[PDF] 7 Shohabat Terbanyak Meriwayatkan Hadits - Nor Kandir
Muqoddimah
﷽
Setiap saat muncul suara-suara sumbang yang lancang
menyerang martabat para pribadi mulia yang telah memenuhi bumi dengan keadilan
dan rahmat. Serangan itu kadang berupa merendahkan keagamaan dan amanah mereka,
dan kadang pula berupa meragukan keadilan dan kejujuran mereka, dengan dalih
menjaga agama, menyucikannya, dan membersihkannya dari hal-hal yang tidak asli.
Padahal, hakikat perbuatan mereka adalah meragukan masyarakat terhadap
landasan-landasan dan pokok-pokok agama, yang bisa berujung pada peruntuhan dan
penyia-nyiaan agama. Namun, agama Islam ini terjaga karena penjagaan dari
Alloh, dan salah satu caranya adalah dengan menyiapkan para pengemban agama
yang mulia dan terpercaya, yang telah diakui oleh Robb semesta alam dan
Rosul-Nya yang terpercaya. Mereka tidak akan terpengaruh oleh kebencian orang
bodoh maupun celaan orang pendendam.
Bab 1: Shohabat Sebagai Penyampai
As-Sunnah
Para Shohabat yang mulia adalah murid-murid terpilih Nabi ﷺ. Mereka dididik
langsung oleh beliau, menimba ilmu dari sumbernya, dan mencintai beliau
melebihi cinta mereka kepada diri sendiri, anak-anak, dan harta mereka. Mereka
mengelilingi beliau bagaikan gelang yang melingkari pergelangan tangan. Mereka
tidak menatap tajam kepada beliau, tidak mengeraskan suara di hadapan beliau.
Cukuplah bagi beliau untuk memberi isyarat terhadap suatu perkara, maka perkara
itu pun dilakukan. Jika beliau mengerahkan mereka untuk berperang, mereka
segera berangkat, dan jika bibir beliau bergerak, mereka menyimak dengan penuh
perhatian. Oleh karena itu, mereka adalah pewaris terbaik bagi guru terbaik,
dan mereka mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru bumi, setelah mereka
menyaksikan turunnya wahyu, memahami syari’at, dan mengetahui kehendak Alloh
atas makhluk-Nya.
Sungguh, tidak diragukan bahwa keutamaan—setelah Alloh—patut dinisbatkan kepada
mereka dalam hal sampainya As-Sunnah An-Nabawiyyah kepada kita. Merekalah yang
mengerahkan segenap upaya dan waktu mereka untuk menemani Nabi ﷺ, sehingga mereka
hafal sunnah beliau, dan menyampaikannya kepada generasi-generasi berikutnya
dalam keadaan segar dan murni. Setelah itu, mereka mendidik orang-orang yang
meneladani mereka dan mengikuti petunjuk mereka. Ilmu mereka pun terus
diwariskan dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi.
Keutamaan ini tidak ada yang menandinginya, tidak ada yang
menyamainya, dan tidak mungkin ada seorang pun yang datang setelah mereka bisa
melebihi keutamaan mereka. Sebab, setiap kebaikan yang dilakukan oleh
orang-orang setelah mereka, maka mereka (para Shohabat) mendapatkan bagian
darinya. Bahkan, ini adalah semacam keistimewaan bagi mereka, melebihi
umat-umat yang terdahulu. Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu
berkata, “Sungguh, Alloh melihat hati para hamba. Dia mendapati hati Muhammad ﷺ adalah hati hamba
yang paling baik, maka Dia memilihnya untuk Diri-Nya, lalu mengutusnya dengan
risalah-Nya. Kemudian, Dia melihat hati para hamba setelah hati Muhammad, dan
mendapati hati para Shohabat beliau adalah hati hamba yang paling baik. Lalu,
Dia menjadikan mereka sebagai para pembantu Nabi-Nya, yang berjuang demi
agama-Nya” (HR. Ahmad no. 3600)
Bab 2: Celaan Kepada Para Shohabat
yang Banyak Meriwayatkan Hadits
Tentara-tentara Syaithon telah bertekad untuk memerangi
agama ini, sebagaimana Syaithon bersumpah demi keagungan Alloh untuk
menyesatkan Bani Adam semuanya. Mereka tidak segan-segan mengerahkan segala
daya dan upaya dalam memerangi dakwah Islam, dengan segala cara dan jalan, dan
dengan segala kekuatan yang mereka miliki. Mereka mengerahkan pasukan berkuda
dan berjalan kaki mereka untuk menyerang dakwah ini. Ketika mereka tidak mampu
mencela Kitabulloh dan pribadi Nabi ﷺ,
mereka pun beralih untuk mencela keadilan para Shohabat yang mulia rodhiyallahu
‘anhum. Tujuan mereka dalam hal ini adalah meruntuhkan bangunan Syari’at
dengan menjatuhkan para pengemban dan rowinya.
Di antara celaan paling terkenal yang menimpa para Shohabat
yang mulia adalah celaan yang menyasar para rowi Hadits di antara mereka. Yang
paling utama adalah munculnya pertanyaan-pertanyaan tentang mengapa Abu
Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu menjadi Shohabat yang paling banyak
meriwayatkan, padahal beliau baru datang ke Madinah pada tahun Khoibar (yaitu
tahun 7 Hijriyyah). Celaan semacam ini juga ditujukan kepada Shohabat lain yang
banyak meriwayatkan, seperti ‘Aisyah dan Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma,
padahal mereka tidak berada di tingkatan Shohabat senior seperti Abu Bakr, ‘Umar,
‘Utsman, dan ‘Ali!
Celaan-celaan ini berasumsi bahwa waktu yang dihabiskan oleh
para rowi ini bersama Nabi ﷺ
tidak cukup untuk mendengar jumlah riwayat yang mereka sampaikan. Di sisi lain,
celaan-celaan ini membandingkan riwayat-riwayat dari para muktsirin
(yang banyak meriwayatkan) dengan riwayat-riwayat dari para Shohabat yang
terdahulu masuk Islam. Mereka bertanya-tanya: Bagaimana mungkin para muktsirin
ini bisa melebihi riwayat Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Az-Zubair, Tholhah,
dan Ibnu Mas’ud, padahal merekalah yang lebih dahulu masuk Islam, lebih lama
menemani Nabi ﷺ,
dan lebih banyak mendengar dari beliau?
Penting untuk disebutkan bahwa sebagian dari celaan-celaan
ini sudah dimulai sejak masa para Shohabat yang mulia, kemudian diembuskan
secara besar-besaran oleh kaum munafik dan kelompok-kelompok yang menyimpang
seperti Khowarij, Mu’tazilah, Rofidhoh, Zanaadiqoh, dan lain-lain. Hingga pada
masa kini, kaum orientalis—yang paling utama adalah orientalis Yahudi-Hungaria,
Goldziher —menggalinya kembali dan memproduksinya ulang. Kemudian, hal
itu ditelan mentah-mentah oleh sejumlah kaum “rasionalis” dan sekuleris.
