Donasi Pembangunan Jembatan

🌿 OPEN DONASI PEMBANGUNAN JEMBATAN PONDOK TAHFIDZ DARUL HIJRAH 🌿

Open Donasi Pembangunan Jembatan Menuju Pondok Tahfidz Darul Hijrah
BRI 7844-01-018208-53-4
an. Mushollah Darul Hijroh
Konfirmasi transfer wa:
www.wa.me/6283116572637 (Ustadz Abu Sarah Harahap)
www.wa.me/6285730219208 (Ustadz Nor Kandir)
Jazakumullahu Khoiron Katsiro 🌸

Cari Ebook

Mempersiapkan...

[PDF] Pengantar Ilmu Ghoribul Qur'an - Nor Kandir

 

[1] Pentingnya Memahami Kosa Kata Al-Qur’an

Sungguh, salah satu alat paling agung untuk menafsirkan Al-Qur’an Karim adalah memahami makna kata-kata (lafazh) bahasa Arob, termasuk beragam maknanya, terutama makna lafazh-lafazh Al-Qur’an Karim. Memahami maknanya harus dimulai dengan melihatnya secara terpisah dari konteks ayatnya, lalu melihatnya dalam beragam konteks ayat yang berbeda.

Langkah pertama dalam menafsirkan Firman Alloh adalah mengetahui makna kata, baik kata itu berdiri sendiri (terpisah dari konteks) maupun dalam rangkaian kalimat. Memahami Kitabullah mengharuskan kita mengetahui makna huruf dan kata untuk bisa memahami hakikat kalimat dan gaya bahasanya, serta menggali dan mengungkap maksud-maksud yang terkandung di dalamnya.

Ini adalah penolong paling besar untuk mentadabburi (merenungi) Kitabullah , yang memang kita diperintahkan untuk melakukannya. Alloh berfirman:

﴿كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Sungguh, ini adalah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) penuh berkah, agar mereka merenungi ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mengambil pelajaran.” (QS. Shod: 29)

Alloh juga berfirman:

﴿أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

“Mengapa mereka tidak merenungi Al-Qur’an? Ataukah hati mereka sudah terkunci?” (QS. Muhammad: 24)

Dan firman-Nya:

﴿أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

“Mengapa mereka tidak merenungi Al-Qur’an? Sekiranya Al-Qur’an itu datangnya bukan dari sisi Alloh, pasti mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisaa’: 82)

Imam Az-Zarkasyi (794 H) berkata: “Orang yang ingin mengungkap itu —yaitu makna lafazh-lafazh Al-Qur’an Karim dan menafsirkan Kitabullah perlu mengetahui ilmu bahasa, baik kata benda, kata kerja, maupun kata sambung (huruf)”.

[2] Huruf dan Kata dalam Bahasa Arob

Lafazh yang kita ucapkan bisa berupa huruf, kata, atau kalimat.

2.1 Huruf

Huruf dibagi dua: Huruf Mabani dan Huruf Ma’aani.

2.1.1.  Huruf Mabani (Huruf Pembentuk Kata)

Ini adalah huruf-huruf yang membentuk kata Arob. Huruf-huruf ini sendiri memiliki makna pada bunyi (suara) mereka. Contohnya, huruf-huruf qolqolah menunjukkan makna goncangan dan kegelisahan. Makna bunyi ini turut menyumbang pada makna kata itu sendiri. Sebagai contoh, pada Suroh Al-Buruj, mayoritas ujung ayatnya adalah huruf qolqolah, yang sesuai dengan tema surah tersebut sebagai ujian, kegelisahan, dan guncangan bagi keimanan kaum Mu’min.

2.1.2.  Huruf Ma’aani (Huruf Bermakna)

Ini seperti huruf jarr (kata depan), huruf athof (kata sambung), qosm (sumpah), dan lain-lain. Imam As-Suyuthi (911 H) berkata bahwa huruf-huruf ini adalah alat paling penting bagi seorang mufassir (ahli tafsir).

