[PDF] Tarjamah Syarhus Sunnah Al-Barbahari
Unduh PDF
[1] Ketahuilah bahwa Islam adalah Sunnah, dan
Sunnah adalah Islam. Salah satu dari keduanya tidak akan tegak kecuali dengan
yang lainnya.
[2] Termasuk Sunnah adalah berpegang teguh
pada Jama’ah. Siapa yang membenci Jama’ah dan memisahkan diri darinya, maka
sungguh ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya, dan ia adalah orang
yang sesat lagi menyesatkan.
[3] Dasar agama yang dibangun di atasnya
adalah: Jama’ah, yaitu para Shohabat Muhammad ﷺ
Rohimahullah Ajma’in (Semoga Allah merohmati
mereka semua), dan mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Siapa yang tidak
mengambil (ilmu) dari mereka, maka sungguh ia telah sesat dan berbuat bid’ah,
dan setiap bid’ah adalah kesesatan, dan kesesatan serta para pelakunya (akan
masuk) Naar.
Umar bin
Al-Khoththob Rodhiyallahu ‘Anhu berkata: “Tidak ada alasan (udzur) bagi
seorang pun dalam kesesatan yang ia lakukan, meskipun ia mengira itu petunjuk;
dan tidak pula ada alasan dalam petunjuk yang ia tinggalkan meskipun ia mengira
itu kesesatan, karena segala perkara telah dijelaskan, dan hujjah telah tegak,
serta alasan telah terputus.”
Hal itu karena
Sunnah dan Jama’ah telah menyempurnakan seluruh urusan Agama, dan telah jelas
bagi manusia, maka wajib bagi manusia untuk mengikutinya.
[4] Ketahuilah – Semoga Allah merohmatimu
(Semoga Allah merohmatimu) – bahwa Agama itu hanyalah datang dari Allah Tabaroka
wa Ta’ala, tidak dibuat berdasarkan akal dan pendapat manusia. Ilmunya ada
pada Allah dan pada Rosul-Nya. Maka janganlah engkau mengikuti sesuatu
berdasarkan hawa nafsumu, sehingga engkau menyimpang dari Agama, lalu engkau
keluar dari Islam, karena tidak ada hujjah bagimu. Sungguh Rosulullah ﷺ telah
menjelaskan Sunnah kepada umatnya, dan telah menjelaskannya kepada para
Shohabatnya dan mereka adalah Al-Jama’ah, dan mereka adalah As-Sawaadul A’zhom
(golongan mayoritas), dan As-Sawaadul A’zhom adalah kebenaran dan para
pengikutnya. Siapa yang menyalahi para Shohabat Rosulullah ﷺ dalam sesuatu dari urusan Agama, maka sungguh ia telah kufur.
[5] Ketahuilah bahwa manusia tidak pernah
melakukan bid’ah sama sekali sampai mereka meninggalkan hal yang serupa dari Sunnah.
Maka berhati-hatilah dari perkara-perkara baru; karena setiap perkara baru (dalam
agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan, dan kesesatan serta
para pelakunya (akan masuk) Naar.
[6] Berhati-hatilah dari perkara-perkara baru
yang kecil; karena bid’ah yang kecil akan kembali hingga menjadi besar. Demikian
pula setiap bid’ah yang muncul di umat ini, awalnya kecil menyerupai kebenaran,
lalu orang yang masuk ke dalamnya tertipu olehnya, kemudian ia tidak mampu
keluar darinya, sehingga menjadi besar dan menjadi suatu ajaran yang dianut,
lalu menyimpang dari Shirothol Mustaqim, dan keluar dari Islam. Maka lihatlah, Semoga
Allah merohmatimu, setiap orang yang engkau dengar perkataannya dari
orang-orang pada zamanmu, khususnya, janganlah terburu-buru dan janganlah masuk
ke dalam sesuatu darinya sampai engkau bertanya dan melihat apakah para
Shohabat Rosulullah ﷺ (Rodhiyallahu
‘Anhum) atau salah seorang ulama mengatakannya?
[7] Ketahuilah bahwa penyimpangan dari jalan
ada dua macam; adapun yang pertama: adalah seseorang yang tergelincir
dari jalan, padahal ia tidak menginginkan kecuali kebaikan, maka kesalahannya
tidak boleh diikuti, karena ia binasa. yang lain adalah orang yang
menentang kebenaran dan menyalahi orang-orang yang bertakwa sebelumnya, maka ia
adalah orang yang sesat lagi menyesatkan, setan yang membangkang di umat ini. Wajib
bagi siapa pun yang mengenalnya untuk memperingatkan manusia darinya, dan
menjelaskan kisahnya kepada mereka; agar tidak ada seorang pun yang jatuh ke
dalam bid’ahnya lalu binasa.
[8] Ketahuilah, Semoga Allah merohmatimu,
bahwa Islam seorang hamba tidak akan sempurna hingga ia menjadi pengikut,
pembenar, dan Muslim. Maka siapa yang mengklaim bahwa masih ada sesuatu dari
urusan Islam yang belum dirasa cukup oleh para Shohabat Muhammad ﷺ (Rodhiyallahu ‘Anhum), maka sungguh ia telah mendustakan
mereka, dan cukuplah itu sebagai perpecahan dan celaan terhadap mereka, dan ia
adalah seorang ahli bid’ah yang sesat lagi menyesatkan, yang mengada-adakan
dalam Islam sesuatu yang bukan darinya.
[9] Ketahuilah, Semoga Allah merohmatimu,
bahwa tidak ada qiyas dalam Sunnah, dan tidak dibuat perumpamaan untuknya, dan
tidak diikuti hawa nafsu di dalamnya. Yang ada adalah pembenaran terhadap Atsar
(Hadits) Rosulullah ﷺ tanpa kaif
(bagaimana) dan tanpa perlu diperjelas, dan tidak boleh dikatakan: mengapa dan
bagaimana?
[10] Berbicara, berdebat, bertengkar, dan
beradu argumen adalah hal baru yang menanamkan keraguan di dalam hati, meskipun
pelakunya di atas kebenaran dan Sunnah.
[11] Ketahuilah – Semoga Allah merohmatimu
– bahwa berbicara tentang Dzat Robb (Allah) adalah hal baru, dan itu adalah bid’ah
dan kesesatan. Tidak boleh berbicara tentang Robb kecuali dengan apa yang Dia
sifatkan diri-Nya dalam Al-Qur’an, dan apa yang telah dijelaskan oleh
Rosulullah ﷺ kepada
para Shohabatnya. Dia – Jalla Tsanaauh – Maha Esa. “Tidak ada sesuatu
pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS.
Ash-Shuro: 11)
Robb kita adalah
Yang Awal tanpa kapan, dan Yang Akhir tanpa batas, Dia mengetahui yang rahasia
dan yang lebih tersembunyi. Dia di atas ‘Arsy-Nya, dan ilmu-Nya ada di setiap
tempat, dan tidak ada tempat yang kosong dari ilmu-Nya.
[12] Tidak boleh mengatakan tentang
Sifat-Sifat Robb: bagaimana? mengapa? Kecuali orang yang ragu terhadap Allah.
[13] Al-Qur’an adalah Kalamullah, dan yang
diturunkan dari-Nya, serta cahaya-Nya, bukan makhluk; karena Al-Qur’an berasal
dari Allah, dan apa yang berasal dari Allah bukanlah makhluk. Demikianlah yang
dikatakan oleh Malik bin Anas dan Ahmad bin Hanbal serta para Fuqoha` (ahli
fiqh) sebelum dan sesudah mereka. Berdebat tentangnya adalah kekufuran.
[14] Beriman terhadap ru’yah
pada Hari Kiamat, mereka akan melihat Allah dengan mata kepala mereka, dan Dia
akan menghisab mereka tanpa hijab dan tanpa penerjemah.
[15] Beriman terhadap Al-Mizan pada Hari Kiamat, di
mana kebaikan dan keburukan akan ditimbang. Ia memiliki dua daun timbangan dan
sebuah lidah.
[16] Beriman terhadap ‘adzab kubur, serta Munkar dan
Nakir.
[17] Beriman terhadap Haudh (telaga) Rosulullah ﷺ, dan setiap Nabi memiliki telaga, kecuali Nabi Sholih ‘Alaihis
Salam (Semoga Kesejahteraan dilimpahkan kepadanya); karena telaganya adalah
air susu untanya.
[18] Beriman terhadap Syafa’at Rosulullah ﷺ bagi orang-orang yang berdosa dan bersalah; pada Hari Kiamat,
dan di atas Shiroth (Jembatan), dan ia akan mengeluarkan mereka dari dalam Naar
Jahannam. tidak ada Nabi kecuali ia memiliki Syafa’at, demikian pula Shiddiqin
(orang-orang yang sangat benar imannya) dan para Syuhada` (orang-orang yang
mati syahid) dan Sholihin (orang-orang yang sholih). Setelah itu Allah memiliki
banyak karunia bagi siapa saja yang Dia kehendaki, dan (mereka) keluar dari Naar
setelah terbakar dan menjadi arang.
[19] Beriman terhadap Shiroth di atas Naar Jahannam. Shiroth
akan mulai ditempuh (dari awalnya) siapa saja yang Allah kehendaki, dan akan
dilewati (hingga ujungnya) oleh siapa saja yang Allah kehendaki, dan akan jatuh
ke Naar Jahannam siapa saja yang Allah kehendaki. Mereka memiliki cahaya sesuai
dengan kadar iman mereka.
[20] Beriman terhadap para Nabi dan Malaikat.
[21] Beriman bahwa Jannah itu kebenaran dan Naar itu
kebenaran, dan Jannah dan Naar adalah makhluk. Jannah berada di langit ketujuh,
dan atapnya adalah ‘Arsy. Naar berada di bawah (bumi) ketujuh yang paling
bawah. Keduanya adalah makhluk. Allah telah mengetahui jumlah penghuni Jannah
dan siapa yang akan memasukinya, dan jumlah penghuni Naar dan siapa yang akan
memasukinya. Keduanya tidak akan sirna selamanya, keduanya ada bersama
keabadian Allah Tabaroka wa Ta’ala selama-lamanya, sepanjang masa. Adam dahulu
berada di Jannah yang kekal yang telah diciptakan, lalu ia dikeluarkan darinya
setelah ia durhaka kepada Allah.
[22] Beriman terhadap Al-Masih Ad-Dajjal.
[23] Juga terhadap turunnya Isa bin Maryam. Ia
akan turun lalu membunuh Ad-Dajjal, dan menikah, dan Sholat di belakang seorang
pemimpin (Al-Mahdi) dari keluarga Muhammad ﷺ,
lalu meninggal, dan dikuburkan oleh kaum Muslimin.
[24] Beriman bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan,
dan perbuatan dan perkataan, dan niat dan iitiba (mengikuti syariat). Ia
bisa bertambah dan berkurang. Ia bertambah sesuai kehendak Allah serta
berkurang hingga tidak tersisa sedikit pun darinya.
