[PDF] Hujjah Kemerdekaan NKRI Murni Karunia Allah - Nor Kandir
Unduh PDF
Muqoddimah
Karunia Terbesar dari Alloh
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Alloh, Robb semesta
alam. Hanya kepada-Nya kita memuji, hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan
dan ampunan. Sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rosululloh
Muhammad ﷺ, para Shohabatnya yang mulia, dan seluruh kaum Muslimin yang
mengikuti jejak mereka hingga hari Akhir.
Tidak ada satu pun ni’mat yang kita rasakan, baik yang besar
maupun yang kecil, yang nampak maupun yang tersembunyi, melainkan semuanya
berasal dari Alloh semata. Kekuatan untuk bergerak, kesehatan tubuh, rezeki,
keluarga, dan bahkan kemerdekaan sebuah bangsa, semua adalah anugerah murni
dari-Nya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
﴿وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ثُمَّ اِذَا
مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيْهِ تَجْـئَرُوْنَ﴾
“Dan segala ni’mat yang ada pada kalian, maka (datangnya)
dari Alloh, kemudian apabila kalian ditimpa kesengsaraan, maka hanya kepada-Nya
kalian meminta pertolongan.” (QS. An-Nahl: 53)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap ni’mat, termasuk
kemerdekaan yang dirasakan oleh bangsa ini, adalah pemberian Alloh. Kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukanlah semata-mata hasil perjuangan
manusia, bukan pula karena kekuatan senjata, strategi yang cerdas, atau
negosiasi diplomatik. Semua faktor tersebut hanyalah sebab-sebab lahiriah yang
Alloh mudahkan, sedangkan sebab hakiki dan yang paling mendasar adalah karunia
dan pertolongan dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Sangat keliru jika ada yang menganggap kemerdekaan sebagai
hasil dari kekuatan diri sendiri, lalu melupakan peran Alloh yang Maha Memberi Ni’mat.
Sikap semacam ini adalah bentuk kesombongan yang dapat mengikis rasa syukur.
Padahal, Alloh telah memperingatkan kita agar senantiasa bersyukur atas ni’mat-Nya:
﴿وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ﴾
“Dan (ingatlah) ketika Robbmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya
jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (ni’mat) kepadamu, tetapi jika
kalian mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.’” (QS.
Ibrohim: 7)
Mensyukuri ni’mat kemerdekaan haruslah dengan cara yang
benar, yaitu dengan kembali kepada petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta
menjadikan tauhid sebagai landasan utama dalam berkehidupan. Kemerdekaan adalah
amanah agung dari Alloh, sebuah kesempatan untuk menegakkan kalimat tauhid di
bumi pertiwi.
Buku ini ditulis dengan tujuan untuk mengingatkan kembali
kepada seluruh umat Islam di Indonesia bahwa kemerdekaan yang kita ni’mati
adalah karunia murni dari Alloh. Bahwa peran para ulama dan pejuang terdahulu
adalah cerminan dari keyakinan mereka akan pertolongan Alloh. Melalui hujjah
(argumen) yang bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ucapan para ulama, kita
akan membuktikan bahwa tanpa karunia Alloh, tidak akan ada kemerdekaan.
Tujuan Penulisan Buku
Tujuan utama penulisan buku ini adalah untuk meluruskan
pandangan tentang hakikat kemerdekaan. Agar kita tidak terjerumus ke dalam
kesombongan yang melupakan Alloh yang Maha Pemberi Ni’mat.
Adapun tujuan-tujuan khusus dari buku ini adalah:
1. Menjelaskan bahwa kemerdekaan sejati adalah pembebasan dari
perbudakan kepada selain Alloh dan hanya tunduk kepada-Nya.
2. Membuktikan bahwa kemerdekaan NKRI adalah karunia Alloh yang
diberikan sebagai balasan atas ketulusan iman dan perjuangan para pejuang yang
beriman.
3. Menjelaskan bagaimana seharusnya mensyukuri ni’mat kemerdekaan
sesuai syari’at Islam, bukan dengan cara yang melanggar hukum Alloh.
4. Mengajak seluruh kaum Muslimin untuk menjadikan Al-Qur’an dan
As-Sunnah sebagai pedoman hidup dalam rangka menjaga dan mengisi kemerdekaan
yang telah Alloh karuniakan.
***
Bab 1: Hakikat Kemerdekaan dalam
Pandangan Islam
Kemerdekaan Sejati adalah Tauhid
Kemerdekaan sering kali dimaknai sebatas terbebasnya suatu
bangsa dari penjajahan fisik dan politik. Namun, dalam Islam, kemerdekaan
sejati memiliki makna yang jauh lebih mendalam dan fundamental. Kemerdekaan
hakiki adalah ketika seorang manusia terbebas dari perbudakan kepada makhluk,
baik berupa manusia, materi, hawa nafsu, maupun syahwat, dan hanya menjadi
hamba yang tulus kepada Alloh semata.
Inilah misi utama seluruh Nabi dan Rosul yang diutus oleh
Alloh, dari Nabi Nuh ‘Alaihissalam hingga penutup para nabi, Nabi
Muhammad ﷺ. Misi mereka adalah membebaskan manusia dari perbudakan kepada
tuhan-tuhan palsu menuju peribadahan yang murni hanya kepada Alloh. Alloh Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
﴿وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ
اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ﴾
“Dan sungguh, Kami telah mengutus Rosul pada setiap umat
(untuk menyerukan), ‘Sembahlah Alloh dan jauhilah thoghut (sesembahan selain Alloh).’” (QS.
An-Nahl: 36)
Ayat ini menegaskan bahwa kemerdekaan sejati adalah
terbebasnya seseorang dari perbudakan kepada apapun selain Alloh. Seseorang
yang hanya beribadah kepada Alloh adalah orang yang paling merdeka, karena
hatinya tidak tergantung kepada manusia, ia tidak takut kepada kekuasaan
mereka, tidak mengharapkan pujian dari mereka, dan tidak pula terhina oleh hasrat
dunia.