Belakangan ini, muncul pula kelompok baru yang aktif, yang bertaruh pada
menjauhnya generasi muda dari sumber Wahyu dan mata air ilmu. Oleh karena itu,
wajib hukumnya untuk terus-menerus membantah mereka dan menjelaskan kebenaran
yang sejak dahulu kala diikuti oleh Ahlus Sunnah dari generasi ke generasi dan
dari masa ke masa.
Dalam studi ringkas tentang Tujuh Muktsir di atas,
terlihatlah bahwa para ‘Ulama telah bersepakat untuk menyebut Shohabat yang
meriwayatkan lebih dari 1000 Hadits sebagai muktsirin (orang-orang yang
banyak meriwayatkan). Jumlah mereka ada tujuh. Seorang penyair berkata:
سَبْعٌ مِنَ الصَّحْبِ فوقَ الألفِ
قد نقَلُوا مِنَ الحديثِ عَنِ المُختارِ خَيرِ مُضَر
أبو هـريـرةَ، سـعدٌ، جـابرٌ،
أنـسٌ صدِّيقةٌ وابن عباسٍ كذا ابن عُمَر
Tujuh Shohabat di atas 1000 meriwayatkan Hadits
Dari Al-Mukhtar (Nabi Muhammad ﷺ)
sebaik-baik keturunan Mudhor
Abu Huroiroh, Sa’d, Jaabir, Anas
Ash-Shiddiiqoh (‘Aisyah), Ibnu ‘Abbas, begitu pula Ibnu ‘Umar
Para ‘Ulama telah menyepakati untuk menyebutkan jumlah
Hadits yang diriwayatkan oleh setiap Shohabat. Mereka mengikuti jumlah yang
disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam Talqiih Fuhuum Ahlil Atsar, dan dalam
penghitungannya, beliau berpegangan pada Hadits yang terdapat pada setiap
Shohabat dalam Musnad Abu ‘Abdirrohman Baqiy bin Makhlad, karena kitab
itu adalah kitab yang paling lengkap.
Para Shohabat yang paling banyak meriwayatkan Hadits (Tujuh Muktsir) adalah:
[1] Abu Huroiroh ‘Abdurrohman bin Shokhr Ad-Dausi rodhiyallahu
‘anhu (w. 59 H), dengan total riwayatnya mencapai 5.374 (lima ribu tiga
ratus tujuh puluh empat) Hadits, berdasarkan apa yang tercantum dalam Musnad
Baqiy bin Makhlad.
[2] Abdulloh bin ‘Umar bin Al-Khoththob rodhiyallahu ‘anhu
(w. 73 H), dengan total riwayatnya mencapai 2.630 (dua ribu enam ratus tiga
puluh) Hadits.
[3] Anas
bin Maalik rodhiyallahu ‘anhu (w. 93 H), dengan total riwayatnya
mencapai 2.286 (dua ribu dua ratus delapan puluh enam) Hadits.
[4] Ummul Mu’minin ‘Aisyah binti Abi Bakr Ash-Shiddiq rodhiyallahu
‘anha (w. 58 H), dengan jumlah Haditsnya mencapai 2.210 (dua ribu dua ratus
sepuluh) Hadits.
[5] Abdulloh
bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththolib rodhiyallahu ‘anhuma (w. 68 H), dengan
jumlah Haditsnya mencapai 1.660 (1000 enam ratus enam puluh) Hadits.
[6] Jaabir
bin ‘Abdillah Al-Anshori rodhiyallahu ‘anhu (w. 78 H), dengan jumlah
Haditsnya mencapai 1.540 (1000 lima ratus empat puluh) Hadits.
[7] Sa’d bin Maalik bin Sinaan “Abu Sa’id Al-Khudri”
Al-Anshori rodhiyallahu ‘anhu (w. 74 H), dengan jumlah Haditsnya
mencapai 1.170 (1000 seratus tujuh puluh) Hadits.
Tidak ada Shohabat yang jumlah Haditsnya melebihi 1000
Hadits selain mereka ini. Jumlah ini mencakup Hadits yang berulang, karena para
‘Ulama menghitung setiap jalur periwayatan sebagai satu Hadits.
Di antara para muktsirin itu, ada empat dari kalangan
Muhajirin: Abu Huroiroh, Abdulloh bin ‘Umar, ‘Aisyah Ummul Mu’minin, dan
Abdulloh bin ‘Abbas. Dan tiga dari kalangan Anshor: Anas bin Maalik, Jaabir bin
‘Abdillah, dan Abu Sa’id Al-Khudri.
Lima di antara mereka menemani Rosul ﷺ selama 9-10 tahun:
Abdulloh bin ‘Umar, ‘Aisyah Ummul Mu’minin, Anas bin Maalik, Jaabir bin
‘Abdillah, dan Abu Sa’id Al-Khudri. Abu Huroiroh menemani Nabi ﷺ selama 4 tahun, dan
Ibnu ‘Abbas menemani beliau sekitar 3 tahun (30 bulan).
Tiga di antara mereka berusia 10 tahun ketika menemani Rosul
ﷺ: Abdulloh bin ‘Umar,
Anas bin Maalik, dan Abu Sa’id Al-Khudri. Sementara itu, ‘Aisyah berusia 9
tahun ketika menemani Rosul, Ibnu ‘Abbas 11 tahun, Jaabir sekitar 19 tahun, dan
Abu Huroiroh 28 tahun.
Lama hidup mereka setelah Rosululloh ﷺ wafat adalah: ‘Aisyah
Ummul Mu’minin (48 tahun), Abu Huroiroh (49 tahun), Ibnu ‘Abbas (58 tahun),
Ibnu ‘Umar (63 tahun), Abu Sa’id Al-Khudri (64 tahun), Jaabir bin ‘Abdillah (64
tahun), dan Anas bin Maalik (83 tahun).
Bab 3: Faktor-Faktor di Balik
Banyaknya Riwayat
3.1
Usia Muda
Mayoritas para muktsirin dalam meriwayatkan Hadits
adalah dari kalangan Shohabat yang masih muda. Usia ini adalah usia belajar,
pikiran yang masih tajam, dan daya hafal yang cepat. Sebagaimana dikatakan, “(Belajar)
ilmu di masa kecil itu bagaikan mengukir di atas batu.” Dan masing-masing dari
para Shohabat ini memiliki kelebihan tambahan yang memberi mereka kekhususan
dalam menerima (ilmu) dari Nabi ﷺ,
sebagaimana akan dijelaskan nanti.
