[PDF] Pengantar Ilmu Ghoribul Qur'an - Nor Kandir
[1] Pentingnya
Memahami Kosa Kata Al-Qur’an
Sungguh,
salah satu alat paling agung untuk menafsirkan Al-Qur’an Karim adalah memahami
makna kata-kata (lafazh) bahasa Arob, termasuk beragam maknanya, terutama makna
lafazh-lafazh Al-Qur’an Karim. Memahami maknanya harus dimulai dengan
melihatnya secara terpisah dari konteks ayatnya, lalu melihatnya dalam beragam
konteks ayat yang berbeda.
Langkah
pertama dalam menafsirkan Firman Alloh ﷻ adalah mengetahui makna kata,
baik kata itu berdiri sendiri (terpisah dari konteks) maupun dalam rangkaian
kalimat. Memahami Kitabullah ﷻ mengharuskan kita mengetahui makna huruf dan kata untuk bisa
memahami hakikat kalimat dan gaya bahasanya, serta menggali dan mengungkap
maksud-maksud yang terkandung di dalamnya.
Ini adalah
penolong paling besar untuk mentadabburi (merenungi) Kitabullah ﷻ,
yang memang kita diperintahkan untuk melakukannya. Alloh ﷻ
berfirman:
﴿كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا
آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ﴾
“Sungguh, ini
adalah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) penuh berkah, agar mereka
merenungi ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mengambil
pelajaran.” (QS. Shod: 29)
Alloh ﷻ juga
berfirman:
﴿أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ
قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا﴾
“Mengapa
mereka tidak merenungi Al-Qur’an? Ataukah hati mereka sudah terkunci?” (QS. Muhammad:
24)
Dan
firman-Nya:
﴿أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ
كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا﴾
“Mengapa
mereka tidak merenungi Al-Qur’an? Sekiranya Al-Qur’an itu datangnya bukan dari
sisi Alloh, pasti mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya.” (QS.
An-Nisaa’: 82)
Imam
Az-Zarkasyi (794 H) berkata: “Orang yang ingin mengungkap itu —yaitu makna
lafazh-lafazh Al-Qur’an Karim dan menafsirkan Kitabullah ﷻ— perlu mengetahui ilmu bahasa, baik
kata benda, kata kerja, maupun kata sambung (huruf)”.
[2] Huruf dan Kata dalam Bahasa Arob
Lafazh yang
kita ucapkan bisa berupa huruf, kata, atau kalimat.
2.1
Huruf
Huruf
dibagi dua: Huruf Mabani dan Huruf Ma’aani.
2.1.1. Huruf Mabani (Huruf Pembentuk Kata)
Ini adalah
huruf-huruf yang membentuk kata Arob. Huruf-huruf ini sendiri memiliki makna
pada bunyi (suara) mereka. Contohnya, huruf-huruf qolqolah menunjukkan
makna goncangan dan kegelisahan. Makna bunyi ini turut menyumbang pada makna
kata itu sendiri. Sebagai contoh, pada Suroh Al-Buruj, mayoritas ujung ayatnya
adalah huruf qolqolah, yang sesuai dengan tema surah tersebut sebagai
ujian, kegelisahan, dan guncangan bagi keimanan kaum Mu’min.
2.1.2. Huruf Ma’aani (Huruf Bermakna)
Ini seperti
huruf jarr (kata depan), huruf athof (kata sambung), qosm
(sumpah), dan lain-lain. Imam As-Suyuthi (911 H) berkata bahwa huruf-huruf ini
adalah alat paling penting bagi seorang mufassir (ahli tafsir).
2.2
Kata (Alfazh)
Ar-Roghib
Al-Ashfahani (502 H) berkata, hal pertama yang harus dipelajari dari ilmu
Al-Qur’an adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan lafazh, khususnya mendalami
kata-kata tunggal (mufrodat). Mengumpulkan makna kata-kata tunggal
Al-Qur’an adalah pembantu awal bagi siapa pun yang ingin memahami maknanya. Ini
ibarat mengumpulkan batu bata sebagai bahan pertama untuk membangun sebuah
bangunan.
