[PDF] Kasyfu Syubuhat - Membongkar Syubhat Kesyirikan - Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi

Unduh PDF


Fasal Ke-1: Tugas Utama Para Rosul Adalah Mewujudkan Tauhid Ibadah

اِعْلَمْ - رَحِمَكَ اللَّهُ - أَنَّ التَّوْحِيدَ هُوَ إِفْرَادُ اللَّهِ سُبْحَانَهُ بِالْعِبَادَةِ، وَهُوَ دِينُ الرُّسُلِ الَّذِي أَرْسَلَهُمُ اللَّهُ بِهِ إِلَى عِبَادِهِ، فَأَوَّلُهُمْ نُوحٌ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - أَرْسَلَهُ اللَّهُ إِلَى قَوْمِهِ لَمَّا غَلَوْا فِي الصَّالِحِينَ وَدٍّ، وَسُوَاعٍ، وَيَغُوثَ، وَنَسْرٍ.

Ketahuilah – semoga Alloh merohmatimu – bahwa Tauhid adalah mengesakan Alloh dalam Ibadah. Inilah agama para Rosul yang dengannya Alloh mengutus mereka kepada para hamba-Nya. Rosul pertama adalah Nuh ‘Alaihis Salam, yang Alloh utus kepada kaumnya ketika mereka berlebih-lebihan dalam memuliakan orang-orang sholih seperti Wadd, Suwa’, Yaghuts, dan Nasr.

وَآخِرُ الرُّسُلِ مُحَمَّدٌ ﷺ وَهُوَ الَّذِي كَسَّرَ صُوَرَ هَؤُلَاءِ الصَّالِحِينَ، أَرْسَلَهُ اللَّهُ إِلَى أُنَاسٍ يَتَعَبَّدُونَ وَيَحُجُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَيَذْكُرُونَ اللَّهَ كَثِيرًا، وَلَكِنَّهُمْ يَجْعَلُونَ بَعْضَ الْمَخْلُوقَاتِ وَسَائِطَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ اللَّهِ.

Adapun Rosul terakhir adalah Muhammad , dan beliaulah yang menghancurkan patung-patung orang-orang sholih tersebut. Alloh mengutusnya kepada kaum yang rajin beribadah, berhaji, bersedekah, dan banyak berdzikir kepada Alloh. Akan tetapi, mereka menjadikan sebagian makhluk sebagai perantara antara mereka dengan Alloh.

يَقُولُونَ: نُرِيدُ مِنْهُمُ التَّقَرُّبَ إِلَى اللَّهِ وَنُرِيدُ شَفَاعَتَهُمْ عِنْدَهُ مِثْلَ الْمَلَائِكَةِ وَعِيسَى وَمَرْيَمَ وَأُنَاسٍ وَغَيْرِهِمْ مِنَ الصَّالِحِينَ.

Mereka berkata, “Kami ingin mendekatkan diri kepada Alloh melalui mereka (para perantara itu), dan kami menginginkan syafa’at mereka di sisi-Nya.” Perantara yang mereka maksud adalah seperti para Malaikat, Nabi ‘Isa, Maryam, dan orang-orang sholih lainnya.

فَبَعَثَ اللَّهُ مُحَمَّدًا ﷺ يُجَدِّدُ لَهُمْ دِينَ أَبِيهِمْ إِبْرَاهِيمَ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - وَيُخْبِرُهُمْ أَنَّ هَذَا التَّقَرُّبَ وَالِاعْتِقَادَ مَحْضُ حَقٍّ لِلَّهِ لَا يَصْلُحُ مِنْهُ شَيْءٌ لَا لِمَلَكٍ مُقَرَّبٍ وَلَا لِنَبِيٍّ مُرْسَلٍ فَضْلًا عَنْ غَيْرِهِمَا.

Maka, Alloh mengutus Muhammad untuk memperbarui kembali bagi mereka agama leluhur mereka, Ibrohim ‘Alaihis Salam. Beliau memberitahu mereka bahwa tindakan mendekatkan diri dan keyakinan semacam ini murni hak Alloh semata. Tidak ada satu bagian pun dari hak ini yang layak diberikan kepada siapa pun, baik kepada Malaikat yang dekat (dengan Alloh) maupun kepada seorang Nabi yang diutus, apalagi kepada selain keduanya.

وَإِلَّا فَهَؤُلَاءِ الْمُشْرِكُونَ يَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ هُوَ الْخَالِقُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّهُ لَا يَرْزُقُ إِلَّا هُوَ، وَلَا يُحْيِي وَلَا يُمِيتُ إِلَّا هُوَ وَلَا يُدَبِّرُ الْأَمْرَ إِلَّا هُوَ، وَأَنَّ جَمِيعَ السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِيهِنَّ، وَالْأَرَضِينَ السَّبْعَ وَمَنْ فِيهِنَّ كُلُّهُمْ عَبِيدُهُ وَتَحْتَ تَصَرُّفِهِ وَقَهْرِهِ.

Padahal, orang-orang musyrik tersebut juga mengakui dan bersaksi bahwa Alloh adalah satu-satunya Pencipta, tidak ada sekutu bagi-Nya. Mereka juga mengakui bahwa tidak ada yang memberi rezeki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur segala urusan kecuali Dia. Mereka pun yakin bahwa seluruh langit beserta isinya, dan tujuh lapis bumi beserta isinya, semuanya adalah hamba-Nya dan berada di bawah kendali dan kekuasaan-Nya.

***


Fasal Ke-2: Dalil-Dalil Bahwa Kaum Musyrikin yang Diperangi Rosululloh Mengakui Tauhid Rububiyyah, Namun Hal Itu Tidak Mengeluarkan Mereka dari Kesyirikan dalam Ibadah

فَإِذَا أَرَدْتَ الدَّلِيلَ عَلَى أَنَّ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ قَاتَلَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَشْهَدُونَ بِهَذَا، فَاقْرَأْ قَوْلَهُ تَعَالَى: ﴿قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ [يُونُس: 31]

Jika Anda ingin bukti bahwa kaum musyrikin yang diperangi oleh Rosululloh mengakui hal-hal tersebut, maka bacalah firman Alloh Ta’ala: “Katakanlah: ‘Siapakah yang memberimu rezeki dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab: ‘Alloh.’ Maka katakanlah: ‘Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?’” (QS. Yunus: 31)

وَقَوْلَهُ: ﴿قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ * سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ * قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ * سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ * قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ * سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ﴾ [الْمُؤْمِنُون: 84 - 89] وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الْآيَاتِ.

Juga firman-Nya: “Katakanlah: ‘Milik siapakah bumi, dan semua yang ada di dalamnya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Milik Alloh.’ Katakanlah: ‘Maka mengapa kamu tidak ingat?’ Katakanlah: ‘Siapakah Robb (Pencipta) langit yang tujuh dan Robb ‘Arsy yang agung?’ Mereka akan menjawab: ‘Milik Alloh.’ Katakanlah: ‘Maka mengapa kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, dan tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Milik Alloh.’ Katakanlah: ‘(Kalau begitu) bagaimana kamu sampai tertipu?’” (QS. Al-Mu’minun: 84-89) dan ayat-ayat lainnya.

فَإِذَا تَحَقَّقْتَ أَنَّهُمْ مُقِرُّونَ بِهَذَا وَلَمْ يُدْخِلْهُمْ فِي التَّوْحِيدِ الَّذِي دَعَاهُمْ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ، وَعَرَفْتَ أَنَّ التَّوْحِيدَ الَّذِي جَحَدُوا هُوَ تَوْحِيدُ الْعِبَادَةِ الَّذِي يُسَمِّيهِ الْمُشْرِكُونَ فِي زَمَانِنَا (الِاعْتِقَادَ)، كَمَا كَانُوا يَدْعُونَ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَيْلًا وَنَهَارًا.

Jika Anda sudah yakin bahwa mereka mengakui Tauhid Rububiyyah ini namun itu belum memasukkan mereka ke dalam Tauhid yang didakwahkan oleh Rosululloh , dan Anda tahu bahwa Tauhid yang mereka ingkari adalah Tauhid Ibadah—yang oleh kaum musyrikin di zaman kita disebut sebagai “keyakinan” (i’tiqod)—maka Anda akan paham. Mereka dahulu memang berdoa kepada Alloh siang dan malam.

ثُمَّ مِنْهُمْ مَنْ يَدْعُو الْمَلَائِكَةَ لِأَجْلِ صَلَاحِهِمْ وَقُرْبِهِمْ مِنَ اللَّهِ لِيَشْفَعُوا لَهُ أَوْ يَدْعُو رَجُلًا صَالِحًا مِثْلَ اللَّاتِ، أَوْ نَبِيًّا مِثْلَ عِيسَى وَعَرَفْتَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَاتَلَهُمْ عَلَى هَذَا الشِّرْكِ وَدَعَاهُمْ إِلَى إِخْلَاصِ الْعِبَادَةِ لِلَّهِ وَحْدَهُ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا﴾ [الْجِنّ: 18]

Namun di antara mereka ada yang berdoa kepada para Malaikat karena kesholihan dan kedekatan para Malaikat itu dengan Alloh agar bisa memberinya syafa’at. Ada pula yang berdoa kepada orang sholih seperti Al-Latta, atau kepada seorang Nabi seperti ‘Isa. Anda juga tahu bahwa Rosululloh memerangi mereka karena kesyirikan semacam ini dan mengajak mereka untuk memurnikan Ibadah hanya untuk Alloh semata. Sebagaimana firman Alloh Ta’ala: “Maka janganlah kamu menyeru seorang pun di samping (beribadah kepada) Alloh.” (QS. Al-Jinn: 18)

وَقَالَ: ﴿لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ﴾ [الرَّعْد: 14]

Juga firman-Nya: “Hanya bagi-Nyalah (hak untuk menerima) doa yang benar. (Berhala-berhala) yang mereka seru selain Alloh tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka.” (QS. Ar-Ro’d: 14)

وَتَحَقَّقْتَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَاتَلَهُمْ لِيَكُونَ الدُّعَاءُ كُلُّهُ لِلَّهِ، وَالنَّذْرُ كُلُّهُ لِلَّهِ، وَالِاسْتِغَاثَةُ كُلُّهَا بِاللَّهِ، وَجَمِيعُ أَنْوَاعِ الْعِبَادَاتِ كُلُّهَا لِلَّهِ.

Anda pun sudah yakin bahwa Rosululloh memerangi mereka agar doa seluruhnya hanya ditujukan kepada Alloh, nadzar seluruhnya hanya untuk Alloh, istighotsah (memohon pertolongan di saat sulit) seluruhnya hanya kepada Alloh, dan semua jenis Ibadah seluruhnya hanya untuk Alloh.

وَعَرَفْتَ أَنَّ إِقْرَارَهُمْ بِتَوْحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ لَمْ يُدْخِلْهُمْ فِي الْإِسْلَامِ، وَأَنَّ قَصْدَهُمُ الْمَلَائِكَةَ، وَالْأَنْبِيَاءَ، وَالْأَوْلِيَاءَ، يُرِيدُونَ شَفَاعَتَهُمْ وَالتَّقَرُّبَ إِلَى اللَّهِ بِذَلِكَ هُوَ الَّذِي أَحَلَّ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ: عَرَفْتَ حِينَئِذٍ التَّوْحِيدَ الَّذِي دَعَتْ إِلَيْهِ الرُّسُلُ وَأَبَى عَنِ الْإِقْرَارِ بِهِ الْمُشْرِكُونَ.

Anda telah mengerti bahwa pengakuan mereka terhadap Tauhid Rububiyyah tidaklah memasukkan mereka ke dalam Islam. Anda juga tahu bahwa tindakan mereka menjadikan para Malaikat, para Nabi, dan para wali sebagai tujuan (peribadatan), dengan maksud mengharapkan syafa’at dan pendekatan diri kepada Alloh melalui mereka, itulah yang menyebabkan darah dan harta mereka menjadi halal (untuk diperangi). Saat itulah Anda akan mengerti hakikat Tauhid yang didakwahkan oleh para Rosul dan diingkari oleh kaum musyrikin.

***


 

Fasal Ke-3: Tauhid Ibadah Adalah Makna dari Kalimat Laa Ilaaha Illalloh

وَأَنَّ الْكُفَّارَ فِي زَمَنِهِ ﷺ كَانُوا أَعْرَفَ بِمَعْنَاهَا مِنْ بَعْضِ مَنْ يَدَّعِي الْإِسْلَامَ وَهَذَا التَّوْحِيدُ هُوَ مَعْنَى قَوْلِكَ (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ) فَإِنَّ الْإِلَهَ عِنْدَهُمْ هُوَ الَّذِي يُقْصَدُ لِأَجْلِ هَذِهِ الْأُمُورِ سَوَاءٌ كَانَ مَلَكًا، أَوْ نَبِيًّا، أَوْ وَلِيًّا، أَوْ شَجَرَةً، أَوْ قَبْرًا، أَوْ جِنِّيًّا لَمْ يُرِيدُوا أَنَّ الْإِلَهَ هُوَ الْخَالِقُ الرَّازِقُ الْمُدَبِّرُ، فَإِنَّهُمْ يَعْلَمُونَ أَنَّ ذَلِكَ لِلَّهِ وَحْدَهُ كَمَا قَدَّمْتُ لَكَ.

Ketahuilah bahwa kaum kafir di zaman Nabi lebih paham makna kalimat Laa Ilaaha Illalloh daripada sebagian orang yang mengaku Islam (di masa kini). Tauhid inilah makna dari ucapanmu “Laa Ilaaha Illalloh”. Sebab, “ilah” (sesembahan) menurut mereka adalah segala sesuatu yang dituju untuk urusan-urusan (peribadatan) ini, baik itu Malaikat, Nabi, wali, pohon, kuburan, ataupun jin. Mereka tidak pernah meyakini bahwa “ilah” adalah Sang Pencipta, Pemberi Rezeki, dan Pengatur alam semesta, karena mereka tahu bahwa semua itu hanyalah milik Alloh semata, sebagaimana yang telah saya jelaskan sebelumnya.

وَإِنَّمَا يَعْنُونَ بِالْإِلَهِ مَا يَعْنِي الْمُشْرِكُونَ فِي زَمَانِنَا بِلَفْظِ (السَّيِّدِ) فَأَتَاهُمُ النَّبِيُّ ﷺ يَدْعُوهُمْ إِلَى كَلِمَةِ التَّوْحِيدِ وَهِيَ (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ) وَالْمُرَادُ مِنْ هَذِهِ الْكَلِمَةِ مَعْنَاهَا لَا مُجَرَّدُ لَفْظِهَا.

Mereka hanya memaknai kata “ilah” sebagaimana kaum musyrikin di zaman kita memaknai lafaz “As-Sayyid” (Tuan atau Junjungan). Lalu, datanglah Nabi mengajak mereka kepada kalimat Tauhid, yaitu “Laa Ilaaha Illalloh”, dan yang dimaksud dari kalimat ini adalah maknanya, bukan sekadar lafaznya.

وَالْكُفَّارُ الْجُهَّالُ يَعْلَمُونَ أَنَّ مُرَادَ النَّبِيِّ ﷺ بِهَذِهِ الْكَلِمَةِ هُوَ (إِفْرَادُ اللَّهِ تَعَالَى) بِالتَّعَلُّقِ وَ (الْكُفْرُ) بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِهِ وَالْبَرَاءَةُ مِنْهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَالَ ﷺ قُولُوا (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ) قَالُوا ﴿أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ﴾ [ص: 5].

Orang-orang kafir yang bodoh itu pun tahu bahwa maksud Nabi dengan kalimat ini adalah “mengesakan Alloh Ta’ala dalam segala bentuk ketergantungan hati” dan “mengingkari segala sesuatu yang disembah selain-Nya serta berlepas diri darinya.” Buktinya, ketika beliau bersabda, “Ucapkanlah Laa Ilaaha Illalloh,” mereka menjawab: “Apakah ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu menjadi satu Sesembahan saja? Sungguh, ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan.” (QS. Shod: 5)

فَإِذَا عَرَفْتَ أَنَّ جُهَّالَ الْكُفَّارِ يَعْرِفُونَ ذَلِكَ، فَالْعَجَبُ مِمَّنْ يَدَّعِي الْإِسْلَامَ وَهُوَ لَا يَعْرِفُ مِنْ تَفْسِيرِ هَذِهِ الْكَلِمَةِ مَا عَرَفَهُ جُهَّالُ الْكَفَرَةِ، بَلْ يَظُنُّ أَنَّ ذَلِكَ هُوَ التَّلَفُّظُ بِحُرُوفِهَا مِنْ غَيْرِ اعْتِقَادِ الْقَلْبِ لِشَيْءٍ مِنَ الْمَعَانِي.

Jika Anda tahu bahwa orang-orang kafir yang bodoh saja paham akan hal ini, maka sungguh aneh ada orang yang mengaku Islam tetapi tidak memahami tafsir kalimat ini sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang kafir itu. Bahkan, ia menyangka bahwa Tauhid itu hanyalah sebatas melafalkan huruf-hurufnya tanpa meyakini maknanya sedikit pun di dalam hati.

وَالْحَاذِقُ مِنْهُمْ يَظُنُّ أَنَّ مَعْنَاهُ لَا يَخْلُقُ وَلَا يَرْزُقُ إِلَّا اللَّهُ وَلَا يُدَبِّرُ الْأَمْرَ إِلَّا اللَّهُ، فَلَا خَيْرَ فِي رَجُلٍ جُهَّالُ الْكُفَّارِ أَعْلَمُ مِنْهُ بِمَعْنَى (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ)

Orang yang paling pintar di antara mereka (yang keliru) menyangka bahwa maknanya adalah “tidak ada yang menciptakan dan memberi rezeki selain Alloh, dan tidak ada yang mengatur urusan selain Alloh.” Maka, tidak ada kebaikan pada diri seseorang yang bahkan orang-orang kafir yang bodoh lebih paham darinya tentang makna “Laa Ilaaha Illalloh”.

