[PDF] Motifasi Menghafal Ilmu - Al Hafizh Ibnul Jauzi
Unduh PDF
بسم الله الرحمن الرحيم
Asy-Syaikh Al-Imam Al-Kabir Al-Hafizh: Jamaluddin Abu
Al-Faroj ‘Abdurrohman bin ‘Ali bin Al-Jauzi (597 H) Rohimahullah
berkata:
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya kepada kita, telah menjadikan kita sebagai
umat terbaik. Dia menganugerahkan kita sifat menolak kebodohan dan semangat
yang tinggi. Dia memberi kita rezeki berupa hafalan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu
yang penting. Dia memuliakan kita dengan Nabi kita, Muhammad ﷺ, Nabi pembawa rohmat. Semoga sholawat dan salam
tercurah kepadanya dan siapa saja yang mengikuti jalannya dan
tujuannya, dengan sebenar-benarnya salam, selama cahaya dan kegelapan silih
berganti.
Amma ba’du (adapun setelahnya):
Allah ‘Azza wa Jalla telah mengkhususkan umat kita
dengan nikmat menghafal Al-Qur’an dan ilmu. Umat-umat sebelum kita hanya membaca kitab-kitab mereka dari
lembaran-lembaran (tulisan) dan tidak mampu menghafalnya.
Ketika ‘Uzair datang dan membaca Taurot dari hafalannya, mereka berkata: “Ini
adalah anak Allah.”
Maka, bagaimana
mungkin kita mampu mensyukuri dengan semestinya kepada Dzat yang telah memberi
kita berbagai karunia, hingga seorang anak berusia tujuh tahun di antara kita
mampu membaca Al-Qur’an di luar kepala? Kemudian, tidak ada di antara
umat-umat lain yang menukil perkataan dan perbuatan Nabi mereka dengan cara
yang menghasilkan keyakinan (akan kebenarannya) selain kita. Karena
sesungguhnya, seorang dari generasi akhir di antara kita meriwayatkan Hadits
dari generasi terdahulu (Salaf), dan mereka meneliti kredibilitas perowi hingga
silsilahnya sampai kepada Rosulullah ﷺ.
Adapun umat-umat lainnya, mereka meriwayatkan apa yang
mereka sebutkan dari sebuah lembaran tulisan yang tidak diketahui siapa
penulisnya dan tidak pula dikenal siapa yang menukilnya.
Anugerah agung ini perlu kita jaga dengan cara terus-menerus
mempelajarinya agar hafalan itu tetap terjaga. Dahulu, banyak sekali dari
kalangan Salaf kita yang menghafal banyak hal. Namun, zaman berganti kepada
kaum yang lari dari mengulang hafalan karena cenderung pada kemalasan.
Akibatnya, jika salah seorang dari mereka membutuhkan suatu hafalan, ia tidak
mampu mengingatnya. Sungguh saya telah memperhatikan para ahli fiqh, mereka
mengulang pelajaran dua atau tiga kali. Namun, jika berlalu dua hari, salah
seorang dari mereka akan lupa pelajaran itu. Jika ia membutuhkan sedikit saja
dari masalah itu dalam sebuah perdebatan, ia tidak mampu mengeluarkannya. Maka,
waktu yang telah ia habiskan sebelumnya menjadi sia-sia, dan ia perlu memulai
lagi hafalan dari awal. Penyebabnya adalah karena ia tidak mengokohkan
hafalannya.
Ketika saya
melihat kemalasan telah menguasai para penuntut Ilmu, saya pun menulis kitab
ini untuk memotivasi mereka agar bersungguh-sungguh dan sebagai pintu untuk
melawan kemalasan.
Saya telah menjadikan kitab ini terdiri dari tujuh bab:
Bab Pertama: Tentang dorongan untuk menghafal ilmu.
Bab Kedua: Tentang ciri-ciri orang yang berpotensi
(menghafal) dari segi fisik dan penampilan.
Bab Ketiga: Tentang penyebutan obat-obatan yang
membantu menghafal.
Bab Keempat: Tentang cara mengokohkan hafalan.
Bab Kelima: Tentang penyebutan waktu-waktu yang tepat
untuk mengulang hafalan.
Bab Keenam: Tentang pemberitahuan mengenai hafalan
yang seharusnya didahulukan.
Bab Ketujuh: Tentang penyebutan tokoh-tokoh penghafal
(hafizh) yang unggul.
BAB PERTAMA: MOTIFASI UNTUK MENGHAFAL ILMU
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.
Adapun dalil-dalil yang dinukil (manqul) tentang
menghafal Ilmu sangatlah banyak. Cukuplah di antaranya firman-Nya:
﴿يَرْفَعِ اللَّهُ
الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا العِلْمَ دَرَجَاتٍ﴾
“Allah
akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi Ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Juga sabda Nabi ﷺ:
«إِنَّ المَلائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا
لِطَالِبِ العِلْمِ»
“Sesungguhnya
para Malaikat akan meletakkan sayap-sayap mereka untuk penuntut Ilmu.”
Cukuplah dari
dalil akal (ma’qulat): bahwa Ilmu adalah sesuatu yang diakui
(kepemilikannya) bahkan oleh orang yang bukan ahlinya, sementara orang bodoh
akan lari dari sebutan “bodoh” yang disematkan kepadanya.
Bukan rahasia lagi bahwa tingginya kedudukan seorang alim
(orang berilmu) sebanding dengan kadar ilmunya. Jika ilmunya sedikit, maka
sedikit pula ketinggian derajatnya.
Dalam sebuah Hadits disebutkan:
«يُقَالُ لِقَارِئِ القُرْآنِ: اقْرَأْ،
وَارْقَ، فَمَنْزِلُكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُ بِهَا»
“Dikatakan
kepada pembaca Al-Qur’an: ‘Bacalah dan naiklah (ke derajat yang lebih tinggi),
karena kedudukanmu berada di akhir ayat yang engkau baca’.”
Tentu saja, orang yang hafal setengah Al-Qur’an tidak sama
dengan orang yang hafal seluruhnya, dan orang yang hafal seratus Hadits tidak
sama dengan yang hafal seribu Hadits.
Atas dasar ini, maka tidak ada Ilmu (yang sejati) kecuali
apa yang diperoleh melalui hafalan. ‘Abdurrozzaq bin Hammam (guru
Imam Ahmad bin Hanbal) berkata:
«كُلُّ عِلْمٍ لَا يَدْخُلُ مَعَ صَاحِبِهِ
الحَمَّامَ؛ فَلَا تَعُدَّهُ»
“Setiap
ilmu yang tidak ikut masuk bersama pemiliknya ke dalam kamar mandi, maka
janganlah engkau menganggapnya (sebagai ilmu).”
BAB KEDUA: CIRI ORANG YANG BERPOTENSI UNTUK
MENGHAFAL DAN YANG TIDAK, DARI SEGI BENTUK DAN PENAMPILAN
Fasal: Menghafal Dimulai Sejak Kecil
Jika seorang anak (hanya) mencari ketinggian (derajat) di
dunia, ini menunjukkan keterbatasan pemahamannya. Karena siapa pun yang
menggunakan akalnya, maka akalnya akan menuntunnya kepada Sang Pencipta yang
wajib ditaati dan dipatuhi perintah-perintah-Nya. Maka, ia pun berusaha
mendekatkan diri kepada-Nya dan mengetahui bahwa ia tidak dapat dekat
(kepada-Nya) kecuali dengan Ilmu dan amal. Lantas ia bersungguh-sungguh untuk
memperoleh keduanya tanpa perlu diperintah atau didorong. Engkau akan
melihatnya mencari puncak tertinggi dalam Ilmu, yang kemudian membawanya pada
sifat zuhud terhadap dunia yang fana dan berusaha meraih semua keutamaan yang
memungkinkan. Kemudian, ia naik ke tingkat mencintai Al-Haqq (Allah) Subhanahu
wa Ta’ala. Siapa yang sempurna (usahanya), ia akan diberi taufik. Allah Ta’ala
berfirman:
“Sungguh, telah
Kami berikan kepada Ibrahim rusyd (kebijaksanaan) sejak sebelum (dia
menjadi Nabi), dan Kami telah mengenalnya dengan sebenar-benarnya (sebagai
hamba yang layak mendapat bimbingan Kami).” (QS. Al-Anbiya’: 51)
Ini adalah gambaran tingkat tertinggi, dan orang seperti ini
tidak memerlukan pendorong, karena semangatnya akan membawanya berjalan
sementara ia sendiri dalam keadaan duduk. Kemudian, setelah itu tingkat
anak-anak berbeda-beda: di antara
mereka ada yang membutuhkan pendorong, dan mereka adalah mayoritas. Ada pula
yang dapat diperingatkan dengan peringatan yang paling ringan. Ada juga yang
membuat pendidiknya lelah, sementara tabiatnya tidak dapat menerima didikan.
Fasal: Mendidik Anak untuk Menghafal
Apabila seorang anak mencapai usia lima tahun, maka ajaklah
ia untuk menghafal Ilmu. Kami akan menjelaskan nanti urutan hafalan yang harus
dihafal. Sesungguhnya, menghafal di waktu kecil itu seperti mengukir di atas
batu. Kapan pun seorang anak mencapai usia baligh dan ia tidak memiliki
semangat yang mendorongnya untuk menuntut Ilmu, maka tidak ada keberuntungan
baginya.
BAB KETIGA: OBAT-OBATAN YANG MEMBANTU MENGHAFAL
Az-Zuhri berkata:
«التُّفَّاحُ يُورِثُ النِّسْيَانَ»
“Apel dapat menyebabkan lupa.”
Fasal: Penyebutan Makanan yang Digunakan untuk
(Membantu) Menghafal
‘Ali Rodhiyallahu
‘Anhu berkata:
«عَلَيْكُمْ بِالرُّمَّانِ الحُلْوِ؛
فَإِنَّهُ صُلُوحُ المَعِدَةِ»
“Hendaklah kalian memakan delima yang manis, karena sesungguhnya
ia baik untuk perut.”
Seseorang pernah
mengeluhkan sifat lupa kepada beliau, lalu beliau berkata:
«عَلَيْكَ بِاللُّبَانِ؛ فَإِنَّهُ
يُشَجِّعُ القَلْبَ وَيُذْهِبُ النِّسْيَانَ»
“Hendaklah
engkau mengonsumsi luban (getah resin dari pohon Boswellia), karena ia dapat
menguatkan hati dan menghilangkan sifat lupa.”
«حَلْقُ القَفَا يَزِيدُ فِي الحِفْظِ»
Ibnu ‘Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma berkata: “Mencukur
tengkuk dapat menambah kekuatan hafalan.”
«خُذْ مِثْقَالًا مِنْ كُنْدُرٍ، وَمِثْقَالًا مِنْ سُكَّرٍ، فَدُقَّهُمَا
جَيِّدًا ثُمَّ اقْمَحْهُمَا عَلَى الرِّيقِ؛ فَإِنَّهُ جَيِّدٌ لِلنِّسْيَانِ»
Beliau juga berkata: “Ambillah satu mitsqal (sekitar
4,25 gram) kundur (kemenyan India)
dan satu mitsqal gula, tumbuk keduanya hingga halus, lalu telanlah saat
perut kosong, karena itu baik
untuk (mengatasi) lupa.”
Az-Zuhri berkata:
«عَلَيْكَ بِالعَسَلِ؛ فَإِنَّهُ جَيِّدٌ
لِلْحِفْظِ»
“Hendaklah engkau mengonsumsi madu, karena ia baik untuk hafalan.”
Beliau juga berkata:
«مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَحْفَظَ الحَدِيثَ
فَلْيَأْكُلِ الزَّبِيبَ»
“Siapa yang ingin mudah menghafal Hadits, hendaklah ia memakan
kismis.”
Al-Ji’abi berkata: “Dahulu, hafalan saya lemah. Lalu para
tabib berkata kepada saya: ‘Makanlah roti dengan susu asam (hilab)’.
Maka saya memakannya selama 40
hari saat sarapan dan makan malam, saya tidak makan yang lain. Hasilnya,
pikiran saya menjadi jernih, dan saya menjadi seorang penghafal hingga mampu
menghafal 300 Hadits dalam
sehari.”
BAB
KEEMPAT: CARA MENGOKOHKAN HAFALAN
Cara untuk
mengokohkan hafalan adalah dengan sering mengulanginya. Manusia memiliki
tingkatan yang berbeda-beda dalam hal ini. Di antara mereka ada yang hafalannya
langsung lekat meskipun hanya sedikit mengulang. Ada pula yang tidak bisa hafal
kecuali setelah mengulang berkali-kali. Maka, seyogianya seseorang tetap
mengulang pelajaran setelah ia berhasil menghafalnya, agar hafalan tersebut
benar-benar lekat padanya.
Sungguh Nabi ﷺ telah bersabda:
تَعَاهَدُوا القُرْآنَ فَإِنَّهُ أَشَدَّ تَفَصِيًّا
مِنْ صُدُورِ الرِّجَالِ مِنَ النَّعَمِ مِنْ عُقُلِهَا»
“Jagalah
(hafalan) Al-Qur’an (dengan sering mengulang), karena sesungguhnya ia lebih
cepat lepas dari dada seseorang daripada unta yang lepas dari ikatannya.”
