Donasi Pembangunan Jembatan

🌿 OPEN DONASI PEMBANGUNAN JEMBATAN PONDOK TAHFIDZ DARUL HIJRAH 🌿

Open Donasi Pembangunan Jembatan Menuju Pondok Tahfidz Darul Hijrah
BRI 7844-01-018208-53-4
an. Mushollah Darul Hijroh
Konfirmasi transfer wa:
www.wa.me/6283116572637 (Ustadz Abu Sarah Harahap)
www.wa.me/6285730219208 (Ustadz Nor Kandir)
Jazakumullahu Khoiron Katsiro 🌸

Cari Ebook

Mempersiapkan...

[PDF] 7 Shohabat Terbanyak Meriwayatkan Hadits - Nor Kandir

 

Muqoddimah

Setiap saat muncul suara-suara sumbang yang lancang menyerang martabat para pribadi mulia yang telah memenuhi bumi dengan keadilan dan rahmat. Serangan itu kadang berupa merendahkan keagamaan dan amanah mereka, dan kadang pula berupa meragukan keadilan dan kejujuran mereka, dengan dalih menjaga agama, menyucikannya, dan membersihkannya dari hal-hal yang tidak asli. Padahal, hakikat perbuatan mereka adalah meragukan masyarakat terhadap landasan-landasan dan pokok-pokok agama, yang bisa berujung pada peruntuhan dan penyia-nyiaan agama. Namun, agama Islam ini terjaga karena penjagaan dari Alloh, dan salah satu caranya adalah dengan menyiapkan para pengemban agama yang mulia dan terpercaya, yang telah diakui oleh Robb semesta alam dan Rosul-Nya yang terpercaya. Mereka tidak akan terpengaruh oleh kebencian orang bodoh maupun celaan orang pendendam.

Bab 1: Shohabat Sebagai Penyampai As-Sunnah

Para Shohabat yang mulia adalah murid-murid terpilih Nabi . Mereka dididik langsung oleh beliau, menimba ilmu dari sumbernya, dan mencintai beliau melebihi cinta mereka kepada diri sendiri, anak-anak, dan harta mereka. Mereka mengelilingi beliau bagaikan gelang yang melingkari pergelangan tangan. Mereka tidak menatap tajam kepada beliau, tidak mengeraskan suara di hadapan beliau. Cukuplah bagi beliau untuk memberi isyarat terhadap suatu perkara, maka perkara itu pun dilakukan. Jika beliau mengerahkan mereka untuk berperang, mereka segera berangkat, dan jika bibir beliau bergerak, mereka menyimak dengan penuh perhatian. Oleh karena itu, mereka adalah pewaris terbaik bagi guru terbaik, dan mereka mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru bumi, setelah mereka menyaksikan turunnya wahyu, memahami syari’at, dan mengetahui kehendak Alloh atas makhluk-Nya.

Sungguh, tidak diragukan bahwa keutamaan—setelah Allohpatut dinisbatkan kepada mereka dalam hal sampainya As-Sunnah An-Nabawiyyah kepada kita. Merekalah yang mengerahkan segenap upaya dan waktu mereka untuk menemani Nabi , sehingga mereka hafal sunnah beliau, dan menyampaikannya kepada generasi-generasi berikutnya dalam keadaan segar dan murni. Setelah itu, mereka mendidik orang-orang yang meneladani mereka dan mengikuti petunjuk mereka. Ilmu mereka pun terus diwariskan dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi.

Keutamaan ini tidak ada yang menandinginya, tidak ada yang menyamainya, dan tidak mungkin ada seorang pun yang datang setelah mereka bisa melebihi keutamaan mereka. Sebab, setiap kebaikan yang dilakukan oleh orang-orang setelah mereka, maka mereka (para Shohabat) mendapatkan bagian darinya. Bahkan, ini adalah semacam keistimewaan bagi mereka, melebihi umat-umat yang terdahulu. Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh, Alloh melihat hati para hamba. Dia mendapati hati Muhammad adalah hati hamba yang paling baik, maka Dia memilihnya untuk Diri-Nya, lalu mengutusnya dengan risalah-Nya. Kemudian, Dia melihat hati para hamba setelah hati Muhammad, dan mendapati hati para Shohabat beliau adalah hati hamba yang paling baik. Lalu, Dia menjadikan mereka sebagai para pembantu Nabi-Nya, yang berjuang demi agama-Nya” (HR. Ahmad no. 3600)

Bab 2: Celaan Kepada Para Shohabat yang Banyak Meriwayatkan Hadits

Tentara-tentara Syaithon telah bertekad untuk memerangi agama ini, sebagaimana Syaithon bersumpah demi keagungan Alloh untuk menyesatkan Bani Adam semuanya. Mereka tidak segan-segan mengerahkan segala daya dan upaya dalam memerangi dakwah Islam, dengan segala cara dan jalan, dan dengan segala kekuatan yang mereka miliki. Mereka mengerahkan pasukan berkuda dan berjalan kaki mereka untuk menyerang dakwah ini. Ketika mereka tidak mampu mencela Kitabulloh dan pribadi Nabi , mereka pun beralih untuk mencela keadilan para Shohabat yang mulia rodhiyallahu ‘anhum. Tujuan mereka dalam hal ini adalah meruntuhkan bangunan Syari’at dengan menjatuhkan para pengemban dan rowinya.

Di antara celaan paling terkenal yang menimpa para Shohabat yang mulia adalah celaan yang menyasar para rowi Hadits di antara mereka. Yang paling utama adalah munculnya pertanyaan-pertanyaan tentang mengapa Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu menjadi Shohabat yang paling banyak meriwayatkan, padahal beliau baru datang ke Madinah pada tahun Khoibar (yaitu tahun 7 Hijriyyah). Celaan semacam ini juga ditujukan kepada Shohabat lain yang banyak meriwayatkan, seperti ‘Aisyah dan Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma, padahal mereka tidak berada di tingkatan Shohabat senior seperti Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali!

Celaan-celaan ini berasumsi bahwa waktu yang dihabiskan oleh para rowi ini bersama Nabi tidak cukup untuk mendengar jumlah riwayat yang mereka sampaikan. Di sisi lain, celaan-celaan ini membandingkan riwayat-riwayat dari para muktsirin (yang banyak meriwayatkan) dengan riwayat-riwayat dari para Shohabat yang terdahulu masuk Islam. Mereka bertanya-tanya: Bagaimana mungkin para muktsirin ini bisa melebihi riwayat Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Az-Zubair, Tholhah, dan Ibnu Mas’ud, padahal merekalah yang lebih dahulu masuk Islam, lebih lama menemani Nabi , dan lebih banyak mendengar dari beliau?