[25] Orang terbaik dari umat ini setelah
wafatnya Nabi mereka adalah: Abu Bakr, Umar, dan Utsman (35 H). Demikianlah
diriwayatkan kepada kami dari Ibnu Umar; ia berkata: Kami biasa mengatakan,
sementara Rosulullah ﷺ berada
di antara kami: “Sesungguhnya orang terbaik setelah Rosulullah ﷺ adalah Abu Bakr, Umar, dan Utsman,” dan Nabi ﷺ mendengarnya dan tidak mengingkarinya.
Kemudian
orang-orang terbaik setelah mereka adalah: ‘Ali, Tholhah, Az-Zubair, Sa’ad, Sa’id,
dan ‘Abdurrohman bin ‘Auf, dan Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarroh. Semuanya layak untuk
menjadi Kholifah. Kemudian orang-orang terbaik setelah mereka adalah: para
Shohabat Rosulullah ﷺ (Rodhiyallahu
‘Anhum), generasi pertama tempat beliau diutus: Al-Muhaajirun Al-Awwalun
(Muhajirin pertama) dan Al-Anshor (kaum Anshor), dan mereka adalah orang-orang
yang Sholat menghadap dua Kiblat.
Kemudian
orang-orang terbaik setelah mereka adalah: orang yang bersahabat dengan
Rosulullah ﷺ sehari
atau sebulan atau setahun, kurang atau lebih. Doakan mereka dan sebutkan
keutamaan mereka dan tahan diri dari membicarakan kesalahan mereka, dan jangan
sebutkan seorang pun dari mereka kecuali dengan kebaikan, karena sabda
Rosulullah ﷺ: “Jika
para Shohabatku disebutkan, maka tahanlah (lisanmu).”
Ibnu ‘Uyainah berkata:
“Siapa yang berbicara tentang para Shohabat Rosulullah ﷺ (Rodhiyallahu ‘Anhum) dengan satu kata (buruk), maka ia
adalah pengikut hawa nafsu.”
Nabi ﷺ bersabda: “Para Shohabatku bagaikan bintang-bintang, dengan
siapa pun di antara mereka kalian ikuti, kalian akan mendapatkan petunjuk.”
[26] Sami’na wa atho’na kepada para
Imam dalam hal yang Allah sukai dan ridhoi. Siapa yang memimpin Khilafah dengan
kesepakatan umat atasnya dan keridhoan mereka kepadanya, maka ia adalah Amirul Mukminin.
Tidak halal bagi seorang pun untuk tidur semalam pun tanpa menganggap bahwa ia
memiliki Imam, baik ia pemimpin yang baik maupun jahat.
[27] Haji serta Jihad bersama Imam (penguasa) adalah
sah, dan Sholat Jum’at di belakang mereka adalah boleh, dan Sholat setelahnya
enam roka’at, dengan salam setiap dua roka’at. Demikianlah yang dikatakan oleh
Ahmad bin Hanbal.
[28] Khilafah berada pada kaum Quroisy hingga
Isa bin Maryam turun.
[29] Siapa yang memberontak terhadap seorang
Imam dari para Imam kaum Muslimin, maka ia adalah Khowarij, dan sungguh ia
telah memecah belah persatuan kaum Muslimin, dan menyalahi atsar (Hadits),
dan kematiannya adalah kematian Jahiliyah.
[30] Tidak halal memerangi Penguasa dan
memberontak kepadanya meskipun mereka zholim, dan itu adalah sabda Rosulullah ﷺ kepada Abu Dzarr: “Bersabarlah, meskipun ia seorang budak
Habasyah.”
Sabda beliau kepada
kaum Anshor: “Bersabarlah hingga kalian menemuiku di (Telaga) Haudh.”
Bukan termasuk
Sunnah memerangi Penguasa; karena di dalamnya terdapat kerusakan Agama dan
dunia.
[31] Boleh memerangi Khowarij jika mereka
mengganggu kaum Muslimin dalam jiwa, harta, dan keluarga mereka. Tidak boleh bagi
penguasa jika mereka (Khowarij) kabur untuk mengejar mereka, dan tidak boleh
menghabisi yang terluka dari mereka, dan tidak mengambil harta rampasan perang
mereka, dan tidak membunuh tawanan mereka, dan tidak mengejar yang melarikan
diri dari mereka.
[32] Ketahuilah – Semoga Allah merohmatimu
– bahwa tidak ada ketaatan kepada manusia dalam kemaksiatan kepada Allah ‘Azza
wa Jalla.
Siapa pun dari Muslimin,
tidak boleh bagi dirinya bersaksi atas siapapun pun atau seseorang bersaksi atas
dirinya karena amal baiknya maupun buruknya (bahwa ia penghuni Jannah atau Naar),
karena engkau tidak tahu bagaimana akhir hidupnya.
Cukup bagimu berharap
kebaikan baginya atau khawatir atasnya, karena engkau tidak tahu apa yang
mendahuluinya di sisi Allah ketika meninggal, seperti ia nanti menyesal (atas
dosanya), atau apa yang Allah adakan pada waktu itu jika ia meninggal dalam
Islam. Cukup bagimu berharap rohmat Allah baginya, dan engkau khawatir atas
dosa-dosanya. Tidak ada dosa kecuali
hamba memiliki kesempatan bertaubat darinya.
[33] Hukuman rajam itu kebenaran.
[34] Mengusap Khuffain adalah Sunnah.
[35] Qoshor Sholat dalam safar adalah Sunnah.
[36] Puasa dalam safar; siapa yang mau, ia
boleh berpuasa dan siapa yang mau, ia boleh berbuka.
[37] Tidak mengapa Sholat dengan Sirwal
(celana).
[38] Nifak adalah menampakkan Islam dengan
lisan dan menyembunyikan kekufuran.
[39] Ketahuilah bahwa dunia adalah negeri iman
dan Islam. Maka umat Muhammad ﷺ
di dalamnya adalah orang-orang Mukmin dan Muslim dalam hukum-hukum mereka,
warisan mereka, sembelihan mereka, dan Sholat atas mereka. Janganlah engkau
bersaksi bagi seorang pun dengan hakikat iman sampai ia datang dengan seluruh
syariat Islam. Jika ia kurang dalam sesuatu dari itu, maka ia adalah orang yang
kurang imannya sampai ia meninggal, dan ilmu tentang imannya kepada Allah Ta’ala:
sempurna imannya atau kurang imannya, kecuali apa yang tampak bagimu dari
penyia-nyiaan syariat Islam.
[40] Sholat atas orang yang meninggal dari
kalangan Ahlul Qiblah (kaum Muslimin) adalah Sunnah: baik orang yang dirajam,
pezina laki-laki, dan pezina perempuan, dan orang yang membunuh dirinya
sendiri, maupun selain mereka dari kalangan Ahlul Qiblah, pemabuk dan
selainnya, Sholat atas mereka adalah Sunnah.
[41] Kami tidak mengeluarkan seorang pun dari
Ahlul Qiblah dari Islam sampai ia menolak sebuah ayat dari Kitabullah, atau
menolak sesuatu dari atsar (Hadits) Rosulullah ﷺ, atau menyembelih untuk selain Allah, atau Sholat untuk selain
Allah. Maka jika ia melakukan sesuatu dari itu, sungguh wajib bagimu untuk
mengeluarkannya dari Islam. Jika ia tidak melakukan sesuatu dari itu, maka ia
adalah Mukmin Muslim dengan nama, bukan dengan hakikat.
Atsar (Hadits) sesuai Zhohirnya (Makna Lahiriahnya)
[42] Apapun yang engkau dengar dari atsar
(Hadits) yang akalmu tidak dapat mencernanya, seperti sabda Rosulullah ﷺ: “Hati para hamba berada di antara dua jari dari jari-jemari
Ar-Rohman (Maha Pengasih).”
Sabdanya: “Sesungguhnya
Allah Tabaroka wa Ta’ala turun ke langit dunia.”
“Dia turun pada
Hari ‘Arofah dan Hari Kiamat.”
“Naar Jahannam
akan terus diisi manusia hingga Dia meletakkan Kaki-Nya di atasnya, Jalla
Tsanaauh.”
Firman Allah Ta’ala
kepada hamba: “Jika engkau berjalan mendekatiku, Aku akan berlari kepadamu.”
Sabda beliau: “Sesungguhnya
Allah Tabaroka wa Ta’ala turun pada Hari Kiamat.”
Sabda beliau: “Sesungguhnya
Allah menciptakan Adam sesuai rupa-Nya.”
Sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya aku melihat Robbku dalam rupa yang paling indah.”
Maupun Hadits-Hadits
yang serupa ini, maka wajib bagimu untuk menyerah (tunduk), membenarkan,
menyerahkan urusan (kepada Allah), ridho, dan janganlah engkau menafsirkan
sesuatu pun dari ini dengan hawa nafsumu, karena beriman terhadap ini adalah
wajib. Maka siapa yang menafsirkan sesuatu dari ini dengan hawa nafsunya atau
menolaknya, maka ia adalah Jahmiyah.
[43] Siapa yang mengklaim bahwa ia melihat
Robbnya di dunia, maka ia adalah kafir kepada Allah.
[44] Berpikir tentang Dzat Allah Tabaroka
wa Ta’ala adalah bid’ah; karena sabda Rosulullah ﷺ: “Berpikirlah tentang makhluk dan jangan berpikir tentang Dzat Allah.”
Sesungguhnya berpikir tentang Robb akan menanamkan keraguan di dalam hati.
[45] Ketahuilah bahwa serangga, binatang buas,
dan hewan-hewan melata semuanya, seperti semut dan lalat, semuanya diperintah
Allah. Mereka tidak melakukan sesuatu pun kecuali dengan izin Allah Tabaroka
wa Ta’ala.
[46] Beriman bahwa Allah Tabaroka wa Ta’ala telah
mengetahui apa yang telah terjadi sejak awal waktu, dan apa yang belum terjadi
dari apa yang akan terjadi. Dia telah mencatatnya dan menghitungnya dengan
seksama. Siapa yang berkata: “Dia tidak mengetahui apa yang telah terjadi dan
apa yang akan terjadi,” maka sungguh ia telah kufur kepada Allah Yang Maha
Agung.
[47] Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan
dua saksi yang adil, dan mahar, baik sedikit maupun banyak. Siapa yang tidak
memiliki wali, maka Penguasa (KUA) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki
wali.
[48] Jika seorang laki-laki menceraikan
istrinya tiga kali, maka ia harom baginya, dan tidak halal baginya sampai ia
menikah dengan suami lain.
[49] Tidak halal darah seorang Muslim yang
bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan Rosul-Nya kecuali dengan salah satu dari tiga hal:
pezina setelah menikah (muhshon), atau murtad setelah beriman, atau
membunuh jiwa Mukmin (dengan tanpa haq) maka ia dibunuh (diqishos) dengannya.
Selain itu, maka darah seorang Muslim atas Muslim lainnya adalah harom
selamanya hingga Hari Kiamat.