Ini
menunjukkan bahwa tidak masuk akal jika seseorang berbicara tentang tafsir
Kitabullah ﷻ
kecuali jika dia adalah seorang yang berilmu tentang makna lafazh-lafazh Arob
secara umum, dan lafazh-lafazh Al-Qur’an secara khusus. Yaitu, orang yang
berilmu tentang makna lafazh secara terpisah (tunggal) dan maknanya dalam
berbagai konteks.
Pengetahuan tentang makna lafazh tidak hanya bermanfaat
untuk memahami Al-Qur’an Karim, tetapi juga untuk seluruh ilmu Syari’ah.
Perbedaan makna lafazh adalah salah satu sebab perbedaan pendapat para ulama
fikih tentang hukum fikih dan akidah. Al-Qur’an Karim dan Hadits Nabawi tidak
dapat dipahami kecuali dalam koridor bahasa Arob, dan dasarnya adalah memahami
makna-makna kata dan beragam maksudnya, baik secara tunggal maupun dalam
konteksnya.
[3] Definisi Ghoriib (Kosa Kata
Asing/Sulit)
Dalam
bahasa (Lughoh), makna linguistik suatu kata Arob itu lebih luas daripada makna
istilahnya. Para ahli kamus (mu’jam) akan menyebutkan semua makna yang
mereka temukan, sedangkan para ahli istilah memilih makna yang sesuai dengan
disiplin ilmu mereka.
3.1
Makna Ghoriib secara Bahasa
Kata
Ghoriib (الغريب) berasal
dari akar kata Ghoroba (غَرَبَ) yang
memiliki makna dasar yang berkisar pada ketiadaan (غِياب), jauh (بُعد), dan tersembunyi (اختفاء).
Dikatakan al-ghoriib
adalah orang yang jauh dari tanah airnya.
Dinamakan
burung gagak (al-ghurobb) karena ia sangat jauh dalam perginya.
Ghoriib
dari ucapan adalah yang samar, jauh dari pemahaman (sukar dipahami).
At-Taghriib adalah menjauhkan, seperti sabda
Nabi ﷺ
“diperintahkan
menjauhkan (mengasingkan) pezina yang belum muhshon (sudah menikah)
selama setahun” (yaitu mengusirnya dari negerinya dan menjauhkannya).
3.2
Tiga Makna Ghoriib dalam Ucapan
Kata ghoriib
dalam ucapan memiliki tiga makna yang dimaksud:
3.2.1. Makna Pertama: Samar dan Tidak Jelas
Yaitu yang
jauh dari pemahaman.
Al-Kholiil
(175 H) dalam muqodimah Mu’jam Al-‘Ain membedakan antara al-waadhih
(yang jelas) dan al-ghoriib, yang berarti al-ghoriib adalah yang
tidak jelas.
Imam
Al-Khoththobi (388 H) berkata: “Al-Ghoriib dari ucapan hanyalah yang samar,
jauh dari pemahaman. Sama seperti al-ghoriib dari manusia hanyalah yang
jauh dari tanah air, terpisah dari keluarga”.
Makna ini
adalah penerapan pertama untuk ghorobah (keasingan) dalam Al-Qur’an
Karim: kata-kata yang tidak jelas makna dan maksudnya, sehingga perlu dicari
maknanya di kamus-kamus Arob karena ia ghoriib (asing/sulit).
3.2.2. Makna Kedua: Ucapan dari Seseorang yang Jauh
Tempat Tinggalnya (Dialek Asing)
Dialeknya menjadi
asing di telinga.
Suku-suku Arob
beragam, dan setiap suku memiliki dialek yang berbeda, yang bisa terasa ghoriib
di telinga. Nabi ﷺ
sendiri berbicara dengan setiap suku sesuai dengan dialek mereka.
Al-Khoththobi
(388 H) berkata: “Dimaksudkan dengannya (ghoriib) adalah ucapan dari
seseorang yang jauh tempat tinggalnya dan letaknya, dari suku-suku Arob yang
langka. Ketika kata dari bahasa mereka sampai kepada kita, kita menganggapnya ghoriib
(asing/sulit), padahal itu adalah ucapan biasa mereka.