Penting untuk disebutkan bahwa sebagian dari celaan-celaan ini sudah dimulai sejak masa para Shohabat yang mulia, kemudian diembuskan secara besar-besaran oleh kaum munafik dan kelompok-kelompok yang menyimpang seperti Khowarij, Mu’tazilah, Rofidhoh, Zanaadiqoh, dan lain-lain. Hingga pada masa kini, kaum orientalis—yang paling utama adalah orientalis Yahudi-Hungaria, Goldziher —menggalinya kembali dan memproduksinya ulang. Kemudian, hal itu ditelan mentah-mentah oleh sejumlah kaum “rasionalis” dan sekuleris. Belakangan ini, muncul pula kelompok baru yang aktif, yang bertaruh pada menjauhnya generasi muda dari sumber Wahyu dan mata air ilmu. Oleh karena itu, wajib hukumnya untuk terus-menerus membantah mereka dan menjelaskan kebenaran yang sejak dahulu kala diikuti oleh Ahlus Sunnah dari generasi ke generasi dan dari masa ke masa.

Dalam studi ringkas tentang Tujuh Muktsir di atas, terlihatlah bahwa para ‘Ulama telah bersepakat untuk menyebut Shohabat yang meriwayatkan lebih dari 1000 Hadits sebagai muktsirin (orang-orang yang banyak meriwayatkan). Jumlah mereka ada tujuh. Seorang penyair berkata:

سَبْعٌ مِنَ الصَّحْبِ فوقَ الألفِ قد نقَلُوا مِنَ الحديثِ عَنِ المُختارِ خَيرِ مُضَر

أبو هـريـرةَ، سـعدٌ، جـابرٌ، أنـسٌ صدِّيقةٌ وابن عباسٍ كذا ابن عُمَر

Tujuh Shohabat di atas 1000 meriwayatkan Hadits

Dari Al-Mukhtar (Nabi Muhammad ) sebaik-baik keturunan Mudhor

Abu Huroiroh, Sa’d, Jaabir, Anas

Ash-Shiddiiqoh (‘Aisyah), Ibnu ‘Abbas, begitu pula Ibnu ‘Umar

Para ‘Ulama telah menyepakati untuk menyebutkan jumlah Hadits yang diriwayatkan oleh setiap Shohabat. Mereka mengikuti jumlah yang disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam Talqiih Fuhuum Ahlil Atsar, dan dalam penghitungannya, beliau berpegangan pada Hadits yang terdapat pada setiap Shohabat dalam Musnad Abu ‘Abdirrohman Baqiy bin Makhlad, karena kitab itu adalah kitab yang paling lengkap.


Para Shohabat yang paling banyak meriwayatkan Hadits (Tujuh Muktsir) adalah:

[1] Abu Huroiroh ‘Abdurrohman bin Shokhr Ad-Dausi rodhiyallahu ‘anhu (w. 59 H), dengan total riwayatnya mencapai 5.374 (lima ribu tiga ratus tujuh puluh empat) Hadits, berdasarkan apa yang tercantum dalam Musnad Baqiy bin Makhlad.

[2] Abdulloh bin ‘Umar bin Al-Khoththob rodhiyallahu ‘anhu (w. 73 H), dengan total riwayatnya mencapai 2.630 (dua ribu enam ratus tiga puluh) Hadits.

[3] Anas bin Maalik rodhiyallahu ‘anhu (w. 93 H), dengan total riwayatnya mencapai 2.286 (dua ribu dua ratus delapan puluh enam) Hadits.

[4] Ummul Mu’minin ‘Aisyah binti Abi Bakr Ash-Shiddiq rodhiyallahu ‘anha (w. 58 H), dengan jumlah Haditsnya mencapai 2.210 (dua ribu dua ratus sepuluh) Hadits.

[5] Abdulloh bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththolib rodhiyallahu ‘anhuma (w. 68 H), dengan jumlah Haditsnya mencapai 1.660 (1000 enam ratus enam puluh) Hadits.

[6] Jaabir bin ‘Abdillah Al-Anshori rodhiyallahu ‘anhu (w. 78 H), dengan jumlah Haditsnya mencapai 1.540 (1000 lima ratus empat puluh) Hadits.

[7] Sa’d bin Maalik bin Sinaan “Abu Sa’id Al-Khudri” Al-Anshori rodhiyallahu ‘anhu (w. 74 H), dengan jumlah Haditsnya mencapai 1.170 (1000 seratus tujuh puluh) Hadits.

Tidak ada Shohabat yang jumlah Haditsnya melebihi 1000 Hadits selain mereka ini. Jumlah ini mencakup Hadits yang berulang, karena para ‘Ulama menghitung setiap jalur periwayatan sebagai satu Hadits.

Di antara para muktsirin itu, ada empat dari kalangan Muhajirin: Abu Huroiroh, Abdulloh bin ‘Umar, ‘Aisyah Ummul Mu’minin, dan Abdulloh bin ‘Abbas. Dan tiga dari kalangan Anshor: Anas bin Maalik, Jaabir bin ‘Abdillah, dan Abu Sa’id Al-Khudri.

Lima di antara mereka menemani Rosul selama 9-10 tahun: Abdulloh bin ‘Umar, ‘Aisyah Ummul Mu’minin, Anas bin Maalik, Jaabir bin ‘Abdillah, dan Abu Sa’id Al-Khudri. Abu Huroiroh menemani Nabi selama 4 tahun, dan Ibnu ‘Abbas menemani beliau sekitar 3 tahun (30 bulan).

Tiga di antara mereka berusia 10 tahun ketika menemani Rosul : Abdulloh bin ‘Umar, Anas bin Maalik, dan Abu Sa’id Al-Khudri. Sementara itu, ‘Aisyah berusia 9 tahun ketika menemani Rosul, Ibnu ‘Abbas 11 tahun, Jaabir sekitar 19 tahun, dan Abu Huroiroh 28 tahun.

Lama hidup mereka setelah Rosululloh wafat adalah: ‘Aisyah Ummul Mu’minin (48 tahun), Abu Huroiroh (49 tahun), Ibnu ‘Abbas (58 tahun), Ibnu ‘Umar (63 tahun), Abu Sa’id Al-Khudri (64 tahun), Jaabir bin ‘Abdillah (64 tahun), dan Anas bin Maalik (83 tahun).

