[PDF] Hujjah Kemerdekaan NKRI Murni Karunia Allah - Nor Kandir

Unduh PDF


Muqoddimah

Karunia Terbesar dari Alloh

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Alloh, Robb semesta alam. Hanya kepada-Nya kita memuji, hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan dan ampunan. Sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rosululloh Muhammad , para Shohabatnya yang mulia, dan seluruh kaum Muslimin yang mengikuti jejak mereka hingga hari Akhir.

Tidak ada satu pun ni’mat yang kita rasakan, baik yang besar maupun yang kecil, yang nampak maupun yang tersembunyi, melainkan semuanya berasal dari Alloh semata. Kekuatan untuk bergerak, kesehatan tubuh, rezeki, keluarga, dan bahkan kemerdekaan sebuah bangsa, semua adalah anugerah murni dari-Nya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

﴿وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيْهِ تَجْـئَرُوْنَ

“Dan segala ni’mat yang ada pada kalian, maka (datangnya) dari Alloh, kemudian apabila kalian ditimpa kesengsaraan, maka hanya kepada-Nya kalian meminta pertolongan.” (QS. An-Nahl: 53)

Ayat ini menegaskan bahwa setiap ni’mat, termasuk kemerdekaan yang dirasakan oleh bangsa ini, adalah pemberian Alloh. Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukanlah semata-mata hasil perjuangan manusia, bukan pula karena kekuatan senjata, strategi yang cerdas, atau negosiasi diplomatik. Semua faktor tersebut hanyalah sebab-sebab lahiriah yang Alloh mudahkan, sedangkan sebab hakiki dan yang paling mendasar adalah karunia dan pertolongan dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

Sangat keliru jika ada yang menganggap kemerdekaan sebagai hasil dari kekuatan diri sendiri, lalu melupakan peran Alloh yang Maha Memberi Ni’mat. Sikap semacam ini adalah bentuk kesombongan yang dapat mengikis rasa syukur. Padahal, Alloh telah memperingatkan kita agar senantiasa bersyukur atas ni’mat-Nya:

﴿وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

“Dan (ingatlah) ketika Robbmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (ni’mat) kepadamu, tetapi jika kalian mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.’” (QS. Ibrohim: 7)

Mensyukuri ni’mat kemerdekaan haruslah dengan cara yang benar, yaitu dengan kembali kepada petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta menjadikan tauhid sebagai landasan utama dalam berkehidupan. Kemerdekaan adalah amanah agung dari Alloh, sebuah kesempatan untuk menegakkan kalimat tauhid di bumi pertiwi.

Buku ini ditulis dengan tujuan untuk mengingatkan kembali kepada seluruh umat Islam di Indonesia bahwa kemerdekaan yang kita ni’mati adalah karunia murni dari Alloh. Bahwa peran para ulama dan pejuang terdahulu adalah cerminan dari keyakinan mereka akan pertolongan Alloh. Melalui hujjah (argumen) yang bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ucapan para ulama, kita akan membuktikan bahwa tanpa karunia Alloh, tidak akan ada kemerdekaan.

Tujuan Penulisan Buku

Tujuan utama penulisan buku ini adalah untuk meluruskan pandangan tentang hakikat kemerdekaan. Agar kita tidak terjerumus ke dalam kesombongan yang melupakan Alloh yang Maha Pemberi Ni’mat.

Adapun tujuan-tujuan khusus dari buku ini adalah:

1.  Menjelaskan bahwa kemerdekaan sejati adalah pembebasan dari perbudakan kepada selain Alloh dan hanya tunduk kepada-Nya.

2.  Membuktikan bahwa kemerdekaan NKRI adalah karunia Alloh yang diberikan sebagai balasan atas ketulusan iman dan perjuangan para pejuang yang beriman.

3.  Menjelaskan bagaimana seharusnya mensyukuri ni’mat kemerdekaan sesuai syari’at Islam, bukan dengan cara yang melanggar hukum Alloh.

4.  Mengajak seluruh kaum Muslimin untuk menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup dalam rangka menjaga dan mengisi kemerdekaan yang telah Alloh karuniakan.

***

 

Bab 1: Hakikat Kemerdekaan dalam Pandangan Islam

Kemerdekaan Sejati adalah Tauhid

Kemerdekaan sering kali dimaknai sebatas terbebasnya suatu bangsa dari penjajahan fisik dan politik. Namun, dalam Islam, kemerdekaan sejati memiliki makna yang jauh lebih mendalam dan fundamental. Kemerdekaan hakiki adalah ketika seorang manusia terbebas dari perbudakan kepada makhluk, baik berupa manusia, materi, hawa nafsu, maupun syahwat, dan hanya menjadi hamba yang tulus kepada Alloh semata.

Inilah misi utama seluruh Nabi dan Rosul yang diutus oleh Alloh, dari Nabi Nuh ‘Alaihissalam hingga penutup para nabi, Nabi Muhammad . Misi mereka adalah membebaskan manusia dari perbudakan kepada tuhan-tuhan palsu menuju peribadahan yang murni hanya kepada Alloh. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

﴿وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ

“Dan sungguh, Kami telah mengutus Rosul pada setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Alloh dan jauhilah thoghut (sesembahan selain Alloh).’” (QS. An-Nahl: 36)

Ayat ini menegaskan bahwa kemerdekaan sejati adalah terbebasnya seseorang dari perbudakan kepada apapun selain Alloh. Seseorang yang hanya beribadah kepada Alloh adalah orang yang paling merdeka, karena hatinya tidak tergantung kepada manusia, ia tidak takut kepada kekuasaan mereka, tidak mengharapkan pujian dari mereka, dan tidak pula terhina oleh hasrat dunia.