Ketika kita merenungkan informasi ini, kita dapati mayoritas
para muktsirin dalam meriwayatkan Hadits adalah dari kalangan Shohabat
yang masih muda. Usia ini adalah usia belajar, pikiran yang masih tajam, dan
daya hafal yang cepat. Dan bagi masing-masing dari para Shohabat ini ada
kelebihan tambahan yang memberi mereka kekhususan dalam menerima (ilmu) dari
Nabi ﷺ.
Dapat dicatat bahwa yang paling tua di antara mereka saat
masuk Islam adalah Abu Huroiroh (28 tahun), diikuti Jaabir bin ‘Abdillah
Al-Anshori (19 tahun). Sedangkan yang lainnya masuk Islam di usia muda, bahkan
sebagian dari mereka tidak diizinkan ikut peperangan awal karena usia mereka
yang masih kecil, seperti Ibnu ‘Umar, Abu Sa’id Al-Khudri, dan Anas rodhiyallahu
‘anhum ajma’iin.
3.2 Kedekatan dengan Nabi ﷺ
Dari kondisi para muktsirin ini secara keseluruhan,
kita memahami bahwa penerimaan (ilmu) mereka dari Rosululloh ﷺ terjadi di Madinah.
Di sanalah negara telah stabil, syari’at-syari’at diturunkan, dan Nabi ﷺ memiliki waktu luang
untuk mengajarkan Al-Qur’an Al-Karim dan berbagai syari’at yang turun
berturut-turut kepada para Shohabat beliau. Setelah Shulhul Hudaibiyyah
(Perjanjian Hudaibiyah) dan Fathul Makkah (Penaklukkan Makkah), orang-orang
berbondong-bondong masuk ke dalam agama Alloh. Maka, kaum Muslimin yang baru
datang berbondong-bondong menemui Rosul ﷺ di Masjid beliau, dan beliau pun mengajarkan Islam kepada
mereka. Mereka bertanya kepada beliau dan beliau menjawabnya, disaksikan dan
didengar oleh para Shohabat yang mulia.
Sebagian besar Shohabat ini rodhiyallahu ‘anhum
memiliki alasan untuk dekat dengan Nabi ﷺ, dan kekhususan yang hampir tidak dimiliki oleh orang lain. ‘Aisyah
adalah istri beliau, Anas adalah pelayan beliau di Madinah, Ibnu ‘Umar adalah
putra tertua Al-Faaruuq (‘Umar bin Khoththob) dan saudara laki-laki Ummu Mu’minin
Hafshoh. Abu Huroiroh sangat setia menyertai Nabi ﷺ, karena beliau adalah salah seorang Ahlush Shuffah yang tinggal
di Masjid. Ibnu ‘Abbas adalah sepupu Nabi ﷺ, sehingga karena kedudukannya yang dekat, beliau menyaksikan
apa yang tidak disaksikan oleh orang lain, sebagaimana beliau sendiri
menyatakan hal ini (HR. Al-Bukhori no. 7325). Beliau juga kadang menginap di
tempat bibinya, Ummu Mu’minin Maimunah. Jaabir dan Abu Sa’id Al-Khudri ikut
menyaksikan semua pertempuran bersama Nabi ﷺ setelah ayah masing-masing wafat. Jaabir memiliki kedekatan
khusus dengan Nabi ﷺ,
karena ayahnya terbunuh pada hari Uhud dan meninggalkan saudari-saudari
baginya. Jaabir pun menanggung nafkah mereka. Nabi ﷺ berbuat baik kepada Jaabir dan menyayanginya, dan beliau
memiliki banyak momen bersamanya.
Kasus Ummu Mu’minin ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha sangat
menarik perhatian. Nabi ﷺ
menikahinya pada tahun kedua Hijriyyah, setelah Khodiijah dan Saudah rodhiyallahu
‘anhuma. Tidak ada satu pun istri beliau yang meriwayatkan Hadits sebanyak
yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah. Ibunda kaum Mu’minin yang paling dekat jumlah
riwayatnya adalah Ummu Salamah. Beliau meriwayatkan 387 Hadits. Lalu, apa yang
menyebabkan ‘Aisyah meriwayatkan Hadits sebanyak ini?
Tidak diragukan bahwa usia muda beliau adalah jawaban yang
terlintas di pikiran. Namun, sifat ini juga dimiliki secara relatif oleh
Shofiyyah, yang usianya tidak lebih dari 17 tahun ketika menikah dengan Nabi ﷺ pada tahun 7
Hijriyyah. Demikian pula Hafshoh dan Juwairiyyah yang berusia 20 tahun saat
menikah. Namun, perbedaan usia tetap menguntungkan ‘Aisyah, karena usia beliau
saat menikah adalah 9 tahun.
‘Aisyah Ummul Mu’minin rodhiyallahu ‘anha juga
memiliki keistimewaan lain yang terkait dengan perbedaan individual dan
lingkungan. Beliau adalah satu-satunya istri yang masih gadis di antara Ibunda
kaum Mu’minin, dan ini berarti adanya peningkatan kasih sayang antara beliau
dan Nabi ﷺ. Beliau memang istri
yang paling dicintai Nabi ﷺ
di antara Ibunda kaum Mu’minin. Kasih sayang ini menghasilkan dialog dan Hadits
yang lebih banyak dari biasanya antara suami istri. Selain itu, beliau tumbuh
di lingkungan rumah yang berilmu dan beradab. Abu Bakr rodhiyallahu ‘anhu
adalah Shohabat yang paling awal masuk Islam dan paling lama menemani Nabi ﷺ serta paling banyak
mendengar dari beliau. Selain itu, beliau juga seorang yang ‘aaliim tentang nasab
dan sya’ir. Dengan demikian, ‘Aisyah mewarisi bakat keilmuan dari ayahnya.
3.3 Do’a Nabi ﷺ
Agar Diberi Hafalan dan Pemahaman
Dua dari rowi ini dido’akan secara khusus oleh Rosul ﷺ agar diberi hafalan,
ilmu, dan fiqih, yaitu Abu Huroiroh dan Abdulloh bin ‘Abbas.
Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
“Aku berkata, ‘Wahai Rosululloh, sungguh aku mendengar banyak Hadits darimu,
lalu aku melupakannya.’ Beliau bersabda:
«ابْسُط رِداءَك»، فَبَسَطتُ،
فَغَرَفَ بيده فيه، ثم قال: «ضُمَّه» فَضَمَمتُهُ، فما نسيتُ حديثًا بَعدُ
‘Bentangkan selendangmu.’ Maka, aku membentangkannya. Lalu,
beliau mengambil dengan tangan beliau (sesuatu) di dalamnya, kemudian bersabda,
‘Rapatkanlah.’ Maka, aku pun merapatkannya, dan aku tidak pernah melupakan
Hadits setelah itu.” (HR.
