[PDF] 10 Pokok Da'wah Salafiyyah - أصول الدعوة السلفية - Dr. Abdussalam Barjas
Unduh PDF
Muqoddimah Penulis
Segala puji
bagi Alloh, kami memuji-Nya, memohon pertolongan, dan ampunan-Nya. Kami
berlindung kepada Alloh dari kejahatan diri kami dan keburukan amal perbuatan
kami. Siapa yang Alloh beri petunjuk, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan
siapa yang Alloh sesatkan, maka tidak ada yang bisa memberinya petunjuk. Aku
bersaksi bahwa tidak ada yang berhak
disembah selain Alloh semata, tidak ada sekutu
bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad ﷺ adalah hamba dan Rosul-Nya.
Wahai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh dengan sebenar-benar taqwa
kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam.
Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Robbmu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan dari padanya Alloh menciptakan istrinya, dan dari
keduanya Alloh mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. bertaqwalah
kepada Alloh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Alloh selalu
menjaga dan mengawasimu.
Wahai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh dan ucapkanlah perkataan
yang benar. Niscaya Alloh memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni
dosa-dosamu. siapa menaati Alloh
dan Rosul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.
Adapun
setelah itu:
Ucapan yang paling benar adalah Kitab Alloh, dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad ﷺ. Seburuk-buruk perkara adalah yang
diada-adakan, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah
sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di Neraka.
Da’wah Salafiyyah ditegakkan
di atas beberapa prinsip yang memisahkannya dari sekte-sekte lain yang
menyimpang dari Shirothul Mustaqim. sungguh, dua hal nyata
yang telah mendorongku untuk mengumpulkan prinsip-prinsip ini.
Poin Pertama: Apa yang aku dan orang lain lihat, berupa peisbatan sebagian jama’ah-jama’ah
Islam hizbiyyah (partai/kelompok) yang jauh dari Manhaj Salaf
pada nama yang suci dan mulia ini, atau pada makna yang mengarah kepadanya,
yaitu penisbatan diri kepada Salafus Sholih Rodhiyallahu ta’ala
‘anhum ajma’in. Yaitu mereka yang dikatakan oleh Nabi ﷺ:
«خَيْرُ النَّاسِ قَرْني، ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُم، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ»
“Sebaik-baik
manusia adalah pada masaku (Shohabat), kemudian orang-orang setelah mereka (Tabiin), kemudian orang-orang setelah mereka (Tabiut Tabiin).” (Muttafaqun Alaih)
Kelompok-kelompok hizbiyyah ini pun mulai menerbitkan buku dan
risalah mereka atas nama Salaf dan Ahli Sunnah, padahal dengan perbuatan ini
mereka memasukkan racun ke dalam madu, dan mereka bersembunyi di balik julukan
ini untuk menipu dan menyesatkan. demi
Alloh, betapa banyak dalam buku-buku dan risalah-risalah ini terdapat
penyimpangan dari manhaj Salafi, dan pembelaan terhadap mazhab para kholaf
(generasi belakangan) dan firqoh-firqoh (kelompok-kelompok) sesat, seperti
Khowarij, Mu’tazilah, dan Shufiyyah.
Poin Kedua: Apa yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok ini atau sebagiannya, berupa mengaku pengikut seorang
tokoh Ahli Sunnah wal Jama’ah untuk mencapai tujuan tertentu, yang mana tujuan
itu hanya bisa dicapai melalui orang yang mereka ikuti, padahal orang tersebut
berlepas diri sepenuhnya dari klaim ini.
Agar pembicaraan menjadi jelas, aku katakan: “Jama’ah Ikhwanul Muslimin
telah mendengung-dengungkan tentang upaya Syaikh Muhammad bin Ibrohim Rohimahullah
dalam apa yang mereka sebut dengan “Al-Hakimiyyah” (kafirnya penguasa yang
berhukum dengan selain hukum Allah), mereka menonjolkan upaya imam ini dalam
isu-isu tersebut. Mereka melakukan itu karena menyangka
bahwa ucapan beliau mendukung kebatilan yang mereka sembunyikan berupa
mengkafirkan negara, dan kemudian membolehkan pemberontakan terhadapnya. Demi
Alloh, mereka telah berdusta dan mengada-adakan kebohongan atas beliau, karena
posisi beliau terhadap negara jelas tidak diragukan.
Beliau Rohimahullah
telah berbicara dengan ucapan yang baik dan indah dalam sebuah risalah bernama:
“Nashihah Muhimmah fi Tsalaatsi Qodhooyaa.” (Nasihat Penting dalam Tiga
Isu), di dalamnya beliau menyebutkan posisinya terhadap para pemimpin dan
secara terang-terangan menyatakan wajibnya menaati mereka selama bukan dalam
hal maksiat kepada Alloh. Ucapan yang Syaikh tulis dalam risalah tersebut dan
yang semisalnya, adalah inti dari upaya Syaikh dalam isu hakimiyyah (memberontak penguasa zholim). Akan tetapi, mereka (Ikhwanul Muslimin) ini seperti orang-orang yang menutupi ayat
dalam Taurot yang
menjelaskan wajibnya rajam bagi pezina, karena mereka menyembunyikan dan
menutupinya. Kita memohon kepada Alloh Ta’ala keselamatan dan penjagaan.
Adapun istilah “Al-Hakimiyyah”
sendiri memiliki banyak catatan. Lebih dari satu penulis dan pemikir telah
mengkritiknya. Doktor Muhammad Ammaroh berkata: “Itu adalah slogan asing (bukan
dari Islam) yang masuk ke dalam warisan lama kita dan ijtihad (usaha) modern
kita.” Sebagian penulis seperti Muhammad Sa’id Al-‘Asymawi, Ahmad Kamal, dan
Hafizh Diyab berpendapat bahwa slogan ini sama dengan slogan Khowarij yang
mereka angkat pada masa Ali bin Abi Tholib Rodhiyallahu ‘Anhu,
yaitu:
لَا حُكْمَ إِلَّا اللَّهُ
“La
hukma illa lillah.” (Tidak ada hukum selain milik Alloh).
Aku kembali
berkata: “Ketika aku melihat perbuatan tercela ini dari kelompok-kelompok
tersebut telah memengaruhi sebagian pemuda kita, dan menipu mereka dengan
slogan-slogan seperti ini, aku ingin menyebutkan prinsip-prinsip Da’wah
Salafiyyah, yang dengannya Ahli Kebenaran dapat dibedakan dari yang selain
mereka, dan orang yang benar-benar Salafi dapat dibedakan dari klaim yang
berdusta. Karena ada sekelompok orang yang menunggangi nama Salafiyyah padahal
mereka berlepas diri darinya. Asya’iroh mengklaim bahwa mereka adalah Ahli
Sunnah wal Jama’ah, padahal mereka dusta. Ikhwanul Muslimin mengklaim bahwa
mereka adalah Ahli Sunnah wal Jama’ah, padahal ada jarak yang jauh antara Ahli
Sunnah wal Jama’ah dan manhaj mereka, serta apa yang mereka jalani.
Prinsip-prinsip
yang akan aku sebutkan ini adalah yang telah disepakati oleh para da’i manhaj
Salafi, baik di masa lalu maupun sekarang. Sebelum aku menyebutkan
prinsip-prinsip ini dan menjelaskannya dengan penjelasan yang memuaskan dan
mencukupi—in syaa Alloh—aku katakan: “Salafiyyah yang
kita da’wahkan bukanlah seperti kelompok-kelompok Islam hizbiyyah yang
ada sekarang, karena sesungguhnya Salafiyyah adalah Jama’ah Muslimin. Maka
setiap orang yang meyakini aqidah Salafiyyah dan menerapkannya dalam
kehidupannya, dia adalah seorang Salafi. Kita tidak membeda-bedakan antara satu
orang dengan yang lainnya. kita
tidak memiliki hubungan dengan selain pemimpin kita, baik dari para penguasa
maupun ulama. Kami tidak menyembunyikan sedikit pun dari apa yang kami miliki,
bahkan apa yang kami yakini telah tercatat dalam buku-buku dan terekam dalam
kaset-kaset, sehingga tidak ada kerahasiaan dan tidak ada organisasi, kecuali
organisasi penguasa (waliyul amr).
Kami memandang
bahwa keterikatan dengan para ulama Salaf adalah suatu keharusan. Mereka
diwakili pada kurun (generasi) terakhir oleh para imam Da’wah Najdiyyah—rohmatullohi
tabaroka wa ta’ala ‘alaihim ajma’in—dan orang-orang yang terpengaruh oleh
mereka pada masa mereka dan setelah mereka. Sekarang ini, kami mengambil ilmu
dari ulama-ulama kami yang dikenal sebagai Ahli Sunnah, yang tidak
terkontaminasi oleh kotoran-kotoran bid’ah dan tidak terjerat oleh hawa nafsu. mereka itu banyak—walhamdulillah wa
al-minnah (segala puji dan karunia hanya milik Alloh)—di antaranya:
1.
Syaikh
Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baz.
2.
Syaikh
Muhammad bin Nashiruddin Al-Albani.
3.
Syaikh
Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin.
4.
Syaikh
Sholih bin Fauzan Al-Fauzan.
5.
Syaikh
Abdulloh bin Abdurrohman Al-Ghuddoyyan.
6.
Syaikh
Sholih bin Abdurrohman Al-Athrom.
7.
Syaikh
Abdul Muhsin bin Hamd Al-Abbad.
8.
Syaikh
Abdul Aziz bin Abdulloh Alusy Syaikh.
9.
Syaikh
Bakr bin Abdulloh Abu Zaid.
10. Syaikh Sholih bin Muhammad Al-Luhaidan.
11. Serta ulama-ulama lainnya yang mengikuti jejak mereka.
Kami tidak
meyakini mereka ma’shum (terjaga dari kesalahan), tetapi mereka adalah
manusia yang mengalami apa yang dialami manusia lainnya, yaitu kesalahan dan
lupa.
Kami sangat
memperhatikan ilmu, dan kami menyibukkan diri kami dengan menuntutnya dari
ulama-ulama ini dan dari siapa saja yang mengikuti jejak mereka. Kami telah
membaca (hatam)—alhamdulillah—kitab-kitab Hadits, seperti ummahatus
sittah (Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah) dan
syarahnya (penjelasannya) yang dikenal. Juga kitab-kitab tafsir, seperti Ibnu
Jarir, Al-Baghowi, Ibnu Katsir, dan Ibnu Sa’di. Kami membaca kitab-kitab aqidah
Salafiyyah, seperti kitab-kitab As-Sunnah secara umum, “Kitabut Tauhid”
karya Ibnu Khuzaimah, dan “Kitabut Tauhid” karya Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab. Kami juga membaca kitab-kitab beliau yang lain Rohimahullah,
dan juga kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim. Kami
sangat memperhatikan kitab-kitab imam-imam Da’wah, dari Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab hingga hari ini. Ulama-ulama Da’wah sekarang adalah yang aku sebutkan tadi.
Kami membaca
kitab-kitab fiqih, kami mendorong untuk menghafal “Az-Zad” (yaitu “Zadul
Mustaqni’” karya Al-Hajjawi) dengan syarat harus mengetahui dalilnya dan mengikutinya. Kami
tidak mencela orang yang menghafal matan (teks) fiqih dengan syarat ia
melihat dalil-dalilnya, dan kami membenci fanatisme serta
meninggalkannya sepenuhnya. Kami memperhatikan ilmu nahwu dan shorf
(tata bahasa Arob), serta kitab-kitab adab (sastra) dan sya’ir (puisi).
Kami mengajak
manusia untuk memperbaiki diri mereka dengan memperbaiki aqidah dan akhlaq
mereka, serta dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah. Kami mendorong untuk
menerapkan sunnah-sunnah dan mendukung penghidupannya. Kami berkeyakinan bahwa
siapa saja yang berusaha mewujudkan Salafiyyah hizbiyyah (partai)
seperti kelompok-kelompok hizbiyyah yang ada, maka dia telah salah dan
kami berlepas diri darinya.
Ini adalah
gambaran umum dari apa yang kami jalani. Kami memohon kepada Alloh Ta’ala
agar membimbing kami, menguatkan kami, memberikan manfaat kepada kami, dan
menjadikan kami bermanfaat bagi yang lain. Sesungguhnya Dia-lah Waliyul Qoshd
(Penentu Tujuan) dan Yang Maha Mampu atasnya. ini
adalah rincian dari prinsip-prinsip kami atau rincian sebagiannya.