Al-Qur’an
Karim diturunkan dengan dialek fasih dari setiap kabilah Arob. Imam As-Suyuthi
(911 H) menyebutkan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat lebih dari 40 dialek
(bahasa) Arob.
3.2.3. Makna Ketiga: Mengucapkan Segala Sesuatu
Yaitu orang
yang tidak menyisakan sesuatu pun kecuali dia bicarakan.
Al-Qur’an
Karim memiliki ketiga sifat ghoriib ini:
1. Ghoriib yang Samar: Kata-kata yang tidak
jelas/samar, inilah yang menjadi alasan dituliskannya kitab-kitab Ghoriib Al-Qur’an.
2. Ghoriib Dialek: Terdapat dialek-dialek Arob
yang beragam, yang letaknya jauh, sehingga beberapa kata di dalamnya dianggap
asing.
3. Ghoriib (Sangat Luas): Al-Qur’an tidak
menyisakan satu pun gaya bahasa Arob yang fasih kecuali ia gunakan.
[4] Menjawab Kerancuan
Ada
kerancuan: Para ahli Balaghoh (Retorika) memasukkan ghorobah
(keasingan/kesulitan lafazh) sebagai salah satu cacat dalam fashohah (kefasihan).
Jika ghorobah adalah cacat, bagaimana bisa Al-Qur’an memiliki kata-kata ghoriib?
Jawabannya
adalah kita harus mencari makna ghoriib menurut para ahli Balaghoh.
Para ulama
Balaghoh menggunakan kata ghoriib dengan makna kata-kata liar (wahshiyyah).
Abu Al-Ma’ali
Al-Qozwini (739 H) berkata: “Al-Ghorobah adalah ketika suatu kata itu liar (wahshiyyah),
maknanya tidak jelas, sehingga butuh dicari di dalam kitab-kitab bahasa yang
luas, atau dipaksakan maknanya dengan wajh (sisi) yang jauh (tidak
lazim)”.
Mereka
membagi ghoriib menjadi dua: ghoriib qobiih (ghoriib
yang buruk) dan ghoriib hasan (ghoriib yang baik).
4.1
Ghoriib Qobiih
Ini adalah
kata-kata liar (wahshiyyah) yang sudah mati penggunaannya dan memerlukan
pencarian intensif di kamus. Kata-kata ini membuat pendengar bingung karena
maknanya berbolak-balik antara dua makna atau lebih tanpa adanya qoriinah
(indikasi/petunjuk).
Berbeda
dengan Al-Qur’an: Di dalamnya memang ada kata-kata bermakna ganda (mutaddidul
madluul), tetapi makna yang dimaksud akan ditunjukkan dengan jelas oleh
konteks ayat (as-siyaaq).
Contohnya
kata
تعزروه
(tu’azziroohu)
dalam firman Alloh:
لِّتُؤْمِنُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ
“Agar
kalian beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya, menolongnya dan menghormatinya.”
Kata ta’ziir
bisa berarti menolong (an-nushroh) atau menghukum (al-uqubah). Tentu,
konteks ayat ini menuntut makna menolong dan mendukung Nabi ﷺ.
Jika ada
kata bermakna ganda tanpa qoriinah yang menunjukkan makna yang dimaksud,
itu adalah ciri ghoriib wahshiy (liar) atau qobiih (buruk)
yang dicela para ahli Balaghoh. Tetapi jika ada qoriinah, maka itu tidak
lagi disebut ghorobah (asing/sulit).
Ghoriib qobiih juga termasuk kata
yang penggunaannya dicela karena membutuhkan pencarian dan penyelidikan yang
sangat intensif dalam bahasa-bahasa (dialek) Arob.
Contohnya
kata
تكأكأتم
(taka’ka’tum),
yang artinya ijtama’tum (berkumpul). Ini adalah kata yang baru diketahui
maknanya setelah pencarian yang lama.
Ada pula
kata yang sama sekali tidak ditemukan maknanya, seperti kata جحلنجع (jahlanjay’) dari
ucapan Abu Al-Haimisa’.