Hal ini sesuai dengan sabda Rosululloh :

Dari Abu Huroiroh, dia berkata: Rosululloh bersabda:

«تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ، وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ، وَعَبْدُ الخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ، تَعِسَ وَانْتَكَسَ، وَإِذَا شِيكَ فَلاَ انْتَقَش»

“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khomishoh (pakaian yang terbuat dari wol). Jika diberi, ia senang, dan jika tidak diberi, ia marah. Celakalah dia dan jatuh tersungkur, dan jika dia tertusuk duri, tidak ada yang dapat mengobatinya.’” (HR. Al-Bukhori no. 2886)

Hadits ini memberikan gambaran yang jelas bahwa perbudakan tidak hanya berupa penjajahan fisik. Menjadi “hamba dinar” atau “hamba dirham” berarti menjadi budak harta. Hatinya selalu terikat dengan materi, dan kehidupannya dipenuhi dengan kegelisahan karena mengejar-ngejar kekayaan. Ini adalah bentuk perbudakan yang paling berbahaya, karena seringkali tidak disadari oleh pelakunya. Kemerdekaan sejati hanya bisa dicapai ketika hati kita hanya bergantung kepada Alloh.

Imam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) berkata:

الْعَبْدُ حُرٌّ مَا قَنَعَ، وَالْحُرُّ عَبْدٌ مَا طَمِعَ

“Seorang hamba (yang tulus beribadah) akan menjadi orang merdeka jika dia merasa qona’ah (cukup), dan seorang yang merdeka akan menjadi hamba jika dia rakus.” (Majmu’ Al-Fatawa, 10/181)

Ucapan ini menegaskan bahwa kemerdekaan bukanlah masalah status sosial, melainkan kondisi hati. Seorang yang berstatus hamba sekalipun, jika hatinya qona’ah dan hanya bergantung kepada Alloh, maka ia adalah manusia yang paling merdeka. Sebaliknya, seorang penguasa atau orang kaya yang rakus, maka ia adalah hamba dari syahwatnya. Inilah esensi kemerdekaan dalam Islam, yaitu kemerdekaan dari perbudakan kepada hawa nafsu dan dunia.

Kemerdekaan Hakiki Bukan dari Manusia

Seringkali kita mendengar narasi yang hanya menonjolkan peran manusia dalam meraih kemerdekaan, sehingga terkesan bahwa kemerdekaan adalah murni hasil perjuangan pahlawan. Tidak diragukan lagi, para pahlawan telah berkorban dengan harta dan nyawa mereka, namun Islam mengajarkan kepada kita untuk melihat lebih jauh dari itu. Di balik segala ikhtiar manusia, ada takdir dan kehendak Alloh yang Maha Perkasa.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

﴿وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللّٰهُ بِبَدْرٍ وَّاَنْتُمْ اَذِلَّةٌ ۚ فَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

“Sungguh, Alloh telah menolong kamu dalam Perang Badar, padahal kamu (ketika itu) adalah golongan yang lemah. Karena itu bertaqwalah kepada Alloh, agar kamu mensyukuri-Nya.” (QS. Ali ‘Imron: 123)

Ayat ini adalah bukti nyata bahwa pertolongan datangnya dari Alloh. Alloh menyebutkan bahwa kaum Muslimin dalam Perang Badar adalah golongan yang lemah (adzillah), baik dari segi jumlah, persenjataan, maupun kekuatan. Akan tetapi, dengan karunia-Nya, mereka memenangkan perang. Kemenangan itu bukan karena kekuatan mereka, melainkan karena pertolongan dari Alloh.

Kisah Perang Ahzab (Khondaq) juga merupakan pelajaran yang sangat berharga. Kaum Muslimin dikepung oleh pasukan sekutu yang sangat besar. Keadaan mereka sangat sulit dan hati mereka bergoncang. Namun, apa yang terjadi? Alloh mengutus angin yang sangat dingin yang memporak-porandakan kemah dan persatuan musuh, sehingga mereka lari dan meninggalkan pengepungan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

﴿يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اذْكُرُوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ جَاءَتْكُمْ جُنُوْدٌ فَاَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيْحًا وَّجُنُوْدًا لَّمْ تَرَوْهَا ۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرًا

“Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah ni’mat Alloh (yang diberikan) kepadamu, ketika bala tentara datang kepadamu, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan bala tentara yang tidak dapat kamu lihat. Dan Alloh Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ahzab: 9)

Ayat ini menunjukkan bahwa faktor kemenangan bukanlah semata-mata kekuatan fisik, melainkan pertolongan dari Alloh yang datang dalam bentuk yang tidak terduga, seperti angin dan Malaikat. Sama halnya dengan kemerdekaan NKRI, di mana kekuatan penjajah yang jauh lebih besar dan modern bisa dikalahkan oleh para pejuang yang hanya bersenjatakan bambu runcing. Ini adalah bukti adanya pertolongan Alloh.