Bab 3: Faktor-Faktor di Balik Banyaknya Riwayat

3.1 Usia Muda

Mayoritas para muktsirin dalam meriwayatkan Hadits adalah dari kalangan Shohabat yang masih muda. Usia ini adalah usia belajar, pikiran yang masih tajam, dan daya hafal yang cepat. Sebagaimana dikatakan, “(Belajar) ilmu di masa kecil itu bagaikan mengukir di atas batu.” Dan masing-masing dari para Shohabat ini memiliki kelebihan tambahan yang memberi mereka kekhususan dalam menerima (ilmu) dari Nabi , sebagaimana akan dijelaskan nanti.

Ketika kita merenungkan informasi ini, kita dapati mayoritas para muktsirin dalam meriwayatkan Hadits adalah dari kalangan Shohabat yang masih muda. Usia ini adalah usia belajar, pikiran yang masih tajam, dan daya hafal yang cepat. Dan bagi masing-masing dari para Shohabat ini ada kelebihan tambahan yang memberi mereka kekhususan dalam menerima (ilmu) dari Nabi .

Dapat dicatat bahwa yang paling tua di antara mereka saat masuk Islam adalah Abu Huroiroh (28 tahun), diikuti Jaabir bin ‘Abdillah Al-Anshori (19 tahun). Sedangkan yang lainnya masuk Islam di usia muda, bahkan sebagian dari mereka tidak diizinkan ikut peperangan awal karena usia mereka yang masih kecil, seperti Ibnu ‘Umar, Abu Sa’id Al-Khudri, dan Anas rodhiyallahu ‘anhum ajma’iin.

3.2 Kedekatan dengan Nabi

Dari kondisi para muktsirin ini secara keseluruhan, kita memahami bahwa penerimaan (ilmu) mereka dari Rosululloh terjadi di Madinah. Di sanalah negara telah stabil, syari’at-syari’at diturunkan, dan Nabi memiliki waktu luang untuk mengajarkan Al-Qur’an Al-Karim dan berbagai syari’at yang turun berturut-turut kepada para Shohabat beliau. Setelah Shulhul Hudaibiyyah (Perjanjian Hudaibiyah) dan Fathul Makkah (Penaklukkan Makkah), orang-orang berbondong-bondong masuk ke dalam agama Alloh. Maka, kaum Muslimin yang baru datang berbondong-bondong menemui Rosul di Masjid beliau, dan beliau pun mengajarkan Islam kepada mereka. Mereka bertanya kepada beliau dan beliau menjawabnya, disaksikan dan didengar oleh para Shohabat yang mulia.

Sebagian besar Shohabat ini rodhiyallahu ‘anhum memiliki alasan untuk dekat dengan Nabi , dan kekhususan yang hampir tidak dimiliki oleh orang lain. ‘Aisyah adalah istri beliau, Anas adalah pelayan beliau di Madinah, Ibnu ‘Umar adalah putra tertua Al-Faaruuq (‘Umar bin Khoththob) dan saudara laki-laki Ummu Mu’minin Hafshoh. Abu Huroiroh sangat setia menyertai Nabi , karena beliau adalah salah seorang Ahlush Shuffah yang tinggal di Masjid. Ibnu ‘Abbas adalah sepupu Nabi , sehingga karena kedudukannya yang dekat, beliau menyaksikan apa yang tidak disaksikan oleh orang lain, sebagaimana beliau sendiri menyatakan hal ini (HR. Al-Bukhori no. 7325). Beliau juga kadang menginap di tempat bibinya, Ummu Mu’minin Maimunah. Jaabir dan Abu Sa’id Al-Khudri ikut menyaksikan semua pertempuran bersama Nabi setelah ayah masing-masing wafat. Jaabir memiliki kedekatan khusus dengan Nabi , karena ayahnya terbunuh pada hari Uhud dan meninggalkan saudari-saudari baginya. Jaabir pun menanggung nafkah mereka. Nabi berbuat baik kepada Jaabir dan menyayanginya, dan beliau memiliki banyak momen bersamanya.

Kasus Ummu Mu’minin ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha sangat menarik perhatian. Nabi menikahinya pada tahun kedua Hijriyyah, setelah Khodiijah dan Saudah rodhiyallahu ‘anhuma. Tidak ada satu pun istri beliau yang meriwayatkan Hadits sebanyak yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah. Ibunda kaum Mu’minin yang paling dekat jumlah riwayatnya adalah Ummu Salamah. Beliau meriwayatkan 387 Hadits. Lalu, apa yang menyebabkan ‘Aisyah meriwayatkan Hadits sebanyak ini?

Tidak diragukan bahwa usia muda beliau adalah jawaban yang terlintas di pikiran. Namun, sifat ini juga dimiliki secara relatif oleh Shofiyyah, yang usianya tidak lebih dari 17 tahun ketika menikah dengan Nabi pada tahun 7 Hijriyyah. Demikian pula Hafshoh dan Juwairiyyah yang berusia 20 tahun saat menikah. Namun, perbedaan usia tetap menguntungkan ‘Aisyah, karena usia beliau saat menikah adalah 9 tahun.

‘Aisyah Ummul Mu’minin rodhiyallahu ‘anha juga memiliki keistimewaan lain yang terkait dengan perbedaan individual dan lingkungan. Beliau adalah satu-satunya istri yang masih gadis di antara Ibunda kaum Mu’minin, dan ini berarti adanya peningkatan kasih sayang antara beliau dan Nabi . Beliau memang istri yang paling dicintai Nabi di antara Ibunda kaum Mu’minin. Kasih sayang ini menghasilkan dialog dan Hadits yang lebih banyak dari biasanya antara suami istri. Selain itu, beliau tumbuh di lingkungan rumah yang berilmu dan beradab. Abu Bakr rodhiyallahu ‘anhu adalah Shohabat yang paling awal masuk Islam dan paling lama menemani Nabi serta paling banyak mendengar dari beliau. Selain itu, beliau juga seorang yang ‘aaliim tentang nasab dan sya’ir. Dengan demikian, ‘Aisyah mewarisi bakat keilmuan dari ayahnya.

3.3 Do’a Nabi Agar Diberi Hafalan dan Pemahaman

Dua dari rowi ini dido’akan secara khusus oleh Rosul agar diberi hafalan, ilmu, dan fiqih, yaitu Abu Huroiroh dan Abdulloh bin ‘Abbas.

Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rosululloh, sungguh aku mendengar banyak Hadits darimu, lalu aku melupakannya.’ Beliau bersabda:

«ابْسُط رِداءَك»، فَبَسَطتُ، فَغَرَفَ بيده فيه، ثم قال: «ضُمَّه» فَضَمَمتُهُ، فما نسيتُ حديثًا بَعدُ

‘Bentangkan selendangmu.’ Maka, aku membentangkannya. Lalu, beliau mengambil dengan tangan beliau (sesuatu) di dalamnya, kemudian bersabda, ‘Rapatkanlah.’ Maka, aku pun merapatkannya, dan aku tidak pernah melupakan Hadits setelah itu.(HR. Al-Bukhori no. 3648)

Dari Abdulloh bin ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Rosululloh memelukku dan bersabda:

اللهم علِّمهُ الحكمة

‘Ya Alloh, ajarkanlah kepadanya al-hikmah’. Dalam riwayat lain, beliau bersabda: ‘Ajarkanlah kepadanya al-kitaab (Al-Qur’an).’” (HR. Al-Bukhori no. 3756)

Hadits Ibnu ‘Abbas: “Sungguh Nabi masuk ke toilet, lalu aku meletakkan air wudhu’ untuk beliau. Beliau bersabda, ‘Siapa yang meletakkan ini?’ Maka, beliau diberitahu, lalu beliau bersabda:

اللَّهمَّ فَقِّههُ في الدِّينِ

‘Ya Alloh, berikanlah ia pemahaman dalam agama.’” (HR. Al-Bukhori no. 143).

Maka, Abu Huroiroh dan Ibnu ‘Abbas memiliki keistimewaan berupa do’a Rosul agar diberi hafalan dan ilmu. Oleh karena itu, setiap keberatan terhadap Abu Huroiroh juga berlaku untuk Ibnu ‘Abbas. Namun, sungguh tidak mungkin (celaannya diterima)!

3.4 Semangat dalam Menuntut Ilmu

Para muktsirin Hadits tidak mencapai kedudukan ini melainkan karena semangat mereka dalam menuntut ilmu. Ilmu meninggikan derajat pemiliknya hingga mencapai Tsuroyya (bintang). Masing-masing dari mereka memiliki bukti-bukti dalam perjalanan hidupnya yang menunjukkan semangatnya dalam menerima dan menyerap dari sumber kenabian yang melimpah. Sifat ini paling jelas terlihat pada Abu Huroiroh.

Beliau berkata ketika sebagian orang merasa heran dengan banyaknya Hadits yang beliau riwayatkan dari Nabi , “Sungguh saudara-saudaraku dari kalangan Muhajirin disibukkan oleh jual-beli di pasar-pasar, sedangkan aku selalu menemani Rosululloh demi mengisi perutku. Jadi, aku menyaksikan ketika mereka tidak hadir, dan aku menghafal ketika mereka lupa. Saudara-saudaraku dari kalangan Anshor disibukkan oleh pekerjaan mengurus harta mereka. Sedangkan aku adalah seorang miskin dari kalangan miskin Ahlush Shuffah, aku menyimak ketika mereka lupa.(HR. Al-Bukhori no. 2047)

Maksudnya, beliau mencukupkan diri dengan apa yang dapat menutupi kebutuhan makan dan minumnya, dan tidak disibukkan dengan mencari rizqi. Riwayat-riwayat tentang semangat setiap dari mereka dalam menuntut ilmu terlalu banyak untuk disebutkan di sini, dan cukuplah kalung itu sebatas melingkari leher.

Bahkan, semangat mereka dalam menuntut ilmu terus berlanjut bahkan setelah wafatnya Nabi hingga hari terakhir kehidupan mereka. Sungguh, telah disebutkan bahwa Jaabir bin ‘Abdillah (w. 78 H) melakukan perjalanan di akhir hidupnya ke Makkah untuk (mendapatkan) Hadits-Hadits yang pernah didengarnya, kemudian ia kembali ke Madinah (Siyar A’laamin Nubalaa’, Adz-Dzahabi, 3/191).

Diriwayatkan juga bahwa beliau melakukan perjalanan sebulan penuh ke Syam untuk (mendapatkan) Hadits tentang Qishoosh dari Abdulloh bin Unais (HR. Al-Bukhori ta’liiq sebelum Hadits no. 78; diwasholkan oleh Ibnu Hajar, Taghliiqut Ta’liiq, 5/355).

3.5 Menyampaikan Fatwa dan Mengajar Setelah Wafatnya Nabi

Sebab di balik sedikitnya riwayat para Shohabat senior seperti Abu Bakr rodhiyallahu ‘anhu—padahal beliau lebih dahulu masuk Islam, dan sangat setia menemani Nabi —adalah wafatnya beliau yang lebih dulu, sebelum Hadits tersebar, dan sebelum orang-orang bersemangat untuk mendengarnya, memperolehnya, dan menghafalnya. Selain itu, beliau disibukkan dengan mengurus Rosululloh dan kemudian mengurus khilaafah (kepemimpinan) setelah beliau. Total Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakr Ash-Shiddiq rodhiyallahu ‘anhu hanyalah 142 Hadits (At-Tadriibur Roowi, 2/218).

Jumlah ini tidak sesuai dengan kedudukan beliau, kecuali dengan mempertimbangkan apa yang telah kami sebutkan.

Imam Ahmad bin ‘Umar Al-Qurthubi berkata tentang Abu Bakr Ash-Shiddiq rodhiyallahu ‘anhu, “Sudah menjadi hal yang pasti dan keyakinan yang pasti bahwa beliau menghafal Hadits Rosululloh yang tidak dihafal oleh seorang pun dari para Shohabat. Beliau mendapatkan ilmu yang tidak didapatkan oleh seorang pun dari mereka, karena beliau adalah kekasih terdekat dan pribadi terpilih yang selalu menyertai (Nabi ). Beliau tidak pernah berpisah dengan beliau, baik dalam perjalanan maupun saat mukim, baik malam maupun siang, baik dalam kesulitan maupun kemudahan. Beliau tidak memiliki waktu luang untuk meriwayatkan Hadits, karena beliau disibukkan dengan hal yang lebih penting, kemudian yang penting, dan karena selain beliau telah melaksanakan tugas periwayatan yang penting.” (Al-Mufhim Limasykala min Talkhiish Kitaab Muslim, 6/237)