Hal ini sesuai dengan sabda Rosululloh ﷺ:
Dari Abu Huroiroh, dia berkata: Rosululloh ﷺ
bersabda:
«تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ، وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ، وَعَبْدُ الخَمِيصَةِ،
إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ، تَعِسَ وَانْتَكَسَ، وَإِذَا شِيكَ
فَلاَ انْتَقَش»
“Celakalah hamba dinar,
celakalah hamba dirham,
celakalah hamba khomishoh
(pakaian yang terbuat dari wol). Jika diberi, ia senang, dan jika tidak diberi, ia marah. Celakalah
dia dan jatuh tersungkur, dan jika dia tertusuk duri, tidak ada yang dapat
mengobatinya.’” (HR. Al-Bukhori no. 2886)
Hadits ini memberikan gambaran yang jelas bahwa perbudakan
tidak hanya berupa penjajahan fisik. Menjadi “hamba dinar” atau “hamba dirham”
berarti menjadi budak harta. Hatinya selalu terikat dengan materi, dan
kehidupannya dipenuhi dengan kegelisahan karena mengejar-ngejar kekayaan. Ini
adalah bentuk perbudakan yang paling berbahaya, karena seringkali tidak
disadari oleh pelakunya. Kemerdekaan sejati hanya bisa dicapai ketika hati kita
hanya bergantung kepada Alloh.
Imam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) berkata:
الْعَبْدُ
حُرٌّ مَا قَنَعَ، وَالْحُرُّ عَبْدٌ مَا طَمِعَ
“Seorang hamba (yang tulus beribadah) akan menjadi orang merdeka
jika dia merasa qona’ah (cukup), dan seorang yang merdeka akan menjadi hamba
jika dia rakus.” (Majmu’ Al-Fatawa, 10/181)
Ucapan ini menegaskan bahwa kemerdekaan bukanlah masalah
status sosial, melainkan kondisi hati. Seorang yang berstatus hamba sekalipun,
jika hatinya qona’ah dan hanya bergantung kepada Alloh, maka ia adalah manusia
yang paling merdeka. Sebaliknya, seorang penguasa atau orang kaya yang rakus,
maka ia adalah hamba dari syahwatnya. Inilah esensi kemerdekaan dalam Islam,
yaitu kemerdekaan dari perbudakan kepada hawa nafsu dan dunia.
Kemerdekaan Hakiki Bukan dari Manusia
Seringkali kita mendengar narasi yang hanya menonjolkan
peran manusia dalam meraih kemerdekaan, sehingga terkesan bahwa kemerdekaan
adalah murni hasil perjuangan pahlawan. Tidak diragukan lagi, para pahlawan
telah berkorban dengan harta dan nyawa mereka, namun Islam mengajarkan kepada
kita untuk melihat lebih jauh dari itu. Di balik segala ikhtiar manusia, ada
takdir dan kehendak Alloh yang Maha Perkasa.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
﴿وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللّٰهُ بِبَدْرٍ وَّاَنْتُمْ اَذِلَّةٌ
ۚ فَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ﴾
“Sungguh, Alloh telah menolong kamu dalam Perang
Badar, padahal kamu (ketika itu) adalah golongan yang lemah. Karena itu bertaqwalah
kepada Alloh, agar kamu mensyukuri-Nya.” (QS. Ali ‘Imron: 123)
Ayat ini adalah bukti nyata bahwa pertolongan datangnya dari
Alloh. Alloh menyebutkan bahwa kaum Muslimin dalam Perang Badar adalah golongan
yang lemah (adzillah), baik dari segi jumlah, persenjataan, maupun
kekuatan. Akan tetapi, dengan karunia-Nya, mereka memenangkan perang.
Kemenangan itu bukan karena kekuatan mereka, melainkan karena pertolongan dari
Alloh.
Kisah Perang Ahzab (Khondaq) juga merupakan pelajaran yang sangat berharga. Kaum
Muslimin dikepung oleh pasukan sekutu yang sangat besar. Keadaan mereka sangat
sulit dan hati mereka bergoncang. Namun, apa yang terjadi? Alloh mengutus angin
yang sangat dingin yang memporak-porandakan kemah dan persatuan musuh, sehingga
mereka lari dan meninggalkan pengepungan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
﴿يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اذْكُرُوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ
عَلَيْكُمْ اِذْ جَاءَتْكُمْ جُنُوْدٌ فَاَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيْحًا وَّجُنُوْدًا
لَّمْ تَرَوْهَا ۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
بَصِيْرًا﴾
“Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah ni’mat Alloh (yang
diberikan) kepadamu, ketika bala tentara datang kepadamu, lalu Kami kirimkan
kepada mereka angin topan dan bala tentara yang tidak dapat kamu lihat. Dan
Alloh Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ahzab: 9)
Ayat ini menunjukkan bahwa faktor kemenangan bukanlah
semata-mata kekuatan fisik, melainkan pertolongan dari Alloh yang datang dalam
bentuk yang tidak terduga, seperti angin dan Malaikat. Sama halnya dengan
kemerdekaan NKRI, di mana kekuatan penjajah yang jauh lebih besar dan modern
bisa dikalahkan oleh para pejuang yang hanya bersenjatakan bambu runcing. Ini
adalah bukti adanya pertolongan Alloh.