Alloh juga berfirman:

﴿قُلِ اللّٰهُمَّ مٰلِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِى الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُۖ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۗ بِيَدِكَ الْخَيْرُۗ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai Alloh, Engkau pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa saja yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa saja yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa saja yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa saja yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (QS. Ali ‘Imron: 26)

Ayat ini adalah dalil yang sangat jelas bahwa segala kekuasaan dan kemerdekaan suatu bangsa berada di tangan Alloh. Dialah yang memberikan dan mencabut kekuasaan. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, sedangkan hasil akhir tetap ditentukan oleh Alloh.

Hal ini juga ditegaskan oleh Rosululloh :

Dari Al-Mughiroh, dia berkata: Rosululloh bersabda:

«اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الجَدِّ مِنْكَ الجَدُّ»

“Ya Alloh, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberikan apa yang Engkau halangi. Tidak ada gunanya kekayaan orang yang kaya dari (siksa) Engkau.’” (HR. Al-Bukhori no. 6615)

Kemerdekaan adalah pemberian Alloh, tidak ada satu kekuatan pun yang bisa mencegahnya. Dan ketika Alloh menakdirkan suatu bangsa untuk merdeka, maka tidak ada penjajah mana pun yang bisa menghalanginya. Keyakinan inilah yang seharusnya tertanam di setiap hati kaum Muslimin.

Ni’mat Kemerdekaan sebagai Amanah

Setelah Alloh mengaruniakan kemerdekaan, maka kemerdekaan itu menjadi sebuah amanah yang sangat besar. Amanah untuk menjaga agama, negara, dan seluruh isinya. Amanah ini bukanlah sesuatu yang sepele, karena di dalamnya terkandung pertanggungjawaban di hadapan Alloh.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

﴿يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Alloh dan Rosul, dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanahmu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27)

Menjaga amanah kemerdekaan berarti menjaga negara ini dari segala bentuk kemaksiatan dan perbuatan yang melanggar syari’at, serta menjadikan negara ini sebagai tempat yang nyaman untuk beribadah dan menebarkan kebaikan.

Begitu pula dengan kemerdekaan, ia adalah karunia dari Alloh yang memungkinkan kita untuk menjalankan ibadah dengan lebih leluasa. Oleh karena itu, amanah ini harus kita jaga dengan cara yang benar, yaitu dengan meningkatkan ketaqwaan dan menjauhi segala larangan Alloh.

***

Bab 2: Kemerdekaan NKRI sebagai Karunia Alloh

Sejarah Kemerdekaan NKRI dalam Tinjauan Syar’i

Melihat kembali sejarah kemerdekaan Indonesia, kita akan menemukan banyak sekali bukti bahwa kemerdekaan bukanlah hasil dari kekuatan fisik semata. Banyak cerita heroik para pejuang yang hanya bermodalkan bambu runcing, namun mampu mengalahkan penjajah yang bersenjata lengkap. Fenomena ini tidak bisa dijelaskan dengan akal dan logika manusia. Ini adalah bentuk pertolongan Alloh, sebagaimana firman-Nya:

﴿فَلَمْ تَقْتُلُوْهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ قَتَلَهُمْۖ وَمَا رَمَيْتَ اِذْ رَمَيْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ رَمٰى

Maka (sebenarnya) bukan kalian yang membunuh mereka, melainkan Alloh-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Alloh-lah yang melempar.” (QS. Al-Anfal: 17)

 Ayat ini adalah dalil yang sangat kuat bahwa pertolongan dan kemenangan dalam setiap perjuangan datangnya dari Alloh semata, bukan dari kekuatan atau kemampuan manusia.

Para ulama dan kiai pada masa itu selalu menyerukan kepada kaum Muslimin untuk berjuang dengan keyakinan penuh akan pertolongan Alloh. Mereka tidak mengandalkan kekuatan militer yang tidak seimbang, melainkan mengandalkan kekuatan do’a dan ketaatan kepada Alloh. Mereka menyadari bahwa Alloh lah yang menggerakkan hati-hati para pejuang, yang menyatukan mereka dalam satu tujuan, dan yang melemahkan kekuatan musuh.

Alloh Ta’ala berfirman:

﴿وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُوْرِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ اَنَّ الْاَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصّٰلِحُوْنَ

“Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam Adz-Dzikr (Lauh Mahfuzh), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang sholih.” (QS. Al-Anbiya’: 105)

Ayat ini adalah janji Alloh bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Nya yang sholih. Kemerdekaan yang telah kita dapatkan adalah salah satu bentuk dari janji ini. Alloh melihat kesholihan yang ada pada para pejuang, ulama, dan santri, sehingga Dia mengaruniakan kemerdekaan ini kepada mereka dan seluruh bangsa Indonesia.

Satu hal yang tidak bisa kita lupakan adalah peran Sumpah Pemuda pada tahun 1928, di mana para pemuda Indonesia bersatu. Ini adalah momentum bersejarah yang mengikis perbedaan-perbedaan suku dan bahasa, dan menyatukan mereka dalam satu identitas, yaitu “Indonesia”. Namun, di balik itu, kita harus sadar bahwa yang menggerakkan hati mereka untuk bersatu adalah Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

Alloh Ta’ala berfirman:

﴿وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ اِخْوَانًا

“Dan ingatlah ni’mat Alloh kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuhan, lalu Alloh mempersatukan hati-hati kalian, maka dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara.” (QS. Ali ‘Imron: 103)

Ayat ini adalah dalil yang jelas bahwa persatuan dan kesatuan adalah ni’mat dari Alloh. Alloh yang mempersatukan hati-hati kaum Anshor dan Muhajirin di Madinah, begitu juga Alloh yang mempersatukan hati-hati para pejuang kemerdekaan dari berbagai suku dan agama di Indonesia. Tanpa karunia persatuan ini, kemerdekaan tidak akan pernah terwujud.