[50] Segala sesuatu yang Allah wajibkan
atasnya kefanaan akan binasa, kecuali Jannah dan Naar, dan ‘Arsy, dan Kursi,
dan Lauhul Mahfuzh, dan Qolam (pena), dan Shuroh (bentuk/rupa). Tidak ada
sesuatu pun dari ini yang akan binasa selamanya. Kemudian Allah akan membangkitkan
makhluk sesuai dengan keadaan mereka meninggal pada Hari Kiamat, lalu Dia akan
menghisab mereka sesuai kehendak-Nya. Satu golongan di Jannah dan satu golongan
di Naar Sa’ir. Dia akan berfirman kepada seluruh makhluk lainnya (yang tidak
diciptakan untuk kekal): “Jadilah tanah!”
[51] Beriman bahwa akan terjadi Qishosh (pembalasan
keadilan) pada Hari Kiamat di antara seluruh makhluk: manusia dari kalangan
Bani Adam, hewan-hewan buas, hingga serangga kecil — bahkan semut pun akan
dibalas haknya oleh semut lain. Allah akan memberikan kepada setiap makhluk
haknya dari yang pernah menzholiminya: penduduk Jannah akan mendapatkan haknya
dari penduduk Naar, penduduk Naar pun mendapatkan haknya dari penduduk Jannah,
dan masing-masing penghuni Jannah akan dibalas haknya dari sesama mereka,
begitu pula penghuni Naar dari sesama mereka.
[52] Ikhlas dalam beramal karena Allah.
[53] Ridho terhadap takdir Allah.
[54] Sabar atas hukum Allah.
[55] Beriman terhadap apa yang difirmankan oleh Allah ‘Azza
wa Jalla.
[56] Beriman terhadap seluruh takdir Allah, baiknya
maupun buruknya, manisnya maupun pahitnya. Allah telah mengetahui apa yang akan
dilakukan oleh para hamba, dan kemana mereka akan kembali. Mereka tidak akan
keluar dari ilmu Allah, dan tidak ada di bumi maupun di langit kecuali apa yang
Allah ‘Azza wa Jalla ketahui.
[57] Engkau mengetahui bahwa apa yang
menimpamu tidak (telah ditakdirkan) akan meleset darimu, dan apa yang meleset
darimu (tidak ditakdirkan) tidak akan menimpamu.
[58] Tidak ada pencipta selain Allah.
[59] Takbir dalam Sholat Jenazah adalah empat
takbir, dan itu adalah perkataan Malik bin Anas, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Hasan
bin Sholih, Ahmad bin Hanbal, dan para Fuqoha` (ahli fiqh). Demikianlah yang
dikatakan oleh Rosulullah ﷺ.
[60] Beriman bahwa bersama setiap tetesan (hujan) ada Malaikat
yang turun dari langit hingga ia meletakkannya di tempat yang Allah ‘Azza wa
Jalla perintahkan kepadanya.
[61] Beriman bahwa Nabi ﷺ ketika berbicara kepada ahli sumur (para mayit dari musyrikin
di dalam sumur) pada Hari Badar, sesungguhnya kaum musyrikin (saat itu)
mendengar perkataannya.
[62] Beriman bahwa seseorang jika sakit, Allah akan
memberinya pahala atas penyakitnya.
[63] Syahid (orang yang mati Syahid) akan
diberi pahala oleh Allah atas kematiannya.
[64] Beriman bahwa anak-anak jika ditimpa sesuatu di
dunia ini, mereka akan merasakan sakit. Ini untuk membantah Bakr, putra saudara
perempuan ‘Abdul Waahid yang berkata: “Mereka tidak merasakan sakit,” dan ia
telah keliru.
[65] Ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun
yang masuk Jannah kecuali dengan rohmat Allah, dan Allah tidak menyiksa seorang
pun kecuali dengan dosa-dosanya, sesuai dengan kadar dosa-dosanya. Seandainya Allah
menyiksa penghuni langit dan penghuni bumi, yang baik maupun yang jahat dari
mereka, Dia akan menyiksa mereka tanpa dikatakan menzholimi mereka. Tidak boleh
dikatakan kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala: “Allah zholim.” Dikatakan menzholimi,
orang yang mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Allah Jalla Tsanaauh
adalah Pemilik penciptaan dan perintah. Ciptaan adalah ciptaan-Nya, dan negeri
adalah negeri-Nya (Naar). Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia lakukan
terhadap ciptaan-Nya, dan tidak boleh dikatakan: mengapa dan bagaimana? Tidak
ada seorang pun yang bisa intervensi antara Allah dan ciptaan-Nya.
Mencela Atsar (Hadits)
[66] Jika engkau mendengar seseorang mencela atsar
(Hadits), dan tidak menerimanya atau mengingkari sesuatu dari Hadits Rosulullah
ﷺ, maka ragukan keIslamannya;
karena ia adalah orang yang buruk perkataan dan madzhabnya, dan ia mencela
Rosulullah ﷺ dan
para Shohabatnya; karena kita mengenal Allah, Rosulullah ﷺ, Al-Qur’an, kebaikan dan keburukan, dan dunia dan Akhirat,
semuanya melalui atsar (Hadits). Al-Qur’an lebih membutuhkan Sunnah
daripada Sunnah membutuhkan Al-Qur’an.
[67] Berbicara, berdebat, bertengkar, dan
beradu argumen tentang Qodar khususnya dilarang oleh semua golongan; karena
Qodar adalah rahasia Allah, dan Robb Tabaroka wa Ta’ala melarang para
Nabi untuk berbicara tentang Qodar, dan Rosulullah ﷺ melarang pertengkaran dalam masalah Qodar, dan para ulama serta
orang-orang yang waro’ (menjaga diri dari syubhat) membencinya dan melarang
perdebatan tentang Qodar. Maka wajib bagimu untuk menyerah (tunduk), mengakui,
dan beriman, serta meyakini apa yang dikatakan oleh Rosulullah ﷺ secara umum, dan diam tentang selain itu.
[68] Beriman bahwa Rosulullah ﷺ di-Isro`-kan ke langit dan sampai ke ‘Arsy dan Allah Tabaroka
wa Ta’ala berbicara kepadanya, dan beliau masuk Jannah dan melihat Naar dan
melihat para Malaikat dan para Nabi ditampakkan kepadanya, dan beliau melihat
tirai-tirai ‘Arsy dan Kursi dan segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi
dalam keadaan terjaga, Jibril membawanya di atas Buroq hingga mengelilinginya di
langit, dan Sholat diwajibkan kepadanya pada malam itu, dan beliau kembali ke
Makkah pada malam itu, dan itu terjadi sebelum Hijroh.
[69] Ketahuilah bahwa ruh para Syuhada` (orang
yang mati Syahid) berada di dalam lampu-lampu di bawah ‘Arsy, berjalan-jalan di
Jannah, dan ruh orang-orang Mukmin berada di bawah ‘Arsy, dan ruh orang-orang
kafir dan fasik berada di Barhut, di Sijjin.
[70] Beriman bahwa mayit akan didudukkan di kuburnya,
dan ruh akan dikembalikan kepadanya sehingga Munkar dan Nakir akan bertanya
kepadanya tentang iman dan syariat-syariatnya. Ruh orang beriman dicabut tanpa
rasa sakit.
[71] Mayit mengetahui siapa yang
mengunjunginya jika ia datang, dan orang Mukmin akan merasakan kenikmatan di
kuburnya, dan orang fasik akan disiksa sesuai kehendak Allah.
[72] Ketahuilah bahwa keburukan dan kebaikan
adalah dengan Qodho` dan Qodar Allah.
[73] Beriman bahwa Allah Tabaroka wa Ta’ala adalah
Dzat yang berbicara kepada Musa bin ‘Imron pada Hari Thur (Gunung Sinai) dan
Musa mendengar Kalamullah dengan suara yang sampai ke telinganya dari-Nya,
bukan dari selain-Nya. Maka siapa yang berkata selain ini, sungguh ia telah
kufur.
[74] Akal adalah ciptaan, setiap manusia
diberi akal sesuai kehendak Allah. Mereka berbeda-beda dalam akal seperti (kecilnya
dan jauhnya) semut di langit. Setiap manusia dituntut beramal sesuai kadar akal
yang Allah berikan kepadanya. Akal itu bukanlah sesuatu yang diusahakan,
melainkan karunia dari Allah Tabaroka wa Ta’ala.
[75] Ketahuilah bahwa Allah mengunggulkan
sebagian hamba atas sebagian lainnya dalam Agama dan dunia, itu adalah keadilan
dari-Nya. Tidak boleh dikatakan: “Dia berbuat zholim atau pilih kasih.” Maka siapa
yang berkata: “Karunia Allah atas orang Mukmin dan kafir adalah sama, maka ia
adalah ahli bid’ah.” Bahkan Allah mengunggulkan orang-orang Mukmin atas
orang-orang kafir, dan orang yang taat atas orang yang maksiat, dan orang yang
terjaga (dari dosa) atas orang yang diabaikan, sebagai keadilan dari-Nya. Sementara
yang lain adalah karunia-Nya, Dia memberi siapa yang Dia kehendaki dan menahan
dari siapa yang Dia kehendaki.
[76] Tidak halal bagimu menyembunyikan nasihat
bagi kaum Muslimin, yang baik dari mereka maupun yang jahat, dalam urusan
Agama. Maka siapa yang menyembunyikan (nasihat), sungguh ia telah berkhianat
kepada kaum Muslimin, dan siapa yang berkhianat kepada kaum Muslimin, sungguh
ia telah berkhianat kepada Agama, dan siapa yang berkhianat kepada Agama,
sungguh ia telah mengkhianati Allah dan Rosul-Nya serta orang-orang Mukmin.
[77] Allah Tabaroka wa Ta’ala Maha
Mendengar lagi Maha Melihat, Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, kedua
Tangan-Nya terulur (terbentang). Sungguh Allah telah mengetahui bahwa makhluk
akan mendurhakai-Nya sebelum Dia menciptakan mereka. Ilmu-Nya meliputi mereka.
Maka ilmu-Nya tentang mereka tidak menghalangi-Nya untuk memberi mereka
petunjuk ke Islam, dan menganugerahkan Islam kepada mereka sebagai kemuliaan,
kemurahan, dan karunia dari-Nya, maka bagi-Nya segala puji.
[78] Ketahuilah bahwa kabar saat kematian ada
tiga macam; (1) dikatakan: “Bergembiralah wahai kekasih Allah dengan
keridhoan Allah dan Jannah,” dan (2) dikatakan: “Bergembiralah wahai musuh
Allah dengan kemarahan Allah dan Naar,” dan (3) dikatakan: “Bergembiralah
wahai hamba Allah dengan Jannah setelah disiksa terlebih dahulu.” Ini
adalah perkataan Ibnu ‘Abbas.
[79] Ketahuilah bahwa yang pertama kali
melihat Allah di Jannah adalah orang-orang yang cacat mata (buta), kemudian
laki-laki, kemudian perempuan, dengan mata kepala mereka, sebagaimana sabda
Rosulullah ﷺ: “Kalian
akan melihat Robb kalian sebagaimana kalian melihat bulan pada malam purnama,
kalian tidak akan berdesakan dalam melihat-Nya.” Beriman terhadap ini adalah
wajib dan mengingkarinya adalah kekufuran.