***
Asal
Ke-1
[Ilmu]: Perhatian dan Pemfokusan pada Menuntut Ilmu
Syar’i dan Pemahaman yang Mendalam tentang Agama
Meskipun banyak
kelompok-kelompok Islam saat ini tidak berpegang pada ilmu Syar’i, dan banyak
pengikut kelompok-kelompok tersebut juga tidak berpegang pada ilmu Syar’i, Da’wah
Salafiyyah memberikan perhatian yang besar pada menuntut ilmu Syar’i.
Karena ilmu adalah pilar dan pondasi yang kokoh yang di atasnya kehidupan
dibangun. Pembangunan individu dan pembangunan masyarakat tidak akan tegak dan
baik kecuali dengan ilmu Syar’i. Oleh karena itu, Alloh memerintahkan Nabi-Nya
Muhammad ﷺ dengan ilmu sebelum perkataan dan perbuatan. Alloh berfirman:
﴿فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ﴾
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Yang berhak
disembah selain Alloh dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa)
orang-orang Mukmin.” (QS. Muhammad: 19)
Kami menjadikan ilmu sebagai awal dari prinsip-prinsip karena jalan itu
banyak, dan semuanya adalah jalan kesesatan kecuali jalan Rosululloh ﷺ.
Sebagaimana Alloh berfirman:
﴿وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا
فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ﴾
“bahwa (yang Kami perintahkan
ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan
kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’am: 153)
Tidak ada jalan
untuk menempuh jalan Sunnah kecuali dengan ilmu yang menyingkap kebenaran dan
menerangi jalan. Oleh karena itu, Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman:
﴿قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى
اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي﴾
“Katakanlah:
‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku, yaitu berda’wah
(mengajak) kepada Alloh dengan bashiroh (ilmu yang yang bersumber Quran dan Sunnah).’” (QS. Yusuf: 108)
Makna firman-Nya: “dengan Bashiroh” adalah
dengan bukti dan hujjah (argumen), yaitu ilmu yang bermanfaat.
Imam Ahmad Rohimahullah
berkata:
النَّاسُ إِلَى تَعَلُّمِ الْعِلْمِ أَحْوَجُ مِنْهُمْ إِلَى
الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ؛ لِأَنَّ الرَّجُلَ يَحْتَاجُ إِلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ
فِي الْيَوْمِ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ، وَحَاجَتُهُ إِلَى الْعِلْمِ بِعَدَدِ أَنْفَاسِهِ
“Manusia lebih membutuhkan ilmu daripada makanan dan minuman,
karena manusia membutuhkan makanan dan minuman sekali atau dua kali sehari,
sedangkan kebutuhannya terhadap ilmu sebanyak hitungan nafasnya.”
Perlu diketahui
bahwa menuntut ilmu terbagi menjadi dua:
1. Fardhu ‘ain
(wajib bagi setiap individu).
2. Fardhu
kifayah (kewajiban yang jika telah dikerjakan oleh sebagian orang, maka
yang lain gugur kewajibannya).
Adapun yang
pertama, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab Rohimahullah berkata
dalam “Al-Ushuluts Tsalatsah”: “Ketahuilah—semoga Alloh merohmatimu—bahwa
wajib atas kita mempelajari empat masalah, yang pertama: Ilmu, yaitu mengenal
Alloh, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal agama Islam dengan dalil-dalilnya.”
Imam Ahmad Rohimahullah menjelaskan apa yang wajib dipelajari oleh
setiap Muslim. Beliau berkata:
يَجِبُ أَنْ يَطْلُبَ مِنَ الْعِلْمِ مَا يَقُومُ بِهِ دِينُهُ؛
قِيلَ لَهُ: مِثْلَ أَيِّ شَيْءٍ؟ قَالَ: الَّذِي لَا يَسَعُهُ جَهْلُهُ؛ صَلَاتُهُ،
وَصِيَامُهُ... وَنَحْوُ ذَلِكَ
“Wajib menuntut ilmu yang dapat menegakkan agamanya.” Ketika ditanya: “Seperti apa?” Beliau menjawab: “Ilmu yang tidak
boleh tidak diketahui, seperti ilmu tentang Sholatnya, Puasanya, dan yang
semisalnya.”
Maka apa yang
wajib dikerjakan oleh seseorang—seperti dasar-dasar keimanan, syari’at-syari’at
Islam, apa yang wajib dijauhi dari hal-hal yang diharomkan, apa yang
dibolehkan, atau apa yang dia butuhkan dalam mu’amalah (interaksi), dan
yang semisalnya—wajib bagi seseorang untuk mengetahuinya.
Bertanya kepada
ahli ilmu termasuk bagian dari ilmu. Siapa yang bertanya kepada ahli ilmu, maka
ia telah menerangi agamanya dan melakukan apa yang diwajibkan kepadanya. Alloh
berfirman:
﴿فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ
كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ﴾
“Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
(QS. An-Nahl: 43)
Inilah menuntut
ilmu yang merupakan kewajiban bagi setiap individu.
Adapun yang
kedua, yaitu fardhu kifayah, adalah ilmu selain yang wajib bagi setiap
individu. Menyibukkan diri dengannya lebih utama daripada menyibukkan diri
dengan ibadah-ibadah sunnah, menurut pendapat yang paling benar dari para
ulama. Sebagaimana diriwayatkan dari Imam Ahmad Rohimahullah bahwa
beliau berkata:
تَعَلُّمُ الْعِلْمِ وَتَعْلِيمُهُ أَفْضَلُ مِنَ الْجِهَادِ
وَغَيْرِهِ مِمَّا يُتَطَوَّعُ بِهِ
“Mempelajari
dan mengajarkan ilmu lebih utama daripada jihad dan lainnya yang hukumnya
sunnah.”
Kami mendapati
sebagian orang tua di negeri ini (Arob Saudi) dari kalangan awam yang menghafal beberapa matan aqidah,
seperti “Al-Ushuluts Tsalatsah”, “Kasyfusy Syubuhat”, dan “Kitabut
Tauhid.” Mereka juga menghafal “Adab Al-Masyi ila As-Sholah.” Semua
ini adalah dampak dan berkah dari da’wah Imam Muhammad bin Abdul Wahhab Rohimahullah.
Imam Su’ud bin Abdul Aziz Al-Awwal dan Imam Faishol bin Turki menetapkan untuk
mempelajari kitab-kitab ini di seluruh Masjid di negara Saudi. Maka—walhamdulillah—orang
dewasa dan anak kecil, orang awam dan penuntut ilmu, menghafalnya. Hal ini
diketahui oleh banyak orang yang memperhatikan berita-berita ini, dan banyak
juga dari orang-orang tua yang masih hidup sekarang. Inilah satu-satunya
rahasia di balik terjaganya negeri ini dari kotoran-kotoran bid’ah. Jika
orang-orang awam tidak memiliki pengetahuan tentang aqidah mereka, niscaya akan
tersebar di tengah mereka sesuatu dari bid’ah dan kesyirikan. Akan tetapi, ilmu
adalah benteng yang kokoh dan tameng yang kuat, siapa yang membentengi dirinya
dengannya, maka ia akan terlindungi dari banyak keburukan.
Metode mendapatkan ilmu, tidak
mudah untuk ditentukan secara pasti, yang
berlaku untuk setiap orang. Namun, cara terbaik menurut
kami adalah apa yang ditempuh oleh ulama-ulama kita Rohmatullah ‘alaihim
ajma’in.
Mengenai hal
ini, Syaikh Al-‘Allamah Abdurrohman bin Sa’di Rohimahullah berkata dalam fatwa-fatwanya: “Penentuan
kitab yang harus dipelajari (bagi seorang penuntut ilmu) berbeda-beda
tergantung keadaan dan tempat. Pendekatan yang praktis menurut kami adalah
seorang penuntut ilmu harus bersungguh-sungguh dalam menghafal matan
(teks ringkas) dari cabang ilmu yang ia tekuni. Jika menghafal lafazhnya sulit
atau ia tidak mampu, maka ia harus sering mengulanginya sampai maknanya meresap
di hatinya. Kemudian kitab-kitab lain dalam cabang ilmu tersebut berfungsi
sebagai penjelasan dan tafsir dari dasar yang telah ia kuasai dan ketahui. Jika
seorang penuntut ilmu menghafal “Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah”
karya Syaikhul Islam, “Al-Ushuluts Tsalatsah”, dan “Kitabut Tauhid”
karya Syaikh Muhammad, serta dalam fiqih menghafal “Mukhtashorud Dalil.”
(yaitu “Daliluth Tholib”) dan “Mukhtashorul Muqni.’” (yaitu “Az-Zad”),
lalu dalam Hadits menghafal “Bulughul Marom”, dan dalam nahwu menghafal “Al-Ajrumiyyah”,
kemudian ia bersungguh-sungguh memahami matan-matan ini dan mengkaji syarahnya
(penjelasannya) yang mudah didapat, atau kitab-kitab lain dalam cabang ilmu
tersebut, maka kitab-kitab itu menjadi seperti syarah bagi matan-matan
tersebut. Karena jika seorang penuntut ilmu telah menghafal ushul
(dasar-dasar), ia akan memiliki kemampuan yang sempurna dalam memahaminya, dan
kitab-kitab dalam cabang ilmu tersebut, baik yang kecil maupun yang besar, akan
menjadi mudah baginya. Siapa yang menyia-nyiakan ushul (dasar-dasar),
maka ia akan kehilangan wushul (pencapaian). Siapa yang bersemangat pada
ilmu-ilmu yang bermanfaat ini dan memohon pertolongan kepada Alloh, maka Alloh
akan menolongnya dan memberkahi ilmunya. siapa
yang menempuh jalan yang tidak bermanfaat dalam menuntut ilmu, maka waktunya
akan berlalu tanpa hasil dan ia hanya akan mendapatkan kelelahan, sebagaimana
telah diketahui dari pengalaman dan pengamatan....” Selesai ucapan beliau Rohimahullah.
***
Asal
Ke-2 [Beramal]:
Bersemangat untuk Mengamalkan Islam secara Praktis
Semangat ini
mencakup semangat dalam mengamalkan kewajiban-kewajiban Syar’i, seperti Sholat
lima waktu, berbakti kepada kedua orang tua, dan yang semisalnya. Demikian
pula, semangat ini juga mencakup semangat untuk mengamalkan dan menghidupkan
Sunnah di tengah masyarakat semampu seorang Muslim. Seperti Sholat Sunnah, Sholat
Witir, Qiyamul Lail (Sholat Malam), Qiyam Tathowwu’ (Sholat Sunnah), infaq (sedekah), dan yang
semisalnya juga harus semangat dikerjakan.
Abu Abdirrohman
Abdulloh As-Sulami Rohimahullah berkata: “Orang-orang yang membacakan
Al-Qur’an kepada kami—yaitu para Shohabat—memberitahu kami bahwa mereka
mengambil bacaan dari Rosululloh ﷺ. Ketika mereka telah mempelajari sepuluh
ayat, mereka tidak akan melanjutkan ke ayat berikutnya hingga mereka
mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya. Maka kami mempelajari Al-Qur’an
dan amal secara bersamaan.”
Inilah manhaj
(metode) para Salaf Rohmatullah ‘alaihim ajma’in. Mereka mengaitkan ilmu
dengan amal. Karena mengamalkan ilmu membebaskan dari ancaman keras yang timbul
dari meninggalkan amal yang wajib, sebagaimana firman Alloh:
﴿يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ
تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ * كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا
لَا تَفْعَلُونَ﴾
“Wahai
orang-orang yang beriman, mengapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu
kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Alloh bahwa kamu mengatakan apa-apa yang
tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shof: 2, 3)
karena
mengamalkan ilmu menjauhkan dari sifat yang dibenci yang Alloh sifatkan kepada
orang Yahudi dalam firman-Nya:
﴿مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ
ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ
الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ﴾
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurot,
kemudian mereka tiada memikulnya (mengamalkannya) adalah seperti keledai yang
membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan
kaum yang mendustakan ayat-ayat Alloh itu. Alloh tiada memberi petunjuk kepada
kaum yang zholim.”
(QS. Al-Jumu’ah: 5)
Mengamalkan
ilmu juga merupakan cara untuk mencapai tujuan yang diharapkan dari menuntut
ilmu. Oleh karena itu, Fudhoil bin ‘Iyadh Rohimahullah berkata:
لَا يَزَالُ الْعَالِمُ جَاهِلًا بِمَا عَلِمَ حَتَّى يَعْمَلَ
بِهِ؛ فَإِذَا عَمِلَ بِهِ كَانَ عَالِمًا
“Seorang
‘alim (orang berilmu) akan tetap bodoh dengan ilmunya sampai ia mengamalkannya.
