[PDF] Kesalahan Sebagian Muslimin dalam Tauhid - Dr. Abdul Aziz Ar-Royyis
Unduh PDF
بسم لله الرحمن الرحيم
Sesungguhnya segala puji hanyalah bagi Alloh, kami
memuji-Nya, meminta pertolongan dan ampunan-Nya. Kami berlindung kepada Alloh
dari kejahatan diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Siapa saja yang
diberi petunjuk oleh Alloh, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan siapa
saja yang disesatkan oleh-Nya, maka tidak ada yang bisa memberinya petunjuk.
Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Alloh
semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba
dan Rosul-Nya.
Amma ba’du (adapun setelah itu):
Pada malam Kamis, tanggal 9 bulan Sya’ban tahun 1425 H dari
hijroh Nabi ﷺ,
saya berkumpul bersama kalian di kota Yanbu’, dalam sebuah pelajaran yang
berjudul: “Kesalahan Sebagian Muslim dalam Mengesakan Alloh, Robb Semesta
Alam.”
Saudara-saudaraku: Sesungguhnya tauhid (mengesakan Alloh)
adalah kewajiban yang paling utama. Alloh `Azza wa Jalla berfirman:
﴿وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا﴾
“Sembahlah
Alloh dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.” (QS.
An-Nisa’: 36)
Alloh memulai dengan tauhid, ini menunjukkan bahwa
tauhid adalah kewajiban yang paling utama.
Lawan dan kebalikannya adalah syirik, yaitu dosa yang paling
besar. Sebagaimana firman Alloh Ta’ala:
﴿قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا
بِهِ شَيْئًا﴾
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Marilah kubacakan apa yang Robb kalian haromkan
atas kalian: janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.” (QS.
Al-An’am: 151)
Alloh memulainya dengan larangan syirik, ini
menunjukkan bahwa syirik adalah dosa yang paling besar.
Definisi syirik adalah menyamakan selain Alloh dengan Alloh
dalam sesuatu yang merupakan kekhususan Alloh.
Buktinya adalah firman Alloh Ta’ala:
﴿تَاللَّهِ إِن كُنَّا لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ إِذْ نُسَوِّيكُم بِرَبِّ
الْعَالَمِينَ﴾
“Demi Alloh, sungguh kami dahulu berada dalam kesesatan yang
nyata, karena kami menyamakan kalian dengan Robb semesta alam.” (QS. Asy-Syu’ara’:
97-98)
Alloh `Azza wa Jalla berfirman:
﴿ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ﴾
“Kemudian orang-orang kafir itu menyamakan (sesuatu) dengan
Robb mereka.” (QS. Al-An’am: 1)
Definisi ini disebutkan oleh Abu Al-’Abbas Ibnu
Taimiyah (728 H) dalam kitabnya Al-Istiqomah, juga oleh Imam Ibnul
Qoyyim (751 H) dalam kitabnya Madarij As-Salikin. Begitu pula Imam Abdul
Lathif bin Abdur Rohman bin Hasan dan ayahnya, serta banyak dari para imam
dakwah. Semoga Alloh merohmati mereka semua.
Syirik, yang merupakan dosa paling besar, adalah menyamakan
selain Alloh dengan Alloh dalam sesuatu yang merupakan kekhususan Alloh.
Di antara besarnya dosa syirik adalah bahwa syirik adalah
satu-satunya dosa yang tidak akan diampuni. Alloh Ta’ala berfirman:
﴿إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ
ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ﴾
“Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan
Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’:
48)
Di antara besarnya dosa syirik adalah bahwa syirik
adalah satu-satunya dosa yang menghapus seluruh amal kebaikan. Alloh `Azza
wa Jalla berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad ﷺ:
﴿لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ﴾
“Sungguh jika kamu berbuat syirik, niscaya akan terhapus
semua amalmu dan sungguh kamu benar-benar termasuk orang-orang yang merugi.” (QS.
Az-Zumar: 65)
Bahkan, syirik adalah satu-satunya dosa yang membuat
pelakunya diharomkan masuk Jannah selamanya. Alloh Ta’ala berfirman:
﴿إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ﴾
“Sesungguhnya siapa menyekutukan Alloh, maka Alloh haromkan
atasnya Jannah, dan tempat kembalinya adalah Neraka, dan bagi orang-orang zholim
itu tidak ada penolong.” (QS. Al-Ma’idah: 72)
Ketika syaiton mengetahui bahwa syirik adalah dosa
yang paling besar, maka dia mengerahkan seluruh pasukannya untuk menyesatkan
anak cucu Adam dan menjerumuskan mereka ke dalam syirik. Jika syaiton ingin
menjerumuskan anak Adam ke dalam syirik dan dia memberitahunya bahwa itu adalah
syirik, maka masalahnya akan lebih mudah —meskipun tetap sulit— akan tetapi
jika dia ingin menjerumuskan anak Adam ke dalam syirik, dia akan menggambarkan
syirik itu sebagai amal sholih yang diridhoi Alloh.
Oleh karena itu, di antara tipuan syaiton yang paling besar
kepada anak Adam adalah mengubah nama-nama. Dia menggambarkan tauhid yang
dibawa oleh para Rosul sebagai “membenci orang-orang sholih dan merendahkan
mereka.” Sementara syirik yang para Rosul peringatkan, dia namakan sebagai “mengagungkan
orang-orang sholih.”
Jika seorang dai tauhid bangkit dan memperingatkan dari
syirik, maka orang-orang awam yang telah disesatkan syaiton akan berkata: “Si
fulan memusuhi orang-orang sholih.”
Maka dari itu, syirik menjadi populer di antara banyak kaum
Muslimin.
Imam Ibnul Qoyyim (751 H) berkata: “Sesungguhnya syubhat
dinamakan syubhat karena adanya kemiripan antara kebenaran dan kebatilan di
dalamnya. Syubhat mengenakan pakaian kebenaran pada jasad kebatilan. Kebanyakan
manusia hanya melihat luarnya saja. Maka orang yang melihatnya akan melihat
pakaian yang dikenakan syubhat, lalu dia menyangka syubhat itu benar.
Adapun orang yang memiliki ilmu dan keyakinan, dia tidak
akan tertipu olehnya. Pandangannya akan menembus ke dalam syubhat dan apa yang
ada di balik pakaiannya, sehingga hakikatnya pun terungkap baginya.
Contohnya adalah uang palsu. Orang yang tidak tahu tentang
uang akan tertipu olehnya karena melihat lapisan peraknya. Sedangkan orang yang
ahli dan teliti, pandangannya akan menembus di baliknya sehingga dia tahu bahwa
itu palsu.
Penyampaian yang baik dan fasih bagi syubhat itu seperti
pakaian perak pada uang palsu. Sementara maknanya seperti tembaga yang ada di
dalamnya. Betapa banyak orang yang binasa karena alasan ini, tidak ada yang
tahu jumlahnya selain Alloh.”
Jika orang yang berakal dan cerdas merenungkan dan
memikirkan hal ini, dia akan melihat kebanyakan orang menerima suatu madzhab
atau pendapat dengan satu ungkapan, tetapi menolaknya dengan ungkapan yang
lain. Saya telah melihat banyak hal seperti ini dalam buku-buku manusia. Betapa
banyak kebenaran yang ditolak karena penampilannya yang jelek dan ungkapan yang
buruk.
Tentang hal ini, para imam sunnah, seperti Imam Ahmad dan
yang lainnya, berkata: “Kami tidak akan menghilangkan satu pun sifat Alloh
hanya karena cemoohan yang dilontarkan.” Orang-orang Jahmiyah menamakan
penetapan sifat-sifat sempurna bagi Alloh, seperti sifat hidup, ilmu,
berbicara, mendengar, melihat, dan seluruh sifat yang Alloh terangkan pada
diri-Nya, sebagai “tasybih (penyerupaan)” dan “tajsim
(menjasadkan),” dan orang yang menetapkan sifat-sifat itu sebagai “musyabbih
(menyerupakan).”
Maka, orang yang menjauhi makna kebenaran ini hanya karena
penyebutan yang batil ini hanyalah orang-orang yang berakal kerdil, terbatas,
dan buta mata hatinya.
Setiap golongan dan aliran akan memakaikan kepada ajaran
mereka kata-kata terbaik yang mereka bisa. Ajaran lawan mereka, mereka pakaikan
kata-kata terjelek yang mereka bisa. Siapa saja yang Alloh karuniai bashiroh
(mata hati), maka dia akan mengungkap hakikat kebenaran dan kebatilan di balik
kata-kata itu. Janganlah tertipu oleh kata-kata, sebagaimana dikatakan dalam
makna ini:
“Kamu mengatakan: ini adalah madu lebah,” engkau
memujinya
Jika engkau mau, engkau berkata: “ini adalah muntahan
lebah”
Pujian dan celaan, padahal engkau tidak melewati
deskripsinya
kebenaran terkadang disertai dengan ungkapan yang buruk.
Jika kamu ingin mengetahui hakikat suatu makna, apakah itu
benar atau batil, maka lepaskan ia dari pakaian ungkapannya. Bebaskan hatimu
dari rasa benci dan condong (berat sebelah). Kemudian berikan pandanganmu
haknya, pandanglah dengan mata yang adil. Janganlah kamu termasuk orang yang
melihat pendapat teman-temannya dan orang-orang yang dia berprasangka baik
kepadanya dengan pandangan yang sempurna dan dengan seluruh hatinya, lalu
melihat pendapat musuh-musuhnya dan orang-orang yang dia berprasangka buruk kepadanya
dengan pandangan sekilas dan tidak teliti.
Orang yang melihat dengan mata permusuhan, akan melihat
kebaikan sebagai keburukan. Sedangkan orang yang melihat dengan mata cinta,
kebalikannya. Tidak ada yang selamat dari hal ini, kecuali orang yang Alloh
kehendaki untuk dimuliakan dan diridhoi untuk menerima kebenaran.
Telah dikatakan:
“Mata yang ridho terhadap setiap aib adalah mata yang
buta,
Sebagaimana mata yang marah akan menampakkan
kejelekan-kejelekan.” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1/140)
Pikirkan bagaimana syaiton menipu anak cucu Adam
dengan mengubah nama-nama. Dia menamakan riba sebagai “bunga” agar diterima dan dianggap biasa.
Dia menamakan khomr (minuman keras) yang diharomkan dan dilaknat sebagai “minuman
berenergi” agar
dianggap biasa dan tersebar di tengah masyarakat. Dia menamakan pengingkaran
terhadap kemungkaran sebagai “campur tangan dalam urusan orang lain.”
Dengan cara ini, syaiton berhasil membuat orang-orang
menjauh dari dakwah tauhid. Di antaranya adalah dia menamakan dakwah tauhid sebagai
“merendahkan orang-orang sholih,” dan menamakan syirik sebagai “mengagungkan
orang-orang sholih.”
Ketika syaiton ingin menjerumuskan anak Adam ke dalam
syirik, dia mendatangi mereka melalui pintu kebaikan sampai dia menipu mereka.
