[PDF] 10 Pokok Da'wah Salafiyyah - أصول الدعوة السلفية - Dr. Abdussalam Barjas

Unduh PDF


Muqoddimah Penulis

Segala puji bagi Alloh, kami memuji-Nya, memohon pertolongan, dan ampunan-Nya. Kami berlindung kepada Alloh dari kejahatan diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Siapa yang Alloh beri petunjuk, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan siapa yang Alloh sesatkan, maka tidak ada yang bisa memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Alloh semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rosul-Nya.

Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam.

Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Robbmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Alloh menciptakan istrinya, dan dari keduanya Alloh mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. bertaqwalah kepada Alloh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Alloh selalu menjaga dan mengawasimu.

Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh dan ucapkanlah perkataan yang benar. Niscaya Alloh memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. siapa menaati Alloh dan Rosul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.

Adapun setelah itu:

Ucapan yang paling benar adalah Kitab Alloh, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad . Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di Neraka.

Da’wah Salafiyyah ditegakkan di atas beberapa prinsip yang memisahkannya dari sekte-sekte lain yang menyimpang dari Shirothul Mustaqim. sungguh, dua hal nyata yang telah mendorongku untuk mengumpulkan prinsip-prinsip ini.

Poin Pertama: Apa yang aku dan orang lain lihat, berupa peisbatan sebagian jama’ah-jama’ah Islam hizbiyyah (partai/kelompok) yang jauh dari Manhaj Salaf pada nama yang suci dan mulia ini, atau pada makna yang mengarah kepadanya, yaitu penisbatan diri kepada Salafus Sholih Rodhiyallahu ta’ala ‘anhum ajma’in. Yaitu mereka yang dikatakan oleh Nabi :

«خَيْرُ النَّاسِ قَرْني، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُم، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ»

“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku (Shohabat), kemudian orang-orang setelah mereka (Tabiin), kemudian orang-orang setelah mereka (Tabiut Tabiin). (Muttafaqun Alaih)

Kelompok-kelompok hizbiyyah ini pun mulai menerbitkan buku dan risalah mereka atas nama Salaf dan Ahli Sunnah, padahal dengan perbuatan ini mereka memasukkan racun ke dalam madu, dan mereka bersembunyi di balik julukan ini untuk menipu dan menyesatkan. demi Alloh, betapa banyak dalam buku-buku dan risalah-risalah ini terdapat penyimpangan dari manhaj Salafi, dan pembelaan terhadap mazhab para kholaf (generasi belakangan) dan firqoh-firqoh (kelompok-kelompok) sesat, seperti Khowarij, Mu’tazilah, dan Shufiyyah.

Poin Kedua: Apa yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ini atau sebagiannya, berupa mengaku pengikut seorang tokoh Ahli Sunnah wal Jama’ah untuk mencapai tujuan tertentu, yang mana tujuan itu hanya bisa dicapai melalui orang yang mereka ikuti, padahal orang tersebut berlepas diri sepenuhnya dari klaim ini.

Agar pembicaraan menjadi jelas, aku katakan: “Jama’ah Ikhwanul Muslimin telah mendengung-dengungkan tentang upaya Syaikh Muhammad bin Ibrohim Rohimahullah dalam apa yang mereka sebut dengan “Al-Hakimiyyah” (kafirnya penguasa yang berhukum dengan selain hukum Allah), mereka menonjolkan upaya imam ini dalam isu-isu tersebut. Mereka melakukan itu karena menyangka bahwa ucapan beliau mendukung kebatilan yang mereka sembunyikan berupa mengkafirkan negara, dan kemudian membolehkan pemberontakan terhadapnya. Demi Alloh, mereka telah berdusta dan mengada-adakan kebohongan atas beliau, karena posisi beliau terhadap negara jelas tidak diragukan.

Beliau Rohimahullah telah berbicara dengan ucapan yang baik dan indah dalam sebuah risalah bernama: “Nashihah Muhimmah fi Tsalaatsi Qodhooyaa.” (Nasihat Penting dalam Tiga Isu), di dalamnya beliau menyebutkan posisinya terhadap para pemimpin dan secara terang-terangan menyatakan wajibnya menaati mereka selama bukan dalam hal maksiat kepada Alloh. Ucapan yang Syaikh tulis dalam risalah tersebut dan yang semisalnya, adalah inti dari upaya Syaikh dalam isu hakimiyyah (memberontak penguasa zholim). Akan tetapi, mereka (Ikhwanul Muslimin) ini seperti orang-orang yang menutupi ayat dalam Taurot yang menjelaskan wajibnya rajam bagi pezina, karena mereka menyembunyikan dan menutupinya. Kita memohon kepada Alloh Ta’ala keselamatan dan penjagaan.

Adapun istilah “Al-Hakimiyyah” sendiri memiliki banyak catatan. Lebih dari satu penulis dan pemikir telah mengkritiknya. Doktor Muhammad Ammaroh berkata: “Itu adalah slogan asing (bukan dari Islam) yang masuk ke dalam warisan lama kita dan ijtihad (usaha) modern kita.” Sebagian penulis seperti Muhammad Sa’id Al-Asymawi, Ahmad Kamal, dan Hafizh Diyab berpendapat bahwa slogan ini sama dengan slogan Khowarij yang mereka angkat pada masa Ali bin Abi Tholib Rodhiyallahu ‘Anhu, yaitu:

لَا حُكْمَ إِلَّا اللَّهُ

La hukma illa lillah.” (Tidak ada hukum selain milik Alloh).

Aku kembali berkata: “Ketika aku melihat perbuatan tercela ini dari kelompok-kelompok tersebut telah memengaruhi sebagian pemuda kita, dan menipu mereka dengan slogan-slogan seperti ini, aku ingin menyebutkan prinsip-prinsip Da’wah Salafiyyah, yang dengannya Ahli Kebenaran dapat dibedakan dari yang selain mereka, dan orang yang benar-benar Salafi dapat dibedakan dari klaim yang berdusta. Karena ada sekelompok orang yang menunggangi nama Salafiyyah padahal mereka berlepas diri darinya. Asya’iroh mengklaim bahwa mereka adalah Ahli Sunnah wal Jama’ah, padahal mereka dusta. Ikhwanul Muslimin mengklaim bahwa mereka adalah Ahli Sunnah wal Jama’ah, padahal ada jarak yang jauh antara Ahli Sunnah wal Jama’ah dan manhaj mereka, serta apa yang mereka jalani.

Prinsip-prinsip yang akan aku sebutkan ini adalah yang telah disepakati oleh para da’i manhaj Salafi, baik di masa lalu maupun sekarang. Sebelum aku menyebutkan prinsip-prinsip ini dan menjelaskannya dengan penjelasan yang memuaskan dan mencukupi—in syaa Alloh—aku katakan: “Salafiyyah yang kita da’wahkan bukanlah seperti kelompok-kelompok Islam hizbiyyah yang ada sekarang, karena sesungguhnya Salafiyyah adalah Jama’ah Muslimin. Maka setiap orang yang meyakini aqidah Salafiyyah dan menerapkannya dalam kehidupannya, dia adalah seorang Salafi. Kita tidak membeda-bedakan antara satu orang dengan yang lainnya. kita tidak memiliki hubungan dengan selain pemimpin kita, baik dari para penguasa maupun ulama. Kami tidak menyembunyikan sedikit pun dari apa yang kami miliki, bahkan apa yang kami yakini telah tercatat dalam buku-buku dan terekam dalam kaset-kaset, sehingga tidak ada kerahasiaan dan tidak ada organisasi, kecuali organisasi penguasa (waliyul amr).

Kami memandang bahwa keterikatan dengan para ulama Salaf adalah suatu keharusan. Mereka diwakili pada kurun (generasi) terakhir oleh para imam Da’wah Najdiyyah—rohmatullohi tabaroka wa ta’ala ‘alaihim ajma’in—dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka pada masa mereka dan setelah mereka. Sekarang ini, kami mengambil ilmu dari ulama-ulama kami yang dikenal sebagai Ahli Sunnah, yang tidak terkontaminasi oleh kotoran-kotoran bid’ah dan tidak terjerat oleh hawa nafsu. mereka itu banyak—walhamdulillah wa al-minnah (segala puji dan karunia hanya milik Alloh)—di antaranya:

1.    Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baz.

2.    Syaikh Muhammad bin Nashiruddin Al-Albani.

3.    Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin.

4.    Syaikh Sholih bin Fauzan Al-Fauzan.

5.    Syaikh Abdulloh bin Abdurrohman Al-Ghuddoyyan.

6.    Syaikh Sholih bin Abdurrohman Al-Athrom.

7.    Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-Abbad.

8.    Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh Alusy Syaikh.

9.    Syaikh Bakr bin Abdulloh Abu Zaid.

10. Syaikh Sholih bin Muhammad Al-Luhaidan.

11. Serta ulama-ulama lainnya yang mengikuti jejak mereka.

Kami tidak meyakini mereka ma’shum (terjaga dari kesalahan), tetapi mereka adalah manusia yang mengalami apa yang dialami manusia lainnya, yaitu kesalahan dan lupa.

Kami sangat memperhatikan ilmu, dan kami menyibukkan diri kami dengan menuntutnya dari ulama-ulama ini dan dari siapa saja yang mengikuti jejak mereka. Kami telah membaca (hatam)—alhamdulillah—kitab-kitab Hadits, seperti ummahatus sittah (Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah) dan syarahnya (penjelasannya) yang dikenal. Juga kitab-kitab tafsir, seperti Ibnu Jarir, Al-Baghowi, Ibnu Katsir, dan Ibnu Sa’di. Kami membaca kitab-kitab aqidah Salafiyyah, seperti kitab-kitab As-Sunnah secara umum, “Kitabut Tauhid” karya Ibnu Khuzaimah, dan “Kitabut Tauhid” karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Kami juga membaca kitab-kitab beliau yang lain Rohimahullah, dan juga kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim. Kami sangat memperhatikan kitab-kitab imam-imam Da’wah, dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hingga hari ini. Ulama-ulama Da’wah sekarang adalah yang aku sebutkan tadi.

Kami membaca kitab-kitab fiqih, kami mendorong untuk menghafal “Az-Zad” (yaitu “Zadul Mustaqni’” karya Al-Hajjawi) dengan syarat harus mengetahui dalilnya dan mengikutinya. Kami tidak mencela orang yang menghafal matan (teks) fiqih dengan syarat ia melihat dalil-dalilnya, dan kami membenci fanatisme serta meninggalkannya sepenuhnya. Kami memperhatikan ilmu nahwu dan shorf (tata bahasa Arob), serta kitab-kitab adab (sastra) dan sya’ir (puisi).

Kami mengajak manusia untuk memperbaiki diri mereka dengan memperbaiki aqidah dan akhlaq mereka, serta dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah. Kami mendorong untuk menerapkan sunnah-sunnah dan mendukung penghidupannya. Kami berkeyakinan bahwa siapa saja yang berusaha mewujudkan Salafiyyah hizbiyyah (partai) seperti kelompok-kelompok hizbiyyah yang ada, maka dia telah salah dan kami berlepas diri darinya.

Ini adalah gambaran umum dari apa yang kami jalani. Kami memohon kepada Alloh Ta’ala agar membimbing kami, menguatkan kami, memberikan manfaat kepada kami, dan menjadikan kami bermanfaat bagi yang lain. Sesungguhnya Dia-lah Waliyul Qoshd (Penentu Tujuan) dan Yang Maha Mampu atasnya. ini adalah rincian dari prinsip-prinsip kami atau rincian sebagiannya.