Dahulu, Abu
Is-haq Asy-Syirozi mengulang pelajarannya sebanyak 100 kali, sementara Ilkiya
mengulang sebanyak 70 kali.
Al-Hasan bin Abu
Bakr An-Naisaburi Al-Faqih berkata kepada kami:
«لا يَحْصُلُ الحِفْظُ إِلَيَّ حَتَّى
يُعَادَ خَمْسِينَ مَرَّةً»
“Saya
tidak akan memperoleh hafalan sampai pelajaran itu diulang sebanyak lima puluh
kali.”
Al-Hasan
menceritakan kepada kami:
«أَنَّ فَقِيهًا أَعَادَ الدَّرْسَ
فِي بَيْتِهِ مِرَارًا كَثِيرَةً، فَقَالَتْ لَهُ عَجُوزٌ فِي بَيْتِهِ: قَدْ - وَاللَّهِ
- حَفِظْتُهُ أَنَا. فَقَالَ: أَعِيدِيهِ! فَأَعَادَتْهُ، فَلَمَّا كَانَ بَعْدَ أَيَّامٍ،
قَالَ: يَا عَجُوزُ! أَعِيدِي ذَلِكَ الدَّرْسَ، فَقَالَتْ: مَا أَحْفَظُهُ، قَالَ:
إِنِّي أُكَرِّرُ عَدَّ الحِفْظِ لِئَلَّا يُصِيبَنِي مَا أَصَابَكِ»
“Ada
seorang ahli fiqh yang mengulang-ulang pelajarannya di rumahnya berkali-kali. Maka,
seorang ‘ajuz (wanita tua) di rumahnya berkata kepadanya: ‘Demi Allah,
aku sendiri sudah hafal pelajaran itu.’ Ahli fiqh itu berkata: ‘Kalau begitu,
coba ulangi!’ Maka wanita tua itu pun mengulanginya. Beberapa hari kemudian,
ahli fiqh itu berkata: ‘Wahai ‘ajuz! Coba ulangi lagi pelajaran yang
waktu itu.’ Wanita tua itu menjawab: ‘Aku sudah tidak hafal lagi.’ Ahli fiqh
itu berkata: ‘Sesungguhnya aku terus mengulang hafalanku agar aku tidak
tertimpa apa yang menimpamu’.”
BAB
KELIMA: WAKTU UNTUK MENGULANG HAFALAN
Seyogianya bagi
orang yang ingin menghafal, ia menyibukkan diri dengannya pada waktu ketika
konsentrasi sedang penuh (jam’ul hamm). Kapan pun ia merasa hatinya
sedang sibuk (tidak fokus), maka tinggalkanlah aktivitas menghafal. Hendaklah ia
menghafal sesuai kemampuannya; karena hafalan yang sedikit akan lebih lekat,
sedangkan (menghafal) banyak (sekaligus) tidak akan membuahkan hasil.
Menghafal pada
waktu sahar (akhir malam sebelum fajar) sangat dianjurkan karena pada
saat itu konsentrasi sedang penuh. Begitu pula pada waktu pagi-pagi sekali dan
di pertengahan malam. Tidak sepantasnya menghafal di tepi sungai atau di
hadapan pemandangan hijau agar hati tidak terganggu. Tempat-tempat yang
tinggi lebih terpuji (untuk menghafal) daripada tempat-tempat yang rendah.
Seyogianya pula
ia mengistirahatkan dirinya dari menghafal selama satu atau dua hari, agar
hafalan itu menjadi seperti bangunan yang dibiarkan istirahat sejenak agar
kokoh.
BAB
KEENAM: HAFALAN YANG SEHARUSNYA DIDAHULUKAN
Hal pertama yang
seyogianya didahulukan adalah sebuah pengantar (ilmu dasar) dalam bidang akidah
yang mencakup dalil untuk mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di
dalamnya disebutkan hal-hal yang tidak boleh tidak diketahui, kemudian
mempelajari kewajiban-kewajiban, lalu menghafal Al-Qur’an, kemudian mendengarkan
(kajian) Hadits.
Wajib hukumnya menghafal sebuah pengantar dalam
ilmu nahwu (tata bahasa Arob) untuk meluruskan lisan. Ilmu Fiqh adalah tiang
utama dari segala ilmu.
Mengumpulkan
berbagai cabang Ilmu adalah hal yang terpuji, akan tetapi beberapa orang
menghabiskan umurnya untuk menghafal ilmu nahwu dan bahasa. Padahal, kedua ilmu
ini sejatinya digunakan untuk mengetahui kata-kata asing (ghorib) dalam
Al-Qur’an dan Hadits. Apa yang lebih dari itu tidaklah tercela, hanya saja ilmu
selainnya lebih penting darinya.
Ada pula yang
menghabiskan waktu mereka dalam ‘Ulumul Qur’an (ilmu-ilmu Al-Qur’an); mereka
menyibukkan diri dengan hal-hal yang sebenarnya ada yang lebih baik darinya,
seperti kesibukan mereka mempelajari bacaan-bacaan syadz (ganjil) yang telah
ditinggalkan (qurro). Umur ini terlalu berharga untuk disia-siakan dalam
hal seperti ini.
Ada pula yang
menghabiskan umur mereka untuk menelusuri jalur-jalur periwayatan Hadits. Demi Allah,
sesungguhnya hal itu baik, akan tetapi mendahulukan yang lain adalah lebih
penting. Kita dapati kebanyakan dari mereka yang telah disebutkan tadi tidak
mengerti Fiqh, padahal Fiqh adalah ilmu yang paling wajib bagi mereka. Ketika
seorang penuntut Hadits terlalu mendalami aktivitas mendengar dan menulis
Hadits, maka habislah waktu untuk menghafal (ilmu-ilmu penting lainnya). Jika usianya
sudah menua, ia tidak akan mampu lagi menghafal ilmu-ilmu yang penting. Jika
engkau ingin mengetahui kemuliaan Fiqh, maka lihatlah kedudukan Al-Ashma’i
dalam ilmu bahasa, Sibawaih dalam ilmu nahwu, dan Ibnu Ma’in dalam ma’rifatur
rijal (ilmu mengenal para perowi). Betapa jauh perbandingan antara itu
semua dengan kedudukan Ahmad dan Asy-Syafi’i dalam Fiqh?!
Kemudian, jika
ada seorang syaikh (guru) yang sudah sepuh dan memiliki isnad (sandaran
riwayat) yang tinggi, namun ia tidak mengetahui sedikit pun tentang Fiqh, lalu
di hadapannya ada seorang pemuda yang ahli Fiqh, kemudian datang sebuah
permasalahan (hukum): maka Syaikh itu akan diam, dan pemuda itulah yang akan
berbicara. Ini sudah cukup sebagai bukti keutamaan Fiqh.
Sungguh, banyak
sekali dari kalangan Ashabul Hadits (ahli Hadits) yang menyibukkan diri dengan
ilmu-ilmu Hadits dan berpaling dari Fiqh. Ketika mereka ditanya tentang suatu
masalah hukum, mereka pun dipermalukan (karena tidak bisa menjawab).
Telah mengabarkan
kepada kami Abu Manshur Al-Qozzaaz, telah mengabarkan kepada kami Al-Khothib,
ia berkata: Aku mendengar Al-Barqoni berkata: Abu Bakr Al-Abhari Al-Faqih
berkata: “Aku pernah berada di sisi Yahya bin Sho’id, lalu datang seorang
wanita kepadanya dan bertanya: ‘Wahai Syaikh! Apa pendapatmu tentang sumur yang
kejatuhan seekor ayam lalu mati? Apakah airnya suci atau najis?’”
Maka Yahya
menjawab: “Celaka engkau! Bagaimana bisa ayam itu jatuh ke dalam sumur?” Wanita
itu berkata: “Sumurnya tidak ditutup.” Yahya berkata: “Kenapa tidak engkau
tutup agar tidak ada apa pun yang jatuh ke dalamnya?”
Al-Abhari
berkata: “Aku pun berkata (kepada wanita itu): ‘Wahai Ibu! Jika airnya berubah
(warna, bau, atau rasanya), maka ia najis. Jika tidak, maka ia tetap suci.’”
Seandainya umur
ini lapang, niscaya aku akan memerintahkanmu untuk mendalami setiap cabang
ilmu, karena semuanya terpuji. Akan tetapi, karena umur ini singkat, maka wajib
untuk mendahulukan yang paling penting dan paling utama.
BAB
KETUJUH: TOKOH PENGHAFAL (HAFIZH) YANG UNGGUL
Karena tujuan
dari kitab ini adalah untuk memberikan dorongan agar bersemangat menghafal,
maka saya tidak akan menyibukkan diri dengan penyebutan isnad (rantai
periwayat) secara lengkap di dalamnya, dan saya tidak akan membuatnya terlalu
panjang.
Di sini, saya
akan menyebutkan para penghafal (huffazh) yang unggul berdasarkan urutan huruf mu’jam
(abjad Arob). Jika saya menyebutkan ringkasan kisah dari salah seorang dari
mereka yang berkaitan dengan hafalan, maka —dalam penyebutan nama mereka dan
isyarat terhadap apa yang mereka hafal—terkandung motivasi dan dorongan bagi
orang yang bersungguh-sungguh, sekaligus celaan bagi orang yang
bermalas-malasan. Allah-lah yang memberi taufik.
[1]
Ahmad bin Hanbal
عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ سُلَيْمَانَ،
قَالَ: قِيلَ لِأَبِي زُرْعَةَ: مَنْ رَأَيْتَ مِنَ المَشَايِخِ المُحَدِّثِينَ أَحْفَظَ؟
قَالَ: «أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، حُزِرَتْ كُتُبُهُ اليَوْمَ الَّذِي مَاتَ فِيهِ،
فَبَلَغَتِ اثْنَيْ عَشَرَ حَمْلًا وَعَدْلًا، مَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ كِتَابٍ مِنْهَا
حَدِيثُ فُلَانٍ، وَلَا فِي بَطْنِهِ حَدَّثَنَا فُلَانٌ، وَكُلُّ ذَلِكَ كَانَ يَحْفَظُهُ
مِنْ ظَهْرِ قَلْبِهِ».
Diriwayatkan dari
Ahmad bin Muhammad bin Sulaiman, ia berkata: Ditanyakan kepada Abu Zur’ah: “Siapakah
di antara para syaikh ahli Hadits yang pernah engkau lihat yang paling kuat
hafalannya?” Ia menjawab: “Ahmad bin Hanbal. Kitab-kitabnya ditaksir pada hari
beliau wafat, dan jumlahnya mencapai 12 pikulan dan karung besar. Tidak ada
satu pun di punggung (sampul) kitabnya tertulis ‘Hadits Fulan’, tidak pula di
dalamnya (isi kitab) tertulis ‘telah menceritakan kepada kami Fulan’. Semua itu
beliau hafal di luar kepala.”
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ،
قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا زُرْعَةَ يَقُولُ: «كَانَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ يَحْفَظُ أَلْفَ
أَلْفِ حَدِيثٍ»، فَقِيلَ لَهُ: وَمَا يُدْرِيكَ؟ قَالَ: «ذَاكَرْتُهُ، وَأَخَذْتُ
عَلَيْهِ الأَبْوَابَ».
Dari ‘Abdullah
bin Ahmad bin Hanbal, ia berkata: Aku mendengar Abu Zur’ah berkata: “Ahmad bin
Hanbal hafal satu juta Hadits.” Lalu ditanyakan kepadanya: “Bagaimana engkau
tahu?” Ia menjawab: “Aku pernah ber-mudzakaroh (saling menguji hafalan)
dengannya, dan aku mengambil (mengujinya) per bab.”
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ،
قَالَ: قَالَ لِي أَبِي: «خُذْ أَيَّ كِتَابٍ شِئْتَ مِنْ كُتُبِ وَكِيعٍ، مِنَ المُصَنَّفِ،
فَإِنْ شِئْتَ تَسْأَلُنِي عَنِ الكَلَامِ، حَتَّى أُخْبِرَكَ بِالإِسْنَادِ، وَإِنْ
شِئْتَ بِالإِسْنَادِ حَتَّى أُخْبِرَكَ بِالكَلَامِ».
Dari ‘Abdullah
bin Ahmad bin Hanbal, ia berkata: Ayahku berkata kepadaku: “Ambil kitab mana
pun yang kau mau dari kitab-kitab Waki’ dalam Al-Mushonnaf. Jika kau mau,
tanyakan kepadaku tentang kalam (isi Hadits), aku akan memberitahumu isnad-nya.
Jika kau mau, tanyakan tentang isnad-nya, aku akan memberitahumu kalam-nya.”
[2]
Ahmad bin Muhammad bin Hani’ “Abu Bakr Al-Atsrom”
وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ الأَصْفَهَانِيُّ: «الأَثْرَمُ
أَحْفَظُ مِنْ أَبِي زُرْعَةَ، وَأَتْقَنُ».
Ibrohim
Al-Ashfahani berkata: “Al-Atsrom lebih kuat hafalannya daripada Abu Zur’ah, dan
lebih teliti.”
[3]
Ahmad bin Muhammad bin Sa’id “Abu Al-’Abbas bin ‘Uqdah”
قَالَ الدَّارَقُطْنِيُّ: «أَجْمَعَ أَهْلُ الكُوفَةِ
أَنَّهُ لَمْ يُرَ مِنْ زَمَنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ إِلَى زَمَنِ أَبِي العَبَّاسِ
بْنِ عُقْدَةَ أَحْفَظُ مِنْهُ».