Jika ia telah mengamalkannya, barulah ia menjadi ‘alim.”
Da’wah
Salafiyyah sangat memperhatikan dan memelihara
prinsip ini, serta mendorong orang untuk menyibukkan diri dengannya. Karena
menyibukkan diri dengan amal lebih bermanfaat daripada menyibukkan diri dengan
hal-hal yang tidak ada faedahnya, seperti ucapan mubah (boleh) dan yang
semisalnya.
Seandainya para
pemuda kita—semoga Alloh Ta’ala membimbing mereka—mengerjakan prinsip
ini dengan sebenar-benarnya, niscaya mereka akan selamat dari jatuh ke dalam
banyak hal yang bukan menjadi tugas mereka, dan menyibukkan diri dengannya
adalah pembuangan waktu. Seperti menyibukkan diri dengan mengikuti politik, dan
mengajak semua orang untuk memikirkannya.
Urusan-urusan
ini dan yang semisalnya bukanlah urusan penuntut ilmu, melainkan itu adalah
wewenang para pemimpin atau orang yang mereka delegasikan. Ketika sekelompok
pemuda menyerobot urusan ini dan menempatkan diri mereka pada posisi pemimpin,
terjadilah kebodohan mereka, dan muncul penyimpangan mereka, serta rusaknya
negara mereka dalam isu-isu ini. Karena mereka hanya mengandalkan
potongan-potongan koran asing dan siaran-siaran radio kafir, mereka
mempercayainya—“La haula wa la quwwata illa billah.” (Tiada
daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Alloh)—dan mereka membangun
hukum-hukum (pendapat) mereka di atasnya.
Sebagaimana kenyataan yang terjadi dalam Perang Teluk, sebagian dari mereka
mengandalkan potongan-potongan dan siaran-siaran radio semacam itu, sehingga
mereka mencelakakan kaum Muslimin, menanamkan rasa takut di hati mereka,
memecah belah persatuan mereka, dan merobek-robek kesatuan mereka yang tadinya
kokoh.
Ketergantungan
pada potongan-potongan koran dan siaran-siaran radio asing ini adalah puncak
dari apa yang mereka sebut sebagai “Ushul Fiqhil Waqi.’” (Prinsip-prinsip
Fiqih Realita). Ketika aliran baru ini muncul, ia merusak ilmu dan amal. Oleh
karena itu, kelemahan dalam ilmu dan amal tampak jelas pada pemuda umat ini.
Kamu melihat pemuda-pemuda fiqih realita tidak menerapkan hukum-hukum syari’at
dalam banyak isu penting.
Wajib bagi para
pemuda kita untuk bertaqwa kepada Alloh Ta’ala pada diri mereka sendiri,
dan menyibukkan diri dengan apa yang mendatangkan manfaat yang besar bagi
mereka di dunia dan Akhirat.
Adapun menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, dan
melibatkan diri dalam apa yang bukan wewenangnya, maka keburukannya besar dan
akan melalaikan seseorang dari banyak pahala dan kebaikan.
Maka, para pemuda harus bertaqwa kepada Alloh Ta’ala pada diri
mereka sendiri dan mengamalkan ilmu yang mereka ketahui agar mereka beruntung
di dunia dan Akhirat.
***
Asal
Ke-3
[Berda’wah]: Berda’wah kepada Alloh Ta’ala di atas
Bashiroh
Jika Alloh
telah menganugerahkan seorang Muslim ilmu dan amal, maka ia harus segera
menyampaikan kebaikan ini kepada manusia dengan cara berda’wah (mengajak),
memberi nasihat, dan membimbing mereka. Karena ini adalah pekerjaan para Nabi.
Alloh Ta’ala berfirman tentang Nabi-Nya ﷺ:
﴿قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى
اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي﴾
“Katakanlah:
‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku, yaitu berda’wah kepada
Alloh dengan bashiroh (ilmu yang terang).’” (QS. Yusuf: 108)
Alloh telah mengangkat kedudukan da’i (juru da’wah) di atas yang lainnya. Alloh berfirman:
﴿وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّنْ
دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ﴾
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang
menyeru kepada Alloh, mengerjakan amal yang sholih, dan berkata: ‘Sesungguhnya
aku termasuk orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Alloh).’” (QS. Fushshilat: 33)
Adapun pahala
dan ganjarannya, maka itu sangat besar karena agungnya amalan tersebut. Seorang
da’i kepada Alloh memiliki pahala seperti pahala orang yang mengikutinya dalam
kebaikan, tanpa sedikit pun mengurangi pahala mereka. Nabi ﷺ bersabda:
«مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ
مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ
شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ
مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا»
“Siapa yang mengajak (orang lain) kepada petunjuk, maka dia akan
mendapat pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi
pahala mereka sedikit pun. Dan siapa yang mengajak (orang lain) kepada
kesesatan, maka dia akan mendapat dosa seperti dosa orang-orang yang
mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim no. 2674)
Dalam Hadits
yang diriwayatkan oleh Ali Rodhiyallahu ‘Anhu, Nabi ﷺ bersabda:
«لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا
وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ»
“Demi
Alloh, jika Alloh memberi petunjuk kepada seorang laki-laki melalui dirimu, itu
lebih baik bagimu daripada unta-unta merah (harta yang paling berharga bagi
orang Arob).” (HR. Muslim)
Penting untuk diketahui di sini bahwa tidak disyaratkan bagi seorang da’i
untuk menguasai semua hukum syari’at, tetapi yang wajib baginya adalah berilmu
tentang apa yang ia da’wahkan (yaitu isu yang ia sampaikan kepada orang lain
harus ia ketahui dengan ilmu syar’i). Oleh karena itu,
Nabi ﷺ bersabda:
«بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً»
“Sampaikan
dariku walaupun hanya satu ayat.” (HR. Al-Bukhori)
Jika seorang Muslim
mengetahui satu ayat dan memahami maknanya melalui ulama dan para mufassir,
atau mengetahui satu Hadits seperti itu dari Hadits-Hadits Rosululloh ﷺ, atau mengetahui satu
hukum Syar’i seperti itu melalui ulama, atau melalui karya-karya ulama, maka ia
harus menyampaikannya kepada orang lain, meskipun ia tidak mengetahui hukum,
Hadits, atau ayat selain itu.
Syaikh Al-‘Allamah Abdurrohman bin Qosim Rohimahullah
berkata dalam catatannya pada “Kitabut Tauhid”: “Da’wah kepada Alloh
harus memiliki dua syarat: harus ikhlas karena Alloh, dan harus sesuai dengan
Sunnah Rosululloh ﷺ. seorang da’i
harus berilmu tentang apa yang ia da’wahkan. Jika ia menyalahi syarat pertama,
ia menjadi musyrik, dan jika ia menyalahi syarat kedua, ia menjadi ahli bid’ah....”
Selesai ucapan beliau Rohimahullah.
Berdasarkan
syarat kedua yang beliau Rohimahullah sebutkan, kami katakan:
sarana-sarana da’wah kepada Alloh adalah tauqifiyyah (harus berdasarkan
dalil), tidak boleh mengada-adakan sesuatu yang tidak ada pada zaman Rosululloh
ﷺ.
Oleh karena itu, Salaf sangat keras mengingkari ahli sama’ (mendengarkan syair atau lagu-lagu) yang dilakukan oleh para
Shufiyyah, meskipun sama’ ini terlepas dari alat-alat musik yang harom.
Meskipun sama’ ini dianggap bermanfaat untuk melembutkan hati, itu tidak
dibolehkan karena tidak ada dalil yang mendukungnya dalam Al-Qur’an, Sunnah,
dan perbuatan Salaf umat ini Rodhiyallahu ‘anhum.
Oleh karena
itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahullah berkata dalam “Majmu’
Al-Fatawa” juz sebelas: “Adapun sama’ yang disengaja untuk
memperbaiki hati, yaitu orang-orang yang berkumpul untuk itu—baik berupa nasyid
(nyanyian) tanpa alat musik yang menyerupai ghubar (gendang), atau
dengan tepuk tangan—ini adalah sama’ yang baru diada-adakan dalam Islam.
Ini diada-adakan setelah berakhirnya tiga generasi yang dipuji oleh Nabi ﷺ, di mana beliau bersabda:
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian orang-orang setelah mereka,
kemudian orang-orang setelah mereka.” Sama’ ini dibenci oleh para
pembesar umat dan tidak dihadiri oleh para ulama senior.”
Syaikhul Islam Rohimahullah melanjutkan dalam pembicaraannya tentang sama’ ini: “Secara
ringkas, seorang Mukmin harus tahu bahwa Nabi ﷺ tidak meninggalkan sesuatu pun yang
mendekatkan ke Surga kecuali telah beliau sampaikan, dan tidak ada sesuatu pun
yang menjauhkan dari Neraka kecuali telah beliau sampaikan. Seandainya sama’
ini adalah sebuah kebaikan, niscaya Alloh dan Rosul-Nya telah mensyariatkannya.
Alloh berfirman:
﴿الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا﴾
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah:
3)
Jadi, meskipun seseorang menemukan manfaat pada sama’ ini untuk
hatinya, tetapi ia tidak menemukan dalilnya dari Al-Qur’an maupun Sunnah, maka
ia tidak boleh memperhatikannya.”
Sahl bin
Abdulloh At-Tustari berkata:
كُلُّ وَجْدٍ لَا يَشْهَدُ لَهُ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ فَهُوَ
بَاطِلٌ
“Setiap
perasaan (wajd) yang tidak didukung oleh Al-Qur’an dan Sunnah adalah
batil.”
Ad-Daroni berkata:
إِنَّهُ لَتُلِمُّ بِقَلْبِيَ النُّكْتَةُ مِنْ نُكَتِ الْقَوْمِ؛
فَلَا أَقْبَلُهَا إِلَّا بِشَاهِدَيْنِ عَدْلَيْنِ؛ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ
“Sungguh, ada sebuah poin dari perkataan suatu kaum yang
terlintas di hatiku, tetapi aku tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi yang
adil; yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.”
Inilah ucapan beliau Rohimahullah. Dalam ucapannya: “Jika
seseorang menemukan manfaat pada sama’ ini untuk hatinya, tetapi ia tidak
menemukan dalilnya dari Al-Qur’an maupun Sunnah...” —terdapat bantahan yang
paling tegas kepada orang yang membolehkan tamtsil (akting/ pementasan
drama) untuk da’wah kepada Alloh dengan anggapan adanya manfaat di dalamnya,
dan juga hati bisa lembut jika mendengarkannya dan melihat pemandangannya.
Maka dari itu, kami katakan: Wajib bagi sarana-sarana da’wah bersifat tauqifiyyah,
tidak disyariatkan di dalamnya kecuali apa yang ada pada zaman Rosululloh ﷺ dan
para Shohabatnya yang mulia.
***
Asal
Ke-4
[Aqidah]: Perhatian terhadap Aqidah Salaf secara Ilmu,
Amal, dan Pengajaran
Sungguh sangat
disayangkan bahwa akhir-akhir ini kita mendengar ucapan-ucapan yang memusuhi
aqidah dan menjauhkannya dari arena perhatian. Sebagian kelompok menganggap
masalah-masalah aqidah sebagai masalah-masalah cabang yang tidak perlu
diperhatikan, bahkan di antara mereka ada yang berkata: “Apa ruginya kita jika
kita menetapkan bahwa Alloh punya tangan atau tidak?”
Ini adalah
musibah dan bencana besar. Sudah menjadi pengetahuan umum bagi semua orang
bahwa aqidah tauhid memiliki kedudukan yang sangat penting dalam syari’at.
Seluruh makhluk diciptakan untuk tujuan yang agung, yaitu beribadah kepada
Alloh Ta’ala. Sebagaimana firman Alloh:
﴿ وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ﴾
“Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.
Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki
supaya mereka memberi-Ku makan.” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56, 57)
Alloh tidak
mengutus para Rosul dan tidak menurunkan kitab-kitab kecuali untuk
merealisasikan tauhid dan mengajak manusia kepadanya. Sebagaimana firman Alloh:
﴿يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ
مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنْذِرُوا أَنَّهُ لَا إِلَهَ
إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ﴾
“Dia menurunkan para Malaikat dengan (membawa) wahyu dengan
perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya (yaitu) ‘Peringatkanlah
olehmu sekalian bahwasanya tidak ada Yang berhak disembah selain Aku, maka
hendaklah kamu bertaqwa kepada-Ku.’” (QS. An-Nahl: 2)
Juga firman-Nya:
﴿وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ
رَسُولٍ إِلَّا نُوحِيَ إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ﴾
“Kami tidak mengutus seorang Rosul pun sebelum kamu, melainkan
Kami wahyukan kepadanya: ‘Tidak ada yang berhak disembah melainkan Aku, maka
sembahlah olehmu sekalian akan Aku.’” (QS. Al-Anbiya’: 25)
Juga firman-Nya:
﴿وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ
رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ﴾
“Sesungguhnya Kami
telah mengutus pada tiap-tiap umat seorang Rosul (untuk menyerukan): ‘Sembahlah
Alloh (saja), dan jauhilah thoghut (sesembahan selain Alloh).’” (QS. An-Nahl: 36)
Perintah
pertama dalam Al-Qur’an adalah firman Alloh ‘Azza wa Jalla:
﴿ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ
قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴾
“Wahai
manusia, sembahlah Robbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqoroh: 21)
hal pertama
yang digunakan oleh para Rosul untuk membuka da’wah mereka kepada
kaumnya—sebagaimana Alloh ‘Azza wa Jalla kisahkan tentang mereka—adalah
ucapan mereka:
﴿ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ﴾
“Wahai kaumku, sembahlah Alloh, sekali-kali tidak ada Ilah
bagimu selain-Nya.” (QS. Al-A’rof: 59)
Nabi ﷺ berda’wah selama 23 tahun. Tiga belas
tahun di antaranya di Makkah. Dari 13 itu, 10 tahun beliau fokus menetapkan
tauhid, menyeru kepadanya, memerangi syirik, dan memperingatkan darinya. Sisa hidup beliau digunakan untuk menguatkan aqidah tauhid,
mengakarinya, dan menjelaskan hukum-hukum Syar’i.
Semua ini
menunjukkan dengan jelas pentingnya urusan aqidah, baik dalam belajar,
mengajar, mengamalkan, maupun berda’wah. Itu karena jika aqidah selamat dari
noda-noda, maka pemiliknya pasti termasuk penghuni Surga, meskipun ia pernah
melakukan dosa-dosa besar. Karena orang-orang yang melakukan dosa besar,
terserah kepada Alloh. Jika Dia berkehendak, Dia akan mengadzab mereka,
kemudian memasukkan mereka ke Surga karena tauhid mereka, dan sebelumnya karena
karunia dan kemurahan-Nya. jika
Dia berkehendak, Dia akan mengampuni mereka. Demi Alloh, aqidah adalah
keselamatan dan penjagaan.
Engkau tidak
akan melihat seseorang yang aqidahnya lurus melainkan amal-amal kebaikan dan
ketaatan lainnya terasa lebih ringan baginya daripada mengangkat bulu. Oleh
karena itu, perhatian terhadapnya dan usaha untuk meluruskannya termasuk urusan
yang paling mulia dan amal yang paling agung.
Keutamaan
tauhid sangat banyak, tidak tersembunyi bagi penuntut ilmu dan da’i kepada
Alloh. Di antara keutamaannya adalah:
1.
Ia
mencegah kekekalan di dalam Neraka, meskipun di dalam hati hanya ada tauhid
seberat biji sawi.
2.
Jika ia
sempurna di dalam hati, ia mencegah masuk Neraka sama sekali.
3.
Juga
termasuk keutamaannya: mendapatkan petunjuk yang sempurna dan rasa aman yang
sempurna di dunia dan Akhirat, jika ia merealisasikannya.
4.
Juga:
orang yang paling beruntung dengan syafa’at (pertolongan) Al-Mushthofa ﷺ adalah orang yang
mengucapkan “La ilaha illalloh” dengan ikhlas dari hatinya.
5.
Juga:
amalan dan perkataan lahir maupun batin, penerimaannya, kesempurnaannya, dan
pahalanya yang banyak, bergantung pada tauhid. Semakin kuat tauhidnya, semakin
sempurna amalan-amalan tersebut.
6.
Juga: ia
membebaskan seorang hamba dari perbudakan kepada makhluk, keterikatan pada
mereka, takut pada mereka, berharap pada mereka, dan beramal demi mereka. Ini
adalah kemuliaan yang hakiki dan kehormatan yang tinggi... dan
keutamaan-keutamaan lain yang disebutkan oleh Syaikh Ibnu Sa’di dalam
catatannya pada “Kitabut Tauhid.”
Maka, wajib
atas para da’i kepada Alloh untuk memperhatikan urusan tauhid ini dan
memberikan perhatian besar kepadanya. Sungguh, sangat menyakitkan hati ketika
muncul generasi baru yang mengatakan:
“Mengapa
perhatian besar ini diberikan kepada tauhid?” “Mengapa kita tidak memperhatikan
urusan kaum Muslimin?”
“Kaum Muslimin
dibunuh di sana-sini, sedangkan kita menyeru untuk merobohkan kubah-kubah dan
menghilangkan Masjid-Masjid yang dibangun di atas kuburan, dan masalah-masalah
semacam itu!”
Orang yang mengucapkan
perkataan ini lupa atau pura-pura lupa dengan ucapan imam para ahli tauhid, Ibrohim:
﴿وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ
الْأَصْنَامَ﴾
“jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar
tidak menyembah berhala.” (QS. Ibrohim: 35)
Jika Kholil (kekasih Alloh), imam para ahli tauhid, yang Alloh jadikan
sebagai umat tersendiri, dan yang Alloh berfirman tentangnya:
﴿وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى﴾
“Ibrohim
yang selalu menyempurnakan janji.” (QS. An-Najm: 37), dan Alloh
memerintahkan Nabi-Nya Muhammad untuk mengikutinya dalam agama tauhidnya, serta
Alloh mengujinya dengan menyembelih putranya, lalu ia menaati perintah Alloh,
dan ia menghancurkan berhala-berhala dengan tangannya yang mulia, dan sangat
keras dalam mengingkari ahli syirik... dengan segala keutamaan itu, ia masih
takut jatuh ke dalam syirik, yaitu penyembahan berhala, yang merupakan syirik
terbesar. Maka bagaimana dengan syirik yang lebih kecil
darinya?
Oleh karena itu, Ibrohim At-Taimi Rohimahullah
berkata:
وَمَنْ يَأْمَنُ الشِّرْكَ بَعْدَ إِبْرَاهِيمَ
“Siapa yang merasa aman dari syirik setelah
Ibrohim?”
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rohimahullah
berkata tentang Hadits Abu Sa’id Al-Khudri Rodhiyallahu ‘Anhu:
«قَالَ مُوسَى: يَا رَبِّ، عَلِّمْنِي
شَيْئًا أَذْكُرُكَ وَأَدْعُوكَ بِهِ. قَالَ: يَا مُوسَى، قُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ»
“Musa
berkata: ‘Wahai Robb, ajarilah aku sesuatu agar aku dapat mengingat-Mu dan
berdo’a kepada-Mu.’ Alloh berfirman: ‘Wahai Musa, ucapkanlah: La ilaha illalloh.’”
(HR. Ibnu Hibban)
Syaikhul Islam
Muhammad bin Abdul Wahhab Rohimahullah berkata dalam “Kitabut Tauhid”
terkait Hadits ini:
فِيهِ: أَنَّ الْأَنْبِيَاءَ يَحْتَاجُونَ لِلتَّنْبِيهِ عَلَى
فَضْلِ «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ»
“Di
dalamnya terdapat (pelajaran) bahwa para Nabi membutuhkan diingatkan tentang
keutamaan ‘La ilaha illalloh.’”
Maka, wajib
bagi kita untuk memberikan perhatian yang besar pada urusan ini. Jika urusan
ini lurus, maka apa yang setelahnya akan lebih ringan dan lebih mudah, dan ia
menjamin keselamatan amalan-amalan setelahnya. Namun, jika prinsip ini rusak,
maka tidak ada manfaat, tidak ada kebaikan, dan tidak ada penerimaan.
***
Asal
Ke-5
[Sunnah]: Perhatian terhadap Sunnah Nabawiyyah, Bersemangat
Mengamalkannya, dan Mengajak kepada Hal itu
Sesungguhnya
yang paling berhak untuk diperhatikan oleh seorang Muslim adalah beramal dengan
mengikuti jejak Nabi-Nya ﷺ, dan merealisasikannya dalam kehidupannya semampu dirinya.
Karena tujuan yang perlu diusahakan oleh seorang Muslim adalah untuk
mendapatkan hidayah yang akan mengantarkannya ke negeri kebahagiaan. Alloh
berfirman:
﴿وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا﴾
“jika kamu menaatinya, niscaya kamu
mendapat petunjuk.” (QS. An-Nuur: 54)
firman-Nya:
﴿وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ﴾
“ikutilah ia, agar kamu mendapat petunjuk.”
(QS. Al-A’rof: 158)
firman-Nya:
﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ
أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ
كَثِيرًا﴾
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosululloh itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rohmat) Alloh dan
(kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Alloh.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Ayat ini adalah dasar yang agung dalam meneladani Rosululloh ﷺ dalam
perkataan, perbuatan, dan semua keadaannya, baik gerak-geriknya maupun diamnya.
teladan ini hanya dapat
ditempuh dan berhasil oleh orang yang mengharapkan (ridho) Alloh dan Hari
Akhir. Karena keimanan yang ada padanya, ketakutan kepada Alloh, harapan akan
pahala-Nya, dan ketakutan akan adzab-Nya, mendorongnya untuk meneladani
Rosululloh ﷺ.
Kemuliaan dan
kedudukan seorang Mukmin diukur dari seberapa banyak ia mengikuti Nabi ﷺ. Semakin banyak ia
berusaha mengikuti Sunnah, semakin berhak dan utama baginya untuk mendapatkan
derajat yang tinggi. Oleh karena itu, para Salaf yang terdahulu dari kalangan
Tabi’in Rohmatullah ‘alaihim ajma’in menjadikan ukuran untuk mengambil
ilmu dari seseorang adalah dengan melihat seberapa besar ia berpegang teguh
pada Sunnah. Sebagaimana Ibrohim An-Nakha’i berkata:
كَانُوا إِذَا أَتَوُا الرَّجُلَ لِيَأْخُذُوا عَنْهُ الْعِلْمَ
نَظَرُوا إِلَى صَلَاتِهِ، وَإِلَى سُنَّتِهِ، وَإِلَى هَيْئَتِهِ، ثُمَّ يَأْخُذُونَ
عَنْهُ
“Dulu,
jika mereka datang kepada seseorang untuk mengambil ilmu darinya, mereka
melihat Sholatnya, Sunnahnya, dan prilakunya, barulah mereka mengambil ilmu
darinya.”
Salah seorang
ulama berkata: “Sesungguhnya di antara tanda-tanda orang yang mencintai Alloh
adalah mengikuti kekasih Alloh ﷺ dalam akhlaq, perbuatan, perintah, dan
sunnahnya.” Ini adalah kebenaran yang diambil dari Kitab Alloh. Alloh Ta’ala
berfirman:
﴿قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ
فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ
رَحِيمٌ﴾
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Alloh, ikutilah
aku, niscaya Alloh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Alloh Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imron: 31)
Al-Hasan
Al-Bashri berkata dalam tafsir ayat ini:
جَعَلَ اللَّهُ عَلَامَةَ حُبِّهِ إِيَّاهُمْ اتِّبَاعَ سُنَّةِ
رَسُولِهِ
“Alloh
menjadikan tanda cinta-Nya kepada mereka adalah dengan mengikuti Sunnah
Rosul-Nya.”
Telah
diriwayatkan secara mutawatir nash-nash (dalil-dalil) dari Al-Qur’an dan
Sunnah, serta perkataan para Shohabat dan Tabi’in, yang menganjurkan amal
dengan Sunnah dan mendorong untuk berpegang teguh padanya. Di antara Hadits
yang paling terkenal adalah Hadits ‘Irbadh bin Sariyah Rodhiyallahu ‘Anhu
bahwa beliau berkata: “Rosululloh ﷺ memberikan nasehat kepada kami yang
membuat air mata berlinang dan hati bergetar. Maka kami berkata: ‘Wahai
Rosululloh, ini adalah nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat.’ Beliau
bersabda:
«تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا، لَا يَزِيغُ
عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ، وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا؛
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ
بَعْدِي، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ»
“Aku tinggalkan kalian di atas jalan yang putih bersih, malamnya
seperti siangnya, tidak ada yang menyimpang darinya setelahku kecuali orang
yang binasa. Siapa di antara kalian hidup (lama), maka
ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk
berpegang pada Sunnahku dan Sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat
petunjuk setelahku. Gigitlah ia dengan gigi geraham.”
sabda beliau ﷺ: “Wajib bagi kalian
atas Sunnahku”, yaitu: atas jalan (metode)ku yang aku tempuh, yaitu apa
yang aku jelaskan kepada kalian dari hukum-hukum, baik aqidah maupun amaliyah
(praktis), baik wajib maupun sunnah.