Sejarah mencatat betapa dahsyatnya perlawanan para ulama dan santri di berbagai daerah, seperti Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, yang dikomandani oleh Syaikh Hasyim Asy’ari. Resolusi ini mewajibkan setiap Muslim untuk membela tanah air dari penjajah. Perlawanan ini bukan hanya didasari semangat nasionalisme, melainkan didasari keimanan yang kuat.

Jihad di jalan Alloh adalah salah satu amalan yang paling utama, dan ia adalah fardhu kifayah, dan bisa menjadi fardhu ‘ain jika musuh menyerang negeri kaum Muslimin.

Berdasarkan fatwa seperti inilah para ulama dan santri pada masa itu bersemangat untuk berjuang, karena mereka menganggap perlawanan terhadap penjajah sebagai jihad fi sabilillah. Mereka yakin bahwa mereka akan mendapatkan salah satu dari dua kebaikan, yaitu kemenangan atau syahid. Keyakinan inilah yang membuat mereka tidak gentar menghadapi penjajah.

Kemerdekaan NKRI, jika dilihat dari kacamata syar’i, adalah karunia dari Alloh yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang sholih, yang berjuang di jalan-Nya. Kemenangan mereka adalah bukti bahwa pertolongan Alloh itu nyata.

Peran Para Ulama dan Santri dalam Merebut Kemerdekaan

Perjuangan kemerdekaan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran besar para ulama dan santri. Sejak awal penjajahan, perlawanan terhadap penjajah selalu dikobarkan oleh para ulama di berbagai wilayah. Mereka tidak hanya berperan sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai panglima perang yang mengorganisasi perlawanan. Mereka menyadari bahwa penjajahan adalah bentuk penindasan dan penghinaan terhadap agama dan umat Islam.

Salah satu bukti paling nyata adalah perlawanan heroik Syaikh Ahmad Dahlan, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teungku Cik Di Tiro, dan masih banyak lagi. Mereka adalah ulama yang berjuang melawan penjajah dengan semangat Jihad. Bahkan perlawanan mereka dijuluki Wahabi oleh para penjajah, untuk menjadikan orang lari dari mereka. Akan tetapi, hal itu justru menjadikan mereka diterima masyarakat dan dipuji presiden pertama Sukarno sebagai da’wah pembaharu yang memurnikan agama dan membarakan api Jihad melawan penjajah.

Dari Umar bin Khotthob Rodhiyallahu ‘Anhu, dia berkata: Rosululloh bersabda:

«إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ»

“Sesungguhnya Alloh mengangkat derajat suatu kaum dengan Kitab (Al-Qur’an) ini, dan merendahkan kaum lainnya dengannya.’” (HR. Muslim no. 817)

Perjuangan para ulama dan santri adalah cerminan dari hadits ini. Mereka berjuang dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an, sehingga Alloh mengangkat derajat mereka dan memenangkan mereka atas penjajah. Al-Qur’an adalah sumber kekuatan dan kehormatan mereka. Sebaliknya, penjajah yang jauh dari petunjuk Alloh, meskipun memiliki kekuatan materi, Alloh rendahkan dan kalahkan.

Peristiwa yang sangat fenomenal adalah fatwa jihad yang dikeluarkan oleh Syaikh Hasyim Asy’ari (w. 1947 M) pada 22 Oktober 1945. Karena itulah 22 Oktober ditetapkan pemerintah RI sebagai Hari Santri Nasional.

Fatwa ini dikenal sebagai “Resolusi Jihad”. Fatwa ini mewajibkan setiap Muslim untuk membela tanah air dari penjajah. Fatwa ini menjadi pemicu pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Ribuan santri dan rakyat biasa bersatu melawan tentara sekutu yang jauh lebih kuat. Untuk mengenangnya, ia dijadikan nama untuk kampus teknik Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) menjelaskan firman Alloh dalam Al-Qur’an:

﴿يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا هَلْ اَدُلُّكُمْ عَلٰى تِجَارَةٍ تُنْجِيْكُمْ مِّنْ عَذَابٍ اَلِيْمٍۙ

“Wahai orang-orang yang beriman, maukah Aku tunjukkan kepada kalian suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih?” (QS. Ash-Shoff: 10)

Ibnu Katsir berkata: “Yang dimaksud dengan perniagaan di sini adalah jihad di jalan Alloh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim)

Ini menunjukkan bahwa perlawanan para pejuang Muslim adalah sebuah “perniagaan” yang sangat menguntungkan di sisi Alloh. Mereka tidak hanya berjuang untuk tanah air, tetapi juga untuk mendapatkan ridho dan Surga Alloh.

Selain itu, perjuangan para ulama dan santri juga didorong oleh pemahaman mendalam mereka terhadap konsep hubbul wathon minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman). Meskipun ia bukan ucapan Nabi , namun maknanya sejalan dengan semangat Islam yang mengajarkan pentingnya menjaga tanah air, kehormatan, dan harta benda dari kejahatan orang kafir. Perjuangan mereka adalah bentuk nyata dari Jihad Difa’i (jihad defensif) yang bertujuan untuk mempertahankan negeri Muslim dari invasi.