Ad-Daroquthni
berkata: “Ahli Kufah telah sepakat bahwa tidak pernah terlihat sejak zaman ‘Abdullah
bin Mas’ud hingga zaman Abu Al-’Abbas bin ‘Uqdah, orang yang lebih kuat
hafalannya daripadanya.”
قَالَ ابْنُ عُقْدَةَ: «وَدَخَلَ البَرْدِيجِيُّ
الكُوفَةَ، فَزَعَمَ أَنَّهُ أَحْفَظَ مِنِّي، فَقُلْتُ: لَا تُطَوِّلْ! نَتَقَدَّمُ
إِلَى دُكَّانِ وَرَّاقٍ، وَنَضَعُ القَبَّانَ وَتَزِنُ مِنَ الكُتُبِ مَا شِئْتَ،
ثُمَّ تُلْقِي عَلَيْنَا فَنَذْكُرُهَا؛ فَبَقِيَ».
Ibnu ‘Uqdah
berkata: “Al-Bardiji pernah masuk ke Kufah dan mengklaim bahwa ia lebih kuat
hafalannya daripadaku. Aku pun berkata: ‘Tidak perlu berlama-lama! Mari kita
maju ke toko seorang penjual kertas, kita letakkan timbangan, dan engkau boleh
menimbang kitab sebanyak apa pun yang engkau mau, lalu engkau bacakan kepada
kami dan kami akan menyebutkannya (dari hafalan)’. Ia pun terdiam.”
وَكَانَ بَعْضُ الهَاشِمِيِّينَ جَالِسًا عِنْدَ
ابْنِ عُقْدَةَ فَقَالَ: «أَنَا أُجِيبُ فِي ثَلَاثِ مِائَةِ أَلْفِ حَدِيثٍ، وَأُذَاكِرُ
بِالأَسَانِيدِ وَبَعْضِ المُتُونِ وَالمَرَاسِيلِ وَالمَقَاطِيعِ».
Sebagian orang
dari Bani Hasyim pernah duduk di sisi Ibnu ‘Uqdah lalu beliau berkata: “Aku
bisa menjawab 300.000 Hadits, dan aku bisa ber-mudzakaroh dengan
sanad-sanadnya dan sebagian matan-nya (teks Hadits), baik yang marosil
(sanadnya terputus di tingkat Tabi’in) maupun yang maqothi’ (sanadnya
terputus di bawah Tabi’in).”
[4]
Ahmad bin Muhammad bin Dust Al-’Allaf
عَنْ حَمْزَةَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ طَاهِرٍ، قَالَ:
قُلْتُ لِخَالِي أَبِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دُوسْتَ: أَرَاكَ تُمْلِي المَجَالِسَ مِنْ
حِفْظِكَ، فَلِمَ لَا تُمْلِي مِنْ كِتَابِكَ؟ فَقَالَ لِي: «انْظُرْ فِيمَا أَمْلَيْتُ؛
فَإِنْ كَانَ فِي ذَلِكَ خَطَأٌ لَمْ أُمْلِ مِنْ حِفْظِي، وَإِنْ كَانَ جَمِيعُهُ
صَوَابًا فَمَا الحَاجَةُ إِلَى الكِتَابِ».
Dari Hamzah bin
Muhammad bin Thohir, ia berkata: Aku bertanya kepada pamanku, Abu ‘Abdillah bin
Dust: “Aku melihatmu sering mendiktekan majelis-majelis dari hafalanmu, kenapa
tidak mendiktekan dari kitabmu?” Beliau menjawab: “Lihatlah apa yang telah aku
diktekan. Jika ada kesalahan di dalamnya, aku tidak akan lagi mendikte dari
hafalanku. Namun jika semuanya benar, untuk apa lagi butuh kitab?”
[5]
Ahmad bin Al-Husain “Abu Ath-Thoyyib Al-Mutanabbi”
عَنْ وَرَّاقٍ - كَانَ يَجْلِسُ إِلَيْهِ المُتَنَبِّي
-، قَالَ: مَا رَأَيْتُ أَحْفَظَ مِنْ هَذَا الفَتَى، كَانَ اليَوْمَ عِنْدِي، وَقَدْ
أَحْضَرَ رَجُلٌ كِتَابًا مِنْ كُتُبِ الأَصْمَعِيِّ نَحْوَ ثَلاثِينَ وَرَقَةً لِيَبِيعَهُ،
فَأَخَذَ يَنْظُرُ فِيهِ طَوِيلًا، فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: يَا هَذَا! أُرِيدُ بَيْعَهُ،
وَقَدْ قَطَعْتَنِي عَنْ ذَلِكَ، فَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ حِفْظَهُ فَهَذَا إِنْ شَاءَ
اللَّهُ يَكُونُ بَعْدَ شَهْرٍ. فَقَالَ لَهُ: «فَإِنْ كُنْتُ قَدْ حَفِظْتُهُ فِي
هَذِهِ المُدَّةِ فَمَا لِي عَلَيْكَ؟» قَالَ: أَهِبُ لَكَ الكِتَابَ، قَالَ: فَأَخَذَ
الدِّفْتَرَ مِنْ يَدِهِ فَأَقْبَلَ يَتْلُوهُ إِلَى آخِرِهِ، ثُمَّ اسْتَلَبَهُ فَجَعَلَهُ
فِي كُمِّهِ، فَقَامَ صَاحِبُهُ فَتَعَلَّقَ بِهِ، وَطَالَبَ بِالثَّمَنِ، فَقَالَ:
«مَا إِلَى ذَلِكَ سَبِيلٌ، قَدْ وَهَبْتَهُ لِي»، فَمَنَعْنَاهُ مِنْهُ. وَقُلْنَا
لَهُ: أَنْتَ اشْتَرَطْتَ عَلَى نَفْسِكَ هَذَا لِلْغُلَامِ، فَتَرَكَهُ عَلَيْهِ.
Dari seorang
penjual kertas yang Al-Mutanabbi sering duduk di tokonya, ia berkata: “Aku
tidak pernah melihat orang yang lebih kuat hafalannya daripada pemuda ini. Hari
ini ia ada di tempatku, dan ada seseorang membawa sebuah kitab dari karya-karya
Al-Ashma’i setebal sekitar 30 lembar untuk dijual. Al-Mutanabbi pun
mengambilnya dan memandanginya cukup lama.” Penjual kitab itu berkata
kepadanya: “Wahai tuan! Aku ingin menjual kitab ini, dan engkau telah
menghalangiku (dari menjualnya). Jika engkau ingin menghafalnya, ini—in syaa
Allah—butuh waktu sebulan.” Al-Mutanabbi berkata kepadanya: “Jika aku berhasil
menghafalnya dalam waktu (sesingkat) ini, apa yang akan kau berikan kepadaku?”
Orang itu menjawab: “Aku akan menghadiahkan kitab ini untukmu.” Al-Mutanabbi
berkata: “Baiklah!” Lalu ia mengambil buku itu dari tangan orang tersebut dan
mulai membacanya hingga selesai. Kemudian, orang itu merebutnya kembali dan
menaruhnya di lengan bajunya. Pemilik kitab pun berdiri dan memegangnya,
menuntut harga kitabnya. Al-Mutanabbi berkata: “Tidak ada jalan untuk itu,
engkau sudah menghadiahkannya untukku.” Kami pun menghalangi pemilik kitab
darinya dan berkata kepadanya: “Engkau sendiri yang telah menetapkan syarat ini
untuk pemuda itu.” Akhirnya ia pun merelakan kitab itu untuknya.
[6]
Is-haq bin Rohawaih
عَنِ ابْنِ خَشْرَمٍ، قَالَ: «كَانَ إِسْحَاقُ
بْنُ رَاهُوَيْهِ يُمْلِي عَلَيَّ سَبْعِينَ أَلْفَ حَدِيثٍ حِفْظًا».
Dari Ibnu
Khosyrom, ia berkata: “Is-haq bin Rohawaih pernah mendiktekan kepadaku 70.000
Hadits dari hafalannya.”
عَنْ أَبِي زَيْدٍ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ
خَالِدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ إِسْحَاقَ بْنَ إِبْرَاهِيمَ الحَنْظَلِيَّ يَقُولُ: «أَعْرِفُ
مَكَانَ مِائَةِ أَلْفِ حَدِيثٍ، كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهَا، وَأَحْفَظُ مِنْهَا
سَبْعِينَ أَلْفَ حَدِيثٍ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِي صَحِيحَةً، وَأَحْفَظُ أَرْبَعَةَ آلَافِ
حَدِيثٍ مُزَوَّرَةً»، فَقِيلَ: مَا مَعْنَى المُزَوَّرَةِ؟ قَالَ: «إِذَا مَرَّ بِي
مِنْهَا حَدِيثٌ فِي الأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ، فَلَيْتُهُ مِنْهَا فَلْيًا».
Dari Abu Zaid
Muhammad bin Yahya bin Kholid, ia berkata: Aku mendengar Is-haq bin Ibrohim
Al-Hanzholi berkata: “Aku mengetahui letak 100.000 Hadits seakan-akan aku
melihatnya. Aku hafal 70.000 Hadits shohih di luar kepala, dan aku hafal 4.000
Hadits palsu (muzawwaroh).” Lalu ditanyakan: “Apa makna muzawwaroh?”
Ia menjawab: “Jika ada satu Hadits palsu lewat di hadapanku di antara Hadits-Hadits
shohih, aku akan menyingkirkannya dengan tuntas.”
[7] Al-Husain bin
Muhammad bin Hatim bin Yazid “yang dijuluki ‘Ubaid Al-’Ijl”
عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ سَعِيدٍ، قَالَ:
كُنَّا نَحْضُرُ مَعَ عُبَيْدٍ عِنْدَ الشُّيُوخِ وَهُوَ شَابٌّ، فَيَنْتَخِبُ لَنَا،
فَإِذَا أَخَذَ الكِتَابَ بِيَدِهِ طَارَ مَا فِي رَأْسِهِ، فَنُكَلِّمُهُ فَلا يُجِيبُنَا
فَإِذَا خَرَجْنَا قُلْنَا لَهُ: كَلَّمْنَاكَ فَلَمْ تُجِبْنَا؟! قَالَ: «إِذَا أَخَذْتُ
الكِتَابَ بِيَدِي يَطِيرُ عَنِّي مَا فِي رَأْسِي، فَيَمُرُّ بِي حَدِيثُ الصَّحَابِيِّ،
فَكَيْفَ أُجِيبُكُمْ، وَأَنَا أَحْتَاجُ أَنْ أُفَكِّرَ فِي مُسْنَدِ ذَلِكَ الصَّحَابِيِّ،
مِنْ أَوَّلِهِ إِلَى آخِرِهِ، هَلِ الحَدِيثُ فِيهِ أَمْ لا؟ فَإِنْ لَمْ أَفْعَلْ
ذَلِكَ خِفْتُ أَنْ أَزَلَّ فِي الانْتِخَابِ، وَأَنْتُمْ شَيَاطِينُ، قَدْ قَعَدْتُمْ
حَوْلِي، تَقُولُونَ: لِمَ انْتَخَبْتَ لَنَا هَذَا الحَدِيثَ، وَهَذَا حَدِيثُ فُلانٍ».
Dari Ahmad bin
Muhammad bin Sa’id, ia berkata: “Kami biasa hadir bersama ‘Ubaid di hadapan
para Syaikh saat ia masih muda. Ia memilihkan Hadits untuk kami. Jika ia sudah
memegang kitab, maka hilanglah apa yang ada di kepalanya. Kami mengajaknya
bicara, tapi ia tidak menjawab. Ketika kami keluar, kami bertanya kepadanya: ‘Tadi
kami mengajakmu bicara tapi engkau tidak menjawab?’” Ia berkata: “Jika aku
sudah memegang kitab, maka terbanglah apa yang ada di kepalaku. Lalu lewatlah
di hadapanku Hadits dari seorang Shohabat. Bagaimana aku bisa menjawab kalian,
sementara aku perlu berpikir tentang keseluruhan musnad (kumpulan
Hadits) dari Shohabat tersebut, dari awal hingga akhir, apakah Hadits ini ada
di dalamnya atau tidak? Jika aku tidak melakukan itu, aku takut keliru dalam
memilihkan Hadits. Sedangkan kalian ini seperti setan-setan yang duduk di
sekelilingku, lalu berkata: ‘Kenapa engkau memilihkan Hadits ini untuk kami,
padahal ini Haditsnya si Fulan?’”
[8]
Al-Husain bin Ahmad bin Bukair bin ‘Abdillah Al-Hafizh
عَنِ الأَزْهَرِيِّ، قَالَ: كُنْتُ أَحْضُرُ عِنْدَ
أَبِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُكَيْرٍ، وَبَيْنَ يَدَيْهِ أَجْزَاءٌ كِبَارٌ، فَأَنْظُرُ
فِي بَعْضِهَا، فَيَقُولُ لِي: «أَيُّمَا أَحَبُّ إِلَيْكَ، تَذْكُرُ لِي مَتْنَ مَا
تُرِيدُ مِنْ هَذِهِ الأَحَادِيثِ، حَتَّى أُخْبِرَكَ بِإِسْنَادِهِ، أَوْ تَذْكُرُ
لِي إِسْنَادَهُ حَتَّى أُخْبِرَكَ بِمَتْنِهِ؟» فَكُنْتُ أَذْكُرُ لَهُ المُتُونَ
فَيُخْبِرُنِي بِالأَسَانِيدِ مِنْ حِفْظِهِ، وَفَعَلْتُ هَذَا مِرَارًا كَثِيرَةً.