***

 

Asal Ke-1 [Ilmu]: Perhatian dan Pemfokusan pada Menuntut Ilmu Syar’i dan Pemahaman yang Mendalam tentang Agama

Meskipun banyak kelompok-kelompok Islam saat ini tidak berpegang pada ilmu Syar’i, dan banyak pengikut kelompok-kelompok tersebut juga tidak berpegang pada ilmu Syar’i, Da’wah Salafiyyah memberikan perhatian yang besar pada menuntut ilmu Syar’i. Karena ilmu adalah pilar dan pondasi yang kokoh yang di atasnya kehidupan dibangun. Pembangunan individu dan pembangunan masyarakat tidak akan tegak dan baik kecuali dengan ilmu Syar’i. Oleh karena itu, Alloh memerintahkan Nabi-Nya Muhammad dengan ilmu sebelum perkataan dan perbuatan. Alloh berfirman:

﴿فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ﴾

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Yang berhak disembah selain Alloh dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mukmin.” (QS. Muhammad: 19)

Kami menjadikan ilmu sebagai awal dari prinsip-prinsip karena jalan itu banyak, dan semuanya adalah jalan kesesatan kecuali jalan Rosululloh . Sebagaimana Alloh berfirman:

﴿وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ﴾

bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’am: 153)

Tidak ada jalan untuk menempuh jalan Sunnah kecuali dengan ilmu yang menyingkap kebenaran dan menerangi jalan. Oleh karena itu, Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman:

﴿قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي﴾

“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku, yaitu berda’wah (mengajak) kepada Alloh dengan bashiroh (ilmu yang yang bersumber Quran dan Sunnah).’” (QS. Yusuf: 108)

Makna firman-Nya: “dengan Bashiroh” adalah dengan bukti dan hujjah (argumen), yaitu ilmu yang bermanfaat.

Imam Ahmad Rohimahullah berkata:

النَّاسُ إِلَى تَعَلُّمِ الْعِلْمِ أَحْوَجُ مِنْهُمْ إِلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ؛ لِأَنَّ الرَّجُلَ يَحْتَاجُ إِلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ فِي الْيَوْمِ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ، وَحَاجَتُهُ إِلَى الْعِلْمِ بِعَدَدِ أَنْفَاسِهِ

“Manusia lebih membutuhkan ilmu daripada makanan dan minuman, karena manusia membutuhkan makanan dan minuman sekali atau dua kali sehari, sedangkan kebutuhannya terhadap ilmu sebanyak hitungan nafasnya.”

Perlu diketahui bahwa menuntut ilmu terbagi menjadi dua:

1. Fardhu ‘ain (wajib bagi setiap individu).

2. Fardhu kifayah (kewajiban yang jika telah dikerjakan oleh sebagian orang, maka yang lain gugur kewajibannya).

Adapun yang pertama, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab Rohimahullah berkata dalam “Al-Ushuluts Tsalatsah”: “Ketahuilah—semoga Alloh merohmatimu—bahwa wajib atas kita mempelajari empat masalah, yang pertama: Ilmu, yaitu mengenal Alloh, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal agama Islam dengan dalil-dalilnya.”

Imam Ahmad Rohimahullah menjelaskan apa yang wajib dipelajari oleh setiap Muslim. Beliau berkata:

يَجِبُ أَنْ يَطْلُبَ مِنَ الْعِلْمِ مَا يَقُومُ بِهِ دِينُهُ؛ قِيلَ لَهُ: مِثْلَ أَيِّ شَيْءٍ؟ قَالَ: الَّذِي لَا يَسَعُهُ جَهْلُهُ؛ صَلَاتُهُ، وَصِيَامُهُ... وَنَحْوُ ذَلِكَ

“Wajib menuntut ilmu yang dapat menegakkan agamanya.” Ketika ditanya: “Seperti apa?” Beliau menjawab: “Ilmu yang tidak boleh tidak diketahui, seperti ilmu tentang Sholatnya, Puasanya, dan yang semisalnya.”

Maka apa yang wajib dikerjakan oleh seseorang—seperti dasar-dasar keimanan, syari’at-syari’at Islam, apa yang wajib dijauhi dari hal-hal yang diharomkan, apa yang dibolehkan, atau apa yang dia butuhkan dalam mu’amalah (interaksi), dan yang semisalnya—wajib bagi seseorang untuk mengetahuinya.

Bertanya kepada ahli ilmu termasuk bagian dari ilmu. Siapa yang bertanya kepada ahli ilmu, maka ia telah menerangi agamanya dan melakukan apa yang diwajibkan kepadanya. Alloh berfirman:

﴿فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ﴾

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Inilah menuntut ilmu yang merupakan kewajiban bagi setiap individu.

Adapun yang kedua, yaitu fardhu kifayah, adalah ilmu selain yang wajib bagi setiap individu. Menyibukkan diri dengannya lebih utama daripada menyibukkan diri dengan ibadah-ibadah sunnah, menurut pendapat yang paling benar dari para ulama. Sebagaimana diriwayatkan dari Imam Ahmad Rohimahullah bahwa beliau berkata:

تَعَلُّمُ الْعِلْمِ وَتَعْلِيمُهُ أَفْضَلُ مِنَ الْجِهَادِ وَغَيْرِهِ مِمَّا يُتَطَوَّعُ بِهِ

“Mempelajari dan mengajarkan ilmu lebih utama daripada jihad dan lainnya yang hukumnya sunnah.”

Kami mendapati sebagian orang tua di negeri ini (Arob Saudi) dari kalangan awam yang menghafal beberapa matan aqidah, seperti “Al-Ushuluts Tsalatsah”, “Kasyfusy Syubuhat”, dan “Kitabut Tauhid.” Mereka juga menghafal “Adab Al-Masyi ila As-Sholah.” Semua ini adalah dampak dan berkah dari da’wah Imam Muhammad bin Abdul Wahhab Rohimahullah. Imam Su’ud bin Abdul Aziz Al-Awwal dan Imam Faishol bin Turki menetapkan untuk mempelajari kitab-kitab ini di seluruh Masjid di negara Saudi. Maka—walhamdulillah—orang dewasa dan anak kecil, orang awam dan penuntut ilmu, menghafalnya. Hal ini diketahui oleh banyak orang yang memperhatikan berita-berita ini, dan banyak juga dari orang-orang tua yang masih hidup sekarang. Inilah satu-satunya rahasia di balik terjaganya negeri ini dari kotoran-kotoran bid’ah. Jika orang-orang awam tidak memiliki pengetahuan tentang aqidah mereka, niscaya akan tersebar di tengah mereka sesuatu dari bid’ah dan kesyirikan. Akan tetapi, ilmu adalah benteng yang kokoh dan tameng yang kuat, siapa yang membentengi dirinya dengannya, maka ia akan terlindungi dari banyak keburukan.

Metode mendapatkan ilmu, tidak mudah untuk ditentukan secara pasti, yang berlaku untuk setiap orang. Namun, cara terbaik menurut kami adalah apa yang ditempuh oleh ulama-ulama kita Rohmatullah ‘alaihim ajma’in.

Mengenai hal ini, Syaikh Al-Allamah Abdurrohman bin Sa’di Rohimahullah berkata dalam fatwa-fatwanya: “Penentuan kitab yang harus dipelajari (bagi seorang penuntut ilmu) berbeda-beda tergantung keadaan dan tempat. Pendekatan yang praktis menurut kami adalah seorang penuntut ilmu harus bersungguh-sungguh dalam menghafal matan (teks ringkas) dari cabang ilmu yang ia tekuni. Jika menghafal lafazhnya sulit atau ia tidak mampu, maka ia harus sering mengulanginya sampai maknanya meresap di hatinya. Kemudian kitab-kitab lain dalam cabang ilmu tersebut berfungsi sebagai penjelasan dan tafsir dari dasar yang telah ia kuasai dan ketahui. Jika seorang penuntut ilmu menghafal “Al-Aqidah Al-Wasithiyyah” karya Syaikhul Islam, “Al-Ushuluts Tsalatsah”, dan “Kitabut Tauhid” karya Syaikh Muhammad, serta dalam fiqih menghafal “Mukhtashorud Dalil.” (yaitu “Daliluth Tholib”) dan “Mukhtashorul Muqni.’” (yaitu “Az-Zad”), lalu dalam Hadits menghafal “Bulughul Marom”, dan dalam nahwu menghafal “Al-Ajrumiyyah”, kemudian ia bersungguh-sungguh memahami matan-matan ini dan mengkaji syarahnya (penjelasannya) yang mudah didapat, atau kitab-kitab lain dalam cabang ilmu tersebut, maka kitab-kitab itu menjadi seperti syarah bagi matan-matan tersebut. Karena jika seorang penuntut ilmu telah menghafal ushul (dasar-dasar), ia akan memiliki kemampuan yang sempurna dalam memahaminya, dan kitab-kitab dalam cabang ilmu tersebut, baik yang kecil maupun yang besar, akan menjadi mudah baginya. Siapa yang menyia-nyiakan ushul (dasar-dasar), maka ia akan kehilangan wushul (pencapaian). Siapa yang bersemangat pada ilmu-ilmu yang bermanfaat ini dan memohon pertolongan kepada Alloh, maka Alloh akan menolongnya dan memberkahi ilmunya. siapa yang menempuh jalan yang tidak bermanfaat dalam menuntut ilmu, maka waktunya akan berlalu tanpa hasil dan ia hanya akan mendapatkan kelelahan, sebagaimana telah diketahui dari pengalaman dan pengamatan....” Selesai ucapan beliau Rohimahullah.

***

 

Asal Ke-2 [Beramal]: Bersemangat untuk Mengamalkan Islam secara Praktis

Semangat ini mencakup semangat dalam mengamalkan kewajiban-kewajiban Syar’i, seperti Sholat lima waktu, berbakti kepada kedua orang tua, dan yang semisalnya. Demikian pula, semangat ini juga mencakup semangat untuk mengamalkan dan menghidupkan Sunnah di tengah masyarakat semampu seorang Muslim. Seperti Sholat Sunnah, Sholat Witir, Qiyamul Lail (Sholat Malam), Qiyam Tathowwu’ (Sholat Sunnah), infaq (sedekah), dan yang semisalnya juga harus semangat dikerjakan.

Abu Abdirrohman Abdulloh As-Sulami Rohimahullah berkata: “Orang-orang yang membacakan Al-Qur’an kepada kami—yaitu para Shohabat—memberitahu kami bahwa mereka mengambil bacaan dari Rosululloh . Ketika mereka telah mempelajari sepuluh ayat, mereka tidak akan melanjutkan ke ayat berikutnya hingga mereka mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya. Maka kami mempelajari Al-Qur’an dan amal secara bersamaan.”

Inilah manhaj (metode) para Salaf Rohmatullah ‘alaihim ajma’in. Mereka mengaitkan ilmu dengan amal. Karena mengamalkan ilmu membebaskan dari ancaman keras yang timbul dari meninggalkan amal yang wajib, sebagaimana firman Alloh:

﴿يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ * كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ﴾

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Alloh bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shof: 2, 3)

karena mengamalkan ilmu menjauhkan dari sifat yang dibenci yang Alloh sifatkan kepada orang Yahudi dalam firman-Nya:

﴿مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ﴾

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurot, kemudian mereka tiada memikulnya (mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Alloh itu. Alloh tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zholim.” (QS. Al-Jumu’ah: 5)

Mengamalkan ilmu juga merupakan cara untuk mencapai tujuan yang diharapkan dari menuntut ilmu. Oleh karena itu, Fudhoil bin ‘Iyadh Rohimahullah berkata:

لَا يَزَالُ الْعَالِمُ جَاهِلًا بِمَا عَلِمَ حَتَّى يَعْمَلَ بِهِ؛ فَإِذَا عَمِلَ بِهِ كَانَ عَالِمًا

“Seorang ‘alim (orang berilmu) akan tetap bodoh dengan ilmunya sampai ia mengamalkannya. Jika ia telah mengamalkannya, barulah ia menjadi ‘alim.”