Dikatakan:Ilmu lebih mulia dari setiap amalan, meskipun itu jihad, karena jihad tidak akan sempurna tanpa ilmu.”

Ini menjelaskan mengapa peran ulama sangat krusial dalam perjuangan. Mereka adalah pemilik ilmu yang mengarahkan perjuangan agar sesuai dengan syari’at, mengobarkan semangat para pejuang, dan meyakinkan mereka bahwa pertolongan Alloh itu nyata.

Faktor Ghoib di Balik Kemenangan

Tidaklah mungkin untuk memahami sepenuhnya kemenangan para pejuang kemerdekaan jika hanya dengan mengandalkan faktor-faktor yang terlihat. Kekuatan bersenjata modern milik penjajah, yang terdiri dari tank, pesawat tempur, dan senjata api, seharusnya tidak mungkin bisa dikalahkan oleh para pejuang yang hanya bermodalkan bambu runcing dan semangat. Namun, sejarah mencatat bahwa bambu runcing berhasil mengalahkan kekuatan militer yang jauh lebih unggul. Fenomena ini adalah bukti nyata bahwa ada faktor ghoib yang bekerja, yaitu pertolongan dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

Alloh Ta’ala berfirman:

﴿هُوَ الَّذِي اَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِيْنَ

“Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan (dukungan) orang-orang Mu’min.” (QS. Al-Anfal: 62)

Ayat ini menegaskan bahwa pertolongan Alloh kepada orang-orang beriman adalah salah satu faktor utama yang mendatangkan kemenangan. Alloh memberikan pertolongan-Nya dalam bentuk yang tidak terduga, yang tidak bisa dipahami oleh logika manusia. Seperti dalam Perang Badar, Alloh mengirimkan ribuan Malaikat untuk membantu kaum Muslimin melawan musuh. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

﴿اِذْ تَسْتَغِيْثُوْنَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ اَنِّيْ مُمِدُّكُمْ بِاَلْفٍ مِّنَ الْمَلٰئِكَةِ مُرْدِفِيْنَ

“Ingatlah ketika kamu memohon pertolongan kepada Robbmu, lalu Dia mengabulkan permohonanmu (seraya berfirman), ‘Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kalian dengan seribu Malaikat yang datang berturut-turut.’” (QS. Al-Anfal: 9)

Ayat ini membuktikan bahwa pertolongan Alloh bisa datang dalam bentuk pasukan Malaikat yang tidak terlihat. Hal serupa juga terjadi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Banyak kesaksian dari para pejuang yang menceritakan adanya kejadian-kejadian ghoib, seperti peluru yang tidak mempan atau pasukan musuh yang tiba-tiba kebingungan dan melarikan diri. Kejadian-kejadian tersebut bukanlah kebetulan, melainkan manifestasi dari pertolongan Alloh kepada para pejuang yang tulus berjuang di jalan-Nya.

Sebab dari pertolongan ghoib ini adalah keimanan dan ketaqwaan para pejuang. Mereka berjuang dengan keyakinan penuh bahwa Alloh akan menolong hamba-hamba-Nya yang beriman. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

﴿يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَنْصُرُوا اللّٰهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ اَقْدَامَكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Alloh, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (QS. Muhammad: 7)

Para pejuang Muslim pada masa itu menganggap perjuangan mereka sebagai bentuk menolong agama Alloh. Mereka berjuang untuk membebaskan negeri ini dari belenggu penjajahan yang merusak akidah dan menghalangi dakwah. Oleh karena itu, Alloh memberikan janji-Nya, yaitu menolong mereka dan meneguhkan langkah-langkah mereka.

Para pejuang Indonesia memiliki keyakinan yang sama. Mereka tidak takut pada kekuatan penjajah karena mereka yakin Alloh adalah penolong mereka. Keyakinan inilah yang menjadi faktor penentu kemenangan yang tidak dapat diukur dengan hitungan materi.

Kemenangan dalam Perang 10 November 1945 di Surabaya adalah salah satu bukti paling sahih. Para pejuang yang hanya bersenjatakan bambu runcing berhasil mengusir pasukan sekutu yang datang dengan persenjataan lengkap. Pertempuran ini didasari oleh fatwa jihad yang dikeluarkan oleh Syaikh Hasyim Asy’ari. Ini membuktikan bahwa motivasi mereka bukanlah sekadar nasionalisme, melainkan didasari keyakinan agama yang kuat.

Alloh Ta’ala berfirman:

﴿وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ وَّمِنْ رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِه عَدُوَّ اللّٰهِ وَعَدُوَّكُمْ وَاٰخَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْ لَا تَعْلَمُوْنَهُمْ ۗ اَللّٰهُ يَعْلَمُهُمْ ۗ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang dipersiapkan untuk berperang, (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Alloh dan musuh kalian dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; (tetapi) Alloh mengetahuinya.” (QS. Al-Anfal: 60)

Ayat ini memerintahkan kaum Muslimin untuk mempersiapkan kekuatan semaksimal mungkin, namun hasil akhirnya tetap Alloh yang menentukan. Keberhasilan para pejuang dalam menggentarkan penjajah adalah bukti bahwa Alloh telah menanamkan rasa takut di hati musuh, meskipun secara lahiriah kekuatan pejuang kita jauh di bawah mereka.