Al-Bukhori meriwayatkan dari ‘Atho’ dari Ibnu ‘Abbas,
tentang firman Alloh `Azza wa Jalla:
﴿وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا﴾
“Waddan, Suwa’an, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasron.” (QS. Nuh:
23)
Ibnu ‘Abbas berkata: “Itu adalah nama-nama orang sholih dari
kaum Nabi Nuh. Ketika mereka meninggal, syaiton membisiki kaum mereka: ‘Dirikanlah
patung-patung di tempat-tempat mereka biasa duduk, dan namailah patung-patung
itu dengan nama-nama mereka.’ Maka mereka melakukannya. Patung-patung itu tidak
disembah sampai orang-orang itu meninggal dan ilmu telah hilang, barulah
patung-patung itu disembah.”
Syaiton mendatangi mereka dengan nama semangat beribadah.
Kemudian perlahan-lahan, ketika ilmu terlupakan, orang-orang sholih itu disembah.
Tidakkah kalian lihat bagaimana syaiton menipu anak Adam dan
menyusun rencana atas mereka, meskipun dalam jangka waktu yang sangat lama,
hingga berabad-abad kemudian? Oleh karena itu, para Rosul sepakat untuk
mengajak manusia kepada tauhid, dan memperingatkan mereka dari syirik dan
segala jalannya, agar pintu itu tertutup bagi syaiton.
Imam Ibnul Qoyyim (751 H) berkata: “Syaiton memerintahkan
kepada kebaikan tanpa meyakini itu adalah kebaikan. Syaithon membisikkan: ‘Seruan dakwah ini
adalah dari Alloh,’ dan
‘perbuatan ini dimaafkan.’ Dia
tidak mengetahui bahwa syaiton memerintahkan 70 pintu kebaikan, bisa jadi untuk
sampai ke satu pintu kejahatan, atau bisa jadi untuk menghilangkan kebaikan
yang lebih besar dari 70 pintu tersebut.’” (Badai’ Al-Fawaid, 3/383)
Maka, wajib bagi kita untuk berhati-hati dan waspada
terhadap tipu daya syaiton yang terkutuk. Hal ini tidak akan terjadi—setelah pertolongan
Alloh—melainkan dengan ilmu syar’i.
Lihatlah perkataan Ibnu ‘Abbas: “...sampai ilmu terlupakan,
barulah mereka disembah..” Maksudnya, ketika ilmu dilupakan, barulah mereka
disembah.
Senjata yang menutup pintu-pintu syaiton dan menghentikan
permainannya adalah ilmu syar’i. Maka, bersungguh-sungguhlah dalam menuntut
ilmu syar’i!
Di antara yang menunjukkan pentingnya tauhid adalah bahwa
Alloh `Azza wa Jalla mengutus Rosul pertama ketika syirik mulai terjadi.
Anak Adam hidup selama sepuluh abad tanpa syirik di antara mereka, oleh karena
itu Alloh `Azza wa Jalla tidak mengutus seorang Rosul. Ketika syirik
pertama kali terjadi, yaitu syirik kaum Nabi Nuh, Alloh mengutus Nabi Nuh.
Dalam sepuluh abad ini, terjadi pembunuhan seperti antara
Qobil dan Habil, dan pasti terjadi dosa-dosa yang lebih rendah dari itu,
seperti zina dan pencurian. Meskipun demikian, Alloh `Azza wa Jalla tidak
mengutus seorang Rosul. Alloh hanya mengutus Rosul pertama, yaitu Nabi Nuh,
ketika syirik terjadi.
Ini menunjukkan bahwa tugas utama para Rosul adalah mengajak
manusia kepada tauhid.
Ibnu Hibban meriwayatkan dengan sanad yang nampak shohih
dari Abu Umamah bahwa seseorang bertanya: “Wahai Rosululloh, apakah Adam
seorang Nabi?” Beliau menjawab:
«نَعَم، مُكَلَّمٌ»،
قَالَ: فَكَم كَانَ بَينَهُ وَبَينَ نُوحٍ؟ قَالَ: «عَشَرَةُ قُرُونٍ»
“Ya, diajak bicara [Alloh dengan wahyu].” Orang itu bertanya lagi: “Berapa jarak antara
dia dan Nuh?” Beliau menjawab: “Sepuluh abad.” (HR. Ibnu Hibban)
Oleh karena itu, penting untuk meninjau beberapa
kesalahan sebagian kaum Muslimin dalam mengesakan Alloh, Robb semesta alam.
Kesalahan Pertama: Mengalihkan Ibadah kepada Selain
Alloh
Betapa banyak kaum Muslimin yang mengucapkan kalimat tauhid
dan menganggap diri mereka Muslim, padahal mereka telah tenggelam dalam lautan
syirik!
Di salah satu negara tetangga, pada hari lahir salah satu
orang yang mereka sebut “wali,” berkumpul di kuburannya tiga juta orang. Mereka
thowaf mengelilingi
kuburannya, menyembelih hewan, bernadzar untuknya, meminta kesembuhan, ampunan
dosa, dan penghilangan kesusahan kepadanya. Meskipun demikian, mereka mengklaim
diri mereka sebagai Muslim.
Di salah satu negara tetangga lainnya, di sebuah daerah yang
tidak terlalu besar, terdapat 200
makam yang disembah selain Alloh.
Lihatlah keadaan kaum Muslimin di negara-negara tetangga,
engkau akan melihat mereka mendatangi syirik secara berbondong-bondong atas
nama agama. Kalau saja syaiton tidak mendatangi mereka melalui pintu agama (kultuskan orang sholih yang telah
mati), maka rencana dan syubhatnya tidak akan laku.
Maka kesalahan
pertama yang dilakukan sebagian kaum Muslimin adalah mengalihkan ibadah
kepada selain Alloh. Demi Alloh, saya pernah mendengar dengan telinga saya
sendiri saat thowaf di Ka’bah pada salah satu Romadhon yang lalu, seorang
wanita tua berkata sambil thowaf mengelilingi Baitulloh: “Madad, madad, ya
Rosululloh!” Maksudnya: “Wahai Rosululloh, berikan aku pertolongan untuk
pengampunan, untuk dihilangkan kesusahan, dan untuk dikabulkan hajatku…” dan
seterusnya.
Tidakkah kalian lihat bagaimana banyak kaum Muslimin yang
tenggelam dalam syirik? Inilah sebab utama mengapa orang-orang kafir bisa
mengalahkan kita. Karena, demi Alloh, seandainya kita benar-benar menegakkan
tauhid, niscaya Robb kita akan menolong kita.
Alloh berfirman:
﴿وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ
لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ
أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا﴾
“Alloh telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di
antara kalian dan mengerjakan amal-amal sholih bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa. Sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka
agama yang telah Dia ridhoi untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengubah
(keadaan) mereka, setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa.
Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu pun.” (QS.
An-Nur: 55)
Alloh `Azza wa Jalla berfirman dalam surat
Ar-Rum:
﴿وَعْدَ اللَّهِ لَا يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ، وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ﴾
“Itu adalah janji Alloh. Alloh tidak akan menyalahi
janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 6)
Sudah pasti, seandainya kita benar-benar menegakkan
tauhid Alloh, niscaya Alloh akan menolong kita dengan sungguh-sungguh. Akan
tetapi, demi Alloh, kita tidak layak mendapatkan pertolongan-Nya, karena tersebarnya
syirik di antara banyak kaum Muslimin, kecuali jika Dia mengaruniai kita dengan
keutamaan-Nya, dan Dia adalah Dzat Yang memiliki keutamaan dan karunia.
Kesalahan Kedua: Memahami Kalimat Tauhid Berbeda
dengan Makna Benarnya
Betapa banyak universitas di dunia Islam yang menafsirkan
kalimat tauhid (laa ilaha illalloh) dengan makna yang bertentangan
dengan makna yang dibawa oleh Nabi-Nabi dan Rosul-Rosul Alloh, termasuk Nabi
Muhammad ﷺ!
Betapa banyak kaum Muslimin yang mengatakan bahwa makna laa
ilaha illalloh adalah “tidak ada pencipta kecuali Alloh,” “tidak ada yang
berkuasa menciptakan kecuali Alloh,” dan kalimat-kalimat lainnya yang intinya
mengembalikan penafsiran kalimat tauhid kepada tauhid rububiyah, bukan tauhid
uluhiyah.
Ini adalah kesalahan besar. Karena jika makna kalimat tauhid
(laa ilaha illalloh) adalah “tidak ada pencipta kecuali Alloh,” maka Abu
Jahl, Abu Lahab, dan orang-orang kafir Quroisy lainnya akan menjadi Muslim.
Sebab mereka mengakui bahwa tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur
kecuali Alloh.
﴿وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ
اللَّهُ﴾
“Jika kamu bertanya kepada mereka: ‘Siapa yang menciptakan langit dan bumi?’ Pasti mereka akan menjawab:
“Alloh.” (QS. Luqman: 25)
Alloh berfirman:
﴿قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَن يَمْلِكُ
السَّمْعَ وَالْأَبْصَرَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ
مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ﴾
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Siapa yang memberikan rizki kepada
kalian dari langit dan bumi? Atau siapa yang menguasai pendengaran dan penglihatan? Siapa yang mengeluarkan
yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup? Siapa yang
mengatur segala urusan?’
Maka mereka akan menjawab: ‘Alloh.’ Maka katakanlah: ‘Mengapa kalian tidak
bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31)
Jika makna laa ilaha illalloh adalah “tidak
ada pencipta kecuali Alloh,” niscaya Abu Jahl dan Abu Lahab adalah orang yang
pertama kali beriman. Mereka tidak akan berkata:
﴿أَجَعَلَ الْأَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ﴾
“Mengapa Muhammad
menjadikan banyak
sesembahan hanya satu
sesembahan saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat
mengherankan.” (QS. Shod: 5)
Ini menunjukkan bahwa makna (laa ilaha illalloh)
kembali kepada tauhid uluhiyah. Inilah medan pertempuran para Rosul dengan
mereka, yaitu mengesakan Alloh dalam beribadah.
Di antara yang disebutkan oleh Imam pembaru yang sholih
Muhammad bin Abdul Wahhab (1206 H) adalah bahwa orang-orang kafir Quroisy lebih
baik daripada orang-orang yang terjerumus dalam syirik dari kalangan
orang-orang belakangan. Beliau menyebutkan beberapa sebab, di antaranya adalah
bahwa orang-orang terdahulu tahu makna kalimat tauhid, sedangkan orang-orang
belakangan ini tidak tahu makna kalimat tauhid. Oleh karena itu, salah seorang
dari mereka mengucapkan laa ilaha illalloh, padahal dia menyembelih
untuk selain Alloh dan meminta pertolongan kepadanya.
Kesalahan Ketiga: Berlebih-lebihan dalam
Mengagungkan Orang-orang Sholih
Termasuk Nabi kita Muhammad ﷺ. Betapa banyak sikap berlebih-lebihan
dalam mengagungkan orang-orang sholih di antara anak cucu Adam. Cukuplah bukti
bahwa syirik pertama kali terjadi karena sikap berlebih-lebihan dalam
mengagungkan orang-orang sholih, sebagaimana telah disebutkan dalam tafsir Ibnu
‘Abbas terhadap firman Alloh Ta’ala:
﴿وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا﴾
“Waddan, Suwa’an, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasron.” (QS. Nuh:
23)
Di antara bentuk berlebih-lebihan dalam mengagungkan
Nabi kita Muhammad ﷺ
adalah mengklaim bahwa beliau mengetahui hal yang ghoib. Betapa banyak kaum
Muslimin, seperti kelompok shufiyah dan sejenisnya, yang mengklaim bahwa Rosul
kita ﷺ mengetahui hal yang ghoib. Ini adalah
pendustaan yang jelas terhadap Kitab Alloh dan sunnah Rosul-Nya ﷺ.