Alloh juga berfirman:
﴿قُلِ اللّٰهُمَّ مٰلِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِى الْمُلْكَ مَنْ
تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُۖ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۗ بِيَدِكَ
الْخَيْرُۗ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ﴾
“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai Alloh, Engkau pemilik
kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa saja yang Engkau kehendaki,
dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa saja yang Engkau kehendaki. Engkau
muliakan siapa saja yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa saja yang
Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau
Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (QS. Ali ‘Imron: 26)
Ayat ini adalah dalil yang sangat jelas bahwa segala
kekuasaan dan kemerdekaan suatu bangsa berada di tangan Alloh. Dialah yang
memberikan dan mencabut kekuasaan. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, sedangkan
hasil akhir tetap ditentukan oleh Alloh.
Hal ini juga ditegaskan oleh Rosululloh ﷺ:
Dari Al-Mughiroh,
dia berkata: Rosululloh ﷺ bersabda:
«اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ
مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الجَدِّ مِنْكَ الجَدُّ»
“Ya Alloh, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau
berikan, dan tidak ada yang dapat memberikan apa yang Engkau halangi. Tidak ada
gunanya kekayaan orang yang kaya dari (siksa) Engkau.’” (HR. Al-Bukhori no. 6615)
Kemerdekaan adalah pemberian Alloh, tidak ada satu kekuatan
pun yang bisa mencegahnya. Dan ketika Alloh menakdirkan suatu bangsa untuk
merdeka, maka tidak ada penjajah mana pun yang bisa menghalanginya. Keyakinan
inilah yang seharusnya tertanam di setiap hati kaum Muslimin.
Ni’mat Kemerdekaan sebagai Amanah
Setelah Alloh mengaruniakan kemerdekaan, maka kemerdekaan
itu menjadi sebuah amanah yang sangat besar. Amanah untuk menjaga agama,
negara, dan seluruh isinya. Amanah ini bukanlah sesuatu yang sepele, karena di
dalamnya terkandung pertanggungjawaban di hadapan Alloh.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
﴿يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ
وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati
Alloh dan Rosul, dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanahmu, sedang kamu
mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27)
Menjaga amanah kemerdekaan berarti menjaga negara ini dari
segala bentuk kemaksiatan dan perbuatan yang melanggar syari’at, serta
menjadikan negara ini sebagai tempat yang nyaman untuk beribadah dan menebarkan
kebaikan.
Begitu pula dengan kemerdekaan, ia adalah karunia dari Alloh
yang memungkinkan kita untuk menjalankan ibadah dengan lebih leluasa. Oleh
karena itu, amanah ini harus kita jaga dengan cara yang benar, yaitu dengan
meningkatkan ketaqwaan dan menjauhi segala larangan Alloh.
***
Bab 2: Kemerdekaan NKRI sebagai
Karunia Alloh
Sejarah Kemerdekaan NKRI dalam Tinjauan Syar’i
Melihat kembali sejarah kemerdekaan Indonesia, kita akan
menemukan banyak sekali bukti bahwa kemerdekaan bukanlah hasil dari kekuatan
fisik semata. Banyak cerita heroik para pejuang yang hanya bermodalkan bambu
runcing, namun mampu mengalahkan penjajah yang bersenjata lengkap. Fenomena ini
tidak bisa dijelaskan dengan akal dan logika manusia. Ini adalah bentuk
pertolongan Alloh, sebagaimana
firman-Nya:
﴿فَلَمْ تَقْتُلُوْهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ قَتَلَهُمْۖ وَمَا رَمَيْتَ اِذْ رَمَيْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ رَمٰى﴾
“Maka (sebenarnya) bukan kalian yang membunuh mereka, melainkan Alloh-lah
yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi
Alloh-lah yang melempar.” (QS. Al-Anfal: 17)
Ayat ini adalah dalil yang sangat kuat bahwa
pertolongan dan kemenangan dalam setiap perjuangan datangnya dari Alloh semata,
bukan dari kekuatan atau kemampuan manusia.
Para ulama dan kiai pada masa itu selalu menyerukan kepada
kaum Muslimin untuk berjuang dengan keyakinan penuh akan pertolongan Alloh.
Mereka tidak mengandalkan kekuatan militer yang tidak seimbang, melainkan
mengandalkan kekuatan do’a dan ketaatan kepada Alloh. Mereka menyadari bahwa
Alloh lah yang menggerakkan hati-hati para pejuang, yang menyatukan mereka
dalam satu tujuan, dan yang melemahkan kekuatan musuh.
Alloh Ta’ala berfirman:
﴿وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُوْرِ
مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ اَنَّ الْاَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصّٰلِحُوْنَ﴾
“Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah
(tertulis) di dalam Adz-Dzikr (Lauh Mahfuzh), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh
hamba-hamba-Ku yang sholih.” (QS. Al-Anbiya’: 105)
Ayat ini adalah janji Alloh bahwa bumi ini akan diwarisi
oleh hamba-hamba-Nya yang sholih. Kemerdekaan yang telah kita dapatkan adalah
salah satu bentuk dari janji ini. Alloh melihat kesholihan yang ada pada para
pejuang, ulama, dan santri, sehingga Dia mengaruniakan kemerdekaan ini kepada
mereka dan seluruh bangsa Indonesia.
Satu hal yang tidak bisa kita lupakan adalah peran Sumpah
Pemuda pada tahun 1928, di mana para pemuda Indonesia bersatu. Ini adalah
momentum bersejarah yang mengikis perbedaan-perbedaan suku dan bahasa, dan
menyatukan mereka dalam satu identitas, yaitu “Indonesia”. Namun, di balik itu,
kita harus sadar bahwa yang menggerakkan hati mereka untuk bersatu adalah Alloh
Subhanahu wa Ta’ala.
