[PDF] Kesalahan Sebagian Muslimin dalam Tauhid - Dr. Abdul Aziz Ar-Royyis


بسم لله الرحمن الرحيم

Sesungguhnya segala puji hanyalah bagi Alloh, kami memuji-Nya, meminta pertolongan dan ampunan-Nya. Kami berlindung kepada Alloh dari kejahatan diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Siapa saja yang diberi petunjuk oleh Alloh, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan siapa saja yang disesatkan oleh-Nya, maka tidak ada yang bisa memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Alloh semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rosul-Nya.

Amma ba’du (adapun setelah itu):

Pada malam Kamis, tanggal 9 bulan Sya’ban tahun 1425 H dari hijroh Nabi , saya berkumpul bersama kalian di kota Yanbu’, dalam sebuah pelajaran yang berjudul: “Kesalahan Sebagian Muslim dalam Mengesakan Alloh, Robb Semesta Alam.”

Saudara-saudaraku: Sesungguhnya tauhid (mengesakan Alloh) adalah kewajiban yang paling utama. Alloh `Azza wa Jalla berfirman:

﴿وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا﴾

Sembahlah Alloh dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.” (QS. An-Nisa’: 36)

Alloh memulai dengan tauhid, ini menunjukkan bahwa tauhid adalah kewajiban yang paling utama.

Lawan dan kebalikannya adalah syirik, yaitu dosa yang paling besar. Sebagaimana firman Alloh Ta’ala:

﴿قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا﴾

“Katakanlah (wahai Muhammad): Marilah kubacakan apa yang Robb kalian haromkan atas kalian: janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.” (QS. Al-An’am: 151)

Alloh memulainya dengan larangan syirik, ini menunjukkan bahwa syirik adalah dosa yang paling besar.

Definisi syirik adalah menyamakan selain Alloh dengan Alloh dalam sesuatu yang merupakan kekhususan Alloh.

Buktinya adalah firman Alloh Ta’ala:

﴿تَاللَّهِ إِن كُنَّا لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ إِذْ نُسَوِّيكُم بِرَبِّ الْعَالَمِينَ﴾

“Demi Alloh, sungguh kami dahulu berada dalam kesesatan yang nyata, karena kami menyamakan kalian dengan Robb semesta alam.” (QS. Asy-Syu’ara’: 97-98)

Alloh `Azza wa Jalla berfirman:

﴿ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ﴾

“Kemudian orang-orang kafir itu menyamakan (sesuatu) dengan Robb mereka.” (QS. Al-An’am: 1)

Definisi ini disebutkan oleh Abu Al-’Abbas Ibnu Taimiyah (728 H) dalam kitabnya Al-Istiqomah, juga oleh Imam Ibnul Qoyyim (751 H) dalam kitabnya Madarij As-Salikin. Begitu pula Imam Abdul Lathif bin Abdur Rohman bin Hasan dan ayahnya, serta banyak dari para imam dakwah. Semoga Alloh merohmati mereka semua.

Syirik, yang merupakan dosa paling besar, adalah menyamakan selain Alloh dengan Alloh dalam sesuatu yang merupakan kekhususan Alloh.

Di antara besarnya dosa syirik adalah bahwa syirik adalah satu-satunya dosa yang tidak akan diampuni. Alloh Ta’ala berfirman:

﴿إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ﴾

“Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’: 48)

Di antara besarnya dosa syirik adalah bahwa syirik adalah satu-satunya dosa yang menghapus seluruh amal kebaikan. Alloh `Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad :

﴿لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ﴾

“Sungguh jika kamu berbuat syirik, niscaya akan terhapus semua amalmu dan sungguh kamu benar-benar termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

Bahkan, syirik adalah satu-satunya dosa yang membuat pelakunya diharomkan masuk Jannah selamanya. Alloh Ta’ala berfirman:

﴿إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ﴾

“Sesungguhnya siapa menyekutukan Alloh, maka Alloh haromkan atasnya Jannah, dan tempat kembalinya adalah Neraka, dan bagi orang-orang zholim itu tidak ada penolong.” (QS. Al-Ma’idah: 72)

Ketika syaiton mengetahui bahwa syirik adalah dosa yang paling besar, maka dia mengerahkan seluruh pasukannya untuk menyesatkan anak cucu Adam dan menjerumuskan mereka ke dalam syirik. Jika syaiton ingin menjerumuskan anak Adam ke dalam syirik dan dia memberitahunya bahwa itu adalah syirik, maka masalahnya akan lebih mudah —meskipun tetap sulit— akan tetapi jika dia ingin menjerumuskan anak Adam ke dalam syirik, dia akan menggambarkan syirik itu sebagai amal sholih yang diridhoi Alloh.

Oleh karena itu, di antara tipuan syaiton yang paling besar kepada anak Adam adalah mengubah nama-nama. Dia menggambarkan tauhid yang dibawa oleh para Rosul sebagai “membenci orang-orang sholih dan merendahkan mereka.” Sementara syirik yang para Rosul peringatkan, dia namakan sebagai “mengagungkan orang-orang sholih.”

Jika seorang dai tauhid bangkit dan memperingatkan dari syirik, maka orang-orang awam yang telah disesatkan syaiton akan berkata: “Si fulan memusuhi orang-orang sholih.”

Maka dari itu, syirik menjadi populer di antara banyak kaum Muslimin.

Imam Ibnul Qoyyim (751 H) berkata: “Sesungguhnya syubhat dinamakan syubhat karena adanya kemiripan antara kebenaran dan kebatilan di dalamnya. Syubhat mengenakan pakaian kebenaran pada jasad kebatilan. Kebanyakan manusia hanya melihat luarnya saja. Maka orang yang melihatnya akan melihat pakaian yang dikenakan syubhat, lalu dia menyangka syubhat itu benar.

Adapun orang yang memiliki ilmu dan keyakinan, dia tidak akan tertipu olehnya. Pandangannya akan menembus ke dalam syubhat dan apa yang ada di balik pakaiannya, sehingga hakikatnya pun terungkap baginya.

Contohnya adalah uang palsu. Orang yang tidak tahu tentang uang akan tertipu olehnya karena melihat lapisan peraknya. Sedangkan orang yang ahli dan teliti, pandangannya akan menembus di baliknya sehingga dia tahu bahwa itu palsu.

Penyampaian yang baik dan fasih bagi syubhat itu seperti pakaian perak pada uang palsu. Sementara maknanya seperti tembaga yang ada di dalamnya. Betapa banyak orang yang binasa karena alasan ini, tidak ada yang tahu jumlahnya selain Alloh.”

Jika orang yang berakal dan cerdas merenungkan dan memikirkan hal ini, dia akan melihat kebanyakan orang menerima suatu madzhab atau pendapat dengan satu ungkapan, tetapi menolaknya dengan ungkapan yang lain. Saya telah melihat banyak hal seperti ini dalam buku-buku manusia. Betapa banyak kebenaran yang ditolak karena penampilannya yang jelek dan ungkapan yang buruk.

Tentang hal ini, para imam sunnah, seperti Imam Ahmad dan yang lainnya, berkata: “Kami tidak akan menghilangkan satu pun sifat Alloh hanya karena cemoohan yang dilontarkan.” Orang-orang Jahmiyah menamakan penetapan sifat-sifat sempurna bagi Alloh, seperti sifat hidup, ilmu, berbicara, mendengar, melihat, dan seluruh sifat yang Alloh terangkan pada diri-Nya, sebagai “tasybih (penyerupaan)” dan “tajsim (menjasadkan),” dan orang yang menetapkan sifat-sifat itu sebagai “musyabbih (menyerupakan).”

Maka, orang yang menjauhi makna kebenaran ini hanya karena penyebutan yang batil ini hanyalah orang-orang yang berakal kerdil, terbatas, dan buta mata hatinya.

Setiap golongan dan aliran akan memakaikan kepada ajaran mereka kata-kata terbaik yang mereka bisa. Ajaran lawan mereka, mereka pakaikan kata-kata terjelek yang mereka bisa. Siapa saja yang Alloh karuniai bashiroh (mata hati), maka dia akan mengungkap hakikat kebenaran dan kebatilan di balik kata-kata itu. Janganlah tertipu oleh kata-kata, sebagaimana dikatakan dalam makna ini:

“Kamu mengatakan: ini adalah madu lebah,” engkau memujinya

Jika engkau mau, engkau berkata: “ini adalah muntahan lebah”

Pujian dan celaan, padahal engkau tidak melewati deskripsinya

kebenaran terkadang disertai dengan ungkapan yang buruk.

Jika kamu ingin mengetahui hakikat suatu makna, apakah itu benar atau batil, maka lepaskan ia dari pakaian ungkapannya. Bebaskan hatimu dari rasa benci dan condong (berat sebelah). Kemudian berikan pandanganmu haknya, pandanglah dengan mata yang adil. Janganlah kamu termasuk orang yang melihat pendapat teman-temannya dan orang-orang yang dia berprasangka baik kepadanya dengan pandangan yang sempurna dan dengan seluruh hatinya, lalu melihat pendapat musuh-musuhnya dan orang-orang yang dia berprasangka buruk kepadanya dengan pandangan sekilas dan tidak teliti.

Orang yang melihat dengan mata permusuhan, akan melihat kebaikan sebagai keburukan. Sedangkan orang yang melihat dengan mata cinta, kebalikannya. Tidak ada yang selamat dari hal ini, kecuali orang yang Alloh kehendaki untuk dimuliakan dan diridhoi untuk menerima kebenaran.

Telah dikatakan:

“Mata yang ridho terhadap setiap aib adalah mata yang buta,

Sebagaimana mata yang marah akan menampakkan kejelekan-kejelekan.” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1/140)

Pikirkan bagaimana syaiton menipu anak cucu Adam dengan mengubah nama-nama. Dia menamakan riba sebagai “bunga” agar diterima dan dianggap biasa. Dia menamakan khomr (minuman keras) yang diharomkan dan dilaknat sebagai “minuman berenergi” agar dianggap biasa dan tersebar di tengah masyarakat. Dia menamakan pengingkaran terhadap kemungkaran sebagai “campur tangan dalam urusan orang lain.”

Dengan cara ini, syaiton berhasil membuat orang-orang menjauh dari dakwah tauhid. Di antaranya adalah dia menamakan dakwah tauhid sebagai “merendahkan orang-orang sholih,” dan menamakan syirik sebagai “mengagungkan orang-orang sholih.”

Ketika syaiton ingin menjerumuskan anak Adam ke dalam syirik, dia mendatangi mereka melalui pintu kebaikan sampai dia menipu mereka.