Kata-kata
semacam ini adalah ghoriib qobiih yang dicela oleh Nabi ﷺ, dan Al-Qur’an Karim suci
darinya karena ia merusak kefasihan dan kejelasan.
4.2
Ghoriib Hasan
Inilah yang
ada dalam lafazh-lafazh Al-Qur’an Karim. Yaitu yang asing dalam hal
interpretasi, yang mana pengetahuan tentangnya tidak sama antara ahlinya dan
orang umum.
Penggunaannya
tidak dicela oleh orang-orang Arob asli yang fasih, karena maknanya jelas dan
tidak asing dalam penggunaan.
Inilah
jenis ghoriib Al-Qur’an dan ghoriib Al-Hadits, dan jenis ini
tidak merusak fashohah.
Ar-Rofi’i
(1356 H) menjelaskan bahwa lafazh-lafazh yang disebut ulama sebagai ghoro’ib
(yang sulit/asing) dalam Al-Qur’an dan Sunnah bukanlah yang aneh, janggal, atau
menyimpang. Al-Qur’an dan Sunnah suci dari semua itu. Kata Al-Lafzh ghoriib
di sini hanyalah yang baik dan asing dalam hal interpretasi, yang pengetahuan
tentangnya tidak sama antara ahlinya dan orang awam.
Dengan
demikian, kerancuan itu hilang: Ghorobah yang ada dalam Al-Qur’an adalah
al-ghorobah al-hasanah (ghoriib yang baik) yang tidak janggal,
bukan ghorobah yang merusak fashohah.
[5] Definisi Istilah Ghoriib Al-Qur’an
Berdasarkan
penjelasan di atas, Ilmu ghoriib Al-Qur’an dapat didefinisikan sebagai:
> Ilmu
pengetahuan tentang lafazh-lafazh yang tersembunyi maknanya, sehingga
pengetahuan tentangnya tidak sama antara ahlinya dan orang-orang umum.
Abu Hayyan
Al-Andalusi (745 H) berkata bahwa bahasa Al-Qur’an itu ada dua bagian:
1. Bagian yang maknanya hampir dipahami oleh
orang Arob awam maupun khusus (seperti makna langit, bumi, atas, dan bawah).
2. Bagian yang pengetahuan tentangnya khusus
bagi mereka yang memiliki wawasan dan pemahaman yang mendalam dalam bahasa Arob.
Inilah yang banyak disusun kitab tentangnya oleh para ulama, dan mereka
menamakannya ghoriib Al-Qur’an Karim.
[6] Kewajiban Ahli Tafsir
Menguasai Ilmu Ghoriib Al-Qur’an
Sungguh,
kata-kata Arob yang tunggal (mufrod) memiliki banyak sekali sinonim (muroodifaat).
Mereka menyebutkan ada lebih dari 5000 sinonim untuk unta (al-jamal).
Al-Fairuzabadi (817 H) menyusun kitab tentang nama-nama madu dan menyebutkan
lebih dari 80 nama.
Kata-kata
Al-Qur’an adalah permata dan lentera dari kata-kata Arob, karena Al-Qur’an
diturunkan dengan dialek yang paling fasih dari setiap suku Arob. Oleh karena
itu, memahami makna kata-kata Al-Qur’an adalah hal yang agung, merupakan dasar
dalam tafsir, dan mustahil mengetahui tafsir tanpa pengetahuan ini. Ilmu ini
sangat diperlukan bagi seorang mufassir, seperti yang dikatakan Az-Zarkasyi
(794 H).
Umar bin
Al-Khoththob rodhiyallahu ‘anhu berkata:
أيّهَا النّاسُ عَلَيْكُمْ بِدِيوَانِكُمْ
لَا يَضِلُّ، قَالُوا: وَمَا دِيوَانُنَا؟ قَالَ: شِعْرُ الْعَرَبِ؛ شِعْرُ الْجَاهِلِيَّةِ
فَإِنَّ فِيهِ تَفْسِيرَ كِتَابِكُمْ
“Hai
manusia, wajib atas kalian berpegang teguh pada diwan (kumpulan puisi [sya’ir])
kalian, agar tidak tersesat.” Mereka bertanya: “Apa diwan kami?” Beliau
menjawab: “Puisi Arob jahiliyyah, karena di dalamnya terdapat tafsir Kitab
kalian.”