لَيْسَ فِي حَرْفِ الخَاءِ وَمَا بَعْدَهَا مُشْتَهِرٌ بِالحِفْظِ إِلَى حَرْفِ السِّينِ.
Dari Al-Azhari,
ia berkata: “Aku biasa hadir di sisi Abu ‘Abdillah bin Bukair. Di hadapannya
ada jilid-jilid kitab yang besar. Aku pun melihat sebagiannya, lalu ia berkata
kepadaku: “Mana yang lebih engkau sukai, engkau sebutkan matan (isi Hadits)
yang engkau inginkan dari Hadits-hadits ini agar aku beritahu isnad-nya
(sanadnya), atau engkau sebutkan isnad-nya agar aku beritahu matan-nya?” Aku
pun menyebutkan matan-matan Hadits, lalu ia memberitahukan sanad-sanadnya dari
hafalannya. Aku melakukan ini berkali-kali.”
[9] Sa’id
bin Al-Musayyib
عَنْ سَعِيدِ بْنِ المُسَيِّبِ، قَالَ: «مَا بَقِيَ
أَحَدٌ أَعْلَمَ بِكُلِّ قَضَاءٍ قَضَاهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ
مِنِّي».
Dari Sa’id bin
Al-Musayyib, ia berkata: “Tidak ada seorang pun yang tersisa yang lebih
mengetahui setiap keputusan hukum yang telah diputuskan oleh Rosulullah ﷺ, Abu Bakr, dan ‘Umar, selain
diriku.”
[10]
Sulaiman bin Dawud Ath-Thoyalisi
عَنْ صَالِحِ بْنِ أَحْمَدَ العِجْلِيِّ، قَالَ:
«كَانَ أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ كَثِيرَ الحِفْظِ، شَرِبَ البَلاذُرَ، هُوَ وَعَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، فَجُذِمَ أَبُو دَاوُدَ، وَبُرِصَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ،
فَحَفِظَ أَبُو دَاوُدَ أَرْبَعِينَ أَلْفَ حَدِيثٍ، وَحَفِظَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَشَرَةَ
آلافِ حَدِيثٍ».
Dari Sholih bin
Ahmad Al-’Ijli, ia berkata: “Abu Dawud Ath-Thoyalisi sangat kuat hafalannya. Ia
pernah meminum baladzur (tanaman untuk menguatkan hafalan) bersama ‘Abdurrohman
bin Mahdi. Akibatnya, Abu Dawud terkena kusta, dan ‘Abdurrohman terkena
penyakit sopak (barosh). Lalu Abu Dawud berhasil menghafal 40.000
Hadits, dan ‘Abdurrohman menghafal 10.000 Hadits.”
عَنْ عُمَرَ بْنِ شَبَّةَ، قَالَ: «كَتَبُوا عَنْ
أَبِي دَاوُدَ أَرْبَعِينَ أَلْفَ حَدِيثٍ، وَلَيْسَ مَعَهُ كِتَابٌ».
Dari ‘Umar bin
Syabbah, ia berkata: “Orang-orang menulis dari Abu Dawud 40.000 Hadits,
sementara ia tidak memegang kitab sama sekali.”
[11]
Sulaiman bin Al-Asy’ats “Abu Dawud As-Sijistani”
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: «كَتَبْتُ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسَ مِائَةِ أَلْفَ حَدِيثٍ، انْتَخَبْتُ
مِنْهَا مَا تَضَمَّنَتْهُ السُّنَنُ، جَمَعْتُ فِيهِ أَرْبَعَةَ آلَافٍ وَثَمَانِ
مِائَةِ حَدِيثٍ».
Abu Dawud
berkata: “Aku menulis dari (Hadits) Rosulullah ﷺ sebanyak 500.000 Hadits. Dari
jumlah itu, aku memilih Hadits-hadits yang termuat dalam kitab As-Sunan, di mana
aku mengumpulkan di dalamnya 4.800 Hadits.”
[12]
Sufyan Ats-Tsauri
قَالَ يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ القَطَّانُ: «لَمْ
أَرَ أَحَدًا أَحْفَظَ مِنْ سُفْيَانَ».
Yahya bin Sa’id
Al-Qoththon berkata: “Aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih kuat
hafalannya daripada Sufyan.”
عَنْ يَحْيَى بْنِ يَمَانٍ، قَالَ: سَمِعْتُ سُفْيَانَ
الثَّوْرِيَّ يَقُولُ: «مَا اسْتُودِعَتْ أُذُنِي شَيْئًا قَطُّ إِلَّا حَفِظْتُهُ،
حَتَّى إِنِّي أَمُرُّ بِكَذَا - كَلِمَةً قَالَهَا - فَأَسُدُّ أُذُنِي مَخَافَةَ
أَنْ أَحْفَظَهَا»
Dari Yahya bin
Yaman, ia berkata: Aku mendengar Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Tidaklah telingaku
menyimpan sesuatu pun melainkan aku pasti menghafalnya. Hingga jika aku
melewati sesuatu—ia menyebutkan sebuah kata—maka aku menutup telingaku karena
khawatir akan menghafalnya.”
وَيَقُولُ فِي رِوَايَةٍ: «أَمُرُّ بِالحَايِكِ
يُغَنِّي؛ فَأَسُدُّ أُذُنِي».
Dalam riwayat
lain ia berkata: “Aku melewati seorang penenun yang sedang bernyanyi, maka aku
pun menutup kedua telingaku.”
[13]
Tholhah bin ‘Amr
عَنْ مَعْمَرٍ، قَالَ: «اجْتَمَعْتُ أَنَا وَشُعْبَةُ
وَالثَّوْرِيُّ وَابْنُ جُرَيْجٍ، فَقَدِمَ عَلَيْنَا شَيْخٌ، فَأَمْلَى عَلَيْنَا:
أَرْبَعَةَ آلَافِ حَدِيثٍ، عَنْ ظَهْرِ قَلْبٍ، فَمَا أَخْطَأَ إِلَّا فِي مَوْضِعَيْنِ،
لَمْ يَكُنِ الخَطَأُ مِنَّا وَلَا مِنْهُ، إِنَّمَا الخَطَأُ مِنْ فَوْقِهِ، وَكَانَ
الرَّجُلُ طَلْحَةُ بْنُ عَمْرٍو».
Dari Ma’mar, ia
berkata: “Aku, Syu’bah, Ats-Tsauri, dan Ibnu Juraij pernah berkumpul. Lalu
datang seorang syaikh kepada kami, kemudian ia mendiktekan kepada kami 4.000
Hadits dari luar kepala. Ia tidak berbuat keliru kecuali di dua tempat.
Kesalahan itu bukan berasal dari kami dan bukan pula darinya, melainkan dari
(perowi) di atasnya. Orang itu adalah Tholhah bin ‘Amr.”
[14] ‘Abdullah
bin Ahmad bin Musa Al-Qodhi, dikenal dengan “‘Abdan”
عَنْ أَبِي عَلِيٍّ، قَالَ: «كَانَ عَبْدَانُ
يَحْفَظُ مِائَةَ أَلْفِ حَدِيثٍ».
Dari Abu ‘Ali, ia
berkata: “‘Abdan hafal 100.000 Hadits.”
[15] ‘Abdullah
bin Sulaiman bin Al-Asy’ats “Abu Bakr bin Abi Dawud As-Sijistani”
عَنْ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ شَاذَانَ،
قَالَ: خَرَجَ أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي دَاوُدَ إِلَى سِجِسْتَانَ، فَاجْتَمَعَ إِلَيْهِ
أَصْحَابُ الحَدِيثِ، وَسَأَلُوهُ أَنْ يُحَدِّثَهُمْ، فَأَبَى وَقَالَ: «لَيْسَ مَعِي
كِتَابٌ»، فَقَالُوا لَهُ: ابْنُ أَبِي دَاوُدَ وَكِتَابٌ؟ قَالَ: «فَأَثَارُونِي،
فَأَمْلَيْتُ عَلَيْهِمْ ثَلَاثِينَ أَلْفَ حَدِيثٍ مِنْ حِفْظِي، فَلَمَّا قَدِمْتُ
بَغْدَادَ، قَالَ البَغْدَادِيُّونَ: مَضَى فَلَعِبَ بِالنَّاسِ، ثُمَّ فَيَّجُوا فَيْجًا
اكْتَرَوْهُ بِسِتَّةِ دَنَانِيرَ إِلَى سِجِسْتَانَ لِيَكْتُبَ لَهُمُ النُّسْخَةَ،
فَكَتَبْتُ، وَجِيءَ بِهَا إِلَى بَغْدَادَ، وَعُرِضَتْ عَلَى الحُفَّاظِ، فَخَطَّئُونِي
فِي سِتَّةِ أَحَادِيثَ، مِنْهَا ثَلَاثَةٌ حَدَّثْتُ بِهَا كَمَا حُدِّثْتُ، وَثَلاثَةُ
أَحَادِيثَ أَخْطَأْتُ فِيهَا».
Dari Ahmad bin
Ibrohim bin Syadzan, ia berkata: Abu Bakr bin Abi Dawud pergi ke Sijistan. Para
ahli Hadits berkumpul menemuinya dan memintanya untuk menyampaikan Hadits
kepada mereka. Namun ia menolak dan berkata: “Aku tidak membawa kitab.” Mereka
berkata kepadanya: “Putra Abu Dawud (butuh) kitab?” Ia berkata: “Mereka
memprovokasiku. Maka, aku mendiktekan kepada mereka 30.000 Hadits dari
hafalanku. Ketika aku tiba di Baghdad, orang-orang Baghdad berkata: ‘Ia pergi ke
sana untuk mempermainkan orang-orang (di sana)’. Kemudian mereka mengirim
utusan yang mereka sewa dengan enam dinar ke Sijistan untuk menyalin naskah
(hasil dikte) untuk mereka. Naskah itu pun disalin dan dibawa ke Baghdad, lalu diperlihatkan kepada para huffazh.
Mereka menyalahkanku pada enam Hadits. Tiga di antaranya memang aku sampaikan
sebagaimana aku mendengarnya (memang keliru dari sumbernya), dan tiga Hadits
lainnya memang aku yang keliru.”
[16] ‘Ubaidullah
bin ‘Abdil Karim bin Yazid “Abu Zur’ah Ar-Rozi”
قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: «مَا جَاوَزَ الجِسْرَ
أَحْفَظُ مِنْ أَبِي زُرْعَةَ، قَدْ حَفِظَ سِتَّ مِائَةِ أَلْفٍ».
Ahmad bin Hanbal
berkata: “Tidak ada yang melewati jembatan (ini) yang lebih kuat hafalannya
daripada Abu Zur’ah. Ia telah menghafal 600.000 (Hadits).”
عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ
بْنِ سُلَيْمَانَ التُّسْتَرِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا زُرْعَةَ يَقُولُ: «إِنَّ
فِي بَيْتِي مَا كَتَبْتُهُ مُنْذُ خَمْسِينَ سَنَةً، وَلَمْ أُطَالِعْهُ مُنْذُ كَتَبْتُهُ،
وَإِنِّي أَعْلَمُ فِي أَيِّ كِتَابٍ هُوَ، فِي أَيَّةِ وَرَقَةٍ هُوَ، فِي أَيِّ صَفْحٍ
هُوَ، فِي أَيِّ سَطْرٍ هُوَ، وَمَا سَمِعَ أُذُنِي شَيْئًا مِنَ العِلْمِ إِلَّا وَعَاهُ
قَلْبِي، فَإِنِّي كُنْتُ أَمْشِي فِي سُوقِ بَغْدَادَ فَأَسْمَعُ مِنَ الغُرَفِ صَوْتَ
المُغَنِّيَاتِ، فَأَضَعُ أُصْبُعِي فِي أُذُنِي، مَخَافَةَ أَنْ يَعِيَهُ قَلْبِي».
Dari Abu Ja’far
Ahmad bin Muhammad bin Sulaiman At-Tustari, ia berkata: Aku mendengar Abu Zur’ah
berkata: “Sesungguhnya di rumahku ada tulisan-tulisanku sejak 50 tahun yang
lalu, dan aku belum pernah membacanya lagi sejak aku menulisnya. Namun aku tahu
di kitab mana tulisan itu berada, di lembar ke berapa, di halaman mana, dan di
baris ke berapa. Tidaklah telingaku mendengar sesuatu dari Ilmu melainkan
hatiku akan menjaganya. Dulu aku biasa berjalan di pasar Baghdad lalu aku
mendengar suara para penyanyi wanita dari kamar-kamar (di atas). Aku pun
meletakkan jariku di telinga, karena khawatir hatiku akan menghafalnya.”