Al-Bukhori meriwayatkan dari ‘Atho’ dari Ibnu ‘Abbas, tentang firman Alloh `Azza wa Jalla:

﴿وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا﴾

“Waddan, Suwa’an, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasron.” (QS. Nuh: 23)

Ibnu ‘Abbas berkata: “Itu adalah nama-nama orang sholih dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka meninggal, syaiton membisiki kaum mereka: ‘Dirikanlah patung-patung di tempat-tempat mereka biasa duduk, dan namailah patung-patung itu dengan nama-nama mereka.’ Maka mereka melakukannya. Patung-patung itu tidak disembah sampai orang-orang itu meninggal dan ilmu telah hilang, barulah patung-patung itu disembah.”

Syaiton mendatangi mereka dengan nama semangat beribadah. Kemudian perlahan-lahan, ketika ilmu terlupakan, orang-orang sholih itu disembah.

Tidakkah kalian lihat bagaimana syaiton menipu anak Adam dan menyusun rencana atas mereka, meskipun dalam jangka waktu yang sangat lama, hingga berabad-abad kemudian? Oleh karena itu, para Rosul sepakat untuk mengajak manusia kepada tauhid, dan memperingatkan mereka dari syirik dan segala jalannya, agar pintu itu tertutup bagi syaiton.

Imam Ibnul Qoyyim (751 H) berkata: “Syaiton memerintahkan kepada kebaikan tanpa meyakini itu adalah kebaikan. Syaithon membisikkan: ‘Seruan dakwah ini adalah dari Alloh, dan ‘perbuatan ini dimaafkan. Dia tidak mengetahui bahwa syaiton memerintahkan 70 pintu kebaikan, bisa jadi untuk sampai ke satu pintu kejahatan, atau bisa jadi untuk menghilangkan kebaikan yang lebih besar dari 70 pintu tersebut.’” (Badai’ Al-Fawaid, 3/383)

Maka, wajib bagi kita untuk berhati-hati dan waspada terhadap tipu daya syaiton yang terkutuk. Hal ini tidak akan terjadi—setelah pertolongan Alloh—melainkan dengan ilmu syar’i.

Lihatlah perkataan Ibnu ‘Abbas: “...sampai ilmu terlupakan, barulah mereka disembah..” Maksudnya, ketika ilmu dilupakan, barulah mereka disembah.

Senjata yang menutup pintu-pintu syaiton dan menghentikan permainannya adalah ilmu syar’i. Maka, bersungguh-sungguhlah dalam menuntut ilmu syar’i!

Di antara yang menunjukkan pentingnya tauhid adalah bahwa Alloh `Azza wa Jalla mengutus Rosul pertama ketika syirik mulai terjadi. Anak Adam hidup selama sepuluh abad tanpa syirik di antara mereka, oleh karena itu Alloh `Azza wa Jalla tidak mengutus seorang Rosul. Ketika syirik pertama kali terjadi, yaitu syirik kaum Nabi Nuh, Alloh mengutus Nabi Nuh.

Dalam sepuluh abad ini, terjadi pembunuhan seperti antara Qobil dan Habil, dan pasti terjadi dosa-dosa yang lebih rendah dari itu, seperti zina dan pencurian. Meskipun demikian, Alloh `Azza wa Jalla tidak mengutus seorang Rosul. Alloh hanya mengutus Rosul pertama, yaitu Nabi Nuh, ketika syirik terjadi.

Ini menunjukkan bahwa tugas utama para Rosul adalah mengajak manusia kepada tauhid.

Ibnu Hibban meriwayatkan dengan sanad yang nampak shohih dari Abu Umamah bahwa seseorang bertanya: “Wahai Rosululloh, apakah Adam seorang Nabi?” Beliau menjawab:

«نَعَم، مُكَلَّمٌ»، قَالَ: فَكَم كَانَ بَينَهُ وَبَينَ نُوحٍ؟ قَالَ: «عَشَرَةُ قُرُونٍ»

“Ya, diajak bicara [Alloh dengan wahyu].” Orang itu bertanya lagi: “Berapa jarak antara dia dan Nuh?” Beliau menjawab: “Sepuluh abad.” (HR. Ibnu Hibban)

Oleh karena itu, penting untuk meninjau beberapa kesalahan sebagian kaum Muslimin dalam mengesakan Alloh, Robb semesta alam.

Kesalahan Pertama: Mengalihkan Ibadah kepada Selain Alloh

Betapa banyak kaum Muslimin yang mengucapkan kalimat tauhid dan menganggap diri mereka Muslim, padahal mereka telah tenggelam dalam lautan syirik!

Di salah satu negara tetangga, pada hari lahir salah satu orang yang mereka sebut “wali,” berkumpul di kuburannya tiga juta orang. Mereka thowaf mengelilingi kuburannya, menyembelih hewan, bernadzar untuknya, meminta kesembuhan, ampunan dosa, dan penghilangan kesusahan kepadanya. Meskipun demikian, mereka mengklaim diri mereka sebagai Muslim.

Di salah satu negara tetangga lainnya, di sebuah daerah yang tidak terlalu besar, terdapat 200 makam yang disembah selain Alloh.

Lihatlah keadaan kaum Muslimin di negara-negara tetangga, engkau akan melihat mereka mendatangi syirik secara berbondong-bondong atas nama agama. Kalau saja syaiton tidak mendatangi mereka melalui pintu agama (kultuskan orang sholih yang telah mati), maka rencana dan syubhatnya tidak akan laku.

Maka kesalahan pertama yang dilakukan sebagian kaum Muslimin adalah mengalihkan ibadah kepada selain Alloh. Demi Alloh, saya pernah mendengar dengan telinga saya sendiri saat thowaf di Ka’bah pada salah satu Romadhon yang lalu, seorang wanita tua berkata sambil thowaf mengelilingi Baitulloh: “Madad, madad, ya Rosululloh!” Maksudnya: “Wahai Rosululloh, berikan aku pertolongan untuk pengampunan, untuk dihilangkan kesusahan, dan untuk dikabulkan hajatku…” dan seterusnya.

Tidakkah kalian lihat bagaimana banyak kaum Muslimin yang tenggelam dalam syirik? Inilah sebab utama mengapa orang-orang kafir bisa mengalahkan kita. Karena, demi Alloh, seandainya kita benar-benar menegakkan tauhid, niscaya Robb kita akan menolong kita.

Alloh berfirman:

﴿وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا﴾

“Alloh telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal sholih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhoi untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu pun.” (QS. An-Nur: 55)

Alloh `Azza wa Jalla berfirman dalam surat Ar-Rum:

﴿وَعْدَ اللَّهِ لَا يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ، وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ﴾

“Itu adalah janji Alloh. Alloh tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 6)

Sudah pasti, seandainya kita benar-benar menegakkan tauhid Alloh, niscaya Alloh akan menolong kita dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi, demi Alloh, kita tidak layak mendapatkan pertolongan-Nya, karena tersebarnya syirik di antara banyak kaum Muslimin, kecuali jika Dia mengaruniai kita dengan keutamaan-Nya, dan Dia adalah Dzat Yang memiliki keutamaan dan karunia.

Kesalahan Kedua: Memahami Kalimat Tauhid Berbeda dengan Makna Benarnya

Betapa banyak universitas di dunia Islam yang menafsirkan kalimat tauhid (laa ilaha illalloh) dengan makna yang bertentangan dengan makna yang dibawa oleh Nabi-Nabi dan Rosul-Rosul Alloh, termasuk Nabi Muhammad !

Betapa banyak kaum Muslimin yang mengatakan bahwa makna laa ilaha illalloh adalah “tidak ada pencipta kecuali Alloh,” “tidak ada yang berkuasa menciptakan kecuali Alloh,” dan kalimat-kalimat lainnya yang intinya mengembalikan penafsiran kalimat tauhid kepada tauhid rububiyah, bukan tauhid uluhiyah.

Ini adalah kesalahan besar. Karena jika makna kalimat tauhid (laa ilaha illalloh) adalah “tidak ada pencipta kecuali Alloh,” maka Abu Jahl, Abu Lahab, dan orang-orang kafir Quroisy lainnya akan menjadi Muslim. Sebab mereka mengakui bahwa tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur kecuali Alloh.

﴿وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ﴾

“Jika kamu bertanya kepada mereka: Siapa yang menciptakan langit dan bumi? Pasti mereka akan menjawab: “Alloh.” (QS. Luqman: 25)

Alloh berfirman:

﴿قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَن يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَرَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ﴾

“Katakanlah (wahai Muhammad): Siapa yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi? Atau siapa yang menguasai pendengaran dan penglihatan? Siapa yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup? Siapa yang mengatur segala urusan? Maka mereka akan menjawab: Alloh. Maka katakanlah: Mengapa kalian tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31)

Jika makna laa ilaha illalloh adalah “tidak ada pencipta kecuali Alloh,” niscaya Abu Jahl dan Abu Lahab adalah orang yang pertama kali beriman. Mereka tidak akan berkata:

﴿أَجَعَلَ الْأَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ﴾

“Mengapa Muhammad menjadikan banyak sesembahan hanya satu sesembahan saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shod: 5)

Ini menunjukkan bahwa makna (laa ilaha illalloh) kembali kepada tauhid uluhiyah. Inilah medan pertempuran para Rosul dengan mereka, yaitu mengesakan Alloh dalam beribadah.

Di antara yang disebutkan oleh Imam pembaru yang sholih Muhammad bin Abdul Wahhab (1206 H) adalah bahwa orang-orang kafir Quroisy lebih baik daripada orang-orang yang terjerumus dalam syirik dari kalangan orang-orang belakangan. Beliau menyebutkan beberapa sebab, di antaranya adalah bahwa orang-orang terdahulu tahu makna kalimat tauhid, sedangkan orang-orang belakangan ini tidak tahu makna kalimat tauhid. Oleh karena itu, salah seorang dari mereka mengucapkan laa ilaha illalloh, padahal dia menyembelih untuk selain Alloh dan meminta pertolongan kepadanya.