Al-Bukhori no. 3648)
Dari Abdulloh bin ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma, beliau
berkata, “Rosululloh ﷺ
memelukku dan bersabda:
اللهم علِّمهُ الحكمة
‘Ya Alloh, ajarkanlah kepadanya al-hikmah’. Dalam riwayat
lain, beliau bersabda: ‘Ajarkanlah kepadanya al-kitaab (Al-Qur’an).’” (HR. Al-Bukhori no.
3756)
Hadits Ibnu ‘Abbas: “Sungguh Nabi ﷺ masuk ke toilet, lalu aku meletakkan air wudhu’ untuk beliau.
Beliau bersabda, ‘Siapa yang meletakkan ini?’ Maka, beliau diberitahu, lalu beliau bersabda:
اللَّهمَّ فَقِّههُ في الدِّينِ
‘Ya Alloh, berikanlah ia pemahaman dalam agama.’” (HR. Al-Bukhori no.
143).
Maka, Abu Huroiroh dan Ibnu ‘Abbas memiliki keistimewaan
berupa do’a Rosul ﷺ
agar diberi hafalan dan ilmu. Oleh karena itu, setiap keberatan terhadap Abu
Huroiroh juga berlaku untuk Ibnu ‘Abbas. Namun, sungguh tidak mungkin
(celaannya diterima)!
3.4 Semangat dalam Menuntut Ilmu
Para muktsirin Hadits tidak mencapai kedudukan ini melainkan
karena semangat mereka dalam menuntut ilmu. Ilmu meninggikan derajat pemiliknya
hingga mencapai Tsuroyya (bintang). Masing-masing dari mereka memiliki
bukti-bukti dalam perjalanan hidupnya yang menunjukkan semangatnya dalam
menerima dan menyerap dari sumber kenabian yang melimpah. Sifat ini paling
jelas terlihat pada Abu Huroiroh.
Beliau berkata ketika sebagian orang merasa heran dengan
banyaknya Hadits yang beliau riwayatkan dari Nabi ﷺ, “Sungguh saudara-saudaraku dari kalangan Muhajirin disibukkan
oleh jual-beli di pasar-pasar, sedangkan aku selalu menemani Rosululloh ﷺ demi mengisi perutku.
Jadi, aku menyaksikan ketika mereka tidak hadir, dan aku menghafal ketika
mereka lupa. Saudara-saudaraku dari kalangan Anshor disibukkan oleh pekerjaan
mengurus harta mereka. Sedangkan aku adalah seorang miskin dari kalangan miskin
Ahlush Shuffah, aku menyimak ketika mereka lupa.” (HR. Al-Bukhori no. 2047)
Maksudnya, beliau mencukupkan diri dengan apa yang dapat
menutupi kebutuhan makan dan minumnya, dan tidak disibukkan dengan mencari
rizqi. Riwayat-riwayat tentang semangat setiap dari mereka dalam menuntut ilmu
terlalu banyak untuk disebutkan di sini, dan cukuplah kalung itu sebatas
melingkari leher.
Bahkan, semangat mereka dalam menuntut ilmu terus berlanjut
bahkan setelah wafatnya Nabi ﷺ
hingga hari terakhir kehidupan mereka. Sungguh, telah disebutkan bahwa Jaabir bin
‘Abdillah (w. 78 H) melakukan perjalanan di akhir hidupnya ke Makkah untuk
(mendapatkan) Hadits-Hadits yang pernah didengarnya, kemudian ia kembali ke
Madinah (Siyar A’laamin Nubalaa’, Adz-Dzahabi, 3/191).
Diriwayatkan juga bahwa beliau melakukan perjalanan sebulan
penuh ke Syam untuk (mendapatkan) Hadits tentang Qishoosh dari Abdulloh bin Unais (HR.
Al-Bukhori ta’liiq sebelum Hadits no. 78; diwasholkan oleh Ibnu Hajar,
Taghliiqut Ta’liiq, 5/355).
3.5 Menyampaikan Fatwa dan Mengajar Setelah
Wafatnya Nabi ﷺ
Sebab di balik sedikitnya riwayat para Shohabat senior
seperti Abu Bakr rodhiyallahu ‘anhu—padahal beliau lebih dahulu masuk
Islam, dan sangat setia menemani Nabi ﷺ—adalah wafatnya beliau yang lebih dulu, sebelum Hadits
tersebar, dan sebelum orang-orang bersemangat untuk mendengarnya,
memperolehnya, dan menghafalnya. Selain itu, beliau disibukkan dengan mengurus
Rosululloh ﷺ dan kemudian mengurus
khilaafah (kepemimpinan) setelah beliau. Total Hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Bakr Ash-Shiddiq rodhiyallahu ‘anhu hanyalah 142 Hadits (At-Tadriibur
Roowi, 2/218).
Jumlah ini tidak sesuai dengan kedudukan beliau, kecuali
dengan mempertimbangkan apa yang telah kami sebutkan.
Imam Ahmad bin ‘Umar Al-Qurthubi berkata tentang Abu Bakr
Ash-Shiddiq rodhiyallahu ‘anhu, “Sudah menjadi hal yang pasti dan
keyakinan yang pasti bahwa beliau menghafal Hadits Rosululloh ﷺ yang tidak dihafal
oleh seorang pun dari para Shohabat. Beliau mendapatkan ilmu yang tidak
didapatkan oleh seorang pun dari mereka, karena beliau adalah kekasih terdekat
dan pribadi terpilih yang selalu menyertai (Nabi ﷺ). Beliau tidak pernah berpisah dengan beliau, baik dalam
perjalanan maupun saat mukim, baik malam maupun siang, baik dalam kesulitan
maupun kemudahan. Beliau tidak memiliki waktu luang untuk meriwayatkan Hadits,
karena beliau disibukkan dengan hal yang lebih penting, kemudian yang penting,
dan karena selain beliau telah melaksanakan tugas periwayatan yang penting.” (Al-Mufhim
Limasykala min Talkhiish Kitaab Muslim, 6/237)
Adalah penting ketika membahas perjalanan hidup para muktsirin
ini untuk menunjukkan bahwa mereka tampil di depan untuk mengajarkan Hadits
Rosululloh ﷺ dan meriwayatkannya
kepada masyarakat. Mereka mencurahkan waktu mereka untuk mengajar dan
menyampaikan Hadits kepada orang-orang, sementara yang lain disibukkan dengan
urusan negara, Jihad, dan perdagangan. Mereka juga memiliki kelebihan tambahan,
yaitu usia mereka panjang setelah wafatnya Nabi ﷺ, bertahun-tahun lamanya, dalam urusan (pengajaran) ini,
sehingga banyak sekali orang yang mendengar dari mereka. Ibnu Sa’d meriwayatkan
dari Ziyaad bin Miinaa, ia berkata, “‘Abdulloh bin ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Abu Sa’id,
Abu Huroiroh, dan Jaabir, bersama orang-orang yang serupa dengan mereka,
berfatwa di Madinah dan meriwayatkan Hadits Rosululloh ﷺ sejak wafatnya ‘Utsman
(35 H) hingga mereka wafat. Ia berkata, ‘Dan kelima orang inilah yang menjadi
tempat (rujukan) fatwa.’” (Siyar
A’laamin Nubalaa’, Adz-Dzahabi, 2/606-607)
“Orang-orang dari kalangan Shohabat yang hafal fatwanya
berjumlah seratus sekian belas orang, antara laki-laki dan perempuan. Yang
termasuk muktsir (banyak berfatwa) ada tujuh orang.” Di antara mereka disebutkan:
“‘Aisyah Ummul Mu’minin, Abdulloh bin ‘Abbas, dan Abdulloh bin ‘Umar.” (I’laamul
Muwaqqi’iin, Ibnul Qoyyim, 1/19-20)
Ketika Anas bin Maalik (w. 93 H) wafat, Muwarriq Al-‘Ijliy
berkata, “Hari ini telah hilang separuh ilmu.” Lalu ditanyakan, “Bagaimana bisa
begitu, wahai Abu Al-Mu’tamir?” Ia menjawab, “Dahulu, jika seorang dari Ahlul
Ahwaa’ (pengikut hawa nafsu) berselisih dengan kami dalam Hadits dari
Rosululloh ﷺ, kami berkata
kepadanya, ‘Mari kita datangi orang yang mendengarnya langsung dari Nabi ﷺ.’” (HR.