***


 

Fasal Ke-4: Seorang Mukmin Menyadari Bahwa Nikmat Tauhid dari Alloh Mengharuskannya untuk Gembira dan Takut Kehilangan Nikmat Tersebut

إِذَا عَرَفْتَ مَا ذَكَرْتُ لَكَ مَعْرِفَةَ قَلْبٍ، وَعَرَفْتَ الشِّرْكَ بِاللَّهِ الَّذِي قَالَ اللَّهُ فِيهِ: ﴿إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ﴾ [النِّسَاء: 48] وَعَرَفْتَ دِينَ اللَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ بِهِ الرُّسُلَ مِنْ أَوَّلِهِمْ إِلَى آخِرِهِمْ الَّذِي لَا يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْ أَحَدٍ سِوَاهُ.

Jika Anda telah mengetahui dengan sepenuh hati apa yang telah saya sebutkan, dan Anda telah mengenali kesyirikan kepada Alloh yang tentangnya Alloh berfirman: “Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’: 48), dan Anda telah mengetahui agama Alloh yang dibawa oleh para Rosul dari yang pertama hingga yang terakhir, yang mana Alloh tidak akan menerima agama selainnya dari siapa pun.

وَعَرَفْتَ مَا أَصْبَحَ غَالِبُ النَّاسِ فِيهِ مِنَ الْجَهْلِ بِهَذَا أَفَادَكَ فَائِدَتَيْنِ:

Anda pun tahu kebodohan yang menyelimuti mayoritas manusia mengenai hal ini, maka Anda akan mendapatkan dua faedah:

الْأُولَى: الْفَرَحُ بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ﴾ [يُونُس: 58].

Pertama: Rasa gembira atas karunia dan rohmat Alloh, sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah: ‘Dengan karunia Alloh dan rohmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.’” (QS. Yunus: 58)

وَأَفَادَكَ أَيْضًا الْخَوْفُ الْعَظِيمُ. فَإِنَّكَ إِذَا عَرَفْتَ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَكْفُرُ بِكَلِمَةٍ يُخْرِجُهَا مِنْ لِسَانِهِ، وَقَدْ يَقُولُهَا وَهُوَ جَاهِلٌ فَلَا يُعْذَرُ بِالْجَهْلِ، وَقَدْ يَقُولُهَا وَهُوَ يَظُنُّ أَنَّهَا تُقَرِّبُهُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى كَمَا ظَنَّ الْمُشْرِكُونَ.

Kedua: Rasa takut yang luar biasa. Karena jika Anda tahu bahwa seseorang bisa menjadi kafir hanya karena satu kata yang keluar dari lisannya, yang mungkin ia ucapkan dalam keadaan tidak tahu sehingga ia tidak dimaafkan karena kebodohannya, atau mungkin ia mengucapkannya dengan keyakinan bahwa itu dapat mendekatkan dirinya kepada Alloh Ta’ala sebagaimana keyakinan kaum musyrikin.

خُصُوصًا إِنْ أَلْهَمَكَ اللَّهُ مَا قَصَّ عَلَى قَوْمِ مُوسَى مَعَ صَلَاحِهِمْ وَعِلْمِهِمْ أَنَّهُمْ أَتَوْهُ قَائِلِينَ: ﴿اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ﴾ [الْأَعْرَاف: 138].

Terlebih lagi jika Alloh memberimu ilham untuk merenungkan kisah kaum Nabi Musa, yang padahal mereka adalah orang-orang sholih dan berilmu, namun mereka datang kepada Musa seraya berkata: “Buatkanlah untuk kami sebuah sesembahan sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan.” (QS. Al-A’rof: 138)

فَحِينَئِذٍ يَعْظُمُ خَوْفُكَ وَحِرْصُكَ عَلَى مَا يُخَلِّصُكَ مِنْ هَذَا وَأَمْثَالِهِ.

Saat itulah, rasa takut dan semangat Anda untuk menyelamatkan diri dari hal ini dan yang semisalnya akan semakin besar.

***


 

Fasal Ke-5: Hikmah Alloh Mengharuskan Adanya Musuh dari Kalangan Manusia dan Jin bagi Para Nabi dan Wali-Nya

وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ مِنْ حِكْمَتِهِ لَمْ يَبْعَثْ نَبِيًّا بِهَذَا التَّوْحِيدِ إِلَّا جَعَلَ لَهُ أَعْدَاءً كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا﴾ [الْأَنْعَام: 112].

Ketahuilah, sesungguhnya di antara hikmah Alloh adalah Dia tidak mengutus seorang Nabi pun dengan membawa Tauhid ini melainkan Dia jadikan baginya musuh-musuh, sebagaimana firman Alloh Ta’ala: “Demikianlah untuk setiap Nabi Kami menjadikan musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah sebagai tipuan.” (QS. Al-An’am: 112)

وَقَدْ يَكُونُ لِأَعْدَاءِ التَّوْحِيدِ عُلُومٌ كَثِيرَةٌ وَكُتُبٌ وَحُجَجٌ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى ﴿فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوا بِمَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ﴾ [غَافِر: 83].

Terkadang, para musuh Tauhid ini memiliki ilmu yang banyak, kitab-kitab, dan argumen-argumen, sebagaimana firman Alloh Ta’ala: “Maka ketika para Rosul datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa bangga dengan ilmu yang ada pada mereka.” (QS. Ghofir: 83)

***


 

Fasal Ke-6: Wajibnya Mempersenjatai Diri dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk Membantah Syubhat Para Musuh

إِذَا عَرَفْتَ ذَلِكَ وَعَرَفْتَ أَنَّ الطَّرِيقَ إِلَى اللَّهِ لَا بُدَّ لَهُ مِنْ أَعْدَاءٍ قَاعِدِينَ عَلَيْهِ أَهْلِ فَصَاحَةٍ وَعِلْمٍ وَحُجَجٍ.

Jika Anda telah mengetahui hal itu, dan mengetahui bahwa jalan menuju Alloh pasti memiliki musuh-musuh yang senantiasa menghalangi, yaitu mereka yang ahli dalam kefasihan berbicara, berilmu, dan berargumen.

فَالْوَاجِبُ عَلَيْكَ أَنْ تَعْلَمَ مِنْ دِينِ اللَّهِ مَا يَصِيرُ سِلَاحًا لَكَ تُقَاتِلُ بِهِ هَؤُلَاءِ الشَّيَاطِينَ الَّذِينَ قَالَ إِمَامُهُمْ وَمُقَدَّمُهُمْ لِرَبِّكَ - عَزَّ وَجَلَّ -: ﴿لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ * ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ﴾ [الْأَعْرَاف: 16 - 17].

Maka, kewajiban Anda adalah mempelajari agama Alloh sebagai senjata untuk memerangi setan-setan ini, yang pemimpin dan gembong mereka telah berkata kepada Robb-mu ‘Azza wa Jalla: “Aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al-A’rof: 16-17)

وَلَكِنْ إِذَا أَقْبَلْتَ عَلَى اللَّهِ وَأَصْغَيْتَ إِلَى حُجَجِ اللَّهِ وَبَيِّنَاتِهِ فَلَا تَخَفْ وَلَا تَحْزَنْ ﴿إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا﴾ [النِّسَاء: 76].

Akan tetapi, jika Anda menghadap kepada Alloh dan mendengarkan dengan saksama dalil-dalil dan penjelasan-Nya, maka janganlah takut dan janganlah bersedih. “Sesungguhnya tipu daya setan itu lemah.” (QS. An-Nisa’: 76)

وَالْعَامِّيُّ مِنَ الْمُوَحِّدِينَ يَغْلِبُ الْأَلْفَ مِنْ عُلَمَاءِ هَؤُلَاءِ الْمُشْرِكِينَ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿وَإِنَّ جُنْدَنَا لَهُمُ الْغَالِبُونَ﴾ [الصَّافَّات: 173].

Seorang awam dari kalangan ahli Tauhid mampu mengalahkan seribu ulama dari kalangan kaum musyrikin tersebut, sebagaimana firman Alloh Ta’ala: “Sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang.” (QS. Ash-Shoffat: 173)

فَجُنْدُ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ بِالْحُجَّةِ وَاللِّسَانِ، كَمَا أَنَّهُمُ الْغَالِبُونَ بِالسَّيْفِ وَالسِّنَانِ، وَإِنَّمَا الْخَوْفُ عَلَى الْمُوَحِّدِ الَّذِي يَسْلُكُ الطَّرِيقَ وَلَيْسَ مَعَهُ سِلَاحٌ.

Tentara Alloh menang dengan argumen dan lisan, sebagaimana mereka juga menang dengan pedang dan tombak. Rasa takut itu hanyalah bagi seorang ahli Tauhid yang menapaki jalan ini tanpa membawa senjata.

وَقَدْ مَنَّ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْنَا بِكِتَابِهِ الَّذِي جَعَلَهُ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ فَلَا يَأْتِي صَاحِبُ بَاطِلٍ بِحُجَّةٍ إِلَّا وَفِي الْقُرْآنِ مَا يَنْقُضُهَا وَيُبَيِّنُ بُطْلَانَهَا كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا﴾ [الْفُرْقَان: 33].

Alloh Ta’ala telah menganugerahkan kepada kita Kitab-Nya (Al-Qur’an) yang Dia jadikan sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rohmat, dan kabar gembira bagi kaum Muslimin. Maka, tidaklah seorang pembela kebatilan datang dengan suatu argumen, melainkan di dalam Al-Qur’an terdapat dalil yang meruntuhkan dan menjelaskan kebatilan argumen tersebut, sebagaimana firman-Nya: “Mereka tidak datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan yang lebih baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqon: 33)

قَالَ بَعْضُ الْمُفَسِّرِينَ هَذِهِ الْآيَةُ عَامَّةٌ فِي كُلِّ حُجَّةٍ يَأْتِي بِهَا أَهْلُ الْبَاطِلِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa ayat ini bersifat umum untuk setiap argumen yang dilontarkan oleh para pembela kebatilan hingga Hari Kiamat.

***


 

Fasal Ke-7: Membantah Ahli Kebatilan Secara Global dan Rinci

وَأَنَا أَذْكُرُ لَكَ أَشْيَاءَ مِمَّا ذَكَرَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ جَوَابًا لِكَلَامٍ احْتَجَّ بِهِ الْمُشْرِكُونَ فِي زَمَانِنَا عَلَيْنَا فَنَقُولُ: جَوَابُ أَهْلِ الْبَاطِلِ مِنْ طَرِيقَيْنِ: مُجْمَلٍ، وَمُفَصَّلٍ.

Saya akan sebutkan kepada Anda beberapa hal yang Alloh firmankan dalam Kitab-Nya sebagai jawaban atas argumen-argumen yang dilontarkan oleh kaum musyrikin di zaman kita. Kami katakan: Jawaban untuk para pembela kebatilan itu ada dua cara: global (mujmal) dan rinci (mufashshol)

أَمَّا الْمُجْمَلُ فَهُوَ الْأَمْرُ الْعَظِيمُ وَالْفَائِدَةُ الْكَبِيرَةُ لِمَنْ عَقَلَهَا وَذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ﴾ [آل عِمْرَان: 7].

Adapun jawaban global, ia adalah sebuah prinsip agung dan faedah besar bagi siapa yang memahaminya, yaitu firman Alloh Ta’ala: “Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat (jelas maknanya), itulah pokok-pokok Kitab, dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat (samar maknanya). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya.” (QS. Ali ‘Imron: 7)

وَقَدْ صَحَّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: «إِذَا رَأَيْتُمُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ».

Juga telah shohih dari Rosululloh bahwa beliau bersabda: “Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat, maka merekalah yang Alloh maksud (dalam ayat tersebut), maka waspadalah terhadap mereka.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

مِثَالُ ذَلِكَ إِذَا قَالَ بَعْضُ الْمُشْرِكِينَ: ﴿أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ﴾ [يُونُس: 62] وَأَنَّ الشَّفَاعَةَ حَقٌّ، أَوْ أَنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَهُمْ جَاهٌ عِنْدَ اللَّهِ.

Contohnya, jika sebagian kaum musyrikin berkata: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Alloh itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62), dan mereka juga berkata bahwa syafa’at itu benar adanya, atau bahwa para Nabi memiliki kedudukan tinggi di sisi Alloh.

أَوْ ذَكَرَ كَلَامًا لِلنَّبِيِّ ﷺ يَسْتَدِلُّ بِهِ عَلَى شَيْءٍ مِنْ بَاطِلِهِ وَأَنْتَ لَا تَفْهَمُ مَعْنَى الْكَلَامِ الَّذِي ذَكَرَهُ فَجَاوِبْهُ بِقَوْلِكَ: إِنَّ اللَّهَ ذَكَرَ فِي كِتَابِهِ أَنَّ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ يَتْرُكُونَ الْمُحْكَمَ وَيَتَّبِعُونَ الْمُتَشَابِهَ، وَمَا ذَكَرْتُهُ لَكَ مِنْ أَنَّ اللَّهَ ذَكَرَ أَنَّ الْمُشْرِكِينَ يُقِرُّونَ بِالرُّبُوبِيَّةِ وَأَنَّ كُفْرَهُمْ بِتَعَلُّقِهِمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ وَالْأَنْبِيَاءِ وَالْأَوْلِيَاءِ مَعَ قَوْلِهِمْ ﴿هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ﴾ [يُونُس: 18] هَذَا أَمْرٌ مُحْكَمٌ بَيِّنٌ لَا يَقْدِرُ أَحَدٌ أَنْ يُغَيِّرَ مَعْنَاهُ.

Atau jika ia menyebutkan suatu ucapan Nabi untuk mendukung kebatilannya, sementara Anda tidak memahami makna ucapan yang ia sebutkan itu, maka jawablah ia dengan mengatakan: “Alloh telah menyebutkan dalam Kitab-Nya bahwa orang-orang yang hatinya sesat akan meninggalkan ayat yang muhkam (jelas) dan mengikuti yang mutasyabih (samar). Apa yang telah saya sebutkan kepadamu bahwa Alloh menyatakan kaum musyrikin mengakui Rububiyyah-Nya, namun kekafiran mereka adalah karena ketergantungan mereka kepada para Malaikat, Nabi, dan wali, seraya berkata, ‘Mereka ini adalah pemberi syafa’at kami di sisi Alloh’ (QS. Yunus: 18), ini adalah perkara yang muhkam dan sangat jelas, yang tak seorang pun dapat mengubah maknanya.”

وَمَا ذَكَرْتَ لِي أَيُّهَا الْمُشْرِكُ مِنَ الْقُرْآنِ أَوْ كَلَامِ النَّبِيِّ ﷺ لَا أَعْرِفُ مَعْنَاهُ، وَلَكِنْ أَقْطَعُ أَنَّ كَلَامَ اللَّهِ لَا يَتَنَاقَضُ، وَأَنَّ كَلَامَ النَّبِيِّ ﷺ لَا يُخَالِفُ كَلَامَ اللَّهِ.

“Adapun ayat Al-Qur’an atau ucapan Nabi yang engkau sebutkan kepadaku wahai orang musyrik, aku tidak tahu maknanya. Akan tetapi, aku yakin seyakin-yakinnya bahwa firman Alloh tidak mungkin saling bertentangan, dan sabda Nabi tidak mungkin menyalahi firman Alloh.”

وَهَذَا جَوَابٌ جَيِّدٌ سَدِيدٌ، وَلَكِنْ لَا يَفْهَمُهُ إِلَّا مَنْ وَفَّقَهُ اللَّهُ فَلَا تَسْتَهِنْ بِهِ فَإِنَّهُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ﴾ [فُصِّلَت: 35].

Ini adalah jawaban yang sangat baik dan tepat, namun hanya dipahami oleh orang yang diberi taufik oleh Alloh. Maka jangan meremehkannya, karena sebagaimana firman Alloh Ta’ala: “(sifat-sifat yang baik) itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fushshilat: 35)

وَأَمَّا الْجَوَابُ الْمُفَصَّلُ: فَإِنَّ أَعْدَاءَ اللَّهِ لَهُمْ اعْتِرَاضَاتٌ كَثِيرَةٌ عَلَى دِينِ الرُّسُلِ يَصُدُّونَ بِهَا النَّاسَ عَنْهُ مِنْهَا قَوْلُهُمْ: نَحْنُ لَا نُشْرِكُ بِاللَّهِ بَلْ نَشْهَدُ أَنَّهُ لَا يَخْلُقُ وَلَا يَرْزُقُ وَلَا يَنْفَعُ وَلَا يَضُرُّ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا - عَلَيْهِ السَّلَامُ - لَا يَمْلِكُ لِنَفْسِهِ نَفْعًا وَلَا ضَرًّا فَضْلًا عَنْ عَبْدِ الْقَادِرِ أَوْ غَيْرِهِ وَلَكِنْ أَنَا مُذْنِبٌ، وَالصَّالِحُونَ لَهُمْ جَاهٌ عِنْدَ اللَّهِ وَأَطْلُبُ مِنَ اللَّهِ.