عَنْ أَبِي العَبَّاسِ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرِ
بْنِ حَمْكَوَيْهِ، قَالَ: سُئِلَ أَبُو زُرْعَةَ الرَّازِيُّ عَنْ رَجُلٍ حَلَفَ بِالطَّلاقِ:
أَنَّ أَبَا زُرْعَةَ الرَّازِيَّ يَحْفَظُ مِائَتَيْ أَلْفَ حَدِيثٍ، هَلْ حَنَثَ؟
فَقَالَ: «لا»، ثُمَّ قَالَ أَبُو زُرْعَةَ الرَّازِيُّ: «أَحْفَظُ مِائَتَيْ أَلْفَ
حَدِيثٍ، كَمَا يَحْفَظُ الإِنْسَانُ: {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ}، وَفِي المُذَاكَرَةِ
ثَلاثُ مِائَةِ أَلْفِ حَدِيثٍ».
Dari Abu Al-’Abbas
Muhammad bin Ja’far bin Hamkawaih, ia berkata: Abu Zur’ah Ar-Rozi pernah
ditanya tentang seorang pria yang bersumpah akan mencerai istrinya jika Abu Zur’ah
Ar-Rozi hafal 200.000 Hadits, apakah sumpahnya batal (karena salah)? Beliau
menjawab: “Tidak.” Kemudian Abu Zur’ah Ar-Rozi berkata: “Aku hafal 200.000
Hadits sebagaimana seseorang hafal: “Qul Huwallahu Ahad..” dalam mudzakaroh
(hafalan untuk diskusi) ada 300.000 Hadits.”
[17] ‘Abdurrohman
bin Ahmad bin ‘Abdillah “Abu ‘Abdillah Al-Khuttuli”
عَنْ عَلِيِّ بْنِ الحَسَنِ، أَخْبَرَنِي أَبِي،
قَالَ: دَخَلَ إِلَيْنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الخُتُّلِيُّ إِلَى البَصْرَةِ، وَلَيْسَ
مَعَهُ شَيْءٌ مِنْ كُتُبِهِ، فَحَدَّثَ شُهُورًا إِلَى أَنْ لَحِقَتْهُ كُتُبُهُ فَسَمِعْتُهُ
يَقُولُ: «حَدَّثْتُ بِخَمْسِينَ أَلْفِ حَدِيثٍ مِنْ حِفْظِي إِلَى أَنْ لَحِقَتْنِي
كُتُبِي».
Dari ‘Ali bin
Al-Hasan, ayahku mengabarkan kepadaku, ia berkata: Abu ‘Abdillah Al-Khuttuli
datang kepada kami di Bashroh tanpa membawa satu pun kitabnya. Ia menyampaikan
Hadits selama berbulan-bulan hingga kitab-kitabnya datang menyusul. Aku
mendengarnya berkata: “Aku telah menyampaikan 50.000 Hadits dari hafalanku
sampai kitab-kitabku tiba.”
[18] ‘Abdurrohman
bin Mahdi
قَالَ ابْنُ المَدِينِيِّ: «لَوْ أَنِّي حَلَفْتُ
بَيْنَ الرُّكْنِ وَالمَقَامِ، لَحَلَفْتُ أَنِّي لَمْ أَرَ أَحَدًا أَعْلَمَ بِالحَدِيثِ
مِنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ».
Ibnu Al-Madini
berkata: “Seandainya aku bersumpah di antara Rukun (Yamani) dan Maqom
(Ibrohim), niscaya aku akan bersumpah bahwa aku tidak pernah melihat seorang
pun yang lebih ‘alim tentang Hadits daripada ‘Abdurrohman.”
وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى: «مَا رَأَيْتُ
عِنْدَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ كِتَابًا قَطُّ، وَكُلُّ مَا سَمِعْتُهُ مِنْهُ سَمِعْتُهُ
حِفْظًا».
Muhammad bin
Yahya berkata: “Aku tidak pernah melihat kitab sama sekali di sisi ‘Abdurrohman.
Semua yang aku dengar darinya, aku dengar dari hafalannya.”
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ القَوَارِيرِيِّ،
قَالَ: «أَمْلَى عَلَيَّ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عِشْرِينَ أَلْفَ حَدِيثٍ
حِفْظًا».
Dari ‘Ubaidillah
bin ‘Umar Al-Qowariri, ia berkata: “‘Abdurrohman bin Mahdi mendiktekan kepadaku
20.000 Hadits dari hafalannya.”
عَنْ صَالِحِ بْنِ أَحْمَدَ العِجْلِيِّ، حَدَّثَنِي
أَبِي، وَذُكِرَ عِنْدَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، قَالَ: فَقَالَ لَهُ:
أَيُّمَا أَحَبُّ إِلَيْكَ، يُغْفَرُ لَكَ ذَنْبًا، أَوْ تَحْفَظُ حَدِيثًا؟ قَالَ:
«أَحْفَظُ حَدِيثًا».
Dari Sholih bin
Ahmad Al-‘Ijli, ayahku menceritakan kepadaku, dan disebut di sisinya nama ‘Abdurrohman
bin Mahdi, lalu ia berkata kepadanya: “Mana yang lebih engkau sukai, dosamu
diampuni, atau engkau menghafal satu Hadits?” Ia menjawab: “Aku (lebih suka)
menghafal satu Hadits.”
[19] ‘Amir
Asy-Sya’bi
عَنِ ابْنِ شُبْرُمَةَ، قَالَ: قَالَ الشَّعْبِيُّ:
«مَا كَتَبْتُ سَوْدَاءَ فِي بَيْضَاءَ إِلَّا وَأَنَا أَحْفَظُهَا، وَلَا حَدَّثَنِي
رَجُلٌ بِحَدِيثٍ وَأَحْبَبْتُ أَنْ يُعِيدَهُ عَلَيَّ».
Dari Ibnu
Syubrumah, ia berkata: Asy-Sya’bi berkata: “Aku tidak pernah menulis tinta
hitam di atas kertas putih melainkan aku telah menghafalnya. Tidak pernah ada
seorang pun yang menceritakan sebuah Hadits kepadaku lalu aku ingin ia
mengulanginya untukku.”
[20] ‘Ali
bin Al-Madini
قَالَ البُخَارِيُّ: «مَا اسْتَصْغَرْتُ نَفْسِي
إِلَّا عِنْدَ ابْنِ المَدِينِيِّ».
Al-Bukhori
berkata: “Aku tidak pernah merasa kecil (rendah) di hadapan siapa pun kecuali
di hadapan Ibnu Al-Madini.”
[21] ‘Ali
bin ‘Umar Ad-Daroquthni
سَأَلَهُ يَوْمًا أَبُو الفَتْحِ بْنُ أَبِي الفَوَارِسِ
عَنْ حَدِيثٍ، فَأَجَابَهُ، ثُمَّ قَالَ: «يَا أَبَا الفَتْحِ! لَيْسَ بَيْنَ المَشْرِقِ
وَالمَغْرِبِ مَنْ يَعْرِفُ هَذَا غَيْرِي».
Suatu hari Abu
Al-Fath bin Abi Al-Fawaris bertanya kepadanya tentang sebuah Hadits, dan ia pun
menjawabnya. Kemudian ia berkata: “Wahai Abu Al-Fath! Di antara timur dan
barat, tidak ada seorang pun yang mengetahui Hadits ini selain diriku.”
عَنِ الأَزْهَرِيِّ، قَالَ: بَلَغَنِي أَنَّ الدَّارَقُطْنِيَّ
حَضَرَ فِي حَدَاثَتِهِ مَجْلِسَ إِسْمَاعِيلَ الصَّفَّارِ، فَجَعَلَ يَنْسَخُ جُزْءًا
كَانَ مَعَهُ، وَإِسْمَاعِيلُ يُمْلِي، فَقَالَ لَهُ بَعْضُ الحَاضِرِينَ: لَا يَصِحُّ
سَمَاعُكَ، وَأَنْتَ تَنْسَخُ، فَقَالَ الدَّرَاقُطْنِيُّ: «فَهْمِي لِلإِمْلاءِ غَيْرُ
فَهْمِكَ»، ثُمَّ قَالَ: «تَحْفَظُ كَمْ أَمْلَى الشَّيْخُ مِنْ حَدِيثٍ إِلَى الآنَ؟»
قَالَ: لا، فَقَالَ: «أَمْلَى ثَمَانِيَةَ عَشَرَ حَدِيثًا»، فَعَدَّدْتُ الأَحَادِيثَ،
فَكَانَتْ كَمَا قَالَ، ثُمَّ قَالَ: «الحَدِيثُ الأَوَّلُ: عَنْ فُلَانٍ عَنْ فُلَانٍ،
وَمَتْنُهُ كَذَا، وَالحَدِيثُ الثَّانِي: عَنْ فُلَانٍ عَنْ فُلَانٍ، وَمَتْنُهُ كَذَا»،
وَلَمْ يَزَلْ يَذْكُرُ أَسَانِيدَ الأَحَادِيثِ، وَمُتُونَهَا، عَلَى تَرْتِيبِهَا
فِي الإِمْلَاءِ، حَتَّى أَتَى عَلَى آخِرِهَا، فَتَعَجَّبَ النَّاسُ مِنْهُ.
Dari Al-Azhari,
ia berkata: Sampai kabar kepadaku bahwa Ad-Daroquthni saat masih muda
menghadiri majelis Isma’il Ash-Shoffar. Ia duduk sambil menyalin sebuah jilid
yang ada padanya, sementara Isma’il sedang mendiktekan (Hadits). Salah seorang
yang hadir berkata kepadanya: “Pendengaranmu tidak sah (tidak dihitung) jika
engkau sambil menyalin.” Ad-Daroquthni menjawab: “Pemahamanku terhadap diktean
ini tidak sama dengan pemahamanmu.” Lalu ia berkata: “Apakah engkau hafal
berapa Hadits yang telah didiktekan oleh Syaikh hingga saat ini?” Orang itu
berkata: “Tidak.” Ad-Daroquthni berkata: “Beliau telah mendiktekan 18 Hadits.”
Aku pun menghitung Hadits-hadits tersebut, dan jumlahnya benar seperti yang ia
katakan. Kemudian ia berkata: “Hadits pertama: dari fulan dari fulan, dan
matan-nya (isinya) begini. Hadits kedua: dari fulan dari fulan, dan matan-nya
begini.” Ia terus menyebutkan sanad-sanad dan matan-matan Hadits secara
berurutan sesuai urutan diktean hingga selesai. Orang-orang pun takjub
kepadanya.
[22]
Al-Fadhl bin Dukain “Abu Nu’aim”
عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مَنْصُورٍ، قَالَ: خَرَجْتُ
مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَيَحْيَى، فَقَالَ يَحْيَى لِأَحْمَدَ: أُرِيدُ أَنْ
أَخْتَبِرَ أَبَا نُعَيْمٍ، فَقَالَ: لَا تُرِدْ! فَالرَّجُلُ ثِقَةٌ، فَقَالَ: لَا
بُدَّ لِي، فَأَخَذَ وَرَقَةً، فَكَتَبَ فِيهَا ثَلَاثِينَ حَدِيثًا مِنْ حَدِيثِ أَبِي
نُعَيْمٍ، وَجَعَلَ عَلَى رَأْسِ كُلِّ عَشَرَةٍ مِنْهَا حَدِيثًا لَيْسَ مِنْ حَدِيثِهِ،
ثُمَّ جَاءُوا إِلَى أَبِي نُعَيْمٍ، فَقَرَأَ يَحْيَى عَشَرَةً وَأَبُو نُعَيْمٍ سَاكِتٌ
ثُمَّ قَرَأَ الحَادِي عَشَرَ، فَقَالَ أَبُو نُعَيْمٍ: لَيْسَ مِنْ حَدِيثِي، اضْرِبْ
عَلَيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ العَشْرَ الثَّانِي، وَأَبُو نُعَيْمٍ سَاكِتٌ، فَقَرَأَ الحَدِيثَ
الثَّانِي، فَقَالَ: لَيْسَ مِنْ حَدِيثِي، فَاضْرِبْ عَلَيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ العَشْرَ
الثَّالِثَ، وَأَبُو نُعَيْمٍ سَاكِتٌ، ثُمَّ قَرَأَ الحَدِيثَ الثَّالِثَ، فَتَغَيَّرَ
أَبُو نُعَيْمٍ، وَانْقَلَبَتْ عَيْنَاهُ، وَأَقْبَلَ عَلَى يَحْيَى، فَقَالَ: أَمَّا
هَذَا - وَذِرَاعُ أَحْمَدَ بِيَدِهِ - فَأَوْرَعُ مِنْ أَنْ يَعْمَلَ هَذَا، وَأَمَّا
هَذَا – يُرِيدُنِي - فَأَقَلُّ مِنْ أَنْ يَفْعَلَ هَذَا،
وَلَكِنَّ هَذَا مِنْ فِعْلِكَ يَا فَاعِلُ، ثُمَّ أَخْرَجَ رِجْلَهُ، فَرَفَسَ يَحْيَى،
فَرَمَى بِهِ، فَقَالَ يَحْيَى: وَاللَّهِ، لَرَفْسَتُهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ سَفَرِي.
Dari Ahmad bin
Manshur, ia berkata: Aku keluar bersama Ahmad bin Hanbal dan Yahya (bin Ma’in).
Yahya berkata kepada Ahmad: “Aku ingin menguji Abu Nu’aim.” Ahmad berkata: “Jangan!
Orang itu tsiqoh (terpercaya).” Yahya berkata: “Aku harus (mengujinya).”