Adalah penting ketika membahas perjalanan hidup para muktsirin ini untuk menunjukkan bahwa mereka tampil di depan untuk mengajarkan Hadits Rosululloh dan meriwayatkannya kepada masyarakat. Mereka mencurahkan waktu mereka untuk mengajar dan menyampaikan Hadits kepada orang-orang, sementara yang lain disibukkan dengan urusan negara, Jihad, dan perdagangan. Mereka juga memiliki kelebihan tambahan, yaitu usia mereka panjang setelah wafatnya Nabi , bertahun-tahun lamanya, dalam urusan (pengajaran) ini, sehingga banyak sekali orang yang mendengar dari mereka. Ibnu Sa’d meriwayatkan dari Ziyaad bin Miinaa, ia berkata, “‘Abdulloh bin ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Abu Sa’id, Abu Huroiroh, dan Jaabir, bersama orang-orang yang serupa dengan mereka, berfatwa di Madinah dan meriwayatkan Hadits Rosululloh sejak wafatnya ‘Utsman (35 H) hingga mereka wafat. Ia berkata, ‘Dan kelima orang inilah yang menjadi tempat (rujukan) fatwa. (Siyar A’laamin Nubalaa’, Adz-Dzahabi, 2/606-607)

“Orang-orang dari kalangan Shohabat yang hafal fatwanya berjumlah seratus sekian belas orang, antara laki-laki dan perempuan. Yang termasuk muktsir (banyak berfatwa) ada tujuh orang.” Di antara mereka disebutkan: “‘Aisyah Ummul Mu’minin, Abdulloh bin ‘Abbas, dan Abdulloh bin ‘Umar.” (I’laamul Muwaqqi’iin, Ibnul Qoyyim, 1/19-20)

Ketika Anas bin Maalik (w. 93 H) wafat, Muwarriq Al-‘Ijliy berkata, “Hari ini telah hilang separuh ilmu.” Lalu ditanyakan, “Bagaimana bisa begitu, wahai Abu Al-Mu’tamir?” Ia menjawab, “Dahulu, jika seorang dari Ahlul Ahwaa’ (pengikut hawa nafsu) berselisih dengan kami dalam Hadits dari Rosululloh , kami berkata kepadanya, ‘Mari kita datangi orang yang mendengarnya langsung dari Nabi .’” (HR. Ath-Thobroni, Al-Mu’jamul Kabiir, 1/250 no. 719)

Maka, peran para muktsirin ini dalam mengajar dan mendedikasikan diri mereka untuk itu, telah membedakan mereka dari Shohabat lain yang mungkin mendengar Hadits sebanyak atau lebih banyak dari yang mereka dengar.

Perbedaan alami antara para Shohabat dalam hal hafalan dan lupa juga menjadi sebab (perbedaan jumlah riwayat). Daya ingat para Shohabat rodhiyallahu ‘anhum tidaklah sama. Di antara mereka ada yang mendengar banyak Hadits dan tidak melupakannya, dan ada yang mendengar lalu melupakan sebagiannya. ‘Umar bin Al-Khoththob rodhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi pernah berdiri di tengah kami pada suatu tempat, lalu beliau menceritakan kepada kami tentang permulaan penciptaan, hingga penduduk Jannah memasuki tempat tinggal mereka, dan penduduk Naar memasuki tempat tinggal mereka. Siapa yang menghafalnya, ia menghafalnya, dan siapa yang melupakannya, ia melupakannya.(HR. Al-Bukhori no. 3192)

Hudzaifah bin Al-Yamaan rodhiyallahu ‘anhu berkata, “Rosululloh pernah berdiri di tengah kami pada suatu tempat. Beliau tidak meninggalkan satu pun perkara yang akan terjadi di tempat beliau berdiri itu hingga hari Kiamat, melainkan beliau menceritakannya. Siapa yang menghafalnya, ia menghafalnya, dan siapa yang melupakannya, ia melupakannya. Para Shohabatku ini mengetahuinya, dan sungguh akan terjadi suatu perkara yang telah aku lupakan, lalu aku melihatnya dan aku mengingatnya, sebagaimana seseorang mengingat wajah seseorang jika ia lama tidak melihatnya, kemudian jika ia melihatnya, ia pun mengenalinya.” (HR. Muslim no. 2891)

Hadits-Hadits ini dan yang lainnya menunjukkan bahwa Nabi mengajarkan kepada mereka banyak hal, dan mengabarkan kepada mereka segala sesuatu yang mereka butuhkan. Namun, mereka berbeda-beda dalam hal hafalan. Tidak diragukan bahwa para muktsirin adalah para Shohabat yang paling kuat hafalannya.

Tambahkan pula pada hal ini: kesiapan mental dan semangat untuk menerima (ilmu). Kita akan merasakannya dengan jelas dalam sabda Nabi kepada Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, ketika beliau bertanya, “Siapa orang yang paling bahagia dengan syafa’atmu di hari Kiamat?” Rosululloh bersabda kepadanya:

لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَن لا يَسْأَلَنِي عَنْ هَذَا الحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلَ مِنْكَ؛ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الحَدِيثِ، أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ مَنْ قَالَ: لَا إِلَه إِلَّا اللهُ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ - أَوْ نَفْسِهِ

 “Sungguh, aku telah menduga, wahai Abu Huroiroh, bahwa tidak ada seorang pun yang akan menanyakan Hadits ini kepadaku pertama kali selain engkau; karena aku melihat semangatmu dalam Hadits. Orang yang paling bahagia dengan syafa’atku di hari Kiamat adalah siapa yang mengucapkan: Laa ilaaha illalloh, dengan ikhlas dari hati atau jiwanya.” (HR. Al-Bukhori no. 99)

Ditambah lagi dengan perkataan Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, “Aku menemani Rosululloh selama tiga tahun. Aku belum pernah secerdas itu dalam tiga tahun, dan belum pernah ada yang lebih aku cintai selain menyimak apa yang dikatakan Rosululloh .” (HR. Ahmad no. 10106; Ibnu Sa’d, Ath-Thobaqootul Kubroo, 4/392)

Tafarrugh (mendedikasikan diri) seorang Shohabat atau tidaknya untuk mendengarkan, menghafal, dan meriwayatkan Hadits juga menjadi sebab (perbedaan jumlah riwayat). Tidak diragukan bahwa para Shohabat memiliki kesibukan duniawi mereka, baik itu pekerjaan, istri, maupun anak. Tentu saja, orang yang mendedikasikan diri untuk mendengarkan akan lebih beruntung dalam periwayatan dibandingkan orang yang disibukkan dengan hal lain. Para Shohabat menyadari hal ini, dan mereka memahami bahwa ini adalah sebab langsung dari banyaknya atau sedikitnya Hadits.

Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu—Shohabat yang paling banyak meriwayatkan Hadits—berkata, “Kalian berkata, ‘Sungguh Abu Huroiroh banyak meriwayatkan Hadits dari Rosululloh ’, dan kalian berkata, ‘Mengapa kaum Muhajirin dan Anshor tidak meriwayatkan Hadits dari Rosululloh sebanyak Hadits Abu Huroiroh?’ Sungguh saudara-saudaraku dari kalangan Muhajirin disibukkan oleh jual-beli di pasar-pasar, sedangkan aku selalu menemani Rosululloh demi mengisi perutku. Jadi, aku menyaksikan ketika mereka tidak hadir, dan aku menghafal ketika mereka lupa. Saudara-saudaraku dari kalangan Anshor disibukkan oleh pekerjaan mengurus harta mereka. Sedangkan aku adalah seorang miskin dari kalangan miskin Ahlush Shuffah, aku menyimak ketika mereka lupa. Rosululloh pernah bersabda dalam Hadits yang beliau sampaikan, ‘Sungguh, tidak ada seorang pun yang membentangkan kainnya hingga aku menyelesaikan perkataanku ini, kemudian ia mengumpulkan kainnya ke tubuhnya, melainkan ia akan menyimak apa yang aku katakan.’ Maka, aku membentangkan kain namiroh (sejenis kain bergaris) yang aku pakai, hingga Rosululloh menyelesaikan perkataan beliau. Lalu, aku mengumpulkannya ke dadaku. Setelah itu, aku tidak pernah melupakan sedikit pun dari perkataan Rosululloh itu.” (HR. Al-Bukhori no. 2047; Muslim no. 2492)

Ketika seorang laki-laki datang kepada Tholhah bin ‘Ubaidillah rodhiyallahu ‘anhu—salah seorang yang pertama masuk Islam, dan salah satu dari sepuluh yang dijamin masuk Jannah—dan berkata kepadanya, “Wahai Abu Muhammad, demi Alloh, kami tidak tahu apakah orang Yaman ini (yaitu Abu Huroiroh) lebih tahu tentang Rosululloh daripada kalian, atau kalian mengatakan tentang Rosululloh apa yang tidak beliau katakan?” Tholhah (w. 36 H) menjawab, “Demi Alloh, kami tidak ragu bahwa ia mendengar dari Rosululloh apa yang tidak kami dengar, dan ia mengetahui apa yang tidak kami ketahui. Sungguh, kami adalah kaum yang kaya, kami punya rumah dan keluarga. Kami mendatangi Nabi Alloh di dua ujung hari (pagi dan sore) kemudian kami kembali. Sedangkan Abu Huroiroh adalah orang miskin, tidak punya harta, keluarga, maupun anak. Tangannya selalu bersama tangan Nabi , dan ia mengikuti ke mana pun beliau pergi. Kami tidak ragu bahwa ia telah mengetahui apa yang tidak kami ketahui, dan mendengar apa yang tidak kami dengar. Dan tidak ada seorang pun di antara kami yang menuduhnya mengatakan atas nama Rosululloh apa yang tidak beliau katakan.” (HR. Al-Haakim, 3/511; At-Tirmidzi no. 3863)

Oleh karena itu, ketika ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha memanggilnya dan berkata kepadanya, “Wahai Abu Huroiroh, Hadits-Hadits apa ini yang sampai kepada kami bahwa engkau meriwayatkannya dari Nabi ? Apakah engkau mendengar kecuali apa yang kami dengar, dan melihat kecuali apa yang kami lihat?” Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu menjawab, “Wahai Ibunda, sungguh yang menyibukkanmu dari Rosululloh adalah cermin, celak mata, dan berhias untuk Rosululloh . Sedangkan aku, demi Alloh, tidak ada sesuatu pun yang menyibukkanku dari beliau.” (HR. Al-Haakim, 3/509; Ibnu Hajar, Al-Ishoobah, 7/358)

Wafatnya seorang Shohabat yang lebih dulu sebelum Hadits tersebar dan sebelum orang-orang bersemangat untuk mendengarnya, memperolehnya, dan menghafalnya, juga menjadi sebab (perbedaan jumlah riwayat). Mayoritas dari mereka yang wafat lebih dulu memiliki riwayat yang lebih sedikit daripada mereka yang wafatnya lebih belakangan, dan orang-orang membutuhkan ilmu yang ada pada mereka, terutama jika mereka tampil ke depan untuk menyampaikan Hadits dan fatwa.

Kesibukan sejumlah besar Shohabat dengan ibadah, Jihad fii sabiilillah, dan penaklukkan negeri dan kota, serta ketidakbolehan mereka tampil ke depan untuk menyampaikan Hadits dan fatwa, juga menjadi sebab (perbedaan jumlah riwayat). Hal ini membuat riwayat dari mereka menjadi sedikit jika dibandingkan dengan Shohabat-Shohabat lain yang selevel dengan mereka.

Ketakutan sejumlah besar Shohabat untuk menyampaikan Hadits, karena khawatir terjadi penambahan atau pengurangan dalam Hadits mereka, yang bisa memasukkan mereka ke dalam ancaman bagi orang-orang yang berdusta atas nama Nabi , juga menjadi sebab (perbedaan jumlah riwayat). Hal ini membuat mereka berhati-hati dalam menyampaikan Hadits dan sedikit dalam meriwayatkan. Anas bin Maalik rodhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh yang menghalangiku untuk banyak meriwayatkan Hadits kepada kalian adalah sabda Nabi :

مَنْ تَعَمَّدَ عَلَيَّ كَذِبًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

 ‘Siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di Naar.’” (HR. Al-Bukhori no. 108; Muslim, Muqoddimah, 1/10)

‘Abdulloh bin Az-Zubair rodhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku berkata kepada Az-Zubair (w. 36 H) rodhiyallahu ‘anhu, ‘Sungguh aku tidak pernah mendengar engkau meriwayatkan Hadits dari Rosululloh sebagaimana si Fulan dan si Fulan meriwayatkan?’ Beliau menjawab, ‘Adapun aku, sungguh aku tidak pernah berpisah dengan beliau, tetapi aku mendengar beliau bersabda:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

‘Siapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di Naar.’” (HR. Al-Bukhori no. 107)

3.6 Periwayatan Sebagian Shohabat dari Sebagian yang Lain

Salah satu masalah penting yang diabaikan oleh para pencela—terutama pada Abu Huroiroh yang masuk Islam belakangan dan meriwayatkan lebih banyak daripada para pendahulu dalam Islam—adalah bahwa masyarakat Shohabat adalah masyarakat yang terpelajar. Mereka duduk untuk menuntut ilmu, saling mengulang Hadits Nabi , dan mempelajari Al-Qur’an. Bahkan, mereka menjaga kehadiran mereka di majelis kenabian. Jika ada yang berhalangan, sebagian mereka bertanya kepada sebagian yang lain tentang ilmu yang ada di majelis tersebut. ‘Umar bin Al-Khoththob rodhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku dan tetanggaku dari kalangan Anshor... Kami bergantian datang kepada Rosululloh . Ia datang sehari, dan aku datang sehari. Jika aku datang, aku membawakannya kabar hari itu, baik berupa Wahyu maupun yang lainnya. Dan jika ia datang, ia melakukan hal yang sama.(HR. Al-Bukhori no. 89)

Abu Huroiroh dan Ibnu ‘Abbas yang datang ke Madinah pada tahun ketujuh dan kedelapan secara berurutan, serta Shohabat lain yang Islamnya belakangan, mereka meriwayatkan langsung dari Rosululloh , dan mereka juga meriwayatkan dari Shohabat lain yang bersumber dari beliau. Mayoritas riwayat Ibnu ‘Abbas adalah dari para Shohabat.

