[PDF] Rangkuman Lengkap Kitab Bersuci dan Haidh dari Lu’lul wal Marjan
Berikut
adalah rangkuman lengkap dari kitab “Tarjamah Kitab Bersuci dan Haidh dari Lulu
wal Marjan” yang berisi hadits-hadits muttafaqun ‘alaih (disepakati oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim).
IDENTITAS BUKU
- Judul: Tarjamah Kitab Bersuci dan Haidhh
- Sumber: Lu’lu’ wal Marjan karya Muhammad Fuad Abdul Baqi
- Pentarjamah:
Nor Kandir, ST., BA
- Penerbit: Pustaka Syabab
- Edisi: Cetakan ke-2, 1447 H – 2025 M
KITAB BERSUCI
A. Kewajiban dan Tata Cara Berwudhu
1. Wajibnya Bersuci
untuk Sholat: Allah tidak menerima Sholat seseorang yang berhadats hingga ia
berwudhu. (Hadits 134).
2. Tata Cara Wudhu
yang Sempurna: Dimulai dengan mencuci tangan, berkumur, istintsar (memasukkan
air ke hidung), membasuh wajah, tangan hingga siku, mengusap kepala, dan
membasuh kaki hingga mata kaki, masing-masing tiga kali. Wudhu seperti ini
diikuti Sholat dua rokaat
dengan khusyuk akan mengampuni dosa yang lalu. (Hadits 135, 136).
3. Kesempurnaan
Wudhu: Diperintahkan untuk membasuh anggota wudhu dengan sempurna, terutama
kaki, hingga ke tumit. Ancaman “celaka tumit dari neraka” bagi yang tidak
melakukannya. (Hadits 139, 140).
4. Keutamaan Wudhu:
Bekas wudhu akan memancarkan cahaya di hari Kiamat. Dianjurkan memanjangkan
basuhan pada anggota wudhu. (Hadits 141).
B. Sunnah-Sunnah dalam Bersuci
1. Bersiwak
(Membersihkan Gigi): Sangat dianjurkan, terutama saat akan Sholat, membaca
Al-Quran, bangun tidur, dan masuk rumah. (Hadits 142, 143, 144).
2. Fitroh (Kebersihan Diri): Lima
hal yang termasuk fitroh:
khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan
memendekkan kumis. (Hadits 145).
3. Penampilan:
Dianjurkan untuk memelihara jenggot dan memendekkan kumis. (Hadits 146, 147).
C. Adab Buang Hajat
1. Arah Kiblat:
Dilarang menghadap atau membelakangi kiblat saat buang hajat di tempat terbuka.
Namun, ada keringanan di dalam bangunan. (Hadits 148, 149, 150).
2. Larangan Tangan
Kanan: Dilarang menyentuh kemaluan atau beristinja (cebok) dengan tangan kanan.
(Hadits 151).
3. Mendahulukan yang
Kanan: Dianjurkan menggunakan anggota badan kanan untuk hal-hal baik seperti
memakai sandal, bersisir, dan bersuci. (Hadits 152).
4. Istinja dengan
Air: Nabi ﷺ biasa beristinja
dengan air setelah buang hajat. (Hadits 153, 154).
5. Doa Masuk WC: “Allohumma inni a’udzu bika minal
khubutsi wal khobaits”
(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan jantan dan betina). (Hadits
211).
D. Hukum-Hukum Khusus dalam Bersuci
1. Mengusap Khuffain
(Sepatu/Kaos Kaki): Boleh mengusap bagian atas khuffain sebagai pengganti
membasuh kaki saat wudhu, dengan syarat sudah memakainya dalam keadaan suci.
Berlaku 24 jam untuk orang mukim dan 72 jam untuk musafir. (Hadits 155, 157,
158, 159).
2. Hukum Najis:
- Jilatan Anjing: Wadah yang dijilat anjing harus dicuci
tujuh kali. (Hadits 160).
- Kencing Bayi (yang hanya minum ASI): Cukup diperciki air
tanpa perlu dicuci kuat-kuat. (Hadits 163, 164).
- Mani: Jika basah, dicuci. Jika sudah kering, cukup
dikerik. (Hadits 165).
- Darah Haidh: Dikerik, digosok dengan air, lalu diguyur.
(Hadits 166).
- Kencing: Wajib dibersihkan. Ancaman siksa bagi yang
meremehkannya. (Hadits 161, 167).