Ath-Thobroni, Al-Mu’jamul Kabiir, 1/250 no. 719)
Maka, peran para muktsirin ini dalam mengajar dan
mendedikasikan diri mereka untuk itu, telah membedakan mereka dari Shohabat
lain yang mungkin mendengar Hadits sebanyak atau lebih banyak dari yang mereka
dengar.
Perbedaan alami antara para Shohabat dalam hal hafalan dan
lupa juga menjadi sebab (perbedaan jumlah riwayat). Daya ingat para Shohabat rodhiyallahu
‘anhum tidaklah sama. Di antara mereka ada yang mendengar banyak Hadits dan
tidak melupakannya, dan ada yang mendengar lalu melupakan sebagiannya. ‘Umar
bin Al-Khoththob rodhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi ﷺ pernah berdiri di
tengah kami pada suatu tempat, lalu beliau menceritakan kepada kami tentang
permulaan penciptaan, hingga penduduk Jannah memasuki tempat tinggal mereka,
dan penduduk Naar memasuki tempat tinggal mereka. Siapa yang menghafalnya, ia
menghafalnya, dan siapa yang melupakannya, ia melupakannya.” (HR. Al-Bukhori no. 3192)
Hudzaifah bin Al-Yamaan rodhiyallahu ‘anhu berkata, “Rosululloh
ﷺ pernah berdiri di
tengah kami pada suatu tempat. Beliau tidak meninggalkan satu pun perkara yang
akan terjadi di tempat beliau berdiri itu hingga hari Kiamat, melainkan beliau
menceritakannya. Siapa yang menghafalnya, ia menghafalnya, dan siapa yang
melupakannya, ia melupakannya. Para Shohabatku ini mengetahuinya, dan sungguh
akan terjadi suatu perkara yang telah aku lupakan, lalu aku melihatnya dan aku
mengingatnya, sebagaimana seseorang mengingat wajah seseorang jika ia lama
tidak melihatnya, kemudian jika ia melihatnya, ia pun mengenalinya.” (HR.
Muslim no. 2891)
Hadits-Hadits ini dan yang lainnya menunjukkan bahwa Nabi ﷺ mengajarkan kepada
mereka banyak hal, dan mengabarkan kepada mereka segala sesuatu yang mereka
butuhkan. Namun, mereka berbeda-beda dalam hal hafalan. Tidak diragukan bahwa
para muktsirin adalah para Shohabat yang paling kuat hafalannya.
Tambahkan pula pada hal ini: kesiapan mental dan semangat
untuk menerima (ilmu). Kita akan merasakannya dengan jelas dalam sabda Nabi ﷺ kepada Abu Huroiroh rodhiyallahu
‘anhu, ketika beliau bertanya, “Siapa orang yang paling bahagia dengan
syafa’atmu di hari Kiamat?” Rosululloh ﷺ bersabda kepadanya:
لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ
أَن لا يَسْأَلَنِي عَنْ هَذَا الحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلَ مِنْكَ؛ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ
حِرْصِكَ عَلَى الحَدِيثِ، أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ مَنْ
قَالَ: لَا إِلَه إِلَّا اللهُ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ - أَوْ نَفْسِهِ
“Sungguh, aku telah
menduga, wahai Abu Huroiroh, bahwa tidak ada seorang pun yang akan menanyakan
Hadits ini kepadaku pertama kali selain engkau; karena aku melihat semangatmu
dalam Hadits. Orang yang paling bahagia dengan syafa’atku di hari Kiamat adalah
siapa yang mengucapkan: Laa ilaaha illalloh, dengan ikhlas dari hati atau
jiwanya.” (HR. Al-Bukhori no. 99)
Ditambah lagi dengan perkataan Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu,
“Aku menemani Rosululloh ﷺ
selama tiga tahun. Aku belum pernah secerdas itu dalam tiga tahun, dan belum
pernah ada yang lebih aku cintai selain menyimak apa yang dikatakan Rosululloh ﷺ.” (HR. Ahmad no.
10106; Ibnu Sa’d, Ath-Thobaqootul Kubroo, 4/392)
Tafarrugh (mendedikasikan diri) seorang Shohabat atau
tidaknya untuk mendengarkan, menghafal, dan meriwayatkan Hadits juga menjadi
sebab (perbedaan jumlah riwayat). Tidak diragukan bahwa para Shohabat memiliki
kesibukan duniawi mereka, baik itu pekerjaan, istri, maupun anak. Tentu saja,
orang yang mendedikasikan diri untuk mendengarkan akan lebih beruntung dalam
periwayatan dibandingkan orang yang disibukkan dengan hal lain. Para Shohabat
menyadari hal ini, dan mereka memahami bahwa ini adalah sebab langsung dari
banyaknya atau sedikitnya Hadits.
Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu—Shohabat yang paling
banyak meriwayatkan Hadits—berkata, “Kalian berkata, ‘Sungguh Abu Huroiroh
banyak meriwayatkan Hadits dari Rosululloh ﷺ’, dan kalian berkata, ‘Mengapa kaum Muhajirin dan Anshor tidak
meriwayatkan Hadits dari Rosululloh ﷺ
sebanyak Hadits Abu Huroiroh?’ Sungguh saudara-saudaraku dari kalangan
Muhajirin disibukkan oleh jual-beli di pasar-pasar, sedangkan aku selalu
menemani Rosululloh ﷺ
demi mengisi perutku. Jadi, aku menyaksikan ketika mereka tidak hadir, dan aku
menghafal ketika mereka lupa. Saudara-saudaraku dari kalangan Anshor disibukkan
oleh pekerjaan mengurus harta mereka. Sedangkan aku adalah seorang miskin dari
kalangan miskin Ahlush Shuffah, aku menyimak ketika mereka lupa. Rosululloh ﷺ pernah bersabda dalam
Hadits yang beliau sampaikan, ‘Sungguh, tidak ada seorang pun yang
membentangkan kainnya hingga aku menyelesaikan perkataanku ini, kemudian ia
mengumpulkan kainnya ke tubuhnya, melainkan ia akan menyimak apa yang aku
katakan.’ Maka, aku membentangkan kain namiroh (sejenis kain bergaris)
yang aku pakai, hingga Rosululloh ﷺ
menyelesaikan perkataan beliau. Lalu, aku mengumpulkannya ke dadaku. Setelah
itu, aku tidak pernah melupakan sedikit pun dari perkataan Rosululloh ﷺ itu.” (HR.
Al-Bukhori no. 2047; Muslim no. 2492)
Ketika seorang laki-laki datang kepada Tholhah bin ‘Ubaidillah
rodhiyallahu ‘anhu—salah seorang yang pertama masuk Islam, dan salah
satu dari sepuluh yang dijamin masuk Jannah—dan berkata kepadanya, “Wahai Abu
Muhammad, demi Alloh, kami tidak tahu apakah orang Yaman ini (yaitu Abu
Huroiroh) lebih tahu tentang Rosululloh ﷺ daripada kalian, atau kalian mengatakan tentang Rosululloh ﷺ apa yang tidak beliau
katakan?” Tholhah (w. 36 H) menjawab, “Demi Alloh, kami tidak ragu bahwa ia
mendengar dari Rosululloh ﷺ
apa yang tidak kami dengar, dan ia mengetahui apa yang tidak kami ketahui.
Sungguh, kami adalah kaum yang kaya, kami punya rumah dan keluarga. Kami
mendatangi Nabi Alloh ﷺ
di dua ujung hari (pagi dan sore) kemudian kami kembali. Sedangkan Abu Huroiroh
adalah orang miskin, tidak punya harta, keluarga, maupun anak. Tangannya selalu
bersama tangan Nabi ﷺ,
dan ia mengikuti ke mana pun beliau pergi. Kami tidak ragu bahwa ia telah
mengetahui apa yang tidak kami ketahui, dan mendengar apa yang tidak kami
dengar. Dan tidak ada seorang pun di antara kami yang menuduhnya mengatakan
atas nama Rosululloh ﷺ
apa yang tidak beliau katakan.” (HR. Al-Haakim, 3/511; At-Tirmidzi no. 3863)
Oleh karena itu, ketika ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha
memanggilnya dan berkata kepadanya, “Wahai Abu Huroiroh, Hadits-Hadits apa ini
yang sampai kepada kami bahwa engkau meriwayatkannya dari Nabi ﷺ? Apakah engkau
mendengar kecuali apa yang kami dengar, dan melihat kecuali apa yang kami
lihat?” Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu menjawab, “Wahai Ibunda, sungguh
yang menyibukkanmu dari Rosululloh ﷺ
adalah cermin, celak mata, dan berhias untuk Rosululloh ﷺ. Sedangkan aku, demi
Alloh, tidak ada sesuatu pun yang menyibukkanku dari beliau.” (HR.
Al-Haakim, 3/509; Ibnu Hajar, Al-Ishoobah, 7/358)
Wafatnya seorang Shohabat yang lebih dulu sebelum Hadits
tersebar dan sebelum orang-orang bersemangat untuk mendengarnya, memperolehnya,
dan menghafalnya, juga menjadi sebab (perbedaan jumlah riwayat). Mayoritas dari
mereka yang wafat lebih dulu memiliki riwayat yang lebih sedikit daripada
mereka yang wafatnya lebih belakangan, dan orang-orang membutuhkan ilmu yang
ada pada mereka, terutama jika mereka tampil ke depan untuk menyampaikan Hadits
dan fatwa.
Kesibukan sejumlah besar Shohabat dengan ibadah, Jihad fii
sabiilillah, dan penaklukkan negeri dan kota, serta ketidakbolehan mereka
tampil ke depan untuk menyampaikan Hadits dan fatwa, juga menjadi sebab
(perbedaan jumlah riwayat). Hal ini membuat riwayat dari mereka menjadi sedikit
jika dibandingkan dengan Shohabat-Shohabat lain yang selevel dengan mereka.
Ketakutan sejumlah besar Shohabat untuk menyampaikan Hadits,
karena khawatir terjadi penambahan atau pengurangan dalam Hadits mereka, yang
bisa memasukkan mereka ke dalam ancaman bagi orang-orang yang berdusta atas
nama Nabi ﷺ, juga menjadi sebab
(perbedaan jumlah riwayat). Hal ini membuat mereka berhati-hati dalam
menyampaikan Hadits dan sedikit dalam meriwayatkan. Anas bin Maalik rodhiyallahu
‘anhu berkata, “Sungguh yang menghalangiku untuk banyak meriwayatkan Hadits
kepada kalian adalah sabda Nabi ﷺ:
مَنْ تَعَمَّدَ عَلَيَّ كَذِبًا،
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
‘Siapa yang sengaja
berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di Naar.’” (HR. Al-Bukhori no.
108; Muslim, Muqoddimah, 1/10)
‘Abdulloh bin Az-Zubair rodhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku
berkata kepada Az-Zubair (w. 36 H) rodhiyallahu ‘anhu, ‘Sungguh aku
tidak pernah mendengar engkau meriwayatkan Hadits dari Rosululloh ﷺ sebagaimana si Fulan
dan si Fulan meriwayatkan?’ Beliau menjawab, ‘Adapun aku, sungguh aku tidak
pernah berpisah dengan beliau, tetapi aku mendengar beliau bersabda:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ، فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
‘Siapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah ia
menempati tempat duduknya di Naar.’” (HR. Al-Bukhori no. 107)
3.6
Periwayatan Sebagian Shohabat dari Sebagian yang Lain
Salah satu masalah penting yang diabaikan oleh para
pencela—terutama pada Abu Huroiroh yang masuk Islam belakangan dan meriwayatkan
lebih banyak daripada para pendahulu dalam Islam—adalah bahwa masyarakat
Shohabat adalah masyarakat yang terpelajar. Mereka duduk untuk menuntut ilmu,
saling mengulang Hadits Nabi ﷺ,
dan mempelajari Al-Qur’an. Bahkan, mereka menjaga kehadiran mereka di majelis
kenabian. Jika ada yang berhalangan, sebagian mereka bertanya kepada sebagian
yang lain tentang ilmu yang ada di majelis tersebut. ‘Umar bin Al-Khoththob rodhiyallahu
‘anhu berkata, “Aku dan tetanggaku dari kalangan Anshor... Kami bergantian
datang kepada Rosululloh ﷺ.