Masalah ini dikenal di kalangan muhadditsiin dengan nama Maroosiilus Shohaabah (Hadits-Hadits mursal para Shohabat). Hadits jenis ini diterima secara konsensus karena berbeda dengan Maroosiilut Taabi’iin. Apa yang di-irsal-kan (disebutkan tanpa menyebutkan Shohabat rowi) oleh seorang Shohabat, tidak diragukan lagi berasal dari Shohabat lain, dan para Shohabat semuanya ‘aadiil (terpercaya). Jadi, tidak disebutkannya nama Shohabat perantara tidaklah merugikan, berbeda dengan apa yang di-irsal-kan oleh seorang Tabi’in, yang mungkin dari Shohabat, atau mungkin dari Tabi’in yang lain.

Ibnu Qudamah (620 H) berkata, “Sungguh umat telah bersepakat untuk menerima riwayat Ibnu ‘Abbas dan yang sepertinya dari kalangan Shohabat junior, meskipun mereka banyak meriwayatkan, dan kebanyakan riwayat mereka dari Nabi adalah Maroosiil (Hadits mursal).” (Roudhotun Naazhir wa Jannatul Manaazhir, Ibnu Qudamah, 1/364)

Al-Baroo’ bin ‘Aazib rodhiyallahu ‘anhuma berkata, “Tidak semua yang kami ceritakan kepada kalian dari Rosululloh kami dengar langsung dari beliau, namun kami tidak berdusta.” (Roudhotun Naazhir wa Jannatul Manaazhir, Ibnu Qudamah, 1/364)

Ketika Anas rodhiyallahu ‘anhu meriwayatkan Hadits Asy-Syafaa’atul ‘Uzhmaa (Syafa’at Agung), seorang laki-laki berkata kepadanya, “Wahai Abu Hamzah! Apakah engkau mendengar ini dari Rosululloh ?” Wajahnya berubah dan ia merasa keberatan, lalu ia berkata, “Tidak semua yang kami ceritakan kepada kalian kami dengar langsung dari Rosululloh . Namun, sebagian kami tidak saling mendustakan sebagian yang lain.” (HR. Ibnu Abi ‘Aashim, As-Sunnah, no. 815; Ath-Thobroni, Al-Kabiir, no. 699)

3.7 Arti Penting Banyaknya Riwayat (Studi Kasus Abu Huroiroh)

Masalah banyaknya riwayat dilihat dari dua sisi. Pertama: jumlah riwayat Shohabat dari Nabi yang ditemukan dalam kitab-kitab Hadits, yang mencakup riwayat berulang karena banyaknya jalur periwayatan dari masing-masing mereka. Kedua: jumlah Hadits yang didengar oleh Shohabat tersebut dari Nabi . Sisi kedua inilah yang terus dipertanyakan oleh kaum musyakikkiin (peragu) terhadap As-Sunnah. Mereka berkata, “Mustahil Abu Huroiroh misalnya, dalam waktu kurang dari empat tahun, bisa mendengar 5.374 Hadits.” Mereka membagi jumlah Hadits dengan jumlah hari, dan seterusnya.

Ini adalah kerancuan yang mungkin disengaja oleh mereka—meskipun pada dasarnya tidak ada masalah juga di dalamnya. Karena, hasil pembagian 5.374 Hadits dengan 4 tahun berarti 4 Hadits per hari, dan ini adalah jumlah yang biasa, tidak ada berlebihan sama sekali!

Penting untuk diperhatikan masalah lain, yaitu bahwa jumlah Hadits yang dinisbatkan kepada seorang Shohabat tidak berarti jumlah Hadits yang ia dengar dari Nabi . Tetapi, itu berarti jumlah jalur periwayatan yang sampai kepada kita, dengan pengulangan yang membuatnya berlipat ganda berkali-kali. Jadi, angka yang disebutkan dalam riwayat Abu Huroiroh (5.374) mencakup—seperti yang sudah diketahui—riwayat-riwayat yang berbeda-beda untuk satu matan (teks Hadits). Jika satu matan diriwayatkan dari Abu Huroiroh oleh seratus rowi, maka itu dihitung seratus Hadits, padahal matan-nya hanya satu.


Karena banyaknya rowi dari Abu Huroiroh (800 rowi), kita dapat menjelaskan jumlah Hadits yang besar ini. Dari tabel sebelumnya, jelas terlihat adanya kesesuaian antara jumlah rowi setiap Shohabat dengan jumlah Hadits yang ia riwayatkan. Hasil ini mengungkap sisi penting dalam menjelaskan banyaknya riwayat Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu.

Masalah ini menjadi sangat jelas jika kita merenungkan perkataan Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, “Tidak ada seorang pun dari para Shohabat Nabi yang lebih banyak Haditsnya dariku, kecuali ‘Abdulloh bin ‘Amr, karena ia menulis sedangkan aku tidak menulis.” (HR. Al-Bukhori no. 113)

‘Abdulloh bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu menulis, dan Abu Huroiroh melihatnya lebih banyak Hadits darinya, tetapi beliau tidak termasuk di antara para muktsirin, karena jumlah Hadits yang beliau riwayatkan diperkirakan hanya 700 Hadits. Mayoritas sebab dari banyaknya riwayat yang telah kami sebutkan sebelumnya, terdapat pada beliau, tetapi jumlah rowinya tidak sebanyak itu.

Jumlah Hadits yang dinisbatkan kepada seorang Shohabat tidak berarti jumlah Hadits yang ia dengar dari Nabi . Tetapi, itu berarti jumlah jalur periwayatan yang sampai kepada kita, dengan pengulangan yang membuatnya berlipat ganda berkali-kali.