[80] Ketahuilah – Semoga Allah merohmatimu
– bahwa tidak pernah ada zindiq (orang yang menyembunyikan kekufuran), atau
kekufuran, atau keraguan, atau bid’ah, atau kesesatan, atau kebingungan dalam
Agama melainkan dari ilmu Kalam dan para pengikut ilmu Kalam, perdebatan, dan
pertengkaran. Mengherankan, bagaimana seseorang berani beradu argumen,
bertengkar, dan berdebat, padahal Allah Ta’ala berfirman: “Tidak ada
yang memperdebatkan ayat-ayat Allah kecuali orang-orang yang kafir.” (QS.
Ghoffir: 4).
Maka wajib bagimu
untuk menyerah (tunduk) dan ridho dengan atsar (Hadits) dan para
pengikut atsar (Hadits), dan menahan diri serta diam.
[81] Beriman bahwa Allah – Tabaroka wa Ta’ala – menyiksa
makhluk di Naar dengan belenggu, rantai, dan borgol. Api berada di dalam perut
mereka dan di atas mereka dan di bawah mereka. Itu karena golongan Jahmiyyah –
di antaranya Hisyam Al-Fuwaathi – berkata: “Allah hanya menyiksa di dekat Naar,”
sebagai bantahan terhadap Allah dan Rosul-Nya.
[82] Ketahuilah bahwa Sholat fardhu adalah
lima waktu, tidak ditambah dan tidak dikurangi pada waktu-waktunya, dan dalam safar
menjadi dua roka’at kecuali Maghrib. Maka siapa yang berkata: “Lebih dari lima,”
sungguh ia telah berbuat bid’ah. Siapa yang berkata: “Kurang dari lima,”
sungguh ia telah berbuat bid’ah. Allah tidak menerima Sholat fardhu sesuatu pun
darinya kecuali yang dikerjakan pada waktunya, kecuali jika karena lupa, maka
ia dimaafkan, ia melakukannya ketika ia mengingatnya, atau ia adalah musafir
maka ia boleh menjamak dua Sholat jika ia mau.
[83] Zakat adalah dari emas dan perak, kurma
dan biji-bijian serta hewan ternak, sesuai dengan apa yang dikatakan Rosulullah
ﷺ. Maka jika ia menyalurkannya
sendiri, itu boleh, dan jika ia memberikannya kepada Imam (sebagai wakilnya),
itu boleh.
[84] Ketahuilah bahwa awal masuk Islam adalah
Syahadatain bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa
Muhammad adalah hamba dan Rosul-Nya.
[85] Bahwa apa yang Allah firmankan adalah
seperti yang Dia firmankan[1],
dan tidak ada penyelisihan dari apa yang Dia firmankan[2],
dan Dia berada sesuai dengan apa yang Dia firmankan[3].
[86] Beriman terhadap seluruh syariat.
[87] Ketahuilah bahwa jual beli yang terjadi
di pasar kaum Muslimin adalah halal selama diperjualbelikan berdasarkan hukum
Kitab (Al-Qur’an), Islam, dan Sunnah, tanpa ada perubahan atau kezholiman atau
ketidakadilan atau penyimpangan dari Al-Qur’an atau penyimpangan dari ilmu
(yang shohih).
[88] Ketahuilah – Semoga Allah merohmatimu
– bahwa seorang hamba hendaknya senantiasa memiliki kasih sayang selama ia
hidup di dunia; karena ia tidak tahu bagaimana ia akan meninggal, dan bagaimana
akhir hidupnya, dan bagaimana ia akan bertemu Allah, meskipun ia telah
melakukan setiap amal kebaikan. Hendaknya orang yang berlebihan dalam dosanya
tidak memutus harapannya dari Allah Ta’ala saat kematian, dan
berprasangka baiklah kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala serta takut akan
dosa-dosa. Maka jika Allah merohmatinya, itu karena karunia, dan jika Dia menyiksanya,
itu karena dosa.
[89] Beriman bahwa Allah Tabaroka wa Ta’ala memberitahu
Nabi-Nya tentang apa yang akan terjadi di umatnya hingga Hari Kiamat.
[90] Ketahuilah bahwa Rosulullah ﷺ bersabda: “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya
di Naar kecuali satu, yaitu Al-Jama’ah.” Ditanyakan: “Wahai Rosulullah, siapa
mereka?” Beliau bersabda: “Apa yang aku berada di atasnya hari ini dan para
Shohabatku.” Demikianlah Agama hingga Khilafah Umar. Demikian pula pada zaman
Utsman (35 H). Namun ketika Utsman (35 H) terbunuh, datanglah perselisihan dan
bid’ah, dan manusia menjadi berkelompok-kelompok dan menjadi
bergolongan-golongan.
Di antara manusia
ada yang teguh di atas kebenaran pada awal perubahan, dan mengatakannya serta
menyeru manusia kepadanya, maka agama tetap lurus. Hingga pada generasi keempat
dalam Khilafah Bani Fulan, zaman berbalik dan manusia sangat berubah, dan bid’ah
menyebar luas, dan para penyeru kepada selain jalan kebenaran dan Jama’ah
semakin banyak, dan terjadi fitnah dalam sesuatu yang tidak dibicarakan oleh
Rosulullah ﷺ, maupun
para Shohabatnya. Mereka menyeru kepada perpecahan, padahal Rosulullah ﷺ melarang perpecahan, dan sebagian mereka mengkafirkan sebagian
lainnya, dan setiap orang mengajak kepada pendapatnya, dan kepada pengkafiran
orang yang menyalahinya.
Ia hendak
mengelabuhi orang-orang bodoh, orang awam, dan orang yang tidak berilmu, dan
mereka mengiming-imingi manusia dengan sesuatu dari urusan dunia dan
menakut-nakuti mereka dengan azab dunia. Maka makhluk mengikuti mereka karena
takut (terhadap) dunia mereka atau tamak (terhadap) dunia mereka. Maka Sunnah
dan para pengikutnya menjadi tersembunyi, dan bid’ah muncul dan menyebar, dan
mereka menjadi kafir dari arah yang tidak mereka ketahui dari berbagai sisi,
dan mereka membuat Qiyas, dan mereka mengukur kemampuan Robb dalam
ayat-ayat-Nya, hukum-hukum-Nya, perintah-Nya, dan larangan-Nya dengan akal dan
pendapat mereka. Maka apa yang sesuai dengan akal mereka, mereka terima, dan
apa yang tidak sesuai dengan akal mereka, mereka tolak. Maka Islam menjadi
asing, dan Sunnah menjadi asing, dan Ahlus Sunnah menjadi asing di dalam
(negeri) mereka sendiri.
[91] Ketahuilah bahwa mut‘ah (kawin
kontrak) — yaitu mut‘ah dengan perempuan — dan menjadikannya halal (istihlal)
adalah harom hingga Hari Kiamat.
[92] Kenalilah keutamaan Bani Hasyim; karena
kekerabatan mereka dengan Rosulullah ﷺ.
Kenalilah keutamaan Quroisy dan Arob serta seluruh kabilahnya. Maka kenalilah
kedudukan mereka dan hak-hak mereka dalam Islam, dan bekas budak suatu kaum
adalah bagian dari mereka. Kenalilah hak seluruh manusia dalam Islam dan
kenalilah keutamaan Anshor, dan wasiat Rosulullah ﷺ tentang mereka dan keluarga Rosulullah. Jangan lupakan mereka,
kenalilah keutamaan mereka, dan tetangganya dari penduduk Madinah, maka
kenalilah keutamaan mereka.
[93] Ketahuilah – Semoga Allah merohmatimu
– bahwa para ulama senantiasa membantah perkataan Jahmiyyah hingga pada masa
Khilafah Bani Fulan, orang-orang bodoh (ruwaibidhoh) berbicara dalam
urusan publik, dan mencela atsar (Hadits) Rosulullah ﷺ, dan mengambil Qiyas dan pendapat, serta mengkafirkan orang
yang menyalahi mereka. Maka orang yang bodoh, orang yang lalai, dan orang yang
tidak berilmu masuk ke dalam perangkap mereka, sehingga mereka menjadi kafir
dari arah yang tidak mereka ketahui.
Umat binasa dari
berbagai sisi, dan menjadi kafir dari berbagai sisi, dan menjadi Zindiq dari
berbagai sisi, dan sesat dari berbagai sisi, dan terpecah belah serta berbuat
bid’ah dari berbagai sisi, kecuali orang yang teguh di atas perkataan
Rosulullah ﷺ dan
perintahnya serta perintah para Shohabatnya, dan tidak menyalahkan seorang pun
dari mereka, dan tidak melampaui perintah mereka, dan merasa cukup dengan apa
yang mereka rasa cukup, dan tidak berpaling dari jalan dan madzhab mereka, dan
mengetahui bahwa mereka berada di atas Islam yang shohih dan iman yang shohih,
lalu ia mengikuti mereka dalam agamanya dan merasa tenang. Ia mengetahui bahwa
Agama hanyalah dengan mengikuti, yaitu mengikuti para Shohabat Muhammad ﷺ (Rodhiyallahu ‘Anhum).
[94] Ketahuilah bahwa siapa yang berkata: lafazhku
dengan Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ah. Siapa yang
diam maupun berkata ia makhluk atau tidak makhluk, maka ia
adalah Jahmiyah. Demikianlah yang dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal.
Rosulullah ﷺ bersabda: “Siapa di antara kalian yang hidup setelahku, maka ia
akan melihat perselisihan yang banyak, maka jauhilah perkara-perkara baru,
karena itu adalah kesesatan. Wajib atas kalian berpegang pada Sunnahku, dan
Sunnah Khulafa` Rosyidin Al-Mahdiyyin (para Kholifah yang mendapat petunjuk),
dan gigitlah ia dengan gigi geraham.”