Ia datang sehari, dan aku datang sehari. Jika aku datang, aku membawakannya
kabar hari itu, baik berupa Wahyu maupun yang lainnya. Dan jika ia datang, ia
melakukan hal yang sama.”
(HR. Al-Bukhori no. 89)
Abu Huroiroh dan Ibnu ‘Abbas yang datang ke Madinah pada
tahun ketujuh dan kedelapan secara berurutan, serta Shohabat lain yang Islamnya
belakangan, mereka meriwayatkan langsung dari Rosululloh ﷺ, dan mereka juga
meriwayatkan dari Shohabat lain yang bersumber dari beliau. Mayoritas riwayat
Ibnu ‘Abbas adalah dari para Shohabat.
Masalah ini dikenal di kalangan muhadditsiin dengan nama
Maroosiilus Shohaabah (Hadits-Hadits mursal para Shohabat). Hadits jenis ini
diterima secara konsensus karena berbeda dengan Maroosiilut Taabi’iin. Apa yang
di-irsal-kan (disebutkan tanpa menyebutkan Shohabat rowi) oleh seorang
Shohabat, tidak diragukan lagi berasal dari Shohabat lain, dan para Shohabat
semuanya ‘aadiil (terpercaya). Jadi, tidak disebutkannya nama Shohabat
perantara tidaklah merugikan, berbeda dengan apa yang di-irsal-kan oleh
seorang Tabi’in, yang mungkin dari Shohabat, atau mungkin dari Tabi’in yang
lain.
Ibnu Qudamah (620 H) berkata, “Sungguh umat telah bersepakat
untuk menerima riwayat Ibnu ‘Abbas dan yang sepertinya dari kalangan Shohabat
junior, meskipun mereka banyak meriwayatkan, dan kebanyakan riwayat mereka dari
Nabi ﷺ adalah Maroosiil
(Hadits mursal).” (Roudhotun Naazhir wa Jannatul Manaazhir, Ibnu Qudamah,
1/364)
Al-Baroo’ bin ‘Aazib rodhiyallahu ‘anhuma berkata, “Tidak
semua yang kami ceritakan kepada kalian dari Rosululloh ﷺ kami dengar langsung
dari beliau, namun kami tidak berdusta.” (Roudhotun Naazhir wa Jannatul
Manaazhir, Ibnu Qudamah, 1/364)
Ketika Anas rodhiyallahu ‘anhu meriwayatkan Hadits
Asy-Syafaa’atul ‘Uzhmaa (Syafa’at Agung), seorang laki-laki berkata kepadanya, “Wahai
Abu Hamzah! Apakah engkau mendengar ini dari Rosululloh ﷺ?” Wajahnya berubah
dan ia merasa keberatan, lalu ia berkata, “Tidak semua yang kami ceritakan
kepada kalian kami dengar langsung dari Rosululloh ﷺ. Namun, sebagian kami tidak saling mendustakan sebagian yang
lain.” (HR. Ibnu Abi ‘Aashim, As-Sunnah, no. 815; Ath-Thobroni, Al-Kabiir,
no. 699)
3.7
Arti Penting Banyaknya Riwayat (Studi Kasus Abu Huroiroh)
Masalah banyaknya riwayat dilihat dari dua sisi. Pertama:
jumlah riwayat Shohabat dari Nabi ﷺ
yang ditemukan dalam kitab-kitab Hadits, yang mencakup riwayat berulang karena
banyaknya jalur periwayatan dari masing-masing mereka. Kedua: jumlah
Hadits yang didengar oleh Shohabat tersebut dari Nabi ﷺ. Sisi kedua inilah yang terus dipertanyakan oleh kaum musyakikkiin
(peragu) terhadap As-Sunnah. Mereka berkata, “Mustahil Abu Huroiroh misalnya,
dalam waktu kurang dari empat tahun, bisa mendengar 5.374 Hadits.” Mereka
membagi jumlah Hadits dengan jumlah hari, dan seterusnya.
Ini adalah kerancuan yang mungkin disengaja oleh
mereka—meskipun pada dasarnya tidak ada masalah juga di dalamnya. Karena, hasil
pembagian 5.374 Hadits dengan 4 tahun berarti 4 Hadits per hari, dan ini adalah
jumlah yang biasa, tidak ada berlebihan sama sekali!
Penting untuk diperhatikan masalah lain, yaitu bahwa jumlah
Hadits yang dinisbatkan kepada seorang Shohabat tidak berarti jumlah Hadits
yang ia dengar dari Nabi ﷺ.
Tetapi, itu berarti jumlah jalur periwayatan yang sampai kepada kita, dengan
pengulangan yang membuatnya berlipat ganda berkali-kali. Jadi, angka yang
disebutkan dalam riwayat Abu Huroiroh (5.374) mencakup—seperti yang sudah
diketahui—riwayat-riwayat yang berbeda-beda untuk satu matan (teks Hadits).
Jika satu matan diriwayatkan dari Abu Huroiroh oleh seratus rowi, maka itu
dihitung seratus Hadits, padahal matan-nya hanya satu.
Karena banyaknya rowi dari Abu Huroiroh (800 rowi), kita dapat menjelaskan
jumlah Hadits yang besar ini. Dari tabel sebelumnya, jelas terlihat adanya kesesuaian
antara jumlah rowi setiap Shohabat dengan jumlah Hadits yang ia riwayatkan.
Hasil ini mengungkap sisi penting dalam menjelaskan banyaknya riwayat Abu
Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu.
Masalah ini menjadi sangat jelas jika kita merenungkan
perkataan Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, “Tidak ada seorang pun dari
para Shohabat Nabi ﷺ
yang lebih banyak Haditsnya dariku, kecuali ‘Abdulloh bin ‘Amr, karena ia
menulis sedangkan aku tidak menulis.” (HR. Al-Bukhori no. 113)
‘Abdulloh bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu menulis, dan
Abu Huroiroh melihatnya lebih banyak Hadits darinya, tetapi beliau tidak
termasuk di antara para muktsirin, karena jumlah Hadits yang beliau
riwayatkan diperkirakan hanya 700 Hadits. Mayoritas sebab dari banyaknya
riwayat yang telah kami sebutkan sebelumnya, terdapat pada beliau, tetapi
jumlah rowinya tidak sebanyak itu.
Jumlah Hadits yang dinisbatkan kepada seorang Shohabat tidak
berarti jumlah Hadits yang ia dengar dari Nabi ﷺ. Tetapi, itu berarti jumlah jalur periwayatan yang sampai
kepada kita, dengan pengulangan yang membuatnya berlipat ganda berkali-kali.