Adapun
pengkhususan Sunnah oleh para ahli ushul sebagai “perkara yang dianjurkan
(diminta) tanpa paksaan” adalah istilah yang baru muncul, yang tujuannya adalah
untuk membedakannya dari fardhu (wajib).
Sunnah dalam
bahasa Syari’ (pembuat syari’at), jika disebutkan secara mutlak, yang dimaksud
adalah jalan (metode) Syar’i yang ditempuh oleh Nabi ﷺ dalam ibadah, mu’amalah
(interaksi), akhlaq, gerakan, dan diamnya beliau.
‘Urwah bin
Az-Zubair Rodhiyallahu ‘Anhu berkata:
السُّنَنَ السُّنَنَ؛ فَإِنَّ السُّنَنَ قِوَامُ الدِّينِ
“Sunnah,
Sunnah! Karena sesungguhnya Sunnah adalah tiang agama.”
Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu
‘Anhu sangat mengikuti perintah Rosululloh ﷺ, jejak-jejaknya, dan
keadaannya, ia begitu memperhatikannya hingga ia dikhawatirkan gila karena
perhatiannya yang luar biasa terhadap hal itu.
Az-Zuhri Rohimahullah
berkata:
كَانَ مَنْ مَضَى مِنْ عُلَمَائِنَا يَقُولُ: الِاعْتِصَامُ
بِالسُّنَّةِ نَجَاةٌ
“Dahulu,
para ulama kami berkata: Berpegang teguh pada Sunnah adalah keselamatan.”
Memperhatikan
Sunnah memiliki banyak faidah yang tidak terhitung. Di antaranya: mendapatkan
derajat kecintaan (Alloh) yang Alloh ‘Azza wa Jalla firmankan dalam
Hadits Qudsi:
«وَلَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ
إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ؛ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي
يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا،
وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي
لَأُعِيذَنَّهُ»
“Hamba-Ku
senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan Sunnah hingga Aku
mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang
ia gunakan untuk mendengar, pandangannya yang ia gunakan untuk melihat,
tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan kakinya yang ia gunakan untuk
berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, pasti Aku akan memberinya, dan jika ia
memohon perlindungan kepada-Ku, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Al-Bukhori)
Di antara
faidah berpegang teguh pada Sunnah adalah ia menutupi kekurangan fardhu
(kewajiban). Berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
«إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ
بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلَاةُ، فَيَقُولُ اللَّهُ لِمَلَائِكَتِهِ:
انْظُرُوا لِصَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا؟ فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ
لَهُ تَامَّةً، وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ اللَّهُ: انْظُرُوا هَلْ
لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ: أَتِمُّوا لِعَبْدِي
فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ»
“Sesungguhnya
amal pertama yang dihisab (dihitung) dari manusia pada hari Kiamat adalah Sholat.
Maka Alloh berfirman kepada Malaikat-Nya: ‘Lihatlah Sholat hamba-Ku, apakah ia
menyempurnakannya atau menguranginya?’ Jika Sholatnya sempurna, maka dicatat
baginya Sholat yang sempurna. Jika ada yang kurang darinya, Alloh berfirman: ‘Lihatlah,
apakah hamba-Ku memiliki Sholat sunnah?’ Jika ia memiliki Sholat sunnah, Alloh
berfirman: ‘Sempurnakanlah bagi hamba-Ku fardhunya dari Sholat sunnahnya.’”
Juga, bagi
orang yang berpegang teguh pada Sunnah di akhir zaman, ia akan mendapatkan
pahala yang besar. Berdasarkan Hadits ‘Utbah bin Ghozwan bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«إِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامَ الصَّبْرِ،
لِلْمُتَمَسِّكِ فِيهِنَّ يَوْمَئِذٍ بِمَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرُ خَمْسِينَ مِنْكُمْ».
قَالُوا: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَوْ مِنْهُمْ! قَالَ: «بَلْ مِنْكُمْ»
“Sesungguhnya
di belakang kalian ada hari-hari kesabaran. Orang yang berpegang teguh pada apa
yang kalian pegangi pada hari itu akan mendapatkan pahala 50 dari kalian.”
Mereka bertanya: “Wahai Nabi Alloh, atau dari mereka?” Beliau menjawab: “Bahkan
dari kalian.”
Para Salaf Rohimahullah
sangat tegas dalam meninggalkan sebagian Sunnah atau mencela orang yang
meninggalkannya secara mutlak. Karena ia bisa termasuk dalam keumuman sabda
Nabi ﷺ:
«فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ
مِنِّي»
“Siapa
yang berpaling dari Sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.” (HR. Al-Bukhori)
Oleh karena
itu, Imam Ahmad berkata:
مَنْ تَرَكَ الْوِتْرَ فَهُوَ رَجُلُ سُوءٍ، لَا يَنْبَغِي أَنْ
تُقْبَلَ لَهُ شَهَادَةٌ
“Siapa
yang meninggalkan Sholat Witir, maka ia adalah orang yang buruk. Tidak
sepantasnya kesaksiannya diterima.”
Maka, setiap
Sunnah Rosul ﷺ yang shohih (terbukti), kita akan berusaha keras untuk
menerapkannya dan mengajarkannya kepada orang lain. Agar Alloh menganugerahkan
kepada kita pahala orang yang menghidupkan Sunnah.
***
Asal Ke-6 [Ulama]: Keterikatan yang Kuat dengan
Ulama Sunnah
Tidak ada yang tersembunyi bagi siapa pun tentang keutamaan ulama dan
kedudukan yang mereka tempati dalam syari’at Islam. Namun, sebagian orang
mencampuradukkan antara anjuran untuk terikat dengan ulama dan fanatisme serta
taqlid buta (mengikuti tanpa dalil) kepada mereka, dan ini adalah kesalahan
besar. Keterikatan dengan ulama berarti mengambil ilmu dari mereka, mengambil
manfaat dari bimbingan dan arahan mereka. Ia juga berarti taqlid (mengikuti)
mereka bagi orang awam yang boleh bertaqlid dan orang yang tidak memenuhi
syarat untuk membedakan keputusan dalam isu-isu ilmiah.
Keterikatan dengan ulama Salaf ini telah kami tetapkan dan jelaskan
sebelumnya, serta kami jelaskan faidahnya dan bahaya yang timbul jika
orang-orang meninggalkannya.
Syaikh Abdurrohman As-Sa’di Rohimahullah berkata dalam konteks
menjelaskan nikmat Alloh atas negeri ini: “Maka Dia mensucikan agamamu dari bid’ah
dan kesyirikan, dan menyelamatkanmu dari sarana-sarana syirik serta jalan-jalan
kesesatan dan kebinasaan dengan sarana dan sebab yang dimudahkan oleh Alloh. Di
mana Dia membangkitkan untukmu setiap imam yang istiqomah di atas Shirothul
Mustaqim. Maka imammu adalah Imam Ahmad bin Hanbal, imam terbesar yang menukil
Sunnah dan Al-Qur’an. Melalui beliau dan para sahabatnya, pengikut, serta orang-orang yang sepertinya,
Ahli Sunnah dapat dikenal dari ahli bid’ah dari seluruh kelompok dan partai. Hingga
Alloh membangkitkan Syaikhul Islam wal Muslimin Ahmad bin Taimiyyah, yang
berjihad melawan orang-orang kafir, munafik, dan seluruh orang yang menyimpang,
serta menampakkan dari Sunnah dan ilmu-ilmunya yang shohih dan jelas apa yang
tidak mampu dijangkau oleh akal generasi pertama dan terakhir. Murid-murid dan
pengikutnya dari kalangan ulama yang teliti menempuh jalannya, hingga tibalah
giliran Syaikh jazirah (Semenanjung Arob) dan imamnya, Syaikhul Islam Muhammad
bin Abdul Wahhab. Maka beliau menegakkan urusan ini dengan sebaik-baiknya,
terus berjihad melawan musuh-musuh hingga menyebarkan tauhid yang murni dan
Sunnah yang jelas di tengah hamba-hamba, serta menumpas syirik dan
sarana-sarananya, juga bid’ah dan kerusakan. Maka, jazirah (Arob) menjadi
bersih—walhamdulillah—dan diwarnai dengan Sunnah dan tauhid. Ia selamat
dari syirik berkat upaya beliau yang disyukuri, dan upaya murid-muridnya,
keturunannya, serta para pendukungnya. Maka —walhamdulillah— kamu tidak
akan menemukan di sana kubah di atas kuburan, atau tempat-tempat suci, atau
tawassul (perantara) dengan makhluk, atau maulid (perayaan kelahiran Nabi),
atau tempat-tempat ibadah (selain Masjid). Bukankah ini termasuk nikmat Alloh
terbesar bagimu dan kebaikan-Nya yang paling agung kepadamu, di mana Dia
membangkitkan untukmu para pemimpin mulia yang dengannya Alloh menjaga agama
yang benar, yang telah terealisasi dan tersebar hingga kamu, ayah-ayahmu, dan
anak-anakmu tumbuh di atasnya. Kalian minum dari sumber syari’at yang paling jernih
dan mengambil dari kejernihannya dengan cara terbaik, tanpa upaya atau kekuatan
dari kalian, tidak pula karena kecerdasan. Sesungguhnya itu adalah karunia
Alloh yang tiada batasnya. Sementara itu, kalian melihat daerah-daerah lain
dipenuhi dengan syirik, kekufuran, penyimpangan, bid’ah, pembangunan
tempat-tempat suci di atas kuburan, dan akhlak yang buruk. Maka, pujilah Robbmu
atas nikmat-nikmat ini yang tidak mampu kalian hitung dan syukuri.”
Seandainya kita terikat dengan mata rantai yang diberkahi ini (Syaikhul
Islam Muhammad bin Abdul Wahhab, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan Imam Ahmad,
Rohmatullah ‘alaihim ajma’in) dengan keterikatan yang sempurna—niscaya
Alloh akan melindungi kita dari terjerumus ke dalam bid’ah dan mengikuti
arus-arus kebatilan yang menyesatkan, yang mengenakan pakaian Sunnah, padahal
Sunnah berlepas diri sepenuhnya dari mereka. kekurangan
ini tidak masuk kepada kita melainkan ketika kita meninggalkan manhaj ini,
berpaling darinya, dan menganggap cukup dengan manhaj-manhaj yang didatangkan
oleh orang-orang dari Mesir, India, dan tempat lain. Padahal itu adalah
manhaj-manhaj yang sangat jauh dari manhaj Salafus Sholih.
***
Asal Ke-7 [Hisbiyyah]: Menjauhi Hizbiyyah
dan Jama’ah-Jama’ah Islamiyyah yang Bersifat Rahasia
Kami melihat dan menyaksikan kelompok-kelompok yang memisahkan diri dari
jama’ah Muslimin yang syar’i dengan ide-ide dan sistem yang mereka miliki.
Semua kelompok ini berkumpul di atas satu tujuan, yaitu membenci masyarakat Muslim
yang syar’i dan memandangnya sebagai masyarakat jahiliyah. Untuk menjadi
penilaian yang akurat, mereka pada umumnya memiliki pandangan ini dan meyakini
keyakinan ini. Di antara kelompok-kelompok ini adalah Jama’ah Ikhwanul Muslimin,
Jama’ah At-Tabligh, dan Hizbut Tahrir. Aku katakan, dan sungguh
disayangkan, ada orang yang menjadikan Salafiyyah sebagai sebuah partai seperti
partai-partai ini. ada orang yang
berusaha menjadikan Salafiyyah seperti partai-partai ini. Maka kami berlepas
diri kepada Alloh dari perbuatan ini dan kami berlindung kepada Alloh dari
kejahatan pelakunya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahullah berkata: “Adapun
penisbatan diri yang memecah belah kaum Muslimin dan di dalamnya ada
penyimpangan dari jama’ah dan persatuan menuju perpecahan, serta menempuh jalan
bid’ah dan meninggalkan Sunnah, maka ini adalah hal yang dilarang, pelakunya
berdosa, dan dengan itu ia keluar dari ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya.”