Da’wah Salafiyyah sangat memperhatikan dan memelihara prinsip ini, serta mendorong orang untuk menyibukkan diri dengannya. Karena menyibukkan diri dengan amal lebih bermanfaat daripada menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak ada faedahnya, seperti ucapan mubah (boleh) dan yang semisalnya.

Seandainya para pemuda kita—semoga Alloh Ta’ala membimbing mereka—mengerjakan prinsip ini dengan sebenar-benarnya, niscaya mereka akan selamat dari jatuh ke dalam banyak hal yang bukan menjadi tugas mereka, dan menyibukkan diri dengannya adalah pembuangan waktu. Seperti menyibukkan diri dengan mengikuti politik, dan mengajak semua orang untuk memikirkannya.

Urusan-urusan ini dan yang semisalnya bukanlah urusan penuntut ilmu, melainkan itu adalah wewenang para pemimpin atau orang yang mereka delegasikan. Ketika sekelompok pemuda menyerobot urusan ini dan menempatkan diri mereka pada posisi pemimpin, terjadilah kebodohan mereka, dan muncul penyimpangan mereka, serta rusaknya negara mereka dalam isu-isu ini. Karena mereka hanya mengandalkan potongan-potongan koran asing dan siaran-siaran radio kafir, mereka mempercayainya—La haula wa la quwwata illa billah.” (Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Alloh)—dan mereka membangun hukum-hukum (pendapat) mereka di atasnya.

Sebagaimana kenyataan yang terjadi dalam Perang Teluk, sebagian dari mereka mengandalkan potongan-potongan dan siaran-siaran radio semacam itu, sehingga mereka mencelakakan kaum Muslimin, menanamkan rasa takut di hati mereka, memecah belah persatuan mereka, dan merobek-robek kesatuan mereka yang tadinya kokoh.

Ketergantungan pada potongan-potongan koran dan siaran-siaran radio asing ini adalah puncak dari apa yang mereka sebut sebagai “Ushul Fiqhil Waqi.’” (Prinsip-prinsip Fiqih Realita). Ketika aliran baru ini muncul, ia merusak ilmu dan amal. Oleh karena itu, kelemahan dalam ilmu dan amal tampak jelas pada pemuda umat ini. Kamu melihat pemuda-pemuda fiqih realita tidak menerapkan hukum-hukum syari’at dalam banyak isu penting.

Wajib bagi para pemuda kita untuk bertaqwa kepada Alloh Ta’ala pada diri mereka sendiri, dan menyibukkan diri dengan apa yang mendatangkan manfaat yang besar bagi mereka di dunia dan Akhirat.

Adapun menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, dan melibatkan diri dalam apa yang bukan wewenangnya, maka keburukannya besar dan akan melalaikan seseorang dari banyak pahala dan kebaikan.

Maka, para pemuda harus bertaqwa kepada Alloh Ta’ala pada diri mereka sendiri dan mengamalkan ilmu yang mereka ketahui agar mereka beruntung di dunia dan Akhirat.

***

Asal Ke-3 [Berda’wah]: Berda’wah kepada Alloh Ta’ala di atas Bashiroh

Jika Alloh telah menganugerahkan seorang Muslim ilmu dan amal, maka ia harus segera menyampaikan kebaikan ini kepada manusia dengan cara berda’wah (mengajak), memberi nasihat, dan membimbing mereka. Karena ini adalah pekerjaan para Nabi. Alloh Ta’ala berfirman tentang Nabi-Nya :

﴿قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي﴾

“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku, yaitu berda’wah kepada Alloh dengan bashiroh (ilmu yang terang).’” (QS. Yusuf: 108)

Alloh telah mengangkat kedudukan da’i (juru da’wah) di atas yang lainnya. Alloh berfirman:

﴿وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ﴾

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Alloh, mengerjakan amal yang sholih, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Alloh).’” (QS. Fushshilat: 33)

Adapun pahala dan ganjarannya, maka itu sangat besar karena agungnya amalan tersebut. Seorang da’i kepada Alloh memiliki pahala seperti pahala orang yang mengikutinya dalam kebaikan, tanpa sedikit pun mengurangi pahala mereka. Nabi bersabda:

«مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا»

“Siapa yang mengajak (orang lain) kepada petunjuk, maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan siapa yang mengajak (orang lain) kepada kesesatan, maka dia akan mendapat dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim no. 2674)

Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ali Rodhiyallahu ‘Anhu, Nabi bersabda:

«لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ»

“Demi Alloh, jika Alloh memberi petunjuk kepada seorang laki-laki melalui dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta-unta merah (harta yang paling berharga bagi orang Arob).” (HR. Muslim)

Penting untuk diketahui di sini bahwa tidak disyaratkan bagi seorang da’i untuk menguasai semua hukum syari’at, tetapi yang wajib baginya adalah berilmu tentang apa yang ia da’wahkan (yaitu isu yang ia sampaikan kepada orang lain harus ia ketahui dengan ilmu syar’i). Oleh karena itu, Nabi bersabda:

«بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً»

“Sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat.” (HR. Al-Bukhori)

Jika seorang Muslim mengetahui satu ayat dan memahami maknanya melalui ulama dan para mufassir, atau mengetahui satu Hadits seperti itu dari Hadits-Hadits Rosululloh , atau mengetahui satu hukum Syar’i seperti itu melalui ulama, atau melalui karya-karya ulama, maka ia harus menyampaikannya kepada orang lain, meskipun ia tidak mengetahui hukum, Hadits, atau ayat selain itu.

Syaikh Al-Allamah Abdurrohman bin Qosim Rohimahullah berkata dalam catatannya pada “Kitabut Tauhid”: “Da’wah kepada Alloh harus memiliki dua syarat: harus ikhlas karena Alloh, dan harus sesuai dengan Sunnah Rosululloh . seorang da’i harus berilmu tentang apa yang ia da’wahkan. Jika ia menyalahi syarat pertama, ia menjadi musyrik, dan jika ia menyalahi syarat kedua, ia menjadi ahli bid’ah....” Selesai ucapan beliau Rohimahullah.

Berdasarkan syarat kedua yang beliau Rohimahullah sebutkan, kami katakan: sarana-sarana da’wah kepada Alloh adalah tauqifiyyah (harus berdasarkan dalil), tidak boleh mengada-adakan sesuatu yang tidak ada pada zaman Rosululloh . Oleh karena itu, Salaf sangat keras mengingkari ahli sama’ (mendengarkan syair atau lagu-lagu) yang dilakukan oleh para Shufiyyah, meskipun sama’ ini terlepas dari alat-alat musik yang harom. Meskipun sama’ ini dianggap bermanfaat untuk melembutkan hati, itu tidak dibolehkan karena tidak ada dalil yang mendukungnya dalam Al-Qur’an, Sunnah, dan perbuatan Salaf umat ini Rodhiyallahu ‘anhum.

Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahullah berkata dalam “Majmu’ Al-Fatawa” juz sebelas: “Adapun sama’ yang disengaja untuk memperbaiki hati, yaitu orang-orang yang berkumpul untuk itu—baik berupa nasyid (nyanyian) tanpa alat musik yang menyerupai ghubar (gendang), atau dengan tepuk tangan—ini adalah sama’ yang baru diada-adakan dalam Islam. Ini diada-adakan setelah berakhirnya tiga generasi yang dipuji oleh Nabi , di mana beliau bersabda: “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka.” Sama’ ini dibenci oleh para pembesar umat dan tidak dihadiri oleh para ulama senior.”

Syaikhul Islam Rohimahullah melanjutkan dalam pembicaraannya tentang sama’ ini: “Secara ringkas, seorang Mukmin harus tahu bahwa Nabi tidak meninggalkan sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga kecuali telah beliau sampaikan, dan tidak ada sesuatu pun yang menjauhkan dari Neraka kecuali telah beliau sampaikan. Seandainya sama’ ini adalah sebuah kebaikan, niscaya Alloh dan Rosul-Nya telah mensyariatkannya. Alloh berfirman:

﴿الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا﴾

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3)

Jadi, meskipun seseorang menemukan manfaat pada sama’ ini untuk hatinya, tetapi ia tidak menemukan dalilnya dari Al-Qur’an maupun Sunnah, maka ia tidak boleh memperhatikannya.”

Sahl bin Abdulloh At-Tustari berkata:

كُلُّ وَجْدٍ لَا يَشْهَدُ لَهُ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ فَهُوَ بَاطِلٌ

“Setiap perasaan (wajd) yang tidak didukung oleh Al-Qur’an dan Sunnah adalah batil.”

Ad-Daroni berkata:

إِنَّهُ لَتُلِمُّ بِقَلْبِيَ النُّكْتَةُ مِنْ نُكَتِ الْقَوْمِ؛ فَلَا أَقْبَلُهَا إِلَّا بِشَاهِدَيْنِ عَدْلَيْنِ؛ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ

“Sungguh, ada sebuah poin dari perkataan suatu kaum yang terlintas di hatiku, tetapi aku tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi yang adil; yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.

Inilah ucapan beliau Rohimahullah. Dalam ucapannya: “Jika seseorang menemukan manfaat pada sama’ ini untuk hatinya, tetapi ia tidak menemukan dalilnya dari Al-Qur’an maupun Sunnah...” —terdapat bantahan yang paling tegas kepada orang yang membolehkan tamtsil (akting/ pementasan drama) untuk da’wah kepada Alloh dengan anggapan adanya manfaat di dalamnya, dan juga hati bisa lembut jika mendengarkannya dan melihat pemandangannya.

Maka dari itu, kami katakan: Wajib bagi sarana-sarana da’wah bersifat tauqifiyyah, tidak disyariatkan di dalamnya kecuali apa yang ada pada zaman Rosululloh dan para Shohabatnya yang mulia.

***

 

Asal Ke-4 [Aqidah]: Perhatian terhadap Aqidah Salaf secara Ilmu, Amal, dan Pengajaran

Sungguh sangat disayangkan bahwa akhir-akhir ini kita mendengar ucapan-ucapan yang memusuhi aqidah dan menjauhkannya dari arena perhatian. Sebagian kelompok menganggap masalah-masalah aqidah sebagai masalah-masalah cabang yang tidak perlu diperhatikan, bahkan di antara mereka ada yang berkata: “Apa ruginya kita jika kita menetapkan bahwa Alloh punya tangan atau tidak?”