Ia pun mengambil selembar kertas, lalu menulis 30 Hadits dari koleksi Hadits
Abu Nu’aim. Di setiap 10 Hadits, ia menyisipkan satu Hadits yang bukan dari
koleksi Abu Nu’aim. Kemudian mereka mendatangi Abu Nu’aim. Yahya membacakan 10
Hadits dan Abu Nu’aim hanya diam. Kemudian ia membaca Hadits kesebelas, Abu Nu’aim
berkata: “Ini bukan Haditsku, coret saja!” Lalu ia membaca 10 Hadits kedua, dan
Abu Nu’aim tetap diam. Saat ia membaca Hadits (yang disisipkan) berikutnya, Abu
Nu’aim berkata: “Ini bukan Haditsku, coret saja!” Kemudian ia membaca 10 Hadits
ketiga, dan Abu Nu’aim masih diam. Saat ia membaca Hadits (sisipan) yang
ketiga, Abu Nu’aim berubah raut wajahnya, matanya terbelalak, dan ia menghadap
Yahya lalu berkata: “Adapun orang ini—sambil memegang lengan Ahmad—ia terlalu waro’
(berhati-hati) untuk melakukan ini. Adapun orang ini—maksudnya aku—ia terlalu kecil
untuk melakukan ini. Tapi ini pasti perbuatanmu, wahai pelaku!” Kemudian ia
menjulurkan kakinya, menendang Yahya hingga terlempar. Yahya lalu berkata: “Demi
Allah, tendangannya lebih aku sukai daripada perjalananku ini.”
[23]
Qotadah bin Du’amah “Abu Al-Khoththob As-Sadusi”
وَسَأَلَ سَعِيدَ بْنَ المُسَيِّبِ فَأَكْثَرَ،
فَقَالَ لَهُ سَعِيدٌ: أَكُلَّ مَا سَأَلْتَنِي عَنْهُ تَحْفَظُهُ؟ قَالَ: «نَعَمْ،
سَأَلْتُكَ عَنْ كَذَا، فَقُلْتَ كَذَا، وَعَنْ كَذَا، فَقُلْتَ كَذَا وَعَنْ كَذَا،
فَقُلْتَ كَذَا»، فَقَالَ سَعِيدٌ: مَا ظَنَنْتُ أَنَّ اللَّهَ خَلَقَ مِثْلَكَ.
Ia pernah
bertanya kepada Sa’id bin Al-Musayyib dan sangat banyak bertanya. Sa’id pun
berkata kepadanya: “Apakah semua yang engkau tanyakan kepadaku itu engkau hafal?”
Ia menjawab: “Ya. Aku bertanya kepadamu tentang ini, engkau menjawab begini.
Tentang itu, engkau menjawab begitu. tentang anu, engkau menjawab begini.” Sa’id
berkata: “Aku tidak menyangka Allah menciptakan orang sepertimu.”
وَكَانَ يَقُولُ: «مَا سَمِعَتْ أُذُنَايَ شَيْئًا
قَطُّ إِلَّا وَعَاهُ قَلْبِي».
Qotadah biasa
berkata: “Tidaklah kedua telingaku mendengar sesuatu pun melainkan hatiku akan
menjaganya.”
[24]
Muhammad bin Muslim “Abu Bakr Az-Zuhri”
عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: «مَا اسْتَعَدْتُ حَدِيثًا
قَطُّ، وَلَا شَكَكْتُ فِي حَدِيثٍ إِلَّا حَدِيثًا وَاحِدًا، فَسَأَلْتُ صَاحِبِي؛
فَإِذَا هُوَ كَمَا حَفِظْتُ».
Dari Az-Zuhri, ia
berkata: “Aku tidak pernah meminta suatu Hadits diulang sama sekali. Aku tidak
pernah ragu pada suatu Hadits kecuali satu Hadits saja. Lalu aku bertanya kepada
sahabatku, ternyata Hadits itu memang seperti yang aku hafal.”
[25]
Muhammad bin Isma’il Al-Bukhori
وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: «مَا أَخْرَجَتْ
خُرَاسَانُ مِثْلَ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَاعِيلَ البُخَارِيِّ».
Ahmad bin Hanbal
berkata: “Khorasan tidak pernah melahirkan orang yang sekaliber Muhammad bin
Isma’il Al-Bukhori.”
عَنْ أَبِي أَحْمَدَ بْنِ عَدِيٍّ، قَالَ: سَمِعْتُ
عِدَّةَ مَشَايِخَ يَحْكُونَ: أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْمَاعِيلَ البُخَارِيَّ قَدِمَ
بَغْدَادَ، فَسَمِعَ بِهِ أَصْحَابُ الحَدِيثِ، فَاجْتَمَعُوا، وَعَمَدُوا إِلَى مِائَةِ
حَدِيثٍ، فَقَلَبُوا مُتُونَهَا، وَأَسَانِيدَهَا، وَجَعَلُوا مَتْنَ هَذَا الإِسْنَادِ
آخَرَ، وَإِسْنَادَ هَذَا المَتْنِ لِمَتْنٍ آخَرَ، وَدَفَعُوهَا إِلَى عَشَرَةِ أَنْفُسٍ،
فَابْتَدَرَ رَجُلٌ مِنَ العَشَرَةِ، فَسَأَلَهُ عَنْ حَدِيثٍ مِنْ تِلْكَ الأَحَادِيثِ،
فَقَالَ: «لَا أَعْرِفُهُ»، فَسَأَلَهُ عَنْ آخَرَ، فَقَالَ: «لَا أَعْرِفُهُ»، فَمَا
زَالَ يُلْقِي عَلَيْهِ وَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ، حَتَّى فَرَغَ مِنَ العَشَرَةِ، وَالبُخَارِيُّ
يَقُولُ: «لَا أَعْرِفُهُ»، وَكَانَ بَعْضُ الفُهَمَاءِ يَقُولُ: الرَّجُلُ فَهْمٌ،
وَبَعْضُهُمْ يَقْضِي عَلَيْهِ بِالعَجْزِ.
Dari Abu Ahmad
bin ‘Adi, ia berkata: Aku mendengar beberapa syaikh bercerita bahwa ketika
Muhammad bin Isma’il Al-Bukhori tiba di Baghdad, para ahli Hadits mendengar
kedatangannya. Mereka pun berkumpul dan sengaja mengambil 100 Hadits, lalu
mereka membolak-balik matan (isi) dan isnad (sanad) nya. Mereka menjadikan
matan dari sanad ini untuk sanad yang lain, dan isnad dari matan ini untuk
matan yang lain. Mereka memberikannya kepada 10 orang. Salah seorang dari 10
orang itu maju dan bertanya kepada Al-Bukhori tentang satu Hadits dari kumpulan
Hadits tersebut. Al-Bukhori berkata: “Aku tidak mengetahuinya.” Orang itu
bertanya lagi tentang Hadits lain, beliau menjawab: “Aku tidak mengetahuinya.”
Orang itu terus melemparkan pertanyaan satu per satu hingga selesai 10 Hadits,
dan Al-Bukhori selalu menjawab: “Aku tidak mengetahuinya.” Sebagian orang yang
cerdas (yang hadir di sana) berkata: “Orang ini (Al-Bukhori) paham (apa yang
terjadi).” Sebagian lain menilainya tidak mampu.
ثُمَّ ابْتَدَرَ رَجُلٌ آخَرُ، فَسَأَلَهُ عَنِ
الأَحَادِيثِ، وَهُوَ يَقُولُ فِي كُلِّ حَدِيثٍ: «لَا أَعْرِفُهُ»، حَتَّى فَرَغَ
مِنْ عَشَرَةٍ، ثُمَّ الثَّالِثُ، ثُمَّ الرَّابِعُ، إِلَى تَمَامِ العَشَرَةِ، وَالبُخَارِيُّ
لَا يَزِيدُهُمْ عَلَى: «لَا أَعْرِفُهُ»، فَلَمَّا فَرَغُوا، الْتَفَتَ إِلَى الأَوَّلِ،
فَقَالَ: «أَمَّا حَدِيثُكَ الأَوَّلُ، فَهُوَ كَذَا، وَحَدِيثُ الثَّانِي كَذَا، وَحَدِيثُ
الثَّالِثُ كَذَا، وَالرَّابِعُ»، حَتَّى أَتَى عَلَى تَمَامِ العَشَرَةِ، فَرَدَّ
كُلَّ مَتْنٍ إِلَى إِسْنَادِهِ، وَكُلَّ إِسْنَادٍ إِلَى مَتْنِهِ، وَفَعَلَ بِالآخَرِ
مِثْلَ ذَلِكَ، فَأَقَرَّ لَهُ النَّاسُ بِالحِفْظِ وَأَذْعَنُوا لَهُ بِالفَضْلِ.
Kemudian, orang
kedua maju dan menanyakan Hadits-hadits (yang telah diubah), dan beliau selalu
menjawab: “Aku tidak mengetahuinya”, hingga selesai 10 Hadits. Lalu orang
ketiga, keempat, hingga sepuluh orang itu selesai. Al-Bukhori tidak menambah
jawaban selain: “Aku tidak mengetahuinya.” Ketika mereka semua selesai, beliau
menoleh kepada orang pertama dan berkata: “Adapun Hadits pertamamu, yang benar
adalah begini. Hadits keduamu, begini. Hadits ketigamu, begini. Yang keempat...”,
hingga beliau menyelesaikan sepuluh Hadits. Beliau mengembalikan setiap matan
ke isnad-nya yang benar, dan setiap isnad ke matan-nya yang benar. Beliau
melakukan hal yang sama kepada (sembilan) orang lainnya. Maka, orang-orang pun
mengakui kekuatan hafalannya dan tunduk pada keutamaannya.
[26]
Muhammad bin Idris Ar-Rozi “Abu Hatim”
وَقَالَ: «خَرَجْتُ فِي طَلَبِ الحَدِيثِ فَأَحْصَيْتُ،
أَحْصَيْتُ أَنِّي مَشَيْتُ عَلَى قَدَمَيَّ زِيَادَةً عَلَى أَلْفِ فَرْسَخٍ، وَقُلْتُ
عَلَى بَابِ أَبِي الوَلِيدِ الطَّيَالِسِيِّ: مَنْ أَغْرَبَ عَلَيَّ حَدِيثًا مُسْنَدًا
صَحِيحًا، لَمْ أَسْمَعْ بِهِ، فَلَهُ عَلَيَّ دِرْهَمٌ، وَقَدْ حَضَرَ أَبُو زُرْعَةَ،
وَإِنَّمَا كَانَ مُرَادِي أَنْ يُلْقِيَ عَلَيَّ مَا لَمْ أَسْمَعْ بِهِ، لِيَقُولَ:
هُوَ عِنْدَ فُلَانٍ، فَأَذْهَبُ وَأَسْمَعُهُ، وَكَانَ مُرَادِي أَنْ أَسْتَخْرِجَ
مِنْهُمْ مَا لَيْسَ عِنْدِي، فَمَا تَهَيَّأَ لِأَحَدٍ أَنْ يُغْرِبَ عَلَيَّ حَدِيثًا».
Ia berkata: “Aku
keluar untuk mencari Hadits, lalu aku menghitung bahwa aku telah berjalan kaki
lebih dari 1.000 farsakh (sekitar 5.500 km). Di depan pintu Abu Al-Walid
Ath-Thoyalisi, aku pernah berkata: ‘Siapa pun yang bisa membawakanku satu
Hadits musnad (bersambung sanadnya) yang shohih yang belum pernah aku dengar,
maka ia akan mendapatkan satu dirham dariku’. Saat itu Abu Zur’ah hadir.
Maksudku sebenarnya adalah agar seseorang menyampaikan kepadaku Hadits yang
belum aku dengar, agar ia mengatakan: ‘Hadits itu ada pada si Fulan’, lalu aku
bisa pergi dan mendengarnya. Tujuanku adalah untuk mendapatkan dari mereka apa
yang tidak aku miliki. Namun, tidak ada seorang pun yang mampu membawakan
Hadits yang asing bagiku.”
[27]
Muhammad bin Abi Bakr bin Abi Khoitsamah “Abu ‘Abdillah”
وَكَانَ القَاضِي ابْنُ كَامِلٍ يَقُولُ: «أَرْبَعَةٌ
كُنْتُ أُحِبُّ لِقَاءَهُمْ: أَبُو جَعْفَرٍ الطَّبَرِيُّ، وَالبَرْبَرِيُّ، وَأَبُو
عَبْدِ اللَّهِ بْنُ أَبِي خَيْثَمَةَ، وَالمَعْمَرِيُّ، فَمَا رَأَيْتُ أَفْهَمَ مِنْهُمْ
وَلَا أَحْفَظَ».
Al-Qodhi (hakim)
Ibnu Kamil biasa berkata: “Ada empat orang yang sangat ingin aku temui: Abu Ja’far
Ath-Thobari, Al-Barbari, Abu ‘Abdillah bin Abi Khoitsamah, dan Al-Ma’mari. Aku
belum pernah melihat orang yang lebih cerdas dan lebih kuat hafalannya dari
mereka.”
[28]
Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman Al-Baghandi
كَانَ يَقُولُ: «أَنَا أُجِيبُ فِي ثَلَاثِ مِائَةِ
أَلْفِ مَسْأَلَةٍ مِنْ حَدِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ».
Ia biasa berkata:
“Aku bisa menjawab 300.000 masalah dari Hadits Rosulullah ﷺ.”