Alloh ‘Azza wa Jalla menamai kita dalam kitab-Nya sebagai Muslimin. telah tsabit (terbukti) dalam “Musnad
Imam Ahmad” bahwa Nabi ﷺ
bersabda:
«مَنْ دَعَا دَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
فَهُوَ جُثَاءُ جَهَنَّمَ». قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى!
قَالَ: «نَعَمْ، وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى، وَلَكِنْ تَسَمَّوْا بِاسْمِ اللَّهِ الَّذِي
سَمَّاكُمْ عِبَادَ اللَّهِ الْمُسْلِمِينَ الْمُؤْمِنِينَ»
“Siapa yang mengajak kepada ajakan jahiliyyah, maka ia adalah sampah
Jahannam.” Seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rosululloh, meskipun ia puasa dan
Sholat?” Beliau menjawab: “Ya, meskipun ia puasa dan Sholat. Akan tetapi,
namailah diri kalian dengan nama yang Alloh telah namai kalian, yaitu
hamba-hamba Alloh, kaum Muslimin, kaum Mukminin.”
Penamaan ini ada di awal Islam, dan pada saat itu tidak dikenal penisbatan
diri kecuali kepada Islam. Ketika bid’ah datang, hawa nafsu menyebar, dan
setiap pelaku bid’ah menjauh dari Islam, para Salaf kami yang sholih tidak
mendapati pilihan lain selain menampakkan julukan-julukan Syar’i mereka yang
membedakan mereka dari orang-orang yang menyesatkan selain mereka. Maka mereka
menamai diri mereka dengan nama-nama yang disebutkan dalam nash-nash (dalil),
seperti “Al-Jama’ah”, “Al-Firqotun Najiyah” (kelompok yang
selamat), dan “Ath-Thoifah Al-Manshuroh” (kelompok yang dimenangkan).
Mereka juga menamai diri mereka dengan apa yang mereka pegangi dari pengamalan
Sunnah, yang ditinggalkan oleh selain mereka. Seperti “As-Salaf”, “Ahlul
Hadits”, “Ahlul Atsar”, dan “Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Mereka lebih memilih julukan-julukan ini dan menamai diri mereka dengannya
karena banyak alasan, yang sebagiannya disebutkan oleh Fadhilatusy Syaikh Bakr
bin Abdulloh Abu Zaid Rohimahullah dalam kitabnya yang agung dan
berharga: “Hukmul Intima’ ila Al-Firoq wa Al-Ahzab wa Al-Jama’at
Al-Islamiyyah.” (Hukum Berkelompok dengan Sekte, Partai, dan Kelompok
Islam). Di antaranya: bahwa penisbatan diri ini tidak pernah terpisah dari umat
Islam sejak awal terbentuknya di atas manhaj kenabian. Di antaranya: bahwa
penisbatan diri ini mencakup seluruh ajaran Islam. Di antaranya: bahwa itu
adalah julukan-julukan. Di antaranya: ada yang tsabit (terbukti) dengan Sunnah
yang shohihah. di antaranya: ada
yang tidak muncul kecuali dalam menghadapi ahli hawa nafsu dalam menolak bid’ah
dan kesesatan mereka untuk membedakan diri dari mereka.
Kita dapati bahwa ketika bid’ah muncul, ahli kebenaran membedakan diri
dengan Sunnah, dan mereka berkata: “Kami adalah Ahli Sunnah.” Ketika ro’yu
(pendapat pribadi) berkuasa, mereka membedakan diri dengan Hadits dan Atsar,
dan mereka berkata: “Kami adalah Ahlul Hadits dan Ahlul Atsar.” di antaranya: bahwa julukan-julukan ini
tidak mendorong mereka untuk fanatik kepada seseorang selain Rosululloh ﷺ.
Di antaranya: bahwa julukan-julukan ini tidak mengarah pada bid’ah, tidak
pada maksiat, tidak pada fanatisme kepada seseorang, dan tidak pada fanatisme
kepada suatu kelompok. Di antaranya: bahwa ikatan wala’ (loyalitas) dan
baro’ (berlepas diri), loyalitas dan permusuhan mereka hanyalah di atas Islam
dan tidak ada yang lain.
Jika hal ini telah diketahui, maka telah ditetapkan dari ajaran Islam
secara dhoruri (pasti) bahwa tidak ada agama tanpa jama’ah, tidak ada
jama’ah tanpa imam, dan tidak ada imam tanpa sam’u wa tho’ah (mendengar dan
taat). Sebagaimana Umar bin Al-Khoththob Rodhiyallahu ‘Anhu
berkata:
لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ، وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ،
وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ
“Tidak ada Islam tanpa jama’ah, tidak ada jama’ah tanpa imaroh
(kepemimpinan), dan tidak ada imaroh tanpa tho’ah (ketaatan).”
Syaikh Al-'Allamah Bakr Abu Zaid berkata dalam kitabnya yang telah
disebutkan: “Inilah konsep syar’i tentang jama’ah Muslimin; mereka bersaudara
di atas manhaj kenabian (Al-Qur’an dan Sunnah), di bawah kepemimpinan seorang
imam yang memiliki kekuatan dan perlindungan. Ini adalah ikatan-ikatan umum di
antara kaum Muslimin untuk persatuan dan kekompakan jama’ah mereka. Sebesar
kelalaian, sebesar itu pula perselisihan dan kekacauan akan terjadi. Maka, jika
seorang individu atau suatu kelompok memisahkan diri dari mereka, ini adalah
perpecahan terhadap kaum Muslimin dan pemecah belah jama’ah mereka, dan secara
hakikatnya—pemisahan diri dari seluruh ajaran Islam di atas manhaj kenabian.”
Kelompok-kelompok Islam yang didirikan di atas dasar yang jauh dari Al-Qur’an
dan Sunnah ini, pada kenyataannya adalah perpecahan dari kaum Muslimin, dan
keburukan serta bahaya mereka jauh lebih besar daripada kebaikan mereka. Karena
ketika mereka memilih jalan yang tidak berafiliasi dengan Al-Qur’an dan Sunnah,
serta tidak mengambil dari Salaf umat ini, maka kekurangan pun masuk kepada
mereka dari pintu ini.
Waspadalah, waspadalah dari kelompok-kelompok yang mencurigakan ini.
Janganlah kalian—wahai para pemuda—menjadi korbannya. Demi Alloh, tidaklah ia
masuk ke suatu negeri dan menyebarkan racunnya di sana, melainkan perpecahan
dan perselisihan akan merajalela di dalamnya, dan kebencian serta permusuhan
akan muncul di antara penduduknya. Jika kamu ingin bukti atas hal itu,
bandingkan keadaan kita saat kita di atas manhaj Syaikh Imam Muhammad bin Abdul
Wahhab Rohimahullah dengan keadaan kita sekarang. Kelompok-kelompok ini
telah memisahkan antara ulama dan pemuda, dan membuat penghalang di antara
mereka. Dahulu, kita mempercayai ulama kita dengan kepercayaan yang besar—walhamdulillah
wa al-minnah—dan mengambil ilmu dari mereka, dan dampaknya dalam keadaan
ini berbeda dari dampak dalam keadaan yang aku sebutkan tadi. Dalam keadaan
ini, kita berada di atas kebaikan dan petunjuk.
Adapun sekarang, kita berada dalam kekacauan, keresahan, dan yang
semisalnya. Kelompok-kelompok ini juga telah merusak aqidah sebagian pemuda
kita, mengotori manhaj (metode) mereka, dan meyakinkan mereka untuk menjadikan wala’
(loyalitas) dan baro’ (berlepas diri) hanya untuk kelompok tersebut.
Tidak diragukan lagi bahwa sebagian dari kelompok-kelompok ini akan
memanfaatkan para pengikutnya yang tertipu untuk melakukan revolusi atau masuk
ke dalam fitnah. Maka janganlah peristiwa Al-Harom (Masjidil Harom) jauh dari
pandanganmu—wahai pemuda. Semoga Alloh menjauhkan kaum Muslimin dari setiap
keburukan dan melindungi kita dari setiap bencana.
***
Asal Ke-8 [Penguasa]: Komitmen
Kita terhadap Apa yang Ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, serta Apa yang Disepakati
oleh Salaf Umat Ini dalam Berinteraksi dengan Para Pemimpin dan Penguasa Kita
Kami mendengar dan menaati para pemimpin kami selama tidak dalam
kemaksiatan. Kami tidak berpendapat bolehnya memberontak terhadap penguasa Muslim,
betapapun banyaknya maksiat yang ia lakukan. Kami tidak ikut campur dalam
urusan dunia mereka, dan kami memberikan nasihat kepada mereka sesuai metode
Syar’i dengan jujur dan ikhlas, serta menyampaikan nasihat secara rahasia,
terutama di zaman fitnah. Kami berdo’a kepada Alloh agar mereka menjadi baik
dan beruntung, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, karena
kebaikan mereka adalah kebaikan bagi hamba dan negara.
Kami tidak suka menemui mereka kecuali bagi orang yang ingin memberi
nasihat atau mengadu. Kami berpendapat bahwa jihad harus bersama mereka. Kami
mengingkari orang yang mencela atau menjelek-jelekkan mereka, karena hal itu
dapat memicu rakyat untuk memberontak terhadap mereka atau tidak menaati
perintah-perintah Syar’i. Di sini aku akan menukil perkataan para imam da’wah Rohmatullah
‘alaihim ajma’in dalam “Ad-Duror As-Saniyyah.” (7/177, 178)
Syaikh Al-'Allamah Abdul Lathif bin Abdurrohman bin Hasan bin Muhammad bin
Abdul Wahhab Rohmatullah ‘alaihim ajma’in dan semoga Alloh membalas
mereka dengan sebaik-baiknya balasan atas Islam dan Sunnah—dalam sebuah
risalahnya yang ditujukan kepada salah seorang saudaranya yang tidak jelas
posisinya di masa fitnah (yaitu fitnah putra-putra Faishol Rohmatullah
‘alaihim ajma’in), beliau berkata: “Kemudian di sini ada masalah lain dan
bencana besar yang dengannya setan menimpa banyak orang, sehingga mereka
berusaha menyebarkan apa yang memecah belah jama’ah Muslimin, mewajibkan
perselisihan dalam agama, apa yang dicela oleh Al-Qur’an yang terang, dan
mengarah pada kecenderungan untuk (berdiam) di bumi, meninggalkan jihad, dan
menolong Robb sekalian alam. mengarah
pada pencegahan zakat serta penyalaan api fitnah dan kesesatan. Setan pun
berlembut hati dalam memasukkan tipu daya ini, dan ia menegakkan dalil-dalil
dan pengantar-pengantar untuk mereka, serta membuat mereka menyangka bahwa
ketaatan kepada sebagian penguasa yang dominan—yaitu dari kalangan penguasa—dalam
apa yang diperintahkan oleh Alloh dan Rosul-Nya dari kewajiban-kewajiban imam,
dan dalam apa yang di dalamnya terdapat pertahanan untuk Islam serta penjagaan
atas wilayahnya—tidak wajib dan tidak disyari’atkan dalam keadaan seperti ini.”
Ringkasan dari tipu daya itu adalah: “Ketaatan kepada sebagian penguasa
yang dominan tidak wajib dalam keadaan seperti ini—yaitu dalam keadaan
fitnah—dan tidak disyari’atkan.” Kemudian Syaikh membantah tipu daya ini: “Orang-orang
yang tertipu ini tidak menyadari bahwa sebagian besar penguasa kaum Muslimin
sejak zaman Yazid bin Mu’awiyah—kecuali Umar bin Abdul Aziz dan orang yang
Alloh kehendaki dari Bani Umayyah—telah terjadi pada diri mereka apa yang
terjadi berupa keberanian melakukan kejadian-kejadian besar, keluar (dari
Sunnah), dan kerusakan dalam kepemimpinan umat Islam. Meskipun demikian,
biografi para imam yang agung dan para pemimpin yang mulia bersama mereka
terkenal dan masyhur. Mereka tidak mencabut ketaatan sedikit pun dalam apa yang
diperintahkan oleh Alloh dan Rosul-Nya dari syari’at Islam dan
kewajiban-kewajiban agama.”