Ini adalah musibah dan bencana besar. Sudah menjadi pengetahuan umum bagi semua orang bahwa aqidah tauhid memiliki kedudukan yang sangat penting dalam syari’at. Seluruh makhluk diciptakan untuk tujuan yang agung, yaitu beribadah kepada Alloh Ta’ala. Sebagaimana firman Alloh:

﴿ وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ﴾

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56, 57)

Alloh tidak mengutus para Rosul dan tidak menurunkan kitab-kitab kecuali untuk merealisasikan tauhid dan mengajak manusia kepadanya. Sebagaimana firman Alloh:

﴿يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنْذِرُوا أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ﴾

“Dia menurunkan para Malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya (yaitu) ‘Peringatkanlah olehmu sekalian bahwasanya tidak ada Yang berhak disembah selain Aku, maka hendaklah kamu bertaqwa kepada-Ku.’” (QS. An-Nahl: 2)

Juga firman-Nya:

﴿وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِيَ إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ﴾

“Kami tidak mengutus seorang Rosul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Tidak ada yang berhak disembah melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.’” (QS. Al-Anbiya’: 25)

Juga firman-Nya:

﴿وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ﴾

Sesungguhnya Kami telah mengutus pada tiap-tiap umat seorang Rosul (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Alloh (saja), dan jauhilah thoghut (sesembahan selain Alloh).’” (QS. An-Nahl: 36)

Perintah pertama dalam Al-Qur’an adalah firman Alloh ‘Azza wa Jalla:

﴿ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴾

“Wahai manusia, sembahlah Robbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqoroh: 21)

hal pertama yang digunakan oleh para Rosul untuk membuka da’wah mereka kepada kaumnya—sebagaimana Alloh ‘Azza wa Jalla kisahkan tentang mereka—adalah ucapan mereka:

﴿ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ﴾

“Wahai kaumku, sembahlah Alloh, sekali-kali tidak ada Ilah bagimu selain-Nya.” (QS. Al-A’rof: 59)

Nabi berda’wah selama 23 tahun. Tiga belas tahun di antaranya di Makkah. Dari 13 itu, 10 tahun beliau fokus menetapkan tauhid, menyeru kepadanya, memerangi syirik, dan memperingatkan darinya. Sisa hidup beliau digunakan untuk menguatkan aqidah tauhid, mengakarinya, dan menjelaskan hukum-hukum Syar’i.

Semua ini menunjukkan dengan jelas pentingnya urusan aqidah, baik dalam belajar, mengajar, mengamalkan, maupun berda’wah. Itu karena jika aqidah selamat dari noda-noda, maka pemiliknya pasti termasuk penghuni Surga, meskipun ia pernah melakukan dosa-dosa besar. Karena orang-orang yang melakukan dosa besar, terserah kepada Alloh. Jika Dia berkehendak, Dia akan mengadzab mereka, kemudian memasukkan mereka ke Surga karena tauhid mereka, dan sebelumnya karena karunia dan kemurahan-Nya. jika Dia berkehendak, Dia akan mengampuni mereka. Demi Alloh, aqidah adalah keselamatan dan penjagaan.

Engkau tidak akan melihat seseorang yang aqidahnya lurus melainkan amal-amal kebaikan dan ketaatan lainnya terasa lebih ringan baginya daripada mengangkat bulu. Oleh karena itu, perhatian terhadapnya dan usaha untuk meluruskannya termasuk urusan yang paling mulia dan amal yang paling agung.

Keutamaan tauhid sangat banyak, tidak tersembunyi bagi penuntut ilmu dan da’i kepada Alloh. Di antara keutamaannya adalah:

1.    Ia mencegah kekekalan di dalam Neraka, meskipun di dalam hati hanya ada tauhid seberat biji sawi.

2.    Jika ia sempurna di dalam hati, ia mencegah masuk Neraka sama sekali.

3.    Juga termasuk keutamaannya: mendapatkan petunjuk yang sempurna dan rasa aman yang sempurna di dunia dan Akhirat, jika ia merealisasikannya.

4.    Juga: orang yang paling beruntung dengan syafa’at (pertolongan) Al-Mushthofa adalah orang yang mengucapkan “La ilaha illalloh” dengan ikhlas dari hatinya.

5.    Juga: amalan dan perkataan lahir maupun batin, penerimaannya, kesempurnaannya, dan pahalanya yang banyak, bergantung pada tauhid. Semakin kuat tauhidnya, semakin sempurna amalan-amalan tersebut.

6.    Juga: ia membebaskan seorang hamba dari perbudakan kepada makhluk, keterikatan pada mereka, takut pada mereka, berharap pada mereka, dan beramal demi mereka. Ini adalah kemuliaan yang hakiki dan kehormatan yang tinggi... dan keutamaan-keutamaan lain yang disebutkan oleh Syaikh Ibnu Sa’di dalam catatannya pada “Kitabut Tauhid.”

Maka, wajib atas para da’i kepada Alloh untuk memperhatikan urusan tauhid ini dan memberikan perhatian besar kepadanya. Sungguh, sangat menyakitkan hati ketika muncul generasi baru yang mengatakan:

“Mengapa perhatian besar ini diberikan kepada tauhid?” “Mengapa kita tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin?”

“Kaum Muslimin dibunuh di sana-sini, sedangkan kita menyeru untuk merobohkan kubah-kubah dan menghilangkan Masjid-Masjid yang dibangun di atas kuburan, dan masalah-masalah semacam itu!”

Orang yang mengucapkan perkataan ini lupa atau pura-pura lupa dengan ucapan imam para ahli tauhid, Ibrohim:

﴿وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ﴾

jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala.” (QS. Ibrohim: 35)

Jika Kholil (kekasih Alloh), imam para ahli tauhid, yang Alloh jadikan sebagai umat tersendiri, dan yang Alloh berfirman tentangnya:

﴿وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى﴾

“Ibrohim yang selalu menyempurnakan janji.” (QS. An-Najm: 37), dan Alloh memerintahkan Nabi-Nya Muhammad untuk mengikutinya dalam agama tauhidnya, serta Alloh mengujinya dengan menyembelih putranya, lalu ia menaati perintah Alloh, dan ia menghancurkan berhala-berhala dengan tangannya yang mulia, dan sangat keras dalam mengingkari ahli syirik... dengan segala keutamaan itu, ia masih takut jatuh ke dalam syirik, yaitu penyembahan berhala, yang merupakan syirik terbesar. Maka bagaimana dengan syirik yang lebih kecil darinya?

Oleh karena itu, Ibrohim At-Taimi Rohimahullah berkata:

وَمَنْ يَأْمَنُ الشِّرْكَ بَعْدَ إِبْرَاهِيمَ

“Siapa yang merasa aman dari syirik setelah Ibrohim?”

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rohimahullah berkata tentang Hadits Abu Sa’id Al-Khudri Rodhiyallahu ‘Anhu:

«قَالَ مُوسَى: يَا رَبِّ، عَلِّمْنِي شَيْئًا أَذْكُرُكَ وَأَدْعُوكَ بِهِ. قَالَ: يَا مُوسَى، قُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ»

“Musa berkata: ‘Wahai Robb, ajarilah aku sesuatu agar aku dapat mengingat-Mu dan berdo’a kepada-Mu.’ Alloh berfirman: ‘Wahai Musa, ucapkanlah: La ilaha illalloh.’” (HR. Ibnu Hibban)

Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab Rohimahullah berkata dalam “Kitabut Tauhid” terkait Hadits ini:

فِيهِ: أَنَّ الْأَنْبِيَاءَ يَحْتَاجُونَ لِلتَّنْبِيهِ عَلَى فَضْلِ «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ»

“Di dalamnya terdapat (pelajaran) bahwa para Nabi membutuhkan diingatkan tentang keutamaan ‘La ilaha illalloh.’”

Maka, wajib bagi kita untuk memberikan perhatian yang besar pada urusan ini. Jika urusan ini lurus, maka apa yang setelahnya akan lebih ringan dan lebih mudah, dan ia menjamin keselamatan amalan-amalan setelahnya. Namun, jika prinsip ini rusak, maka tidak ada manfaat, tidak ada kebaikan, dan tidak ada penerimaan.

***

 

Asal Ke-5 [Sunnah]: Perhatian terhadap Sunnah Nabawiyyah, Bersemangat Mengamalkannya, dan Mengajak kepada Hal itu

Sesungguhnya yang paling berhak untuk diperhatikan oleh seorang Muslim adalah beramal dengan mengikuti jejak Nabi-Nya , dan merealisasikannya dalam kehidupannya semampu dirinya. Karena tujuan yang perlu diusahakan oleh seorang Muslim adalah untuk mendapatkan hidayah yang akan mengantarkannya ke negeri kebahagiaan. Alloh berfirman:

﴿وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا﴾

jika kamu menaatinya, niscaya kamu mendapat petunjuk.” (QS. An-Nuur: 54)

firman-Nya:

﴿وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ﴾

ikutilah ia, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al-A’rof: 158)

firman-Nya:

﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا﴾

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosululloh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rohmat) Alloh dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Alloh.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Ayat ini adalah dasar yang agung dalam meneladani Rosululloh dalam perkataan, perbuatan, dan semua keadaannya, baik gerak-geriknya maupun diamnya.

teladan ini hanya dapat ditempuh dan berhasil oleh orang yang mengharapkan (ridho) Alloh dan Hari Akhir. Karena keimanan yang ada padanya, ketakutan kepada Alloh, harapan akan pahala-Nya, dan ketakutan akan adzab-Nya, mendorongnya untuk meneladani Rosululloh .

Kemuliaan dan kedudukan seorang Mukmin diukur dari seberapa banyak ia mengikuti Nabi . Semakin banyak ia berusaha mengikuti Sunnah, semakin berhak dan utama baginya untuk mendapatkan derajat yang tinggi. Oleh karena itu, para Salaf yang terdahulu dari kalangan Tabi’in Rohmatullah ‘alaihim ajma’in menjadikan ukuran untuk mengambil ilmu dari seseorang adalah dengan melihat seberapa besar ia berpegang teguh pada Sunnah. Sebagaimana Ibrohim An-Nakha’i berkata:

كَانُوا إِذَا أَتَوُا الرَّجُلَ لِيَأْخُذُوا عَنْهُ الْعِلْمَ نَظَرُوا إِلَى صَلَاتِهِ، وَإِلَى سُنَّتِهِ، وَإِلَى هَيْئَتِهِ، ثُمَّ يَأْخُذُونَ عَنْهُ

“Dulu, jika mereka datang kepada seseorang untuk mengambil ilmu darinya, mereka melihat Sholatnya, Sunnahnya, dan prilakunya, barulah mereka mengambil ilmu darinya.”

Salah seorang ulama berkata: “Sesungguhnya di antara tanda-tanda orang yang mencintai Alloh adalah mengikuti kekasih Alloh dalam akhlaq, perbuatan, perintah, dan sunnahnya.” Ini adalah kebenaran yang diambil dari Kitab Alloh. Alloh Ta’ala berfirman:

﴿قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾

“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Alloh, ikutilah aku, niscaya Alloh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imron: 31)

Al-Hasan Al-Bashri berkata dalam tafsir ayat ini:

جَعَلَ اللَّهُ عَلَامَةَ حُبِّهِ إِيَّاهُمْ اتِّبَاعَ سُنَّةِ رَسُولِهِ

“Alloh menjadikan tanda cinta-Nya kepada mereka adalah dengan mengikuti Sunnah Rosul-Nya.”

Telah diriwayatkan secara mutawatir nash-nash (dalil-dalil) dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta perkataan para Shohabat dan Tabi’in, yang menganjurkan amal dengan Sunnah dan mendorong untuk berpegang teguh padanya. Di antara Hadits yang paling terkenal adalah Hadits ‘Irbadh bin Sariyah Rodhiyallahu ‘Anhu bahwa beliau berkata: “Rosululloh memberikan nasehat kepada kami yang membuat air mata berlinang dan hati bergetar. Maka kami berkata: ‘Wahai Rosululloh, ini adalah nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat.’ Beliau bersabda:

«تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا، لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ، وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا؛ فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ»

“Aku tinggalkan kalian di atas jalan yang putih bersih, malamnya seperti siangnya, tidak ada yang menyimpang darinya setelahku kecuali orang yang binasa. Siapa di antara kalian hidup (lama), maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada Sunnahku dan Sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah ia dengan gigi geraham.”

sabda beliau : “Wajib bagi kalian atas Sunnahku”, yaitu: atas jalan (metode)ku yang aku tempuh, yaitu apa yang aku jelaskan kepada kalian dari hukum-hukum, baik aqidah maupun amaliyah (praktis), baik wajib maupun sunnah.