Alloh Ta’ala berfirman:
﴿وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ
اَعْدَاءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ
اِخْوَانًا﴾
“Dan ingatlah ni’mat Alloh kepadamu ketika kamu dahulu (masa
Jahiliyah) bermusuhan, lalu Alloh mempersatukan hati-hati kalian, maka dengan
karunia-Nya kamu menjadi bersaudara.” (QS. Ali ‘Imron: 103)
Ayat ini adalah dalil yang jelas bahwa persatuan dan
kesatuan adalah ni’mat dari Alloh. Alloh yang mempersatukan hati-hati kaum
Anshor dan Muhajirin di Madinah, begitu juga Alloh yang mempersatukan hati-hati
para pejuang kemerdekaan dari berbagai suku dan agama di Indonesia. Tanpa
karunia persatuan ini, kemerdekaan tidak akan pernah terwujud.
Sejarah mencatat betapa dahsyatnya perlawanan para ulama dan
santri di berbagai daerah, seperti Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, yang
dikomandani oleh Syaikh Hasyim Asy’ari. Resolusi ini mewajibkan setiap Muslim
untuk membela tanah air dari penjajah. Perlawanan ini bukan hanya didasari
semangat nasionalisme, melainkan didasari keimanan yang kuat.
Jihad di jalan Alloh adalah salah satu amalan yang paling
utama, dan ia adalah fardhu kifayah, dan bisa menjadi fardhu ‘ain jika musuh
menyerang negeri kaum Muslimin.
Berdasarkan fatwa seperti inilah para ulama dan santri pada
masa itu bersemangat untuk berjuang, karena mereka menganggap perlawanan
terhadap penjajah sebagai jihad fi sabilillah. Mereka yakin bahwa mereka akan
mendapatkan salah satu dari dua kebaikan, yaitu kemenangan atau syahid.
Keyakinan inilah yang membuat mereka tidak gentar menghadapi penjajah.
Kemerdekaan NKRI, jika dilihat dari kacamata syar’i, adalah
karunia dari Alloh yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang sholih, yang
berjuang di jalan-Nya. Kemenangan mereka adalah bukti bahwa pertolongan Alloh
itu nyata.
Peran Para Ulama dan Santri dalam Merebut
Kemerdekaan
Perjuangan kemerdekaan di Indonesia tidak bisa dilepaskan
dari peran besar para ulama dan santri. Sejak awal penjajahan, perlawanan
terhadap penjajah selalu dikobarkan oleh para ulama di berbagai wilayah. Mereka
tidak hanya berperan sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai panglima
perang yang mengorganisasi perlawanan. Mereka menyadari bahwa penjajahan adalah
bentuk penindasan dan penghinaan terhadap agama dan umat Islam.
Salah satu bukti paling nyata adalah perlawanan heroik Syaikh Ahmad Dahlan,
Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teungku Cik Di Tiro, dan masih banyak lagi.
Mereka adalah ulama yang berjuang melawan penjajah dengan semangat Jihad. Bahkan perlawanan mereka dijuluki
Wahabi oleh para penjajah, untuk menjadikan orang lari dari mereka. Akan
tetapi, hal itu justru menjadikan mereka diterima masyarakat dan dipuji
presiden pertama Sukarno sebagai da’wah pembaharu yang memurnikan agama dan
membarakan api Jihad melawan penjajah.
Dari Umar bin Khotthob Rodhiyallahu ‘Anhu, dia
berkata: Rosululloh ﷺ bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ
آخَرِينَ»
“Sesungguhnya Alloh mengangkat derajat suatu kaum dengan Kitab
(Al-Qur’an) ini, dan merendahkan kaum lainnya dengannya.’” (HR. Muslim no.
817)
Perjuangan para ulama dan santri adalah cerminan dari hadits
ini. Mereka berjuang dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an, sehingga Alloh
mengangkat derajat mereka dan memenangkan mereka atas penjajah. Al-Qur’an
adalah sumber kekuatan dan kehormatan mereka. Sebaliknya, penjajah yang jauh
dari petunjuk Alloh, meskipun memiliki kekuatan materi, Alloh rendahkan dan
kalahkan.
Peristiwa yang sangat fenomenal adalah fatwa jihad yang
dikeluarkan oleh Syaikh Hasyim Asy’ari (w. 1947 M) pada 22 Oktober 1945. Karena itulah 22 Oktober ditetapkan
pemerintah RI sebagai Hari Santri Nasional.
Fatwa ini dikenal sebagai “Resolusi Jihad”. Fatwa ini
mewajibkan setiap Muslim untuk membela tanah air dari penjajah. Fatwa ini
menjadi pemicu pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Ribuan santri dan
rakyat biasa bersatu melawan tentara sekutu yang jauh lebih kuat. Untuk mengenangnya, ia dijadikan
nama untuk kampus teknik Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) menjelaskan firman Alloh dalam
Al-Qur’an:
﴿يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا
هَلْ اَدُلُّكُمْ عَلٰى تِجَارَةٍ تُنْجِيْكُمْ مِّنْ عَذَابٍ اَلِيْمٍۙ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, maukah Aku tunjukkan kepada
kalian suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih?”
(QS. Ash-Shoff: 10)
Ibnu Katsir berkata: “Yang dimaksud dengan perniagaan di sini adalah jihad di jalan
Alloh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim)
Ini menunjukkan bahwa perlawanan para pejuang Muslim adalah
sebuah “perniagaan” yang sangat menguntungkan di sisi Alloh. Mereka tidak hanya
berjuang untuk tanah air, tetapi juga untuk mendapatkan ridho dan Surga Alloh.
Selain itu, perjuangan para ulama dan santri juga didorong
oleh pemahaman mendalam mereka terhadap konsep hubbul wathon minal iman
(cinta tanah air adalah bagian dari iman). Meskipun ia bukan ucapan Nabi ﷺ, namun maknanya
sejalan dengan semangat Islam yang mengajarkan pentingnya menjaga tanah air,
kehormatan, dan harta benda dari kejahatan orang kafir. Perjuangan mereka
adalah bentuk nyata dari Jihad Difa’i (jihad defensif) yang bertujuan untuk
mempertahankan negeri Muslim dari invasi.