Kemudian beliau memberikan contoh: “Aku akan berikan contoh Al-Hajjaj bin
Yusuf Ats-Tsaqofi. Urusannya masyhur di tengah umat karena kezholiman dan sikap
berlebihannya dalam menumpahkan darah, melanggar kehormatan Alloh, dan membunuh
orang-orang terkemuka umat, seperti Sa’id bin Jubair. Ia mengepung Ibnu
Az-Zubair padahal ia berlindung di Al-Harom Asy-Syarif (Masjidil Harom), dan ia
menghalalkan kehormatan (Al-Harom), serta membunuh Ibnu Az-Zubair. Padahal Ibnu
Az-Zubair telah diberi ketaatan dan dibai’at oleh mayoritas penduduk Makkah,
Madinah, Yaman, dan sebagian besar wilayah Iraq. Al-Hajjaj adalah wakil Marwan,
kemudian wakil anaknya, Abdul Malik. Marwan tidak diangkat oleh salah satu dari
para khulafa dan tidak dibai’at oleh para ahlul halli wal ‘aqdi
(orang-orang yang memiliki wewenang untuk memilih pemimpin). Meskipun demikian,
tidak ada seorang pun dari para ulama yang ragu untuk taat kepadanya dan tunduk
kepadanya dalam hal-hal yang dibolehkan untuk taat kepadanya, yaitu rukun-rukun
Islam dan kewajiban-kewajibannya. Ibnu Umar dan para Shohabat Rosululloh ﷺ yang hidup di masa Al-Hajjaj tidak menentangnya dan tidak
menahan diri untuk taat kepadanya dalam hal-hal yang dapat menegakkan Islam dan
menyempurnakan keimanan. Demikian pula para Tabi’in di zamannya, seperti Ibnul
Musayyib, Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin, Ibrohim At-Taimi, dan orang-orang
yang sejenis dengan mereka dari para pemimpin umat.
Amalan ini terus berlanjut di antara ulama umat, dari para pemimpin dan
imamnya. Mereka memerintahkan untuk taat kepada Alloh dan Rosul-Nya, serta
berjihad di jalan-Nya bersama setiap imam, baik yang baik maupun yang jahat,
sebagaimana diketahui dalam kitab-kitab ushuludin dan aqidah. Demikian pula
Bani Abbasiyah yang menguasai negeri kaum Muslimin dengan paksa dan pedang,
tidak ada seorang pun dari para ulama dan orang-orang yang beragama yang
menolong mereka. Mereka membunuh banyak orang dari Bani Umayyah, para pemimpin,
dan wakil-wakil mereka. Mereka membunuh Ibnu Hubairoh, pemimpin Iraq, dan membunuh kholifah Marwan.
Hingga diriwayatkan bahwa As-Saffah membunuh sekitar 80 orang dari Bani Umayyah
dalam satu hari, kemudian ia menutupi jasad mereka dengan permadani dan duduk
di atasnya, lalu memanggil makanan dan minuman.
Meskipun demikian, biografi para imam seperti Al-Auza’i, Malik, Az-Zuhri,
Al-Laits bin Sa’ad, dan ‘Atho’ bin Abi Robah bersama para penguasa ini tidak
tersembunyi bagi orang yang memiliki pengetahuan dan wawasan tentang ilmu. Para
ulama di generasi kedua, seperti Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Ismail,
Muhammad bin Idris, Ahmad bin Nashr, Ishaq bin Rohuyah dan saudara-saudara
mereka—pada masa mereka terjadi bid’ah-bid’ah yang besar dari para penguasa,
seperti pengingkaran terhadap Sifat-Sifat Alloh, dan mereka mengajak kepada hal
itu serta menguji para ulama. Sebagian dari mereka dibunuh, seperti Ahmad bin
Nashr. Namun, tidak diketahui seorang pun dari mereka yang mencabut ketaatan
atau berpendapat bolehnya memberontak terhadap mereka.” Hingga Syaikh Rohimahullah
berkata kepada orang yang ia ajak bicara ini: “Jika ada sesuatu yang mengganjal
di hatimu, maka perbanyaklah memohon kepada Alloh dan bertawassul (mendekatkan
diri) dengan do’a-do’a yang ma’tsur (diriwayatkan), serta ulangilah
membaca apa yang terkandung dalam kitab sejarah Ibnu Ghonnam dari perkataan Syaikhul
Islam—yaitu Muhammad bin Abdul Wahhab—karena beliau telah menjelaskan panjang
lebar tentang masalah ini dalam risalah-risalah dan kesimpulannya.”
***
Asal Ke-9 [Ahli Bid’ah]: Memusuhi Ahli Bid’ah dan
Memperingatkan Umat dari Mereka
Para Salaf telah bersepakat untuk memusuhi ahli bid’ah dan memperingatkan
umat dari mereka, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Qodhi Abu Ya’la dan
para peneliti lainnya.
Hal yang perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah bahwa ahli bid’ah di
zaman kita sekarang ini menyembunyikan diri dengan pakaian Sunnah, dan
bersembunyi di balik namanya. Padahal, mereka tenggelam dalam bid’ah. Hal ini
diketahui oleh setiap orang yang melihat mereka dari dekat dan mengetahui apa
yang mereka sembunyikan berupa faham hizbiyyah, organisasi, upaya untuk
memberontak terhadap penguasa Muslim, melanggar bai’at, dan hal-hal semacam
itu.
Kebiasaan ahli bid’ah di zaman ini adalah kebiasaan ahli bid’ah di masa
lalu, dan dengan perbuatan ini, bid’ah mereka tersebar dan mengakar di dalam
hati.
Ibnu Baththoh Rohimahullah meriwayatkan dalam “Al-Ibanah”
dengan sanadnya dari Mufadhdhal bin Muhalhil, yang merupakan salah satu orang
terpercaya dan ahli ibadah dari Ahli Sunnah, bahwa ia berkata: “Seandainya
seorang ahli bid’ah itu ketika kamu duduk bersamanya ia menceritakan bid’ahnya,
niscaya kamu akan berhati-hati dan menjauh darinya. Akan tetapi, ia
menceritakan kepadamu Hadits-Hadits Sunnah di awal majlisnya, kemudian ia
memasukkan bid’ahnya kepadamu. Mungkin saja bid’ah itu menetap di hatimu, lalu
kapan bid’ah itu akan keluar dari hatimu?!”
Karena alasan yang jelas ini—yaitu masuknya bid’ah ke dalam hati dan
kekhawatiran bid’ah itu melekat di dalamnya—para Salaf Rohmatullah ‘alaihim
ajma’in tidak mau mendengarkan ucapan ahli bid’ah. Mereka sangat
berhati-hati untuk menjauhi tempat-tempat di mana ahli bid’ah berbicara.
Ibnu Baththoh juga meriwayatkan dalam “Al-Ibanah” dengan sanadnya
dari Ma’mar, ia berkata: “Ibnu Thowus sedang duduk. Lalu datanglah seorang
laki-laki dari kaum Mu’tazilah dan mulai berbicara. Ibnu Thowus memasukkan
kedua jarinya ke dalam telinganya dan berkata kepada anaknya: ‘Wahai anakku,
masukkan kedua jarimu ke dalam telingamu dan kuatkanlah, jangan dengar
sedikitpun dari ucapannya.’ Ma’mar berkata: ‘Ia bermaksud bahwa hati itu lemah.’”
Ibnu Baththoh juga meriwayatkan dalam kitab yang sama, atsar-atsar
(riwayat-riwayat) serupa. Di antaranya yang diriwayatkan dari Abdurrozzaq, ia
berkata tentang dirinya: “Ibrohim bin Muhammad bin Abi Yahya, salah seorang Mu’tazilah,
berkata kepadaku: ‘Aku melihat banyak Mu’tazilah di tempatmu.’ Aku menjawab: ‘Ya,
dan mereka mengira engkau termasuk dari mereka.’ Ia berkata: ‘Tidakkah engkau
masuk bersamaku ke toko ini agar aku dapat berbicara denganmu?’ Aku berkata: ‘Tidak.’
Ia bertanya: ‘Mengapa?’ Aku menjawab: ‘Karena hati itu lemah, dan agama bukan milik
orang yang mengalahkan.’”
Ibnu Baththoh juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Sa’id bin ‘Amir, ia
berkata: “Salam bin Abi Muthi’ menceritakan kepada kami bahwa seorang laki-laki
dari ahli hawa nafsu (penyimpangan) berkata kepada Ayyub As-Sikhtiyani: ‘Wahai
Abu Bakr, aku ingin bertanya kepadamu tentang satu kalimat.’ Ayyub berkata
sambil mengisyaratkan dengan jarinya: ‘Tidak, bahkan tidak setengah kalimat,
tidak setengah kalimat.’”
Seperti inilah para Salaf Rohmatullah ‘alaihim ajma’in menjauhi
mendengarkan ucapan ahli bid’ah, bahkan mereka memperingatkan dari hal itu. Itu
karena agar tidak ada sedikit pun bid’ah yang masuk ke dalam hati, yang pada
akhirnya akan menyebabkan kebinasaan. Jadi, bagaimana pendapat mereka tentang
orang yang bermajelis dengan ahli bid’ah dan menghadiri pelajaran mereka?!
Tidak diragukan lagi bahwa ucapan mereka tentang ini akan lebih keras dan lebih
kuat.
Oleh karena itu, ketika Sufyan Ats-Tsauri datang ke Bashroh, ia mulai
memperhatikan urusan Robi’ bin Shubaih dan kedudukannya di mata orang-orang. Ia
bertanya tentang mazhabnya, dan mereka menjawab: “Mazhabnya hanyalah Sunnah.”
Sufyan bertanya lagi: “Siapa teman-teman dekatnya?” Mereka menjawab: “Ahli
Qodar.” Sufyan pun berkata: “Dia adalah seorang Qodari.” Ibnu Baththoh Rohimahullah
berkomentar tentang ucapan Sufyan ini: “Semoga Alloh merohmati Sufyan
Ats-Tsauri, ia telah berucap dengan hikmah, lalu ia jujur, dan ia berbicara
dengan ilmu, lalu ia sesuai dengan Kitab dan Sunnah, serta apa yang diwajibkan
oleh hikmah dan disaksikan oleh mata, dan diketahui oleh ahli bashiroh
(orang yang berilmu) dan penjelasan. Alloh Ta’ala berfirman:
﴿يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا
تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِّنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi
teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, karena mereka tidak
henti-hentinya menimbulkan kemudhorotan bagimu.” (QS. Ali ‘Imron: 118)
Fudhoil bin ‘Iyadh Rohimahullah
berkata: “Roh itu adalah tentara yang berbaris. Jika ia saling mengenal, maka
ia akan bersatu, dan jika ia saling mengingkari, maka ia akan berselisih. Tidak
mungkin seorang Ahli Sunnah berteman dengan seorang ahli bid’ah kecuali karena
kemunafikan.” Ibnu Baththoh Rohimahullah berkomentar tentang itu: “Fudhoil
Rohimahullah benar, karena kami melihat hal itu secara nyata.”
Para Salaf Rohmatullah
‘alaihim ajma’in begitu sangat memperingatkan dari ahli bid’ah sampai Ahmad
bin Sinan berkata: “Sungguh, tetanggaku seorang pemain gendang lebih aku sukai
daripada tetanggaku seorang ahli bid’ah. Karena pemain gendang itu aku bisa
melarangnya dan memecahkan gendangnya, sedangkan ahli bid’ah merusak manusia,
tetangga, dan anak-anak.” Ibnu Baththoh Rohimahullah berkomentar tentang
topik ini: “Demi Alloh, wahai kaum Muslimin, janganlah seorang pun di antara
kalian terbawa oleh prasangka baiknya terhadap dirinya sendiri dan apa yang ia
ketahui tentang kebenaran mazhabnya sehingga ia membahayakan agamanya dengan
bermajelis dengan sebagian ahli hawa nafsu ini. Lalu ia berkata: ‘Aku akan
bergaul dengannya untuk berdebat atau untuk mengambil mazhabnya agar aku bisa
memperingatkan darinya setelah itu.’ Karena mereka—yaitu ahli bid’ah—lebih
besar fitnahnya dari Dajjal, dan perkataan mereka lebih menempel daripada
penyakit kudis, serta lebih membakar hati daripada api. Aku telah melihat
sekelompok orang yang dulunya melaknat dan mencela mereka. Lalu mereka
bermajelis dengan mereka untuk mengingkari dan membantah mereka, tetapi
pergaulan dan tipu daya yang tersembunyi, serta kekufuran yang halus terus
merasuki mereka sampai mereka cenderung kepada mereka.”