Kesalahan Ketiga: Berlebih-lebihan dalam Mengagungkan Orang-orang Sholih

Termasuk Nabi kita Muhammad . Betapa banyak sikap berlebih-lebihan dalam mengagungkan orang-orang sholih di antara anak cucu Adam. Cukuplah bukti bahwa syirik pertama kali terjadi karena sikap berlebih-lebihan dalam mengagungkan orang-orang sholih, sebagaimana telah disebutkan dalam tafsir Ibnu ‘Abbas terhadap firman Alloh Ta’ala:

﴿وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا﴾

“Waddan, Suwa’an, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasron.” (QS. Nuh: 23)

Di antara bentuk berlebih-lebihan dalam mengagungkan Nabi kita Muhammad adalah mengklaim bahwa beliau mengetahui hal yang ghoib. Betapa banyak kaum Muslimin, seperti kelompok shufiyah dan sejenisnya, yang mengklaim bahwa Rosul kita mengetahui hal yang ghoib. Ini adalah pendustaan yang jelas terhadap Kitab Alloh dan sunnah Rosul-Nya .

Alloh berfirman kepada Nabi-Nya:

﴿وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ﴾

“Seandainya aku mengetahui hal yang ghoib, niscaya aku akan memperbanyak kebaikan dan aku tidak akan ditimpa keburukan.” (QS. Al-A’rof: 188)

Penjelasan bahwa ilmu ghoib hanya milik-Nya adalah firman Alloh:

﴿وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ﴾

“Hanya di sisi-Nyalah kunci-kunci ghoib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia.” (QS. Al-An’am: 59)

Tidak ada yang mengetahui apa yang ada di langit dan bumi serta hal ghoib kecuali Alloh. Maka, siapa saja yang mengklaim bahwa Rosul kita Muhammad mengetahui hal yang ghoib, sungguh dia telah menyamakan selain Alloh dengan Alloh dalam sesuatu yang merupakan kekhususan Alloh. Maka dia telah terjerumus dalam syirik akbar (besar) yang tidak akan diampuni.

Juga di antara bentuk berlebih-lebihan dalam mengagungkan orang-orang sholih, termasuk Nabi kita yang mulia Muhammad , adalah mengklaim bahwa beliau memiliki hak untuk mengampuni dosa dan memasukkan manusia ke Jannah atau mengeluarkan mereka dari Neraka.

Ini adalah kesalahan besar. Karena syafa’at —termasuk syafa’at Rosul kita tidak akan terjadi kecuali setelah Alloh mengizinkan dan ridho terhadap orang yang akan diberi syafa’at. Sebagaimana firman Alloh Ta’ala:

﴿وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى﴾

“Mereka tidak memberikan syafa’at melainkan kepada orang yang Alloh ridhoi.” (QS. Al-Anbiya’: 28)

Firman-Nya:

﴿مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ﴾

“Siapakah yang dapat memberikan syafa’at di sisi-Nya tanpa izin-Nya?” (QS. Al-Baqoroh: 255)

Al-Bukhori meriwayatkan dari Abu Huroiroh bahwa dia bertanya kepada Nabi : “Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafa’atmu pada hari Kiamat?” Beliau menjawab:

«لَقَد ظَنَنتُ يَا أَبَا هُرَيرَةَ أَلَّا يَسأَلَنِي عَن هَذَا الحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلَ مِنكَ لِمَا رَأَيتُ مِن حِرصِكَ عَلَى الحَدِيثِ، أَسعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَومَ القِيَامَةِ مَن قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِن قَبلِ نَفسِهِ»

“Aku sudah menduga, wahai Abu Huroiroh, tidak ada seorang pun yang akan bertanya kepadaku tentang hadits ini sebelum kamu, karena aku melihat betapa kamu bersemangat dalam mencari hadits. Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku pada hari Kiamat adalah orang yang mengucapkan ‘laa ilaha illalloh’ dengan ikhlas dari lubuk hatinya.” (HR. Al-Bukhori)

Disebutkan dalam Ash-Shohihain dari Abu Huroiroh, dari Nabi :

«فَيَأتُونِي فَأَسجُدُ تَحتَ العَرشِ فَيُقَالُ: يَا مُحَمَّدُ ارفَعْ رَأسَكَ، وَاشفَعْ تُشَفَّعْ، وَسَل تُعْطَهْ»

“Maka mereka mendatangiku, lalu aku sujud di bawah ‘Arsy, lalu dikatakan: ‘Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, berikanlah syafa’at niscaya engkau akan diberi syafa’at, dan mintalah niscaya engkau akan diberi.’” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

Jadi, beliau tidak akan memberikan syafa’at kecuali setelah Alloh `Azza wa Jalla mengizinkannya. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa beliau memiliki hak untuk mengampuni dosa? Ini sama sekali bukan merendahkan beliau, tidak demi Alloh. Akan tetapi, ini adalah bentuk ketaatan terhadap perintahnya dan perintah Alloh, serta menempatkan beliau pada kedudukannya.

Sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori dari ‘Umar:

«لَا تُطرُونِي كَمَا أَطرَتِ النَّصَارَى ابنَ مَريَمَ؛ فَإِنَّمَا أَنَا عَبدُهُ، فَقُولُوا: عَبدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ»

“Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nashoro (Nasroni) berlebih-lebihan memuji ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah: ‘Hamba Alloh dan Rosul-Nya.’” (HR. Al-Bukhori)

Beliau bersabda dalam hadits Ibnu Mas’ud dalam Ash-Shohihain:

«إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثلُكُم أَنسَى كَمَا تَنسَونَ»

“Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa seperti kalian, aku lupa sebagaimana kalian lupa.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

Beliau adalah manusia biasa. Maka, siapa saja yang berkata bahwa beliau tidak mengetahui hal ghoib dan tidak boleh berkeyakinan bahwa beliau memiliki hak untuk mengampuni dosa, memasukkan manusia ke Jannah, dan seterusnya, sesungguhnya dia hanya mengatakan apa yang diperintahkan oleh Alloh dan Rosul-Nya.

Kesalahan Keempat: Mendatangi Tukang Sihir, Dukun, dan Peramal

Terkadang sebagian Muslim diuji dengan penyakit pada dirinya, istri, anak, atau teman dekatnya. Lalu dia pergi ke dokter, mengetuk pintu-pintu mereka, dan meminta kesembuhan kepada Allah dengan melakukan sebab-sebab yang Alloh mudahkan. Hal ini tidaklah tercela.

Namun, yang tercela adalah sebagian dari mereka, jika tidak menemukan kesembuhan dan obat dari dokter, setelah itu mereka pergi ke tukang sihir, peramal, dan dukun. Mereka meminta kesembuhan kepada mereka dan meminta pertolongan kepada mereka dan jin-jin mereka agar menghilangkan bahaya yang menimpanya. Ini adalah hal yang berbahaya.

Alloh `Azza wa Jalla berfirman:

﴿وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَنُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ﴾

“Sulaiman tidaklah kafir, akan tetapi syaiton-syaitonlah yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” (QS. Al-Baqoroh: 102)

Kemudian di akhir ayat, Alloh berfirman:

﴿وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ﴾

“Sungguh mereka telah mengetahui bahwa siapa yang menukarnya (dengan iman), maka tidak ada baginya di Akhirat sedikit pun bagian.” (QS. Al-Baqoroh: 102)

Maksudnya, tidak ada baginya bagian sedikit pun di Akhirat.

Imam Ahmad meriwayatkan dari sebagian istri Nabi bahwa beliau bersabda:

«مَن أَتى عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ لَم تُقبَل لَهُ صَلاةٌ أَربَعِينَ يَومًا»

“Siapa mendatangi peramal lalu membenarkan apa yang dikatakannya, maka Sholatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari.” (HR. Ahmad)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Huroiroh:

«فَقَد كَفَرَ بِمَا أُنزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ ﷺ»

“Sungguh dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad .” (HR. Ahmad)

Ini adalah masalah yang berbahaya. Seorang Muslim harus berhati-hati, dan tidak merusak agama serta Akhiratnya dengan harga yang murah. Kewajiban adalah bersabar, terus bersabar, dan berharap pahala dari Alloh. Hendaklah dia tahu bahwa apa yang menimpanya adalah takdir Alloh. Seandainya Alloh berkehendak, niscaya Dia akan menghilangkannya dengan firman-Nya: “Jadilah!” maka jadilah.

Maka, bersungguh-sungguhlah untuk kembali kepada Alloh dan bersabar. Sebagaimana firman Alloh Ta’ala:

﴿اصْبِرُوا وَصَابِرُوا﴾

“Bersabarlah dan kuatkanlah kesabaran kalian.” (QS. Ali ‘Imron: 200)

Juga firman Alloh Ta’ala:

﴿إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ﴾

“Hanyalah orang-orang yang bersabar yang disempurnakan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)

Juga sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim dari hadits Abu Sa’id, bahwa Nabi bersabda:

«وَمَن يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ، وَمَا أُعطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيرًا وَأَوسَعَ مِنَ الصَّبرِ»

“Siapa yang berusaha bersabar, Alloh akan menjadikannya sabar. Tidaklah seseorang diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

Al-Bukhori meriwayatkan secara mu’allaq dari ‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhu bahwa beliau berkata:

«وَجَدْنَا خَيْرَ عَيْشِنَا بِالصَّبْرِ»

“Kami menemukan sebaik-baik kehidupan kami adalah dengan kesabaran.” (HR. Al-Bukhori)

Waspadalah terhadap tukang sihir dan peramal yang muncul di hadapan manusia dengan nama “tabib (dokter) tradisional.” Saya tidak bermaksud bahwa semua tabib tradisional adalah tukang sihir, tidak. Akan tetapi, maksud saya adalah bahwa ada tukang sihir dan peramal yang muncul di hadapan manusia dengan nama pengobatan tradisional dan Arab.

Jika ada yang bertanya: “Bagaimana cara membedakan antara tabib yang jujur dan tukang sihir yang pendusta?”

Jawabannya: “Dengan melihat pertanyaan-pertanyaannya. Misalnya dia menanyakan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan penyakit, seperti: ‘Siapa nama ibumu?’

Atau dia menyebutkan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan penyakit, seperti: ‘Kamu telah membunuh kucing pada tahun sekian,’ atau ‘di perutmu ada tahi lalat,’ atau ‘ambillah uang ini lalu lemparkan di tempat ini,’ atau ‘ambil ayam betina atau jantan lalu sembelihlah di tempat buang air besar,’ dan seterusnya.

Jika kamu melihatnya menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan penyakit, maka lari dan selamatkanlah agamamu. Karena kamu sedang berada di hadapan tukang sihir dan penipu. Selamatkan agama karena ia paling berharga.

Saya memperingatkan kalian dari beberapa majalah yang memuat ramalan bintang, seperti bintang Taurus dan yang lainnya. Mereka mengatakan: ‘Jika kamu lahir di bintang anu, maka kamu beruntung,’ dan ‘jika kamu lahir di bintang anu, maka kamu celaka,’ dan seterusnya.