2.2 Kata (Alfazh)

Ar-Roghib Al-Ashfahani (502 H) berkata, hal pertama yang harus dipelajari dari ilmu Al-Qur’an adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan lafazh, khususnya mendalami kata-kata tunggal (mufrodat). Mengumpulkan makna kata-kata tunggal Al-Qur’an adalah pembantu awal bagi siapa pun yang ingin memahami maknanya. Ini ibarat mengumpulkan batu bata sebagai bahan pertama untuk membangun sebuah bangunan.

Ini menunjukkan bahwa tidak masuk akal jika seseorang berbicara tentang tafsir Kitabullah kecuali jika dia adalah seorang yang berilmu tentang makna lafazh-lafazh Arob secara umum, dan lafazh-lafazh Al-Qur’an secara khusus. Yaitu, orang yang berilmu tentang makna lafazh secara terpisah (tunggal) dan maknanya dalam berbagai konteks.

Pengetahuan tentang makna lafazh tidak hanya bermanfaat untuk memahami Al-Qur’an Karim, tetapi juga untuk seluruh ilmu Syari’ah. Perbedaan makna lafazh adalah salah satu sebab perbedaan pendapat para ulama fikih tentang hukum fikih dan akidah. Al-Qur’an Karim dan Hadits Nabawi tidak dapat dipahami kecuali dalam koridor bahasa Arob, dan dasarnya adalah memahami makna-makna kata dan beragam maksudnya, baik secara tunggal maupun dalam konteksnya.

[3] Definisi Ghoriib (Kosa Kata Asing/Sulit)

Dalam bahasa (Lughoh), makna linguistik suatu kata Arob itu lebih luas daripada makna istilahnya. Para ahli kamus (mu’jam) akan menyebutkan semua makna yang mereka temukan, sedangkan para ahli istilah memilih makna yang sesuai dengan disiplin ilmu mereka.

3.1 Makna Ghoriib secara Bahasa

Kata Ghoriib (الغريب) berasal dari akar kata Ghoroba (غَرَبَ) yang memiliki makna dasar yang berkisar pada ketiadaan (غِياب), jauh (بُعد), dan tersembunyi (اختفاء).

Dikatakan al-ghoriib adalah orang yang jauh dari tanah airnya.

Dinamakan burung gagak (al-ghurobb) karena ia sangat jauh dalam perginya.

Ghoriib dari ucapan adalah yang samar, jauh dari pemahaman (sukar dipahami).

At-Taghriib adalah menjauhkan, seperti sabda Nabi “diperintahkan menjauhkan (mengasingkan) pezina yang belum muhshon (sudah menikah) selama setahun” (yaitu mengusirnya dari negerinya dan menjauhkannya).

3.2 Tiga Makna Ghoriib dalam Ucapan

Kata ghoriib dalam ucapan memiliki tiga makna yang dimaksud:

3.2.1.  Makna Pertama: Samar dan Tidak Jelas

Yaitu yang jauh dari pemahaman.

Al-Kholiil (175 H) dalam muqodimah Mu’jam Al-‘Ain membedakan antara al-waadhih (yang jelas) dan al-ghoriib, yang berarti al-ghoriib adalah yang tidak jelas.

Imam Al-Khoththobi (388 H) berkata: “Al-Ghoriib dari ucapan hanyalah yang samar, jauh dari pemahaman. Sama seperti al-ghoriib dari manusia hanyalah yang jauh dari tanah air, terpisah dari keluarga”.

Makna ini adalah penerapan pertama untuk ghorobah (keasingan) dalam Al-Qur’an Karim: kata-kata yang tidak jelas makna dan maksudnya, sehingga perlu dicari maknanya di kamus-kamus Arob karena ia ghoriib (asing/sulit).

3.2.2.  Makna Kedua: Ucapan dari Seseorang yang Jauh Tempat Tinggalnya (Dialek Asing)

Dialeknya menjadi asing di telinga.

Suku-suku Arob beragam, dan setiap suku memiliki dialek yang berbeda, yang bisa terasa ghoriib di telinga. Nabi sendiri berbicara dengan setiap suku sesuai dengan dialek mereka.