Adapun jawaban rinci: Para musuh Alloh memiliki banyak sekali sanggahan terhadap agama para Rosul untuk memalingkan manusia darinya. Di antaranya adalah ucapan mereka: “Kami tidak menyekutukan Alloh, bahkan kami bersaksi bahwa tidak ada yang menciptakan, memberi rezeki, memberi manfaat, maupun mendatangkan mudhorot kecuali Alloh semata, tiada sekutu bagi-Nya. Kami bersaksi bahwa Muhammad tidak memiliki manfaat maupun mudhorot untuk dirinya sendiri, apalagi ‘Abdul Qodir atau selainnya. Akan tetapi, aku ini seorang pendosa, sedangkan orang-orang sholih memiliki kedudukan tinggi di sisi Alloh, maka aku memohon kepada Alloh melalui mereka.”

فَجَاوِبْهُ بِمَا تَقَدَّمَ وَهُوَ: إِنَّ الَّذِينَ قَاتَلَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مُقِرُّونَ بِمَا ذَكَرْتَ، وَمُقِرُّونَ أَنَّ أَوْثَانَهُمْ لَا تُدَبِّرُ شَيْئًا، وَإِنَّمَا أَرَادُوا الْجَاهَ وَالشَّفَاعَةَ، وَاقْرَأْ عَلَيْهِ مَا ذَكَرَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَوَضَّحَهُ: فَإِنْ قَالَ: هَؤُلَاءِ الْآيَاتُ نَزَلَتْ فِيمَنْ يَعْبُدُ الْأَصْنَامَ!

Maka jawablah ia dengan apa yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu: “Orang-orang yang diperangi Rosululloh pun mengakui apa yang baru saja kamu sebutkan. Mereka juga mengakui bahwa berhala-berhala mereka tidak bisa mengatur apa pun. Mereka hanya menginginkan kedudukan dan syafa’at dari sesembahan mereka. Bacakanlah kepadanya apa yang telah Alloh sebutkan dan jelaskan dalam Kitab-Nya.” Jika ia berkata: “Ayat-ayat itu turun untuk para penyembah berhala!”

كَيْفَ تَجْعَلُونَ الصَّالِحِينَ مِثْلَ الْأَصْنَامِ، أَمْ كَيْفَ تَجْعَلُونَ الْأَنْبِيَاءَ أَصْنَامًا فَجَاوِبْهُ بِمَا تَقَدَّمَ.

“Bagaimana bisa kalian menyamakan orang-orang sholih dengan berhala, atau bagaimana bisa kalian menjadikan para Nabi sebagai berhala?” Maka jawablah ia dengan penjelasan yang telah lalu.

فَإِنَّهُ إِذَا أَقَرَّ أَنَّ الْكُفَّارَ يَشْهَدُونَ بِالرُّبُوبِيَّةِ كُلِّهَا لِلَّهِ، وَأَنَّهُمْ مَا أَرَادُوا مِمَّنْ قَصَدُوا إِلَّا الشَّفَاعَةَ، وَلَكِنْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَ فِعْلِهِ وَفِعْلِهِمْ بِمَا ذَكَرَ فَاذْكُرْ لَهُ أَنَّ الْكُفَّارَ مِنْهُمْ مَنْ يَدْعُو الْأَصْنَامَ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَدْعُو الْأَوْلِيَاءَ الَّذِينَ قَالَ اللَّهُ فِيهِمْ: ﴿أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ﴾ [الْإِسْرَاء: 57].

Jika ia mengakui bahwa kaum kafir bersaksi akan Rububiyyah Alloh secara keseluruhan, dan mereka tidak menginginkan apa pun dari sesembahan yang mereka tuju selain syafa’at, namun ia ingin membedakan antara perbuatannya dengan perbuatan kaum kafir tersebut, maka sebutkanlah kepadanya bahwa di antara kaum kafir itu ada yang berdoa kepada berhala, dan ada pula yang berdoa kepada para wali, yang tentang mereka Alloh berfirman: “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Robb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Alloh).” (QS. Al-Isro’: 57)

وَيَدْعُونَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: ﴿مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ انْظُرْ كَيْفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ الْآيَاتِ ثُمَّ انْظُرْ أَنَّى يُؤْفَكُونَ * قُلْ أَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا وَاللَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ﴾ [الْمَائِدَة: 75 - 76].

Mereka juga berdoa kepada ‘Isa bin Maryam dan ibunya, padahal Alloh Ta’ala telah berfirman: “Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang Rosul yang sebelumnya telah berlalu beberapa Rosul, dan ibunya adalah seorang yang sangat benar, keduanya biasa memakan makanan. Perhatikanlah bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli Kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian lihatlah bagaimana mereka dipalingkan (dari kebenaran). Katakanlah: ‘Mengapa kamu menyembah selain Alloh, sesuatu yang tidak dapat memberi mudhorot kepadamu dan tidak (pula) memberi manfaat?’ Alloh-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Ma’idah: 75-76)

وَاذْكُرْ لَهُ قَوْلَهُ تَعَالَى: ﴿وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا ثُمَّ يَقُولُ لِلْمَلَائِكَةِ أَهَؤُلَاءِ إِيَّاكُمْ كَانُوا يَعْبُدُونَ * قَالُوا سُبْحَانَكَ أَنْتَ وَلِيُّنَا مِنْ دُونِهِمْ بَلْ كَانُوا يَعْبُدُونَ الْجِنَّ أَكْثَرُهُمْ بِهِمْ مُؤْمِنُونَ﴾ [سَبَأ: 40 - 41].

Juga sebutkan pula firman-Nya: “(Ingatlah) hari (ketika) Alloh mengumpulkan mereka semuanya kemudian Dia berfirman kepada para Malaikat: ‘Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?’ Mereka (para Malaikat) menjawab: ‘Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.’” (QS. Saba’: 40-41)

وَقَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ﴾ [الْمَائِدَة: 116]

Firman-Nya: “(Ingatlah) ketika Alloh berfirman: ‘Wahai ‘Isa putra Maryam, adakah engkau mengatakan kepada manusia: ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang sesembahan selain Alloh’?’ ‘Isa menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidaklah pantas bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya, tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib.’” (QS. Al-Ma’idah: 116)

فَقُلْ لَهُ: أَعَرَفْتَ أَنَّ اللَّهَ كَفَّرَ مَنْ قَصَدَ الْأَصْنَامَ؟ وَكَفَّرَ أَيْضًا مَنْ قَصَدَ الصَّالِحِينَ، وَقَاتَلَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ.

Lalu katakan kepadanya: “Apakah sekarang engkau tahu bahwa Alloh telah mengkafirkan orang yang menjadikan berhala sebagai tujuan ibadahnya? Dia juga mengkafirkan orang yang menjadikan orang-orang sholih sebagai tujuan ibadahnya, dan Rosululloh telah memerangi mereka semua.”

فَإِنْ قَالَ: الْكُفَّارُ يُرِيدُونَ مِنْهُمْ، وَأَنَا أَشْهَدُ أَنَّ اللَّهَ هُوَ النَّافِعُ الضَّارُّ الْمُدَبِّرُ لَا أُرِيدُ إِلَّا مِنْهُ، وَالصَّالِحُونَ لَيْسَ لَهُمْ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ وَلَكِنْ أَقْصِدُهُمْ أَرْجُو مِنَ اللَّهِ شَفَاعَتَهُمْ.

Jika ia berkata: “Orang-orang kafir itu meminta langsung dari sesembahan mereka. Sedangkan aku, aku bersaksi bahwa Alloh-lah yang memberi manfaat, mudhorot, dan mengatur segalanya. Aku tidak meminta kecuali dari-Nya. Orang-orang sholih tidak punya kuasa apa-apa, aku hanya menjadikan mereka perantara karena mengharap syafa’at mereka dari Alloh.”

فَالْجَوَابُ إِنَّ هَذَا قَوْلُ الْكُفَّارِ سَوَاءً بِسَوَاءٍ وَاقْرَأْ عَلَيْهِ قَوْلَهُ تَعَالَى: ﴿وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى﴾ [الزُّمَر: 3].

Jawabannya adalah: “Ucapanmu itu sama persis dengan ucapan orang-orang kafir.” Bacakanlah kepadanya firman Alloh Ta’ala: “Orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Alloh (berkata): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat-dekatnya.’” (QS. Az-Zumar: 3)

وَقَوْلَهُ تَعَالَى ﴿وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ﴾ [يُونُس: 18].

Juga firman-Nya: “Mereka berkata: ‘Mereka ini adalah pemberi-pemberi syafa’at kami di sisi Alloh.’” (QS. Yunus: 18)

وَاعْلَمْ أَنَّ هَذِهِ الشُّبَهَ الثَّلَاثَ هِيَ أَكْبَرُ مَا عِنْدَهُمْ، فَإِذَا عَرَفْتَ أَنَّ اللَّهَ وَضَّحَهَا لَنَا فِي كِتَابِهِ وَفَهِمْتَهَا فَهْمًا جَيِّدًا فَمَا بَعْدَهَا أَيْسَرُ مِنْهَا.

Ketahuilah bahwa tiga syubhat (kerancuan berpikir) inilah yang paling besar yang mereka miliki. Jika Anda telah mengetahui bahwa Alloh telah menjelaskannya dengan gamblang dalam Kitab-Nya dan Anda memahaminya dengan baik, maka syubhat setelahnya akan lebih mudah untuk dibantah.

***


 

Fasal Ke-8: Bantahan Terhadap Orang yang Menganggap Doa Bukanlah Ibadah

فَإِنْ قَالَ: أَنَا لَا أَعْبُدُ إِلَّا اللَّهَ وَهَذَا الِالْتِجَاءُ إِلَى الصَّالِحِينَ وَدُعَاؤُهُمْ لَيْسَ بِعِبَادَةٍ.

Jika ia berkata: “Aku tidak menyembah kecuali kepada Alloh. Adapun berlindung (iltija’) kepada orang sholih dan berdoa kepada mereka ini bukanlah Ibadah.”

فَقُلْ لَهُ: أَنْتَ تُقِرُّ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْكَ إِخْلَاصَ الْعِبَادَةِ لِلَّهِ وَهُوَ حَقُّهُ عَلَيْكَ؟ فَإِذَا قَالَ: نَعَمْ

Katakan kepadanya: “Apakah engkau mengakui bahwa Alloh telah mewajibkanmu untuk memurnikan Ibadah hanya kepada-Nya, dan itu adalah hak-Nya atas dirimu?” Jika ia menjawab, “Ya,”

فَقُلْ لَهُ: بَيِّنْ لِي هَذَا الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ وَهُوَ إِخْلَاصُ الْعِبَادَةِ لِلَّهِ وَحْدَهُ وَهُوَ حَقُّهُ عَلَيْكَ، فَإِنْ كَانَ لَا يَعْرِفُ الْعِبَادَةَ وَلَا أَنْوَاعَهَا فَبَيِّنْهَا لَهُ بِقَوْلِكَ: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً﴾ [الْأَعْرَاف: 55]

Katakan kepadanya: “Kalau begitu, jelaskan kepadaku apa yang diwajibkan atasmu itu, yaitu memurnikan Ibadah hanya untuk Alloh semata, yang merupakan hak-Nya atasmu.” Jika ia tidak mengerti apa itu Ibadah dan jenis-jenisnya, maka jelaskanlah kepadanya dengan ucapanmu: “Alloh Ta’ala berfirman: ‘Berdoalah kepada Robb-mu dengan rendah diri dan suara yang lembut.’” (QS. Al-A’rof: 55)

فَإِذَا أَعْلَمْتَهُ بِهَذَا، فَقُلْ لَهُ: هَلْ عَلِمْتَ هَذَا عِبَادَةُ اللَّهِ؟ فَلَا بُدَّ أَنْ يَقُولَ: نَعَمْ. وَالدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ.

Setelah engkau memberitahunya hal ini, katakanlah kepadanya: “Tahukah engkau bahwa ini (doa) adalah Ibadah kepada Alloh?” Ia pasti akan menjawab, “Ya. Doa adalah otaknya Ibadah.”

فَقُلْ لَهُ: إِذَا أَقْرَرْتَ أَنَّهَا عِبَادَةٌ وَدَعَوْتَ اللَّهَ لَيْلًا وَنَهَارًا خَوْفًا وَطَمَعًا ثُمَّ دَعَوْتَ فِي تِلْكَ الْحَاجَةِ نَبِيًّا أَوْ غَيْرَهُ هَلْ أَشْرَكْتَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ غَيْرَهُ؟

Katakan kepadanya: “Jika engkau mengakui bahwa doa adalah Ibadah, lalu engkau berdoa kepada Alloh siang dan malam dengan rasa takut dan harap, kemudian dalam urusan yang sama engkau juga berdoa kepada seorang Nabi atau selainnya, apakah dengan begitu engkau telah menyekutukan selain Alloh dalam Ibadah kepada-Nya?”

فَلَا بُدَّ أَنْ يَقُولَ: نَعَمْ.

Ia pasti akan menjawab, “Ya.”

فَقُلْ لَهُ: فَإِذَا عَمِلْتَ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: ﴿فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ﴾ [الْكَوْثَر: 2] وَأَطَعْتَ اللَّهَ وَنَحَرْتَ لَهُ هَلْ هَذَا عِبَادَةٌ؟

Katakan kepadanya: “Jika engkau mengamalkan firman Alloh Ta’ala: ‘Maka dirikanlah Sholat karena Robb-mu; dan berkurbanlah.’ (QS. Al-Kautsar: 2), lalu engkau menaati Alloh dan menyembelih kurban untuk-Nya, apakah ini Ibadah?”

فَلَا بُدَّ أَنْ يَقُولَ: نَعَمْ.

Ia pasti akan menjawab, “Ya.”

فَقُلْ لَهُ: فَإِنْ نَحَرْتَ لِمَخْلُوقٍ نَبِيٍّ أَوْ جِنِّيٍّ أَوْ غَيْرِهِمَا هَلْ أَشْرَكْتَ فِي هَذِهِ الْعِبَادَةِ غَيْرَ اللَّهِ؟

Katakan kepadanya: “Jika engkau menyembelih kurban untuk seorang makhluk, baik itu Nabi, jin, atau selainnya, apakah engkau telah menyekutukan selain Alloh dalam Ibadah ini?”

فَلَا بُدَّ أَنْ يُقِرَّ وَيَقُولَ: نَعَمْ.

Ia pasti akan mengaku dan berkata, “Ya.”

وَقُلْ لَهُ أَيْضًا: الْمُشْرِكُونَ الَّذِينَ نَزَلَ فِيهِمُ الْقُرْآنُ، هَلْ كَانُوا يَعْبُدُونَ الْمَلَائِكَةَ وَالصَّالِحِينَ وَاللَّاتَ وَغَيْرَ ذَلِكَ؟

Katakan pula kepadanya: “Kaum musyrikin yang menjadi sebab turunnya Al-Qur’an, bukankah mereka menyembah para Malaikat, orang-orang sholih, Al-Latta, dan lainnya?”

فَلَا بُدَّ أَنْ يَقُولَ: نَعَمْ.

Ia pasti akan menjawab, “Ya.”

فَقُلْ لَهُ: وَهَلْ كَانَتْ عِبَادَتُهُمْ إِيَّاهُمْ إِلَّا فِي الدُّعَاءِ وَالذَّبْحِ، وَالِالْتِجَاءِ وَنَحْوِ ذَلِكَ؟ وَإِلَّا فَهُمْ مُقِرُّونَ أَنَّهُمْ عَبِيدُهُ وَتَحْتَ قَهْرِهِ، وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الَّذِي يُدَبِّرُ الْأَمْرَ وَلَكِنْ دَعَوْهُمْ وَالْتَجَأُوا إِلَيْهِمْ لِلْجَاهِ وَالشَّفَاعَةِ وَهَذَا ظَاهِرٌ جِدًّا.

Katakan kepadanya: “Bukankah Ibadah mereka kepada sesembahan-sesembahan itu tidak lain berupa doa, sembelihan, permohonan perlindungan (iltija’), dan sejenisnya?” Padahal mereka juga mengakui bahwa sesembahan-sesembahan itu adalah hamba Alloh dan di bawah kekuasaan-Nya, dan bahwa Alloh-lah yang mengatur segala urusan. Akan tetapi, mereka berdoa dan memohon perlindungan kepada para sesembahan itu untuk mendapatkan kedudukan (di sisi Alloh) dan syafa’at. Ini sangatlah jelas.

***


 

Fasal Ke-9: Perbedaan Antara Syafa’at yang Sesuai Syari’at dan Syafa’at yang Syirik

فَإِنْ قَالَ: أَتُنْكِرُ شَفَاعَةَ النَّبِيِّ ﷺ وَتَتَبَرَّأُ مِنْهَا؟ فَقُلْ: لَا أُنْكِرُهَا، وَلَا أَتَبَرَّأُ مِنْهَا، بَلْ هُوَ ﷺ الشَّافِعُ الْمُشَفَّعُ وَأَرْجُو شَفَاعَتَهُ، وَلَكِنَّ الشَّفَاعَةَ كُلَّهَا لِلَّهِ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا﴾ [الزُّمَر: 44]

Jika ia berkata: “Apakah engkau mengingkari syafa’at Nabi dan berlepas diri darinya?” Katakanlah: “Aku tidak mengingkarinya dan tidak berlepas diri darinya. Beliau adalah pemberi syafa’at yang diizinkan memberi syafa’at, dan aku sangat mengharapkan syafa’atnya. Akan tetapi, syafa’at itu seluruhnya milik Alloh, sebagaimana firman-Nya: ‘Katakanlah: ‘Hanya kepunyaan Alloh syafa’at itu semuanya.’’ (QS. Az-Zumar: 44)

وَلَا تَكُونُ إِلَّا مِنْ بَعْدِ إِذْنِ اللَّهِ، كَمَا قَالَ - عَزَّ وَجَلَّ -: ﴿مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ﴾ [الْبَقَرَة: 255]

Syafa’at tidak akan terjadi kecuali setelah izin Alloh, sebagaimana firman-Nya ‘Azza wa Jalla: ‘Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Alloh tanpa izin-Nya.’ (QS. Al-Baqoroh: 255).”