Ini termasuk perdukunan dan peramalan, dan itu diharomkan dalam agama Alloh. Siapa yang meyakini kebenaran mereka dan bahwa mereka mengetahui hal ghoib secara mandiri, maka dia telah terjerumus dalam syirik akbar (besar). Adapun orang yang melihatnya tanpa membenarkannya, Sholatnya tidak akan diterima selama 40 hari, dan ini termasuk kekafiran terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad , dengan rincian dalam masalah ini.

Kesalahan Kelima: Meyakini Bahwa Alloh Berada di Setiap Tempat

Jika kamu bertanya kepada seseorang: “Di mana Alloh?” Dia akan menjawab: “Di setiap tempat.”

Ini adalah kekufuran, kemurtadan, dan keluar dari agama. Karena ini mendustakan Kitab Alloh, sunnah Rosul-Nya, ijma’ (kesepakatan) para ulama, fitroh, dan akal.

Adapun Kitab Alloh, itu mutawatir (diriwayatkan secara luas) dalam menjelaskan bahwa Alloh ada di atas langit. Sebagaimana Alloh `Azza wa Jalla berfirman:

﴿الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى﴾

“Ar-Rohman di atas ‘Arsy.” (QS. Thoha: 5)

Juga firman-Nya:

﴿أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ﴾

“Apakah kalian merasa aman terhadap Dzat yang di atas langit bahwa Dia akan membenamkan kalian ke dalam bumi sehingga tiba-tiba bumi itu berguncang?” (QS. Al-Mulk: 16)

Adapun Sunnah Nabi, itu mutawatir dalam menjelaskan bahwa Alloh ada di atas langit. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami bahwa Nabi bertanya kepada seorang budak wanita:

«أَيْنَ اللَّهُ؟» قَالَت: فِي السَّمَاءِ، قَالَ: «مَن أَنَا؟» قَالَت: أَنتَ رَسُولُ اللَّهِ، قَالَ: «أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤمِنَةٌ»

“Di mana Alloh?” Budak itu menjawab: “Di langit.” Beliau bertanya lagi: “Siapa aku?” Budak itu menjawab: “Engkau adalah Rosululloh.” Beliau bersabda: “Merdekakanlah dia, karena dia adalah Mukminah.” (HR. Muslim)

Ijma’ (kesepakatan) bahwa Alloh ada di atas langit telah diceritakan oleh banyak ulama. Di antaranya adalah Imam Abu Al-’Abbas Ibnu Taimiyah (728 H) dalam ‘Aqidah Al-Wasiithiyyah, di mana dia menjadikannya sebagai keyakinan para Salaf.

Beliau juga berkata dalam Al-Fatwa Al-Hamawiyah Al-Kubra, Abdullah bin Ahmad dan yang lainnya meriwayatkan dengan sanad yang shohih dari Ibnul Mubarok (181 H) bahwa dia ditanya: “Dengan apa kita mengenal Robb kita?” Dia menjawab:

«بِأَنَّهُ فَوقَ سَمَاوَاتِهِ عَلَى عَرشِهِ بَائِنٌ مِن خَلقِهِ، وَلَا نَقُولُ كَمَا تَقُولُ الجَهمِيَّةُ: إِنَّهُ هَاهُنَا فِي الأَرضِ»

“Dia di atas langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Kita tidak mengatakan sebagaimana orang Jahmiyah mengatakan: ‘Dia ada di sini, di bumi.’”

Demikian pula yang dikatakan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya.

Diriwayatkan dengan sanad yang shohih dari Sulaiman bin Harb (224 H), seorang imam, bahwa dia mendengar Hammad bin Zaid (179 H) menyebut orang-orang Jahmiyah. Lalu dia berkata: “Mereka hanyalah berusaha untuk mengatakan bahwa tidak ada sesuatu pun di langit.”

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dalam kitab Ar-Rodd ‘ala Al-Jahmiyah dari Sa’id bin ‘Amir Adh-Dhoba’i (208 H)—imam penduduk Bashroh dalam ilmu dan agama, salah satu guru Imam Ahmad—bahwa ketika disebutkan orang-orang Jahmiyah di sisinya, dia berkata: “Perkataan mereka lebih buruk dari orang-orang Yahudi dan Nashoro. Orang-orang Yahudi dan Nashoro serta para penganut agama lain bersepakat dengan kaum Muslimin bahwa Alloh ada di atas ‘Arsy, sedangkan mereka (orang-orang Jahmiyah) mengatakan: ‘Tidak ada di atas sesuatu apa pun.’”

Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (311 H), imam para imam, berkata:

مَن لَم يَقُلْ: إِنَّ اللَّهَ فَوقَ سَمَوَاتِهِ عَلَى عَرشِهِ بَائِنٌ مِن خَلقِهِ، وَجَبَ أَن يُستَتَابَ، فَإِن تَابَ وَإِلَّا ضُرِبَت عُنُقُهُ، ثُمَّ أُلقِيَ عَلَى مَزبَلَةٍ؛ لِئَلَّا يَتَأَذَّى بِرِيحِهِ أَهلُ القِبلَةِ وَلَا أَهلُ الذِّمَّةِ

“Siapa yang tidak mengatakan bahwa Alloh berada di atas langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya: wajib untuk diminta bertaubat. Jika dia bertaubat (maka baik), jika tidak, lehernya dipenggal, lalu dilemparkan ke tempat sampah. Agar penduduk kiblat dan ahli dzimmah tidak terganggu oleh baunya.”

Hal ini disebutkan oleh Al-Hakim dengan sanad yang shohih.

Abdullah putra Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari ‘Abbad bin Al-’Awam Al-Wasithy (185 H), imam penduduk Wasith dari generasi guru-guru Asy-Syafi’i dan Ahmad, bahwa dia berkata:

«فَرَأَيتُ آخِرَ كَلَامِهِم يَنتَهِي أَن يَقُولُوا: لَيسَ فِي السَّمَاءِ شَيءٌ»

“Aku berbicara dengan Bisyr Al-Mirisy (218 H) dan teman-teman Bisyr. Aku melihat bahwa akhir dari perkataan mereka adalah mengatakan: ‘Tidak ada sesuatu pun di langit.’”

Dari Abdur Rohman bin Mahdi (198 H), imam yang terkenal, dia berkata:

«لَيسَ فِي أَصحَابِ الأَهوَاءِ شَرٌّ مِن أَصحَابِ جَهمٍ، يَدُورُونَ عَلَى أَن يَقُولُوا: لَيسَ فِي السَّمَاءِ شَيءٌ، أَرَى وَاللَّهِ أَلَّا يُنَاكِحُوا وَلَا يُوَارَثُوا»

“Tidak ada di antara penganut hawa nafsu yang lebih buruk dari pengikut Jahm. Mereka berkeliling untuk mengatakan: ‘Tidak ada sesuatu pun di langit.’ Demi Alloh, aku berpendapat agar mereka tidak dinikahi dan tidak diwarisi.” (HR. Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah)

Adapun fitroh (naluri): Kamu melihat kita, jika ingin berdoa, kita mengangkat tangan kita ke langit. Demi Alloh, beritahu aku: Apa yang membuat kita mengangkat tangan kita ke langit kecuali fitroh yang Alloh ciptakan pada diri kita?!

Adapun akal, jika kamu ditanya: “Mana tempat yang lebih baik, atas atau bawah?”

Tidak diragukan lagi, akal menunjukkan bahwa tempat yang tinggi lebih baik dari tempat yang rendah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ahmad dalam bantahannya terhadap orang-orang zindiq, dan Imam Ibnu Taimiyah (728 H) dalam Bayan Talbis Al-Jahmiyyah, serta Imam Ibnul Qoyyim (751 H) dalam kitabnya Ash-Showaiq Al-Mursalah.

Maka, bersungguh-sungguhlah kita meyakini dengan yakin dan mantap bahwa Alloh ada di atas langit. Namun, ilmu-Nya ada di setiap tempat, Dia mengetahui kita dan segala yang terjadi.

Dia Subhanahu ada di atas, bersemayam di atas ‘Arsy-Nya. Sedangkan ilmu-Nya, yang merupakan sifat-Nya, meliputi segala sesuatu yang telah terjadi, yang sedang terjadi, yang akan terjadi, dan seandainya sesuatu itu terjadi, bagaimana terjadinya, sesungguhnya Dia mengetahuinya Subhanahu.

Maka, janganlah kamu mencampuradukkan antara dua hal ini. Jika kamu ditanya: “Di mana Alloh?” Maka jawablah dengan yakin: “Dia di langit, tinggi di atas ‘Arsy-Nya.” Sebagaimana Dia kabarkan dalam tujuh ayat, dan di antaranya adalah firman-Nya:

﴿الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى﴾

“Ar-Rohman tinggi di atas ‘Arsy.” (QS. Thoha: 5)

Sedangkan ilmu-Nya, ada di setiap tempat.

Kesalahan Keenam: Lemahnya Akidah Al-Wala’ wal Baro’

Ringkasan akidah ini adalah: mencintai orang-orang yang beriman sesuai kadar keimanan mereka, membenci orang-orang kafir secara mutlak, dan membenci ahli bid’ah secara mutlak sesuai kadar bid’ah mereka, dan adapun ahli maksiat dibenci sesuai kadar maksiat mereka. Inilah akidah al-wala’ wal baro’, dan kedudukannya dalam syari’at sangat agung.

Abu Al-Wafa’ Ibnu ‘Aqil (513 H) berkata: “Jika kamu ingin mengetahui kedudukan Islam dari penduduk zaman, maka janganlah kamu melihat ramainya mereka di pintu-pintu Masjid, dan jangan pula melihat hiruk pikuk mereka dengan ucapan: ‘Labbaik (talbiyyah).’ Akan tetapi, lihatlah kesesuaian mereka terhadap musuh-musuh syari’at.” (Ad-Duror As-Saniyyah, 8/300)

Dengan ini, Ibnu ‘Aqil memberikan timbangan kepada kita tentang kekuatan Islam. Bukan dengan banyaknya orang yang Haji dan Umroh, bukan pula dengan ramainya orang-orang di pintu-pintu Masjid, akan tetapi timbangannya adalah bagaimana keadaan hati dan amalan mereka terhadap orang-orang kafir. Apakah mereka membenci orang-orang kafir karena kekafiran mereka, dan membenci ahli bid’ah karena bid’ah mereka?