Kami menyaksikan
orang-orang seperti itu di zaman kita. Mereka mengatakan: “Kami bermajelis
dengan ahli bid’ah ini untuk menasihati mereka, dan untuk mengetahui manhaj
(metode) rahasia mereka yang mereka sembunyikan agar kami dapat memperingatkan
darinya setelah itu.” Kemudian setelah itu, mereka terjerumus ke dalam
perangkap mereka dan menjadi pembela mereka terhadap Ahli Sunnah. Semoga Alloh
melindungi kita semua dari hal itu. Inilah yang telah ditetapkan oleh para
Salaf.
Oleh karena itu, wajib
bagi orang yang takut dirinya rusak dan tersesat untuk berpegang teguh pada
manhaj ini dan menempuhnya. Demi Alloh, kaum itu menjauh (dari ahli bid’ah)
dengan dasar ilmu, dan mereka berpegang teguh (pada Sunnah) dengan dasar ilmu.
Al-Hafizh Ibnu Asakir
dalam “Tarikh Dimasyq” dalam biografi Ahmad bin ‘Aun Rohimahullah,
yang merupakan salah satu ulama Sunnah, menukil dari Abu Abdillah Muhammad bin
Ahmad bin Mufarrij: “Dahulu Abu Ja’far Ahmad bin ‘Aun adalah muhtasib
(petugas pengawas) terhadap ahli bid’ah. Ia bersikap keras kepada mereka,
menghinakan mereka, mencari keburukan mereka, bersegera dalam membahayakan
mereka, sangat kuat dalam menekan mereka, mengusir mereka jika ia mampu, dan
tidak menyisakan belas kasihan kepada mereka. Semua yang berasal dari mereka
takut kepadanya, berhati-hati, dan tidak berdamai dengan siapa pun dari mereka
dalam keadaan apa pun. Jika ia menemukan kemungkaran pada salah satu dari
mereka dan ada saksi di sisinya tentang penyimpangan dari Sunnah, ia akan
memusuhinya dan membongkar aibnya. Ia mengumumkan (kejelekan)nya dan berlepas
diri darinya, serta mencelanya di majelis-majelis, dan memprovokasi orang untuk
membinasakannya atau membuatnya kembali dari mazhabnya yang buruk dan
keyakinannya yang jelek. Ia terus-menerus melakukan hal ini dengan
sungguh-sungguh demi mengharap wajah Alloh ‘Azza wa Jalla, hingga ia
bertemu dengan Alloh. Ia memiliki jejak-jejak yang terkenal dan
peristiwa-peristiwa yang disebutkan dalam menghadapi kaum mulhid
(atheis/penyimpang).”
***
Asal Ke-10 [Komitmen]: Komitmen Kita terhadap Al-Qur’an dan Sunnah
dalam Semua Urusan dan Keadaan Kita
Komitmen kita terhadap
Al-Qur’an dan Sunnah dalam semua urusan dan keadaan kita adalah prinsip dari
segala prinsip dan yang menjadi hakim atasnya. Ini adalah berpegang teguh pada
firman Alloh:
﴿وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ
لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ
ضَلَالًا مُبِينًا﴾
“Hidaklah patut bagi
laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila
Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. siapa
mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang
nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
firman Alloh Ta’ala:
﴿إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ
إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا
وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ * وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ،
وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ﴾
“Sesungguhnya jawaban orang-orang Mukmin, bila mereka dipanggil
kepada Alloh dan Rosul-Nya agar Rosul menghukum (mengadili) di antara mereka
ialah ucapan ‘Kami mendengar, dan kami taat.’ mereka
itulah orang-orang yang beruntung. siapa
yang taat kepada Alloh dan Rosul-Nya, dan takut kepada Alloh dan bertaqwa
kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS.
An-Nuur: 51)
Hingga firman-Nya:
﴿قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ﴾
“Katakanlah: ‘Taatlah kepada Alloh dan taatlah kepada Rosul; dan jika
kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rosul hanyalah menyampaikan (amanat
Alloh), dan kewajiban kamu hanyalah melaksanakan apa yang dibebankan kepadamu. jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu
mendapat petunjuk. tidak lain
kewajiban Rosul itu melainkan menyampaikan (amanat Alloh) dengan terang.’” (QS.
An-Nuur: 54)
Ayat-ayat yang mendorong berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah, serta
memerintahkan untuk berpegang teguh pada keduanya, sangatlah banyak.
Hadits-hadits dari Rosululloh ﷺ juga
demikian. Di antaranya adalah yang tsabit (terbukti) dalam “Shohih Muslim”
bahwa Nabi ﷺ bersabda dalam Haji Wada’
(kumpulan kaum Muslimin yang paling besar):
«وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ
تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ: كِتَابَ اللَّهِ»
“aku telah
meninggalkan di tengah kalian sesuatu, yang kalian tidak akan sesat setelahnya
jika kalian berpegang teguh padanya, yaitu Kitab Alloh.”
Juga tsabit dalam “Mustadrok Al-Hakim” dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu
‘Anhu bahwa Nabi ﷺ
bersabda:
«تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ
تَضِلُّوا إِذَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي، وَلَنْ يَتَفَرَّقَا
حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ»
“Aku tinggalkan di tengah kalian dua hal, kalian tidak akan
sesat jika kalian berpegang teguh pada keduanya: Kitab Alloh dan Sunnahku. keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya
kembali kepadaku di Haudh (telaga).”
Ibnu ‘Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma berkata tentang firman
Alloh:
﴿فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ
وَلَا يَشْقَى﴾
“Maka siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan
tidak akan celaka.” (QS. Thoha: 123)
“Alloh menjamin bagi
siapa pun yang membaca Al-Qur’an dan mengikuti apa yang ada di dalamnya bahwa
ia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di Akhirat.”
Maka, komitmen terhadap
Al-Qur’an dan Sunnah adalah hal yang wajib. Para da’i kepada Alloh harus
memberinya perhatian yang besar dan menjadikannya di hadapan mata mereka.
Sungguh, di antara para da’i—dan sungguh disayangkan—ada yang mendahulukan hawa
nafsu dan pendapatnya atas Kitab Alloh dan Sunnah Rosul-Nya. Meskipun ia
menamai hawa nafsu atau pendapat ini dengan nama lain untuk membenarkan
penyimpangan ini, penamaan ini tidak memberi manfaat sedikit pun dan tidak
berguna di sisi Alloh. Karena nama tidak mengubah hakikat dari yang dinamai.
Orang-orang yang
menjadikan maslahat (kebaikan) da’wah bertentangan dengan Al-Qur’an dan
Sunnah—lalu mereka mendahulukannya atas nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah—mereka
telah sesat dari jalan yang lurus. Di antara apa yang mereka lakukan adalah, siapa
yang memusuhi mereka, menentang mereka, dan menyingkap kebatilan yang mereka
sembunyikan, mereka membolehkan untuk berbohong dan menuduhnya. Karena hal itu
menurut mereka adalah maslahat bagi da’wah. Mereka tidak menganggap firman
Alloh:
﴿وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا
مُبِينًا﴾
“Orang-orang
yang menyakiti orang-orang yang Mukmin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka
perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)
Mereka tidak menganggap ayat ini, karena maslahat da’wah di sisi mereka
lebih didahulukan.
Ini adalah kesalahan murni, dan kesesatan yang nyata yang wajib bagi orang
yang terjerumus di dalamnya untuk bertaubat kepada Alloh dan kembali kepada-Nya.
Karena apa yang ia jalani adalah kesesatan yang nyata dan dosa yang keji. Ini
adalah hal yang telah diperingatkan oleh para Salaf, dan ini pada hakikatnya
adalah kelanjutan dari ahlur ro’yi (orang-orang yang mengutamakan akal),
yang diperangi oleh para Salaf. Terjadi peperangan sengit antara mereka dengan
para Salaf sampai Alloh Ta’ala memenangkan Ahli Sunnah atas mereka, dan
menumpas kebatilan mereka. Bagi-Nya segala puji, karunia, dan nikmat.
perlu diketahui
bahwa tidak menghukumkan Al-Qur’an dan Sunnah dalam semua urusan dan keadaan
akan menimbulkan banyak bahaya dan kerusakan. Imam Ibnul Qoyyim Rohimahullah
telah menyebutkan sebagian dari kerusakan-kerusakan ini, dan sebagian dari
dampak-dampak yang menghancurkan ini, dan ia telah berbuat baik—semoga Alloh
membalasnya dengan kebaikan—ketika ia berkata dalam kitabnya “Al-Fawaid”:
“Ketika manusia berpaling dari menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai hakim
dan rujukan, dan mereka meyakini tidak cukupnya kedua-duanya, serta mereka
beralih kepada pendapat-pendapat, qiyas (analogi), istihsan
(menganggap baik), dan perkataan para guru—maka dari itu timbullah kerusakan
pada fitroh (naluri) mereka, kegelapan di hati mereka, kekeruhan pada pemahaman
mereka, dan hilangnya akal mereka. Perkara-perkara ini meliputi mereka dan
menguasai mereka sehingga anak kecil tumbuh di atasnya, dan orang tua menjadi
pikun di atasnya. Mereka tidak menganggapnya sebagai kemungkaran. Kemudian
datanglah masa lain di mana bid’ah menggantikan Sunnah, hawa nafsu menggantikan
akal, kesesatan menggantikan petunjuk, kemungkaran menggantikan kebaikan,
kebodohan menggantikan ilmu, riya’ menggantikan keikhlasan, kebatilan
menggantikan kebenaran, kebohongan menggantikan kejujuran, dan kompromi
menggantikan nasihat. Maka kekuasaan dan kemenangan menjadi milik hal-hal ini
dan orang-orangnya. Padahal sebelumnya ia adalah milik lawan-lawannya, dan
orang-orangnya lah yang menjadi contoh. Maka jika kamu melihat kekuasaan
hal-hal ini telah datang, bendera-benderanya telah ditegakkan, dan
pasukan-pasukannya telah menunggangi—maka demi Alloh, perut bumi lebih baik
daripada permukaannya, puncak gunung lebih baik daripada dataran, dan bergaul
dengan binatang buas lebih selamat daripada bergaul dengan manusia.”
Maka, wajib bagi para da’i kepada Alloh untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an
dan Sunnah dalam semua keadaan mereka. Karena komitmen terhadap Al-Qur’an dan
Sunnah mengandung kebaikan yang besar dalam agama dan dunia. Oleh karena itu,
ketika para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum merasa keberatan saat
Alloh ‘Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya:
﴿وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ
أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ﴾
“Jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikannya, niscaya Alloh akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatan itu.” (QS. Al-Baqoroh: 284)—mereka mendatangi Rosululloh ﷺ dan berkata: “Wahai Rosululloh, kami dibebani dengan amalan
yang kami mampu (Sholat, puasa, jihad, dan shodaqoh), tetapi ayat ini
diturunkan kepadamu, dan kami tidak mampu melakukannya.” Rosululloh ﷺ berkata kepada mereka: “Apakah kalian ingin berkata seperti apa
yang dikatakan oleh dua Ahli Kitab sebelum kalian: ‘Kami mendengar dan kami
tidak taat’? Sebaliknya, katakanlah: ‘Kami mendengar dan kami taat, (kami
memohon) ampunan-Mu, wahai Robb kami, dan kepada-Mulah tempat kembali.’” Ketika
para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum mengucapkan hal itu, Alloh
meringankan beban mereka dan menurunkan firman-Nya:
﴿لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا
وُسْعَهَا﴾
“Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
(QS. Al-Baqoroh: 286)
Siapa yang menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai hakim, Alloh akan
menjadikan baginya jalan keluar dari setiap kesusahan dan solusi dari setiap
kesulitan. Hal yang perlu disadari oleh mereka yang mengingkari para penguasa
yang menghukumkan undang-undang buatan manusia adalah bahwa mereka sendiri juga
menghukumkan selain syari’at Alloh dalam mu’amalah dan perilaku mereka. Aku
tidak mengatakan bahwa mereka menghukumkan selain syari’at Alloh dalam semua
urusan mereka, tetapi aku tidak berlebihan jika aku mengatakan: dalam banyak
urusan mereka.
Maka, hendaklah mereka bertaqwa kepada Alloh ‘Azza wa Jalla pada
diri mereka sendiri, dan menghisab (menghitung) diri mereka sebelum mereka
dihisab. Dengan Alloh-lah segala taufik. semoga
sholawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, serta kepada keluarga
dan seluruh Shohabatnya.
***