Al-Khoththobi (388 H) berkata: “Dimaksudkan dengannya (ghoriib) adalah ucapan dari seseorang yang jauh tempat tinggalnya dan letaknya, dari suku-suku Arob yang langka. Ketika kata dari bahasa mereka sampai kepada kita, kita menganggapnya ghoriib (asing/sulit), padahal itu adalah ucapan biasa mereka.

Al-Qur’an Karim diturunkan dengan dialek fasih dari setiap kabilah Arob. Imam As-Suyuthi (911 H) menyebutkan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat lebih dari 40 dialek (bahasa) Arob.

3.2.3.  Makna Ketiga: Mengucapkan Segala Sesuatu

Yaitu orang yang tidak menyisakan sesuatu pun kecuali dia bicarakan.

Al-Qur’an Karim memiliki ketiga sifat ghoriib ini:

1.  Ghoriib yang Samar: Kata-kata yang tidak jelas/samar, inilah yang menjadi alasan dituliskannya kitab-kitab Ghoriib Al-Qur’an.

2.  Ghoriib Dialek: Terdapat dialek-dialek Arob yang beragam, yang letaknya jauh, sehingga beberapa kata di dalamnya dianggap asing.

3.  Ghoriib (Sangat Luas): Al-Qur’an tidak menyisakan satu pun gaya bahasa Arob yang fasih kecuali ia gunakan.

[4] Menjawab Kerancuan

Ada kerancuan: Para ahli Balaghoh (Retorika) memasukkan ghorobah (keasingan/kesulitan lafazh) sebagai salah satu cacat dalam fashohah (kefasihan). Jika ghorobah adalah cacat, bagaimana bisa Al-Qur’an memiliki kata-kata ghoriib?

Jawabannya adalah kita harus mencari makna ghoriib menurut para ahli Balaghoh.

Para ulama Balaghoh menggunakan kata ghoriib dengan makna kata-kata liar (wahshiyyah).

Abu Al-Ma’ali Al-Qozwini (739 H) berkata: “Al-Ghorobah adalah ketika suatu kata itu liar (wahshiyyah), maknanya tidak jelas, sehingga butuh dicari di dalam kitab-kitab bahasa yang luas, atau dipaksakan maknanya dengan wajh (sisi) yang jauh (tidak lazim)”.

Mereka membagi ghoriib menjadi dua: ghoriib qobiih (ghoriib yang buruk) dan ghoriib hasan (ghoriib yang baik).

4.1 Ghoriib Qobiih

Ini adalah kata-kata liar (wahshiyyah) yang sudah mati penggunaannya dan memerlukan pencarian intensif di kamus. Kata-kata ini membuat pendengar bingung karena maknanya berbolak-balik antara dua makna atau lebih tanpa adanya qoriinah (indikasi/petunjuk).

Berbeda dengan Al-Qur’an: Di dalamnya memang ada kata-kata bermakna ganda (mutaddidul madluul), tetapi makna yang dimaksud akan ditunjukkan dengan jelas oleh konteks ayat (as-siyaaq).

Contohnya kata تعزروه (tu’azziroohu) dalam firman Alloh:

لِّتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ

“Agar kalian beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya, menolongnya dan menghormatinya.”

Kata ta’ziir bisa berarti menolong (an-nushroh) atau menghukum (al-uqubah). Tentu, konteks ayat ini menuntut makna menolong dan mendukung Nabi .

Jika ada kata bermakna ganda tanpa qoriinah yang menunjukkan makna yang dimaksud, itu adalah ciri ghoriib wahshiy (liar) atau qobiih (buruk) yang dicela para ahli Balaghoh. Tetapi jika ada qoriinah, maka itu tidak lagi disebut ghorobah (asing/sulit).

Ghoriib qobiih juga termasuk kata yang penggunaannya dicela karena membutuhkan pencarian dan penyelidikan yang sangat intensif dalam bahasa-bahasa (dialek) Arob.

Contohnya kata تكأكأتم (taka’ka’tum), yang artinya ijtama’tum (berkumpul). Ini adalah kata yang baru diketahui maknanya setelah pencarian yang lama.