Jika demikian, maka ketahuilah bahwa Islam itu kuat. Namun, jika sebaliknya, maka ketahuilah bahwa ada kelemahan dalam Islam.

Akidah al-wala’ wal baro’ adalah akidah yang seimbang dan kokoh. Sebagian kelompok bersikap berlebih-lebihan dalam akidah ini dan menjadikan beberapa hal sebagai bagian dari akidah baro’ (berlepas diri) dari orang-orang kafir, padahal tidak demikian.

Di antaranya adalah anggapan sebagian orang bahwa salah satu bentuk penegakan akidah ini adalah membunuh orang-orang yang mengadakan perjanjian damai dan orang-orang yang dilindungi (musta’man).

Imam Muhammad bin Abdul Wahhab (1206 H) berkata: “Di antaranya adalah keberanian terhadap perjanjian damai kaum Muslimin. Apabila salah seorang Muslim, baik amir atau selainnya, memberikan jaminan aman kepada salah seorang kafir, maka tidak halal bagi seorang Muslim pun untuk melanggarnya, baik terhadap darahnya maupun hartanya.”

Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

«ذِمَّةُ المُسلِمِينَ وَاحِدَةٌ، يَسعَى بِهَا أَدنَاهُم، فَمَن أَخفَرَ مُسلِمًا فَعَلَيهِ لَعنَةُ اللَّهِ وَالمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجمَعِينَ، لَا يَقبَلُ اللَّهُ مِنهُ يَومَ القِيَامَةِ صَرفًا وَلَا عَدلًا»

“Jaminan aman kaum Muslimin itu satu, diberikan oleh orang yang paling rendah kedudukannya di antara mereka. Siapa melanggar jaminan aman seorang Muslim, maka baginya laknat Alloh, Malaikat, dan seluruh manusia. Alloh tidak akan menerima darinya pada hari Kiamat shorf (tebusan) dan ‘adl (amal wajib).” (HR. Ibnu Majah)

Sungguh mengherankan, sebagian orang jahil melakukan ini dengan alasan agama dan mengira itu adalah bentuk memusuhi orang-orang kafir. (Ad-Duror As-Saniyyah fi Al-Ajwibah An-Najdiyah, 14/10)

Sesungguhnya membunuh orang-orang kafir yang mengadakan perjanjian damai adalah sangat diharomkan dalam agama Muhammad .

Al-Bukhori meriwayatkan dari hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash bahwa beliau berkata:

«مَن قَتَلَ مُعَاهَدًا لَم يَرحْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِن مَسِيرَةِ أَربَعِينَ عَامًا»

“Siapa membunuh orang kafir yang memiliki perjanjian damai, dia tidak akan mencium bau Jannah. Padahal baunya bisa tercium dari jarak 40 tahun perjalanan.” (HR. Al-Bukhori)

Orang-orang yang berlebih-lebihan dalam akidah al-wala’ wal baro’ ini telah terjerumus dalam beberapa kesalahan.

Pertama: Mereka meyakini sesuatu yang bertentangan dengan agama Alloh.

Kedua: Mereka terjerumus dalam sikap berlebih-lebihan, dan sikap berlebih-lebihan itu diharomkan dalam agama.

Ketiga: Mereka menyebabkan orang-orang kafir berkuasa atas kaum Muslimin.

Keempat: Mereka menyebabkan lemahnya akidah al-wala’ wal baro’. Karena ketika orang-orang melihat orang-orang yang berlebih-lebihan dalam akidah al-wala’ wal baro’, mereka akan mengalami reaksi yang berlebihan dan mengurangi pembicaraan tentangnya, agar sikap berlebih-lebihan tidak menyebar di antara masyarakat.

Perlu diketahui bahwa ada sebagian orang yang lalai dalam menegakkan akidah ini.

Di antara bentuk kelalaian mereka adalah menyerupai orang-orang kafir.

Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi bersabda:

«مَن تَشَبَّهَ بِقَومٍ فَهُوَ مِنهُم»

“Siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka.” (HSR. Abu Dawud)

Di antara konsekuensi dari akidah yang penuh berkah ini adalah haromnya menyerupai orang-orang kafir. Sebaliknya, seorang Muslim harus bangga dengan bahasanya dan penampilannya yang lahiriah, serta berbeda dengan orang-orang kafir dalam hal-hal yang menjadi ciri khas mereka. Adapun hal-hal yang tersebar dan umum di kalangan Muslim dan kafir, maka tidak boleh bagi siapapun untuk melarang kaum Muslimin melakukannya hanya karena orang-orang kafir juga melakukannya. Masalah ini memiliki rincian yang tidak cocok untuk pembahasan ringkas seperti ini.

Di antara bentuk kelalaian adalah anggapan sebagian orang bahwa permusuhan hanya berlaku bagi orang kafir harbi (yang memerangi). Adapun orang-orang kafir yang tidak memerangi, maka kita tidak membenci dan memusuhi mereka.

Ini adalah kesalahan yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Karena Alloh berfirman:

﴿لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِفُونَ﴾

“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Alloh dan hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Alloh dan Rosul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapaknya sendiri, anak-anaknya sendiri, saudara-saudaranya sendiri, atau keluarganya sendiri. Mereka itulah orang-orang yang Alloh telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan roh (pertolongan) dari-Nya. Alloh akan memasukkan mereka ke dalam Jannah-Jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Alloh ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap-Nya. Mereka itulah golongan Alloh. Ketahuilah, sesungguhnya golongan Alloh itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Mujadilah: 22)

Kita diperintahkan untuk membenci orang-orang kafir meskipun mereka adalah bapak-bapak kita, anak-anak kita, saudara-saudara kita, dan kaum keluarga kita. Karena mereka adalah orang-orang kafir yang menentang Alloh dan Rosul-Nya, bukan karena mereka memerangi kita.

Ini tidak bertentangan dengan berbuat baik kepada orang yang tidak memerangi. Sebagaimana Alloh Ta’ala berfirman:

﴿لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴾

“Alloh tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama, dan tidak mengusir kalian dari kampung halaman kalian. Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Sebagaimana di dalam hati bisa berkumpul rasa cinta terhadap obat yang rasanya pahit karena manfaatnya, sekaligus membenci rasanya.

Di antara bentuk kelalaian kaum Muslimin dalam akidah yang penuh berkah ini adalah mendahului orang-orang kafir dalam mengucapkan salam.

Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Huroiroh bahwa Nabi bersabda:

«لَا تَبدَءُوا اليَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ، فَإِذَا لَقِيتُم أَحَدَهُم فِي طَرِيقٍ فَاضطَرُّوهُ إِلَى أَضيَقِهِ»

“Janganlah kalian mendahului orang Yahudi dan Nashoro dalam mengucapkan salam. jika kalian bertemu salah seorang dari mereka di jalan, maka desaklah dia ke jalan yang paling sempit.” (HR. Muslim)

Maka, bersungguh-sungguhlah kita menegakkan akidah yang penuh berkah ini tanpa berlebih-lebihan dan tanpa kelalaian. Kita ingat firman Alloh `Azza wa Jalla:

﴿قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ﴾

“Sungguh telah ada bagi kalian teladan yang baik pada ‘Ibrohim dan orang-orang yang bersamanya.” (QS. Al-Mumtahanah: 4).

Ketahuilah bahwa Nabi ‘Ibrohim berbicara kepada bapaknya dan kaumnya:

﴿إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَاءُ مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ﴾

“Ketika mereka berkata kepada kaumnya: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Alloh. Kami ingkari (kekafiran) kalian, dan telah tampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Alloh saja’.” (QS. Al-Mumtahanah: 4)

Lihatlah bagaimana Nabi ‘Ibrohim menegakkan akidah yang penuh berkah ini, dan Alloh telah menjadikan beliau sebagai teladan yang baik bagi kita.

Sangat menyakitkan dan disayangkan, salah satu orang yang terfitnah di sebuah stasiun televisi berkata: “Saya tidak mengkafirkan orang-orang Nashoro, Yahudi, Budha, dan lainnya.”

Ini adalah penyimpangan dan keluar dari agama. Karena siapa yang tidak mengkafirkan orang yang Alloh dan Rosul-Nya kafirkan, seperti orang Yahudi dan Nashoro, maka dia adalah kafir menurut ijma’ kaum Muslimin.

Syaikhul Islam Abu Al-‘Abbas Ibnu Taimiyah (728 H) berkata: “Siapa yang tidak mengharomkan beragama—setelah diutusnya Nabi dengan agama Yahudi dan Nashoro, bahkan siapa yang tidak mengkafirkan dan membenci mereka, maka dia bukanlah seorang Muslim menurut kesepakatan kaum Muslimin.” (Ro’su Al-Husain, 194)

Alloh Ta’ala berfirman:

﴿لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ﴾

“Sungguh telah kafir orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya Alloh adalah salah satu dari yang tiga’.” (QS. Al-Ma’idah: 73)

Dia berfirman:

﴿لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ﴾

“Orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab.” (QS. Al-Bayyinah: 1)

Maksudnya: Yahudi, Nashoro, dan orang-orang musyrik.

Alloh mengkafirkan mereka, sedangkan orang ini mendustakan firman Alloh dan tidak mengkafirkan mereka. Maka, perbuatan dan perkataannya adalah penyimpangan dan keluar dari agama.

Dengan ini, kamu akan mengerti kesalahan dari apa yang sebagian orang serukan, yaitu tentang mendekatkan agama-agama, dan penyatuan agama-agama.

Karena agama Islam itu mulia, tidak ridho untuk mendekati siapapun, dan tidak ridho untuk bersama siapapun. Akan tetapi, dia adalah agama yang benar pada dirinya sendiri, yang menganggap setiap agama selainnya adalah kekufuran yang menyebabkan pelakunya kekal di dalam Neraka.

Muslim meriwayatkan dari Abu Huroiroh bahwa Rosululloh bersabda:

«وَالَّذِي نَفسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسمَعُ بِي أَحَدٌ مِن هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَم يُؤمِنْ بِالَّذِي أُرسِلتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِن أَصحَابِ النَّارِ»

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah seorang pun dari umat ini, Yahudi maupun Nashoro, mendengar tentang aku, lalu dia mati dan tidak beriman kepada apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni Neraka.” (HR. Muslim)

Maka, bersungguh-sungguhlah kita dalam berbangga dengan akidah yang penuh berkah ini.