Alloh berfirman kepada Nabi-Nya:
﴿وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا
مَسَّنِيَ السُّوءُ﴾
“Seandainya aku mengetahui hal yang ghoib, niscaya aku akan
memperbanyak kebaikan dan aku tidak akan ditimpa keburukan.” (QS. Al-A’rof: 188)
Penjelasan bahwa ilmu ghoib
hanya milik-Nya adalah firman
Alloh:
﴿وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ﴾
“Hanya di sisi-Nyalah kunci-kunci ghoib, tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia.” (QS. Al-An’am: 59)
Tidak ada yang mengetahui apa yang ada di langit dan
bumi serta hal ghoib kecuali Alloh. Maka, siapa saja yang mengklaim bahwa Rosul
kita Muhammad ﷺ
mengetahui hal yang ghoib, sungguh dia telah menyamakan selain Alloh dengan
Alloh dalam sesuatu yang merupakan kekhususan Alloh. Maka dia telah terjerumus
dalam syirik akbar (besar) yang tidak akan diampuni.
Juga di antara bentuk berlebih-lebihan dalam mengagungkan
orang-orang sholih, termasuk Nabi kita yang mulia Muhammad ﷺ, adalah mengklaim bahwa beliau memiliki
hak untuk mengampuni dosa dan memasukkan manusia ke Jannah atau mengeluarkan
mereka dari Neraka.
Ini adalah kesalahan besar. Karena syafa’at —termasuk syafa’at
Rosul kita ﷺ— tidak akan terjadi kecuali setelah
Alloh mengizinkan dan ridho terhadap orang yang akan diberi syafa’at.
Sebagaimana firman Alloh Ta’ala:
﴿وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى﴾
“Mereka tidak memberikan syafa’at melainkan kepada orang
yang Alloh ridhoi.” (QS. Al-Anbiya’: 28)
Firman-Nya:
﴿مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ﴾
“Siapakah yang dapat memberikan syafa’at di sisi-Nya tanpa
izin-Nya?” (QS. Al-Baqoroh: 255)
Al-Bukhori meriwayatkan dari Abu Huroiroh bahwa dia
bertanya kepada Nabi ﷺ:
“Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafa’atmu pada hari Kiamat?”
Beliau menjawab:
«لَقَد ظَنَنتُ يَا أَبَا هُرَيرَةَ أَلَّا يَسأَلَنِي
عَن هَذَا الحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلَ مِنكَ لِمَا رَأَيتُ مِن حِرصِكَ عَلَى الحَدِيثِ،
أَسعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَومَ القِيَامَةِ مَن قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
خَالِصًا مِن قَبلِ نَفسِهِ»
“Aku sudah menduga, wahai Abu Huroiroh, tidak ada seorang pun
yang akan bertanya kepadaku tentang hadits ini sebelum kamu, karena aku melihat
betapa kamu bersemangat dalam mencari hadits. Orang yang paling berbahagia
dengan syafa’atku pada hari Kiamat adalah orang yang mengucapkan ‘laa ilaha
illalloh’ dengan ikhlas dari lubuk hatinya.” (HR. Al-Bukhori)
Disebutkan dalam Ash-Shohihain dari Abu
Huroiroh, dari Nabi ﷺ:
«فَيَأتُونِي فَأَسجُدُ تَحتَ العَرشِ فَيُقَالُ:
يَا مُحَمَّدُ ارفَعْ رَأسَكَ، وَاشفَعْ تُشَفَّعْ، وَسَل تُعْطَهْ»
“Maka mereka mendatangiku, lalu aku sujud di bawah ‘Arsy, lalu
dikatakan: ‘Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, berikanlah syafa’at niscaya
engkau akan diberi syafa’at, dan mintalah niscaya engkau akan diberi.’” (HR.
Al-Bukhori dan Muslim)
Jadi, beliau tidak akan memberikan syafa’at kecuali
setelah Alloh `Azza wa Jalla mengizinkannya. Lalu bagaimana bisa
dikatakan bahwa beliau memiliki hak untuk mengampuni dosa? Ini sama sekali
bukan merendahkan beliau, tidak demi Alloh. Akan tetapi, ini adalah bentuk
ketaatan terhadap perintahnya dan perintah Alloh, serta menempatkan beliau pada
kedudukannya.
Sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori
dari ‘Umar:
«لَا تُطرُونِي كَمَا أَطرَتِ النَّصَارَى ابنَ مَريَمَ؛ فَإِنَّمَا
أَنَا عَبدُهُ، فَقُولُوا: عَبدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ»
“Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana
orang-orang Nashoro (Nasroni)
berlebih-lebihan memuji ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya,
maka katakanlah: ‘Hamba Alloh dan Rosul-Nya.’” (HR. Al-Bukhori)
Beliau bersabda dalam hadits Ibnu Mas’ud dalam Ash-Shohihain:
«إِنَّمَا أَنَا
بَشَرٌ مِثلُكُم أَنسَى كَمَا تَنسَونَ»
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa seperti kalian, aku
lupa sebagaimana kalian lupa.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Beliau adalah manusia biasa. Maka, siapa saja yang
berkata bahwa beliau tidak mengetahui hal ghoib dan tidak boleh
berkeyakinan bahwa beliau memiliki hak untuk mengampuni dosa, memasukkan
manusia ke Jannah, dan seterusnya, sesungguhnya dia hanya mengatakan apa yang
diperintahkan oleh Alloh dan Rosul-Nya.
Kesalahan Keempat: Mendatangi Tukang Sihir, Dukun,
dan Peramal
Terkadang sebagian Muslim diuji dengan penyakit pada
dirinya, istri, anak, atau teman dekatnya. Lalu dia pergi ke dokter, mengetuk
pintu-pintu mereka, dan meminta kesembuhan kepada Allah dengan melakukan sebab-sebab yang Alloh mudahkan.
Hal ini tidaklah tercela.
Namun, yang tercela adalah sebagian dari mereka, jika tidak
menemukan kesembuhan dan obat dari dokter, setelah itu mereka pergi ke tukang
sihir, peramal, dan dukun. Mereka meminta kesembuhan kepada mereka dan meminta
pertolongan kepada mereka dan jin-jin mereka agar menghilangkan bahaya yang
menimpanya. Ini adalah hal yang berbahaya.
Alloh `Azza wa Jalla berfirman:
﴿وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَنُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ
النَّاسَ السِّحْرَ﴾
“Sulaiman tidaklah kafir, akan tetapi syaiton-syaitonlah
yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” (QS. Al-Baqoroh: 102)
Kemudian di akhir ayat, Alloh berfirman:
﴿وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ
خَلَاقٍ﴾
“Sungguh mereka telah mengetahui bahwa siapa yang menukarnya
(dengan iman), maka tidak ada baginya di Akhirat sedikit pun bagian.” (QS.
Al-Baqoroh: 102)
Maksudnya, tidak ada baginya bagian sedikit pun di Akhirat.
Imam Ahmad meriwayatkan dari sebagian istri Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
«مَن أَتى عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ
لَم تُقبَل لَهُ صَلاةٌ أَربَعِينَ يَومًا»
“Siapa mendatangi peramal lalu membenarkan apa yang
dikatakannya, maka Sholatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari.” (HR.
Ahmad)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Huroiroh:
«فَقَد كَفَرَ بِمَا أُنزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ ﷺ»
“Sungguh dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada
Muhammad ﷺ.” (HR. Ahmad)
Ini adalah masalah yang berbahaya. Seorang Muslim
harus berhati-hati, dan tidak merusak agama serta Akhiratnya dengan harga yang
murah. Kewajiban adalah bersabar, terus bersabar, dan berharap pahala dari
Alloh. Hendaklah dia tahu bahwa apa yang menimpanya adalah takdir Alloh.
Seandainya Alloh berkehendak, niscaya Dia akan menghilangkannya dengan
firman-Nya: “Jadilah!” maka jadilah.
Maka, bersungguh-sungguhlah untuk kembali kepada Alloh dan
bersabar. Sebagaimana firman Alloh Ta’ala:
﴿اصْبِرُوا وَصَابِرُوا﴾
“Bersabarlah dan kuatkanlah kesabaran kalian.” (QS. Ali ‘Imron:
200)
Juga firman Alloh Ta’ala:
﴿إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ﴾
“Hanyalah orang-orang yang bersabar yang disempurnakan
pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)
Juga sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori
dan Muslim dari hadits Abu Sa’id, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«وَمَن يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ، وَمَا
أُعطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيرًا وَأَوسَعَ مِنَ الصَّبرِ»
“Siapa yang berusaha bersabar, Alloh akan menjadikannya sabar. Tidaklah
seseorang diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada
kesabaran.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Al-Bukhori meriwayatkan secara mu’allaq dari ‘Umar
Rodhiyallahu ‘Anhu bahwa beliau berkata:
«وَجَدْنَا خَيْرَ عَيْشِنَا بِالصَّبْرِ»
“Kami menemukan sebaik-baik kehidupan kami adalah dengan
kesabaran.” (HR. Al-Bukhori)
Waspadalah terhadap tukang sihir dan peramal yang
muncul di hadapan manusia dengan nama “tabib (dokter) tradisional.” Saya tidak
bermaksud bahwa semua tabib tradisional adalah tukang sihir, tidak. Akan
tetapi, maksud saya adalah bahwa ada tukang sihir dan peramal yang muncul di
hadapan manusia dengan nama pengobatan tradisional dan Arab.
Jika ada yang bertanya: “Bagaimana cara membedakan antara
tabib yang jujur dan tukang sihir yang pendusta?”
Jawabannya: “Dengan melihat pertanyaan-pertanyaannya.
Misalnya dia menanyakan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan penyakit,
seperti: ‘Siapa nama ibumu?’
Atau dia menyebutkan hal-hal yang tidak ada hubungannya
dengan penyakit, seperti: ‘Kamu telah membunuh kucing pada tahun sekian,’ atau ‘di
perutmu ada tahi lalat,’ atau ‘ambillah uang ini lalu lemparkan di tempat ini,’
atau ‘ambil ayam betina atau jantan lalu sembelihlah di tempat buang air besar,’
dan seterusnya.
Jika kamu melihatnya menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang
tidak ada hubungannya dengan penyakit, maka lari dan selamatkanlah agamamu.
Karena kamu sedang berada di hadapan tukang sihir dan penipu. Selamatkan agama karena ia paling berharga.
Saya memperingatkan kalian dari beberapa majalah yang memuat
ramalan bintang, seperti bintang Taurus dan yang lainnya. Mereka mengatakan: ‘Jika
kamu lahir di bintang anu, maka kamu beruntung,’ dan ‘jika kamu lahir di
bintang anu, maka kamu celaka,’ dan seterusnya.