3. Larangan Lain:
Dilarang kencing di air yang tergenang dan tidak mengalir. (Hadits 161).
E. Hal-Hal Lain Terkait Bersuci
1. Kesucian Tanah:
Najis yang mengenai tanah dapat disucikan dengan hanya diguyur air. (Hadits
162).
2. Tayammum:
Diperbolehkan jika tidak ada air atau berhalangan menggunakan air, dengan
menggunakan debu yang suci. (Hadits 206).
3. Kulit Bangkai:
Menjadi suci setelah disamak. (Hadits 205).
4. Status Muslim:
Seorang Muslim tidaklah najis. (Hadits 210).
5. Keraguan dalam
Hadats: Jika ragu apakah telah berhadats, Sholat boleh dilanjutkan selama tidak
yakin atau mendengar/mencium kentut. (Hadits 204).
6. Tidur: Tidur dalam
keadaan duduk tidak membatalkan wudhu. (Hadits 212).
KITAB HAIDH
A. Hubungan Suami-Istri Saat Haidh
1. Bercumbu:
Diperbolehkan bercumbu dengan istri yang haidh di bagian tubuh selain antara
pusar dan lutut (atau selain kemaluan saja, menurut perbedaan pendapat ulama).
(Hadits 168, 169).
2. Tidur Satu
Selimut: Boleh tidur bersama dalam satu selimut. (Hadits 170).
3. Kebersamaan
Lainnya: Istri haidh boleh memandikan dan menyisir rambut suami, serta
menyendangkan kepala suami di pangkuannya. (Hadits 172, 173, 174).
B. Hukum-Hukum Junub dan Mandi Wajib
1. Mandi Wajib
(Janabah):
- Wajib bagi Wanita: Wanita yang mimpi basah dan melihat
mani, wajib mandi. (Hadits 180).
- Penyebab Mandi Wajib: Keluarnya mani atau bertemunya dua
kemaluan (meski tidak keluar mani), yang menghapus hukum sebelumnya. (Hadits
196, 197, 198, 199).
- Tata Cara Mandi: Dimulai dengan mencuci tangan, berwudhu,
menyela-nyela pangkal rambut dengan air, mengguyur kepala tiga kali, lalu
mengguyur seluruh tubuh. (Hadits 181, 182, 183).
- Kadar Air: Dianjurkan berhemat, cukup dengan satu sho’ (sekitar 3-4 liter).
(Hadits 184, 185, 186, 188).
- Kebolehan Mandi Telanjang: Boleh jika sendirian dan
tertutup dari pandangan orang lain. (Hadits 194, 195).
2. Orang Junub:
- Tidur: Boleh tidur dalam keadaan junub, namun dianjurkan
berwudhu dan mencuci kemaluan terlebih dahulu. (Hadits 176, 177, 178).
- Mandi Bersama: Suami-istri boleh mandi junub dari satu
wadah air. (Hadits 171, 179).
C. Hukum-Hukum Darah Wanita
1. Istihadhoh (Darah
Penyakit):
- Bukan haidh, sehingga wanita tetap wajib Sholat.
- Cara bersuci: mandi ketika masa haidhnya berakhir (dengan
tanda tertentu), lalu berwudhu untuk setiap waktu Sholat. (Hadits 190, 191).
2. Kewajiban Qodho:
Wanita haidh wajib mengqodho puasa yang ditinggalkan, tetapi tidak wajib mengqodho
Sholat. (Hadits 192).
3. Bersih dari Haidh:
Dianjurkan membersihkan bekas darah haidh dengan kapas yang diberi minyak misk
(wangi-wangian). (Hadits 189).
D. Hal-Hal Lain
1. Madzi (Cairan
putih yang keluar saat bergairah): Hukumnya suci dan cukup dibersihkan dengan
berwudhu. (Hadits 175).
2. Makanan yang
Dimasak dengan Api: Tidak membatalkan wudhu. (Hadits 200, 201, 202).
3. Minum Susu:
Dianjurkan berkumur setelahnya karena mengandung lemak. (Hadits 203).
CATATAN PENUTUP
Kitab ini merupakan terjemahan dari kumpulan hadits shohih yang disepakati Bukhori dan Muslim, sehingga
menjadi rujukan primer dalam masalah thoharoh
(bersuci) dan haidh. Penjelasan dalam catatan kaki (footnote) memberikan
konteks, perbedaan pendapat ulama, dan penjelasan tambahan yang sangat membantu
dalam memahami hadits-hadits tersebut.[]