Saya ingatkan bahwa kita harus membedakan antara keadaan kuat dan keadaan lemah. Diperbolehkan dalam keadaan kuat sesuatu yang tidak boleh dalam keadaan lemah. Di antaranya adalah jihad tholab (menyerang musuh), itu adalah tuntutan syar’i dalam keadaan kuat, berbeda dengan keadaan lemah.

Bukti yang paling jelas untuk hal itu adalah petunjuk praktis Rosululloh . Di Makkah, jihad tidak disyari’atkan karena kelemahan Rosululloh dan para Shohabatnya. Berbeda dengan ketika beliau pindah ke Madinah. Jihad tholab disyari’atkan ketika kaum Muslimin telah kuat, sebagaimana firman Alloh Ta’ala:

﴿قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ، وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَغِرُونَ﴾

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari Akhirat, dan mereka tidak mengharomkan apa yang diharomkan Alloh dan Rosul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu dari orang-orang yang diberi Kitab, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah: 29)

Aku memohon kepada Alloh kemuliaan bagi Islam dan kaum Muslimin, dan ditinggikannya bendera tauhid dan sunnah.

Kesalahan Ketujuh: Riya’ (Pamer Amal)

Tahukah kamu apa itu riya’? Riya’ adalah beribadah kepada Alloh karena orang lain. Orang yang Sholat karena orang lain, orang yang berdzikir karena orang lain, orang yang mengajar karena orang lain, orang yang bersedekah karena orang lain.

Riya’ ini berbahaya dan banyak tersebar. Buktinya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al-Baihaqi dari Mahmud bin Labid bahwa Nabi bersabda kepada para Shohabatnya—dan mereka adalah Shohabatnya:

«أَخوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيكُمُ الشِّركَ الأَصغَرَ»، فَلَمَّا سُئِلَ عَنهُ، قَالَ: «الرِّيَاءُ»

“Sesungguhnya hal yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik ashghor (kecil).” Ketika ditanya tentangnya, beliau menjawab: “Riya’.” (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi)

Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Huroiroh dalam hadits qudsi, Alloh Ta’ala berfirman:

«أَنَا أَغنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّركِ، مَن عَمِلَ عَمَلًا أَشرَكَ مَعِي فِيهِ غَيرِي، تَرَكتُهُ وَشِركَهُ»

“Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Siapa yang beramal suatu amalan lalu dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku di dalamnya, maka Aku akan meninggalkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim)

Jadi, masalah ini berbahaya, wahai saudara-saudara. Bahkan syirik ashghor seperti riya’ lebih besar dari dosa-dosa besar. Lebih besar dosanya dari zina dan dosa-dosa lainnya, dan ini banyak tersebar.

Aku memohon kepada Alloh dengan karunia, keutamaan, kemurahan, dan kemuliaan-Nya agar Dia melindungiku dan kalian darinya, serta menjaga kita dari dosa besar ini dan dosa-dosa lainnya dengan karunia dan keutamaan-Nya.

Riya’ ini merusak amal, menghapus pahalanya, dan menyiksa pelakunya.

Saya ingatkan bahwa banyak orang yang gemar menunjukkan amal sholihnya di hadapan orang lain untuk memotivasi mereka. Ini benar dan merupakan hal yang baik, akan tetapi jangan terlalu sering melakukannya. Agar syaiton tidak menipumu sehingga kamu jatuh ke dalam riya’. Karena orang pertama yang dinyalakan api Neraka untuk mereka ada tiga orang—sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abu Huroiroh: seorang alim yang membaca Kitab Alloh, seorang mujahid, dan seorang yang bersedekah. Maka berhati-hatilah.

Aku memohon kepada Alloh agar melindungi aku dan kalian dari dosa besar ini.

Kesalahan Kedelapan: Lemahnya Tawakkal di Hati Kita

Betapa lemahnya akidah tawakkal di hati kita!

Banyak dari kita yang hatinya bergantung pada sebab-sebab duniawi, melupakan Robb yang menciptakan sebab-sebab itu.

Maka, bersungguh-sungguhlah kita menguatkan tawakkal kepada Robb kita `Azza wa Jalla.

﴿وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ﴾

“Hanya kepada Alloh-lah kalian bertawakkal, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah: 23)

Dia berfirman:

﴿وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ﴾

“Siapa yang bertawakkal kepada Alloh, niscaya Dia akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS. Ath-Tholaq: 3)

Namun, janganlah kamu memahami bahwa tawakkal itu berarti tawakkul, yaitu meninggalkan sebab-sebab. Akan tetapi, jadilah pertengahan, lakukanlah sebab-sebab yang dibolehkan syari’at, dan biarkan hatimu bergantung kepada Robb yang menciptakan sebab-seebab.

Adapun orang yang meninggalkan sebab-sebab, Ibnu Taimiyah (728 H) menjelaskan hal ini dengan perkataannya: “Ketergantungan kepada sebab-sebab adalah syirik dalam tauhid, dan menghilangkan sebab-sebab dari keberadaannya sebagai sebab adalah kekurangan dalam akal, dan berpaling dari sebab-sebab yang diperintahkan adalah celaan dalam syari’at. Maka, seorang hamba harus menjadikan hatinya bergantung kepada Alloh, bukan kepada sebab apa pun. Alloh akan mudahkan baginya sebab-sebab yang memperbaiki dirinya di dunia dan Akhirat.” (Majmu’ Al-Fatawa, 8/528)

Betapa banyak orang, baik pelajar, orang tua, maupun lainnya, yang berkata: “Kami tidak punya pekerjaan, apakah saya akan mendapatkan pekerjaan jika sudah lulus atau tidak?”

Hatinya bergantung pada pekerjaan-pekerjaan itu, melupakan Robbnya. Lakukanlah sebab-sebab yang syar’i, dan bertawakkallah kepada Robbmu. Setelah itu, apa yang Alloh takdirkan adalah kebaikan bagimu dengan taufiq (pertolongan) Alloh `Azza wa Jalla. Jika itu adalah bahaya bagimu, maka kamu bersabar sehingga mendapatkan pahala. Jika itu adalah kebaikan bagimu, maka kamu bersyukur kepada Alloh sehingga mendapatkan pahala.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abu Yahya Shuhaib Ar-Rumi, beliau bersabda:

«عَجَبًا لِأَمرِ المُؤمِنِ؛ إِنَّ أَمرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيرٌ، إِن أَصَابَتهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيرًا لَهُ، وَإِن أَصَابَتهُ سَرَّاءُ شَكَرَ؛ فَكَانَ خَيرًا لَهُ»

“Sungguh mengherankan perkara orang Mukmin. Sesungguhnya seluruh perkaranya adalah kebaikan baginya. Jika dia ditimpa kesusahan, dia bersabar, maka itu baik baginya. Jika dia ditimpa kesenangan, dia bersyukur, maka itu baik baginya.” (HR. Muslim)

Kesalahan Kesembilan: Berlebih-lebihan Terhadap Kuburan

Saya pernah pergi ke beberapa negara dan melihat sesuatu yang mengherankan. Kamu akan sangat kesulitan untuk menemukan Masjid yang tidak ada kuburan di dalamnya!

Sesungguhnya memasukkan kuburan ke dalam Masjid adalah sikap berlebih-lebihan yang diharomkan dalam agama Alloh. Ini adalah bagian dari sikap berlebih-lebihan terhadap kuburan.

Al-Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah bahwa Nabi bersabda:

«لَعنَةُ اللَّهِ عَلَى اليَهُودِ وَالنَّصَارَى؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنبِيَائِهِم مَسَاجِدَ»

“Laknat Alloh atas orang-orang Yahudi dan Nashoro; mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai Masjid.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

Juga di antara bentuk berlebih-lebihan terhadap kuburan adalah membangun di atasnya dan mengapurinya. Muslim meriwayatkan dari hadits Jabir bahwa Nabi melarang kuburan dikapuri, dibangun di atasnya, dan diduduki.

Betapa banyak kaum Muslimin yang membangun kubah-kubah di atas kuburan!

Lihatlah di sekitar negara-negara sekitarmu, kamu akan menemukan hal yang mengherankan dari perkara ini.

Kesalahan Kesepuluh: Tersebarnya Jimat-Jimat

Jimat-jimat itu digantungkan oleh kaum Muslimin di dada, tangan, atau di dada dan tangan anak-anak dan orang-orang yang mereka cintai. Inti dari jimat adalah: manik-manik, benang, dan benda-benda yang digantungkan oleh seseorang untuk mendapatkan manfaat dengan menolak bahaya dan mendatangkan kebaikan. Padahal pada kenyataannya, benda-benda itu bukanlah sebab untuk mendatangkan kebaikan dan menolak bahaya.

Jimat-jimat ini adalah syirik dalam agama Muhammad . Imam Ahmad meriwayatkan dari hadits ‘Uqbah bahwa Nabi bersabda:

«مَن تَعَلَّقَ تَمِيمَةً؛ فَقَد أَشرَكَ»

“Siapa menggantungkan jimat, maka sungguh dia telah berbuat syirik.”

Abu ‘Ubaid meriwayatkan dalam kitabnya Al-Ghorib dengan sanad yang shohih dari Abdullah bin Mas’ud Rodhiyallahu ‘Anhu bahwa dia berkata:

«إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِركٌ»

“Sesungguhnya jampi-jampi (mantera), jimat, dan tiwalah (pelet) adalah syirik.”

Jimat-jimat ini adalah syirik, dan ada dua keadaan:

Keadaan pertama: Seseorang menggantungkannya dan meyakini bahwa jimat itu sendiri secara mandiri dapat menolak bahaya dan mendatangkan manfaat. Orang yang melakukan ini dengan keyakinan seperti itu, sungguh dia telah terjerumus ke dalam syirik akbar (besar) - semoga Alloh melindungi saya dan kalian.

Adapun keadaan kedua: Dia menggantungkannya karena menganggapnya sebagai sebab dari sisi Alloh. Dalam hal ini, perbuatannya adalah syirik ashghor (kecil), dan itu lebih besar dari dosa-dosa besar - semoga Alloh melindungi saya dan kalian.

Betapa banyak orang yang menggantungkan jimat-jimat dan mengklaim bahwa itu dari Al-Qur’an, padahal kenyataannya tidak demikian.

Saya ingat, saya pernah melihat seorang laki-laki sedang thowaf di Ka’bah dan dia menggantungkan sebuah jimat. Saya meminta izin kepadanya untuk mengambilnya, saya berbicara dengannya, lalu saya mengambilnya. Dia berkata: “Ini dari Al-Qur’an.” Ketika saya memeriksanya, saya tidak menemukan apa-apa di dalamnya kecuali rajah-rajah dan omong kosong yang tidak diketahui dan tidak dimengerti isinya!

