), dan menonton kemungkaran dan perbuatan keji
yang ditampilkan di layar televisi, dan perangkat jawal (telepon
genggam), dan selainnya.
Dan
termasuk di dalamnya: Majelis-majelis yang didirikan di atas penyebaran
pemikiran yang menyimpang, dan pendapat-pendapat yang rusak, dan amalan-amalan
yang bid’ah dari para da’i (penyeru) keburukan dan kesesatan.
Dan
termasuk di dalamnya juga: Majelis-majelis yang di dalamnya ditegakkan ‘Id
(perayaan) para musyrik, dan musim-musim yang mereka rayakan di dalamnya. Maka
harom atas Muslim menghadirinya atau mengucapkan selamat kepada mereka dan
menampakkan kegembiraan dan kesenangan dengannya.
Semua yang
telah disebutkan itu dicakup oleh ayat tersebut. Karena itulah ungkapan para
Salaf Ash-Sholih berbeda-beda dalam menjelaskan maksud zuur (kebatilan)
dalam ayat tersebut.
Al-Hafizh
Ibnu Jarir Ath-Thobari (310 H) setelah ia menyebutkan perkataan para Salaf
tentang ayat tersebut, ia berkata: “Maka perkataan yang paling utama dengan
kebenaran dalam tafsirnya adalah dikatakan: Siapa yang tidak menyaksikan
sesuatu pun dari kebatilan, yaitu tidak syirik, tidak nyanyian, tidak
kedustaan, dan tidak selainnya. Dan semua yang dilazimkan oleh nama zuur
(kebatilan). Karena sungguh Alloh menyamaratakan dalam pensifatan-Nya kepada
mereka sungguh mereka:
﴿لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ﴾
“Mereka
tidak menyaksikan zuur.” (Jami’ Al-Bayan, 17/523)
Ibadurrohman
tidak menyaksikan majelis-majelis ini dengan semua bentuknya. Dan lebih utama
lagi tidak terjadi zuur (kesaksian palsu) dari mereka.
Dan firman-Nya
Ta’ala:
﴿وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا﴾
Maka mereka
tidak mendatangi majelis-majelis itu, dan tidak melakukan sesuatu pun darinya
dengan sengaja. Tetapi jika ditakdirkan salah seorang dari mereka melewati
majelis yang di dalamnya ada sesuatu dari kemungkaran atau kebatilan, maka ia
melewatinya sambil memuliakan dirinya dari majelis itu, berpaling darinya, dan
mensucikan diri dari duduk di dalamnya.
Sifat ke-7: Mengagungkan
Kalamullah dan Mengamalkannya
Alloh ﷻ berfirman:
﴿وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ
يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا﴾
“Dan
orang-orang yang apabila mereka diingatkan dengan ayat-ayat Robb mereka, mereka
tidak jatuh tersungkur atasnya dalam keadaan tuli dan buta.” (QS. Al-Furqon:
73)
Kalam Alloh
kedudukannya agung, dan tempatnya mulia dalam jiwa Ibadurrohman. Maka mereka
tidak menghadapinya dengan berpaling dan mengacuhkan. Tetapi mereka
mengagungkannya dan menempatkannya di tempat yang mulia. Mereka berbuat baik
dalam mendengarkannya dan mengambil manfaat dengannya.
Firman-Nya:
﴿لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا
وَعُمْيَانًا﴾
Artinya:
Jika mereka mendengarkan Kalam Robb, mereka tidak seperti orang-orang tuli yang
tidak mendengar sehingga mengambil manfaat dengan nasehat, dan orang buta yang
tidak melihat. Tetapi mereka berbuat baik dalam mendengarkan, dan mengambil
manfaat dengan nasehat-nasehat, dan mengamalkan hukum-hukumnya dan
petunjuk-petunjuknya.
Dari
Qotadah bin Di’amah (118 H) ia berkata tentang ayat ini: “Mereka tidak tuli dan
tidak buta dari kebenaran. Mereka adalah kaum yang berakal tentang Alloh, maka
mereka mengambil manfaat dengan apa yang mereka dengarkan dari Kitab Alloh.” (HR.
Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya, 8/2740)
Alloh ﷻ telah mencela siapa yang
sombong atas ayat-ayat Alloh dan petunjuk-petunjuknya. Rasa sombong karena dosa
menguasainya, sehingga ia terus-menerus dalam kebatilannya. Alloh mengancamnya
dengan adzab Jahannam, maka Alloh ﷻ
berfirman:
﴿وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ
بِالْإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ﴾
Apabila
dikatakan kepadanya: “Bertaqwalah kepada Alloh!” maka kesombongan karena dosa
menguasainya. Maka cukuplah baginya Jahannam. Sungguh Jahannam itu tempat
berbaring yang seburuk-buruknya.” (QS. Al-Baqoroh: 206)
Nabi ﷺ
bersabda:
«إِنَّ أَبْغَضَ الْكَلَامِ إِلَى اللَّهِ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ
اتَّقِ اللَّهَ فَيَقُولُ عَلَيْكَ نَفْسَكَ»
“Sungguh
perkataan yang paling dibenci oleh Alloh adalah seorang lelaki berkata kepada
lelaki (lain): “Bertaqwalah kepada Alloh,” lalu ia berkata: “Uruslah dirimu
sendiri.” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro no. 10619, dan dishohihkan
oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shohihah no. 2598)
Sifat ke-8: Senantiasa Berdoa dan
Tunduk
Alloh ﷻ berfirman:
﴿وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا
وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا﴾
“Dan orang-orang
yang berkata: ‘Robb kami, anugerahkanlah kepada kami dari pasangan-pasangan
kami dan keturunan-keturunan kami penyejuk mata (penyenang hati). Dan
jadikanlah kami bagi para Muttaqin sebagai pemimpin.” (QS. Al-Furqon: 74)
Termasuk
sifat-sifat Ibadurrohman yang sempurna adalah perhatian mereka dengan doa. Maka
mereka adalah orang-orang yang membutuhkan kepada Alloh ﷻ, berlindung kepada-Nya,
menghadap kepada-Nya. Dan semua kebutuhan mereka dan kemaslahatan mereka, baik
yang berkaitan dengan Agama maupun dunia, mereka mengharapkannya hanya dari-Nya
semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Kemudian
mereka dalam doanya bersemangat atas doa-doa yang mencakup dan lengkap dan yang
paling bermanfaat. Perkataan mereka:
﴿رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا
قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا﴾
Doa ini
adalah termasuk doa yang paling mencakup dan paling bermanfaat. Di dalamnya
terdapat permintaan
utama: doa seseorang agar matanya disejukkan, dan hatinya bahagia dengan
kebaikan (kesholihan) keluarga dan anak-anaknya. Dalam ibadah mereka, akhlak
mereka, muamalah (interaksi) mereka, kehidupan mereka, dan bakti mereka kepada
kedua orang tua mereka, dan selainnya.
Kemudian
perkataan mereka:
﴿وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا﴾
Mencakup doa
untuk kebaikan diri terlebih dahulu, dan petunjuk diri kepada kebaikan,
sehingga setelah itu ia menjadi teladan bagi para manusia yang lain dalam
sifat-sifat kebaikan. Sehingga para manusia menjadikannya sebagai panutan, dan
meneladani perilakunya.
Tidak
mungkin bagi hamba untuk menjadi teladan dan pemimpin bagi para muttaqin
setelahnya, kecuali jika ia meneladani para muttaqin sebelumnya. Ia mencontoh
mereka dalam dirinya. Ia bersemangat untuk mendapatkan sifat-sifat kebaikan dan
keberuntungan. Ketika itu para muttaqin bersemangat untuk meneladani dan
menjadikannya sebagai pemimpin, dan mengambil manfaat dari bimbingan dan
petunjuknya.
Karena
inilah patut atas setiap Muslim untuk bersemangat atas doa ini, dan agar doa
ini ada di lisannya. Agar ia meraih kebaikan yang agung ini yang terkandung di
dalamnya.
Penutup
Kemudian
Alloh menutup rangkaian yang berkah ini dengan menyebutkan balasan siapa yang
menyifati dirinya dengan sifat-sifat sebelumnya, dan pahala mereka yang agung.