Ini termasuk perdukunan dan peramalan, dan itu diharomkan
dalam agama Alloh. Siapa yang meyakini kebenaran mereka dan bahwa mereka
mengetahui hal ghoib secara mandiri, maka dia telah terjerumus dalam syirik
akbar (besar). Adapun orang yang melihatnya tanpa membenarkannya, Sholatnya
tidak akan diterima selama 40 hari, dan ini termasuk kekafiran terhadap apa
yang diturunkan kepada Muhammad ﷺ,
dengan rincian dalam masalah ini.
Kesalahan
Kelima: Meyakini Bahwa Alloh Berada di Setiap Tempat
Jika kamu
bertanya kepada seseorang: “Di mana Alloh?” Dia akan menjawab: “Di setiap
tempat.”
Ini adalah
kekufuran, kemurtadan, dan keluar dari agama. Karena ini mendustakan Kitab
Alloh, sunnah Rosul-Nya, ijma’ (kesepakatan) para ulama, fitroh, dan akal.
Adapun
Kitab Alloh, itu mutawatir (diriwayatkan secara luas) dalam menjelaskan bahwa
Alloh ada di atas langit. Sebagaimana Alloh `Azza wa Jalla berfirman:
﴿الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى﴾
“Ar-Rohman
di atas ‘Arsy.” (QS. Thoha: 5)
Juga firman-Nya:
﴿أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يَخْسِفَ
بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ﴾
“Apakah
kalian merasa aman terhadap Dzat yang di atas langit bahwa Dia akan membenamkan
kalian ke dalam bumi sehingga tiba-tiba bumi itu berguncang?” (QS. Al-Mulk:
16)
Adapun Sunnah Nabi, itu mutawatir
dalam menjelaskan bahwa Alloh ada di atas langit. Sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Muslim dari hadits Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami bahwa Nabi ﷺ bertanya kepada seorang budak
wanita:
«أَيْنَ اللَّهُ؟»
قَالَت: فِي السَّمَاءِ، قَالَ: «مَن أَنَا؟» قَالَت: أَنتَ رَسُولُ اللَّهِ، قَالَ:
«أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤمِنَةٌ»
“Di
mana Alloh?” Budak itu menjawab: “Di langit.” Beliau bertanya lagi: “Siapa aku?”
Budak itu menjawab: “Engkau adalah Rosululloh.” Beliau bersabda: “Merdekakanlah
dia, karena dia adalah Mukminah.” (HR. Muslim)
Ijma’ (kesepakatan) bahwa Alloh ada
di atas langit telah diceritakan oleh banyak ulama. Di antaranya adalah Imam
Abu Al-’Abbas Ibnu Taimiyah (728 H) dalam ‘Aqidah Al-Wasiithiyyah, di
mana dia menjadikannya sebagai keyakinan para Salaf.
Beliau juga
berkata dalam Al-Fatwa Al-Hamawiyah Al-Kubra, Abdullah bin Ahmad dan
yang lainnya meriwayatkan dengan sanad yang shohih dari Ibnul Mubarok (181 H)
bahwa dia ditanya: “Dengan apa kita mengenal Robb kita?” Dia menjawab:
«بِأَنَّهُ فَوقَ
سَمَاوَاتِهِ عَلَى عَرشِهِ بَائِنٌ مِن خَلقِهِ، وَلَا نَقُولُ كَمَا تَقُولُ الجَهمِيَّةُ:
إِنَّهُ هَاهُنَا فِي الأَرضِ»
“Dia
di atas langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Kita tidak
mengatakan sebagaimana orang Jahmiyah mengatakan: ‘Dia ada di sini, di bumi.’”
Demikian
pula yang dikatakan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya.
Diriwayatkan
dengan sanad yang shohih dari Sulaiman bin Harb (224 H), seorang imam, bahwa
dia mendengar Hammad bin Zaid (179 H) menyebut orang-orang Jahmiyah. Lalu dia
berkata: “Mereka hanyalah berusaha untuk mengatakan bahwa tidak ada sesuatu pun
di langit.”
Ibnu Abi
Hatim meriwayatkan dalam kitab Ar-Rodd ‘ala Al-Jahmiyah dari Sa’id bin ‘Amir
Adh-Dhoba’i (208 H)—imam penduduk Bashroh dalam ilmu dan agama, salah satu guru
Imam Ahmad—bahwa ketika disebutkan orang-orang Jahmiyah di sisinya, dia
berkata: “Perkataan mereka lebih buruk dari orang-orang Yahudi dan Nashoro.
Orang-orang Yahudi dan Nashoro serta para penganut agama lain bersepakat dengan
kaum Muslimin bahwa Alloh ada di atas ‘Arsy, sedangkan mereka (orang-orang
Jahmiyah) mengatakan: ‘Tidak ada di atas sesuatu apa pun.’”
Muhammad
bin Ishaq bin Khuzaimah (311 H), imam para imam, berkata:
مَن لَم يَقُلْ: إِنَّ
اللَّهَ فَوقَ سَمَوَاتِهِ عَلَى عَرشِهِ بَائِنٌ مِن خَلقِهِ، وَجَبَ أَن يُستَتَابَ،
فَإِن تَابَ وَإِلَّا ضُرِبَت عُنُقُهُ، ثُمَّ أُلقِيَ عَلَى مَزبَلَةٍ؛ لِئَلَّا يَتَأَذَّى
بِرِيحِهِ أَهلُ القِبلَةِ وَلَا أَهلُ الذِّمَّةِ
“Siapa
yang tidak mengatakan bahwa Alloh berada di atas langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya,
terpisah dari makhluk-Nya: wajib untuk diminta bertaubat. Jika dia bertaubat
(maka baik), jika tidak, lehernya dipenggal, lalu dilemparkan ke tempat sampah.
Agar penduduk kiblat dan ahli dzimmah tidak terganggu oleh baunya.”
Hal ini
disebutkan oleh Al-Hakim dengan sanad yang shohih.
Abdullah
putra Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari ‘Abbad bin Al-’Awam
Al-Wasithy (185 H), imam penduduk Wasith dari generasi guru-guru Asy-Syafi’i
dan Ahmad, bahwa dia berkata:
«فَرَأَيتُ آخِرَ
كَلَامِهِم يَنتَهِي أَن يَقُولُوا: لَيسَ فِي السَّمَاءِ شَيءٌ»
“Aku
berbicara dengan Bisyr Al-Mirisy (218 H) dan teman-teman Bisyr. Aku melihat
bahwa akhir dari perkataan mereka adalah mengatakan: ‘Tidak ada sesuatu pun di
langit.’”
Dari Abdur
Rohman bin Mahdi (198 H), imam yang terkenal, dia berkata:
«لَيسَ فِي أَصحَابِ
الأَهوَاءِ شَرٌّ مِن أَصحَابِ جَهمٍ، يَدُورُونَ عَلَى أَن يَقُولُوا: لَيسَ فِي السَّمَاءِ
شَيءٌ، أَرَى وَاللَّهِ أَلَّا يُنَاكِحُوا وَلَا يُوَارَثُوا»
“Tidak
ada di antara penganut hawa nafsu yang lebih buruk dari pengikut Jahm. Mereka
berkeliling untuk mengatakan: ‘Tidak ada sesuatu pun di langit.’ Demi Alloh,
aku berpendapat agar mereka tidak dinikahi dan tidak diwarisi.” (HR.
Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah)
Adapun fitroh (naluri): Kamu melihat
kita, jika ingin berdoa, kita mengangkat tangan kita ke langit. Demi Alloh,
beritahu aku: Apa yang membuat kita mengangkat tangan kita ke langit kecuali
fitroh yang Alloh ciptakan pada diri kita?!
Adapun
akal, jika kamu ditanya: “Mana tempat yang lebih baik, atas atau bawah?”
Tidak
diragukan lagi, akal menunjukkan bahwa tempat yang tinggi lebih baik dari
tempat yang rendah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ahmad dalam
bantahannya terhadap orang-orang zindiq, dan Imam Ibnu Taimiyah (728 H) dalam Bayan
Talbis Al-Jahmiyyah, serta Imam Ibnul Qoyyim (751 H) dalam kitabnya Ash-Showaiq
Al-Mursalah.
Maka,
bersungguh-sungguhlah kita meyakini dengan yakin dan mantap bahwa Alloh ada di atas
langit. Namun, ilmu-Nya ada di setiap tempat, Dia mengetahui kita dan segala
yang terjadi.
Dia Subhanahu
ada di atas, bersemayam di atas ‘Arsy-Nya. Sedangkan ilmu-Nya, yang
merupakan sifat-Nya, meliputi segala sesuatu yang telah terjadi, yang sedang
terjadi, yang akan terjadi, dan seandainya sesuatu itu terjadi, bagaimana
terjadinya, sesungguhnya Dia mengetahuinya Subhanahu.
Maka,
janganlah kamu mencampuradukkan antara dua hal ini. Jika kamu ditanya: “Di mana
Alloh?” Maka jawablah dengan yakin: “Dia di langit, tinggi di atas ‘Arsy-Nya.”
Sebagaimana Dia kabarkan dalam tujuh ayat, dan di antaranya adalah firman-Nya:
﴿الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى﴾
“Ar-Rohman tinggi
di atas ‘Arsy.” (QS. Thoha: 5)
Sedangkan ilmu-Nya, ada di setiap
tempat.
Kesalahan
Keenam: Lemahnya Akidah Al-Wala’ wal Baro’
Ringkasan
akidah ini adalah: mencintai orang-orang yang beriman sesuai kadar keimanan
mereka, membenci orang-orang kafir secara mutlak, dan membenci ahli bid’ah
secara mutlak sesuai kadar bid’ah mereka, dan adapun ahli maksiat dibenci
sesuai kadar maksiat mereka. Inilah akidah al-wala’ wal baro’, dan
kedudukannya dalam syari’at sangat agung.
Abu Al-Wafa’
Ibnu ‘Aqil (513 H) berkata: “Jika kamu ingin mengetahui kedudukan Islam dari
penduduk zaman, maka janganlah kamu melihat ramainya mereka di pintu-pintu
Masjid, dan jangan pula melihat hiruk pikuk mereka dengan ucapan: ‘Labbaik
(talbiyyah).’ Akan tetapi, lihatlah kesesuaian mereka terhadap musuh-musuh
syari’at.” (Ad-Duror As-Saniyyah, 8/300)
Dengan ini, Ibnu ‘Aqil memberikan
timbangan kepada kita tentang kekuatan Islam. Bukan dengan banyaknya orang yang
Haji dan Umroh, bukan pula dengan ramainya orang-orang di pintu-pintu Masjid,
akan tetapi timbangannya adalah bagaimana keadaan hati dan amalan mereka
terhadap orang-orang kafir. Apakah mereka membenci orang-orang kafir karena
kekafiran mereka, dan membenci ahli bid’ah karena bid’ah mereka?
Jika
demikian, maka ketahuilah bahwa Islam itu kuat. Namun, jika sebaliknya, maka
ketahuilah bahwa ada kelemahan dalam Islam.
Akidah al-wala’
wal baro’ adalah akidah yang seimbang dan kokoh. Sebagian kelompok bersikap
berlebih-lebihan dalam akidah ini dan menjadikan beberapa hal sebagai bagian
dari akidah baro’ (berlepas diri) dari orang-orang kafir, padahal tidak
demikian.