Ada pula kata yang sama sekali tidak ditemukan maknanya, seperti kata جحلنجع (jahlanjay’) dari ucapan Abu Al-Haimisa’.

Kata-kata semacam ini adalah ghoriib qobiih yang dicela oleh Nabi , dan Al-Qur’an Karim suci darinya karena ia merusak kefasihan dan kejelasan.

4.2 Ghoriib Hasan

Inilah yang ada dalam lafazh-lafazh Al-Qur’an Karim. Yaitu yang asing dalam hal interpretasi, yang mana pengetahuan tentangnya tidak sama antara ahlinya dan orang umum.

Penggunaannya tidak dicela oleh orang-orang Arob asli yang fasih, karena maknanya jelas dan tidak asing dalam penggunaan.

Inilah jenis ghoriib Al-Qur’an dan ghoriib Al-Hadits, dan jenis ini tidak merusak fashohah.

Ar-Rofi’i (1356 H) menjelaskan bahwa lafazh-lafazh yang disebut ulama sebagai ghoro’ib (yang sulit/asing) dalam Al-Qur’an dan Sunnah bukanlah yang aneh, janggal, atau menyimpang. Al-Qur’an dan Sunnah suci dari semua itu. Kata Al-Lafzh ghoriib di sini hanyalah yang baik dan asing dalam hal interpretasi, yang pengetahuan tentangnya tidak sama antara ahlinya dan orang awam.

Dengan demikian, kerancuan itu hilang: Ghorobah yang ada dalam Al-Qur’an adalah al-ghorobah al-hasanah (ghoriib yang baik) yang tidak janggal, bukan ghorobah yang merusak fashohah.

[5] Definisi Istilah Ghoriib Al-Qur’an

Berdasarkan penjelasan di atas, Ilmu ghoriib Al-Qur’an dapat didefinisikan sebagai:

> Ilmu pengetahuan tentang lafazh-lafazh yang tersembunyi maknanya, sehingga pengetahuan tentangnya tidak sama antara ahlinya dan orang-orang umum.

Abu Hayyan Al-Andalusi (745 H) berkata bahwa bahasa Al-Qur’an itu ada dua bagian:

1.  Bagian yang maknanya hampir dipahami oleh orang Arob awam maupun khusus (seperti makna langit, bumi, atas, dan bawah).

2.  Bagian yang pengetahuan tentangnya khusus bagi mereka yang memiliki wawasan dan pemahaman yang mendalam dalam bahasa Arob. Inilah yang banyak disusun kitab tentangnya oleh para ulama, dan mereka menamakannya ghoriib Al-Qur’an Karim.

[6] Kewajiban Ahli Tafsir Menguasai Ilmu Ghoriib Al-Qur’an

Sungguh, kata-kata Arob yang tunggal (mufrod) memiliki banyak sekali sinonim (muroodifaat). Mereka menyebutkan ada lebih dari 5000 sinonim untuk unta (al-jamal). Al-Fairuzabadi (817 H) menyusun kitab tentang nama-nama madu dan menyebutkan lebih dari 80 nama.

Kata-kata Al-Qur’an adalah permata dan lentera dari kata-kata Arob, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek yang paling fasih dari setiap suku Arob. Oleh karena itu, memahami makna kata-kata Al-Qur’an adalah hal yang agung, merupakan dasar dalam tafsir, dan mustahil mengetahui tafsir tanpa pengetahuan ini. Ilmu ini sangat diperlukan bagi seorang mufassir, seperti yang dikatakan Az-Zarkasyi (794 H).

Umar bin Al-Khoththob rodhiyallahu ‘anhu berkata:

أيّهَا النّاسُ عَلَيْكُمْ بِدِيوَانِكُمْ لَا يَضِلُّ، قَالُوا: وَمَا دِيوَانُنَا؟ قَالَ: شِعْرُ الْعَرَبِ؛ شِعْرُ الْجَاهِلِيَّةِ فَإِنَّ فِيهِ تَفْسِيرَ كِتَابِكُمْ

“Hai manusia, wajib atas kalian berpegang teguh pada diwan (kumpulan puisi [sya’ir]) kalian, agar tidak tersesat.” Mereka bertanya: “Apa diwan kami?” Beliau menjawab: “Puisi Arob jahiliyyah, karena di dalamnya terdapat tafsir Kitab kalian.”