Maka Alloh ﷻ berfirman:
﴿أُوْلَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا
وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَامًا خَالِدِينَ فِيهَا حَسُنَتْ مُسْتَقَرًّا
وَمُقَامًا﴾
“Mereka akan
dibalas ghurfah (kamar di Surga) disebabkan kesabaran mereka. Mereka
akan disambut di dalamnya dengan penghormatan dan salam. Mereka kekal di
dalamnya. Ia adalah sebaik-baik tempat menetap dan tempat tinggal.” (QS.
Al-Furqon: 75-76)
Maka
balasan itu sesuai dengan jenis amalan. Ketika sifat-sifat mereka mulia dan
tinggi, Robb semesta alam membalas mereka dengan ghurfah yang tinggi
sebagai balasan bagi mereka.
Sungguh
deskripsi ghurfah (kamar-kamar) ini datang melalui lisan Nabi ﷺ,
ketika Nabi ﷺ
bersabda:
«إِنَّ أَهْلَ الْجَنَّةِ يَتَرَاءَوْنَ أَهْلَ الْغُرَفِ مِنْ فَوْقِهِمْ
كَمَا يَتَرَاءَوْنَ الْكَوْكَبَ الدُّرِّيَّ الْغَابِرَ فِي الْأُفُقِ مِنَ الْمَشْرِقِ
أَوِ الْمَغْرِبِ لِتَفَاضُلِ مَا بَيْنَهُمْ»
“Sungguh
para penghuni Jannah melihat para penghuni ghurof (kamar-kamar) dari
atas mereka, sebagaimana mereka melihat bintang yang bercahaya seperti mutiara
yang jauh di ufuk, dari timur atau barat. Karena adanya perbedaan tingkatan di
antara mereka.” (HR. Al-Bukhori no. 3256 dan Muslim no. 2831)
Maka para
penghuni Jannah jika mereka ingin melihat para penghuni ghurof, mereka
mengangkat kepala mereka dan melihatnya sebagaimana kita menyaksikan bintang
yang tinggi dan mulia di langit. Ini menunjukkan atas ketinggian kedudukan
mereka, dan ketinggian derajat mereka di Jannah An-Na’im.
Dan firman-Nya
‘Azza wa Jalla:
﴿وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَامًا﴾
Artinya:
Para Malaikat menyambut mereka dengan penghormatan dan sambutan dan salam yang
mencakup keselamatan dari kekurangan, penyakit, dan perkara yang menyusahkan.
Ini adalah
akhir perjalanan mereka dan tempat kembali mereka yang Alloh muliakan bagi
mereka karena kesempurnaan ibadah mereka dan kepatuhan mereka terhadap petunjuk
Kitab-Nya yang mulia.
Dan firman
Alloh ﷻ di akhir rangkaian ini:
﴿قُلْ مَا يَعْبَؤُا بِكُمْ رَبِّي لَوْلَا دُعَاؤُكُمْ﴾
“Katakanlah:
Robku tidak memperhatikanmu seandainya bukan karena doamu (Imanmu).” (QS.
Al-Furqon: 77)
Di Ayat ini
terdapat kembalinya keselamatan dan kebahagiaan, yaitu ibadah yang karenanya
Alloh menciptakan makhluk. Allah adakan mereka untuk merealisasikannya.
Ibnu
Al-Qoyyim (751 H) berkata: “Perkataan yang paling benar tentang ayat ini
adalah: Apa yang Robbku perbuat dengan kalian jika bukan karena ibadah kalian
kepada-Nya. Maka sungguh Dia Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan
kalian kecuali untuk ibadah kepada-Nya” (Miftaah Dar As-Sa’adah, 2/83)
Semoga
Alloh menganugrahi kita semua sifat-sifat Ibadurrohman, dan menetapkan kita di
atas kebenaran, petunjuk, dan Iman.
Kami
memohon kepada Alloh ﷻ agar
memberikan taufiq kepada kita dan semua Muslimin pada apa yang Dia cintai untuk
kita dan Dia ridhoi dari perkataan dan amalan. Sungguh tidak ada daya dan
kekuatan kecuali dengan pertolongan Alloh Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.
Segala puji
bagi Alloh Robb semesta alam.
Sholawat
Alloh atas Nabi kita Muhammad, dan atas keluarga beliau dan Shohabat beliau,
dan keselamatan yang banyak lagi abadi hingga Hari Pembalasan.
***