Allah berfirman:

﴿سَنُلْقِيْ فِيْ قُلُوْبِ الَّذِيْنَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَآ اَشْرَكُوْا بِاللّٰهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطٰنًاۚ وَمَأْوَاهُمُ النَّارُۗ وَبِئْسَ مَثْوَى الظّٰلِمِيْنَ

Akan Kami masukkan rasa takut ke dalam hati orang-orang kafir itu, disebabkan mereka menyekutukan Alloh dengan sesuatu yang Alloh tidak menurunkan keterangan tentangnya. Dan tempat kembali mereka ialah Neraka. Dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal bagi orang-orang zholim. (QS. Ali Imron: 151)

Ayat ini adalah janji Alloh kepada kaum beriman bahwa Dia akan memberikan pertolongan dengan cara yang tidak terlihat, yaitu dengan memasukkan rasa takut (ar-ru'b) ke dalam hati musuh.

Hal ini merupakan salah satu faktor paling penting dalam pertempuran. Ketika hati musuh telah dipenuhi rasa takut, kekuatan mereka akan melemah, meskipun secara lahiriah mereka memiliki persenjataan yang lebih unggul.

Ayat ini menegaskan bahwa rasa takut yang ditimpakan itu adalah balasan atas kesyirikan yang mereka lakukan. Ini adalah bukti nyata bahwa kemenangan pejuang kemerdekaan bukan hanya karena kekuatan fisik, melainkan karena pertolongan Alloh yang melemahkan musuh dari dalam.

***

 

Bab 3: Mensyukuri Kemerdekaan dengan Berpegang Teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah

Syukur Kemerdekaan Bukan dengan Perayaan yang Melanggar Syari’at

Kemerdekaan adalah ni’mat Alloh yang agung, dan setiap ni’mat memerlukan rasa syukur. Syukur yang benar tidak hanya diucapkan, tetapi juga diwujudkan dalam perbuatan. Sayangnya, banyak di antara kaum Muslimin yang mensyukuri kemerdekaan dengan cara-cara yang bertentangan dengan syari’at Islam, seperti menggelar pesta, konser musik yang melalaikan, atau kegiatan-kegiatan yang mengundang kemaksiatan. Perayaan seperti ini, meskipun bertujuan baik, adalah bentuk pengingkaran terhadap ni’mat Alloh.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

﴿فَاذْكُرُوْنِي اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ

“Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar.” (QS. Al-Baqoroh: 152)

Syukur yang sebenarnya adalah dengan taat kepada Alloh dan menjauhi larangan-Nya. Mengingat ni’mat kemerdekaan harusnya membuat kita semakin mendekat kepada Alloh, bukan sebaliknya. Perayaan yang benar adalah dengan meningkatkan ibadah, memperbanyak istighfar, dan bersedekah, sebagai bentuk rasa terima kasih kepada Alloh yang telah memberikan kemerdekaan.

Dari Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha, dia berkata:

«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا جَاءَهُ أَمْرُ سُرُورٍ أَوْ بُشِّرَ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شَاكِرًا لِلَّهِ»

Rosululloh , jika ada sesuatu yang menggembirakannya, beliau segera sujud syukur kepada Alloh.” (HSR. Abu Dawud no. 2774)

Hadits ini mengajarkan kepada kita cara yang benar dalam mensyukuri ni’mat. Rosululloh mencontohkan syukur dengan sujud, sebuah bentuk ibadah tertinggi kepada Alloh. Bukan dengan pesta, bukan dengan hura-hura, melainkan dengan merendahkan diri dan bersujud kepada-Nya.

Para ulama juga mengajarkan bahwa ni’mat Alloh yang paling agung adalah ketika ni’mat itu digunakan untuk ketaatan kepada-Nya.

Ahli ilmu berkata: “Syukur adalah pengakuan seorang hamba atas ni’mat Alloh, memuji-Nya atas ni’mat tersebut, dan meminta pertolongan dengan ni’mat itu untuk ketaatan kepada-Nya.”

Ini adalah definisi syukur yang sesungguhnya. Mensyukuri kemerdekaan haruslah dengan menggunakan kemerdekaan itu untuk ketaatan kepada Alloh. Artinya, dengan kemerdekaan, kita memiliki keleluasaan untuk melaksanakan syari’at Islam tanpa halangan, dan itulah puncak dari rasa syukur.

Sebaliknya, jika kita menggunakan ni’mat kemerdekaan untuk melakukan maksiat, maka itu adalah bentuk kekufuran (pengingkaran) terhadap ni’mat. Al-Qur’an menceritakan kisah kaum Saba’ yang Alloh berikan ni’mat yang sangat besar, namun mereka menggunakannya untuk berbuat maksiat, sehingga Alloh mencabut ni’mat tersebut dan menimpakan adzab kepada mereka.

Alloh Ta’ala berfirman:

﴿لَقَدْ كَانَ لِسَبَاٍ فِيْ مَسْكَنِهِمْ اٰيَةٌ ۚ جَنَّتٰنِ عَنْ يَّمِيْنٍ وَّشِمَالٍ ەۗ كُلُوْا مِنْ رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوْا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَّرَبٌّ غَفُوْرٌ

“Sungguh, bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Alloh) di tempat tinggal mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan), ‘Makanlah dari rezeki Robbmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Robbmu) adalah Robb yang Maha Pengampun.’” (QS. Saba’: 15)

Namun, mereka ingkar dan tidak bersyukur, sehingga Alloh mencabut ni’mat tersebut dan mengutus banjir besar yang menghancurkan kebun-kebun mereka. Kisah ini menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwa ni’mat yang tidak disyukuri akan berujung pada bencana. Mensyukuri kemerdekaan bukan hanya masalah perayaan, tetapi juga cara kita mengisi kemerdekaan itu dengan ketaatan.