Dikatakan:
“Ilmu lebih mulia dari setiap amalan, meskipun itu jihad, karena jihad
tidak akan sempurna tanpa ilmu.”
Ini menjelaskan mengapa peran ulama sangat krusial dalam
perjuangan. Mereka adalah pemilik ilmu yang mengarahkan perjuangan agar sesuai
dengan syari’at, mengobarkan semangat para pejuang, dan meyakinkan mereka bahwa
pertolongan Alloh itu nyata.
Faktor Ghoib di Balik Kemenangan
Tidaklah mungkin untuk memahami sepenuhnya kemenangan para
pejuang kemerdekaan jika hanya dengan mengandalkan faktor-faktor yang terlihat.
Kekuatan bersenjata modern milik penjajah, yang terdiri dari tank, pesawat
tempur, dan senjata api, seharusnya tidak mungkin bisa dikalahkan oleh para
pejuang yang hanya bermodalkan bambu runcing dan semangat. Namun, sejarah
mencatat bahwa bambu runcing berhasil mengalahkan kekuatan militer yang jauh
lebih unggul. Fenomena ini adalah bukti nyata bahwa ada faktor ghoib yang
bekerja, yaitu pertolongan dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Alloh Ta’ala berfirman:
﴿هُوَ الَّذِي اَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِيْنَ﴾
“Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan
(dukungan) orang-orang Mu’min.” (QS. Al-Anfal: 62)
Ayat ini menegaskan bahwa pertolongan Alloh kepada
orang-orang beriman adalah salah satu faktor utama yang mendatangkan
kemenangan. Alloh memberikan pertolongan-Nya dalam bentuk yang tidak terduga,
yang tidak bisa dipahami oleh logika manusia. Seperti dalam Perang Badar, Alloh
mengirimkan ribuan Malaikat untuk membantu kaum Muslimin melawan musuh. Alloh Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
﴿اِذْ تَسْتَغِيْثُوْنَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ اَنِّيْ
مُمِدُّكُمْ بِاَلْفٍ مِّنَ الْمَلٰئِكَةِ مُرْدِفِيْنَ﴾
“Ingatlah ketika kamu memohon pertolongan kepada Robbmu,
lalu Dia mengabulkan permohonanmu (seraya berfirman), ‘Sesungguhnya Aku akan
mendatangkan bala bantuan kepada kalian dengan seribu Malaikat yang datang
berturut-turut.’” (QS. Al-Anfal: 9)
Ayat ini membuktikan bahwa pertolongan Alloh bisa datang
dalam bentuk pasukan Malaikat yang tidak terlihat. Hal serupa juga terjadi
dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Banyak kesaksian dari para pejuang yang
menceritakan adanya kejadian-kejadian ghoib, seperti peluru yang tidak mempan
atau pasukan musuh yang tiba-tiba kebingungan dan melarikan diri.
Kejadian-kejadian tersebut bukanlah kebetulan, melainkan manifestasi dari
pertolongan Alloh kepada para pejuang yang tulus berjuang di jalan-Nya.
Sebab dari pertolongan ghoib ini adalah keimanan dan ketaqwaan
para pejuang. Mereka berjuang dengan keyakinan penuh bahwa Alloh akan menolong
hamba-hamba-Nya yang beriman. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
﴿يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا
اِنْ تَنْصُرُوا اللّٰهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ اَقْدَامَكُمْ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong
(agama) Alloh, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan
kalian.” (QS. Muhammad: 7)
Para pejuang Muslim pada masa itu menganggap perjuangan
mereka sebagai bentuk menolong agama Alloh. Mereka berjuang untuk membebaskan
negeri ini dari belenggu penjajahan yang merusak akidah dan menghalangi dakwah.
Oleh karena itu, Alloh memberikan janji-Nya, yaitu menolong mereka dan
meneguhkan langkah-langkah mereka.
Para pejuang Indonesia memiliki keyakinan yang sama. Mereka
tidak takut pada kekuatan penjajah karena mereka yakin Alloh adalah penolong
mereka. Keyakinan inilah yang menjadi faktor penentu kemenangan yang tidak
dapat diukur dengan hitungan materi.
Kemenangan dalam Perang 10 November 1945 di Surabaya adalah
salah satu bukti paling sahih. Para pejuang yang hanya bersenjatakan bambu
runcing berhasil mengusir pasukan sekutu yang datang dengan persenjataan
lengkap. Pertempuran ini didasari oleh fatwa jihad yang dikeluarkan oleh Syaikh
Hasyim Asy’ari. Ini membuktikan bahwa motivasi mereka bukanlah sekadar
nasionalisme, melainkan didasari keyakinan agama yang kuat.
Alloh Ta’ala berfirman:
﴿وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا
اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ وَّمِنْ رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِه عَدُوَّ
اللّٰهِ وَعَدُوَّكُمْ وَاٰخَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْ لَا تَعْلَمُوْنَهُمْ ۗ اَللّٰهُ يَعْلَمُهُمْ ۗ﴾
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja
yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang dipersiapkan untuk berperang, (yang
dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Alloh dan musuh kalian dan
orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; (tetapi) Alloh
mengetahuinya.” (QS. Al-Anfal: 60)
Ayat ini memerintahkan kaum Muslimin untuk mempersiapkan
kekuatan semaksimal mungkin, namun hasil akhirnya tetap Alloh yang menentukan.
Keberhasilan para pejuang dalam menggentarkan penjajah adalah bukti bahwa Alloh
telah menanamkan rasa takut di hati musuh, meskipun secara lahiriah kekuatan
pejuang kita jauh di bawah mereka.