Ada hal penting lainnya, yaitu mendedikasikan diri untuk
menyampaikan Hadits setelah wafatnya Nabi ﷺ. Tidak diragukan bahwa orang yang paling banyak mendengar dari
Nabi ﷺ adalah Abu Bakr rodhiyallahu
‘anhu, karena beliau menemani beliau sepanjang masa Islam, baik saat mukim
maupun bepergian, dan jarang sekali berpisah dengan beliau. Lalu, mengapa
riwayat Abu Bakr rodhiyallahu ‘anhu dari Nabi ﷺ kurang dari seratus Hadits (81 Hadits dalam Musnad Imam Ahmad),
sementara riwayat Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu dari Nabi ﷺ berlipat ganda dari
yang diriwayatkan Abu Bakr (3.865 Hadits dalam Musnad Imam Ahmad)?!
Sebabnya di sini bukanlah karena hafalan Abu Huroiroh yang
banyak dan hafalan Abu Bakr yang sedikit, melainkan karena Abu Huroiroh banyak
menyampaikan Hadits dan mendedikasikan diri untuk itu, serta tampil ke depan
untuk menyebarkan ilmu, dengan masa hidupnya yang panjang setelah Nabi ﷺ (48 tahun). Sedangkan
sedikitnya penyampaian Hadits dari Abu Bakr adalah karena kesibukannya dengan
urusan umat dan khilaafah, dan singkatnya masa hidup beliau setelah Nabi ﷺ (dua tahun lebih
beberapa bulan).
Sudah menjadi sifat manusia bahwa setiap orang menyibukkan
diri dengan pekerjaan yang ia kuasai. Ketika para muktsirin ini melihat
adanya keinginan dan keunggulan pada diri mereka dalam hal pengajaran, mereka
pun menyibukkan diri di dalamnya, sehingga mereka menonjol dan bersinar. Adapun
para Khulafaa’ur Roosyidiin (Empat Kholifah utama) disibukkan dengan urusan
mendirikan negara, yang merupakan hal paling agung. Mereka mendahulukannya di
atas hal penting lainnya, yaitu pengajaran, apalagi dengan adanya orang yang
dapat menggantikan posisi mereka dalam hal itu, yang paling utama adalah para muktsirin
ini.
3.8
Kesalahpahaman Tambahan tentang Angka Besar
Riwayat-riwayat yang berasal dari para Shohabat muktsiriin
tidak semuanya shohih. Oleh karena itu, riwayat yang dho’iif (lemah) dan sangat
dho’iif seharusnya tidak dimasukkan dalam perhitungan!
Ada masalah lain yang ditambahkan oleh kesan angka-angka
besar. Dalam kasus Abu Huroiroh, riwayatnya melebihi lima ribu Hadits. Siapa
pun yang mendengar angka itu mungkin akan berpikir bahwa Hadits-Hadits ini
tidak diriwayatkan oleh selain Abu Huroiroh. Padahal, pada kenyataannya,
mayoritas Hadits-Hadits ini diriwayatkan pula oleh yang lain. Dan apa yang
beliau riwayatkan secara infiirood (sendirian, tidak ada Shohabat lain
yang meriwayatkannya) dari Nabi ﷺ
hampir tidak sebanding dengan total seluruh riwayatnya.
Satu tim peneliti (di bawah bimbingan Dr. Muhammad ‘Abduh
Yamaani) menemukan bahwa riwayat Abu Huroiroh dalam sembilan kitab Hadits
(termasuk Musnad Imam Ahmad, kitab Hadits terbesar yang sampai kepada kita)
yang beliau riwayatkan sendirian tanpa pengulangan, dan tidak diriwayatkan oleh
Shohabat lain, hanyalah 42 Hadits saja (sebagaimana diklaim oleh Dr. Muhammad ‘Abduh
Yamaani dalam Maqoolah Ittaqullaha fii Abi Huroiroh).
Dr. Muhammad Thohir Al-Barzanji (pentahqiq Taariikh
Ath-Thobari) berkata bahwa beliau menemukan bahwa Hadits yang diriwayatkan
sendirian oleh Abu Huroiroh dari Shohabat lain hanyalah delapan Hadits saja
(sebagaimana diklaim oleh Abdul Maalik Ash-Shoolih). Berapa perbandingan angka
8 dengan 5.374?! Jumlahnya tidak berarti sama sekali, kurang dari 1.5 per 1000!!
Yaa Subhaanalloh, betapa banyak orang yang membahas tanpa ilmu, tanpa petunjuk,
dan tanpa kitab yang jelas?!
Bab Kesimpulan
Setelah pembahasan ini, jelas bagi kita bahwa para muktsirin
ini memiliki dua faktor utama yang berkontribusi pada peningkatan jumlah
riwayat mereka, yaitu:
Kekuatan Menyimak (Al-Istii’aab), yang terbangun di atas
tiga hal:
Selalu Menyertai dan Banyak Mendengar: Hal ini
terwujud pada mereka semua, baik mendengar dari Nabi ﷺ, maupun mendengar dari Shohabat lain.
Kualitas Hafalan yang Baik: Hal ini terwujud pada
mereka semua, baik karena do’a Nabi ﷺ
untuk mereka, maupun karena usia mereka yang masih muda dan pikiran mereka yang
tajam.
Semangat dalam Menuntut Ilmu: Ini adalah ciri khas
mereka semua, sebagaimana telah disebutkan.
Banyaknya Riwayat dari Mereka, yang terbangun di atas
tiga hal:
Banyak Mengajar Orang: Hal ini terwujud pada mereka
semua, karena mereka adalah pilar dan tiang utama ilmu.
Banyaknya Rowi dari Mereka: Hal ini didasarkan pada
poin sebelumnya.
Panjangnya Usia Mereka: Hal ini terwujud pada mereka
semua. Yang paling sebentar hidup setelah Nabi ﷺ adalah ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha, yang wafat 48 tahun
setelah Nabi. Dan yang paling lama adalah Anas rodhiyallahu ‘anhu, yang
hidup 83 tahun setelah Nabi ﷺ,
maka renungkanlah!
Dan tidak boleh dilupakan bahwa sudah menjadi sifat manusia
bahwa setiap orang menyibukkan diri dengan pekerjaan yang ia kuasai. Ketika
para Shohabat ini melihat adanya keinginan dan keunggulan pada diri mereka
dalam hal pengajaran, mereka pun menyibukkan diri di dalamnya, sehingga mereka
menonjol dan bersinar. Adapun para Khulafaa’ur Roosyidiin disibukkan dengan
urusan mendirikan negara, yang merupakan hal paling agung. Mereka
mendahulukannya di atas hal penting lainnya, yaitu pengajaran, apalagi dengan
adanya orang yang dapat menggantikan posisi mereka dalam hal itu, yang paling
utama adalah para muktsiriin ini.
Segala puji bagi Alloh, Robb semesta alam.
NB: Risalah ini saya tarjamah dari
beberapa makalah ahli ilmu berbahasa Arob. Semoga Alloh menerima ini dari saya,
peneliti, dan penyebarnya. [NK]