وَلَا يَشْفَعُ فِي أَحَدٍ إِلَّا مِنْ بَعْدِ أَنْ يَأْذَنَ اللَّهُ فِيهِ كَمَا قَالَ - عَزَّ وَجَلَّ -: ﴿وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى﴾ [الْأَنْبِيَاء: 28] وَهُوَ لَا يَرْضَى إِلَّا التَّوْحِيدَ كَمَا قَالَ - عَزَّ وَجَلَّ -: ﴿وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ﴾ [آل عِمْرَان: 85]

Seseorang tidak bisa memberi syafa’at kepada orang lain kecuali setelah Alloh mengizinkannya, sebagaimana firman-Nya ‘Azza wa Jalla: “Mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhoi Alloh.” (QS. Al-Anbiya’: 28). Alloh tidak meridhoi kecuali Tauhid, sebagaimana firman-Nya ‘Azza wa Jalla: “Siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya.” (QS. Ali ‘Imron: 85)

فَإِذَا كَانَتِ الشَّفَاعَةُ كُلُّهَا لِلَّهِ، وَلَا تَكُونُ إِلَّا مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ، وَلَا يَشْفَعُ النَّبِيُّ ﷺ وَلَا غَيْرُهُ فِي أَحَدٍ حَتَّى يَأْذَنَ اللَّهُ فِيهِ، وَلَا يَأْذَنُ إِلَّا لِأَهْلِ التَّوْحِيدِ. تَبَيَّنَ لَكَ أَنَّ الشَّفَاعَةَ كُلَّهَا لِلَّهِ فَأَطْلُبْهَا مِنْهُ فَأَقُولُ: اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنِي شَفَاعَتَهُ، اللَّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ، وَأَمْثَالُ هَذَا.

Jadi, jika syafa’at itu seluruhnya milik Alloh, tidak terjadi kecuali setelah izin-Nya, dan Nabi serta selainnya tidak dapat memberi syafa’at kepada siapa pun sampai Alloh mengizinkannya, dan Alloh hanya mengizinkan bagi ahli Tauhid, maka jelaslah bagimu bahwa syafa’at itu sepenuhnya milik Alloh. Maka, mintalah dari-Nya. Aku akan berdoa: “Ya Alloh, janganlah halangi aku dari mendapatkan syafa’atnya. Ya Alloh, izinkanlah beliau memberi syafa’at kepadaku,” dan doa-doa semisalnya.

فَإِنْ قَالَ: النَّبِيُّ ﷺ أُعْطِيَ الشَّفَاعَةَ وَأَنَا أَطْلُبُهُ مِمَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ.

Jika ia berkata: “Nabi telah diberi (hak untuk memberikan) syafa’at, dan aku hanya meminta dari apa yang telah Alloh berikan kepadanya.”

فَالْجَوَابُ إِنَّ اللَّهَ أَعْطَاهُ الشَّفَاعَةَ وَنَهَاكَ عَنْ هَذَا فَقَالَ: ﴿فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا﴾ [الْجِنّ: 18] فَإِذَا كُنْتَ تَدْعُو اللَّهَ أَنْ يُشَفِّعَ نَبِيَّهُ فِيكَ فَأَطِعْهُ فِي قَوْلِهِ: ﴿فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا﴾ [الْجِنّ: 18]

Jawabannya adalah: “Alloh memang telah memberinya syafa’at, namun Dia melarangmu melakukan perbuatanmu itu, Dia berfirman: ‘Maka janganlah kamu menyeru seorang pun di samping (beribadah kepada) Alloh.’ (QS. Al-Jinn: 18). Jika engkau berdoa kepada Alloh agar Nabi-Nya memberi syafa’at kepadamu, maka taatilah firman-Nya: ‘Maka janganlah kamu menyeru seorang pun di samping (beribadah kepada) Alloh.’”

وَأَيْضًا فَإِنَّ الشَّفَاعَةَ أُعْطِيَهَا غَيْرُ النَّبِيِّ ﷺ فَصَحَّ أَنَّ الْمَلَائِكَةَ يَشْفَعُونَ وَالْأَوْلِيَاءَ يَشْفَعُونَ وَالْأَفْرَاطَ يَشْفَعُونَ أَتَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ أَعْطَاهُمُ الشَّفَاعَةَ فَأَطْلُبُهَا مِنْهُمْ؟

Selain itu, syafa’at juga diberikan kepada selain Nabi . Telah shohih bahwa para Malaikat, para wali, dan anak-anak kecil yang meninggal (sebelum baligh) juga bisa memberi syafa’at. Apakah engkau juga akan berkata: “Alloh telah memberi mereka syafa’at, maka aku akan memintanya dari mereka?”

فَإِنْ قُلْتَ هَذَا رَجَعْتَ إِلَى عِبَادَةِ الصَّالِحِينَ الَّتِي ذَكَرَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَإِنْ قُلْتَ: لَا، بَطَلَ قَوْلُكَ: أَعْطَاهُ اللَّهُ الشَّفَاعَةَ وَأَنَا أَطْلُبُهُ مِمَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ.

Jika engkau mengatakan ini, berarti engkau kembali kepada praktik menyembah orang-orang sholih yang telah Alloh sebutkan (larangannya) dalam kitab-Nya. jika engkau berkata, “Tidak,” maka gugurlah argumenmu yang berbunyi: “Alloh telah memberinya syafa’at, dan aku hanya meminta dari apa yang telah Alloh berikan kepadanya.”

***


 

Fasal Ke-10: Pembuktian Bahwa Memohon Perlindungan (Iltija’) kepada Orang Sholih Adalah Syirik

وَإِلْجَاءُ مَنْ أَنْكَرَ ذَلِكَ إِلَى الِاعْتِرَافِ بِهِ فَإِنْ قَالَ: أَنَا لَا أُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا حَاشَا وَكَلَّا، وَلَكِنَّ الِالْتِجَاءَ إِلَى الصَّالِحِينَ لَيْسَ بِشِرْكٍ.

Berikut adalah cara untuk memaksa orang yang mengingkari hal ini agar mau mengakuinya. Jika ia berkata: “Aku tidak menyekutukan Alloh dengan apa pun, sekali-kali tidak. Akan tetapi, memohon perlindungan kepada orang sholih bukanlah syirik.”

فَقُلْ لَهُ: إِذَا كُنْتَ تُقِرُّ أَنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الشِّرْكَ أَعْظَمَ مِنْ تَحْرِيمِ الزِّنَا وَتُقِرُّ أَنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُهُ فَمَا هَذَا الْأَمْرُ الَّذِي حَرَّمَهُ اللَّهُ وَذَكَرَ أَنَّهُ لَا يَغْفِرُهُ؟ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي.

Katakan kepadanya: “Jika engkau mengakui bahwa Alloh mengharomkan syirik lebih besar daripada pengharoman zina, dan engkau mengakui bahwa Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, lalu apa sebenarnya perkara yang diharomkan Alloh dan disebut tidak akan diampuni ini?” Tentu ia tidak akan tahu.

فَقُلْ لَهُ: كَيْفَ تُبَرِّئُ نَفْسَكَ مِنَ الشِّرْكِ وَأَنْتَ لَا تَعْرِفُهُ؟ أَمْ كَيْفَ يُحَرِّمُ اللَّهُ عَلَيْكَ هَذَا وَيَذْكُرُ أَنَّهُ لَا يَغْفِرُهُ وَلَا تَسْأَلُ عَنْهُ وَلَا تَعْرِفُهُ، أَتَظُنُّ أَنَّ اللَّهَ يُحَرِّمُهُ وَلَا يُبَيِّنُهُ لَنَا.

Katakan kepadanya: “Bagaimana engkau bisa mengklaim dirimu bebas dari syirik sementara engkau tidak mengenali apa itu syirik? Atau bagaimana mungkin Alloh mengharomkan ini atasmu dan menyebutnya sebagai dosa yang tak terampuni, sementara engkau tidak pernah bertanya dan tidak mau tahu tentangnya? Apakah engkau mengira Alloh akan mengharomkannya tanpa menjelaskannya kepada kita?”

فَإِنْ قَالَ: الشِّرْكُ عِبَادَةُ الْأَصْنَامِ، وَنَحْنُ لَا نَعْبُدُ الْأَصْنَامَ فَقُلْ لَهُ: مَا مَعْنَى عِبَادَةِ الْأَصْنَامِ أَتَظُنُّ أَنَّهُمْ يَعْتَقِدُونَ أَنَّ تِلْكَ الْأَخْشَابَ وَالْأَحْجَارَ تَخْلُقُ وَتَرْزُقُ وَتُدَبِّرُ أَمْرَ مَنْ دَعَاهَا. فَهَذَا يُكَذِّبُهُ الْقُرْآنُ.

Jika ia berkata: “Syirik itu menyembah berhala, dan kami tidak menyembah berhala.” Katakan kepadanya: “Apa makna ‘menyembah berhala’? Apakah engkau mengira mereka percaya bahwa kayu-kayu dan batu-batu itu bisa menciptakan, memberi rezeki, dan mengatur urusan orang yang berdoa kepadanya?” Keyakinan seperti ini dibantah oleh Al-Qur’an.

وَإِنْ قَالَ: هُوَ مَنْ قَصَدَ خَشَبَةً أَوْ حَجَرًا أَوْ بِنْيَةً عَلَى قَبْرٍ أَوْ غَيْرِهِ يَدْعُونَ ذَلِكَ وَيَذْبَحُونَ لَهُ وَيَقُولُونَ إِنَّهُ يُقَرِّبُنَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى وَيَدْفَعُ اللَّهُ عَنَّا بِبَرَكَتِهِ أَوْ يُعْطِينَا بِبَرَكَتِهِ.

Jika ia berkata: “Menyembah berhala adalah orang yang mendatangi sepotong kayu, batu, atau bangunan di atas kuburan atau lainnya, lalu mereka berdoa kepadanya dan menyembelih untuknya, seraya berkata, ‘Ini bisa mendekatkan kami kepada Alloh sedekat-dekatnya,’ dan ‘Alloh akan menolak bala dari kami berkat barokahnya,’ atau ‘memberi kami sesuatu berkat barokahnya.’”

فَقُلْ: صَدَقْتَ، وَهَذَا هُوَ فِعْلُكُمْ عِنْدَ الْأَحْجَارِ وَالْأَبْنِيَةِ الَّتِي عَلَى الْقُبُورِ وَغَيْرِهَا، فَهَذَا أَقَرَّ أَنَّ فِعْلَهُمْ هَذَا هُوَ عِبَادَةُ الْأَصْنَامِ، فَهُوَ الْمَطْلُوبُ.

Katakanlah: “Engkau benar, dan inilah persis perbuatan kalian di sisi bebatuan dan bangunan-bangunan yang ada di atas kuburan dan lainnya. Berarti, orang ini telah mengakui bahwa perbuatannya adalah bentuk penyembahan berhala, dan inilah poin yang ingin kita capai.”

وَيُقَالُ لَهُ أَيْضًا: قَوْلُكَ الشِّرْكُ عِبَادَةُ الْأَصْنَامِ هَلْ مُرَادُكَ أَنَّ الشِّرْكَ مَخْصُوصٌ بِهَذَا، وَأَنَّ الِاعْتِمَادَ عَلَى الصَّالِحِينَ وَدُعَاءَهُمْ لَا يَدْخُلُ فِي ذَلِكَ، فَهَذَا يَرُدُّهُ مَا ذَكَرَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ مِنْ كُفْرِ مَنْ تَعَلَّقَ عَلَى الْمَلَائِكَةِ وَعِيسَى وَالصَّالِحِينَ، فَلَا بُدَّ أَنْ يُقِرَّ لَكَ أَنَّ مَنْ أَشْرَكَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ أَحَدًا مِنَ الصَّالِحِينَ فَهُوَ الشِّرْكُ الْمَذْكُورُ فِي الْقُرْآنِ، وَهَذَا هُوَ الْمَطْلُوبُ.

Katakan juga kepadanya: “Ucapanmu bahwa syirik adalah penyembahan berhala, apakah maksudmu syirik itu terbatas hanya pada hal itu, dan bahwa bersandar serta berdoa kepada orang-orang sholih tidak termasuk di dalamnya?” Pernyataan ini jelas terbantah oleh apa yang Alloh sebutkan dalam Kitab-Nya tentang kekafiran orang yang bergantung kepada para Malaikat, ‘Isa, dan orang-orang sholih. Maka, ia harus mengakui bahwa siapa pun yang menyekutukan Alloh dengan salah satu dari orang-orang sholih dalam Ibadah, maka itulah syirik yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Inilah poin yang ingin kita capai.

وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ: أَنَّهُ إِذَا قَالَ: أَنَا لَا أُشْرِكُ بِاللَّهِ.

Inti masalahnya: jika ia berkata, “Aku tidak menyekutukan Alloh.”

فَقُلْ لَهُ: وَمَا الشِّرْكُ بِاللَّهِ، فَسِّرْهُ لِي. فَإِنْ قَالَ: هُوَ عِبَادَةُ الْأَصْنَامِ.

Katakan kepadanya: “Apa itu syirik kepada Alloh? Jelaskan padaku.” Jika ia menjawab: “Syirik itu menyembah berhala.”

فَقُلْ: وَمَا مَعْنَى عِبَادَةِ الْأَصْنَامِ، فَسِّرْهَا لِي. فَإِنْ قَالَ: أَنَا لَا أَعْبُدُ إِلَّا اللَّهَ وَحْدَهُ.

Katakan: “Apa makna ‘menyembah berhala’? Jelaskan padaku.” Jika ia berkata: “Aku tidak menyembah kecuali kepada Alloh semata.”

فَقُلْ: مَا مَعْنَى عِبَادَةِ اللَّهِ وَحْدَهُ، فَسِّرْهَا لِي، فَإِنْ فَسَّرَهَا بِمَا بَيَّنَهُ الْقُرْآنُ فَهُوَ الْمَطْلُوبُ، وَإِنْ لَمْ يَعْرِفْهُ فَكَيْفَ يَدَّعِي شَيْئًا وَهُوَ لَا يَعْرِفُهُ.

Katakan: “Apa makna ‘menyembah Alloh semata’? Jelaskan padaku.” Jika ia menjelaskannya sesuai dengan apa yang diterangkan Al-Qur’an, maka itulah yang kita tuju. Namun jika ia tidak mengetahuinya, bagaimana ia bisa mengklaim sesuatu yang ia sendiri tidak tahu hakikatnya?

وَإِنْ فَسَّرَ ذَلِكَ بِغَيْرِ مَعْنَاهُ بَيَّنْتَ لَهُ الْآيَاتِ الْوَاضِحَاتِ فِي مَعْنَى الشِّرْكِ بِاللَّهِ وَعِبَادَةِ الْأَوْثَانِ، وَأَنَّهُ الَّذِي يَفْعَلُونَهُ فِي هَذَا الزَّمَانِ بِعَيْنِهِ، وَأَنَّ عِبَادَةَ اللَّهِ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ هِيَ الَّتِي يُنْكِرُونَ عَلَيْنَا وَيَصِيحُونَ فِيهِ كَمَا صَاحَ إِخْوَانُهُمْ حَيْثُ قَالُوا: ﴿أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ﴾ [ص: 5]

Jika ia menafsirkannya dengan makna yang keliru, maka jelaskanlah kepadanya ayat-ayat yang terang benderang mengenai makna syirik kepada Alloh dan penyembahan berhala. Jelaskan bahwa itu adalah perbuatan yang persis mereka lakukan di zaman ini, dan bahwa Ibadah kepada Alloh semata tanpa sekutu adalah apa yang mereka ingkari dan mereka tentang, sebagaimana saudara-saudara mereka (kaum musyrikin zaman dulu) menentang seraya berkata: “Apakah ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu menjadi satu Sesembahan saja? Sungguh, ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan.” (QS. Shod: 5)

فَإِنْ قَالَ: إِنَّهُمْ لَا يَكْفُرُونَ بِدُعَاءِ الْمَلَائِكَةِ وَالْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّمَا يَكْفُرُونَ لِمَا قَالُوا، الْمَلَائِكَةُ بَنَاتُ اللَّهِ فَإِنَّا لَمْ نَقُلْ عَبْدُ الْقَادِرِ ابْنُ اللَّهِ وَلَا غَيْرُهُ.

Jika ia berkata: “Mereka (kaum musyrikin dulu) menjadi kafir bukan karena berdoa kepada Malaikat dan para Nabi, tetapi karena mereka mengatakan ‘Malaikat adalah anak perempuan Alloh’. Kami tidak pernah mengatakan ‘Abdul Qodir adalah anak Alloh’ atau yang lainnya.”

فَالْجَوَابُ أَنَّ نِسْبَةَ الْوَلَدِ إِلَى اللَّهِ كُفْرٌ مُسْتَقِلٌّ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ * اللَّهُ الصَّمَدُ﴾ [الْإِخْلَاص: 1 - 2]

Jawabannya adalah bahwa menisbatkan anak kepada Alloh adalah bentuk kekafiran tersendiri. Alloh Ta’ala berfirman: “Katakanlah: ‘Dialah Alloh, Yang Maha Esa. Alloh adalah Ash-Shomad (tempat bergantung segala sesuatu).’” (QS. Al-Ikhlash: 1-2)

وَالْأَحَدُ الَّذِي لَا نَظِيرَ لَهُ، وَالصَّمَدُ الْمَقْصُودُ فِي الْحَوَائِجِ، فَمَنْ جَحَدَ هَذَا فَقَدْ كَفَرَ، وَلَوْ لَمْ يَجْحَدِ السُّورَةَ.