Maka, janganlah kamu tertipu dengan perkataan bahwa jimat-jimat ini berasal dari Al-Qur’an. Betapa banyak jimat yang dikatakan berasal dari Al-Qur’an, padahal kenyataannya tidak demikian.

Kesalahan Kesebelas: Thiyaroh

Apa itu thiyaroh (tahayul)? Kamu melihat seseorang ketika ingin membuka tokonya, lalu ada angin berhembus, dia berkata: “Hari ini saya tidak akan membuka toko.” Mengapa? Karena di pagi hari telah berhembus angin, lalu dia merasa sial dan ber-thiyaroh dengannya. Atau dia mendengar suara burung gagak, lalu dia merasa sial dan ber-thiyaroh dengannya. Atau dia melihat orang yang pincang, lalu dia merasa sial dan ber-thiyaroh dengannya.

Semua ini termasuk syirik - semoga Alloh melindungi saya dan kalian. Karena inti dari thiyaroh adalah: sesuatu yang membuatmu melanjutkan atau mengurungkan niatmu, padahal itu bukanlah sebab yang sebenarnya untuk melanjutkan atau mengurungkan niat.

Thiyaroh adalah syirik, sebagaimana yang shohih dari At-Tirmidzi dari hadits Ibnu Mas’ud bahwa Nabi bersabda:

«الطِّيَرَةُ شِركٌ، الطِّيَرَةُ شِركٌ، الطِّيَرَةُ شِركٌ»

Thiyaroh adalah syirik, thiyaroh adalah syirik, thiyaroh adalah syirik.”

Maka thiyaroh adalah syirik dalam agama Muhammad . Maka, berhati-hatilah dan jangan ber-thiyaroh.

Sayangnya, kamu melihat sebagian kaum Muslimin menyebarkan kata-kata yang asalnya diambil dari orang-orang yang ber-thiyaroh. Seperti perkataan sebagian orang: “Kita sekarang berada di Shofar Al-Khoir.” Dia menamakan bulan Shofar dengan “Shofar Al-Khoir”, ini termasuk thiyaroh. Karena orang-orang Jahiliyah dahulu ber-thiyaroh dengan bulan itu.

Di antaranya juga perkataan sebagian orang jika ada yang berbicara dengannya: “Kebaikan, wahai burung!” Ini juga terpengaruh oleh orang-orang Jahiliyah.

Kesalahan Kedua Belas: Bersumpah dengan Selain Alloh

Seperti bersumpah dengan nama Nabi , atau dengan nikmat, atau dengan Sholatnya si fulan, atau dengan shiyamnya (puasanya), atau dengan amanah. Kamu melihat sebagian orang berkata: “Demi Sholatmu,” atau “demi shiyammu,” bahwa kamu melakukan ini dan itu, atau sebagian dari mereka berkata: “Demi Nabi,” “Demi hidupnya si fulan,” dan seterusnya. Semua ini adalah bersumpah dengan selain Alloh, dan ini adalah syirik. Karena bersumpah adalah lafazh yang khusus untuk Alloh.

Al-Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Umar bahwa Nabi mendengar seorang laki-laki bersumpah dengan nama ayahnya. Lalu Nabi bersabda:

«أَلَا إِنَّ اللَّهَ يَنهَاكُم أَن تَحلِفُوا بِآبَائِكُم؛ فَمَن كَانَ حَالِفًا فَلْيَحلِفْ بِاللَّهِ أَو لِيَصمُتْ»

“Ketahuilah, sesungguhnya Alloh melarang kalian bersumpah dengan nama bapak-bapak kalian. Siapa yang ingin bersumpah, hendaklah dia bersumpah dengan nama Alloh atau diam.”

Maka, berhati-hatilah dan janganlah bersumpah dengan selain Alloh. Berhati-hatilah, meskipun kamu tumbuh di lingkungan yang sering bersumpah dengan selain Alloh. Biasakanlah dirimu untuk meninggalkannya. Sesungguhnya ilmu itu didapatkan dengan belajar. Alloh `Azza wa Jalla berfirman:

﴿وَالَّذِينَ جَهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا﴾

“Orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, sungguh Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al-‘Ankabut: 69)

Kesalahan Ketiga Belas: Mentakwil Nama dan Sifat Alloh

Betapa banyak universitas dan sekolah di dunia Islam yang mendidik para siswanya untuk mentakwil (menyimpangkan makna) nama-nama dan sifat-sifat Alloh. Mereka tidak menetapkan apa yang Alloh tetapkan untuk diri-Nya berupa nama-nama dan sifat-sifat.

Alloh Ta’ala berfirman:

﴿بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ﴾

“Bahkan kedua tangan-Nya terbentang.” (QS. Al-Ma’idah: 64)

Mereka berkata: “Tidak, Alloh tidak punya dua tangan.”

Alloh Ta’ala berfirman:

﴿الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ﴾

“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 3)

Dia menetapkan sifat rohmat (kasih sayang) untuk diri-Nya, dan mereka meniadakan sifat rohmat dari Alloh `Azza wa Jalla. Ini adalah takwil dan penyimpangan makna bagi firman Alloh dan sabda Rosul-Nya.

Jika kamu bertanya kepada mereka: “Mengapa kalian tidak menetapkan dua tangan untuk Alloh sebagaimana Dia tetapkan untuk diri-Nya?”

Mereka menjawab: “Jika kami menetapkan dua tangan untuk Alloh, maka ini berarti kami menyerupakan tangan Robb kita dengan tangan kita, dan tasybih (menyerupakan) itu diharomkan dalam syari’at.”

Maka dikatakan kepada mereka: “Siapa yang mengatakan kepada kalian bahwa jika kalian menetapkan dua tangan untuk Alloh, maka itu berarti menyerupakan-Nya dengan tangan makhluk? Bahkan, setiap tangan yang layak bagi yang memilikinya, dan kedua tangan Robb kita layak bagi keagungan dan kekuasaan-Nya yang agung.”

Tidakkah kamu melihat kenyataan bahwa binatang memiliki tangan, dan tangan setiap binatang berbeda dengan yang lain? Manusia memiliki dua tangan, dan kedua tangannya berbeda dengan tangan binatang. Maka, penetapan tangan bagi manusia tidak berarti menyerupai tangan binatang. Alloh memiliki permisalan yang paling tinggi, Dia memiliki dua tangan yang layak bagi keagungan dan kekuasaan-Nya yang agung. Perkataan seperti ini telah disebutkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah (311 H) dalam kitabnya At-Tauhid.

Kesalahan Keempat Belas: Membahas Apa yang Terjadi di Antara Shohabat Rosululloh

Para Shohabat Nabi Muhammad memiliki kedudukan yang agung dalam syari’at. Alloh telah meridhoi mereka dan membuat mereka ridho, sebagaimana firman-Nya:

﴿مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ﴾

“Muhammad adalah Rosul Alloh dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, (tetapi) berkasih sayang sesama mereka.” (QS. Al-Fath: 29) dan seterusnya, Alloh menyebutkannya dalam konteks memuji dan menyanjung mereka.

Alloh berfirman:

﴿لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ﴾

“Sungguh, Alloh telah ridho kepada orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon.” (QS. Al-Fath: 18)

Disebutkan dalam hadits dari ‘Imron, Ibnu Mas’ud, dan yang lainnya, dan semuanya terdapat dalam kitab-kitab shohih, bahwa Nabi bersabda:

«خَيرُ النَّاسِ قَرنِي .... وَفِي الحَدِيثِ الآخَرِ: خَيرُ أُمَّتِي قَرنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُم .....»

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku...” dan dalam hadits lain: “Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian orang-orang setelah mereka....” Maka, sebaik-baik manusia adalah para Shohabat Rosululloh .

Salah satu hak mereka yang wajib kita tunaikan adalah menahan diri dari membicarakan keburukan mereka. Mereka adalah manusia yang bisa berbuat salah, dan keburukan bisa terjadi pada mereka, tetapi hak mereka atas kita adalah menahan diri dari membicarakan keburukan mereka dan apa yang terjadi di antara mereka.

Al-Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Sa’id bahwa Nabi bersabda:

«لَا تَسُبُّوا أَصحَابِي؛ فَوَالَّذِي نَفسِي بِيَدِهِ لَو أَنَّ أَحَدَكُم أَنفَقَ مِثلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِم وَلَا نَصِيفَهُ»

“Janganlah kalian mencela Shohabatku. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, tidak akan mencapai segenggam pun dari apa yang mereka infakkan, tidak pula setengahnya” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

Membahas hal-hal buruk yang terjadi di antara mereka, yang kebanyakan adalah dusta dan tidak memiliki dasar sebagaimana yang disebutkan oleh Adz-Dzahabi (748 H) dan Imam Ibnu Taimiyah (728 H), sesungguhnya membahas hal seperti itu dapat membuat hati manusia membenci para Shohabat Rosululloh .

Ada seseorang yang muncul di tengah kita lalu mengeluarkan kaset-kaset berjudul “Kisah-kisah Sejarah”, di dalamnya dia menyebutkan segala macam yang diriwayatkan dalam buku-buku tentang apa yang terjadi di antara para Shohabat Rosululloh . Padahal, sebagian besar yang disebutkan adalah dusta dan tidak shohih. Kaset-kaset ini disebarkan oleh beberapa perusahaan dagang, dan itu sangat merugikan kaum Muslimin.

Demi Alloh, demi Alloh, demi Alloh, saya mendengar salah seorang yang baik berkata setelah mendengarkan kaset-kaset ini: “Sesungguhnya dalam hatiku ada sesuatu terhadap ‘Ali Rodhiyallahu ‘Anhu, kholifah yang rasyid!”

Maka, menyebarkan kaset-kaset seperti ini berbahaya terhadap kehormatan para Shohabat Rosululloh . Sesungguhnya wajib bagi kita untuk menyebarkan kebaikan dan hak-hak para Shohabat Rosululloh di tengah masyarakat. Agar dalam hati orang-orang awam, baik anak-anak maupun orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, tertanam pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan terhadap para Shohabat Rosululloh . Sehingga, jika mereka mendengar ada seseorang yang mencela atau merendahkan mereka, mereka akan sangat marah.

Maka, bersungguh-sungguhlah kita mengetahui hak-hak mereka, dan membantah setiap orang yang merendahkan sedikit pun dari hak-hak para Shohabat Rosululloh .

Kesalahan Kelima Belas: Ucapan yang Sering Diucapkan Sebagian Muslim

Ucapan-ucapan ini bertentangan dengan tauhid Alloh, Robb semesta alam.