Allah
berfirman:
﴿سَنُلْقِيْ فِيْ قُلُوْبِ
الَّذِيْنَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَآ اَشْرَكُوْا بِاللّٰهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ
سُلْطٰنًاۚ وَمَأْوَاهُمُ
النَّارُۗ وَبِئْسَ
مَثْوَى الظّٰلِمِيْنَ﴾
“Akan
Kami masukkan rasa takut ke dalam hati orang-orang kafir itu, disebabkan mereka
menyekutukan Alloh dengan sesuatu yang Alloh tidak menurunkan keterangan
tentangnya. Dan tempat kembali mereka ialah Neraka. Dan itulah seburuk-buruk
tempat tinggal bagi orang-orang zholim.” (QS. Ali ‘Imron: 151)
Ayat ini adalah janji Alloh kepada kaum beriman bahwa Dia
akan memberikan pertolongan dengan cara yang tidak terlihat, yaitu dengan
memasukkan rasa takut (ar-ru'b) ke dalam hati musuh.
Hal ini merupakan salah satu faktor paling penting dalam
pertempuran. Ketika hati musuh telah dipenuhi rasa takut, kekuatan mereka akan
melemah, meskipun secara lahiriah mereka memiliki persenjataan yang lebih
unggul.
Ayat ini menegaskan bahwa rasa takut yang ditimpakan itu
adalah balasan atas kesyirikan yang mereka lakukan. Ini adalah bukti nyata
bahwa kemenangan pejuang kemerdekaan bukan hanya karena kekuatan fisik,
melainkan karena pertolongan Alloh yang melemahkan musuh dari dalam.
***
Bab 3: Mensyukuri Kemerdekaan
dengan Berpegang Teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah
Syukur Kemerdekaan Bukan dengan Perayaan yang
Melanggar Syari’at
Kemerdekaan adalah ni’mat Alloh yang agung, dan setiap ni’mat
memerlukan rasa syukur. Syukur yang benar tidak hanya diucapkan, tetapi juga
diwujudkan dalam perbuatan. Sayangnya, banyak di antara kaum Muslimin yang
mensyukuri kemerdekaan dengan cara-cara yang bertentangan dengan syari’at
Islam, seperti menggelar pesta, konser musik yang melalaikan, atau
kegiatan-kegiatan yang mengundang kemaksiatan. Perayaan seperti ini, meskipun
bertujuan baik, adalah bentuk pengingkaran terhadap ni’mat Alloh.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
﴿فَاذْكُرُوْنِي اَذْكُرْكُمْ
وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ﴾
“Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu.
Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar.” (QS. Al-Baqoroh: 152)
Syukur yang sebenarnya adalah dengan taat kepada Alloh dan
menjauhi larangan-Nya. Mengingat ni’mat kemerdekaan harusnya membuat kita
semakin mendekat kepada Alloh, bukan sebaliknya. Perayaan yang benar adalah
dengan meningkatkan ibadah, memperbanyak istighfar, dan bersedekah, sebagai
bentuk rasa terima kasih kepada Alloh yang telah memberikan kemerdekaan.
Dari Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha, dia berkata:
«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا جَاءَهُ أَمْرُ سُرُورٍ أَوْ بُشِّرَ
بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شَاكِرًا لِلَّهِ»
“Rosululloh ﷺ, jika ada sesuatu
yang menggembirakannya, beliau segera sujud syukur kepada Alloh.” (HSR. Abu Dawud no. 2774)
Hadits ini mengajarkan kepada kita cara yang benar dalam
mensyukuri ni’mat. Rosululloh ﷺ mencontohkan syukur dengan sujud, sebuah
bentuk ibadah tertinggi kepada Alloh. Bukan dengan pesta, bukan dengan
hura-hura, melainkan dengan merendahkan diri dan bersujud kepada-Nya.
Para ulama juga mengajarkan bahwa ni’mat Alloh yang paling
agung adalah ketika ni’mat itu digunakan untuk ketaatan kepada-Nya.
Ahli ilmu berkata: “Syukur adalah pengakuan seorang hamba
atas ni’mat Alloh, memuji-Nya atas ni’mat tersebut, dan meminta pertolongan
dengan ni’mat itu untuk ketaatan kepada-Nya.”
Ini adalah definisi syukur yang sesungguhnya. Mensyukuri
kemerdekaan haruslah dengan menggunakan kemerdekaan itu untuk ketaatan kepada
Alloh. Artinya, dengan kemerdekaan, kita memiliki keleluasaan untuk
melaksanakan syari’at Islam tanpa halangan, dan itulah puncak dari rasa syukur.
Sebaliknya, jika kita menggunakan ni’mat kemerdekaan untuk
melakukan maksiat, maka itu adalah bentuk kekufuran (pengingkaran) terhadap ni’mat.
Al-Qur’an menceritakan kisah kaum Saba’ yang Alloh berikan ni’mat yang sangat
besar, namun mereka menggunakannya untuk berbuat maksiat, sehingga Alloh
mencabut ni’mat tersebut dan menimpakan adzab kepada mereka.
Alloh Ta’ala berfirman:
﴿لَقَدْ كَانَ لِسَبَاٍ فِيْ مَسْكَنِهِمْ اٰيَةٌ ۚ جَنَّتٰنِ عَنْ يَّمِيْنٍ وَّشِمَالٍ ەۗ كُلُوْا مِنْ رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوْا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَّرَبٌّ غَفُوْرٌ﴾
“Sungguh, bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Alloh) di
tempat tinggal mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah
kiri. (Kepada mereka dikatakan), ‘Makanlah dari rezeki Robbmu dan bersyukurlah
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Robbmu) adalah Robb yang
Maha Pengampun.’” (QS. Saba’: 15)
Namun, mereka ingkar dan tidak bersyukur, sehingga Alloh
mencabut ni’mat tersebut dan mengutus banjir besar yang menghancurkan
kebun-kebun mereka. Kisah ini menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwa ni’mat
yang tidak disyukuri akan berujung pada bencana. Mensyukuri kemerdekaan bukan
hanya masalah perayaan, tetapi juga cara kita mengisi kemerdekaan itu dengan
ketaatan.