‘Ikrimah
meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma:
إِذَا أَعْيَتْكُمُ الْعَرَبِيَّةُ
فِي الْقُرْآنِ فَالْتَمِسُوهَا فِي الشِّعْرِ فَإِنَّهَا دِيوَانُ الْعَرَبِ
“Jika
kalian merasa sulit memahami bahasa kata dalam Al-Qur’an, carilah ia dalam
puisi, karena ia adalah diwan-nya orang Arob.”
Mujahid
(104 H) berkata:
لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَتَكَلَّمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ
عَالِمًا بِلُغَاتِ الْعَرَبِ
“Tidak
halal bagi siapa pun yang beriman kepada Alloh dan Hari Akhir untuk berbicara
tentang Kitabullah jika dia tidak berilmu tentang bahasa-bahasa Arob.”
Malik bin
Anas (179 H) berkata:
لَا أُوتَى بِرَجُلٍ يُفَسِّرُ
كِتَابَ اللَّهِ غَيْرَ عَالِمٍ بِلُغَةِ الْعَرَبِ إِلَّا جَعَلْتُهُ نَكَالًا
“Tidak
akan dibawa kepadaku seseorang yang menafsirkan Kitabullah tanpa berilmu
tentang bahasa Arob, kecuali aku akan menjadikannya pelajaran (hukuman keras).”
Seorang
mufassir tidak cukup hanya mengetahui sebagian kata. Ia harus mengetahui makna
kata-kata yang beragam dan maksud-maksudnya.
Ini
diperkuat oleh kisah Naafi’ bin Al-Azroq (65 H), pemimpin Khowarij dari
kelompok Al-Azaariqoh, yang datang kepada Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma
dan bertanya tentang beberapa kata dalam Al-Qur’an. Setiap kali Ibnu ‘Abbas
menjawab, Naafi’ bertanya: “Apakah orang Arob mengetahui itu?” Ibnu ‘Abbas
menjawab: “Ya,” lalu menyebutkan satu bait puisi Arob yang mengandung kata
tersebut. Ini menunjukkan bahwa Ibnu ‘Abbas, Habrul Ummah (cendekiawan umat),
menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan apa yang dikenal oleh orang Arob dalam makna
kata-kata mereka.
Oleh karena
itu, Imam Asy-Syathibi (790 H) berkata: “Tidak boleh bagi siapa pun menafsirkan
Al-Qur’an Karim kecuali jika ia orang Arob dalam bahasanya, atau seperti orang Arob
dalam naluri kebahasaannya (saliiqoh).”
Sungguh,
ilmu ini adalah ilmu yang sangat diperlukan untuk memahami Kitabullah ﷻ dan
Sunnah Nabi ﷺ.
Tidak ada seorang mufassir, penjelas Sunnah, atau peneliti dalam studi Ushul
(Ushul Fikih) atau Fiqhiyyah (Fikih) yang dapat mengabaikan pengetahuan tentang
maksud kata-kata Arob secara umum, dan kata-kata Al-Qur’an Karim dan Sunnah
Nabawiyyah secara khusus.
[7] Kitab As-Siroj fi Ghoribil
Qur’an
Kitab karya
Dr. Muhammad bin Abdul Aziz Al-Khudoiri ini menjadi rujukan utama dalam
mempelajari Ghoribul Qur’an yang diampu Syaikhuna Dr. Islam Nashr. Yaitu
setelah membahas pembukaan ini, beliau melanjutkan mengkaji kitab ini dalam 2
semester. Semester pertama dari Al-Fatihah sampai An-Nur, dan sisanya sampai
An-Nas pada semester berikutnya. Semoga Alloh memudahkan kami mentarjamahnya.
Demikian,
semoga yang sedikit ini bermanfaat.
Nor Kandir.