Di antaranya
adalah anggapan sebagian orang bahwa salah satu bentuk penegakan akidah ini
adalah membunuh orang-orang yang mengadakan perjanjian damai dan orang-orang
yang dilindungi (musta’man).
Imam
Muhammad bin Abdul Wahhab (1206 H) berkata: “Di antaranya adalah keberanian
terhadap perjanjian damai kaum Muslimin. Apabila salah seorang Muslim, baik
amir atau selainnya, memberikan jaminan aman kepada salah seorang kafir, maka
tidak halal bagi seorang Muslim pun untuk melanggarnya, baik terhadap darahnya
maupun hartanya.”
Sebagaimana
disebutkan dalam hadits:
«ذِمَّةُ المُسلِمِينَ
وَاحِدَةٌ، يَسعَى بِهَا أَدنَاهُم، فَمَن أَخفَرَ مُسلِمًا فَعَلَيهِ لَعنَةُ اللَّهِ
وَالمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجمَعِينَ، لَا يَقبَلُ اللَّهُ مِنهُ يَومَ القِيَامَةِ
صَرفًا وَلَا عَدلًا»
“Jaminan
aman kaum Muslimin itu satu, diberikan oleh orang yang paling rendah
kedudukannya di antara mereka. Siapa melanggar jaminan aman seorang Muslim,
maka baginya laknat Alloh, Malaikat, dan seluruh manusia. Alloh tidak akan
menerima darinya pada hari Kiamat shorf (tebusan) dan ‘adl (amal
wajib).” (HR. Ibnu Majah)
Sungguh mengherankan, sebagian orang
jahil melakukan ini dengan alasan agama dan mengira itu adalah bentuk memusuhi
orang-orang kafir. (Ad-Duror As-Saniyyah fi Al-Ajwibah An-Najdiyah, 14/10)
Sesungguhnya membunuh orang-orang
kafir yang mengadakan perjanjian damai adalah sangat diharomkan dalam agama
Muhammad ﷺ.
Al-Bukhori
meriwayatkan dari hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash bahwa beliau berkata:
«مَن قَتَلَ مُعَاهَدًا
لَم يَرحْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِن مَسِيرَةِ أَربَعِينَ
عَامًا»
“Siapa
membunuh orang kafir yang memiliki perjanjian damai, dia tidak akan mencium bau
Jannah. Padahal baunya bisa tercium dari jarak 40 tahun perjalanan.” (HR.
Al-Bukhori)
Orang-orang yang berlebih-lebihan
dalam akidah al-wala’ wal baro’ ini telah terjerumus dalam beberapa
kesalahan.
Pertama: Mereka meyakini sesuatu yang
bertentangan dengan agama Alloh.
Kedua: Mereka terjerumus dalam sikap
berlebih-lebihan, dan sikap berlebih-lebihan itu diharomkan dalam agama.
Ketiga: Mereka menyebabkan orang-orang
kafir berkuasa atas kaum Muslimin.
Keempat: Mereka menyebabkan lemahnya akidah al-wala’
wal baro’. Karena ketika orang-orang melihat orang-orang yang
berlebih-lebihan dalam akidah al-wala’ wal baro’, mereka akan mengalami
reaksi yang berlebihan dan mengurangi pembicaraan tentangnya, agar sikap
berlebih-lebihan tidak menyebar di antara masyarakat.
Perlu diketahui
bahwa ada sebagian orang yang lalai dalam menegakkan akidah ini.
Di antara
bentuk kelalaian mereka adalah menyerupai orang-orang kafir.
Abu Dawud
meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«مَن تَشَبَّهَ
بِقَومٍ فَهُوَ مِنهُم»
“Siapa
menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka.” (HSR. Abu Dawud)
Di antara konsekuensi dari akidah
yang penuh berkah ini adalah haromnya menyerupai orang-orang kafir. Sebaliknya,
seorang Muslim harus bangga dengan bahasanya dan penampilannya yang lahiriah,
serta berbeda dengan orang-orang kafir dalam hal-hal yang menjadi ciri khas
mereka. Adapun hal-hal yang tersebar dan umum di kalangan Muslim dan kafir,
maka tidak boleh bagi siapapun untuk melarang kaum Muslimin melakukannya hanya
karena orang-orang kafir juga melakukannya. Masalah ini memiliki rincian yang
tidak cocok untuk pembahasan ringkas seperti ini.
Di antara
bentuk kelalaian adalah anggapan sebagian orang bahwa permusuhan hanya berlaku
bagi orang kafir harbi (yang memerangi). Adapun orang-orang kafir yang tidak
memerangi, maka kita tidak membenci dan memusuhi mereka.
Ini adalah
kesalahan yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Karena Alloh berfirman:
﴿لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ
أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ
الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَئِكَ
حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِفُونَ﴾
“Kamu tidak
akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Alloh dan hari Akhirat, saling
berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Alloh dan Rosul-Nya,
sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapaknya sendiri, anak-anaknya sendiri,
saudara-saudaranya sendiri, atau keluarganya sendiri. Mereka itulah orang-orang
yang Alloh telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka
dengan roh (pertolongan) dari-Nya. Alloh akan memasukkan mereka ke dalam
Jannah-Jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya. Alloh ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap-Nya. Mereka
itulah golongan Alloh. Ketahuilah, sesungguhnya golongan Alloh itulah
orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Mujadilah: 22)
Kita diperintahkan untuk membenci
orang-orang kafir meskipun mereka adalah bapak-bapak kita, anak-anak kita,
saudara-saudara kita, dan kaum keluarga kita. Karena mereka adalah orang-orang
kafir yang menentang Alloh dan Rosul-Nya, bukan karena mereka memerangi kita.
Ini tidak
bertentangan dengan berbuat baik kepada orang yang tidak memerangi. Sebagaimana
Alloh Ta’ala berfirman:
﴿لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ
يُقَتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ
وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴾
“Alloh
tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang
yang tidak memerangi kalian karena agama, dan tidak mengusir kalian dari kampung
halaman kalian. Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS.
Al-Mumtahanah: 8)
Sebagaimana di dalam hati bisa
berkumpul rasa cinta terhadap obat yang rasanya pahit karena manfaatnya,
sekaligus membenci rasanya.
Di antara
bentuk kelalaian kaum Muslimin dalam akidah yang penuh berkah ini adalah
mendahului orang-orang kafir dalam mengucapkan salam.
Muslim
meriwayatkan dari hadits Abu Huroiroh bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«لَا تَبدَءُوا
اليَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ، فَإِذَا لَقِيتُم أَحَدَهُم فِي طَرِيقٍ
فَاضطَرُّوهُ إِلَى أَضيَقِهِ»
“Janganlah
kalian mendahului orang Yahudi dan Nashoro dalam mengucapkan salam. jika kalian
bertemu salah seorang dari mereka di jalan, maka desaklah dia ke jalan yang
paling sempit.” (HR. Muslim)
Maka, bersungguh-sungguhlah kita
menegakkan akidah yang penuh berkah ini tanpa berlebih-lebihan dan tanpa
kelalaian. Kita ingat firman Alloh `Azza wa Jalla:
﴿قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ
وَالَّذِينَ مَعَهُ﴾
“Sungguh
telah ada bagi kalian teladan yang baik pada ‘Ibrohim dan orang-orang yang
bersamanya.” (QS. Al-Mumtahanah: 4).
Ketahuilah
bahwa Nabi ‘Ibrohim ﷺ
berbicara kepada bapaknya dan kaumnya:
﴿إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَاءُ
مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا
وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ﴾
“Ketika
mereka berkata kepada kaumnya: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan
dari apa yang kalian sembah selain Alloh. Kami ingkari (kekafiran) kalian, dan
telah tampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian untuk
selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Alloh saja’.” (QS.
Al-Mumtahanah: 4)
Lihatlah bagaimana Nabi ‘Ibrohim ﷺ menegakkan akidah yang penuh
berkah ini, dan Alloh telah menjadikan beliau sebagai teladan yang baik bagi
kita.
Sangat
menyakitkan dan disayangkan, salah satu orang yang terfitnah di sebuah stasiun
televisi berkata: “Saya tidak mengkafirkan orang-orang Nashoro, Yahudi, Budha,
dan lainnya.”
Ini adalah
penyimpangan dan keluar dari agama. Karena siapa yang tidak mengkafirkan orang
yang Alloh dan Rosul-Nya kafirkan, seperti orang Yahudi dan Nashoro, maka dia
adalah kafir menurut ijma’ kaum Muslimin.
Syaikhul
Islam Abu Al-‘Abbas Ibnu Taimiyah (728 H) berkata: “Siapa yang tidak mengharomkan
beragama—setelah diutusnya Nabi ﷺ—dengan
agama Yahudi dan Nashoro, bahkan siapa yang tidak mengkafirkan dan membenci
mereka, maka dia bukanlah seorang Muslim menurut kesepakatan kaum Muslimin.” (Ro’su
Al-Husain, 194)
Alloh Ta’ala berfirman:
﴿لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ
ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ﴾
“Sungguh
telah kafir orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya Alloh adalah salah satu
dari yang tiga’.” (QS. Al-Ma’idah: 73)
Dia berfirman:
﴿لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ
الْكِتَابِ﴾
“Orang-orang
kafir dari kalangan Ahli Kitab.” (QS. Al-Bayyinah: 1)
Maksudnya: Yahudi, Nashoro, dan
orang-orang musyrik.
Alloh
mengkafirkan mereka, sedangkan orang ini mendustakan firman Alloh dan tidak
mengkafirkan mereka. Maka, perbuatan dan perkataannya adalah penyimpangan dan
keluar dari agama.
Dengan ini,
kamu akan mengerti kesalahan dari apa yang sebagian orang serukan, yaitu
tentang mendekatkan agama-agama, dan penyatuan agama-agama.
Karena
agama Islam itu mulia, tidak ridho untuk mendekati siapapun, dan tidak ridho
untuk bersama siapapun. Akan tetapi, dia adalah agama yang benar pada dirinya
sendiri, yang menganggap setiap agama selainnya adalah kekufuran yang menyebabkan
pelakunya kekal di dalam Neraka.
Muslim
meriwayatkan dari Abu Huroiroh bahwa Rosululloh ﷺ bersabda:
«وَالَّذِي نَفسُ
مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسمَعُ بِي أَحَدٌ مِن هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا
نَصرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَم يُؤمِنْ بِالَّذِي أُرسِلتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِن
أَصحَابِ النَّارِ»
“Demi
Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah seorang pun dari umat ini,
Yahudi maupun Nashoro, mendengar tentang aku, lalu dia mati dan tidak beriman
kepada apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni Neraka.” (HR.
Muslim)
Maka, bersungguh-sungguhlah kita dalam
berbangga dengan akidah yang penuh berkah ini.
Saya ingatkan
bahwa kita harus membedakan antara keadaan kuat dan keadaan lemah.
Diperbolehkan dalam keadaan kuat sesuatu yang tidak boleh dalam keadaan lemah.
Di antaranya adalah jihad tholab (menyerang musuh), itu adalah tuntutan
syar’i dalam keadaan kuat, berbeda dengan keadaan lemah.