Al-Ahad adalah Dzat yang tiada tandingan-Nya, dan Ash-Shomad adalah Dzat yang menjadi tujuan dalam setiap hajat. Siapa yang mengingkari ini, maka ia telah kafir, meskipun ia tidak mengingkari keseluruhan surat.

وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ﴾ [الْمُؤْمِنُون: 91]

Alloh Ta’ala berfirman: “Alloh sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada sesembahan (yang lain) beserta-Nya.” (QS. Al-Mu’minun: 91)

فَفَرَّقَ بَيْنَ النَّوْعَيْنِ، وَجَعَلَ كُلًّا مِنْهُمَا كُفْرًا مُسْتَقِلًّا، وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَجَعَلُوا لِلَّهِ شُرَكَاءَ الْجِنَّ وَخَلَقَهُمْ وَخَرَقُوا لَهُ بَنِينَ وَبَنَاتٍ بِغَيْرِ عِلْمٍ﴾ [الْأَنْعَام: 100]، فَفَرَّقَ بَيْنَ كُفْرَيْنِ.

Di sini Alloh membedakan antara dua jenis (kekafiran) dan menjadikan masing-masing sebagai kekafiran tersendiri. Alloh juga berfirman: “Mereka menjadikan jin sebagai sekutu-sekutu bagi Alloh, padahal Alloh-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka mengada-adakan bagi Alloh anak-anak laki-laki dan perempuan tanpa ilmu.” (QS. Al-An’am: 100). Di sini, Alloh juga membedakan antara dua jenis kekafiran.

وَالدَّلِيلُ عَلَى هَذَا أَيْضًا: أَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِدُعَاءِ اللَّاتِ مَعَ كَوْنِهِ رَجُلًا صَالِحًا لَمْ يَجْعَلُوهُ ابْنَ اللَّهِ، وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِعِبَادَةِ الْجِنِّ لَمْ يَجْعَلُوهُمْ كَذَلِكَ.

Dalil lain untuk ini adalah: orang-orang yang menjadi kafir karena berdoa kepada Al-Latta—yang merupakan seorang laki-laki sholih—tidak pernah menganggapnya sebagai anak Alloh. Begitu pula orang-orang yang kafir karena menyembah jin, mereka tidak pernah menganggap jin sebagai anak Alloh.

وَكَذَلِكَ أَيْضًا الْعُلَمَاءُ فِي جَمِيعِ الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ يَذْكُرُونَ فِي (بَابِ حُكْمِ الْمُرْتَدِّ) أَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا زَعَمَ أَنَّ لِلَّهِ وَلَدًا فَهُوَ مُرْتَدٌّ، وَيُفَرِّقُونَ بَيْنَ النَّوْعَيْنِ، وَهَذَا فِي غَايَةِ الْوُضُوحِ.

Demikian pula, para ulama di semua madzhab yang empat, ketika membahas “Bab Hukum Orang Murtad,” mereka menyatakan bahwa seorang Muslim yang mengklaim Alloh punya anak, maka ia murtad. Mereka membedakan antara dua jenis kekafiran ini (syirik dan mengklaim Alloh punya anak), dan ini sangat jelas.

وَإِنْ قَالَ: ﴿أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ﴾ [يُونُس: 62] فَقُلْ هَذَا هُوَ الْحَقُّ، وَلَكِنْ لَا يُعْبَدُونَ.

Jika ia berdalih: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Alloh itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62), maka katakanlah: “Itu benar, akan tetapi mereka tidak untuk disembah.”

وَنَحْنُ لَمْ نَذْكُرْ إِلَّا عِبَادَتَهُمْ مَعَ اللَّهِ وَشِرْكَهُمْ مَعَهُ، وَإِلَّا فَالْوَاجِبُ عَلَيْكَ حُبُّهُمْ وَاتِّبَاعُهُمْ وَالْإِقْرَارُ بِكَرَامَتِهِمْ.

Kami tidak mempermasalahkan kecuali peribadatan mereka (orang-orang musyrik) dan kesyirikan mereka di samping Alloh. Adapun para wali, maka kewajibanmu adalah mencintai mereka, mengikuti jejak (kebaikan) mereka, dan mengakui karomah mereka.

وَلَا يَجْحَدُ كَرَامَاتِ الْأَوْلِيَاءِ إِلَّا أَهْلُ الْبِدَعِ وَالضَّلَالِ وَدِينُ اللَّهِ وَسَطٌ بَيْنَ طَرَفَيْنِ، وَهُدًى بَيْنَ ضَلَالَتَيْنِ، وَحَقٌّ بَيْنَ بَاطِلَيْنِ.

Tidak ada yang mengingkari karomah para wali kecuali ahli bid’ah dan kesesatan. Agama Alloh adalah pertengahan di antara dua ekstrem, petunjuk di antara dua kesesatan, dan kebenaran di antara dua kebatilan.

***


 

Fasal Ke-11: Pembuktian Bahwa Syirik Orang Zaman Dulu Lebih Ringan dari Syirik Orang Zaman Sekarang (Dilihat dari Dua Sisi)

فَإِذَا عَرَفْتَ أَنَّ هَذَا الَّذِي يُسَمِّيهِ الْمُشْرِكُونَ فِي زَمَانِنَا (الِاعْتِقَادَ) هُوَ الشِّرْكُ الَّذِي نَزَلَ فِيهِ الْقُرْآنُ وَقَاتَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ النَّاسَ عَلَيْهِ، فَاعْلَمْ أَنَّ شِرْكَ الْأَوَّلِينَ أَخَفُّ مِنْ شِرْكِ أَهْلِ زَمَانِنَا بِأَمْرَيْنِ:

Jika Anda telah memahami bahwa apa yang disebut oleh kaum musyrikin di zaman kita sebagai “keyakinan” (i’tiqod) ini adalah kesyirikan yang menjadi sebab turunnya Al-Qur’an dan menjadi alasan Rosululloh memerangi manusia, maka ketahuilah bahwa syirik orang-orang zaman dahulu lebih ringan daripada syirik orang-orang di zaman kita, karena dua hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْأَوَّلِينَ يُشْرِكُونَ وَيَدْعُونَ الْمَلَائِكَةَ وَالْأَوْلِيَاءَ وَالْأَوْثَانَ مَعَ اللَّهِ فِي الرَّخَاءِ، وَأَمَّا فِي الشِّدَّةِ فَيُخْلِصُونَ لِلَّهِ الدُّعَاءَ.

Pertama: Orang-orang zaman dahulu berbuat syirik dan berdoa kepada para Malaikat, wali, dan berhala di samping Alloh hanya pada saat lapang (rokho’). Adapun di saat genting dan sulit (syiddah), mereka memurnikan doa hanya untuk Alloh.

كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الْإِنْسَانُ كَفُورًا﴾ [الْإِسْرَاء: 67]

Sebagaimana firman Alloh Ta’ala: “Apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia telah menyelamatkan kamu ke daratan, kamu pun berpaling. Manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih.” (QS. Al-Isro’: 67)

وَقَوْلُهُ: ﴿قُلْ أَرَأَيْتَكُمْ إِنْ أَتَاكُمْ عَذَابُ اللَّهِ أَوْ أَتَتْكُمُ السَّاعَةُ أَغَيْرَ اللَّهِ تَدْعُونَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ - بَلْ إِيَّاهُ تَدْعُونَ فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ وَتَنْسَوْنَ مَا تُشْرِكُونَ﴾ [الْأَنْعَام: 40 - 41]

Juga firman-Nya: “Katakanlah: ‘Terangkanlah kepadaku jika datang siksaan Alloh kepadamu, atau datang kepadamu hari Kiamat, apakah kamu menyeru (sesembahan) selain Alloh, jika kamu orang-orang yang benar!’ (Tidak), tetapi hanya kepada-Nya kamu menyeru, maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki, dan kamu tinggalkan apa yang kamu persekutukan.” (QS. Al-An’am: 40-41)

وَقَوْلُهُ: ﴿وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ﴾ إِلَى قَوْلِهِ: ﴿قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ قَلِيلًا إِنَّكَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ﴾ [الزُّمَر: 8] وَقَوْلُهُ: ﴿وَإِذَا غَشِيَهُمْ مَوْجٌ كَالظُّلَلِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ﴾ [لُقْمَان: 32]

Juga firman-Nya: “Apabila manusia ditimpa bencana, ia berdoa kepada Robb-nya dengan kembali taat kepada-Nya...” hingga firman-Nya: “...Katakanlah: ‘Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu untuk sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni Neraka.’” (QS. Az-Zumar: 8) Juga firman-Nya: “Apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Alloh dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Luqman: 32)

فَمَنْ فَهِمَ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ الَّتِي وَضَّحَهَا اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَهِيَ أَنَّ الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ قَاتَلَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَدْعُونَ اللَّهَ وَيَدْعُونَ غَيْرَهُ فِي الرَّخَاءِ، وَأَمَّا فِي الضَّرَّاءِ وَالشِّدَّةِ فَلَا يَدْعُونَ إِلَّا اللَّهَ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَيَنْسَوْنَ سَادَاتِهِمْ، تَبَيَّنَ لَهُ الْفَرْقُ بَيْنَ شِرْكِ أَهْلِ زَمَانِنَا وَشِرْكِ الْأَوَّلِينَ، وَلَكِنْ أَيْنَ مَنْ يَفْهَمُ قَلْبُهُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ فَهْمًا رَاسِخًا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.

Siapa yang memahami masalah yang telah Alloh jelaskan dalam Kitab-Nya ini, yaitu bahwa kaum musyrikin yang diperangi oleh Rosululloh berdoa kepada Alloh dan juga kepada selain-Nya di waktu lapang, namun di waktu susah dan genting mereka hanya berdoa kepada Alloh semata tanpa sekutu dan melupakan sesembahan-sesembahan mereka, maka akan jelas baginya perbedaan antara syirik orang zaman sekarang dan syirik orang zaman dahulu. Akan tetapi, di manakah hati yang mau memahami masalah ini dengan pemahaman yang mendalam? Wallohul Musta’an (Hanya kepada Alloh kita memohon pertolongan).

الْأَمْرُ الثَّانِي: أَنَّ الْأَوَّلِينَ يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ أُنَاسًا مُقَرَّبِينَ عِنْدَ اللَّهِ. إِمَّا أَنْبِيَاءَ، وَإِمَّا أَوْلِيَاءَ، وَإِمَّا مَلَائِكَةً، أَوْ يَدْعُونَ أَشْجَارًا أَوْ أَحْجَارًا مُطِيعَةً لِلَّهِ لَيْسَتْ عَاصِيَةً.

Kedua: Orang-orang zaman dahulu berdoa kepada sosok-sosok yang memang dekat di sisi Alloh, seperti para Nabi, para wali, atau para Malaikat. Atau mereka berdoa kepada pohon dan batu yang taat kepada Alloh dan tidak durhaka.

وَأَهْلُ زَمَانِنَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ أُنَاسًا مِنْ أَفْسَقِ النَّاسِ، وَالَّذِينَ يَدْعُونَهُمْ هُمُ الَّذِينَ يَحْكُونَ عَنْهُمُ الْفُجُورَ مِنَ الزِّنَا وَالسَّرِقَةِ وَتَرْكِ الصَّلَاةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ.

Sedangkan orang-orang di zaman kita, mereka berdoa kepada manusia-manusia yang paling fasik. Sosok-sosok yang mereka jadikan perantara itu justru adalah orang-orang yang terkenal dengan perbuatan maksiatnya, seperti zina, mencuri, meninggalkan Sholat, dan lain-lain.

وَالَّذِي يَعْتَقِدُ فِي الصَّالِحِ أَوِ الَّذِي لَا يَعْصِي مِثْلَ الْخَشَبِ وَالْحَجَرِ أَهْوَنُ مِمَّنْ يَعْتَقِدُ فِيمَنْ يُشَاهِدُ فِسْقَهُ وَفَسَادَهُ وَيَشْهَدُ بِهِ.

Orang yang meyakini (meminta-minta pada) orang sholih atau sesuatu yang tidak bermaksiat seperti kayu dan batu, itu (kesesatannya) lebih ringan daripada orang yang meyakini (meminta-minta pada) seseorang yang ia saksikan sendiri kefasikan dan kerusakannya, bahkan ia menjadi saksi atasnya.

***


 

Fasal Ke-12: Mengungkap Syubhat Orang yang Menganggap Bahwa Siapa yang Melakukan Sebagian Kewajiban Agama Tidak Bisa Disebut Kafir Meskipun Melakukan Hal yang Bertentangan dengan Tauhid

وَأَدِلَّةُ ذَلِكَ بِالتَّفْصِيلِ إِذَا تَحَقَّقْتَ أَنَّ الَّذِينَ قَاتَلَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَصَحُّ عُقُولًا وَأَخَفُّ شِرْكًا مِنْ هَؤُلَاءِ.

Setelah Anda yakin bahwa orang-orang (musyrik) yang diperangi Rosululloh akalnya lebih sehat dan kesyirikannya lebih ringan daripada orang-orang (musyrik zaman) sekarang.

فَاعْلَمْ أَنَّ لِهَؤُلَاءِ (شُبْهَةً) يُورِدُونَهَا عَلَى مَا ذَكَرْنَا، وَهِيَ مِنْ أَعْظَمِ شُبَهِهِمْ، فَأَصْغِ سَمْعَكَ لِجَوَابِهَا.

Ketahuilah bahwa mereka ini memiliki sebuah syubhat (kerancuan berpikir) yang mereka lontarkan untuk membantah penjelasan kita, dan ini adalah syubhat terbesar mereka. Maka, simaklah baik-baik jawabannya.

وَهِيَ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ: إِنَّ الَّذِينَ نَزَلَ فِيهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَشْهَدُونَ أَنْ (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ) ، وَيُكَذِّبُونَ الرَّسُولَ ﷺ وَيُنْكِرُونَ الْبَعْثَ، وَيُكَذِّبُونَ الْقُرْآنَ وَيَجْعَلُونَهُ سِحْرًا. وَنَحْنُ نَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَنُصَدِّقُ الْقُرْآنَ، وَنُؤْمِنُ بِالْبَعْثِ، وَنُصَلِّي، وَنَصُومُ. فَكَيْفَ تَجْعَلُونَنَا مِثْلَ أُولَئِكَ.

Syubhat itu adalah ucapan mereka: “Orang-orang (kafir Quroisy) yang menjadi sebab turunnya Al-Qur’an itu tidak bersyahadat ‘Laa Ilaaha Illalloh’, mereka mendustakan Rosul , mengingkari hari Kebangkitan, dan mendustakan Al-Qur’an serta menganggapnya sihir. Sedangkan kami, kami bersaksi bahwa Laa Ilaaha Illalloh dan Muhammad adalah Rosululloh, kami membenarkan Al-Qur’an, kami beriman pada hari Kebangkitan, kami Sholat, dan kami Puasa. Bagaimana mungkin kalian menyamakan kami dengan mereka?”

فَالْجَوَابُ أَنَّهُ لَا خِلَافَ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ كُلِّهِمْ أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَدَّقَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فِي شَيْءٍ وَكَذَّبَهُ فِي شَيْءٍ أَنَّهُ كَافِرٌ لَمْ يَدْخُلْ فِي الْإِسْلَامِ، وَكَذَلِكَ إِذَا آمَنَ بِبَعْضِ الْقُرْآنِ وَجَحَدَ بَعْضَهُ، كَمَنْ أَقَرَّ بِالتَّوْحِيدِ وَجَحَدَ وُجُوبَ الصَّلَاةِ، أَوْ أَقَرَّ بِالتَّوْحِيدِ وَالصَّلَاةِ وَجَحَدَ وُجُوبَ الزَّكَاةِ، أَوْ أَقَرَّ بِهَذَا كُلِّهِ وَجَحَدَ الصَّوْمَ، أَوْ أَقَرَّ بِهَذَا كُلِّهِ وَجَحَدَ الْحَجَّ.

Jawabannya adalah: Tidak ada perselisihan di antara seluruh ulama bahwa seseorang yang membenarkan Rosululloh dalam satu hal namun mendustakannya dalam hal lain, maka ia adalah kafir dan belum masuk Islam. Begitu pula jika ia beriman kepada sebagian Al-Qur’an dan mengingkari sebagian lainnya. Seperti orang yang mengakui Tauhid tetapi mengingkari kewajiban Sholat, atau mengakui Tauhid dan Sholat tetapi mengingkari kewajiban Zakat, atau mengakui semua itu tetapi mengingkari kewajiban Puasa, atau mengakui semua itu tetapi mengingkari kewajiban Haji.

وَلَمَّا لَمْ يَنْقَدْ أُنَاسٌ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ ﷺ لِلْحَجِّ، أَنْزَلَ اللَّهُ فِي حَقِّهِمْ ﴿وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ﴾ [آل عِمْرَان: 97]

Ketika ada orang-orang di zaman Nabi yang tidak mau tunduk pada kewajiban Haji, Alloh menurunkan ayat tentang mereka: “(Di antara) kewajiban manusia terhadap Alloh adalah melaksanakan ibadah Haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa mengingkari (kewajiban Haji), maka sesungguhnya Alloh Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali ‘Imron: 97)

وَمَنْ أَقَرَّ بِهَذَا كُلِّهِ وَجَحَدَ الْبَعْثَ كَفَرَ بِالْإِجْمَاعِ، وَحَلَّ دَمُهُ وَمَالُهُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا - أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا﴾ [النِّسَاء: 150 - 151] فَإِذَا كَانَ اللَّهُ قَدْ صَرَّحَ فِي كِتَابِهِ أَنَّ مَنْ آمَنَ بِبَعْضٍ وَكَفَرَ بِبَعْضٍ فَهُوَ الْكَافِرُ حَقًّا، وَأَنَّهُ يَسْتَحِقُّ مَا ذُكِرَ، زَالَتِ الشُّبْهَةُ.