Menjadikan NKRI sebagai Negara yang Diridhoi Alloh

Setelah kemerdekaan diraih, tanggung jawab terbesar adalah menjadikan negara ini sebagai negara yang diridhoi Alloh. Sebuah negara yang diridhoi Alloh adalah negara yang makmur dan aman, di mana penduduknya hidup dengan ketaatan kepada Alloh.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

﴿وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

“Dan sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’rof: 96)

Ayat ini adalah janji Alloh yang sangat jelas. Berkah dari langit dan bumi akan dilimpahkan kepada suatu negeri jika penduduknya beriman dan bertaqwa. Oleh karena itu, tugas kita sebagai kaum Muslimin adalah mengisi kemerdekaan ini dengan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan.

Menegakkan keadilan adalah salah satu pilar utama dalam membangun negara yang diridhoi Alloh.

Dari Abu Huroiroh, dia berkata: Rosululloh bersabda:

«سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ...»

Ada tujuh golongan yang Alloh naungi dalam naungan-Nya pada hari di mana tidak ada naungan selain naungan-Nya: pemimpin yang adil…’” (HR. Al-Bukhori no. 660 dan Muslim no. 1031)

Hadits ini menunjukkan betapa besar kedudukan pemimpin yang adil di sisi Alloh. Keadilan adalah kunci kemakmuran dan keamanan suatu negara. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang berdasarkan syari’at Islam, di mana hak-hak setiap individu, baik Muslim maupun non-Muslim, terlindungi.

Selain itu, tugas kita juga adalah menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

﴿كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ

“Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kalian) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Alloh.” (QS. Ali ‘Imron: 110)

Ini adalah tanggung jawab umat Islam di Indonesia untuk menjaga moral dan etika bangsa, serta mencegah kemungkaran yang dapat mendatangkan adzab Alloh. Kemerdekaan harus digunakan sebagai jalan untuk mengimplementasikan `amar ma’ruf nahi munkar` secara luas.

Ahli ilmu berkata: “Tidak boleh menegakkan hudud (hukuman syar’i), melaksanakan jihad, mengumpulkan (umat) untuk Sholat Jum’at dan hari raya kecuali dengan adanya pemimpin Muslim yang adil.”

Ini menunjukkan betapa pentingnya keberadaan pemimpin yang adil dalam sebuah negara. Kemerdekaan adalah langkah awal untuk mewujudkan kepemimpinan yang adil, yang memungkinkan umat Islam untuk menjalankan ibadah dan syari’at secara sempurna.

Dengan demikian, kita harus mengisi kemerdekaan ini dengan usaha terus-menerus untuk mewujudkan negara yang beriman dan bertaqwa, di mana keadilan ditegakkan, `amar ma’ruf nahi munkar` berjalan, dan semua elemen masyarakat hidup dalam harmoni di bawah naungan syari’at Alloh. Hanya dengan cara inilah kemerdekaan yang telah Alloh karuniakan akan membawa keberkahan dan keselamatan di dunia dan akhirat.

Wasiat Para Salaf dalam Menjaga Kemerdekaan

Kemerdekaan yang telah Alloh karuniakan bukanlah sebuah akhir, melainkan sebuah permulaan bagi kaum Muslimin untuk beramal dan berdakwah. Menjaga kemerdekaan sebuah negara membutuhkan lebih dari sekadar kekuatan militer; ia membutuhkan kekuatan spiritual dan persatuan umat. Para Salaf Ash-Sholih, yaitu generasi terbaik umat ini, telah mewariskan wasiat-wasiat berharga yang sangat relevan untuk menjaga dan mengisi kemerdekaan.

Wasiat utama para Salaf adalah berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka menekankan bahwa kehormatan dan kemuliaan umat Islam hanya bisa diraih dengan kembali kepada dua sumber utama ajaran Islam tersebut.

Dari Anas bin Malik Rodhiyallahu ‘Anhu, Rosululloh bersabda:

«وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ، كِتَابُ اللهِ»

“Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat setelahnya jika kalian berpegang teguh kepadanya: Kitab Alloh.’” (HR. Muslim no. 1218)

Hadits ini menjadi pedoman abadi bagi umat Islam. Kemerdekaan tidak akan langgeng jika tidak dilandasi oleh petunjuk Al-Qur’an sekaligus As-Sunnah, karena ia penjelas Al-Qur’an. Perpecahan, fitnah, dan berbagai macam kemungkaran yang terjadi di dalam suatu negeri adalah akibat dari jauhnya umat dari petunjuk ini.

Ahli ilmu berkata: “Tidaklah yang menegakkan suatu kekuasaan melainkan keadilan, dan tidaklah yang meruntuhkannya melainkan kezholiman.”

Keadilan adalah pilar utama dalam sebuah negara. Keadilan harus ditegakkan di seluruh lini kehidupan, baik oleh para pemimpin, pejabat, maupun rakyat biasa. Kezholiman, sekecil apapun, akan merusak dan meruntuhkan pondasi negara. Kemerdekaan yang kita ni’mati harus digunakan untuk mewujudkan keadilan sosial, politik, dan ekonomi, yang semuanya berlandaskan syari’at Islam.