قَالَ: «وَحُبِّبَ إِلَيَّ الحَدِيثُ، حَتَّى
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّوْمِ، فَلَمْ
أَقُلْ لَهُ: ادْعُ اللَّهَ لِي، وَإِنَّمَا قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّه! أَيُّمَا
أَثْبَتُ فِي الحَدِيثِ: مَنْصُورٌ أَوِ الأَعْمَشُ؟ فَقَالَ لِي: مَنْصُورٌ، مَنْصُورٌ».
Ia berkata: “Aku dibuat
cinta kepada Hadits, sampai-sampai aku melihat Rosulullah ﷺ dalam mimpi. Aku tidak berkata
kepada beliau: ‘Doakanlah kepada Allah untukku’, melainkan aku berkata: ‘Wahai
Rosulullah! Mana yang lebih kokoh dalam Hadits: Manshur atau Al-A’masy?’ Beliau
berkata kepadaku: ‘Manshur, Manshur’.”
عَنْ أَبِي حَفْصِ بْنِ شَاهِينَ قَالَ: «صَلَّيْتُ
خَلْفَ مُحَمَّدِ بْنِ مُحَمَّدٍ البَاغَنْدِيِّ، فَافْتَتَحَ الصَّلاةَ ثُمَّ قَالَ:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سُلَيْمَانَ لُوَيْنٌ، فَقِيلَ لَهُ: سُبْحَانَ اللَّهِ،
فَقَالَ: أَخْبَرَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ الأُبَلِّيُّ، فَقَالَ: {بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}».
Dari Abu Hafsh
bin Syahin, ia berkata: “Aku Sholat di belakang Muhammad bin Muhammad
Al-Baghandi. Ia memulai Sholat lalu (secara tidak sadar) berkata: ‘Telah
mengabarkan kepada kami Muhammad bin Sulaiman Luwayn...’. Dikatakan kepadanya: ‘Subhanallah!’.
Ia lalu berkata: ‘Telah mengabarkan kepada kami Syaiban bin Farrukh Al-Ubuli...’.
Lalu ia (sadar dan) berkata: ‘“Bismillahirrohmanirrohim.”’.”
[29]
Muhammad bin Al-Qosim “Abu Bakr Al-Anbari”
وَذَكَرُوا أَنَّهُ كَانَ يَحْفَظُ ثَلَاثَ مِائَةِ
أَلْفَ بَيْتٍ مِنَ الشَّوَاهِدِ فِي القُرْآنِ، وَمَرِضَ فِي زَمَنِ أَبِيهِ فَقَلِقَ
أَبُوهُ، وَقَالَ: كَيْفَ لَا أَقْلَقُ لِعِلَّةِ مَنْ يَحْفَظُ جَمِيعَ مَا فِي هَذِهِ
الصَّنَادِيقِ مِنَ الكُتُبِ.
Mereka
menyebutkan bahwa ia hafal 300.000 bait syair sebagai bukti (penguat) dalam
Al-Qur’an. Ia pernah sakit di masa ayahnya, dan ayahnya sangat cemas. Ayahnya
berkata: “Bagaimana aku tidak cemas atas sakitnya orang yang menghafal semua
isi peti-peti kitab ini?”
وَذَكَرُوا أَنَّهُ كَانَ يَحْفَظُ عِشْرِينَ
وَمِائَةً مِنْ تَفَاسِيرِ القُرْآنِ بِأَسَانِيدِهَا.
Mereka juga
menyebutkan bahwa ia hafal 120 kitab tafsir Al-Qur’an lengkap dengan
sanad-sanadnya.
وَقَدْ أَمْلَى مِنْ حِفْظِهِ غَرِيبَ الحَدِيثِ،
وَهُوَ خَمْسٌ وَأَرْبَعُونَ أَلْفَ وَرَقَةٍ، وَكِتَابَ شَرْحِ الكَافِي، وَهُوَ أَلْفُ
وَرَقَةٍ، وَكِتَابَ الأَضْدَادِ، أَلْفُ وَرَقَةٍ، وَالجَاهِلِيَّاتِ، سَبْعُ مِائَةِ
وَرَقَةٍ، وَغَيْرَ ذَلِكَ.
Ia pernah
mendiktekan dari hafalannya kitab Ghorib Al-Hadits setebal 45.000
lembar, kitab Syarh Al-Kafi setebal 1.000 lembar, kitab Al-Adhdad 1.000
lembar, kitab Al-Jahiliyyat 700 lembar, dan lain-lain.
وَرَأَى جَارِيَةً تُبَاعُ، فَوَقَعَتْ فِي نَفْسِهِ،
فَدَخَلَ إِلَى الرَّاضِي بِاللَّهِ، فَقَالَ: أَيْنَ كُنْتَ؟ فَأَخْبَرَهُ بِرُؤْيَةِ
الجَارِيَةِ فَاشْتَرَاهَا الخَلِيفَةُ، وَبَعَثَهَا إِلَى مَنْزِلِهِ، فَلَمَّا دَخَلَ
رَآهَا فَقَالَ: اصْعَدِي إِلَى فَوْقٍ لِأَسْتَبْرِئَكِ، ثُمَّ جَلَسَ يَطْلُبُ مَسْأَلَةً
فَاشْتَغَلَ قَلْبُهُ، فَقَالَ لِلْخَادِمِ: امْضِ بِهَا إِلَى النَّخَّاسِ، فَقَالَتْ:
عَرِّفْنِي ذَنْبِي؟ فَقَالَ: مَا لَكِ ذِنْبٌ غَيْرَ أَنَّكِ شَغَلْتِينِي عَنْ عِلْمِي،
فَبَلَغَ ذَلِكَ الرَّاضِي، فَقَالَ: لَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ العِلْمُ فِي قَلْبِ
أَحَدٍ أَحْلَى مِنْهُ فِي صَدْرِ هَذَا.
Ia pernah melihat
seorang budak wanita dijual, dan wanita itu menarik hatinya. Ia pun masuk
menemui (Kholifah) Ar-Rodhi Billah. Kholifah bertanya: “Dari mana saja engkau?”
Ia memberitahu bahwa ia baru saja melihat budak wanita itu. Sang Kholifah pun
membelinya dan mengirimnya ke rumah Al-Anbari. Ketika ia masuk dan melihatnya,
ia berkata: “Naiklah ke atas agar kamu melakukan istibro’ (masa tunggu
sebelum digauli).” Kemudian ia duduk untuk menelaah suatu masalah, namun
hatinya menjadi sibuk (terganggu). Ia pun berkata kepada pelayannya: “Bawa dia
ke pasar budak!” Wanita itu bertanya: “Beritahu aku, apa kesalahanku?”
Al-Anbari menjawab: “Engkau tidak punya salah, hanya saja engkau telah
menyibukkanku dari ilmuku.” Kabar ini sampai kepada Kholifah Ar-Rodhi, dan ia
berkata: “Tidak selayaknya Ilmu di hati seseorang terasa lebih manis daripada
di dada orang ini.”
وَكَانَ إِذَا حَضَرَ عِنْدَ الرَّاضِي، شُوِيَتْ
لَهُ قَلِيَّةٌ يَابِسَةٌ، وَيَأْكَلُهَا وَلَا يَشْرَبُ مَاءً إِلَى العَصْرِ، وَلَا
يَقْرُبُ المَاءَ كُلَّ ذَلِكَ لِأَجْلِ حِفْظِهِ، فَلَمَّا مَرِضَ هُوَ مَرَضَ المَوْتِ،
فَأَكَلَ مِنْ كُلِّ مَا كَانَ يَشْتَهِي، وَدَخَلَ عَلَيْهِ الطَّبِيبُ، فَنَظَرَ
إِلَى مَائِهِ، وَقَالَ: هَذَا يَدُلُّ عَلَى تَكَلُّفِكَ أَمْرًا لَا يُطِيقُهُ النَّاسُ،
فَلَمَّا خَرَجَ تَبِعَهُ بَعْضُ أَصْحَابِهِ، فَقَالَ: هُوَ تَالِفٌ، وَمَا فِيهِ
حِيلَةٌ، فَدَخَلَ ذَلِكَ الرَّجُلُ، فَقَالَ لَهُ: مَا الَّذِي كُنْتَ تَفْعَلُهُ
حَتَّى اسْتَدَلَّ الطَّبِيبُ عَلَى حَالِكَ؟ فَقَالَ: كُنْتُ أَدْرُسُ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ
خَمْسَ عَشْرَةَ أَلْفَ وَرَقَةٍ.
Ketika ia berada
di sisi Ar-Rodhi, disiapkan untuknya kacang panggang kering. Ia memakannya dan
tidak minum air hingga waktu ‘Ashar. Ia tidak mendekati air sama sekali, semua
itu demi menjaga hafalannya. Ketika ia menderita sakit yang membawanya pada
kematian, ia memakan semua yang ia inginkan. Seorang tabib masuk menemuinya,
lalu melihat air (urin) nya dan berkata: “Ini menunjukkan bahwa engkau telah
memaksakan diri pada sesuatu yang tidak sanggup dilakukan manusia.” Ketika
tabib itu keluar, salah seorang sahabatnya mengikutinya dan bertanya. Tabib itu
berkata: “Dia akan binasa, tidak ada cara lagi.” Orang itu pun masuk kembali dan
bertanya kepada Al-Anbari: “Apa yang biasa engkau lakukan hingga tabib itu bisa
menyimpulkan keadaanmu?” Ia menjawab: “Dulu aku biasa mempelajari 15.000 lembar
setiap Jum’at.”
[30]
Muhammad bin Ahmad bin Ibrohim Al-’Assal Al-Ashbahani
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَنْدَهْ، قَالَ:
«كَتَبْتُ عَنْ أَلْفِ شَيْخٍ لَمْ أَرَ فِيهِمْ أَتْقَنَ مِنْ أَبِي أَحْمَدَ العَسَّالِ».
Dari Abu ‘Abdillah
bin Mandah, ia berkata: “Aku menulis dari 1.000 syaikh, dan aku tidak melihat
di antara mereka yang lebih teliti daripada Abu Ahmad Al-‘Assal.”
[31]
Muhammad bin Salim “Abu Bakr Al-Ji’abi”
وَكَانَ أَبُو عَلِيٍّ الحَافِظُ يَقُولُ: «مَا
رَأَيْتُ أَحْفَظَ مِنْهُ».
Abu ‘Ali
Al-Hafizh biasa berkata: “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih kuat
hafalannya daripadanya.”
عَنْ أَبِي بَكْرٍ الجِعَابِيِّ، قَالَ: «دَخَلْتُ
الرَّقَّةَ وَكَانَ لِي ثَمَّ قِمَطْرَانِ كُتُبًا فَأَنْفَذْتُ غُلَامِي إِلَى ذَلِكَ
الرَّجُلِ الَّذِي كُتُبِي عِنْدَهُ فَرَجَعَ الغُلَامُ مَغْمُومًا فَقَالَ: ضَاعَتِ
الكُتُبُ، فَقُلْتُ: يَا بُنَيَّ لَا تَغْتَمَّ فَإِنَّ فِيهَا مِائَتَيْ أَلْفَ حَدِيثٍ
لَا يُشْكَلُ عَلَيَّ مِنْهَا حَدِيثٌ لَا إِسْنَادًا وَلَا مَتْنًا».
Dari Abu Bakr
Al-Ji’abi, ia berkata: “Aku masuk ke kota Ar-Roqqoh dan di sana aku punya dua
peti besar berisi kitab. Aku mengutus pelayanku kepada orang yang menyimpan
kitab-kitabku. Pelayan itu kembali dengan wajah murung dan berkata: ‘Kitab-kitab
itu telah hilang’. Aku berkata: ‘Wahai anakku, jangan bersedih. Di dalamnya ada
200.000 Hadits, tidak ada satu pun Hadits yang samar bagiku, baik sanad maupun
matannya’.”
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي عَلِيٍّ، عَنْ أَبِيهِ،
قَالَ: «مَا شَاهَدْنَا أَحْفَظَ مِنْ أَبِي بَكْرٍ الجِعَابِيِّ، وَسَمِعْتُ مَنْ
يَقُولُ: يَحْفَظُ مِائَتَيْ أَلْفَ حَدِيثٍ، وَيُجِيبُ فِي مِثْلِهَا، إِلَّا أَنَّهُ
كَانَ يُفَضِّلُ الحِفَاظَ، بِأَنَّهُ كَانَ يَسُوقُ المُتُونَ بِأَلْفَاظِهَا، وَكَانَ
يَزِيدُ عَلَى الحُفَّاظِ، بِحِفْظِ المَقْطُوعِ، وَالمُرْسَلِ، وَالحِكَايَاتِ، وَكَانَ
إِمَامًا فِي المَعْرِفَةِ بِعِلَلِ الحَدِيثِ، وَثِقَاتِ الرِّجَالِ، مِنْ مُعَدِّلِيهِمْ،
وَضُعَفَائِهِمْ، وَمَوَالِيدِهِمْ، وَوَفَاتِهِمْ، وَانْتَهَى هَذَا الأَمْرُ إِلَيْهِ،
حَتَّى لَمْ يَبْقَ فِي زَمَنِهِ مَنْ يَتَقَدَّمُهُ فِي الدُّنْيَا».