‘Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma:

إِذَا أَعْيَتْكُمُ الْعَرَبِيَّةُ فِي الْقُرْآنِ فَالْتَمِسُوهَا فِي الشِّعْرِ فَإِنَّهَا دِيوَانُ الْعَرَبِ

“Jika kalian merasa sulit memahami bahasa kata dalam Al-Qur’an, carilah ia dalam puisi, karena ia adalah diwan-nya orang Arob.”

Mujahid (104 H) berkata:

لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَتَكَلَّمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَالِمًا بِلُغَاتِ الْعَرَبِ

“Tidak halal bagi siapa pun yang beriman kepada Alloh dan Hari Akhir untuk berbicara tentang Kitabullah jika dia tidak berilmu tentang bahasa-bahasa Arob.”

Malik bin Anas (179 H) berkata:

لَا أُوتَى بِرَجُلٍ يُفَسِّرُ كِتَابَ اللَّهِ غَيْرَ عَالِمٍ بِلُغَةِ الْعَرَبِ إِلَّا جَعَلْتُهُ نَكَالًا

“Tidak akan dibawa kepadaku seseorang yang menafsirkan Kitabullah tanpa berilmu tentang bahasa Arob, kecuali aku akan menjadikannya pelajaran (hukuman keras).”

Seorang mufassir tidak cukup hanya mengetahui sebagian kata. Ia harus mengetahui makna kata-kata yang beragam dan maksud-maksudnya.

Ini diperkuat oleh kisah Naafi’ bin Al-Azroq (65 H), pemimpin Khowarij dari kelompok Al-Azaariqoh, yang datang kepada Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma dan bertanya tentang beberapa kata dalam Al-Qur’an. Setiap kali Ibnu ‘Abbas menjawab, Naafi’ bertanya: “Apakah orang Arob mengetahui itu?” Ibnu ‘Abbas menjawab: “Ya,” lalu menyebutkan satu bait puisi Arob yang mengandung kata tersebut. Ini menunjukkan bahwa Ibnu ‘Abbas, Habrul Ummah (cendekiawan umat), menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan apa yang dikenal oleh orang Arob dalam makna kata-kata mereka.

Oleh karena itu, Imam Asy-Syathibi (790 H) berkata: “Tidak boleh bagi siapa pun menafsirkan Al-Qur’an Karim kecuali jika ia orang Arob dalam bahasanya, atau seperti orang Arob dalam naluri kebahasaannya (saliiqoh).”

Sungguh, ilmu ini adalah ilmu yang sangat diperlukan untuk memahami Kitabullah dan Sunnah Nabi . Tidak ada seorang mufassir, penjelas Sunnah, atau peneliti dalam studi Ushul (Ushul Fikih) atau Fiqhiyyah (Fikih) yang dapat mengabaikan pengetahuan tentang maksud kata-kata Arob secara umum, dan kata-kata Al-Qur’an Karim dan Sunnah Nabawiyyah secara khusus.

[7] Kitab As-Siroj fi Ghoribil Qur’an

Kitab karya Dr. Muhammad bin Abdul Aziz Al-Khudoiri ini menjadi rujukan utama dalam mempelajari Ghoribul Qur’an yang diampu Syaikhuna Dr. Islam Nashr. Yaitu setelah membahas pembukaan ini, beliau melanjutkan mengkaji kitab ini dalam 2 semester. Semester pertama dari Al-Fatihah sampai An-Nur, dan sisanya sampai An-Nas pada semester berikutnya. Semoga Alloh memudahkan kami mentarjamahnya.

Demikian, semoga yang sedikit ini bermanfaat.

Nor Kandir.


Unduh PDF dan Word

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url