Adapun pengkhususan Sunnah oleh para ahli ushul sebagai “perkara yang dianjurkan (diminta) tanpa paksaan” adalah istilah yang baru muncul, yang tujuannya adalah untuk membedakannya dari fardhu (wajib).

Sunnah dalam bahasa Syari’ (pembuat syari’at), jika disebutkan secara mutlak, yang dimaksud adalah jalan (metode) Syar’i yang ditempuh oleh Nabi dalam ibadah, mu’amalah (interaksi), akhlaq, gerakan, dan diamnya beliau.

‘Urwah bin Az-Zubair Rodhiyallahu ‘Anhu berkata:

السُّنَنَ السُّنَنَ؛ فَإِنَّ السُّنَنَ قِوَامُ الدِّينِ

“Sunnah, Sunnah! Karena sesungguhnya Sunnah adalah tiang agama.”

Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhu sangat mengikuti perintah Rosululloh , jejak-jejaknya, dan keadaannya, ia begitu memperhatikannya hingga ia dikhawatirkan gila karena perhatiannya yang luar biasa terhadap hal itu.

Az-Zuhri Rohimahullah berkata:

كَانَ مَنْ مَضَى مِنْ عُلَمَائِنَا يَقُولُ: الِاعْتِصَامُ بِالسُّنَّةِ نَجَاةٌ

“Dahulu, para ulama kami berkata: Berpegang teguh pada Sunnah adalah keselamatan.”

Memperhatikan Sunnah memiliki banyak faidah yang tidak terhitung. Di antaranya: mendapatkan derajat kecintaan (Alloh) yang Alloh ‘Azza wa Jalla firmankan dalam Hadits Qudsi:

«وَلَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ؛ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ»

“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan Sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, pandangannya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Al-Bukhori)

Di antara faidah berpegang teguh pada Sunnah adalah ia menutupi kekurangan fardhu (kewajiban). Berdasarkan sabda Nabi :

«إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلَاةُ، فَيَقُولُ اللَّهُ لِمَلَائِكَتِهِ: انْظُرُوا لِصَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا؟ فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً، وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ اللَّهُ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ: أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ»

“Sesungguhnya amal pertama yang dihisab (dihitung) dari manusia pada hari Kiamat adalah Sholat. Maka Alloh berfirman kepada Malaikat-Nya: ‘Lihatlah Sholat hamba-Ku, apakah ia menyempurnakannya atau menguranginya?’ Jika Sholatnya sempurna, maka dicatat baginya Sholat yang sempurna. Jika ada yang kurang darinya, Alloh berfirman: ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki Sholat sunnah?’ Jika ia memiliki Sholat sunnah, Alloh berfirman: ‘Sempurnakanlah bagi hamba-Ku fardhunya dari Sholat sunnahnya.’”

Juga, bagi orang yang berpegang teguh pada Sunnah di akhir zaman, ia akan mendapatkan pahala yang besar. Berdasarkan Hadits ‘Utbah bin Ghozwan bahwa Nabi bersabda:

«إِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامَ الصَّبْرِ، لِلْمُتَمَسِّكِ فِيهِنَّ يَوْمَئِذٍ بِمَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرُ خَمْسِينَ مِنْكُمْ». قَالُوا: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَوْ مِنْهُمْ! قَالَ: «بَلْ مِنْكُمْ»

“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari kesabaran. Orang yang berpegang teguh pada apa yang kalian pegangi pada hari itu akan mendapatkan pahala 50 dari kalian.” Mereka bertanya: “Wahai Nabi Alloh, atau dari mereka?” Beliau menjawab: “Bahkan dari kalian.”

Para Salaf Rohimahullah sangat tegas dalam meninggalkan sebagian Sunnah atau mencela orang yang meninggalkannya secara mutlak. Karena ia bisa termasuk dalam keumuman sabda Nabi :

«فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي»

“Siapa yang berpaling dari Sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.” (HR. Al-Bukhori)

Oleh karena itu, Imam Ahmad berkata:

مَنْ تَرَكَ الْوِتْرَ فَهُوَ رَجُلُ سُوءٍ، لَا يَنْبَغِي أَنْ تُقْبَلَ لَهُ شَهَادَةٌ

“Siapa yang meninggalkan Sholat Witir, maka ia adalah orang yang buruk. Tidak sepantasnya kesaksiannya diterima.”

Maka, setiap Sunnah Rosul yang shohih (terbukti), kita akan berusaha keras untuk menerapkannya dan mengajarkannya kepada orang lain. Agar Alloh menganugerahkan kepada kita pahala orang yang menghidupkan Sunnah.

***

Asal Ke-6 [Ulama]: Keterikatan yang Kuat dengan Ulama Sunnah

Tidak ada yang tersembunyi bagi siapa pun tentang keutamaan ulama dan kedudukan yang mereka tempati dalam syari’at Islam. Namun, sebagian orang mencampuradukkan antara anjuran untuk terikat dengan ulama dan fanatisme serta taqlid buta (mengikuti tanpa dalil) kepada mereka, dan ini adalah kesalahan besar. Keterikatan dengan ulama berarti mengambil ilmu dari mereka, mengambil manfaat dari bimbingan dan arahan mereka. Ia juga berarti taqlid (mengikuti) mereka bagi orang awam yang boleh bertaqlid dan orang yang tidak memenuhi syarat untuk membedakan keputusan dalam isu-isu ilmiah.

Keterikatan dengan ulama Salaf ini telah kami tetapkan dan jelaskan sebelumnya, serta kami jelaskan faidahnya dan bahaya yang timbul jika orang-orang meninggalkannya.

Syaikh Abdurrohman As-Sa’di Rohimahullah berkata dalam konteks menjelaskan nikmat Alloh atas negeri ini: “Maka Dia mensucikan agamamu dari bid’ah dan kesyirikan, dan menyelamatkanmu dari sarana-sarana syirik serta jalan-jalan kesesatan dan kebinasaan dengan sarana dan sebab yang dimudahkan oleh Alloh. Di mana Dia membangkitkan untukmu setiap imam yang istiqomah di atas Shirothul Mustaqim. Maka imammu adalah Imam Ahmad bin Hanbal, imam terbesar yang menukil Sunnah dan Al-Qur’an. Melalui beliau dan para sahabatnya, pengikut, serta orang-orang yang sepertinya, Ahli Sunnah dapat dikenal dari ahli bid’ah dari seluruh kelompok dan partai. Hingga Alloh membangkitkan Syaikhul Islam wal Muslimin Ahmad bin Taimiyyah, yang berjihad melawan orang-orang kafir, munafik, dan seluruh orang yang menyimpang, serta menampakkan dari Sunnah dan ilmu-ilmunya yang shohih dan jelas apa yang tidak mampu dijangkau oleh akal generasi pertama dan terakhir. Murid-murid dan pengikutnya dari kalangan ulama yang teliti menempuh jalannya, hingga tibalah giliran Syaikh jazirah (Semenanjung Arob) dan imamnya, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab. Maka beliau menegakkan urusan ini dengan sebaik-baiknya, terus berjihad melawan musuh-musuh hingga menyebarkan tauhid yang murni dan Sunnah yang jelas di tengah hamba-hamba, serta menumpas syirik dan sarana-sarananya, juga bid’ah dan kerusakan. Maka, jazirah (Arob) menjadi bersih—walhamdulillah—dan diwarnai dengan Sunnah dan tauhid. Ia selamat dari syirik berkat upaya beliau yang disyukuri, dan upaya murid-muridnya, keturunannya, serta para pendukungnya. Maka —walhamdulillah— kamu tidak akan menemukan di sana kubah di atas kuburan, atau tempat-tempat suci, atau tawassul (perantara) dengan makhluk, atau maulid (perayaan kelahiran Nabi), atau tempat-tempat ibadah (selain Masjid). Bukankah ini termasuk nikmat Alloh terbesar bagimu dan kebaikan-Nya yang paling agung kepadamu, di mana Dia membangkitkan untukmu para pemimpin mulia yang dengannya Alloh menjaga agama yang benar, yang telah terealisasi dan tersebar hingga kamu, ayah-ayahmu, dan anak-anakmu tumbuh di atasnya. Kalian minum dari sumber syari’at yang paling jernih dan mengambil dari kejernihannya dengan cara terbaik, tanpa upaya atau kekuatan dari kalian, tidak pula karena kecerdasan. Sesungguhnya itu adalah karunia Alloh yang tiada batasnya. Sementara itu, kalian melihat daerah-daerah lain dipenuhi dengan syirik, kekufuran, penyimpangan, bid’ah, pembangunan tempat-tempat suci di atas kuburan, dan akhlak yang buruk. Maka, pujilah Robbmu atas nikmat-nikmat ini yang tidak mampu kalian hitung dan syukuri.”

Seandainya kita terikat dengan mata rantai yang diberkahi ini (Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan Imam Ahmad, Rohmatullah ‘alaihim ajma’in) dengan keterikatan yang sempurna—niscaya Alloh akan melindungi kita dari terjerumus ke dalam bid’ah dan mengikuti arus-arus kebatilan yang menyesatkan, yang mengenakan pakaian Sunnah, padahal Sunnah berlepas diri sepenuhnya dari mereka. kekurangan ini tidak masuk kepada kita melainkan ketika kita meninggalkan manhaj ini, berpaling darinya, dan menganggap cukup dengan manhaj-manhaj yang didatangkan oleh orang-orang dari Mesir, India, dan tempat lain. Padahal itu adalah manhaj-manhaj yang sangat jauh dari manhaj Salafus Sholih.

***

 

Asal Ke-7 [Hisbiyyah]: Menjauhi Hizbiyyah dan Jama’ah-Jama’ah Islamiyyah yang Bersifat Rahasia

Kami melihat dan menyaksikan kelompok-kelompok yang memisahkan diri dari jama’ah Muslimin yang syar’i dengan ide-ide dan sistem yang mereka miliki. Semua kelompok ini berkumpul di atas satu tujuan, yaitu membenci masyarakat Muslim yang syar’i dan memandangnya sebagai masyarakat jahiliyah. Untuk menjadi penilaian yang akurat, mereka pada umumnya memiliki pandangan ini dan meyakini keyakinan ini. Di antara kelompok-kelompok ini adalah Jama’ah Ikhwanul Muslimin, Jama’ah At-Tabligh, dan Hizbut Tahrir. Aku katakan, dan sungguh disayangkan, ada orang yang menjadikan Salafiyyah sebagai sebuah partai seperti partai-partai ini. ada orang yang berusaha menjadikan Salafiyyah seperti partai-partai ini. Maka kami berlepas diri kepada Alloh dari perbuatan ini dan kami berlindung kepada Alloh dari kejahatan pelakunya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahullah berkata: “Adapun penisbatan diri yang memecah belah kaum Muslimin dan di dalamnya ada penyimpangan dari jama’ah dan persatuan menuju perpecahan, serta menempuh jalan bid’ah dan meninggalkan Sunnah, maka ini adalah hal yang dilarang, pelakunya berdosa, dan dengan itu ia keluar dari ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya.”

Alloh ‘Azza wa Jalla menamai kita dalam kitab-Nya sebagai Muslimin. telah tsabit (terbukti) dalam “Musnad Imam Ahmad” bahwa Nabi bersabda:

«مَنْ دَعَا دَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ فَهُوَ جُثَاءُ جَهَنَّمَ». قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى! قَالَ: «نَعَمْ، وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى، وَلَكِنْ تَسَمَّوْا بِاسْمِ اللَّهِ الَّذِي سَمَّاكُمْ عِبَادَ اللَّهِ الْمُسْلِمِينَ الْمُؤْمِنِينَ»

“Siapa yang mengajak kepada ajakan jahiliyyah, maka ia adalah sampah Jahannam.” Seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rosululloh, meskipun ia puasa dan Sholat?” Beliau menjawab: “Ya, meskipun ia puasa dan Sholat. Akan tetapi, namailah diri kalian dengan nama yang Alloh telah namai kalian, yaitu hamba-hamba Alloh, kaum Muslimin, kaum Mukminin.”