[95] Ketahuilah bahwa kehancuran Jahmiyyah
datang karena mereka berpikir tentang Robb, lalu mereka memasukkan mengapa
dan bagaimana, dan mereka meninggalkan atsar (Hadits), dan mereka
membuat Qiyas, dan mereka mengukur Agama dengan pendapat mereka, sehingga
mereka datang dengan kekufuran yang nyata. Tidak tersembunyi bahwa itu adalah
kekufuran, dan mereka mengkafirkan makhluk dan keadaan memaksa mereka hingga
mereka berkata tentang penafian sifat-sifat Allah. Sebagian ulama – di
antaranya Ahmad bin Hanbal Rodhiyallahu ‘Anhu – berkata: Jahmiyah adalah
kafir, bukan dari Ahlul Qiblah (kaum Muslimin), darahnya halal, tidak mewarisi
dan tidak diwarisi; karena ia berkata: tidak ada Jum’at dan tidak ada Jama’ah,
dan tidak ada dua Hari Raya, dan tidak ada Shodaqoh (Zakat). Mereka berkata:
sesungguhnya siapa yang tidak berkata: Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia
adalah kafir, dan mereka menghalalkan pedang atas umat Muhammad ﷺ, dan mereka menyalahi orang-orang sebelum mereka, dan mereka
menguji manusia dengan sesuatu yang tidak dibicarakan oleh Rosulullah ﷺ, dan tidak seorang pun dari para Shohabatnya. Mereka ingin
mengabaikan Masjid dan Jama’ah, dan mereka melemahkan Islam, dan mereka
mengabaikan Jihad, dan mereka berbuat perpecahan, dan mereka menyalahi atsar
(Hadits), dan mereka berbicara dengan yang telah mansukh (dihapus
hukumnya), dan mereka berhujjah dengan yang mutasyabih (samar maknanya),
maka mereka menjadikan manusia ragu dalam pendapat dan Agama mereka, dan mereka
bertengkar tentang Robb mereka, dan mereka berkata: tidak ada azab kubur,
dan tidak ada telaga (Haudh) dan tidak ada Syafa’at, dan Jannah dan Naar belum
diciptakan, dan mereka mengingkari banyak dari apa yang dikatakan
Rosulullah ﷺ. Maka
orang yang membolehkan mengkafirkan mereka dan darah mereka dari sisi ini, (ia
benar); karena siapa yang menolak satu ayat dari Kitabullah, sungguh ia telah
menolak seluruh Kitab. Siapa yang menolak satu atsar (Hadits) dari
Rosulullah ﷺ,
sungguh ia telah menolak seluruh atsar (Hadits), dan ia telah kafir
kepada Allah Yang Maha Agung.
Mereka bertahan
dalam waktu yang lama, karena mendapatkan bantuan dari Penguasa untuk itu, dan
mereka menggunakan pedang dan cambuk untuk melawan kelompok di luar mereka.
Maka ilmu Sunnah dan Jama’ah menjadi terlupakan, dan keduanya melemah, dan
menjadi tersembunyi; karena munculnya bid’ah dan pembicaraan tentangnya dan
karena banyaknya mereka. Mereka membuat majelis-majelis, dan menampakkan
pendapat mereka, dan menyusun kitab-kitab di dalamnya, dan mengiming-imingi
manusia, dan mencari muka ke penguasa, maka terjadilah fitnah yang besar, tidak
ada yang selamat darinya kecuali orang yang dilindungi oleh Allah.
Minimal yang
menimpa seseorang dari bergaul dengan mereka adalah ia akan ragu dalam
agamanya, atau mengikut mereka, atau mengklaim bahwa mereka berada di atas
kebenaran, dan ia tidak tahu apakah ia di atas kebenaran atau kebatilan, maka
ia menjadi ragu, lalu makhluk binasa, hingga pada masa Ja’far – yang disebut
Al-Mutawakkil – maka Allah memadamkan bid’ah dengannya, dan menampakkan
kebenaran dengannya, dan menampakkan Ahlus Sunnah dengannya, dan lisan mereka
menjadi panjang (lantang), meskipun sedikit jumlah mereka dan banyak ahli bid’ah
hingga hari ini.
Akan tetapi bekas-bekas
serta tanda-tanda kesesatan masih diamalkan beberapa orang, dan mereka menyeru
kepadanya, tidak ada penghalang yang menghalangi mereka, dan tidak ada seorang
pun yang mencegah mereka dari apa yang mereka katakan dan lakukan.
[96] Ketahuilah bahwa tidak pernah ada bid’ah
sama sekali melainkan dari orang-orang awam yang bodoh, pengikut setiap penyeru
yang cenderung mengikuti setiap angin. Maka siapa yang seperti ini, tidak ada
Agama baginya. Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: “Maka mereka tidak
berselisih kecuali setelah datang kepada mereka ilmu, karena kedengkian di
antara mereka.” (QS. Al-Jaatsiyah: 17).
Dia berfirman: “Mereka
tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu, karena
kedengkian di antara mereka.” (QS. Asy-Syuro: 14).
Dia berfirman: “Tidaklah
berselisih tentangnya kecuali orang-orang yang diberi Kitab sesudah datang
kepada mereka keterangan-keterangan, karena kedengkian di antara mereka.” (QS.
Al-Baqoroh: 213).
Mereka adalah
ulama-ulama jahat, para pencari dunia dan ahli bid’ah.
[97] Ketahuilah bahwa ada manusia yang akan
senantiasa berada dalam sekelompok Ahlul Haq (pengikut kebenaran) dan Sunnah.
Allah memberi mereka petunjuk dan menjadikan mereka menebar petunjuk kepada
orang lain, dan dengan mereka menghidupkan Sunnah. Maka merekalah orang-orang
yang Allah bicarakan, meskipun sedikit jumlah mereka saat terjadi perselisihan.
Allah berfirman: “Orang-orang
yang diberi Kitab sesudah datang kepada mereka keterangan-keterangan, karena
kedengkian di antara mereka.” (QS. Al-Baqoroh: 213)
Lalu Dia
mengecualikan mereka dengan firman-Nya: “Maka Allah memberi petunjuk kepada
orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang apa yang mereka perselisihkan
dengan izin-Nya. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke
jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqoroh: 213).
Rosulullah ﷺ bersabda: “Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menampakkan
kebenaran, tidak akan membahayakan mereka orang yang memusuhi mereka hingga
datang perintah Allah.”
[98] Ketahuilah – Semoga Allah merohmatimu
– bahwa ilmu bukanlah dengan banyaknya riwayat dan kitab, sesungguhnya orang
yang berilmu adalah orang yang mengikuti ilmu dan Sunnah, meskipun sedikit
ilmunya dan kitabnya. Siapa yang menyalahi Kitab (Al-Qur’an) dan Sunnah, maka ia
adalah ahli bid’ah, meskipun banyak ilmu dan kitabnya.
[99] Ketahuilah – Semoga Allah merohmatimu
– bahwa siapa yang berbicara tentang Agama Allah dengan pendapatnya, Qiyasnya,
dan tafsirnya tanpa hujjah dari Sunnah dan Jama’ah, maka sungguh ia telah
berkata tentang Allah tanpa ilmu. Siapa yang berkata tentang Allah tanpa ilmu,
maka ia termasuk orang-orang yang membebani diri. Kebenaran adalah apa yang
datang dari sisi Allah, dan Sunnah adalah Sunnah Rosulullah ﷺ, dan Jama’ah adalah apa yang disepakati oleh para Shohabat
Rosulullah ﷺ (Rodhiyallahu
‘Anhum) dalam Khilafah Abu Bakr, Umar, dan Utsman (35 H).
Siapa yang
membatasi diri pada Sunnah Rosulullah ﷺ,
dan apa yang dianut oleh para Shohabatnya serta Jama’ah, maka ia akan
mengalahkan seluruh ahli bid’ah, dan badannya akan merasa tenang dan agamanya
akan selamat in syaa Allah; karena Rosulullah ﷺ bersabda: “Umatku akan terpecah belah.” Rosulullah ﷺ menjelaskan kepada kita siapa yang selamat dari mereka, lalu
beliau bersabda: “Apa yang aku berada di atasnya hari ini dan para Shohabatku.”
Maka inilah penyembuh dan penjelasan serta perkara yang jelas dan mercusuar
yang bercahaya.
Rosulullah ﷺ bersabda: “Jauhilah berlebih-lebihan, dan jauhilah membebani
diri, dan wajib bagi kalian mengikuti Agama kalian yang lama (Atiq).”
[100] Ketahuilah bahwa agama yang lama (Atiq)
adalah apa yang ada sejak wafatnya Rosulullah ﷺ
hingga terbunuhnya Uthman bin ‘Affan (35 H). Pembunuhannya adalah awal
perpecahan, dan awal perselisihan. Maka umat saling berperang dan berpecah
belah serta mengikuti ketamakan dan hawa nafsu serta kecenderungan terhadap
dunia.
Maka tidak ada
alasan bagi siapa pun untuk melakukan perkara baru dalam agama yang tidak
pernah dilakukan oleh para Shohabat Muhammad ﷺ
(Rodhiyallahu ‘Anhum). Demikian pula, siapa saja yang menyeru kepada
sesuatu yang diada-adakan — baik berasal dari dirinya sendiri atau meneruskan
dari ahli bid’ah sebelum dia — maka ia dihukumi seperti orang yang pertama kali
mengada-adakannya.
Siapa yang
membuat klaim seperti itu atau membenarkannya, berarti ia telah menolak Sunnah,
menyelisihi kebenaran dan Jama’ah, serta menghalalkan bid’ah. Ia bahkan lebih
berbahaya bagi umat ini daripada Iblis.
Sebaliknya, siapa
yang menyadari apa saja yang ditinggalkan oleh ahli bid’ah dari Sunnah, dan
memahami bagaimana mereka memecah belah agama ini, lalu ia tetap teguh
berpegang pada Sunnah tersebut — maka dialah pengikut Sunnah sejati, pengikut
Jama’ah, orang yang pantas untuk diikuti, dibantu, dijaga, dan dia termasuk di
antara orang-orang yang telah diwasiatkan oleh Rosulullah ﷺ.
[101] Ketahuilah – Rohimakumullah
(Semoga Allah merohmati kalian) – bahwa pokok-pokok bid’ah ada empat pintu,
dari empat ini bercabang 72 hawa nafsu, kemudian setiap bid’ah akan (bercabang)
hingga menjadi 2800, dan semuanya sesat, dan semuanya di Naar kecuali satu,
yaitu orang yang beriman terhadap apa yang ada di dalam kitab ini, dan
meyakininya tanpa keraguan di dalam hatinya, dan tanpa keraguan, maka ia adalah
pengikut Sunnah, dan ia adalah orang yang selamat in syaa Allah.
[102] Ketahuilah — semoga Allah merahmatimu
— seandainya manusia mencukupkan diri pada bid’ah dengan berhenti di situ saja,
tidak melampauinya, tidak membuat-buat pembahasan dalam hal yang tidak ada atsar
(dalil) dari Rosulullah ﷺ
maupun dari para Shohabatnya (Rodhiyallahu ‘Anhum), niscaya bid’ah itu
tidak akan pernah muncul.
[103] Ketahuilah — semoga Allah merohmatimu
— bahwa tidak ada yang menghalangi seorang hamba untuk tetap menjadi seorang
Mukmin, kecuali jika ia berubah menjadi kafir. Dan itu tidak terjadi kecuali
bila ia mengingkari sesuatu dari apa yang telah Allah turunkan, atau
menambah-nambahkan dalam firman Allah, atau menguranginya, atau mengingkari
sesuatu dari apa yang Allah firmankan, atau sesuatu dari apa yang disampaikan
oleh Rosulullah ﷺ.
Maka bertakwalah
kepada Allah — semoga Allah merohmatimu — dan perhatikan baik-baik
keadaan dirimu. Jauhilah sikap berlebih-lebihan dalam agama, karena sikap
seperti itu sama sekali bukan bagian dari jalan kebenaran.