Dari ‘Ali bin Abi
‘Ali, dari ayahnya, ia berkata: “Kami tidak pernah menyaksikan orang yang lebih
kuat hafalannya dari Abu Bakr Al-Ji’abi. Aku mendengar seseorang berkata: ‘Ia
hafal 200.000 Hadits dan bisa berdiskusi tentang 200.000 Hadits lainnya. Hanya
saja, ia melampaui para huffazh lain karena ia mampu menyampaikan matan-matan
(Hadits) dengan lafaz aslinya. Ia juga memiliki kelebihan atas para huffazh
lain karena hafalannya mencakup riwayat yang maqthu’ (terputus di bawah
Tabi’in), mursal (terputus di tingkat Tabi’in), dan hikayat-hikayat. Ia
adalah seorang imam dalam pengetahuan tentang ‘ilalul hadits (cacat
tersembunyi pada Hadits), kredibilitas para perowi, baik yang dianggap adil
maupun yang lemah, tahun kelahiran dan wafat mereka. Urusan ini berakhir
padanya, hingga tidak ada lagi di zamannya orang yang mengunggulinya di dunia.”
عَنِ الجِعَابِيِّ، قَالَ: «أَحْفَظُ أَرْبَعَ
مِائَةِ أَلْفِ حَدِيثٍ، وَأُذَاكِرُ بِسِتِّ مِائَةِ أَلْفِ حَدِيثٍ».
Dari Al-Ji’abi,
ia berkata: “Aku hafal 400.000 Hadits, dan aku berdiskusi dengan 600.000 Hadits.”
[32]
Muhammad bin Al-Muzhoffar “Abu Al-Husain”
عَنِ الصُّورِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنِي بَعْضُ الشُّيُوخِ:
أَنَّهُ حَضَرَ مَجْلِسَ القَاضِي أَبِي مُحَمَّدِ بْنِ مَعْرُوفٍ، فَدَخَلَ أَبُو
الفَضْلِ الزُّهْرِيُّ وَكَانَ أَبُو الحُسَيْنِ بْنُ المُظَفَّرِ حَاضِرًا، فَقَامَ
عَن مَكَانِهِ، وَأَجْلَسَ أَبَا الفَضْلِ فِيهِ، وَلَمْ يَكُنِ ابْنُ مَعْرُوفٍ يَعْرِفُ
أَبَا الفَضْلِ، فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ ابْنُ المُظُفَّرِ، وَقَالَ: أَيُّهَا القَاضِي!
هَذَا الشَّيْخُ مِنْ وَلَدِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، وَهُوَ مُحَدِّثٌ، ثُمَّ
قَالَ ابْنُ المُظَفَّرِ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُحَمَّدٍ وَالِدُ هَذَا
الشَّيْخِ، وَحَدَّثَنَا فُلَانٌ عَنْ أَبِيهِ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، وَحَدَّثَنَا
فُلَانٌ عَنْ جَدِّهِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ سَعْدٍ، وَلَمْ يَزَلْ يَرْوِي لِكُلِّ
وَاحِدٍ، مِنْ آبَاءِ أَبِي الفَضلِ حَدِيثًا، حَتَّى انْتَهَى إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ عَوْفٍ.
Dari Ash-Shuri,
ia berkata: Sebagian syaikh menceritakan kepadaku bahwa ia menghadiri majelis
Al-Qodhi Abu Muhammad bin Ma’ruf. Lalu masuklah Abu Al-Fadhl Az-Zuhri, dan saat
itu Abu Al-Husain bin Al-Muzhoffar hadir. Ia pun bangkit dari tempat duduknya
dan mempersilakan Abu Al-Fadhl duduk di sana. Ibnu Ma’ruf tidak mengenal Abu
Al-Fadhl. Ibnu Al-Muzhoffar pun menghadap kepadanya dan berkata: “Wahai Qodhi!
Syaikh ini adalah keturunan ‘Abdurrohman bin ‘Auf, dan beliau adalah seorang
ahli Hadits.” Kemudian Ibnu Al-Muzhoffar berkata: “Telah menceritakan kepada
kami ‘Abdurrohman bin Muhammad, ayah dari Syaikh ini. Telah menceritakan kepada
kami Fulan dari ayahnya, Muhammad bin ‘Ubaidillah. Telah menceritakan kepada
kami Fulan dari kakeknya, ‘Ubaidillah bin Sa’d.” Ia terus meriwayatkan satu
Hadits untuk setiap ayah dari Abu Al-Fadhl hingga silsilahnya sampai kepada ‘Abdurrohman
bin ‘Auf Rodhiyallahu ‘Anhu.
[33]
Muhammad bin Is-haq bin Mandah “Abu ‘Abdillah Al-Ashbahani”
عَنْ أَبِي العَبَّاسِ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ
الحَافِظِ، قَالَ: «مَا رَأَيْتُ أَحْفَظَ مِنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَنْدَهْ،
وَسَأَلْتُهُ يَوْمًا: كَمْ يَكُونُ سَمَاعُ الشَّيْخِ؟ فَقَالَ: يَكُونُ خَمْسَةَ
آلَافٍ».
Dari Abu Al-‘Abbas
Ja’far bin Muhammad Al-Hafizh, ia berkata: “Aku tidak pernah melihat orang yang
lebih kuat hafalannya daripada Abu ‘Abdillah bin Mandah. Aku bertanya kepadanya
suatu hari: ‘Berapa kira-kira jumlah riwayat yang didengar oleh seorang syaikh
(yakni jumlah hadits yang perlu didengar oleh seorang dari tiap gurunya)?’ Ia
menjawab: ‘Kira-kira 5.000.”
[34]
Musa bin Harun “Abu ‘Imron”
عَنْ عَبْدِ الغَنِيِّ بْنِ سَعِيدٍ، قَالَ:
«أَحْسَنُ النَّاسِ كَلامًا عَلَى حَدِيثِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ: عَلِيُّ بْنُ المَدِينِيِّ
فِي وَقْتِهِ، وَمُوسَى بْنُ هَارُونَ فِي وَقْتِهِ، وَعَلِيُّ بْنُ عُمَرَ الدَّارَقُطْنِيُّ
فِي وَقْتِهِ».
Dari ‘Abdul Ghoni
bin Sa’id, ia berkata: “Orang yang paling baik penjelasannya tentang Hadits
Rosulullah ﷺ
adalah: ‘Ali bin Al-Madini di masanya, Musa bin Harun di masanya, dan ‘Ali bin ‘Umar
Ad-Daroquthni di masanya.”
[35]
Al-Mu’afa bin Zakariyya Al-Jurairi
وَكَانَ أَبُو مُحَمَّدٍ البَافِيُّ يَقُولُ:
«إِذَا حَضَرَ المُعَافَى فَقَدْ حَضَرَتِ العُلُومُ كُلُّهَا، وَلَوْ أَنَّ رَجُلًا
أَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ لِأَعْلَمِ النَّاسِ لَوَجَبَ أَنْ يُدْفَعَ إِلَى المُعَافَى».
Abu Muhammad
Al-Bafi biasa berkata: “Jika Al-Mu’afa hadir, maka seluruh ilmu telah hadir.
Seandainya seseorang berwasiat sepertiga hartanya untuk orang yang paling ‘alim,
maka wajib diberikan kepada Al-Mu’afa.”
عَنْ أَحْمَدَ بْنِ عُمَرَ بْنِ رَوْحٍ: أَنَّ
المُعَافَى حَضَرَ فِي دَارِ بَعْضِ الرُّؤَسَاءِ، وَكَانَ هُنَاكَ جَمَاعَةٌ مِنْ
أَهْلِ العِلْمِ وَالأَدَبِ، فَقَالُوا لَهُ: فِي أَيِّ نَوْعٍ مِنَ العُلُومِ نَتَذَاكَرُ؟
فَقَالَ المُعَافَى لِذَلِكَ الرَّئِيسِ: «خَزَانَتُكَ قَدْ جَمَعَتْ أَنْوَاعَ العُلُومِ،
وَأَصْنَافَ الأَدَبِ، فَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ تَبْعَثَ بِالغُلَامِ إِلَيْهَا، وَتَأْمُرَهُ
أَنْ يَفْتَحَ بَابَهَا، فَيَضْرِبُ بِيَدِهِ عَلَى أَيِّ كِتَابٍ قَرُبَ مِنْهَا،
فَيَحْمِلُهُ، ثُمَّ نَفْتَحُهُ، وَنَنْظُرُهُ فِي أَيِّ نَوْعٍ هُوَ، فَنَتَذَاكَرُهُ
وَنَتَجَارَى فِيهِ». قَالَ ابْنُ رَوْحٍ: وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ المُعَافَى
كَانَ لَهُ أَنَسٌ بِسَائِرِ العُلُومِ.
Dari Ahmad bin ‘Umar
bin Rouh: Bahwa Al-Mu’afa pernah hadir di rumah salah seorang pembesar. Di sana
ada sekelompok ahli ilmu dan sastra. Mereka berkata kepadanya: “Dalam cabang
ilmu apa kita akan berdiskusi?” Al-Mu’afa berkata kepada pembesar itu: “Lemari
kitabmu telah mengumpulkan berbagai macam ilmu dan sastra. Jika engkau
berkenan, utuslah seorang pelayan ke sana dan perintahkan dia membuka pintunya,
lalu memukulkan tangannya ke kitab mana pun yang paling dekat, lalu membawanya
kemari. Kemudian kita buka dan kita lihat, ilmu jenis apa itu, lalu kita
diskusikan dan kita perdalam bersama.” Ibnu Rouh berkata: “Ini menunjukkan
bahwa Al-Mu’afa memiliki keakraban dengan seluruh cabang ilmu.”
[36]
Husyaim bin Basyir Al-Wasithi
قَالَ إِبْرَاهِيمُ الحَرْبِيُّ: «كَانَ حُفَّاظُ
الحَدِيثِ أَرْبَعَةً، هُشَيْمٌ شَيْخُهُمْ».
Ibrohim Al-Harbi
berkata: “Para huffazh Hadits ada empat, dan Husyaim adalah guru mereka.”
قَالَ هُشَيْمٌ: «كُنْتُ أَحْفَظُ فِي المَجْلِسِ
مِائَةَ حَدِيثٍ، وَلَوْ سُئِلْتُ عَنْهَا بَعْدَ شَهْرٍ؛ لَأَجَبْتُ».
Husyaim berkata: “Aku
biasa menghafal 100 Hadits dalam satu majelis, dan jika aku ditanya tentangnya
sebulan kemudian, niscaya aku bisa menjawabnya.”
[37]
Hisyam bin Muhammad bin As-Sa’ib Al-Kalbi
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي السَّرِيِّ، قَالَ:
قَالَ لِي هِشَامُ بْنُ الكَلْبِيِّ: «حَفِظْتُ مَا لَمْ يَحْفَظْهُ أَحَدٌ، وَنَسِيتُ
مَا لَمْ يَنْسَهُ أَحَدٌ. كَانَ لِي عَمٌّ، يُعَاتِبُنِي عَلَى حِفْظِ القُرْآنِ،
فَدَخَلْتُ بَيْتَنَا، وَحَلَفْتُ أَنْ لَا أَخْرُجَ مِنْهُ حَتَّى أَحْفَظَ القُرْآنَ،
فَحَفِظْتُهُ فِي ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، وَنَظَرْتُ يَوْمًا فِي المِرْآةِ، فَقَبَضْتُ
عَلَى لِحْيَتِي، لَآخُذَ مَا دُونَ القَبْضَةِ، فَأَخَذْتُ مَا فَوْقَ القَبْضَةِ».
Dari Muhammad bin
Abi As-Sari, ia berkata: Hisyam bin Al-Kalbi berkata kepadaku: “Aku telah
menghafal apa yang tidak pernah dihafal oleh siapa pun, dan aku lupa apa yang
tidak pernah dilupakan oleh siapa pun. Dulu aku punya paman yang sering
mencelaku karena (belum) menghafal Al-Qur’an. Aku pun masuk ke rumah kami dan
bersumpah tidak akan keluar sampai aku hafal Al-Qur’an. Maka aku menghafalnya
dalam tiga hari. Suatu hari aku bercermin (pada waktu itu), lalu aku memegang
jenggotku untuk memotong apa yang di bawah genggaman, ternyata yang aku pegang
adalah jenggot bagian atas genggaman (yakni sangat muda).”
[38]
Yahya bin Sa’id Al-Qoththon
وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: «مَا رَأَتْ
عَيْنَايَ مِثْلَهُ، لَا - وَاللَّهِ - مَا أَدْرَكْنَا مِثْلَهُ، مَا كَانَ أَضْبَطَهُ،
وَأَشَدَّ تَفُقُّهِهِ».
Ahmad bin Hanbal
berkata: “Kedua mataku belum pernah melihat orang sepertinya. Tidak, demi
Allah, kami tidak pernah menjumpai orang sepertinya. Betapa telitinya dia, dan
betapa tajam pemahamannya.”
[39]
Yazid bin Harun
وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ المَدِينِيِّ: «مَا رَأَيْتُ
رَجُلًا قَطُّ أَحْفَظَ مِنْ يَزِيدَ بْنِ هَارُونَ».
‘Ali bin
Al-Madini berkata: “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih kuat
hafalannya daripada Yazid bin Harun.”
آخِرُ كِتَابِ الحُفَّاظِ، وَالحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ العَالَمِينَ.
Ini akhir dari
kitab Al-Huffazh (Para Penghafal), dan segala puji bagi Allah, Robb semesta
alam.
***