Menjadikan NKRI sebagai Negara yang Diridhoi Alloh
Setelah kemerdekaan diraih, tanggung jawab terbesar adalah
menjadikan negara ini sebagai negara yang diridhoi Alloh. Sebuah negara yang
diridhoi Alloh adalah negara yang makmur dan aman, di mana penduduknya hidup
dengan ketaatan kepada Alloh.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
﴿وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰى
اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا
يَكْسِبُوْنَ﴾
“Dan sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka
sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’rof: 96)
Ayat ini adalah janji Alloh yang sangat jelas. Berkah dari
langit dan bumi akan dilimpahkan kepada suatu negeri jika penduduknya beriman
dan bertaqwa. Oleh karena itu, tugas kita sebagai kaum Muslimin adalah mengisi
kemerdekaan ini dengan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan.
Menegakkan keadilan adalah salah satu pilar utama dalam
membangun negara yang diridhoi Alloh.
Dari Abu Huroiroh, dia berkata: Rosululloh ﷺ
bersabda:
«سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا
ظِلُّهُ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ...»
“Ada
tujuh golongan yang Alloh naungi dalam naungan-Nya pada hari di mana tidak ada
naungan selain naungan-Nya: pemimpin yang adil…’” (HR. Al-Bukhori no. 660
dan Muslim no. 1031)
Hadits ini menunjukkan betapa besar kedudukan pemimpin yang
adil di sisi Alloh. Keadilan adalah kunci kemakmuran dan keamanan suatu negara.
Keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang berdasarkan syari’at Islam, di mana
hak-hak setiap individu, baik Muslim maupun non-Muslim, terlindungi.
Selain itu, tugas kita juga adalah menyeru kepada kebaikan
dan mencegah kemungkaran. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
﴿كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ
بِاللّٰهِ﴾
“Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, (karena kalian) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Alloh.” (QS. Ali ‘Imron: 110)
Ini adalah tanggung jawab umat Islam di Indonesia untuk menjaga
moral dan etika bangsa, serta mencegah kemungkaran yang dapat mendatangkan
adzab Alloh. Kemerdekaan harus digunakan sebagai jalan untuk
mengimplementasikan `amar ma’ruf nahi munkar` secara luas.
Ahli ilmu berkata: “Tidak boleh menegakkan hudud
(hukuman syar’i), melaksanakan jihad, mengumpulkan (umat) untuk Sholat Jum’at
dan hari raya kecuali dengan adanya pemimpin Muslim yang adil.”
Ini
menunjukkan betapa pentingnya keberadaan pemimpin yang adil dalam sebuah
negara. Kemerdekaan adalah langkah awal untuk mewujudkan kepemimpinan yang
adil, yang memungkinkan umat Islam untuk menjalankan ibadah dan syari’at secara
sempurna.
Dengan demikian, kita harus mengisi kemerdekaan ini dengan
usaha terus-menerus untuk mewujudkan negara yang beriman dan bertaqwa, di mana
keadilan ditegakkan, `amar ma’ruf nahi munkar` berjalan, dan semua
elemen masyarakat hidup dalam harmoni di bawah naungan syari’at Alloh. Hanya
dengan cara inilah kemerdekaan yang telah Alloh karuniakan akan membawa
keberkahan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Wasiat
Para Salaf dalam Menjaga Kemerdekaan
Kemerdekaan
yang telah Alloh karuniakan bukanlah sebuah akhir, melainkan sebuah permulaan
bagi kaum Muslimin untuk beramal dan berdakwah. Menjaga kemerdekaan sebuah
negara membutuhkan lebih dari sekadar kekuatan militer; ia membutuhkan kekuatan
spiritual dan persatuan umat. Para Salaf Ash-Sholih, yaitu generasi terbaik
umat ini, telah mewariskan wasiat-wasiat berharga yang sangat relevan untuk
menjaga dan mengisi kemerdekaan.
Wasiat
utama para Salaf adalah berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka
menekankan bahwa kehormatan dan kemuliaan umat Islam hanya bisa diraih dengan
kembali kepada dua sumber utama ajaran Islam tersebut.
Dari Anas
bin Malik Rodhiyallahu ‘Anhu, Rosululloh ﷺ
bersabda:
«وَقَدْ تَرَكْتُ
فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ، كِتَابُ اللهِ»
“Aku
tinggalkan di tengah-tengah kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat
setelahnya jika kalian berpegang teguh kepadanya: Kitab Alloh.’” (HR. Muslim
no. 1218)
Hadits ini
menjadi pedoman abadi bagi umat Islam. Kemerdekaan tidak akan langgeng jika
tidak dilandasi oleh petunjuk Al-Qur’an sekaligus As-Sunnah, karena ia penjelas
Al-Qur’an. Perpecahan, fitnah, dan berbagai macam kemungkaran yang terjadi di
dalam suatu negeri adalah akibat dari jauhnya umat dari petunjuk ini.
Ahli ilmu
berkata: “Tidaklah yang menegakkan suatu kekuasaan melainkan keadilan, dan
tidaklah yang meruntuhkannya melainkan kezholiman.”
Keadilan
adalah pilar utama dalam sebuah negara. Keadilan harus ditegakkan di seluruh
lini kehidupan, baik oleh para pemimpin, pejabat, maupun rakyat biasa. Kezholiman,
sekecil apapun, akan merusak dan meruntuhkan pondasi negara. Kemerdekaan yang
kita ni’mati harus digunakan untuk mewujudkan keadilan sosial, politik, dan
ekonomi, yang semuanya berlandaskan syari’at Islam.