[104] Segala hal yang telah aku sampaikan
kepadamu dalam kitab ini bersumber dari Allah, dari Rosulullah ﷺ, dari para Shohabatnya, dari para Tabi'in, dan dari generasi
ketiga hingga keempat setelah mereka. Maka bertakwalah kepada Allah, wahai
hamba Allah. Wajib bagimu untuk membenarkan, menerima, dan menyerahkan diri
sepenuhnya serta ridho terhadap apa yang ada dalam kitab ini.
Janganlah engkau
sembunyikan isi kitab ini dari siapa pun di antara kaum Muslimin, karena boleh
jadi — dengan sebabnya — Allah memberi petunjuk kepada orang yang sedang
bingung agar keluar dari kebingungannya, atau membebaskan pelaku bid’ah dari
bid’ahnya, atau menyelamatkan orang yang sesat dari kesesatannya, sehingga ia
pun beroleh keselamatan karenanya.
Maka bertakwalah
kepada Allah. Peganglah teguh ajaran pertama yang asli, yaitu yang telah aku
uraikan kepadamu dalam kitab ini. Semoga Allah merohmati seorang hamba—juga
kedua orang tuanya—yang membaca kitab ini, menyebarkannya, mengamalkannya,
menyeru kepadanya, dan menjadikannya sebagai hujjah (pedoman). Karena
sesungguhnya inilah agama Allah dan agama Rosulullah ﷺ.
Siapa mengaku
mengikuti sesuatu yang menyelisihi isi kitab ini, maka dia tidak sedang
beragama kepada Allah dengan agama yang benar, bahkan dia telah menolak
seluruhnya. Sebagaimana jika ada seorang hamba yang beriman kepada seluruh apa
yang difirmankan Allah Ta‘ala, tetapi ia ragu terhadap satu huruf saja,
maka sungguh ia telah menolak semua yang difirmankan Allah Ta‘ala. Ia
telah menjadi kafir.
Sebagaimana
persaksian ‘Lā ilāha illallāh’ (tidak ada yang berhak disembah selain
Allah) tidak akan diterima dari seseorang kecuali dengan niat yang jujur dan
keyakinan yang tulus, maka demikian pula Allah tidak akan menerima sedikit pun
dari Sunnah jika seseorang meninggalkan sebagian darinya. Siapa meninggalkan
sebagian dari Sunnah, maka berarti ia telah meninggalkan seluruh Sunnah.
Maka tugasmu
adalah menerima (kebenaran), dan tinggalkan perdebatan dan sikap keras kepala,
karena itu semua bukan bagian dari agama Allah sedikit pun. Terlebih zamanmu
ini adalah zaman yang buruk. Maka bertakwalah kepada Allah.
[105] Jika terjadi Fitnah, maka tetaplah di
dalam rumahmu, dan larilah dari lingkungan Fitnah, dan jauhilah fanatisme. Setiap
peperangan di antara kaum Muslimin demi dunia adalah Fitnah. Maka bertakwalah
kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan janganlah engkau keluar menuju
kepadanya, dan janganlah engkau terlibat berperang di dalamnya, dan janganlah
engkau mengikuti hawa nafsu, dan janganlah engkau berpihak, dan janganlah
engkau condong, dan janganlah engkau menyukai sesuatu dari urusan mereka,
karena dikatakan: “Siapa yang menyukai perbuatan suatu kaum – baik kebaikan
maupun keburukan – maka ia seperti orang yang melakukannya.”
Semoga Allah
memberi kami dan kalian taufik untuk keridhoan-Nya, dan menjauhkan kami dan
kalian dari kemaksiatan kepada-Nya.
[106] Kurangi melihat bintang-bintang kecuali
untuk membantu mengetahui waktu-waktu Sholat, dan sibuklah dengan selain itu,
karena itu mengarahkan kepada Zindiq.
[107] Jauhilah melihat ilmu kalam dan duduk
bersama para pengikut ilmu kalam. Wajib bagimu untuk mengikuti atsar (Hadits),
dan para pengikut atsar (Hadits), dan kepada merekalah engkau bertanya,
dan bersama merekalah engkau duduk, dan dari merekalah engkau mengambil ilmu.
[108] Ketahuilah, tidak ada sesuatu pun yang
lebih agung dalam beribadah kepada Allah dibandingkan dengan rasa takut
kepada-Nya. Jalan menuju ibadah itu adalah dengan rasa takut, kesedihan, belas
kasih, dan rasa malu kepada Allah Tabaroka wa Ta'ala.
[109] Berhati-hatilah duduk bersama orang yang
menyeru kepada kerinduan dan cinta (yang tidak sesuai syariat), dan orang yang
berduaan dengan wanita dan jalan madzhab (yang sesat), karena mereka semua
berada dalam kesesatan.
[110] Ketahuilah – Semoga Allah merohmatimu
– bahwa Allah – Tabaroka wa Ta’ala – telah menyeru seluruh makhluk untuk
menyembah-Nya, dan setelah itu mengaruniakan Islam kepada siapa yang Dia
kehendaki sebagai karunia dari-Nya.
[111] Tahanlah diri dari (membicarakan) perang ‘Ali,
Mu’awiyah, ‘Aisyah, Tholhah, Az-Zubair, dan orang-orang yang bersama mereka. Janganlah
engkau berdebat tentang mereka. Urusan mereka diserahkan kepada Allah Tabaroka
wa Ta’ala. Karena Rosulullah ﷺ
bersabda: “Jauhilah (membicarakan) para Shohabatku, iparku, dan menantuku.” Juga
bersabda: “Sesungguhnya Allah Tabaroka wa Ta’ala melihat Ahlul Badr
(peserta perang Badar) lalu berfirman: ‘Lakukanlah apa yang kalian kehendaki, sesungguhnya
Aku telah mengampuni kalian’.”
[112] Ketahuilah – Semoga Allah merohmatimu
– bahwa harta seorang Muslim tidak halal kecuali dengan kerelaan jiwanya. Jika seseorang
memiliki harta harom, maka ia menanggungnya. Tidak halal bagi seorang pun untuk
mengambil sesuatu darinya kecuali dengan izinnya, karena bisa jadi ia bertaubat
lalu ingin mengembalikannya kepada pemiliknya, tetapi engkau mengambilnya
secara harom.
[113] Secara umum, setiap penghasilan itu halal
selama tampak jelas kehalalannya. Maka ia dianggap mubah (boleh), kecuali jika
tampak dengan nyata adanya unsur haram di dalamnya. Kalaupun ternyata
penghasilan itu tidak sepenuhnya bersih, tetap boleh diambil sekadar mencukupi
kebutuhan jiwa — jangan sampai engkau berkata, “Aku tinggalkan semua usaha
mencari nafkah dan hanya ambil apa yang orang berikan padaku.” Ini bukanlah
sikap yang diambil oleh para Shohabat maupun para ulama dari masa mereka hingga
zaman kita ini. Umar bin Al-Khottob Rodhiyallahu ‘Anhu pernah berkata: “Penghasilan
yang ada sedikit kehinaan (karena harus bekerja kasar, atau tidak dianggap
mulia) itu lebih baik daripada menggantungkan kebutuhan kepada orang lain.”
[114] Sholat lima waktu, engkau boleh bermakmum
kepada siapa pun, kecuali jika ia seorang Jahmiyah, karena ia adalah mu’atthil
(penafian sifat-sifat Allah). Jika engkau terlanjur Sholat di belakangnya, maka
ulangi Sholatmu. Jika imammu pada Hari Jum’at adalah Jahmiyah, dan ia adalah Penguasa,
maka Sholatlah di belakangnya, tetapi nanti ulangi Sholatmu. Jika imammu dari Penguasa
maupun selainnya adalah seorang pengikut Sunnah, maka Sholatlah di belakangnya
dan jangan ulangi Sholatmu.
[115] Berimanlah
bahwa Abu Bakr dan Umar dikubur
di kamar ‘Aisyah bersama Rosulullah ﷺ,
sungguh mereka dikuburkan di sana bersama beliau. Maka jika engkau mendatangi
kuburan, mengucapkan salam kepada keduanya adalah wajib setelah (mengucapkan
salam kepada) Rosulullah ﷺ.
[116] Perintah untuk mengajak kepada kebaikan
dan mencegah kemungkaran adalah kewajiban. Namun, dikecualikan jika engkau
khawatir akan disakiti — baik dengan pedangnya (kekerasan besar) atau dengan
tongkatnya (kekerasan ringan).
[117] Ucapkan salam kepada seluruh hamba Allah.
[118] Siapa yang meninggalkan Sholat Jum’at dan
Jama’ah di Masjid tanpa udzur, maka ia adalah ahli bid’ah. Contoh udzur seperti
sakit yang menjadikannya tidak mampu keluar ke Masjid, atau rasa takut dari kejahatan
Penguasa yang zholim. Selain itu, maka tidak ada udzur baginya.
[119] Siapa yang Sholat di belakang seorang imam
namun tidak mengikutinya, maka tidak sah Sholatnya.
[120] Lakukan Amar ma’ruf nahi munkar dengan
tangan, lisan, dan hati, tanpa pedang.
[121] Seorang Muslim yang mastur
(terjaga kehormatannya) adalah orang yang tidak tampak padanya tanda-tanda
kecurigaan (dalam agama atau akhlaknya).
[122] Setiap ilmu batin yang diklaim oleh seseorang,
yang tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka itu adalah bid’ah dan
kesesatan. Tidak sepatutnya bagi seorang pun untuk mengamalkannya, dan tidak
pula menyeru kepadanya.
[123] Wanita mana pun yang menyerahkan dirinya
kepada seorang laki-laki (nikah tanpa wali), maka ia tidak halal baginya.
Keduanya akan dihukum jika ia melakukan sesuatu dengannya (hukuman intim). Pernikahan
yang sah jika ada wali dan dua saksi yang adil serta mahar.
[124] Jika engkau melihat seseorang mencela
salah satu dari para Shohabat Rosulullah ﷺ,
maka ketahuilah bahwa dia adalah orang yang rusak lisannya dan sesat hawa
nafsunya. Karena Rosulullah ﷺ
telah bersabda: “Jika disebutkan para Shohabatku, maka tahanlah (lidah
kalian).”
Rosulullah ﷺ mengetahui bahwa akan terjadi kekeliruan atau kesalahan dari
sebagian Shohabat setelah beliau wafat. Namun meskipun begitu, beliau tidak
pernah mengatakan kecuali yang baik tentang mereka.
Beliau juga
bersabda: “Biarkanlah para Shohabatku. Jangan kalian berkata tentang mereka
kecuali yang baik.”
Maka jangan
engkau membicarakan sedikit pun dari kekeliruan mereka, atau peperangan yang
pernah terjadi di antara mereka, atau perkara yang engkau tidak memiliki
ilmunya.
Jangan pula
mendengarkan orang yang membicarakan hal-hal tersebut, karena jika engkau
mendengarnya, niscaya hatimu tidak akan selamat — ia akan ternodai oleh
prasangka dan keraguan.
Mencela Atsar (Hadits)
[125] Jika engkau mendengar seseorang mencela atsar
(Hadits), menolaknya, atau memilih selainnya, maka ragukan keislamannya. Janganlah
engkau ragu bahwa ia adalah ahli hawa nafsu yang berbuat bid’ah.