Penamaan ini ada di awal Islam, dan pada saat itu tidak dikenal penisbatan diri kecuali kepada Islam. Ketika bid’ah datang, hawa nafsu menyebar, dan setiap pelaku bid’ah menjauh dari Islam, para Salaf kami yang sholih tidak mendapati pilihan lain selain menampakkan julukan-julukan Syar’i mereka yang membedakan mereka dari orang-orang yang menyesatkan selain mereka. Maka mereka menamai diri mereka dengan nama-nama yang disebutkan dalam nash-nash (dalil), seperti “Al-Jama’ah”, “Al-Firqotun Najiyah” (kelompok yang selamat), dan “Ath-Thoifah Al-Manshuroh” (kelompok yang dimenangkan). Mereka juga menamai diri mereka dengan apa yang mereka pegangi dari pengamalan Sunnah, yang ditinggalkan oleh selain mereka. Seperti “As-Salaf”, “Ahlul Hadits”, “Ahlul Atsar”, dan “Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Mereka lebih memilih julukan-julukan ini dan menamai diri mereka dengannya karena banyak alasan, yang sebagiannya disebutkan oleh Fadhilatusy Syaikh Bakr bin Abdulloh Abu Zaid Rohimahullah dalam kitabnya yang agung dan berharga: “Hukmul Intima’ ila Al-Firoq wa Al-Ahzab wa Al-Jama’at Al-Islamiyyah.” (Hukum Berkelompok dengan Sekte, Partai, dan Kelompok Islam). Di antaranya: bahwa penisbatan diri ini tidak pernah terpisah dari umat Islam sejak awal terbentuknya di atas manhaj kenabian. Di antaranya: bahwa penisbatan diri ini mencakup seluruh ajaran Islam. Di antaranya: bahwa itu adalah julukan-julukan. Di antaranya: ada yang tsabit (terbukti) dengan Sunnah yang shohihah. di antaranya: ada yang tidak muncul kecuali dalam menghadapi ahli hawa nafsu dalam menolak bid’ah dan kesesatan mereka untuk membedakan diri dari mereka.

Kita dapati bahwa ketika bid’ah muncul, ahli kebenaran membedakan diri dengan Sunnah, dan mereka berkata: “Kami adalah Ahli Sunnah.” Ketika ro’yu (pendapat pribadi) berkuasa, mereka membedakan diri dengan Hadits dan Atsar, dan mereka berkata: “Kami adalah Ahlul Hadits dan Ahlul Atsar.” di antaranya: bahwa julukan-julukan ini tidak mendorong mereka untuk fanatik kepada seseorang selain Rosululloh .

Di antaranya: bahwa julukan-julukan ini tidak mengarah pada bid’ah, tidak pada maksiat, tidak pada fanatisme kepada seseorang, dan tidak pada fanatisme kepada suatu kelompok. Di antaranya: bahwa ikatan wala’ (loyalitas) dan baro’ (berlepas diri), loyalitas dan permusuhan mereka hanyalah di atas Islam dan tidak ada yang lain.

Jika hal ini telah diketahui, maka telah ditetapkan dari ajaran Islam secara dhoruri (pasti) bahwa tidak ada agama tanpa jama’ah, tidak ada jama’ah tanpa imam, dan tidak ada imam tanpa sam’u wa tho’ah (mendengar dan taat). Sebagaimana Umar bin Al-Khoththob Rodhiyallahu ‘Anhu berkata:

لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ، وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ، وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ

“Tidak ada Islam tanpa jama’ah, tidak ada jama’ah tanpa imaroh (kepemimpinan), dan tidak ada imaroh tanpa tho’ah (ketaatan).”

Syaikh Al-'Allamah Bakr Abu Zaid berkata dalam kitabnya yang telah disebutkan: “Inilah konsep syar’i tentang jama’ah Muslimin; mereka bersaudara di atas manhaj kenabian (Al-Qur’an dan Sunnah), di bawah kepemimpinan seorang imam yang memiliki kekuatan dan perlindungan. Ini adalah ikatan-ikatan umum di antara kaum Muslimin untuk persatuan dan kekompakan jama’ah mereka. Sebesar kelalaian, sebesar itu pula perselisihan dan kekacauan akan terjadi. Maka, jika seorang individu atau suatu kelompok memisahkan diri dari mereka, ini adalah perpecahan terhadap kaum Muslimin dan pemecah belah jama’ah mereka, dan secara hakikatnya—pemisahan diri dari seluruh ajaran Islam di atas manhaj kenabian.”

Kelompok-kelompok Islam yang didirikan di atas dasar yang jauh dari Al-Qur’an dan Sunnah ini, pada kenyataannya adalah perpecahan dari kaum Muslimin, dan keburukan serta bahaya mereka jauh lebih besar daripada kebaikan mereka. Karena ketika mereka memilih jalan yang tidak berafiliasi dengan Al-Qur’an dan Sunnah, serta tidak mengambil dari Salaf umat ini, maka kekurangan pun masuk kepada mereka dari pintu ini.

Waspadalah, waspadalah dari kelompok-kelompok yang mencurigakan ini. Janganlah kalian—wahai para pemuda—menjadi korbannya. Demi Alloh, tidaklah ia masuk ke suatu negeri dan menyebarkan racunnya di sana, melainkan perpecahan dan perselisihan akan merajalela di dalamnya, dan kebencian serta permusuhan akan muncul di antara penduduknya. Jika kamu ingin bukti atas hal itu, bandingkan keadaan kita saat kita di atas manhaj Syaikh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab Rohimahullah dengan keadaan kita sekarang. Kelompok-kelompok ini telah memisahkan antara ulama dan pemuda, dan membuat penghalang di antara mereka. Dahulu, kita mempercayai ulama kita dengan kepercayaan yang besar—walhamdulillah wa al-minnah—dan mengambil ilmu dari mereka, dan dampaknya dalam keadaan ini berbeda dari dampak dalam keadaan yang aku sebutkan tadi. Dalam keadaan ini, kita berada di atas kebaikan dan petunjuk.

Adapun sekarang, kita berada dalam kekacauan, keresahan, dan yang semisalnya. Kelompok-kelompok ini juga telah merusak aqidah sebagian pemuda kita, mengotori manhaj (metode) mereka, dan meyakinkan mereka untuk menjadikan wala’ (loyalitas) dan baro’ (berlepas diri) hanya untuk kelompok tersebut.

Tidak diragukan lagi bahwa sebagian dari kelompok-kelompok ini akan memanfaatkan para pengikutnya yang tertipu untuk melakukan revolusi atau masuk ke dalam fitnah. Maka janganlah peristiwa Al-Harom (Masjidil Harom) jauh dari pandanganmu—wahai pemuda. Semoga Alloh menjauhkan kaum Muslimin dari setiap keburukan dan melindungi kita dari setiap bencana.

***

Asal Ke-8 [Penguasa]: Komitmen Kita terhadap Apa yang Ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, serta Apa yang Disepakati oleh Salaf Umat Ini dalam Berinteraksi dengan Para Pemimpin dan Penguasa Kita

Kami mendengar dan menaati para pemimpin kami selama tidak dalam kemaksiatan. Kami tidak berpendapat bolehnya memberontak terhadap penguasa Muslim, betapapun banyaknya maksiat yang ia lakukan. Kami tidak ikut campur dalam urusan dunia mereka, dan kami memberikan nasihat kepada mereka sesuai metode Syar’i dengan jujur dan ikhlas, serta menyampaikan nasihat secara rahasia, terutama di zaman fitnah. Kami berdo’a kepada Alloh agar mereka menjadi baik dan beruntung, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, karena kebaikan mereka adalah kebaikan bagi hamba dan negara.

Kami tidak suka menemui mereka kecuali bagi orang yang ingin memberi nasihat atau mengadu. Kami berpendapat bahwa jihad harus bersama mereka. Kami mengingkari orang yang mencela atau menjelek-jelekkan mereka, karena hal itu dapat memicu rakyat untuk memberontak terhadap mereka atau tidak menaati perintah-perintah Syar’i. Di sini aku akan menukil perkataan para imam da’wah Rohmatullah ‘alaihim ajma’in dalam “Ad-Duror As-Saniyyah.” (7/177, 178)

Syaikh Al-'Allamah Abdul Lathif bin Abdurrohman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab Rohmatullah ‘alaihim ajma’in dan semoga Alloh membalas mereka dengan sebaik-baiknya balasan atas Islam dan Sunnah—dalam sebuah risalahnya yang ditujukan kepada salah seorang saudaranya yang tidak jelas posisinya di masa fitnah (yaitu fitnah putra-putra Faishol Rohmatullah ‘alaihim ajma’in), beliau berkata: “Kemudian di sini ada masalah lain dan bencana besar yang dengannya setan menimpa banyak orang, sehingga mereka berusaha menyebarkan apa yang memecah belah jama’ah Muslimin, mewajibkan perselisihan dalam agama, apa yang dicela oleh Al-Qur’an yang terang, dan mengarah pada kecenderungan untuk (berdiam) di bumi, meninggalkan jihad, dan menolong Robb sekalian alam. mengarah pada pencegahan zakat serta penyalaan api fitnah dan kesesatan. Setan pun berlembut hati dalam memasukkan tipu daya ini, dan ia menegakkan dalil-dalil dan pengantar-pengantar untuk mereka, serta membuat mereka menyangka bahwa ketaatan kepada sebagian penguasa yang dominan—yaitu dari kalangan penguasa—dalam apa yang diperintahkan oleh Alloh dan Rosul-Nya dari kewajiban-kewajiban imam, dan dalam apa yang di dalamnya terdapat pertahanan untuk Islam serta penjagaan atas wilayahnya—tidak wajib dan tidak disyari’atkan dalam keadaan seperti ini.”

Ringkasan dari tipu daya itu adalah: “Ketaatan kepada sebagian penguasa yang dominan tidak wajib dalam keadaan seperti ini—yaitu dalam keadaan fitnah—dan tidak disyari’atkan.” Kemudian Syaikh membantah tipu daya ini: “Orang-orang yang tertipu ini tidak menyadari bahwa sebagian besar penguasa kaum Muslimin sejak zaman Yazid bin Mu’awiyah—kecuali Umar bin Abdul Aziz dan orang yang Alloh kehendaki dari Bani Umayyah—telah terjadi pada diri mereka apa yang terjadi berupa keberanian melakukan kejadian-kejadian besar, keluar (dari Sunnah), dan kerusakan dalam kepemimpinan umat Islam. Meskipun demikian, biografi para imam yang agung dan para pemimpin yang mulia bersama mereka terkenal dan masyhur. Mereka tidak mencabut ketaatan sedikit pun dalam apa yang diperintahkan oleh Alloh dan Rosul-Nya dari syari’at Islam dan kewajiban-kewajiban agama.