Para ulama Salaf juga mewasiatkan pentingnya persatuan dan menjauhi perpecahan. Sejak zaman Rosululloh , persatuan adalah kunci kemenangan umat Islam. Perpecahan adalah sebab utama kehancuran.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

﴿وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا

“Dan berpegang teguhlah kalian pada tali (agama) Alloh secara keseluruhan, dan janganlah kalian berpecah belah.” (QS. Ali ‘Imron: 103)

Ayat ini adalah perintah Alloh untuk selalu bersatu di atas tali Alloh, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Perpecahan karena perbedaan madzhab, golongan, atau partai politik hanya akan melemahkan umat. Kemerdekaan yang telah kita dapatkan adalah kesempatan emas untuk menyatukan barisan dan bekerja sama dalam kebaikan.

Imam Malik bin Anas (w. 179 H) juga memberikan wasiat yang sangat penting:

«لَنْ يَصْلُحَ آخِرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلَّا بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا»

“Tidak akan menjadi baik umat ini di akhir zaman, kecuali dengan apa yang telah membuat baik generasi awalnya.” (As-Syifa’, Al-Qodhi ‘Iyadh, 2/67)

Wasiat ini mengingatkan kita bahwa metode untuk menjaga kebaikan dan kemuliaan sebuah umat adalah dengan mengikuti jejak para Salaf, yaitu generasi pertama umat ini. Perjuangan kemerdekaan para ulama dan pejuang terdahulu adalah cerminan dari semangat Salaf, yaitu berjuang di jalan Alloh. Oleh karena itu, kita harus melanjutkan perjuangan mereka dengan cara yang sama: kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta menjauhi segala bentuk bid’ah (hal baru dalam agama) dan perpecahan.

***

 

Penutup

Kesimpulan

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Alloh atas segala ni’mat-Nya, termasuk ni’mat kemerdekaan yang telah Ia karuniakan kepada bangsa Indonesia. Dari seluruh pembahasan di buku ini, dapat kita simpulkan beberapa poin penting:

Pertama, hakikat kemerdekaan sejati adalah pembebasan diri dari perbudakan kepada makhluk dan hanya menjadi hamba yang tulus kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Kemerdekaan fisik sebuah negara hanyalah salah satu bentuk kemerdekaan, namun yang paling hakiki adalah kemerdekaan jiwa dari segala bentuk syahwat, hawa nafsu, dan perbudakan kepada sesama manusia.

Kedua, kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah karunia murni dari Alloh, bukan semata-mata hasil perjuangan manusia. Walaupun peran para pahlawan sangat besar, namun kemenangan mereka tidak akan pernah terwujud tanpa pertolongan ghoib dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Banyak bukti-bukti sejarah yang menunjukkan adanya faktor-faktor di luar nalar manusia, yang hanya bisa dijelaskan sebagai campur tangan Alloh.

Ketiga, mensyukuri kemerdekaan haruslah dengan cara yang benar, yaitu dengan ketaatan kepada Alloh dan menjauhi larangan-Nya. Perayaan yang melanggar syari’at adalah bentuk pengingkaran terhadap ni’mat. Syukur yang hakiki adalah dengan menggunakan kemerdekaan untuk beribadah dan menjalankan syari’at Alloh secara sempurna, serta mewujudkan keadilan dan kebajikan di seluruh negeri.

Keempat, tugas kita sebagai kaum Muslimin adalah menjaga kemerdekaan ini dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kita harus menghindari perpecahan dan fitnah, serta terus berupaya menjadikan NKRI sebagai negara yang diridhoi Alloh. Sebuah negara yang makmur dan damai karena penduduknya beriman dan bertaqwa.

Do’a dan Harapan

Di akhir penulisan buku ini, marilah kita senantiasa memohon kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala agar senantiasa melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Ya Alloh, Ya Robb kami, Robbul ‘Izzati, kami memohon kepada-Mu dengan nama-nama-Mu yang Husna dan sifat-sifat-Mu yang Mulia, jadikanlah negeri kami, Indonesia, sebagai negeri yang `baldatun thoyyibatun wa robbun ghafur`, negeri yang baik, makmur, dan di bawah ampunan-Mu.

Ya Alloh, bimbinglah para pemimpin kami untuk senantiasa menegakkan keadilan dan kebenaran. Jauhkanlah mereka dari kezholiman dan hawa nafsu. Tanamkanlah di hati mereka kecintaan kepada-Mu dan Rosul-Mu.

Ya Alloh, jadikanlah rakyat Indonesia sebagai rakyat yang bersyukur atas ni’mat-Mu, yang senantiasa taat kepada-Mu, dan menjauhi segala larangan-Mu. Persatukanlah hati-hati kaum Muslimin di negeri ini, jauhkanlah mereka dari perpecahan dan fitnah.

Ya Alloh, berikanlah kepada kami petunjuk-Mu agar kami bisa menjaga amanah kemerdekaan ini dengan sebaik-baiknya. Jadikanlah setiap langkah kami, setiap keringat kami, dan setiap pengorbanan kami sebagai amalan sholih yang Engkau ridhoi.

Ya Alloh, perkenankanlah do’a kami, karena hanya kepada-Mu kami memohon dan hanya Engkaulah yang Maha Mengabulkan do’a.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم.

Subhanakallahumma wa bihamdika, asyhadu an laa ilaha illa anta, astaghfiruka wa atubu ilaika.

Wa akhiru da’wanā anilhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

***


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url