[126] Ketahuilah — kezholiman seorang penguasa
tidaklah mengurangi kewajiban-kewajiban yang telah Allah ‘Azza wa Jalla
tetapkan melalui lisan Nabi-Nya ﷺ.
Kezholimannya adalah tanggung jawab atas dirinya sendiri.
Sementara
ketaatanmu, ibadahmu, dan kebaikan yang kau lakukan bersamanya tetap sempurna
dan berpahala untukmu, in syaa Allah.
Yang dimaksud
adalah: Sholat berjamaah dan Sholat Jum’at bersama mereka, berjihad bersama
mereka, dan semua bentuk ketaatan lainnya.
Maka tetaplah
ikut dalam kebaikan itu — karena niatmu adalah untuk Allah, bukan karena
mereka.
[127] Jika engkau melihat seseorang mendoakan
keburukan untuk penguasa, maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa nafsu. Jika
engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan untuk penguasa, maka ketahuilah
bahwa ia adalah pengikut Sunnah in syaa Allah.
Hal ini seperti
perkataan Fudhoil: “Seandainya aku memiliki satu doa yang mustajab, aku akan
panjatkan hanya untuk penguasa.”
Ahmad bin Kaamil mengabarkan
kepadaku: Husain bin Muhammad Ath-Thobari menceritakan kepada kami, Mardawaih
Ash-Sho`igh menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku mendengar Fudhoil
berkata: “Seandainya aku memiliki satu doa yang mustajab, aku akan tujukan itu
hanya untuk penguasa.” Ditanyakan kepadanya: “Wahai Abu ‘Ali, jelaskanlah
kepada kami ini.” Ia berkata: “Jika aku panjatkan doa itu untuk diriku sendiri,
manfaatnya terbatas untukku saja. Jika aku panjatkan doa itu untuk penguasa
hingga ia menjadi baik, maka dengan kebaikannya itu manusia dan negeri akan
menjadi baik.”
Maka kita hanya
diperintah agama untuk mendoakan kebaikan bagi mereka, dan tidak diperintah
untuk mendoakan keburukan atas mereka meskipun mereka berbuat zholim dan tidak
adil, karena kezholiman dan ketidakadilan mereka hanya membahayakan diri mereka
sendiri, tetapi kebaikan mereka adalah untuk diri mereka sendiri dan untuk kaum
Muslimin.
Janganlah Menyebut Istri-Istri Nabi ﷺ kecuali dengan Kebaikan
[128] Janganlah engkau menyebut seorang pun
dari Ibu-ibu Mukminin (istri-istri Nabi ﷺ) kecuali dengan kebaikan.
[129] Jika engkau melihat seseorang menjaga Sholat
fardhu dalam Jama’ah bersama penguasa maupun selainnya, maka ketahuilah bahwa
ia adalah pengikut Sunnah in syaa Allah. Jika engkau melihat seseorang
meremehkan Sholat fardhu berjama’ah, meskipun ia bersama penguasa, maka ketahuilah
bahwa ia adalah pengikut hawa nafsu.
[130] Sesuatu itu halal jika engkau
menyaksikannya sendiri lalu bersumpah bahwa ia memang halal. Begitu pula dengan
yang harom. Sedangkan sesuatu yang membuat hatimu ragu dan terasa mengganjal
dalam dadamu, maka itu adalah perkara yang syubhat (meragukan).
[131] Orang yang tertutupi aibnya adalah yang
masih nampak kehormatannya terjaga. Sedangkan orang yang terbuka aibnya adalah
yang telah jelas kerusakan dan kehinaannya.
[132] Jika kamu mendengar seseorang berkata
tentang orang lain, “Dia itu musyabbih (yang menyerupakan Allah dengan
makhluk),” maka ketahuilah, orang itu adalah seorang Rofidhoh.
Jika kamu dengar
orang berkata, “Coba jelaskan tauhid padaku!” Maka ketahuilah, dia adalah
seorang Khowarij atau Mu’tazilah.
Jika ia
menyebut-nyebut tentang jabr (manusia dipaksa Allah dalam berbuat) atau ‘adl
(Allah tidak menciptakan perbuatan manusia), maka itu pertanda ia seorang
Qodari. Sebab semua istilah ini dibuat-buat oleh ahli bid’ah.
Abdullah bin
Al-Mubarok berkata:
Jangan ambil ilmu
dari penduduk Kufah dalam masalah rofadh (menolak mengakui kholifah Abu
Bakr dan Umar), dari penduduk Syam dalam masalah pedang (memberontak penguasa),
dari Basroh dalam soal takdir, dari Khurosan tentang Murji’ah, dari Makkah
tentang shorf (riba), dan dari Madinah dalam soal nyanyian. Jangan ambil
satu pun dari mereka dalam hal-hal ini.
[133] Jika kamu melihat seseorang mencintai Abu
Huroiroh, Anas bin Malik, dan Usaid bin Hudhoir, maka in syaa Allah dia
adalah pengikut Sunnah.
Jika dia
mencintai Ayub, Ibnu ‘Aun, Yunus bin ‘Ubaid, Abdullah bin Idris Al-Audi,
Asy-Sya’bi, Malik bin Mighwal, Yazid bin Zuroi’, Mu’adz bin Mu’adz, Wahb bin
Jarir, Hammad bin Salamah, Hammad bin Zaid, Malik bin Anas, Al-Auza’i, Za’idah
bin Qudamah, Hajjaj bin Al-Minhāl, Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Nashr—dan
menyebut mereka dengan kebaikan serta mengikuti pendapat mereka—maka ia adalah
pengikut Sunnah.
[134] Jika kamu melihat seseorang duduk dengan
ahli bid’ah, ingatkan dia. Jika ia tetap duduk bersama setelah tahu, jauhi
dia—berarti dia pun termasuk golongan mereka.
[135] Jika seseorang tidak mau menerima hadits,
hanya mau Al-Qur’an saja, maka jangan ragu: ia adalah zindiq (munafik yang
nenampakkan kekafiran). Tinggalkan dia.
[136] Ketahuilah, semua aliran sesat itu buruk.
Semua akan berujung kepada kekacauan dan kekerasan. Yang paling buruk dan
paling sesat adalah: Rofidhoh, Mu’tazilah, dan Jahmiyyah, karena mereka ingin
memalingkan manusia dari agama.
[137] Siapa pun yang mencela seorang Shohabat
Nabi ﷺ,
sebenarnya ia ingin mencela Nabi ﷺ
serta ia telah menyakiti beliau meski sudah wafat.
[138] Jika kamu melihat seseorang melakukan
satu bid’ah, maka waspadalah! Sebab yang disembunyikannya lebih besar dari yang
ditampakkannya.
[139] Jika kamu melihat seseorang yang banyak
maksiat, fasik, namun ia berpegang pada Sunnah—temanilah dia. Karena
kemaksiatannya tidak akan menyesatkanmu.
Tapi jika kamu
melihat seorang yang rajin ibadah, serius, zuhud, tapi ternyata pengikut hawa
nafsu (ahlul bid’ah), maka jangan dekati! Jangan dengarkan, jangan duduk
bersamanya, jangan berjalan sejalan dengannya. Bisa-bisa kamu terpengaruh dan
ikut tersesat.
[140] Hati-hatilah, terutama terhadap
orang-orang sezaman denganmu. Perhatikan baik-baik siapa yang kamu ajak duduk,
siapa yang kamu dengar, dan siapa yang kamu ikuti. Karena banyak manusia kini
seolah telah murtad, kecuali yang Allah jaga.
[141] Kalau kamu mendengar seseorang menyebut
Ibnu Abi Du’ad, Bisyr Al-Marisi, Tsamamah, Abu Hudzail, Hisyam Al-Fuwathi, atau
pengikut mereka dengan pujian, maka waspadalah. Mereka semua adalah pelaku
bid’ah yang bahkan condong ke kekufuran.
Siapa pun yang
memuji mereka atau mengangkat mereka, jangan kamu ikuti.
[142] Fitnah dalam agama adalah bid’ah.
Namun sekarang,
orang diuji: apakah dia pegang Sunnah atau tidak. Sebagaimana dikatakan:
“Ilmu ini adalah
agama. Maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agamamu.”
Jangan ambil
hadits dari orang yang kamu tak percaya kesaksiannya. Ambillah dari orang yang
jujur, ahli Sunnah, dan dikenal kebaikannya.
[143] Jika kamu ingin lurus di atas kebenaran
dan mengikuti jalan Ahlus Sunnah, jauhilah perdebatan, filsafat, logika, dan
adu argumen dalam agama.
Mendengar omongan
mereka saja sudah bisa menimbulkan keraguan di hati—dan itu cukup untuk
menyesatkanmu.
Semua kesesatan,
bid’ah, dan kekufuran bermula dari debat dan filsafat.
[144] Takutlah kepada Allah dan pegang erat atsar
(Hadits) serta orang-orang yang mengikutinya. Agama ini dibangun atas dasar
mengikuti Nabi ﷺ dan
para Shohabat.
Orang-orang
sebelum kita sudah cukup menjelaskan semuanya. Ikuti mereka, kamu akan tenang.
Jangan menambah-nambahi.
Jika ada ayat
yang tidak kamu pahami, berhenti saja di situ. Jangan menggunakan akalmu untuk
melawan ahli bid’ah. Cukup diam dan jangan beri celah mereka memengaruhimu.
[145] Jika seseorang berkata, “Kami
mengagungkan Allah,” tapi ucapannya itu digunakan untuk menolak hadits Nabi ﷺ seperti hadits tentang Allah bisa dilihat atau turun ke langit
dunia, maka dia adalah Jahmiyah.
Dia sebenarnya
menolak hadits Nabi ﷺ, tapi
pura-pura berkata: “Kami mensucikan Allah.”
Padahal justru
dia merasa lebih tahu tentang Allah dari pada Nabi ﷺ dan para Shohabat. Waspadalah terhadap orang-orang semacam ini.
Mereka banyak di tengah masyarakat awam.
[146] Kalau ada yang bertanya soal agama dengan
maksud mencari bimbingan, jawablah. Tapi kalau dia ingin debat, hindari.
Perdebatan hanya
akan menimbulkan pertengkaran, kemarahan, dan menyimpang dari kebenaran.
Para ulama
terdahulu tidak pernah berdebat, apalagi berselisih.
[147] Al-Hasan berkata: Orang bijak tidak suka
debat. Dia menyampaikan ilmunya—kalau diterima, dia bersyukur, kalau ditolak
pun dia tetap bersyukur.
Seseorang pernah
berkata kepada Hasan: “Mau debat tentang agama?” Hasan menjawab: “Aku sudah
tahu agamaku. Kalau kamu tersesat, ya carilah sendiri!”
Rosulullah ﷺ pernah keluar dari rumah dalam keadaan marah karena ada yang
saling mendebat tentang ayat Al-Qur’an. Beliau bersabda: “Apakah dengan cara
seperti ini kalian diperintah? Apakah aku diutus untuk ini? Untuk menjadikan
Al-Qur’an saling dipukul satu sama lain?”