Para ulama
Salaf juga mewasiatkan pentingnya persatuan dan menjauhi perpecahan. Sejak
zaman Rosululloh ﷺ, persatuan adalah kunci kemenangan umat Islam. Perpecahan
adalah sebab utama kehancuran.
Alloh Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
﴿وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا﴾
“Dan
berpegang teguhlah kalian pada tali (agama) Alloh secara keseluruhan, dan
janganlah kalian berpecah belah.” (QS. Ali ‘Imron: 103)
Ayat ini
adalah perintah Alloh untuk selalu bersatu di atas tali Alloh, yaitu Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Perpecahan karena perbedaan madzhab, golongan, atau partai
politik hanya akan melemahkan umat. Kemerdekaan yang telah kita dapatkan adalah
kesempatan emas untuk menyatukan barisan dan bekerja sama dalam kebaikan.
Imam Malik
bin Anas (w. 179 H) juga memberikan wasiat yang sangat penting:
«لَنْ يَصْلُحَ آخِرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلَّا
بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا»
“Tidak
akan menjadi baik umat ini di akhir zaman, kecuali dengan apa yang telah
membuat baik generasi awalnya.” (As-Syifa’, Al-Qodhi ‘Iyadh, 2/67)
Wasiat ini
mengingatkan kita bahwa metode untuk menjaga kebaikan dan kemuliaan sebuah umat
adalah dengan mengikuti jejak para Salaf, yaitu generasi pertama umat ini.
Perjuangan kemerdekaan para ulama dan pejuang terdahulu adalah cerminan dari
semangat Salaf, yaitu berjuang di jalan Alloh. Oleh karena itu, kita harus
melanjutkan perjuangan mereka dengan cara yang sama: kembali kepada Al-Qur’an
dan As-Sunnah, serta menjauhi segala bentuk bid’ah (hal baru dalam agama) dan
perpecahan.
***
Penutup
Kesimpulan
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Alloh atas segala ni’mat-Nya,
termasuk ni’mat kemerdekaan yang telah Ia karuniakan kepada bangsa Indonesia. Dari seluruh pembahasan di buku ini,
dapat kita simpulkan beberapa poin penting:
Pertama, hakikat kemerdekaan sejati adalah
pembebasan diri dari perbudakan kepada makhluk dan hanya menjadi hamba yang
tulus kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Kemerdekaan fisik sebuah negara
hanyalah salah satu bentuk kemerdekaan, namun yang paling hakiki adalah kemerdekaan
jiwa dari segala bentuk syahwat, hawa nafsu, dan perbudakan kepada sesama
manusia.
Kedua, kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah karunia murni dari Alloh, bukan semata-mata hasil
perjuangan manusia. Walaupun peran para pahlawan sangat besar, namun kemenangan
mereka tidak akan pernah terwujud tanpa pertolongan ghoib dari Alloh Subhanahu
wa Ta’ala. Banyak bukti-bukti sejarah yang menunjukkan adanya faktor-faktor
di luar nalar manusia, yang hanya bisa dijelaskan sebagai campur tangan Alloh.
Ketiga, mensyukuri kemerdekaan haruslah
dengan cara yang benar, yaitu dengan ketaatan kepada Alloh dan menjauhi
larangan-Nya. Perayaan yang melanggar syari’at adalah bentuk pengingkaran
terhadap ni’mat. Syukur yang hakiki adalah dengan menggunakan kemerdekaan untuk
beribadah dan menjalankan syari’at Alloh secara sempurna, serta mewujudkan
keadilan dan kebajikan di seluruh negeri.
Keempat, tugas kita sebagai kaum Muslimin
adalah menjaga kemerdekaan ini dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kita harus menghindari perpecahan dan fitnah, serta terus berupaya menjadikan
NKRI sebagai negara yang diridhoi Alloh. Sebuah negara yang makmur dan damai
karena penduduknya beriman dan bertaqwa.
Do’a dan Harapan
Di akhir
penulisan buku ini, marilah kita senantiasa memohon kepada Alloh Subhanahu
wa Ta’ala agar senantiasa melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita
semua.
Ya Alloh,
Ya Robb kami, Robbul ‘Izzati, kami memohon kepada-Mu dengan nama-nama-Mu yang Husna dan
sifat-sifat-Mu yang Mulia, jadikanlah negeri kami, Indonesia, sebagai negeri
yang `baldatun thoyyibatun wa robbun ghafur`, negeri yang baik, makmur,
dan di bawah ampunan-Mu.
Ya Alloh,
bimbinglah para pemimpin kami untuk senantiasa menegakkan keadilan dan
kebenaran. Jauhkanlah mereka dari kezholiman dan hawa nafsu. Tanamkanlah di
hati mereka kecintaan kepada-Mu dan Rosul-Mu.
Ya Alloh,
jadikanlah rakyat Indonesia sebagai rakyat yang bersyukur atas ni’mat-Mu, yang
senantiasa taat kepada-Mu, dan menjauhi segala larangan-Mu. Persatukanlah
hati-hati kaum Muslimin di negeri ini, jauhkanlah mereka dari perpecahan dan
fitnah.
Ya Alloh,
berikanlah kepada kami petunjuk-Mu agar kami bisa menjaga amanah kemerdekaan
ini dengan sebaik-baiknya. Jadikanlah setiap langkah kami, setiap keringat
kami, dan setiap pengorbanan kami sebagai amalan sholih yang Engkau ridhoi.
Ya Alloh,
perkenankanlah do’a kami, karena hanya kepada-Mu kami memohon dan hanya
Engkaulah yang Maha Mengabulkan do’a.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم.
Subhanakallahumma
wa bihamdika, asyhadu an laa ilaha illa anta, astaghfiruka wa atubu ilaika.
Wa
akhiru da’wanā anilhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
***