Kemudian beliau memberikan contoh: “Aku akan berikan contoh Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofi. Urusannya masyhur di tengah umat karena kezholiman dan sikap berlebihannya dalam menumpahkan darah, melanggar kehormatan Alloh, dan membunuh orang-orang terkemuka umat, seperti Sa’id bin Jubair. Ia mengepung Ibnu Az-Zubair padahal ia berlindung di Al-Harom Asy-Syarif (Masjidil Harom), dan ia menghalalkan kehormatan (Al-Harom), serta membunuh Ibnu Az-Zubair. Padahal Ibnu Az-Zubair telah diberi ketaatan dan dibai’at oleh mayoritas penduduk Makkah, Madinah, Yaman, dan sebagian besar wilayah Iraq. Al-Hajjaj adalah wakil Marwan, kemudian wakil anaknya, Abdul Malik. Marwan tidak diangkat oleh salah satu dari para khulafa dan tidak dibai’at oleh para ahlul halli wal ‘aqdi (orang-orang yang memiliki wewenang untuk memilih pemimpin). Meskipun demikian, tidak ada seorang pun dari para ulama yang ragu untuk taat kepadanya dan tunduk kepadanya dalam hal-hal yang dibolehkan untuk taat kepadanya, yaitu rukun-rukun Islam dan kewajiban-kewajibannya. Ibnu Umar dan para Shohabat Rosululloh yang hidup di masa Al-Hajjaj tidak menentangnya dan tidak menahan diri untuk taat kepadanya dalam hal-hal yang dapat menegakkan Islam dan menyempurnakan keimanan. Demikian pula para Tabi’in di zamannya, seperti Ibnul Musayyib, Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin, Ibrohim At-Taimi, dan orang-orang yang sejenis dengan mereka dari para pemimpin umat.

Amalan ini terus berlanjut di antara ulama umat, dari para pemimpin dan imamnya. Mereka memerintahkan untuk taat kepada Alloh dan Rosul-Nya, serta berjihad di jalan-Nya bersama setiap imam, baik yang baik maupun yang jahat, sebagaimana diketahui dalam kitab-kitab ushuludin dan aqidah. Demikian pula Bani Abbasiyah yang menguasai negeri kaum Muslimin dengan paksa dan pedang, tidak ada seorang pun dari para ulama dan orang-orang yang beragama yang menolong mereka. Mereka membunuh banyak orang dari Bani Umayyah, para pemimpin, dan wakil-wakil mereka. Mereka membunuh Ibnu Hubairoh, pemimpin Iraq, dan membunuh kholifah Marwan. Hingga diriwayatkan bahwa As-Saffah membunuh sekitar 80 orang dari Bani Umayyah dalam satu hari, kemudian ia menutupi jasad mereka dengan permadani dan duduk di atasnya, lalu memanggil makanan dan minuman.

Meskipun demikian, biografi para imam seperti Al-Auza’i, Malik, Az-Zuhri, Al-Laits bin Sa’ad, dan ‘Atho’ bin Abi Robah bersama para penguasa ini tidak tersembunyi bagi orang yang memiliki pengetahuan dan wawasan tentang ilmu. Para ulama di generasi kedua, seperti Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Ismail, Muhammad bin Idris, Ahmad bin Nashr, Ishaq bin Rohuyah dan saudara-saudara mereka—pada masa mereka terjadi bid’ah-bid’ah yang besar dari para penguasa, seperti pengingkaran terhadap Sifat-Sifat Alloh, dan mereka mengajak kepada hal itu serta menguji para ulama. Sebagian dari mereka dibunuh, seperti Ahmad bin Nashr. Namun, tidak diketahui seorang pun dari mereka yang mencabut ketaatan atau berpendapat bolehnya memberontak terhadap mereka.” Hingga Syaikh Rohimahullah berkata kepada orang yang ia ajak bicara ini: “Jika ada sesuatu yang mengganjal di hatimu, maka perbanyaklah memohon kepada Alloh dan bertawassul (mendekatkan diri) dengan do’a-do’a yang ma’tsur (diriwayatkan), serta ulangilah membaca apa yang terkandung dalam kitab sejarah Ibnu Ghonnam dari perkataan Syaikhul Islam—yaitu Muhammad bin Abdul Wahhab—karena beliau telah menjelaskan panjang lebar tentang masalah ini dalam risalah-risalah dan kesimpulannya.”

***

 

Asal Ke-9 [Ahli Bid’ah]: Memusuhi Ahli Bid’ah dan Memperingatkan Umat dari Mereka

Para Salaf telah bersepakat untuk memusuhi ahli bid’ah dan memperingatkan umat dari mereka, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Qodhi Abu Ya’la dan para peneliti lainnya.

Hal yang perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah bahwa ahli bid’ah di zaman kita sekarang ini menyembunyikan diri dengan pakaian Sunnah, dan bersembunyi di balik namanya. Padahal, mereka tenggelam dalam bid’ah. Hal ini diketahui oleh setiap orang yang melihat mereka dari dekat dan mengetahui apa yang mereka sembunyikan berupa faham hizbiyyah, organisasi, upaya untuk memberontak terhadap penguasa Muslim, melanggar bai’at, dan hal-hal semacam itu.

Kebiasaan ahli bid’ah di zaman ini adalah kebiasaan ahli bid’ah di masa lalu, dan dengan perbuatan ini, bid’ah mereka tersebar dan mengakar di dalam hati.

Ibnu Baththoh Rohimahullah meriwayatkan dalam “Al-Ibanah” dengan sanadnya dari Mufadhdhal bin Muhalhil, yang merupakan salah satu orang terpercaya dan ahli ibadah dari Ahli Sunnah, bahwa ia berkata: “Seandainya seorang ahli bid’ah itu ketika kamu duduk bersamanya ia menceritakan bid’ahnya, niscaya kamu akan berhati-hati dan menjauh darinya. Akan tetapi, ia menceritakan kepadamu Hadits-Hadits Sunnah di awal majlisnya, kemudian ia memasukkan bid’ahnya kepadamu. Mungkin saja bid’ah itu menetap di hatimu, lalu kapan bid’ah itu akan keluar dari hatimu?!”

Karena alasan yang jelas ini—yaitu masuknya bid’ah ke dalam hati dan kekhawatiran bid’ah itu melekat di dalamnya—para Salaf Rohmatullah ‘alaihim ajma’in tidak mau mendengarkan ucapan ahli bid’ah. Mereka sangat berhati-hati untuk menjauhi tempat-tempat di mana ahli bid’ah berbicara.

Ibnu Baththoh juga meriwayatkan dalam “Al-Ibanah” dengan sanadnya dari Ma’mar, ia berkata: “Ibnu Thowus sedang duduk. Lalu datanglah seorang laki-laki dari kaum Mu’tazilah dan mulai berbicara. Ibnu Thowus memasukkan kedua jarinya ke dalam telinganya dan berkata kepada anaknya: ‘Wahai anakku, masukkan kedua jarimu ke dalam telingamu dan kuatkanlah, jangan dengar sedikitpun dari ucapannya.’ Ma’mar berkata: ‘Ia bermaksud bahwa hati itu lemah.’”

Ibnu Baththoh juga meriwayatkan dalam kitab yang sama, atsar-atsar (riwayat-riwayat) serupa. Di antaranya yang diriwayatkan dari Abdurrozzaq, ia berkata tentang dirinya: “Ibrohim bin Muhammad bin Abi Yahya, salah seorang Mu’tazilah, berkata kepadaku: ‘Aku melihat banyak Mu’tazilah di tempatmu.’ Aku menjawab: ‘Ya, dan mereka mengira engkau termasuk dari mereka.’ Ia berkata: ‘Tidakkah engkau masuk bersamaku ke toko ini agar aku dapat berbicara denganmu?’ Aku berkata: ‘Tidak.’ Ia bertanya: ‘Mengapa?’ Aku menjawab: ‘Karena hati itu lemah, dan agama bukan milik orang yang mengalahkan.’”

Ibnu Baththoh juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Sa’id bin ‘Amir, ia berkata: “Salam bin Abi Muthi’ menceritakan kepada kami bahwa seorang laki-laki dari ahli hawa nafsu (penyimpangan) berkata kepada Ayyub As-Sikhtiyani: ‘Wahai Abu Bakr, aku ingin bertanya kepadamu tentang satu kalimat.’ Ayyub berkata sambil mengisyaratkan dengan jarinya: ‘Tidak, bahkan tidak setengah kalimat, tidak setengah kalimat.’”

Seperti inilah para Salaf Rohmatullah ‘alaihim ajma’in menjauhi mendengarkan ucapan ahli bid’ah, bahkan mereka memperingatkan dari hal itu. Itu karena agar tidak ada sedikit pun bid’ah yang masuk ke dalam hati, yang pada akhirnya akan menyebabkan kebinasaan. Jadi, bagaimana pendapat mereka tentang orang yang bermajelis dengan ahli bid’ah dan menghadiri pelajaran mereka?! Tidak diragukan lagi bahwa ucapan mereka tentang ini akan lebih keras dan lebih kuat.

Oleh karena itu, ketika Sufyan Ats-Tsauri datang ke Bashroh, ia mulai memperhatikan urusan Robi’ bin Shubaih dan kedudukannya di mata orang-orang. Ia bertanya tentang mazhabnya, dan mereka menjawab: “Mazhabnya hanyalah Sunnah.” Sufyan bertanya lagi: “Siapa teman-teman dekatnya?” Mereka menjawab: “Ahli Qodar.” Sufyan pun berkata: “Dia adalah seorang Qodari.” Ibnu Baththoh Rohimahullah berkomentar tentang ucapan Sufyan ini: “Semoga Alloh merohmati Sufyan Ats-Tsauri, ia telah berucap dengan hikmah, lalu ia jujur, dan ia berbicara dengan ilmu, lalu ia sesuai dengan Kitab dan Sunnah, serta apa yang diwajibkan oleh hikmah dan disaksikan oleh mata, dan diketahui oleh ahli bashiroh (orang yang berilmu) dan penjelasan. Alloh Ta’ala berfirman:

﴿يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِّنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ﴾

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, karena mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudhorotan bagimu.” (QS. Ali ‘Imron: 118)

Fudhoil bin ‘Iyadh Rohimahullah berkata: “Roh itu adalah tentara yang berbaris. Jika ia saling mengenal, maka ia akan bersatu, dan jika ia saling mengingkari, maka ia akan berselisih. Tidak mungkin seorang Ahli Sunnah berteman dengan seorang ahli bid’ah kecuali karena kemunafikan.” Ibnu Baththoh Rohimahullah berkomentar tentang itu: “Fudhoil Rohimahullah benar, karena kami melihat hal itu secara nyata.”

Para Salaf Rohmatullah ‘alaihim ajma’in begitu sangat memperingatkan dari ahli bid’ah sampai Ahmad bin Sinan berkata: “Sungguh, tetanggaku seorang pemain gendang lebih aku sukai daripada tetanggaku seorang ahli bid’ah. Karena pemain gendang itu aku bisa melarangnya dan memecahkan gendangnya, sedangkan ahli bid’ah merusak manusia, tetangga, dan anak-anak.” Ibnu Baththoh Rohimahullah berkomentar tentang topik ini: “Demi Alloh, wahai kaum Muslimin, janganlah seorang pun di antara kalian terbawa oleh prasangka baiknya terhadap dirinya sendiri dan apa yang ia ketahui tentang kebenaran mazhabnya sehingga ia membahayakan agamanya dengan bermajelis dengan sebagian ahli hawa nafsu ini. Lalu ia berkata: ‘Aku akan bergaul dengannya untuk berdebat atau untuk mengambil mazhabnya agar aku bisa memperingatkan darinya setelah itu.’ Karena mereka—yaitu ahli bid’ah—lebih besar fitnahnya dari Dajjal, dan perkataan mereka lebih menempel daripada penyakit kudis, serta lebih membakar hati daripada api. Aku telah melihat sekelompok orang yang dulunya melaknat dan mencela mereka. Lalu mereka bermajelis dengan mereka untuk mengingkari dan membantah mereka, tetapi pergaulan dan tipu daya yang tersembunyi, serta kekufuran yang halus terus merasuki mereka sampai mereka cenderung kepada mereka.”