Bukti yang
paling jelas untuk hal itu adalah petunjuk praktis Rosululloh ﷺ. Di Makkah, jihad tidak
disyari’atkan karena kelemahan Rosululloh ﷺ dan para Shohabatnya. Berbeda
dengan ketika beliau pindah ke Madinah. Jihad tholab disyari’atkan
ketika kaum Muslimin telah kuat, sebagaimana firman Alloh Ta’ala:
﴿قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ، وَلَا
يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ
عَن يَدٍ وَهُمْ صَغِرُونَ﴾
“Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari Akhirat, dan mereka tidak
mengharomkan apa yang diharomkan Alloh dan Rosul-Nya, dan tidak beragama dengan
agama yang benar, yaitu dari orang-orang yang diberi Kitab, sampai mereka
membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS.
At-Taubah: 29)
Aku memohon kepada Alloh kemuliaan
bagi Islam dan kaum Muslimin, dan ditinggikannya bendera tauhid dan sunnah.
Kesalahan
Ketujuh: Riya’ (Pamer Amal)
Tahukah kamu apa itu riya’? Riya’
adalah beribadah kepada Alloh karena orang lain. Orang yang Sholat karena orang
lain, orang yang berdzikir karena orang lain, orang yang mengajar karena orang
lain, orang yang bersedekah karena orang lain.
Riya’ ini
berbahaya dan banyak tersebar. Buktinya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan Al-Baihaqi dari Mahmud bin Labid bahwa Nabi ﷺ bersabda kepada para Shohabatnya—dan
mereka adalah Shohabatnya:
«أَخوَفُ مَا
أَخَافُ عَلَيكُمُ الشِّركَ الأَصغَرَ»، فَلَمَّا سُئِلَ عَنهُ، قَالَ: «الرِّيَاءُ»
“Sesungguhnya
hal yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik ashghor
(kecil).” Ketika ditanya tentangnya, beliau menjawab: “Riya’.” (HR. Ahmad
dan Al-Baihaqi)
Muslim meriwayatkan dari hadits Abu
Huroiroh dalam hadits qudsi, Alloh Ta’ala berfirman:
«أَنَا أَغنَى
الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّركِ، مَن عَمِلَ عَمَلًا أَشرَكَ مَعِي فِيهِ غَيرِي، تَرَكتُهُ
وَشِركَهُ»
“Aku
adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Siapa yang beramal suatu
amalan lalu dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku di dalamnya, maka Aku akan
meninggalkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim)
Jadi, masalah ini berbahaya, wahai
saudara-saudara. Bahkan syirik ashghor seperti riya’ lebih besar dari
dosa-dosa besar. Lebih besar dosanya dari zina dan dosa-dosa lainnya,
dan ini banyak tersebar.
Aku memohon
kepada Alloh dengan karunia, keutamaan, kemurahan, dan kemuliaan-Nya agar Dia
melindungiku dan kalian darinya, serta menjaga kita dari dosa besar ini dan
dosa-dosa lainnya dengan karunia dan keutamaan-Nya.
Riya’ ini
merusak amal, menghapus pahalanya, dan menyiksa pelakunya.
Saya ingatkan
bahwa banyak orang yang gemar menunjukkan amal sholihnya di hadapan orang lain
untuk memotivasi mereka. Ini benar dan merupakan hal yang baik, akan tetapi
jangan terlalu sering melakukannya. Agar syaiton tidak menipumu sehingga kamu
jatuh ke dalam riya’. Karena orang pertama yang dinyalakan api Neraka untuk
mereka ada tiga orang—sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abu
Huroiroh: seorang alim yang membaca Kitab Alloh, seorang mujahid, dan seorang
yang bersedekah. Maka berhati-hatilah.
Aku memohon
kepada Alloh agar melindungi aku dan kalian dari dosa besar ini.
Kesalahan
Kedelapan: Lemahnya Tawakkal di Hati Kita
Betapa
lemahnya akidah tawakkal di hati kita!
Banyak dari
kita yang hatinya bergantung pada sebab-sebab duniawi, melupakan Robb yang menciptakan
sebab-sebab itu.
Maka,
bersungguh-sungguhlah kita menguatkan tawakkal kepada Robb kita `Azza wa
Jalla.
﴿وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ﴾
“Hanya kepada
Alloh-lah kalian bertawakkal, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (QS.
Al-Maidah: 23)
Dia berfirman:
﴿وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ﴾
“Siapa yang
bertawakkal kepada Alloh, niscaya Dia akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS.
Ath-Tholaq: 3)
Namun, janganlah kamu memahami bahwa
tawakkal itu berarti tawakkul, yaitu meninggalkan sebab-sebab. Akan
tetapi, jadilah pertengahan, lakukanlah sebab-sebab yang dibolehkan syari’at,
dan biarkan hatimu bergantung kepada Robb yang menciptakan sebab-seebab.
Adapun
orang yang meninggalkan sebab-sebab, Ibnu Taimiyah (728 H) menjelaskan hal ini
dengan perkataannya: “Ketergantungan kepada sebab-sebab adalah syirik dalam
tauhid, dan menghilangkan sebab-sebab dari keberadaannya sebagai sebab adalah
kekurangan dalam akal, dan berpaling dari sebab-sebab yang diperintahkan adalah
celaan dalam syari’at. Maka, seorang hamba harus menjadikan hatinya bergantung
kepada Alloh, bukan kepada sebab apa pun. Alloh akan mudahkan baginya
sebab-sebab yang memperbaiki dirinya di dunia dan Akhirat.” (Majmu’
Al-Fatawa, 8/528)
Betapa banyak orang, baik pelajar,
orang tua, maupun lainnya, yang berkata: “Kami tidak punya pekerjaan, apakah
saya akan mendapatkan pekerjaan jika sudah lulus atau tidak?”
Hatinya
bergantung pada pekerjaan-pekerjaan itu, melupakan Robbnya. Lakukanlah
sebab-sebab yang syar’i, dan bertawakkallah kepada Robbmu. Setelah itu, apa
yang Alloh takdirkan adalah kebaikan bagimu dengan taufiq (pertolongan) Alloh `Azza
wa Jalla. Jika itu adalah bahaya bagimu, maka kamu bersabar sehingga
mendapatkan pahala. Jika itu adalah kebaikan bagimu, maka kamu bersyukur kepada
Alloh sehingga mendapatkan pahala.
Sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abu Yahya Shuhaib Ar-Rumi, beliau
bersabda:
«عَجَبًا لِأَمرِ
المُؤمِنِ؛ إِنَّ أَمرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيرٌ، إِن أَصَابَتهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ
خَيرًا لَهُ، وَإِن أَصَابَتهُ سَرَّاءُ شَكَرَ؛ فَكَانَ خَيرًا لَهُ»
“Sungguh
mengherankan perkara orang Mukmin. Sesungguhnya seluruh perkaranya adalah
kebaikan baginya. Jika dia ditimpa kesusahan, dia bersabar, maka itu baik
baginya. Jika dia ditimpa kesenangan, dia bersyukur, maka itu baik baginya.” (HR.
Muslim)
Kesalahan
Kesembilan: Berlebih-lebihan Terhadap Kuburan
Saya pernah
pergi ke beberapa negara dan melihat sesuatu yang mengherankan. Kamu akan
sangat kesulitan untuk menemukan Masjid yang tidak ada kuburan di dalamnya!
Sesungguhnya
memasukkan kuburan ke dalam Masjid adalah sikap berlebih-lebihan yang diharomkan
dalam agama Alloh. Ini adalah bagian dari sikap berlebih-lebihan terhadap
kuburan.
Al-Bukhori
dan Muslim meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«لَعنَةُ اللَّهِ
عَلَى اليَهُودِ وَالنَّصَارَى؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنبِيَائِهِم مَسَاجِدَ»
“Laknat
Alloh atas orang-orang Yahudi dan Nashoro; mereka menjadikan kuburan para Nabi
mereka sebagai Masjid.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Juga di antara bentuk
berlebih-lebihan terhadap kuburan adalah membangun di atasnya dan mengapurinya.
Muslim meriwayatkan dari hadits Jabir bahwa Nabi ﷺ melarang kuburan dikapuri,
dibangun di atasnya, dan diduduki.
Betapa
banyak kaum Muslimin yang membangun kubah-kubah di atas kuburan!
Lihatlah di
sekitar negara-negara sekitarmu, kamu akan menemukan hal yang mengherankan dari
perkara ini.
Kesalahan
Kesepuluh: Tersebarnya Jimat-Jimat
Jimat-jimat
itu digantungkan oleh kaum Muslimin di dada, tangan, atau di dada dan tangan
anak-anak dan orang-orang yang mereka cintai. Inti dari jimat adalah:
manik-manik, benang, dan benda-benda yang digantungkan oleh seseorang untuk
mendapatkan manfaat dengan menolak bahaya dan mendatangkan kebaikan. Padahal
pada kenyataannya, benda-benda itu bukanlah sebab untuk mendatangkan kebaikan
dan menolak bahaya.
Jimat-jimat
ini adalah syirik dalam agama Muhammad ﷺ. Imam Ahmad meriwayatkan dari
hadits ‘Uqbah bahwa Nabi ﷺ
bersabda:
«مَن تَعَلَّقَ
تَمِيمَةً؛ فَقَد أَشرَكَ»
“Siapa
menggantungkan jimat, maka sungguh dia telah berbuat syirik.”
Abu ‘Ubaid
meriwayatkan dalam kitabnya Al-Ghorib dengan sanad yang shohih dari
Abdullah bin Mas’ud Rodhiyallahu ‘Anhu bahwa dia berkata:
«إِنَّ الرُّقَى
وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِركٌ»
“Sesungguhnya
jampi-jampi (mantera), jimat, dan tiwalah (pelet) adalah syirik.”
Jimat-jimat
ini adalah syirik, dan ada dua keadaan:
Keadaan
pertama: Seseorang
menggantungkannya dan meyakini bahwa jimat itu sendiri secara mandiri dapat
menolak bahaya dan mendatangkan manfaat. Orang yang melakukan ini dengan
keyakinan seperti itu, sungguh dia telah terjerumus ke dalam syirik akbar
(besar) - semoga Alloh melindungi saya dan kalian.
Adapun
keadaan kedua: Dia
menggantungkannya karena menganggapnya sebagai sebab dari sisi Alloh. Dalam hal
ini, perbuatannya adalah syirik ashghor (kecil), dan itu lebih besar
dari dosa-dosa besar - semoga Alloh melindungi saya dan kalian.
Betapa
banyak orang yang menggantungkan jimat-jimat dan mengklaim bahwa itu dari
Al-Qur’an, padahal kenyataannya tidak demikian.
Saya ingat,
saya pernah melihat seorang laki-laki sedang thowaf di Ka’bah dan dia
menggantungkan sebuah jimat. Saya meminta izin kepadanya untuk mengambilnya,
saya berbicara dengannya, lalu saya mengambilnya. Dia berkata: “Ini dari Al-Qur’an.”
Ketika saya memeriksanya, saya tidak menemukan apa-apa di dalamnya kecuali
rajah-rajah dan omong kosong yang tidak diketahui dan tidak dimengerti isinya!