Ada hal penting lainnya, yaitu mendedikasikan diri untuk menyampaikan Hadits setelah wafatnya Nabi . Tidak diragukan bahwa orang yang paling banyak mendengar dari Nabi adalah Abu Bakr rodhiyallahu ‘anhu, karena beliau menemani beliau sepanjang masa Islam, baik saat mukim maupun bepergian, dan jarang sekali berpisah dengan beliau. Lalu, mengapa riwayat Abu Bakr rodhiyallahu ‘anhu dari Nabi kurang dari seratus Hadits (81 Hadits dalam Musnad Imam Ahmad), sementara riwayat Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu dari Nabi berlipat ganda dari yang diriwayatkan Abu Bakr (3.865 Hadits dalam Musnad Imam Ahmad)?!

Sebabnya di sini bukanlah karena hafalan Abu Huroiroh yang banyak dan hafalan Abu Bakr yang sedikit, melainkan karena Abu Huroiroh banyak menyampaikan Hadits dan mendedikasikan diri untuk itu, serta tampil ke depan untuk menyebarkan ilmu, dengan masa hidupnya yang panjang setelah Nabi (48 tahun). Sedangkan sedikitnya penyampaian Hadits dari Abu Bakr adalah karena kesibukannya dengan urusan umat dan khilaafah, dan singkatnya masa hidup beliau setelah Nabi (dua tahun lebih beberapa bulan).

Sudah menjadi sifat manusia bahwa setiap orang menyibukkan diri dengan pekerjaan yang ia kuasai. Ketika para muktsirin ini melihat adanya keinginan dan keunggulan pada diri mereka dalam hal pengajaran, mereka pun menyibukkan diri di dalamnya, sehingga mereka menonjol dan bersinar. Adapun para Khulafaa’ur Roosyidiin (Empat Kholifah utama) disibukkan dengan urusan mendirikan negara, yang merupakan hal paling agung. Mereka mendahulukannya di atas hal penting lainnya, yaitu pengajaran, apalagi dengan adanya orang yang dapat menggantikan posisi mereka dalam hal itu, yang paling utama adalah para muktsirin ini.

3.8 Kesalahpahaman Tambahan tentang Angka Besar

Riwayat-riwayat yang berasal dari para Shohabat muktsiriin tidak semuanya shohih. Oleh karena itu, riwayat yang dho’iif (lemah) dan sangat dho’iif seharusnya tidak dimasukkan dalam perhitungan!

Ada masalah lain yang ditambahkan oleh kesan angka-angka besar. Dalam kasus Abu Huroiroh, riwayatnya melebihi lima ribu Hadits. Siapa pun yang mendengar angka itu mungkin akan berpikir bahwa Hadits-Hadits ini tidak diriwayatkan oleh selain Abu Huroiroh. Padahal, pada kenyataannya, mayoritas Hadits-Hadits ini diriwayatkan pula oleh yang lain. Dan apa yang beliau riwayatkan secara infiirood (sendirian, tidak ada Shohabat lain yang meriwayatkannya) dari Nabi hampir tidak sebanding dengan total seluruh riwayatnya.

Satu tim peneliti (di bawah bimbingan Dr. Muhammad ‘Abduh Yamaani) menemukan bahwa riwayat Abu Huroiroh dalam sembilan kitab Hadits (termasuk Musnad Imam Ahmad, kitab Hadits terbesar yang sampai kepada kita) yang beliau riwayatkan sendirian tanpa pengulangan, dan tidak diriwayatkan oleh Shohabat lain, hanyalah 42 Hadits saja (sebagaimana diklaim oleh Dr. Muhammad ‘Abduh Yamaani dalam Maqoolah Ittaqullaha fii Abi Huroiroh).

Dr. Muhammad Thohir Al-Barzanji (pentahqiq Taariikh Ath-Thobari) berkata bahwa beliau menemukan bahwa Hadits yang diriwayatkan sendirian oleh Abu Huroiroh dari Shohabat lain hanyalah delapan Hadits saja (sebagaimana diklaim oleh Abdul Maalik Ash-Shoolih). Berapa perbandingan angka 8 dengan 5.374?! Jumlahnya tidak berarti sama sekali, kurang dari 1.5 per 1000!! Yaa Subhaanalloh, betapa banyak orang yang membahas tanpa ilmu, tanpa petunjuk, dan tanpa kitab yang jelas?!

Bab Kesimpulan

Setelah pembahasan ini, jelas bagi kita bahwa para muktsirin ini memiliki dua faktor utama yang berkontribusi pada peningkatan jumlah riwayat mereka, yaitu:

Kekuatan Menyimak (Al-Istii’aab), yang terbangun di atas tiga hal:

Selalu Menyertai dan Banyak Mendengar: Hal ini terwujud pada mereka semua, baik mendengar dari Nabi , maupun mendengar dari Shohabat lain.

Kualitas Hafalan yang Baik: Hal ini terwujud pada mereka semua, baik karena do’a Nabi untuk mereka, maupun karena usia mereka yang masih muda dan pikiran mereka yang tajam.

Semangat dalam Menuntut Ilmu: Ini adalah ciri khas mereka semua, sebagaimana telah disebutkan.

Banyaknya Riwayat dari Mereka, yang terbangun di atas tiga hal:

Banyak Mengajar Orang: Hal ini terwujud pada mereka semua, karena mereka adalah pilar dan tiang utama ilmu.

Banyaknya Rowi dari Mereka: Hal ini didasarkan pada poin sebelumnya.

Panjangnya Usia Mereka: Hal ini terwujud pada mereka semua. Yang paling sebentar hidup setelah Nabi adalah ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha, yang wafat 48 tahun setelah Nabi. Dan yang paling lama adalah Anas rodhiyallahu ‘anhu, yang hidup 83 tahun setelah Nabi , maka renungkanlah!

Dan tidak boleh dilupakan bahwa sudah menjadi sifat manusia bahwa setiap orang menyibukkan diri dengan pekerjaan yang ia kuasai. Ketika para Shohabat ini melihat adanya keinginan dan keunggulan pada diri mereka dalam hal pengajaran, mereka pun menyibukkan diri di dalamnya, sehingga mereka menonjol dan bersinar. Adapun para Khulafaa’ur Roosyidiin disibukkan dengan urusan mendirikan negara, yang merupakan hal paling agung. Mereka mendahulukannya di atas hal penting lainnya, yaitu pengajaran, apalagi dengan adanya orang yang dapat menggantikan posisi mereka dalam hal itu, yang paling utama adalah para muktsiriin ini.

Segala puji bagi Alloh, Robb semesta alam.

NB: Risalah ini saya tarjamah dari beberapa makalah ahli ilmu berbahasa Arob. Semoga Alloh menerima ini dari saya, peneliti, dan penyebarnya. [NK]


Unduh PDF dan Word

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url