Siapa pun yang mengakui semua rukun Islam tetapi mengingkari hari Kebangkitan, maka ia kafir berdasarkan ijma’ (kesepakatan ulama), dan darah serta hartanya menjadi halal. Sebagaimana firman Alloh: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Alloh dan Rosul-rosul-Nya, dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Alloh dan Rosul-rosul-Nya, dengan mengatakan: ‘Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain),’ serta bermaksud (mengambil) jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu siksaan yang menghinakan.” (QS. An-Nisa’: 150-151). Jika Alloh telah menegaskan dalam Kitab-Nya bahwa siapa yang beriman kepada sebagian dan kafir kepada sebagian yang lain adalah kafir yang sebenar-benarnya dan berhak mendapatkan azab yang telah disebutkan, maka gugurlah syubhat tersebut.

وَهَذِهِ هِيَ الَّتِي ذَكَرَهَا بَعْضُ أَهْلِ الْإِحْسَاءِ فِي كِتَابِهِ الَّذِي أَرْسَلَهُ إِلَيْنَا.

Inilah syubhat yang disebutkan oleh sebagian penduduk Al-Ahsa dalam surat yang ia kirimkan kepada kami.

وَيُقَالُ أَيْضًا: إِنْ كُنْتَ تُقِرُّ أَنَّ مَنْ صَدَّقَ الرَّسُولَ فِي كُلِّ شَيْءٍ، وَجَحَدَ وُجُوبَ الصَّلَاةِ أَنَّهُ كَافِرٌ حَلَالُ الدَّمِ وَالْمَالِ بِالْإِجْمَاعِ، وَكَذَلِكَ إِذَا أَقَرَّ بِكُلِّ شَيْءٍ إِلَّا الْبَعْثَ، وَكَذَلِكَ لَوْ جَحَدَ وُجُوبَ صَوْمِ رَمَضَانَ وَصَدَّقَ بِذَلِكَ كُلِّهِ لَا تَخْتَلِفُ الْمَذَاهِبُ فِيهِ، وَقَدْ نَطَقَ بِهِ الْقُرْآنُ كَمَا قَدَّمْنَا.

Dapat dikatakan pula: Jika engkau mengakui bahwa orang yang membenarkan Rosul dalam segala hal tetapi mengingkari kewajiban Sholat adalah kafir, halal darah dan hartanya berdasarkan ijma’, begitu pula jika ia mengakui segalanya kecuali hari Kebangkitan, dan begitu pula jika ia mengingkari kewajiban Puasa Romadhon meskipun membenarkan yang lainnya, di mana tidak ada perbedaan pendapat antar madzhab mengenai hal ini dan Al-Qur’an pun telah menyatakannya sebagaimana yang kami sebutkan.

فَمَعْلُومٌ أَنَّ التَّوْحِيدَ هُوَ أَعْظَمُ فَرِيضَةٍ جَاءَ بِهَا النَّبِيُّ ﷺ وَهُوَ أَعْظَمُ مِنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصَّوْمِ وَالْحَجِّ فَكَيْفَ إِذَا جَحَدَ الْإِنْسَانُ شَيْئًا مِنْ هَذِهِ الْأُمُورِ كَفَرَ، وَلَوْ عَمِلَ بِكُلِّ مَا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ، وَإِذَا جَحَدَ التَّوْحِيدَ الَّذِي هُوَ دِينُ الرُّسُلِ كُلِّهِمْ لَا يَكْفُرُ، سُبْحَانَ اللَّهِ مَا أَعْجَبَ هَذَا الْجَهْلَ.

Maka, sudah maklum bahwa Tauhid adalah kewajiban terbesar yang dibawa oleh Nabi , bahkan lebih agung dari Sholat, Zakat, Puasa, dan Haji. Bagaimana bisa jika seseorang mengingkari salah satu dari kewajiban-kewajiban (Sholat, Zakat, dll) ia divonis kafir meskipun ia mengerjakan semua ajaran Rosul yang lain, tetapi jika ia mengingkari Tauhid yang merupakan pondasi dan inti ajaran semua Rosul, ia tidak dianggap kafir? Subhanalloh, alangkah mengherankannya kebodohan ini.

وَيُقَالُ أَيْضًا: هَؤُلَاءِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَاتَلُوا بَنِي حَنِيفَةَ، وَقَدْ أَسْلَمُوا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ وَهُمْ يَشْهَدُونَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَيُؤَذِّنُونَ وَيُصَلُّونَ.

Dapat dikatakan pula: Para Shohabat Rosululloh telah memerangi Bani Hanifah. Padahal mereka telah masuk Islam bersama Nabi , mereka bersaksi Laa Ilaaha Illalloh dan Muhammad Rosululloh, mereka mengumandangkan adzan dan mengerjakan Sholat.

فَإِنْ قَالَ: إِنَّهُمْ يَقُولُونَ: إِنَّ مُسَيْلِمَةَ نَبِيٌّ، فَقُلْ: هَذَا هُوَ الْمَطْلُوبُ، إِذَا كَانَ مَنْ رَفَعَ رَجُلًا إِلَى رُتْبَةِ النَّبِيِّ ﷺ كَفَرَ وَحَلَّ مَالُهُ وَدَمُهُ وَلَمْ تَنْفَعْهُ الشَّهَادَتَانِ وَلَا الصَّلَاةُ، فَكَيْفَ بِمَنْ رَفَعَ شَمْسَانَ أَوْ يُوسُفَ، أَوْ صَحَابِيًّا، أَوْ نَبِيًّا إِلَى مَرْتَبَةِ جَبَّارِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ سُبْحَانَ اللَّهِ مَا أَعْظَمَ شَأْنَهُ ﴿كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ﴾ [الرُّوم: 59]

Jika ia berdalih: “Itu karena mereka mengatakan bahwa Musailamah adalah seorang Nabi.” Katakanlah: “Inilah poinnya! Jika orang yang mengangkat seorang manusia ke derajat Nabi saja sudah divonis kafir, halal harta dan darahnya, serta tidak bermanfaat baginya dua kalimat syahadat dan Sholatnya, lalu bagaimana dengan orang yang mengangkat Syamsan atau Yusuf, atau seorang Shohabat, atau bahkan seorang Nabi ke martabat Jabbar (Penguasa Perkasa) langit dan bumi? Subhanalloh, Maha Agung urusan-Nya. ‘Demikianlah Alloh mengunci hati orang-orang yang tidak mengetahui.’” (QS. Ar-Rum: 59)

وَيُقَالُ أَيْضًا: الَّذِينَ حَرَّقَهُمْ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - بِالنَّارِ كُلُّهُمْ يَدَّعُونَ الْإِسْلَامَ، وَهُمْ مِنْ أَصْحَابِ عَلِيٍّ، وَتَعَلَّمُوا الْعِلْمَ مِنَ الصَّحَابَةِ، وَلَكِنِ اعْتَقَدُوا فِي عَلِيٍّ مِثْلَ الِاعْتِقَادِ فِي يُوسُفَ وَشَمْسَانَ وَأَمْثَالِهِمَا، فَكَيْفَ أَجْمَعَ الصَّحَابَةُ عَلَى قَتْلِهِمْ وَكُفْرِهِمْ، أَتَظُنُّونَ أَنَّ الصَّحَابَةَ يُكَفِّرُونَ الْمُسْلِمِينَ أَمْ تَظُنُّونَ أَنَّ الِاعْتِقَادَ فِي (تَاجٍ) وَأَمْثَالِهِ لَا يَضُرُّ، وَالِاعْتِقَادَ فِي (عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ) يُكَفِّرُ.

Dapat dikatakan pula: Orang-orang yang dibakar hidup-hidup oleh ‘Ali bin Abi Tholib Rodhiyallahu ‘Anhu, semuanya mengaku Islam. Mereka adalah pengikut ‘Ali dan telah belajar ilmu dari para Shohabat. Akan tetapi, mereka meyakini tentang ‘Ali sebagaimana keyakinan (orang-orang musyrik) pada Yusuf, Syamsan, dan sejenisnya. Bagaimana mungkin para Shohabat bersepakat untuk membunuh dan mengkafirkan mereka? Apakah kalian mengira para Shohabat mengkafirkan kaum Muslimin? Ataukah kalian mengira bahwa keyakinan (syirik) pada sosok “Taj” dan sejenisnya tidak membahayakan, sementara keyakinan (syirik) pada “‘Ali bin Abi Tholib” bisa membuat kafir?

وَيُقَالُ أَيْضًا: بَنُو عُبَيْدٍ الْقَدَّاحِ الَّذِينَ مَلَكُوا الْمَغْرِبَ وَمِصْرَ فِي زَمَانِ بَنِي الْعَبَّاسِ كُلُّهُمْ يَشْهَدُونَ أَنْ (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ) وَيَدَّعُونَ الْإِسْلَامَ، وَيُصَلُّونَ الْجُمُعَةَ وَالْجَمَاعَةَ، فَلَمَّا أَظْهَرُوا مُخَالَفَةَ الشَّرِيعَةِ فِي أَشْيَاءَ دُونَ مَا نَحْنُ فِيهِ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى كُفْرِهِمْ وَقِتَالِهِمْ، وَأَنَّ بِلَادَهُمْ بِلَادُ حَرْبٍ، وَغَزَاهُمُ الْمُسْلِمُونَ حَتَّى اسْتَنْقَذُوا مَا بِأَيْدِيهِمْ مِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِينَ.

Dapat dikatakan pula: Bani ‘Ubaid Al-Qoddah yang menguasai Maroko dan Mesir di zaman Bani ‘Abbas, semuanya bersaksi Laa Ilaaha Illalloh dan Muhammad Rosululloh. Mereka mengaku Islam, mengerjakan Sholat Jum’at dan berjamaah. Namun, ketika mereka menampakkan penyelisihan terhadap syariat dalam beberapa hal yang lebih ringan dari apa yang kita bahas ini, para ulama bersepakat atas kekafiran dan keharusan memerangi mereka, serta menganggap negeri mereka sebagai negeri perang. Kaum Muslimin pun memerangi mereka hingga berhasil merebut kembali negeri-negeri kaum Muslimin yang ada di tangan mereka.

وَيُقَالُ أَيْضًا: إِذَا كَانَ الْأَوَّلُونَ لَمْ يَكْفُرُوا إِلَّا لِأَنَّهُمْ جَمَعُوا بَيْنَ الشِّرْكِ وَتَكْذِيبِ الرَّسُولِ وَالْقُرْآنِ وَإِنْكَارِ الْبَعْثِ وَغَيْرِ ذَلِكَ، فَمَا مَعْنَى الْبَابِ الَّذِي ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ فِي كُلِّ مَذْهَبٍ (بَابُ حُكْمِ الْمُرْتَدِّ) وَهُوَ الْمُسْلِمُ الَّذِي يَكْفُرُ بَعْدَ إِسْلَامِهِ.

Dapat dikatakan pula: Jika memang orang-orang terdahulu tidak divonis kafir kecuali karena mereka menggabungkan antara syirik, mendustakan Rosul dan Al-Qur’an, mengingkari hari Kebangkitan, dan lain-lain, lalu apa gunanya bab yang ditulis oleh para ulama di setiap madzhab, yaitu “Bab Hukum Orang Murtad”? Orang murtad adalah seorang Muslim yang menjadi kafir setelah keislamannya.

ثُمَّ ذَكَرُوا أَنْوَاعًا كَثِيرَةً، كُلُّ نَوْعٍ مِنْهَا يُكَفِّرُ وَيَحِلُّ دَمَ الرَّجُلِ وَمَالَهُ حَتَّى أَنَّهُمْ ذَكَرُوا أَشْيَاءَ يَسِيرَةً عِنْدَ مَنْ فَعَلَهَا، مِثْلَ كَلِمَةٍ يَذْكُرُهَا بِلِسَانِهِ دُونَ قَلْبِهِ، أَوْ كَلِمَةٍ يَذْكُرُهَا عَلَى وَجْهِ الْمَزْحِ وَاللَّعِبِ.

Kemudian mereka menyebutkan banyak sekali jenis-jenis (perbuatan yang menyebabkan murtad), di mana setiap jenisnya dapat membuat pelakunya menjadi kafir, halal darah dan hartanya. Bahkan mereka menyebutkan hal-hal yang dianggap sepele oleh pelakunya, seperti sebuah kata yang diucapkan lisan tanpa diyakini hati, atau sebuah kata yang diucapkan sebagai bahan candaan dan main-main.

وَيُقَالُ أَيْضًا: الَّذِينَ قَالَ اللَّهُ فِيهِمْ ﴿يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ﴾ [التَّوْبَة: 74]

Dapat dikatakan pula: Mengenai orang-orang yang Alloh firmankan: “Mereka bersumpah dengan (nama) Alloh bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sungguh, mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam.” (QS. At-Taubah: 74)

أَمَا سَمِعْتَ اللَّهَ كَفَّرَهُمْ بِكَلِمَةٍ مَعَ كَوْنِهِمْ فِي زَمَنِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَيُجَاهِدُونَ مَعَهُ وَيُصَلُّونَ وَيُزَكُّونَ وَيَحُجُّونَ وَيُوَحِّدُونَ.

Tidakkah engkau perhatikan, Alloh mengkafirkan mereka hanya karena satu perkataan, padahal mereka hidup di zaman Rosululloh , berjihad bersamanya, Sholat, berzakat, berhaji, dan bertauhid.

وَكَذَلِكَ الَّذِينَ قَالَ اللَّهُ فِيهِمْ: ﴿قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ - لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ﴾ [التَّوْبَة: 65 - 66]

Begitu pula orang-orang yang Alloh firmankan tentang mereka: “Katakanlah: ‘Apakah dengan Alloh, ayat-ayat-Nya, dan Rosul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah: 65-66)

فَهَؤُلَاءِ الَّذِينَ صَرَّحَ اللَّهُ فِيهِمْ أَنَّهُمْ كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ وَهُمْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ قَالُوا كَلِمَةً ذَكَرُوا أَنَّهُمْ قَالُوهَا عَلَى وَجْهِ الْمَزْحِ، فَتَأَمَّلْ هَذِهِ الشُّبْهَةَ وَهِيَ قَوْلُهُمْ تُكَفِّرُونَ مِنَ الْمُسلِمِينَ أُنَاسًا يَشْهَدُونَ أَنْ (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ) وَيُصَلُّونَ وَيَصُومُونَ، ثُمَّ تَأَمَّلْ جَوَابَهَا، فَإِنَّهُ مِنْ أَنْفَعِ مَا فِي هَذِهِ الْأَوْرَاقِ.

Mereka ini adalah orang-orang yang Alloh tegaskan telah kafir setelah beriman, padahal mereka bersama Rosululloh dalam perang Tabuk. Mereka mengucapkan sebuah kalimat yang mereka akui hanya sebagai candaan. Maka, renungkanlah syubhat ini, yaitu ucapan mereka: “Kalian mengkafirkan kaum Muslimin yang bersaksi Laa Ilaaha Illalloh, mengerjakan Sholat, dan berpuasa.” Kemudian, renungkanlah jawabannya, karena ia adalah bagian paling bermanfaat dari lembaran-lembaran ini.

وَمِنَ الدَّلِيلِ عَلَى ذَلِكَ أَيْضًا مَا حَكَى اللَّهُ عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ مَعَ إِسْلَامِهِمْ وَعِلْمِهِمْ وَصَلَاحِهِمْ، أَنَّهُمْ قَالُوا لِمُوسَى: اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ.

Di antara dalilnya juga adalah apa yang Alloh ceritakan tentang Bani Isroil. Meskipun mereka Islam, berilmu, dan sholih, mereka berkata kepada Musa: “Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan.”

وَقَوْلُ أُنَاسٍ مِنَ الصَّحَابَةِ: «اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ فَحَلَفَ النَّبِيُّ ﷺ أَنَّ هَذَا نَظِيرُ قَوْلِ بَنِي إِسْرَائِيلَ، اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا».

Juga ucapan sebagian Shohabat: “Buatkanlah untuk kami dzatu anwath (pohon keramat untuk digantungi senjata).” Maka Nabi bersumpah bahwa permintaan ini sama seperti permintaan Bani Isroil, “Buatkanlah untuk kami sesembahan.”

***


 

Fasal Ke-13: Hukum Seorang Muslim yang Terjatuh dalam Perbuatan Syirik karena Kebodohan, Lalu Bertaubat

وَلَكِنْ لِلْمُشْرِكِينَ شُبْهَةٌ يَدُلُّونَ بِهَا عِنْدَ هَذِهِ الْقِصَّةِ، وَهِيَ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ: إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَمْ يَكْفُرُوا، وَكَذَلِكَ الَّذِينَ قَالُوا اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ لَمْ يَكْفُرُوا.

Akan tetapi, kaum musyrikin memiliki syubhat yang mereka gunakan terkait kisah ini. Mereka berkata: “Sesungguhnya Bani Isroil tidak menjadi kafir (karena permintaan itu), dan begitu pula orang-orang yang meminta ‘jadikanlah untuk kami Dzat Anwath’ juga tidak menjadi kafir.”