Ibnu ‘Umar, Imam
Malik, dan para ulama sampai hari ini membenci perdebatan.
Allah Ta’ala
berfirman: “Tidak ada yang mendebat ayat-ayat Allah kecuali orang-orang kafir.”
(QS. Ghofir: 4)
Umar bin
Khoththob pernah ditanya, “Apa maksud ayat: ‘Wan naasyithooti nasythoo?”
Beliau menjawab: “Kalau aku sudah botak (marah), niscaya akan kupenggal
lehermu!”
Nabi ﷺ bersabda: “Orang beriman tidak suka debat. Aku tidak akan
memberi syafaat pada pendebat hari Kiamat. Tinggalkanlah debat—karena sedikit
sekali manfaatnya!”
[148] Seseorang tidak boleh disebut “pengikut
Sunnah” kecuali jika semua ciri Sunnah ada padanya.
Abdullah bin
Al-Mubarok berkata: Akar dari 72 kelompok sesat itu kembali pada 4 kelompok
utama: Qodariyyah, Murji’ah, Syi’ah, dan Khowarij.
Siapa yang
mengutamakan Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali Rodhiyallahu ‘Anhum, dan
tidak mencela para Shohabat lain—mendoakan kebaikan bagi mereka—maka dia lepas
dari ajaran Syi’ah.
Siapa yang
mengatakan bahwa iman itu perkataan dan perbuatan, bisa naik turun—dia telah
keluar dari Murji’ah.
Siapa yang
membolehkan Sholat di belakang pemimpin yang zholim, jihad bersama mereka,
tidak memberontak, dan mendoakan kebaikan untuk mereka—dia lepas dari Khowarij.
Siapa yang
mengakui bahwa semua takdir, baik dan buruk, berasal dari Allah—dia lepas dari
Qodariyyah.
Dan dialah Ahlus
Sunnah.
[149] Ada satu bid’ah yang sangat sesat bahkan
kufur, yaitu:
Orang yang
percaya bahwa Ali bin Abi Tholib masih hidup dan akan kembali sebelum Hari
Kiamat, atau bahwa para Imam seperti Muhammad bin Ali, Ja’far bin Muhammad,
Musa bin Ja’far mengetahui hal ghoib dan memiliki wilayah (otoritas
khusus).
Mereka ini kafir
kepada Allah Ta’ala.
Thummah bin ‘Amr
dan Sufyan bin ‘Uyainah berkata: Siapa yang ragu antara ‘Utsman dan ‘Ali, maka
ia adalah Syi’ah dan tidak bisa dipercaya.
Siapa yang
mengutamakan ‘Ali atas ‘Utsman, maka ia Rofidhoh—telah menolak ajaran para
Shohabat.
Namun siapa yang
mengutamakan Khulafaur Rosyidin dan mendoakan yang lain tanpa membahas
kesalahan mereka, maka dia berada di jalan lurus.
[150] Bagian dari Sunnah adalah bersaksi bahwa
sepuluh orang yang dijamin masuk Jannah oleh Nabi ﷺ benar-benar berada di Jannah—tanpa ada keraguan sama sekali.
[151] Jangan kamu khususkan sholawat kepada siapa pun
selain untuk Rosululloh ﷺ
dan keluarga beliau saja. Tidak boleh berkata, “Sholallohu ‘alaihi”
untuk tokoh selain Nabi ﷺ.
[152] Kamu harus yakin bahwa ‘Utsman bin ‘Affan
Rodhiyallahu ‘Anhu dibunuh dalam keadaan dizholimi, dan yang membunuhnya
adalah pelaku kezholiman.
[153] Siapa saja yang mengakui isi kitab ini
(yakni ajaran Ahlus Sunnah), meyakininya, menjadikannya pegangan, dan tidak
meragukan satu huruf pun, maka ia adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang
sejati—dan telah sempurna dalam Sunnah.
Sebaliknya, siapa
yang mengingkari atau meragukan satu huruf pun, atau bersikap ragu terhadapnya,
maka ia adalah pengikut hawa nafsu.
Siapa yang
mengingkari atau meragukan satu huruf dari Al-Qur’an atau sesuatu yang datang
dari Rosululloh ﷺ, maka
ia akan bertemu Allah sebagai pendusta. Maka bertakwalah kepada Allah,
hati-hatilah, dan jagalah imanmu.
[154] Bagian dari Sunnah: Tidak boleh taat
kepada siapa pun dalam bermaksiat kepada Allah—baik itu orang baik, pemimpin,
apalagi masyarakat umum.
Tidak ada
ketaatan kepada manusia jika itu berarti melanggar perintah Allah.
Kamu tidak boleh
mencintai seseorang karena ia bermaksiat, bahkan kamu harus membenci semua
bentuk maksiat semata-mata karena Allah.
[155] Kamu wajib meyakini bahwa taubat adalah
kewajiban atas setiap hamba, baik dari dosa besar maupun dosa kecil. Manusia
semua harus bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
[156] Siapa yang tidak mau bersaksi bahwa
orang-orang yang dijamin masuk Jannah oleh Rosululloh ﷺ itu benar-benar ahli Jannah, maka dia adalah pelaku bid’ah dan
kesesatan—karena ia telah meragukan sabda Nabi ﷺ.
– Malik
bin Anas berkata: Siapa yang tetap teguh di atas Sunnah dan tidak menyakiti
para Shohabat Nabi ﷺ, lalu
ia wafat dalam keadaan demikian—maka dia akan bersama para Nabi, shiddiqin,
syuhada, dan orang-orang sholih, meskipun amalnya sedikit.
– Bisyr
bin Al-Harits berkata: Islam adalah Sunnah, dan Sunnah adalah Islam.
– Fudhoil
bin ‘Iyadh berkata: Jika aku melihat seseorang dari Ahlus Sunnah, seakan aku
melihat seorang Shohabat Nabi ﷺ.
Tapi jika aku melihat pelaku bid’ah, seakan aku melihat seorang munafik.
– Yunus
bin ‘Ubaid berkata: Sungguh dianggap aneh jika melihat orang yang di zaman ini
mengajak kepada Sunnah. Tapi lebih aneh lagi, ada orang yang masih mau menjawab
ajakan itu dan menerimanya!
– Ibnu
‘Aun saat menjelang wafat berkata: Peganglah Sunnah! Sunnah! Jauhilah bid’ah.
Ia mengulang-ulang kalimat itu sampai wafat.
– Imam
Ahmad bin Hanbal berkata: Salah satu muridku meninggal. Lalu ia terlihat dalam
mimpi dan berkata: “Sampaikan pada Abu ‘Abdillah (Imam Ahmad), peganglah
Sunnah. Karena hal pertama yang Allah tanyakan padaku adalah soal Sunnah!”
– Abu
Al-‘Aliyah berkata: Siapa yang mati di atas Sunnah, dan aibnya tersembunyi,
maka dia adalah seorang shiddiq (jujur dan tinggi derajatnya).
– Dikatakan: “Berpegang pada Sunnah adalah keselamatan.”
–
Sufyan Ats-Tsauri berkata: Siapa yang membuka telinganya untuk mendengar ucapan
ahli bid’ah, maka ia keluar dari perlindungan Allah dan diserahkan kepada
bid’ah itu.
– Dawud
bin Abi Hind berkata bahwa Allah berfirman kepada Musa bin ‘Imron: “Jangan
duduk bersama ahli bid’ah! Kalau kamu duduk dan hatimu mulai condong pada
ucapan mereka, Aku akan campakkan kamu ke dalam Naar Jahannam!”
– Fudhoil
bin ‘Iyadh berkata: Siapa yang duduk dengan pelaku bid’ah, dia tidak akan
diberi hikmah.
Jangan duduk
bersama ahli bid’ah. Aku khawatir laknat turun kepadamu.
Siapa yang
mencintai pelaku bid’ah, maka amalnya akan terhapus dan cahaya Islam tercabut
dari hatinya.
Siapa yang sering
duduk bersama pelaku bid’ah, maka akan diwarisi kebutaan hati.
Kalau kamu
melihat pelaku bid’ah lewat di satu jalan, ambil jalan lain.
Siapa yang
mengagungkan pelaku bid’ah, berarti telah membantu menghancurkan Islam.
Siapa yang
tersenyum kepada pelaku bid’ah, berarti meremehkan wahyu yang Allah turunkan
kepada Muhammad ﷺ.
Siapa yang
menikahkan anaknya dengan pelaku bid’ah, berarti memutus kasih sayang dan
silaturrohim.
Siapa yang ikut
mengiringi janazah pelaku bid’ah, maka ia berada dalam kemurkaan Allah sampai
ia pulang.
Aku lebih suka
makan bersama Yahudi atau Nasroni, daripada bersama pelaku bid’ah.
Aku ingin ada
dinding besi yang memisahkan aku dengan pelaku bid’ah.
Jika Allah tahu
bahwa seseorang membenci pelaku bid’ah, maka Allah akan mengampuni dosanya
meskipun amalnya sedikit.
Tidak mungkin
seseorang bisa disebut pengikut Sunnah jika dia berpura-pura akrab dengan
pelaku bid’ah—itu adalah bentuk kemunafikan.
Siapa yang memalingkan
wajahnya dari pelaku bid’ah, Allah akan penuhi hatinya dengan iman.
Siapa yang
memperingatkan pelaku bid’ah, Allah akan menjaganya dari ketakutan terbesar (Hari
Kiamat).
Siapa yang
menghinakan pelaku bid’ah, Allah akan angkat derajatnya 100 tingkat di Jannah.
Maka jangan
pernah mencintai pelaku bid’ah karena Allah—selamanya.
Selesai.
***
[1]
Yakni Firman Allah adalah benar
adanya sebagaimana lafazh dan maknanya. Tidak boleh ditakwil, tidak diubah, dan
tidak dimaknai dengan makna yang menyimpang dari zhohirnya. Segala yang
dikabarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an adalah benar sebagaimana yang Dia
firmankan, baik tentang Diri-Nya, sifat-sifat-Nya, janji-Nya, ancaman-Nya,
ataupun berita-Nya tentang makhluk.
[2]
Yakni tidak ada yang menyelisihi,
membatalkan, atau menyanggah firman Allah. Semua janji dan kabar dari-Nya pasti
terjadi, tidak mungkin dusta, dan tidak ada kebatalan dalam ucapan-Nya. Allah
adalah Dzat yang Maha Benar dalam perkataan dan janji, sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.” (QS. Ali ‘Imron: 9)
[3]
Ini menekankan bahwa Allah itu
sebagaimana yang Dia kabarkan tentang Diri-Nya, baik dalam nama-nama dan
sifat-sifat-Nya. Tidak boleh menyimpangkan makna atau menisbatkan kepada-Nya
sesuatu yang tidak Dia kabarkan sendiri. Artinya: Apa pun yang Allah katakan
tentang Diri-Nya, maka kita menetapkannya sebagaimana adanya, tanpa tahrif
(menyimpangkan), tanpa ta’thil (menolak), tanpa takyif
(membayangkan bentuk), dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluk).