Maka,
janganlah kamu tertipu dengan perkataan bahwa jimat-jimat ini berasal dari
Al-Qur’an. Betapa banyak jimat yang dikatakan berasal dari Al-Qur’an, padahal
kenyataannya tidak demikian.
Kesalahan
Kesebelas: Thiyaroh
Apa itu thiyaroh
(tahayul)? Kamu melihat seseorang ketika ingin membuka tokonya, lalu ada angin
berhembus, dia berkata: “Hari ini saya tidak akan membuka toko.” Mengapa?
Karena di pagi hari telah berhembus angin, lalu dia merasa sial dan ber-thiyaroh
dengannya. Atau dia mendengar suara burung gagak, lalu dia merasa sial dan ber-thiyaroh
dengannya. Atau dia melihat orang yang pincang, lalu dia merasa sial dan ber-thiyaroh
dengannya.
Semua ini
termasuk syirik - semoga Alloh melindungi saya dan kalian. Karena inti dari thiyaroh
adalah: sesuatu yang membuatmu melanjutkan atau mengurungkan niatmu, padahal
itu bukanlah sebab yang sebenarnya untuk melanjutkan atau mengurungkan niat.
Thiyaroh adalah syirik, sebagaimana yang
shohih dari At-Tirmidzi dari hadits Ibnu Mas’ud bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«الطِّيَرَةُ
شِركٌ، الطِّيَرَةُ شِركٌ، الطِّيَرَةُ شِركٌ»
“Thiyaroh
adalah syirik, thiyaroh adalah syirik, thiyaroh adalah syirik.”
Maka thiyaroh
adalah syirik dalam agama Muhammad ﷺ. Maka, berhati-hatilah dan
jangan ber-thiyaroh.
Sayangnya,
kamu melihat sebagian kaum Muslimin menyebarkan kata-kata yang asalnya diambil
dari orang-orang yang ber-thiyaroh. Seperti perkataan sebagian orang: “Kita
sekarang berada di Shofar Al-Khoir.” Dia menamakan bulan Shofar dengan “Shofar
Al-Khoir”, ini termasuk thiyaroh. Karena orang-orang Jahiliyah dahulu
ber-thiyaroh dengan bulan itu.
Di
antaranya juga perkataan sebagian orang jika ada yang berbicara dengannya: “Kebaikan,
wahai burung!” Ini juga terpengaruh oleh orang-orang Jahiliyah.
Kesalahan
Kedua Belas: Bersumpah dengan Selain Alloh
Seperti
bersumpah dengan nama Nabi ﷺ,
atau dengan nikmat, atau dengan Sholatnya si fulan, atau dengan shiyamnya
(puasanya), atau dengan amanah. Kamu melihat sebagian orang berkata: “Demi Sholatmu,”
atau “demi shiyammu,” bahwa kamu melakukan ini dan itu, atau sebagian dari
mereka berkata: “Demi Nabi,” “Demi hidupnya si fulan,” dan seterusnya. Semua
ini adalah bersumpah dengan selain Alloh, dan ini adalah syirik. Karena
bersumpah adalah lafazh yang khusus untuk Alloh.
Al-Bukhori
dan Muslim meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Umar bahwa Nabi ﷺ mendengar seorang laki-laki
bersumpah dengan nama ayahnya. Lalu Nabi ﷺ bersabda:
«أَلَا إِنَّ
اللَّهَ يَنهَاكُم أَن تَحلِفُوا بِآبَائِكُم؛ فَمَن كَانَ حَالِفًا فَلْيَحلِفْ بِاللَّهِ
أَو لِيَصمُتْ»
“Ketahuilah,
sesungguhnya Alloh melarang kalian bersumpah dengan nama bapak-bapak kalian. Siapa
yang ingin bersumpah, hendaklah dia bersumpah dengan nama Alloh atau diam.”
Maka,
berhati-hatilah dan janganlah bersumpah dengan selain Alloh. Berhati-hatilah, meskipun
kamu tumbuh di lingkungan yang sering bersumpah dengan selain Alloh.
Biasakanlah dirimu untuk meninggalkannya. Sesungguhnya ilmu itu didapatkan
dengan belajar. Alloh `Azza wa Jalla berfirman:
﴿وَالَّذِينَ جَهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ
سُبُلَنَا﴾
“Orang-orang
yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, sungguh Kami akan tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al-‘Ankabut: 69)
Kesalahan
Ketiga Belas: Mentakwil Nama dan Sifat Alloh
Betapa
banyak universitas dan sekolah di dunia Islam yang mendidik para siswanya untuk
mentakwil (menyimpangkan makna) nama-nama dan sifat-sifat Alloh. Mereka tidak
menetapkan apa yang Alloh tetapkan untuk diri-Nya berupa nama-nama dan
sifat-sifat.
Alloh Ta’ala
berfirman:
﴿بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ﴾
“Bahkan
kedua tangan-Nya terbentang.” (QS. Al-Ma’idah: 64)
Mereka berkata: “Tidak, Alloh tidak
punya dua tangan.”
Alloh Ta’ala
berfirman:
﴿الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ﴾
“Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 3)
Dia menetapkan sifat rohmat (kasih
sayang) untuk diri-Nya, dan mereka meniadakan sifat rohmat dari Alloh `Azza
wa Jalla. Ini adalah takwil dan penyimpangan makna bagi firman Alloh dan
sabda Rosul-Nya.
Jika kamu
bertanya kepada mereka: “Mengapa kalian tidak menetapkan dua tangan untuk Alloh
sebagaimana Dia tetapkan untuk diri-Nya?”
Mereka
menjawab: “Jika kami menetapkan dua tangan untuk Alloh, maka ini berarti kami
menyerupakan tangan Robb kita dengan tangan kita, dan tasybih
(menyerupakan) itu diharomkan dalam syari’at.”
Maka
dikatakan kepada mereka: “Siapa yang mengatakan kepada kalian bahwa jika kalian
menetapkan dua tangan untuk Alloh, maka itu berarti menyerupakan-Nya dengan
tangan makhluk? Bahkan, setiap tangan yang layak bagi yang memilikinya, dan
kedua tangan Robb kita layak bagi keagungan dan kekuasaan-Nya yang agung.”
Tidakkah
kamu melihat kenyataan bahwa binatang memiliki tangan, dan tangan setiap
binatang berbeda dengan yang lain? Manusia memiliki dua tangan, dan kedua
tangannya berbeda dengan tangan binatang. Maka, penetapan tangan bagi manusia
tidak berarti menyerupai tangan binatang. Alloh memiliki permisalan yang paling
tinggi, Dia memiliki dua tangan yang layak bagi keagungan dan kekuasaan-Nya
yang agung. Perkataan seperti ini telah disebutkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah
(311 H) dalam kitabnya At-Tauhid.
Kesalahan
Keempat Belas: Membahas Apa yang Terjadi di Antara Shohabat Rosululloh ﷺ
Para Shohabat
Nabi Muhammad ﷺ
memiliki kedudukan yang agung dalam syari’at. Alloh telah meridhoi mereka dan
membuat mereka ridho, sebagaimana firman-Nya:
﴿مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ
أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ﴾
“Muhammad
adalah Rosul Alloh dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, (tetapi) berkasih sayang sesama mereka.” (QS. Al-Fath: 29)
dan seterusnya, Alloh menyebutkannya dalam konteks memuji dan menyanjung
mereka.
Alloh
berfirman:
﴿لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ
يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ﴾
“Sungguh,
Alloh telah ridho kepada orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon.” (QS. Al-Fath: 18)
Disebutkan dalam hadits dari ‘Imron,
Ibnu Mas’ud, dan yang lainnya, dan semuanya terdapat dalam kitab-kitab shohih,
bahwa Nabi ﷺ
bersabda:
«خَيرُ النَّاسِ
قَرنِي .... وَفِي الحَدِيثِ الآخَرِ: خَيرُ أُمَّتِي قَرنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُم
.....»
“Sebaik-baik
manusia adalah generasiku...” dan dalam hadits lain: “Sebaik-baik umatku adalah
generasiku, kemudian orang-orang setelah mereka....” Maka, sebaik-baik manusia
adalah para Shohabat Rosululloh ﷺ.
Salah satu
hak mereka yang wajib kita tunaikan adalah menahan diri dari membicarakan
keburukan mereka. Mereka adalah manusia yang bisa berbuat salah, dan keburukan
bisa terjadi pada mereka, tetapi hak mereka atas kita adalah menahan diri dari
membicarakan keburukan mereka dan apa yang terjadi di antara mereka.
Al-Bukhori
dan Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Sa’id bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«لَا تَسُبُّوا
أَصحَابِي؛ فَوَالَّذِي نَفسِي بِيَدِهِ لَو أَنَّ أَحَدَكُم أَنفَقَ مِثلَ أُحُدٍ
ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِم وَلَا نَصِيفَهُ»
“Janganlah
kalian mencela Shohabatku. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya,
seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud,
tidak akan mencapai segenggam pun dari apa yang mereka infakkan, tidak pula
setengahnya” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Membahas hal-hal buruk yang terjadi
di antara mereka, yang kebanyakan adalah dusta dan tidak memiliki dasar
sebagaimana yang disebutkan oleh Adz-Dzahabi (748 H) dan Imam Ibnu Taimiyah
(728 H), sesungguhnya membahas hal seperti itu dapat membuat hati manusia
membenci para Shohabat Rosululloh ﷺ.
Ada
seseorang yang muncul di tengah kita lalu mengeluarkan kaset-kaset berjudul “Kisah-kisah
Sejarah”, di dalamnya dia menyebutkan segala macam yang diriwayatkan dalam
buku-buku tentang apa yang terjadi di antara para Shohabat Rosululloh ﷺ. Padahal, sebagian besar yang
disebutkan adalah dusta dan tidak shohih. Kaset-kaset ini disebarkan oleh
beberapa perusahaan dagang, dan itu sangat merugikan kaum Muslimin.
Demi Alloh,
demi Alloh, demi Alloh, saya mendengar salah seorang yang baik berkata setelah
mendengarkan kaset-kaset ini: “Sesungguhnya dalam hatiku ada sesuatu terhadap ‘Ali
Rodhiyallahu ‘Anhu, kholifah yang rasyid!”
Maka,
menyebarkan kaset-kaset seperti ini berbahaya terhadap kehormatan para Shohabat
Rosululloh ﷺ.
Sesungguhnya wajib bagi kita untuk menyebarkan kebaikan dan hak-hak para Shohabat
Rosululloh ﷺ
di tengah masyarakat. Agar dalam hati orang-orang awam, baik anak-anak maupun
orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, tertanam pengagungan,
penghormatan, dan pemuliaan terhadap para Shohabat Rosululloh ﷺ. Sehingga, jika mereka
mendengar ada seseorang yang mencela atau merendahkan mereka, mereka akan
sangat marah.
Maka,
bersungguh-sungguhlah kita mengetahui hak-hak mereka, dan membantah setiap
orang yang merendahkan sedikit pun dari hak-hak para Shohabat Rosululloh ﷺ.
Kesalahan
Kelima Belas: Ucapan yang Sering Diucapkan Sebagian Muslim
Ucapan-ucapan
ini bertentangan dengan tauhid Alloh, Robb semesta alam.