فَالْجَوَابُ أَنْ نَقُولَ: إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَمْ يَفْعَلُوا ذَلِكَ، وَكَذَلِكَ الَّذِينَ سَأَلُوا النَّبِيَّ ﷺ لَمْ يَفْعَلُوا ذَلِكَ، وَلَا خِلَافَ أَنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَوْ فَعَلُوا ذَلِكَ لَكَفَرُوا.

Jawabannya adalah: “Bani Isroil memang belum melakukan perbuatan itu, dan orang-orang yang bertanya kepada Nabi juga belum melakukannya. Tidak ada perselisihan bahwa seandainya Bani Isroil benar-benar melakukannya, mereka pasti akan kafir.”

وَكَذَلِكَ لَا خِلَافَ فِي أَنَّ الَّذِينَ نَهَاهُمُ النَّبِيُّ ﷺ لَوْ لَمْ يُطِيعُوهُ وَاتَّخَذُوا ذَاتَ أَنْوَاطٍ بَعْدَ نَهْيِهِ لَكَفَرُوا، وَهَذَا هُوَ الْمَطْلُوبُ، وَلَكِنْ هَذِهِ الْقِصَّةُ تُفِيدُ أَنَّ الْمُسْلِمَ بَلِ الْعَالِمَ قَدْ يَقَعُ فِي أَنْوَاعٍ مِنَ الشِّرْكِ لَا يَدْرِي عَنْهَا فَتُفِيدُ التَّعَلُّمَ وَالتَّحَرُّزَ، وَمَعْرِفَةَ أَنَّ قَوْلَ الْجَاهِلِ (التَّوْحِيدُ فَهِمْنَاهُ) أَنَّ هَذَا مِنْ أَكْبَرِ الْجَهْلِ وَمَكَائِدِ الشَّيْطَانِ.

Begitu pula, tidak ada perselisihan bahwa seandainya orang-orang yang dilarang oleh Nabi tidak menaati beliau dan tetap menjadikan dzatu anwath setelah dilarang, mereka pasti akan kafir. Inilah poin yang ingin kita sampaikan. Akan tetapi, kisah ini memberi pelajaran bahwa seorang Muslim, bahkan seorang alim, bisa saja terjatuh ke dalam jenis-jenis syirik tanpa ia sadari. Ini memberikan faedah akan pentingnya belajar dan waspada, serta menyadarkan kita bahwa ucapan orang bodoh “kami sudah paham Tauhid” adalah puncak kebodohan dan tipu daya setan.

وَتُفِيدُ أَيْضًا أَنَّ الْمُسْلِمَ الْمُجْتَهِدَ إِذَا تَكَلَّمَ بِكَلَامِ كُفْرٍ وَهُوَ لَا يَدْرِي فَنُبِّهَ عَلَى ذَلِكَ فَتَابَ مِنْ سَاعَتِهِ أَنَّهُ لَا يَكْفُرُ كَمَا فَعَلَ بَنُو إِسْرَائِيلَ، وَالَّذِينَ سَأَلُوا النَّبِيَّ ﷺ.

Kisah ini juga memberi pelajaran bahwa seorang Muslim yang bersungguh-sungguh (mujtahid), jika ia mengucapkan kalimat kufur tanpa menyadarinya, lalu ia diperingatkan dan langsung bertaubat saat itu juga, maka ia tidak menjadi kafir. Sebagaimana yang terjadi pada Bani Isroil dan para Shohabat yang bertanya kepada Nabi .

تُفِيدُ أَيْضًا أَنَّهُ لَوْ لَمْ يَكْفُرْ فَإِنَّهُ يُغَلَّظُ عَلَيْهِ الْكَلَامُ تَغْلِيظًا شَدِيدًا كَمَا فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ.

Ia juga memberi pelajaran bahwa meskipun ia tidak divonis kafir (karena langsung bertaubat), ia tetap harus ditegur dengan sangat keras, sebagaimana yang dilakukan oleh Rosululloh .

***


 

Fasal Ke-14: Bantahan Terhadap Orang yang Menganggap Cukup dengan Ucapan Laa Ilaaha Illalloh Meskipun Melakukan Pembatal-pembatalnya

وَلِلْمُشْرِكِينَ شُبْهَةٌ أُخْرَى يَقُولُونَ: إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَنْكَرَ عَلَى أُسَامَةَ قَتْلَ مَنْ قَالَ: (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ)

Kaum musyrikin memiliki syubhat lain. Mereka berkata: “Nabi telah mengingkari Usamah yang membunuh orang yang telah mengucapkan ‘Laa Ilaaha Illalloh’.”

وَكَذَلِكَ قَوْلُهُ: «أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ)» وَأَحَادِيثُ أُخْرَى فِي الْكَفِّ عَمَّنْ قَالَهَا.

Juga sabda beliau: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘Laa Ilaaha Illalloh’.” Serta Hadits-Hadits lain yang melarang (membunuh) orang yang telah mengucapkannya.

وَمُرَادُ هَؤُلَاءِ الْجَهَلَةِ أَنَّ مَنْ قَالَهَا لَا يَكْفُرُ، وَلَا يُقْتَلُ وَلَوْ فَعَلَ مَا فَعَلَ.

Maksud dari orang-orang bodoh ini adalah bahwa siapa pun yang telah mengucapkannya tidak bisa divonis kafir dan tidak boleh dibunuh, apa pun yang ia lakukan.

فَيُقَالُ لِهَؤُلَاءِ الْمُشْرِكِينَ الْجُهَّالِ: مَعْلُومٌ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَاتَلَ الْيَهُودَ وَسَبَاهُمْ وَهُمْ يَقُولُونَ (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ)

Maka, katakanlah kepada kaum musyrikin yang bodoh ini: “Sudah maklum bahwa Rosululloh telah memerangi dan menawan kaum Yahudi, padahal mereka juga mengucapkan ‘Laa Ilaaha Illalloh’.”

وَأَنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَاتَلُوا بَنِي حَنِيفَةَ وَهُمْ يَشْهَدُونَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَيُصَلُّونَ وَيَدَّعُونَ الْإِسْلَامَ، وَكَذَلِكَ الَّذِينَ حَرَّقَهُمْ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ بِالنَّارِ، وَهَؤُلَاءِ الْجَهَلَةُ مُقِرُّونَ أَنَّ مَنْ أَنْكَرَ الْبَعْثَ كُفِرَ وَقُتِلَ وَلَوْ قَالَ: (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ) وَأَنَّ مَنْ جَحَدَ شَيْئًا مِنْ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ كُفِرَ وَقُتِلَ وَلَوْ قَالَهَا، فَكَيْفَ لَا تَنْفَعُهُ إِذَا جَحَدَ فَرْعًا مِنَ الْفُرُوعِ، وَتَنْفَعُهُ إِذَا جَحَدَ التَّوْحِيدَ الَّذِي هُوَ أَصْلُ دِينِ الرُّسُلِ وَرَأْسُهُ، وَلَكِنَّ أَعْدَاءَ اللَّهِ مَا فَهِمُوا مَعْنَى الْأَحَادِيثِ.

Para Shohabat Rosululloh telah memerangi Bani Hanifah, padahal mereka bersaksi Laa Ilaaha Illalloh dan Muhammad Rosululloh, mereka Sholat dan mengaku Islam. Begitu pula orang-orang yang dibakar hidup-hidup oleh ‘Ali bin Abi Tholib. Orang-orang bodoh ini pun mengakui bahwa siapa yang mengingkari hari Kebangkitan, maka ia kafir dan harus dibunuh meskipun ia mengucapkan ‘Laa Ilaaha Illalloh’. Siapa yang mengingkari salah satu rukun Islam, ia kafir dan harus dibunuh meskipun telah mengucapkannya.

Bagaimana bisa kalimat itu dianggap tidak bermanfaat jika mengingkari sebuah cabang agama, namun dianggap bermanfaat jika ia mengingkari Tauhid yang merupakan pokok dan kepala ajaran para Rosul?! Sungguh, musuh-musuh Alloh ini tidak memahami makna Hadits-Hadits tersebut.

فَأَمَّا حَدِيثُ أُسَامَةَ، فَإِنَّهُ قَتَلَ رَجُلًا ادَّعَى الْإِسْلَامَ بِسَبَبِ أَنَّهُ ظَنَّ أَنَّهُ مَا ادَّعَى الْإِسْلَامَ إِلَّا خَوْفًا عَلَى دَمِهِ وَمَالِهِ.

Adapun Hadits Usamah, sesungguhnya ia membunuh seseorang yang mengaku Islam karena ia menyangka bahwa orang itu hanya mengaku Islam karena takut akan darah dan hartanya.

وَالرَّجُلُ إِذَا أَظْهَرَ الْإِسْلَامَ وَجَبَ الْكَفُّ عَنْهُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ مِنْهُ مَا يُخَالِفُ ذَلِكَ، وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِي ذَلِكَ: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا﴾ [النِّسَاء: 94] أَيْ فَتَثَبَّتُوا.

Seseorang jika telah menampakkan keislamannya, maka wajib untuk menahan diri darinya sampai tampak jelas darinya sesuatu yang menyalahi Islam. Alloh Ta’ala menurunkan ayat mengenai hal ini: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Alloh, maka telitilah...” (QS. An-Nisa’: 94), yaitu, pastikanlah kebenarannya.

فَالْآيَةُ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ الْكَفُّ عَنْهُ وَالتَّثَبُّتُ، فَإِذَا تَبَيَّنَ مِنْهُ بَعْدَ ذَلِكَ مَا يُخَالِفُ الْإِسْلَامَ قُتِلَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَتَبَيَّنُوا﴾ [النِّسَاء: 94] وَلَوْ كَانَ لَا يُقْتَلُ إِذَا قَالَهَا لَمْ يَكُنْ لِلتَّثَبُّتِ مَعْنًى.

Ayat ini menunjukkan bahwa wajib untuk menahan diri dan memastikan kebenarannya. Jika setelah itu tampak darinya sesuatu yang bertentangan dengan Islam, maka ia boleh dibunuh, berdasarkan firman-Nya: “...maka telitilah.” (QS. An-Nisa’: 94) Seandainya ia tidak boleh dibunuh sama sekali setelah mengucapkannya, maka tidak akan ada gunanya perintah untuk meneliti.

وَكَذَلِكَ الْحَدِيثُ الْآخَرُ وَأَمْثَالُهُ، مَعْنَاهُ مَا ذَكَرْنَاهُ أَنَّ مَنْ أَظْهَرَ التَّوْحِيدَ وَالْإِسْلَامَ وَجَبَ الْكَفُّ عَنْهُ، إِلَى أَنْ يَتَبَيَّنَ مِنْهُ مَا يُنَاقِضُ ذَلِكَ.

Begitu pula Hadits yang lain dan yang semisalnya, maknanya adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan: bahwa siapa yang menampakkan Tauhid dan Islam, wajib untuk menahan diri darinya, sampai tampak jelas darinya sesuatu yang membatalkannya.

وَالدَّلِيلُ عَلَى هَذَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ الَّذِي قَالَ: «أَقَتَلْتَهُ بَعْدَمَا قَالَ: (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ)» وَقَالَ: «أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ» هُوَ الَّذِي قَالَ فِي الْخَوَارِجِ: «أَيْنَمَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ» مَعَ كَوْنِهِمْ مِنْ أَكْثَرِ النَّاسِ عِبَادَةً وَتَهْلِيلًا وَتَسْبِيحًا.

Dalilnya adalah bahwa Rosululloh yang bersabda, “Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan ‘Laa Ilaaha Illalloh?’” dan “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan Laa Ilaaha Illalloh,” adalah beliau juga yang bersabda tentang kaum Khowarij: “Di mana pun kalian bertemu mereka, bunuhlah mereka. Sungguh, jika aku mendapati mereka, akan aku bunuh mereka seperti terbunuhnya kaum ‘Aad.” Padahal kaum Khowarij adalah orang yang paling banyak beribadah, bertahlil, dan bertasbih.

حَتَّى أَنَّ الصَّحَابَةَ يَحْقِرُونَ صَلَاتَهُمْ عِنْدَهُمْ، وَهُمْ تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ مِنَ الصَّحَابَةِ فَلَمْ تَنْفَعْهُمْ (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ) ، وَلَا كَثْرَةُ الْعِبَادَةِ، وَلَا ادِّعَاءُ الْإِسْلَامِ لَمَّا ظَهَرَ مِنْهُمْ مُخَالَفَةُ الشَّرِيعَةِ.

Bahkan para Shohabat merasa minder dengan Sholat mereka jika dibandingkan dengan Sholat kaum Khowarij. Mereka (Khowarij) belajar ilmu dari para Shohabat, namun ucapan ‘Laa Ilaaha Illalloh’, banyaknya Ibadah, dan pengakuan Islam tidak bermanfaat bagi mereka ketika tampak jelas penyelisihan mereka terhadap syariat.

وَكَذَلِكَ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ قِتَالِ الْيَهُودِ، وَقِتَالِ الصَّحَابَةِ بَنِي حَنِيفَةَ.

Demikian pula apa yang telah kami sebutkan tentang peperangan melawan Yahudi, dan peperangan para Shohabat melawan Bani Hanifah.

وَكَذَلِكَ أَرَادَ النَّبِيُّ ﷺ أَنْ يَغْزُوَ بَنِي الْمُصْطَلِقِ لَمَّا أَخْبَرَهُ رَجُلٌ أَنَّهُمْ مَنَعُوا الزَّكَاةَ حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا﴾ [الْحُجُرَات: 6] وَكَانَ الرَّجُلُ كَاذِبًا عَلَيْهِمْ.

Juga ketika Nabi hendak menyerang Bani Al-Mushtholiq saat seseorang mengabarkan bahwa mereka menolak membayar Zakat, hingga Alloh menurunkan ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti...” (QS. Al-Hujurot: 6), dan ternyata orang itu berbohong tentang mereka.

وَكُلُّ هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ مُرَادَ النَّبِيِّ ﷺ فِي الْأَحَادِيثِ الَّتِي احْتَجُّوا بِهَا مَا ذَكَرْنَاهُ.

Semua ini menunjukkan bahwa maksud Nabi dalam Hadits-Hadits yang mereka jadikan argumen adalah seperti yang telah kami jelaskan.

***


 

Fasal Ke-15: Perbedaan Antara Istighotsah (Meminta Tolong) kepada Makhluk Hidup yang Hadir dalam Hal yang Mampu Ia Lakukan, dan Istighotsah kepada Selainnya

وَلَهُمْ شُبْهَةٌ أُخْرَى وَهُوَ مَا ذَكَرَ النَّبِيُّ ﷺ أَنَّ النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَسْتَغِيثُونَ بِآدَمَ ثُمَّ بِنُوحٍ ثُمَّ بِإِبْرَاهِيمَ ثُمَّ بِمُوسَى ثُمَّ بِعِيسَى فَكُلُّهُمْ يَعْتَذِرُونَ حَتَّى يَنْتَهُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ.

Mereka memiliki syubhat lain, yaitu apa yang disebutkan Nabi bahwa pada Hari Kiamat nanti manusia akan ber-istighotsah kepada Adam, kemudian kepada Nuh, kemudian kepada Ibrohim, kemudian kepada Musa, kemudian kepada ‘Isa. Semuanya meminta maaf (tidak sanggup), hingga akhirnya mereka mendatangi Rosululloh .

قَالُوا فَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الِاسْتِغَاثَةَ بِغَيْرِ اللَّهِ لَيْسَتْ شِرْكًا.

Mereka berkata: “Ini menunjukkan bahwa istighotsah kepada selain Alloh bukanlah syirik.”

وَالْجَوَابُ أَنْ نَقُولَ: سُبْحَانَ مَنْ طَبَعَ عَلَى قُلُوبِ أَعْدَائِهِ. فَإِنَّ الِاسْتِغَاثَةَ بِالْمَخْلُوقِ فِيمَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ لَا نُنْكِرُهَا. كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي قِصَّةِ مُوسَى: ﴿فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ﴾ [الْقَصَص: 15]

Jawabannya adalah: Subhanalloh, Mahasuci Dzat yang telah mengunci hati para musuh-Nya. Istighotsah kepada makhluk dalam hal yang mampu ia lakukan, kami tidak mengingkarinya. Sebagaimana firman Alloh Ta’ala dalam kisah Musa: “Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya.” (QS. Al-Qoshosh: 15)

وَكَمَا يَسْتَغِيثُ الْإِنْسَانُ بِأَصْحَابِهِ فِي الْحَرْبِ أَوْ غَيْرِهِ فِي أَشْيَاءَ يَقْدِرُ عَلَيْهَا الْمَخْلُوقُ، وَنَحْنُ أَنْكَرْنَا اسْتِغَاثَةَ الْعِبَادَةِ الَّتِي يَفْعَلُونَهَا عِنْدَ قُبُورِ الْأَوْلِيَاءِ، أَوْ فِي غَيْبَتِهِمْ فِي الْأَشْيَاءِ الَّتِي لَا يَقْدِرُ عَلَيْهَا إِلَّا اللَّهُ.

Sebagaimana seseorang meminta pertolongan kepada teman-temannya dalam perang atau dalam urusan lain yang mampu dilakukan oleh makhluk. Yang kami ingkari adalah istighotsah dalam rangka Ibadah yang mereka lakukan di kuburan para wali, atau saat para wali itu tidak ada (ghoib), dalam urusan-urusan yang hanya Alloh yang mampu melakukannya.