Kami menyaksikan orang-orang seperti itu di zaman kita. Mereka mengatakan: “Kami bermajelis dengan ahli bid’ah ini untuk menasihati mereka, dan untuk mengetahui manhaj (metode) rahasia mereka yang mereka sembunyikan agar kami dapat memperingatkan darinya setelah itu.” Kemudian setelah itu, mereka terjerumus ke dalam perangkap mereka dan menjadi pembela mereka terhadap Ahli Sunnah. Semoga Alloh melindungi kita semua dari hal itu. Inilah yang telah ditetapkan oleh para Salaf.

Oleh karena itu, wajib bagi orang yang takut dirinya rusak dan tersesat untuk berpegang teguh pada manhaj ini dan menempuhnya. Demi Alloh, kaum itu menjauh (dari ahli bid’ah) dengan dasar ilmu, dan mereka berpegang teguh (pada Sunnah) dengan dasar ilmu.

Al-Hafizh Ibnu Asakir dalam “Tarikh Dimasyq” dalam biografi Ahmad bin ‘Aun Rohimahullah, yang merupakan salah satu ulama Sunnah, menukil dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Mufarrij: “Dahulu Abu Ja’far Ahmad bin ‘Aun adalah muhtasib (petugas pengawas) terhadap ahli bid’ah. Ia bersikap keras kepada mereka, menghinakan mereka, mencari keburukan mereka, bersegera dalam membahayakan mereka, sangat kuat dalam menekan mereka, mengusir mereka jika ia mampu, dan tidak menyisakan belas kasihan kepada mereka. Semua yang berasal dari mereka takut kepadanya, berhati-hati, dan tidak berdamai dengan siapa pun dari mereka dalam keadaan apa pun. Jika ia menemukan kemungkaran pada salah satu dari mereka dan ada saksi di sisinya tentang penyimpangan dari Sunnah, ia akan memusuhinya dan membongkar aibnya. Ia mengumumkan (kejelekan)nya dan berlepas diri darinya, serta mencelanya di majelis-majelis, dan memprovokasi orang untuk membinasakannya atau membuatnya kembali dari mazhabnya yang buruk dan keyakinannya yang jelek. Ia terus-menerus melakukan hal ini dengan sungguh-sungguh demi mengharap wajah Alloh ‘Azza wa Jalla, hingga ia bertemu dengan Alloh. Ia memiliki jejak-jejak yang terkenal dan peristiwa-peristiwa yang disebutkan dalam menghadapi kaum mulhid (atheis/penyimpang).”

***

 

Asal Ke-10 [Komitmen]: Komitmen Kita terhadap Al-Qur’an dan Sunnah dalam Semua Urusan dan Keadaan Kita

Komitmen kita terhadap Al-Qur’an dan Sunnah dalam semua urusan dan keadaan kita adalah prinsip dari segala prinsip dan yang menjadi hakim atasnya. Ini adalah berpegang teguh pada firman Alloh:

﴿وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا﴾

Hidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. siapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

firman Alloh Ta’ala:

﴿إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ * وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ﴾

“Sesungguhnya jawaban orang-orang Mukmin, bila mereka dipanggil kepada Alloh dan Rosul-Nya agar Rosul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan ‘Kami mendengar, dan kami taat.’ mereka itulah orang-orang yang beruntung. siapa yang taat kepada Alloh dan Rosul-Nya, dan takut kepada Alloh dan bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. An-Nuur: 51)

Hingga firman-Nya:

﴿قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ﴾

“Katakanlah: ‘Taatlah kepada Alloh dan taatlah kepada Rosul; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rosul hanyalah menyampaikan (amanat Alloh), dan kewajiban kamu hanyalah melaksanakan apa yang dibebankan kepadamu. jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. tidak lain kewajiban Rosul itu melainkan menyampaikan (amanat Alloh) dengan terang.’” (QS. An-Nuur: 54)

Ayat-ayat yang mendorong berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah, serta memerintahkan untuk berpegang teguh pada keduanya, sangatlah banyak. Hadits-hadits dari Rosululloh juga demikian. Di antaranya adalah yang tsabit (terbukti) dalam “Shohih Muslim” bahwa Nabi bersabda dalam Haji Wada’ (kumpulan kaum Muslimin yang paling besar):

«وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ: كِتَابَ اللَّهِ»

aku telah meninggalkan di tengah kalian sesuatu, yang kalian tidak akan sesat setelahnya jika kalian berpegang teguh padanya, yaitu Kitab Alloh.”

Juga tsabit dalam “Mustadrok Al-Hakim” dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi bersabda:

«تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا إِذَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي، وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ»

“Aku tinggalkan di tengah kalian dua hal, kalian tidak akan sesat jika kalian berpegang teguh pada keduanya: Kitab Alloh dan Sunnahku. keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya kembali kepadaku di Haudh (telaga).”

Ibnu ‘Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma berkata tentang firman Alloh:

﴿فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى﴾

“Maka siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thoha: 123)

“Alloh menjamin bagi siapa pun yang membaca Al-Qur’an dan mengikuti apa yang ada di dalamnya bahwa ia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di Akhirat.”

Maka, komitmen terhadap Al-Qur’an dan Sunnah adalah hal yang wajib. Para da’i kepada Alloh harus memberinya perhatian yang besar dan menjadikannya di hadapan mata mereka. Sungguh, di antara para da’i—dan sungguh disayangkan—ada yang mendahulukan hawa nafsu dan pendapatnya atas Kitab Alloh dan Sunnah Rosul-Nya. Meskipun ia menamai hawa nafsu atau pendapat ini dengan nama lain untuk membenarkan penyimpangan ini, penamaan ini tidak memberi manfaat sedikit pun dan tidak berguna di sisi Alloh. Karena nama tidak mengubah hakikat dari yang dinamai.

Orang-orang yang menjadikan maslahat (kebaikan) da’wah bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah—lalu mereka mendahulukannya atas nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah—mereka telah sesat dari jalan yang lurus. Di antara apa yang mereka lakukan adalah, siapa yang memusuhi mereka, menentang mereka, dan menyingkap kebatilan yang mereka sembunyikan, mereka membolehkan untuk berbohong dan menuduhnya. Karena hal itu menurut mereka adalah maslahat bagi da’wah. Mereka tidak menganggap firman Alloh:

﴿وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا﴾

“Orang-orang yang menyakiti orang-orang yang Mukmin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)

Mereka tidak menganggap ayat ini, karena maslahat da’wah di sisi mereka lebih didahulukan.

Ini adalah kesalahan murni, dan kesesatan yang nyata yang wajib bagi orang yang terjerumus di dalamnya untuk bertaubat kepada Alloh dan kembali kepada-Nya. Karena apa yang ia jalani adalah kesesatan yang nyata dan dosa yang keji. Ini adalah hal yang telah diperingatkan oleh para Salaf, dan ini pada hakikatnya adalah kelanjutan dari ahlur ro’yi (orang-orang yang mengutamakan akal), yang diperangi oleh para Salaf. Terjadi peperangan sengit antara mereka dengan para Salaf sampai Alloh Ta’ala memenangkan Ahli Sunnah atas mereka, dan menumpas kebatilan mereka. Bagi-Nya segala puji, karunia, dan nikmat.

perlu diketahui bahwa tidak menghukumkan Al-Qur’an dan Sunnah dalam semua urusan dan keadaan akan menimbulkan banyak bahaya dan kerusakan. Imam Ibnul Qoyyim Rohimahullah telah menyebutkan sebagian dari kerusakan-kerusakan ini, dan sebagian dari dampak-dampak yang menghancurkan ini, dan ia telah berbuat baik—semoga Alloh membalasnya dengan kebaikan—ketika ia berkata dalam kitabnya “Al-Fawaid”: “Ketika manusia berpaling dari menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai hakim dan rujukan, dan mereka meyakini tidak cukupnya kedua-duanya, serta mereka beralih kepada pendapat-pendapat, qiyas (analogi), istihsan (menganggap baik), dan perkataan para guru—maka dari itu timbullah kerusakan pada fitroh (naluri) mereka, kegelapan di hati mereka, kekeruhan pada pemahaman mereka, dan hilangnya akal mereka. Perkara-perkara ini meliputi mereka dan menguasai mereka sehingga anak kecil tumbuh di atasnya, dan orang tua menjadi pikun di atasnya. Mereka tidak menganggapnya sebagai kemungkaran. Kemudian datanglah masa lain di mana bid’ah menggantikan Sunnah, hawa nafsu menggantikan akal, kesesatan menggantikan petunjuk, kemungkaran menggantikan kebaikan, kebodohan menggantikan ilmu, riya’ menggantikan keikhlasan, kebatilan menggantikan kebenaran, kebohongan menggantikan kejujuran, dan kompromi menggantikan nasihat. Maka kekuasaan dan kemenangan menjadi milik hal-hal ini dan orang-orangnya. Padahal sebelumnya ia adalah milik lawan-lawannya, dan orang-orangnya lah yang menjadi contoh. Maka jika kamu melihat kekuasaan hal-hal ini telah datang, bendera-benderanya telah ditegakkan, dan pasukan-pasukannya telah menunggangi—maka demi Alloh, perut bumi lebih baik daripada permukaannya, puncak gunung lebih baik daripada dataran, dan bergaul dengan binatang buas lebih selamat daripada bergaul dengan manusia.”

Maka, wajib bagi para da’i kepada Alloh untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah dalam semua keadaan mereka. Karena komitmen terhadap Al-Qur’an dan Sunnah mengandung kebaikan yang besar dalam agama dan dunia. Oleh karena itu, ketika para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum merasa keberatan saat Alloh ‘Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya:

﴿وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ﴾

“Jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Alloh akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu.” (QS. Al-Baqoroh: 284)—mereka mendatangi Rosululloh dan berkata: “Wahai Rosululloh, kami dibebani dengan amalan yang kami mampu (Sholat, puasa, jihad, dan shodaqoh), tetapi ayat ini diturunkan kepadamu, dan kami tidak mampu melakukannya.” Rosululloh berkata kepada mereka: “Apakah kalian ingin berkata seperti apa yang dikatakan oleh dua Ahli Kitab sebelum kalian: ‘Kami mendengar dan kami tidak taat’? Sebaliknya, katakanlah: ‘Kami mendengar dan kami taat, (kami memohon) ampunan-Mu, wahai Robb kami, dan kepada-Mulah tempat kembali.’” Ketika para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum mengucapkan hal itu, Alloh meringankan beban mereka dan menurunkan firman-Nya:

﴿لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا﴾

“Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqoroh: 286)

Siapa yang menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai hakim, Alloh akan menjadikan baginya jalan keluar dari setiap kesusahan dan solusi dari setiap kesulitan. Hal yang perlu disadari oleh mereka yang mengingkari para penguasa yang menghukumkan undang-undang buatan manusia adalah bahwa mereka sendiri juga menghukumkan selain syari’at Alloh dalam mu’amalah dan perilaku mereka. Aku tidak mengatakan bahwa mereka menghukumkan selain syari’at Alloh dalam semua urusan mereka, tetapi aku tidak berlebihan jika aku mengatakan: dalam banyak urusan mereka.

Maka, hendaklah mereka bertaqwa kepada Alloh ‘Azza wa Jalla pada diri mereka sendiri, dan menghisab (menghitung) diri mereka sebelum mereka dihisab. Dengan Alloh-lah segala taufik. semoga sholawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, serta kepada keluarga dan seluruh Shohabatnya.

***

 


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url