[1] Di
antaranya adalah perkataan sebagian orang kepada orang yang meninggal: “Si
fulan telah pindah ke tempat peristirahatan terakhirnya.”
Ini adalah
kata yang berbahaya, karena itu berarti mengingkari hari Kebangkitan dan hari
dikumpulkannya manusia. Padahal kehidupan di alam barzakh adalah kehidupan di
antara kehidupan dunia dan kehidupan Akhirat, dan Robb kita telah mengkafirkan
orang yang mengingkari hari Kebangkitan dan hari dikumpulkannya manusia.
Alloh Ta’ala
berfirman dalam surat At-Taghobun:
﴿زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَن لَّن يُبْعَثُوا
قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَلِكَ
عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ﴾
“Orang-orang
yang kafir menyangka bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan.
Katakanlah: ‘Tidak demikian, demi Robbku, pasti kalian akan dibangkitkan,
kemudian akan diberitakan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.’ yang
demikian itu amat mudah bagi Alloh.” (QS. At-Taghobun: 7)
Jadi, perkataan seseorang: “Si fulan
telah pindah ke tempat peristirahatan terakhirnya” adalah kata yang berbahaya
dan mengandung kekufuran, meskipun orang yang mengucapkannya tidak kafir karena
dia tidak mengetahui hakikat dari kata ini.
[2] Di
antaranya juga perkataan sebagian muadzin dalam adzan atau sebagian pembicara
dalam perkataannya: “Allohu akbaar” (dengan bacaan ‘Allohu akbaar’,
bukan ‘akbar’).
Ibnu
Qudamah (620 H) dalam Al-Mughni, An-Nawawi (676 H) dalam Al-Majmu’,
dan banyak ulama dan ahli bahasa menyebutkan bahwa makna akbaar adalah
jamak dari thobl (gendang). Maka seakan-akan dia berkata: “Alloh itu
gendang-gendang.” Ini adalah kata kufur, tetapi karena orang yang
mengucapkannya tidak mengetahui hakikatnya, maka dia tidak dikafirkan. Namun,
dia harus diberitahu dan wajib baginya untuk meninggalkan lafazh ini.
[3] Di
antaranya juga perkataan sebagian orang: “Semoga Alloh menzholimimu,” atau “Semoga
Alloh mengkhianatimu.”
Dua kata
ini diharomkan. Karena Alloh telah mengharomkan kezholiman atas diri-Nya, dan
Dia tidak menzholimi seorang pun.
﴿وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ﴾
“Robbmu
tidaklah menzholimi hamba-hamba-Nya.” (QS. Fushshilat: 46)
Muslim meriwayatkan dari hadits Abu
Dzar dalam hadits qudsi bahwa Alloh Ta’ala berfirman:
«يَا عِبَادِي،
إِنِّي حَرَّمتُ الظُّلمَ عَلَى نَفسِي وَجَعَلتُهُ بَينَكُم مُحَرَّمًا؛ فَلَا تَظَالَمُوا»
“Wahai
hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharomkan kezholiman atas diri-Ku dan
Aku menjadikannya harom di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzholimi”
(HR. Muslim)
[4] Di antaranya juga adalah
perkataan sebagian orang kepada orang yang tertimpa musibah: “Si fulan tidak
pantas mendapatkannya,” maksudnya: dia tidak pantas mendapatkan musibah
ini.
Ini adalah
kata yang berbahaya, karena di dalamnya terdapat keberatan terhadap ketetapan
dan takdir Alloh. Padahal Alloh Ta’ala berfirman:
﴿أَلَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ الْحَكِمِينَ﴾
“Bukankah
Alloh adalah Hakim yang paling adil?” (QS. At-Tin: 8)
[5] Di antaranya juga adalah
perkataan sebagian orang ketika membaca surat Al-Fatihah:
﴿إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ﴾
“Hanya
kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (QS.
Al-Fatihah: 5)
(Iyyaka) jika dibaca ringan dan tidak
ditasydid (menjadi iyaka), maknanya menjadi “cahaya matahari
(Dewa Matahari).” Maka seakan-akan dia berkata: “Kami hanya menyembah cahaya
matahari, dan kami hanya minta pertolongan kepada cahaya matahari.”
Wajib bagi
seorang Muslim ketika membacanya untuk mengucapkan:
﴿إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ﴾
“Iyyaaka
na’budu wa iyyaaka nasta’in, dengan tasydid pada (Iyyaaka).”
[6] Di
antaranya juga adalah perkataan sebagian orang: (تبارك علينا يا فلان)
“Semoga keberkahan atas kami, wahai fulan.”
Sebagian
orang, ketika ingin mengundang seseorang—mengunjunginya di rumahnya—berkata: “Semoga
keberkahan atas kami, wahai fulan.”
Imam Ibnul
Qoyyim (751 H) berkata dalam kitabnya Badai’ Al-Fawaid (3/268): “Adapun
sifat-Nya (tabarok), itu khusus bagi-Nya Ta’ala, sebagaimana Dia
menyebutkannya untuk diri-Nya dengan firman-Nya:
﴿تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ﴾
“Mahasuci
Alloh, Robb semesta alam.” (QS. Al-A’rof: 54)
﴿تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ﴾
“Mahasuci
Dzat yang di tangan-Nya kekuasaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS.
Al-Mulk: 1)
Beliau berkata dalam Jala’
Al-Afham (1/202): “Ibnu ‘Athiyyah berkata: ‘Maknanya adalah agung dan
banyak keberkahan-Nya. Lafazh ini tidak disifatkan kecuali hanya untuk Alloh. Lafazh
ini tidak diubah dalam bahasa Arob, tidak digunakan dalam bentuk fi’il
mudhori’ (present tense) maupun fi’il amr (perintah).’”
Akhir kata:
Saudara-saudaraku, kita telah mendengar kesalahan-kesalahan sebagian kaum
Muslimin dalam mengesakan Alloh, Robb semesta alam. Mereka dalam hal ini ada
yang sedikit dan ada yang banyak.
Kesalahan-kesalahan
ini, dan saya tidak menyebutkannya semuanya, melainkan saya menyebutkan
sebagiannya, sayangnya telah umum dan tersebar di antara banyak kaum Muslimin. Cara
untuk mengobati serta memperbaikinya adalah dengan berdakwah kepada tauhid.
Maka, wajib
bagi para dai untuk menyibukkan dakwah mereka dan diri mereka dengan mengajak
manusia kepada tauhid, dan tidak menyibukkan mereka dengan hal-hal yang tidak
bermanfaat bagi mereka.
Telah
muncul di tengah kita para dai yang menyibukkan manusia dengan isu-isu yang
tidak bermanfaat bagi mereka, bahkan jika itu bukan ilmu yang berbahaya, maka
itu adalah ilmu yang tidak bermanfaat. Ilmu yang tidak bermanfaat, Nabi ﷺ telah berlindung darinya,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shohih-nya dari hadits Zaid bin
Al-Arqom bahwa Nabi ﷺ
berlindung kepada Alloh dari empat hal, di antaranya:
«اللَّهُمَّ إِنِّي
أَعُوذُ بِكَ مِن عِلمٍ لَا يَنفَعُ»
“Ya Alloh,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat” (HR.
Muslim)
Telah muncul di tengah kita
orang-orang yang menyibukkan kaum Muslimin dengan isu-isu yang tidak bermanfaat
bagi mereka, seperti mengikuti surat kabar, koran, dan majalah, yaitu fiqih
yang mereka sebut fiqih realitas atau politik.
Kamu
melihat sebagian dari mereka, jika ingin menunjukkan bahwa dia adalah orang
yang berwawasan, dia akan membicarakan isu-isu politik denganmu. Padahal jika
kamu membuka mushaf dan berkata: “Bacalah Al-Qur’an dengan melihat,” niscaya
dia tidak akan bisa membacanya dengan baik. Ini adalah salah satu penyebab
syaiton mempermainkan mereka.
Di antara
bentuk permainan syaiton adalah dia mengeluarkan para dai yang menyibukkan
manusia dengan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi mereka.
Maka, wajib
bagi kita, wahai saudara-saudaraku, jika kita benar-benar tulus dan
menginginkan apa yang ada di sisi Alloh dengan jujur, untuk mengikuti jalannya
para Rosul. Tugas para Rosul adalah mengajak manusia kepada tauhid. Setiap Nabi
datang kepada kaumnya seraya berkata: “Wahai kaumku, sembahlah Alloh, tidak ada
sesembahan bagi kalian selain Dia” (QS. Al-A’rof: 59)
Juga, wajib bagi seluruh kaum
Muslimin untuk mempelajari tauhid. Jika ada pelajaran dari seorang yang
terpercaya ilmunya dan manhaj Salafnya, maka kita harus bersemangat untuk
belajar ilmu akidah darinya. Kita membaca kitab At-Tauhid, Tsalatsah
Al-Ushul, Kasyfu Asy-Syubhat, dan Al-Qowa’id Al-Arba’ah.
Juga, wahai
saudara-saudaraku, kita harus memiliki kaset-kaset para ulama besar kita yang
mulia, seperti Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (1420 H), Imam Muhammad bin
Sholih Al-‘Utsaimin (1421 H), Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani (1420 H), dan
ulama kita yang lainnya, seperti Syaikh Sholih Al-Fauzan dan yang lainnya.
Kita
mengambil kaset-kaset mereka tentang tauhid, lalu kita mendengarkannya, dan
mendengarkannya kepada orang lain, serta menyebarkannya di tengah masyarakat.
Demikian
pula kita membaca buku-buku tentang tauhid, seperti risalah ringkas dan
bermanfaat dari Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (1420 H) yang berjudul Al-‘Aqidah
Ash-Shohihah wa Ma Yudhaddha.
Juga seperti
risalah beliau yang lain yang berjudul Qowadih At-Tauhid.
Di mana
kita dari risalah-risalah dan buku-buku yang bermanfaat ini, yang sedikit
halamannya tetapi banyak manfaatnya?!
Sayangnya,
kamu melihat sebagian orang mengadakan perlombaan dan pengumuman tentang
kaset-kaset pilihan, yang di dalamnya seringkali tidak ada kaset-kaset yang
berkaitan dengan tauhid. Ini adalah kesalahan dan kekurangan, serta penyebab
syaiton bergembira, Alloh Yang Maha Pengasih murka, dan kelemahan bagi umat
Muhammad.
Aku memohon
kepada Alloh yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia, dengan
karunia dan keutamaan-Nya, agar Dia menolong agama-Nya, meninggikan
kalimat-Nya, dan menjadikan saya dan kalian sebagai para dai (penyeru) kepada
tauhid. Serta agar Dia mengokohkan kita di atas tauhid, mematikan kita di atas
tauhid, dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertemu dengan-Nya di
atas tauhid, sehingga Dia meridhoi kita dan memasukkan kita ke dalam Jannah-Nya
dengan karunia dan keutamaan-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Pelindung dan
Mahakuasa atas hal itu.
Semoga
Alloh membalas kalian dengan kebaikan.
Disusun
oleh:
Dr. Abdul
Aziz bin Royyis Ar-Royyis
Pengawas
Umum Jaringan Islam Kuno (Al-Atiq):