[1] Di antaranya adalah perkataan sebagian orang kepada orang yang meninggal: “Si fulan telah pindah ke tempat peristirahatan terakhirnya.”

Ini adalah kata yang berbahaya, karena itu berarti mengingkari hari Kebangkitan dan hari dikumpulkannya manusia. Padahal kehidupan di alam barzakh adalah kehidupan di antara kehidupan dunia dan kehidupan Akhirat, dan Robb kita telah mengkafirkan orang yang mengingkari hari Kebangkitan dan hari dikumpulkannya manusia.

Alloh Ta’ala berfirman dalam surat At-Taghobun:

﴿زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَن لَّن يُبْعَثُوا قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ﴾

“Orang-orang yang kafir menyangka bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: ‘Tidak demikian, demi Robbku, pasti kalian akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.’ yang demikian itu amat mudah bagi Alloh.” (QS. At-Taghobun: 7)

Jadi, perkataan seseorang: “Si fulan telah pindah ke tempat peristirahatan terakhirnya” adalah kata yang berbahaya dan mengandung kekufuran, meskipun orang yang mengucapkannya tidak kafir karena dia tidak mengetahui hakikat dari kata ini.

[2] Di antaranya juga perkataan sebagian muadzin dalam adzan atau sebagian pembicara dalam perkataannya: “Allohu akbaar” (dengan bacaan ‘Allohu akbaar’, bukan ‘akbar’).

Ibnu Qudamah (620 H) dalam Al-Mughni, An-Nawawi (676 H) dalam Al-Majmu’, dan banyak ulama dan ahli bahasa menyebutkan bahwa makna akbaar adalah jamak dari thobl (gendang). Maka seakan-akan dia berkata: “Alloh itu gendang-gendang.” Ini adalah kata kufur, tetapi karena orang yang mengucapkannya tidak mengetahui hakikatnya, maka dia tidak dikafirkan. Namun, dia harus diberitahu dan wajib baginya untuk meninggalkan lafazh ini.

[3] Di antaranya juga perkataan sebagian orang: “Semoga Alloh menzholimimu,” atau “Semoga Alloh mengkhianatimu.”

Dua kata ini diharomkan. Karena Alloh telah mengharomkan kezholiman atas diri-Nya, dan Dia tidak menzholimi seorang pun.

﴿وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ﴾

“Robbmu tidaklah menzholimi hamba-hamba-Nya.” (QS. Fushshilat: 46)

Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Dzar dalam hadits qudsi bahwa Alloh Ta’ala berfirman:

«يَا عِبَادِي، إِنِّي حَرَّمتُ الظُّلمَ عَلَى نَفسِي وَجَعَلتُهُ بَينَكُم مُحَرَّمًا؛ فَلَا تَظَالَمُوا»

“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharomkan kezholiman atas diri-Ku dan Aku menjadikannya harom di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzholimi” (HR. Muslim)

[4] Di antaranya juga adalah perkataan sebagian orang kepada orang yang tertimpa musibah: “Si fulan tidak pantas mendapatkannya,” maksudnya: dia tidak pantas mendapatkan musibah ini.

Ini adalah kata yang berbahaya, karena di dalamnya terdapat keberatan terhadap ketetapan dan takdir Alloh. Padahal Alloh Ta’ala berfirman:

﴿أَلَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ الْحَكِمِينَ﴾

“Bukankah Alloh adalah Hakim yang paling adil?” (QS. At-Tin: 8)

[5] Di antaranya juga adalah perkataan sebagian orang ketika membaca surat Al-Fatihah:

﴿إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ﴾

“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)

(Iyyaka) jika dibaca ringan dan tidak ditasydid (menjadi iyaka), maknanya menjadi “cahaya matahari (Dewa Matahari).” Maka seakan-akan dia berkata: “Kami hanya menyembah cahaya matahari, dan kami hanya minta pertolongan kepada cahaya matahari.”

Wajib bagi seorang Muslim ketika membacanya untuk mengucapkan:

﴿إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ﴾

Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in, dengan tasydid pada (Iyyaaka).”

[6] Di antaranya juga adalah perkataan sebagian orang: (تبارك علينا يا فلان) “Semoga keberkahan atas kami, wahai fulan.”

Sebagian orang, ketika ingin mengundang seseorang—mengunjunginya di rumahnya—berkata: “Semoga keberkahan atas kami, wahai fulan.”

Imam Ibnul Qoyyim (751 H) berkata dalam kitabnya Badai’ Al-Fawaid (3/268): “Adapun sifat-Nya (tabarok), itu khusus bagi-Nya Ta’ala, sebagaimana Dia menyebutkannya untuk diri-Nya dengan firman-Nya:

﴿تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ﴾

“Mahasuci Alloh, Robb semesta alam.” (QS. Al-A’rof: 54)

﴿تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ﴾

“Mahasuci Dzat yang di tangan-Nya kekuasaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Mulk: 1)

Beliau berkata dalam Jala’ Al-Afham (1/202): “Ibnu ‘Athiyyah berkata: ‘Maknanya adalah agung dan banyak keberkahan-Nya. Lafazh ini tidak disifatkan kecuali hanya untuk Alloh. Lafazh ini tidak diubah dalam bahasa Arob, tidak digunakan dalam bentuk fi’il mudhori’ (present tense) maupun fi’il amr (perintah).’”

Akhir kata: Saudara-saudaraku, kita telah mendengar kesalahan-kesalahan sebagian kaum Muslimin dalam mengesakan Alloh, Robb semesta alam. Mereka dalam hal ini ada yang sedikit dan ada yang banyak.

Kesalahan-kesalahan ini, dan saya tidak menyebutkannya semuanya, melainkan saya menyebutkan sebagiannya, sayangnya telah umum dan tersebar di antara banyak kaum Muslimin. Cara untuk mengobati serta memperbaikinya adalah dengan berdakwah kepada tauhid.

Maka, wajib bagi para dai untuk menyibukkan dakwah mereka dan diri mereka dengan mengajak manusia kepada tauhid, dan tidak menyibukkan mereka dengan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi mereka.

Telah muncul di tengah kita para dai yang menyibukkan manusia dengan isu-isu yang tidak bermanfaat bagi mereka, bahkan jika itu bukan ilmu yang berbahaya, maka itu adalah ilmu yang tidak bermanfaat. Ilmu yang tidak bermanfaat, Nabi telah berlindung darinya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shohih-nya dari hadits Zaid bin Al-Arqom bahwa Nabi berlindung kepada Alloh dari empat hal, di antaranya:

«اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِن عِلمٍ لَا يَنفَعُ»

“Ya Alloh, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat” (HR. Muslim)

Telah muncul di tengah kita orang-orang yang menyibukkan kaum Muslimin dengan isu-isu yang tidak bermanfaat bagi mereka, seperti mengikuti surat kabar, koran, dan majalah, yaitu fiqih yang mereka sebut fiqih realitas atau politik.

Kamu melihat sebagian dari mereka, jika ingin menunjukkan bahwa dia adalah orang yang berwawasan, dia akan membicarakan isu-isu politik denganmu. Padahal jika kamu membuka mushaf dan berkata: “Bacalah Al-Qur’an dengan melihat,” niscaya dia tidak akan bisa membacanya dengan baik. Ini adalah salah satu penyebab syaiton mempermainkan mereka.

Di antara bentuk permainan syaiton adalah dia mengeluarkan para dai yang menyibukkan manusia dengan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi mereka.

Maka, wajib bagi kita, wahai saudara-saudaraku, jika kita benar-benar tulus dan menginginkan apa yang ada di sisi Alloh dengan jujur, untuk mengikuti jalannya para Rosul. Tugas para Rosul adalah mengajak manusia kepada tauhid. Setiap Nabi datang kepada kaumnya seraya berkata: “Wahai kaumku, sembahlah Alloh, tidak ada sesembahan bagi kalian selain Dia” (QS. Al-A’rof: 59)

Juga, wajib bagi seluruh kaum Muslimin untuk mempelajari tauhid. Jika ada pelajaran dari seorang yang terpercaya ilmunya dan manhaj Salafnya, maka kita harus bersemangat untuk belajar ilmu akidah darinya. Kita membaca kitab At-Tauhid, Tsalatsah Al-Ushul, Kasyfu Asy-Syubhat, dan Al-Qowa’id Al-Arba’ah.

Juga, wahai saudara-saudaraku, kita harus memiliki kaset-kaset para ulama besar kita yang mulia, seperti Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (1420 H), Imam Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin (1421 H), Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani (1420 H), dan ulama kita yang lainnya, seperti Syaikh Sholih Al-Fauzan dan yang lainnya.

Kita mengambil kaset-kaset mereka tentang tauhid, lalu kita mendengarkannya, dan mendengarkannya kepada orang lain, serta menyebarkannya di tengah masyarakat.

Demikian pula kita membaca buku-buku tentang tauhid, seperti risalah ringkas dan bermanfaat dari Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (1420 H) yang berjudul Al-‘Aqidah Ash-Shohihah wa Ma Yudhaddha.

Juga seperti risalah beliau yang lain yang berjudul Qowadih At-Tauhid.

Di mana kita dari risalah-risalah dan buku-buku yang bermanfaat ini, yang sedikit halamannya tetapi banyak manfaatnya?!

Sayangnya, kamu melihat sebagian orang mengadakan perlombaan dan pengumuman tentang kaset-kaset pilihan, yang di dalamnya seringkali tidak ada kaset-kaset yang berkaitan dengan tauhid. Ini adalah kesalahan dan kekurangan, serta penyebab syaiton bergembira, Alloh Yang Maha Pengasih murka, dan kelemahan bagi umat Muhammad.

Aku memohon kepada Alloh yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia, dengan karunia dan keutamaan-Nya, agar Dia menolong agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya, dan menjadikan saya dan kalian sebagai para dai (penyeru) kepada tauhid. Serta agar Dia mengokohkan kita di atas tauhid, mematikan kita di atas tauhid, dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertemu dengan-Nya di atas tauhid, sehingga Dia meridhoi kita dan memasukkan kita ke dalam Jannah-Nya dengan karunia dan keutamaan-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Pelindung dan Mahakuasa atas hal itu.

Semoga Alloh membalas kalian dengan kebaikan.

Disusun oleh:

Dr. Abdul Aziz bin Royyis Ar-Royyis

Pengawas Umum Jaringan Islam Kuno (Al-Atiq):

HTTP://ISLAMANCIENT.COM

 


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url