إِذَا ثَبَتَ ذَلِكَ، فَاسْتِغَاثَتُهُمْ بِالْأَنْبِيَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرِيدُونَ مِنْهُمْ أَنْ يَدْعُو اللَّهَ أَنْ يُحَاسِبَ النَّاسَ حَتَّى يَسْتَرِيحَ أَهْلُ الْجَنَّةِ مِنْ كَرْبِ الْمَوْقِفِ.

Jika hal ini sudah jelas, maka istighotsah mereka kepada para Nabi di Hari Kiamat adalah permintaan agar para Nabi berdoa kepada Alloh untuk menyegerakan hisab, sehingga para penghuni Surga bisa beristirahat dari penderitaan di padang Mahsyar.

وَهَذَا جَائِزٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَذَلِكَ أَنْ تَأْتِيَ عِنْدَ رَجُلٍ صَالِحٍ حَيٍّ يُجَالِسُكَ وَيَسْمَعُ كَلَامَكَ فَتَقُولُ لَهُ: ادْعُ اللَّهَ لِي كَمَا كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ يَسْأَلُونَهُ ذَلِكَ فِي حَيَاتِهِ.

Hal ini (meminta doa kepada orang sholih) diperbolehkan di dunia dan di Akhirat. Yaitu, engkau datang kepada seorang laki-laki sholih yang masih hidup, duduk bersamamu dan mendengar ucapanmu, lalu engkau berkata kepadanya: “Doakanlah aku kepada Alloh,” sebagaimana para Shohabat Rosululloh biasa meminta hal itu kepada beliau semasa hidupnya.

وَأَمَّا بَعْدَ مَوْتِهِ، فَحَاشَا وَكَلَّا أَنَّهُمْ سَأَلُوهُ ذَلِكَ عِنْدَ قَبْرِهِ، بَلْ أَنْكَرَ السَّلَفُ الصَّالِحُ عَلَى مَنْ قَصَدَ دُعَاءَ اللَّهِ عِنْدَ قَبْرِهِ، فَكَيْفَ بِدُعَائِهِ نَفْسَهُ.

Adapun setelah beliau wafat, maka sekali-kali tidak pernah mereka meminta hal itu di sisi kubur beliau. Bahkan, para Salafus Sholih mengingkari orang yang sengaja berdoa kepada Alloh di sisi kubur Nabi, apalagi berdoa kepada Nabi itu sendiri.

وَلَهُمْ شُبْهَةٌ أُخْرَى، وَهِيَ: قِصَّةُ إِبْرَاهِيمَ لَمَّا أُلْقِيَ فِي النَّارِ اعْتَرَضَ لَهُ جِبْرِيلُ فِي الْهَوَاءِ، فَقَالَ لَهُ: أَلَكَ حَاجَةٌ؟ فَقَالَ إِبْرَاهِيمُ: أَمَّا إِلَيْكَ فَلَا.

Mereka punya syubhat lain, yaitu kisah Ibrohim ketika dilemparkan ke dalam api. Jibril menemuinya di udara dan berkata: “Apakah engkau punya hajat?” Ibrohim menjawab: “Adapun kepadamu, tidak.”

قَالُوا: فَلَوْ كَانَتِ الِاسْتِغَاثَةُ بِجِبْرِيلَ شِرْكًا لَمْ يَعْرِضْهَا عَلَى إِبْرَاهِيمَ.

Mereka (kaum musyrikin) berkata: “Seandainya istighotsah kepada Jibril itu syirik, tentu ia tidak akan menawarkannya kepada Ibrohim.”

فَالْجَوَابُ: إِنَّ هَذَا مِنْ جِنْسِ الشُّبْهَةِ الْأُولَى، فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَرَضَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْفَعَهُ بِأَمْرٍ يَقْدِرُ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ كَمَا قَالَ اللَّهُ فِيهِ ﴿شَدِيدُ الْقُوَى﴾ [النَّجْم: 5]

Jawabannya: Ini termasuk jenis syubhat yang pertama. Jibril menawarkan untuk membantunya dengan perkara yang mampu ia lakukan, karena ia, sebagaimana firman Alloh tentangnya, adalah “(Malaikat) yang sangat kuat.” (QS. An-Najm: 5)

فَلَوْ أَذِنَ اللَّهُ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ نَارَ إِبْرَاهِيمَ وَمَا حَوْلَهَا مِنَ الْأَرْضِ وَالْجِبَالِ وَيُلْقِيَهَا فِي الْمَشْرِقِ أَوِ الْمَغْرِبِ لَفَعَلَ، وَلَوْ أَمَرَهُ أَنْ يَضَعَ إِبْرَاهِيمَ فِي مَكَانٍ بَعِيدٍ عَنْهُمْ لَفَعَلَ، وَلَوْ أَمَرَهُ أَنْ يَرْفَعَهُ إِلَى السَّمَاءِ لَفَعَلَ.

Seandainya Alloh mengizinkannya untuk mengambil api yang membakar Ibrohim beserta tanah dan gunung di sekitarnya lalu melemparkannya ke timur atau ke barat, niscaya ia mampu melakukannya. Seandainya Alloh memerintahkannya untuk meletakkan Ibrohim di tempat yang jauh dari mereka, niscaya ia mampu melakukannya. Seandainya Alloh memerintahkannya untuk mengangkat Ibrohim ke langit, niscaya ia mampu melakukannya.

وَهَذَا كَرَجُلٍ غَنِيٍّ لَهُ مَالٌ كَثِيرٌ يَرَى رَجُلًا مُحْتَاجًا، فَيَعْرِضُ عَلَيْهِ أَنْ يُقْرِضَهُ أَوْ أَنْ يَهَبَهُ شَيْئًا يَقْضِي بِهِ حَاجَتَهُ فَيَأْبَى ذَلِكَ الرَّجُلُ الْمُحْتَاجُ أَنْ يَأْخُذَ وَيَصْبِرَ إِلَى أَنْ يَأْتِيَهُ اللَّهُ بِرِزْقٍ لَا مِنَّةَ فِيهِ لِأَحَدٍ، فَأَيْنَ هَذَا مِنِ اسْتِغَاثَةِ الْعِبَادَةِ وَالشِّرْكِ لَوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ؟

Ini seperti seorang kaya raya yang melihat orang miskin, lalu ia menawarkan untuk memberinya pinjaman atau hadiah untuk memenuhi kebutuhannya. Namun, orang miskin itu menolak untuk mengambilnya dan memilih bersabar sampai Alloh memberinya rezeki tanpa ada utang budi kepada siapa pun. Di mana letak kesamaan antara ini dengan istighotsah dalam rangka Ibadah dan kesyirikan? Andai mereka paham.

***


 

Fasal Ke-16: Wajibnya Menerapkan Tauhid dengan Hati, Lisan, dan Perbuatan, Kecuali karena Udzur Syar’i

وَلْنَخْتِمِ الْكَلَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى بِمَسْأَلَةٍ عَظِيمَةٍ مُهِمَّةٍ تُفْهَمُ مِمَّا تَقَدَّمَ، وَلَكِنْ نُفْرِدُ لَهَا الْكَلَامَ لِعِظَمِ شَأْنِهَا وَلِكَثْرَةِ الْغَلَطِ فِيهَا

Mari kita tutup pembahasan ini, in syaa Alloh Ta’ala, dengan sebuah masalah yang agung dan penting, yang bisa dipahami dari penjelasan sebelumnya, namun kita akan bahas secara khusus karena urgensinya dan banyaknya kekeliruan di dalamnya.

فَنَقُولُ: لَا خِلَافَ أَنَّ التَّوْحِيدَ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ بِالْقَلْبِ وَاللِّسَانِ وَالْعَمَلِ، فَإِنِ اخْتَلَّ شَيْءٌ مِنْ هَذَا لَمْ يَكُنِ الرَّجُلُ مُسْلِمًا.

Kami katakan: Tidak ada perselisihan bahwa Tauhid harus terwujud dalam hati, lisan, dan perbuatan. Jika salah satu dari unsur ini hilang, maka seseorang belum menjadi Muslim.

فَإِنْ عَرَفَ التَّوْحِيدَ وَلَمْ يَعْمَلْ بِهِ فَهُوَ كَافِرٌ مُعَانِدٌ كَفِرْعَوْنَ وَإِبْلِيسَ وَأَمْثَالِهِمَا

Jika ia mengetahui Tauhid tetapi tidak mengamalkannya, maka ia adalah kafir yang menentang, seperti Fir’aun, Iblis, dan sejenisnya.

وَهَذَا يَغْلَطُ فِيهِ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، وَيَقُولُونَ هَذَا حَقٌّ، وَنَحْنُ نَفْهَمُ هَذَا وَنَشْهَدُ أَنَّهُ الْحَقُّ، وَلَكِنَّا لَا نَقْدِرُ أَنْ نَفْعَلَهُ، وَلَا يَجُوزُ عِنْدَ أَهْلِ بَلَدِنَا إِلَّا مَنْ وَافَقَهُمْ، أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الْأَعْذَارِ

Dalam hal ini, banyak orang berbuat keliru. Mereka berkata: “Ini benar, kami paham ini dan kami bersaksi ini adalah kebenaran, tetapi kami tidak mampu melakukannya. Di kampung kami, tidak boleh (bertauhid dengan benar) kecuali harus ikut-ikutan mereka,” atau alasan-alasan lainnya.

وَلَمْ يَدْرِ الْمِسْكِينُ أَنَّ غَالِبَ أَئِمَّةِ الْكُفْرِ يَعْرِفُونَ الْحَقَّ وَلَمْ يَتْرُكُوهُ إِلَّا لِشَيْءٍ مِنَ الْأَعْذَارِ قَالَ تَعَالَى: ﴿اشْتَرَوْا بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا﴾ [التَّوْبَة: 9] وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الْآيَاتِ كَقَوْلِهِ: ﴿يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ﴾ [الْبَقَرَة: 146]

Orang malang ini tidak sadar bahwa mayoritas gembong kekafiran mengetahui kebenaran, dan mereka tidak meninggalkannya kecuali karena alasan-alasan duniawi. Alloh Ta’ala berfirman: “Mereka menukar ayat-ayat Alloh dengan harga yang sedikit.” (QS. At-Taubah: 9) Juga ayat lain seperti firman-Nya: “Mereka mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri.” (QS. Al-Baqoroh: 146)

فَإِنْ عَمِلَ بِالتَّوْحِيدِ عَمَلًا ظَاهِرًا وَهُوَ لَا يَفْهَمُهُ أَوْ لَا يَعْتَقِدُهُ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُنَافِقٌ، وَهُوَ شَرٌّ مِنَ الْكَافِرِ الْخَالِصِ ﴿إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ﴾ [النِّسَاء: 145]

Jika ia mengamalkan Tauhid secara lahiriah tetapi tidak memahaminya atau tidak meyakininya dalam hati, maka ia adalah seorang munafik, dan ia lebih buruk daripada kafir tulen. “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari Neraka.” (QS. An-Nisa’: 145)

وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مَسْأَلَةٌ كَبِيرَةٌ طَوِيلَةٌ تَتَبَيَّنُ لَكَ إِذَا تَأَمَّلْتَهَا فِي أَلْسِنَةِ النَّاسِ تَرَى مَنْ يَعْرِفُ الْحَقَّ وَيَتْرُكُ الْعَمَلَ بِهِ لِخَوْفِ نَقْصِ دُنْيَا أَوْ جَاهٍ أَوْ مُدَارَاةٍ لِأَحَدٍ.

Ini adalah masalah yang besar dan panjang, yang akan menjadi jelas bagimu jika engkau merenungkannya dalam ucapan-ucapan manusia. Engkau akan melihat orang yang tahu kebenaran tetapi meninggalkan amalan karena takut kehilangan dunia, jabatan, atau untuk berbasa-basi dengan seseorang.

وَتَرَى مَنْ يَعْمَلُ بِهِ ظَاهِرًا لَا بَاطِنًا، فَإِذَا سَأَلْتَهُ عَمَّا يَعْتَقِدُ بِقَلْبِهِ فَإِذَا هُوَ لَا يَعْرِفُهُ.

Engkau akan melihat orang yang mengamalkannya secara lahiriah, bukan batiniah. Jika engkau bertanya kepadanya tentang apa yang ia yakini dalam hatinya, ternyata ia tidak mengetahuinya.

وَلَكِنْ عَلَيْكَ بِفَهْمِ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ:

Akan tetapi, wajib bagimu untuk memahami dua ayat dari Kitab Alloh berikut:

أُولَاهُمَا قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ﴾ [التَّوْبَة: 66] فَإِذَا تَحَقَّقْتَ أَنَّ بَعْضَ الصَّحَابَةِ الَّذِينَ غَزَوُا الرُّومَ مَعَ الرَّسُولِ ﷺ كَفَرُوا بِسَبَبِ كَلِمَةٍ قَالُوهَا عَلَى وَجْهِ الْمَزْحِ وَاللَّعِبِ تَبَيَّنَ لَكَ أَنَّ الَّذِي يَتَكَلَّمُ بِالْكُفْرِ أَوْ يَعْمَلُ بِهِ خَوْفًا مِنْ نَقْصِ مَالٍ أَوْ جَاهٍ أَوْ مُدَارَاةً لِأَخْذٍ أَعْظَمُ مِمَّنْ يَتَكَلَّمُ بِكَلِمَةٍ يَمْزَحُ بِهَا.

Pertama, firman Alloh Ta’ala: “Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah: 66). Jika engkau yakin bahwa sebagian Shohabat yang ikut memerangi Romawi bersama Rosul menjadi kafir hanya karena sebuah kalimat yang mereka ucapkan sebagai candaan dan main-main, maka akan jelas bagimu bahwa orang yang mengucapkan kekafiran atau melakukannya karena takut kehilangan harta, jabatan, atau untuk berbasa-basi, dosanya lebih besar daripada orang yang mengucapkan kalimat kufur sambil bercanda.

وَالْآيَةُ الثَّانِيَةُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ - ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ﴾ [النَّحْل: 106 - 107]

Ayat kedua, firman Alloh Ta’ala: “Siapa yang kafir kepada Alloh sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Alloh), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Alloh menimpanya dan baginya azab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka lebih mencintai kehidupan di dunia daripada Akhirat.” (QS. An-Nahl: 106-107)

فَلَمْ يَعْذُرِ اللَّهُ مِنْ هَؤُلَاءِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ مَعَ كَوْنِ قَلْبِهِ مُطْمَئِنًّا بِالْإِيمَانِ، وَأَمَّا غَيْرُ هَذَا فَقَدْ كَفَرَ بَعْدَ إِيمَانِهِ، سَوَاءٌ فَعَلَهُ خَوْفًا أَوْ مُدَارَاةً أَوْ مَشَحَّةً بِوَطَنِهِ، أَوْ أَهْلِهِ، أَوْ عَشِيرَتِهِ أَوْ مَالِهِ، أَوْ فَعَلَهُ عَلَى وَجْهِ الْمَزْحِ، أَوْ لِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَغْرَاضِ إِلَّا الْمُكْرَهَ،

Alloh tidak memberikan udzur (alasan yang diterima) dari mereka ini kecuali orang yang dipaksa, sementara hatinya tetap tenang dalam keimanan. Adapun selain kondisi ini, ia telah kafir setelah beriman, baik ia melakukannya karena takut, basa-basi, berat meninggalkan tanah air, keluarga, suku, atau hartanya, maupun ia melakukannya sebagai candaan, atau karena tujuan-tujuan lain selain orang yang dipaksa.

فَالْآيَةُ تَدُلُّ عَلَى هَذَا مِنْ جِهَتَيْنِ: الْأُولَى قَوْلُهُ: ﴿إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ﴾ [النَّحْل: 106] فَلَمْ يَسْتَثْنِ اللَّهُ تَعَالَى إِلَّا الْمُكْرَهَ. وَمَعْلُومٌ أَنَّ الْإِنْسَانَ لَا يُكْرَهُ إِلَّا عَلَى الْكَلَامِ أَوِ الْفِعْلِ. وَأَمَّا عَقِيدَةُ الْقَلْبِ فَلَا يُكْرَهُ عَلَيْهَا أَحَدٌ.

Ayat ini menunjukkan hal tersebut dari dua sisi:

Sisi pertama: Firman-Nya: “...kecuali orang yang dipaksa.” (QS. An-Nahl: 106). Alloh tidak mengecualikan siapa pun selain orang yang dipaksa. Sudah maklum bahwa seseorang tidak bisa dipaksa kecuali pada ucapan atau perbuatan. Adapun keyakinan hati, tidak ada seorang pun yang bisa dipaksa atasnya.

وَالثَّانِيَةُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ﴾ [النَّحْل: 107] فَصَرَّحَ أَنَّ هَذَا الْكُفْرَ وَالْعَذَابَ لَمْ يَكُنْ بِسَبَبِ الِاعْتِقَادِ أَوِ الْجَهْلِ أَوِ الْبُغْضِ لِلدِّينِ أَوْ مَحَبَّةِ الْكُفْرِ، وَإِنَّمَا سَبَبُهُ أَنَّ لَهُ فِي ذَلِكَ حَظًّا مِنْ حُظُوظِ الدُّنْيَا فَآثَرَهُ عَلَى الدِّينِ.

Sisi kedua: Firman-Nya: “Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka lebih mencintai kehidupan di dunia daripada Akhirat.” (QS. An-Nahl: 107). Di sini ditegaskan bahwa kekafiran dan azab ini bukanlah karena keyakinan (yang salah), kebodohan, kebencian terhadap agama, atau cinta pada kekafiran. Penyebabnya hanyalah karena ia memiliki kepentingan duniawi dalam perbuatannya itu, lalu ia lebih memilihnya daripada agamanya.

وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ.

Alloh lebih mengetahui.

وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

Semoga sholawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para Shohabatnya.

***

 


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url