[PDF] Tarjamah Syarah Dzikir Bakda Sholat Bin Baz - Dr. Sholih Al-Ushoimi
Unduh PDF
Salinan dari Ceramah
Ini adalah penjelasan dari Kitab
ketujuh dalam “Program Pengajaran Jama’ah Haji” di tahun pertamanya, yaitu Dzikir
yang Diucapkan Setelah Sholat, karya Al-‘Allamah Abdul ‘Aziz bin Abdulloh
Ibnu Baz (1330-1420 H) Rohimahullah.
Buku kita ini disalin dari rekaman audio
Syaikh Dr. Sholih bin Abdulloh bin Hamad Al-‘Ushoimi, semoga Alloh mengampuninya, kedua orang tuanya,
gurunya, dan kaum Muslimin.[1]
***
Muqoddimah
Syaikh Bin Baz berkata:
Dengan
nama Alloh, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Dari
Abdullah bin Abdul Aziz ibn Baz untuk siapapun yang melihatnya dari kaum
Muslimin. Semoga Allah memberi taufiq kepada mereka dan
menambahkan ilmu dan iman. Aamiin.
Salaamun ‘alaikum warohmatullah wa
barokatuh. Amma ba’du (Adapun setelah itu).
Penjelasan Dr. Sholih Al-‘Ushoimi:
Penulis (Ibnu Baz) Rohimahullah
memulai risalah singkatnya dengan menyatakan namanya, karena ilmu tidak diambil
dari orang yang tidak dikenal.
Di antara adab penulisan adalah
seorang penulis memberitahukan namanya kepada orang-orang dengan
mencantumkannya di sampul bukunya, agar diketahui kedudukannya di dalamnya,
sehingga ilmunya dapat diambil. Jika nama penulis tidak disebutkan, maka ilmu
diambil dari orang yang tidak dikenal, dan ilmu tidak diambil dari orang yang
tidak dikenal. Hal ini disebutkan oleh Mayyaroh Al-Maliki dalam Qowa’idih,
dan Muhammad Habibulloh Ash-Shinqithi dalam Idho’atul Halik.
Ini adalah kaidah yang
bermanfaat dalam Din, karena Din tidak diterima kecuali dari ahlinya, dan orang
yang tidak dikenal tidak termasuk dari ahli ilmu dan Din. Maka untuk
mendapatkan sambutan dari makhluk terhadap risalah ini, Penulis Rohimahullah
mendahului perkataannya dengan memberitahukan bahwa risalah ini berasal dari
beliau, lalu beliau berkata: (Dari Abdul ‘Aziz
bin Abdulloh Ibnu Baz).
Baz adalah kakek beliau
yang jauh, maka wajib menetapkan huruf alif (ibn) di sini, karena jika
nisbat antara dua orang yang salah satunya bukan asal langsung bagi yang lain
maka ditetapkan alif. Jika seorang laki-laki dinisbahkan kepada
kakeknya, maka huruf alif (ibn) diletakkan di antara keduanya, seperti
jika dikatakan: Sholih ibn Hamad; dan Hamad adalah kakek Sholih, maka wajib
menetapkan alif di tempat ini. Demikian pula jika itu adalah ibu atau neneknya,
karena dia bukan asal laki-laki langsung baginya, seperti jika dikatakan: ‘Isa
ibn Maryam; maka wajib menetapkannya.
Menasihati Muslimin
Kemudian beliau Rohimahullah
menjelaskan tujuannya dari risalah ini kepada siapa beliau mengarahkan
perkataannya, lalu beliau berkata: (Kepada siapa
saja dari kaum Muslimin yang melihatnya); karena di antara tanda-tanda
Din adalah memberikan nasehat kepada seluruh kaum Muslimin.
Dalam Shohih Muslim dari Hadits
‘Atho’ bin Yazid, dari Tamim Ad-Dari Rodhiyallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«الدِّينُ النَّصِيحَةُ»
“Din adalah nasehat.”
Kami bertanya: “Untuk siapa?” Beliau menjawab: “Untuk Alloh, Kitab-Nya,
Rosul-Nya, para imam kaum Muslimin, dan kaum Muslimin secara umum.”
Ibnu Sa’di menyebutkan dalam
kitab ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa mereka berpegang teguh pada
nasehat untuk kaum Muslimin. Maka di antara Din Ahlus Sunnah adalah memberikan
nasehat kepada kaum Muslimin, dan mereka adalah orang yang paling giat
menasehati mereka, karena mereka tidak mengharapkan apapun dari mereka. Orang
yang jujur dan berpegang teguh pada apa yang Nabi ﷺ ada di atasnya tidak
mengharapkan balasan atau terima kasih dari makhluk, melainkan menasehati
mereka karena keinginan untuk membimbing mereka kepada apa yang membimbing
mereka kepada Robb mereka Subhanahu wa Ta’ala, dan di antaranya adalah
apa yang disebutkan oleh Penulis dalam risalah singkat ini.
Mendoakan
Muslimin
Beliau mengiringi penyebutan
pihak yang dituju dengan nasehat ini dengan dua doa:
Yang pertama: Doa untuk
mereka agar diberi taufiq, yaitu dalam ucapan: (Waffaqohumulloh -
Semoga Alloh memberi mereka taufiq).
Taufiq adalah petunjuk menuju
kemudahan, sebagaimana khidzlan (penelantaran) adalah
petunjuk menuju kesulitan. Keduanya disebutkan dalam Suroh Al-Lail dalam firman
Alloh Ta’ala:
﴿فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى﴾
“Kami akan memudahkannya kepada jalan kemudahan.” (QS.
Al-Lail: 7) yakni tentang
orang yang diberi taufiq.
Sementara firman-Nya:
﴿فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى﴾
“Kami akan memudahkannya jalan
kesukaran.” (QS.
Al-Lail: 10) yakni tentang
orang yang ditelantarkan.
Ini adalah penjelasan terbaik
mengenai hakikat taufiq dan khidzlan.
Yusro (kemudahan) berasal
dari kata yusr (kemudahan), yaitu mencakup segala sesuatu yang mendatangkan kemudahan, baik
dari segi keyakinan, perkataan, maupun perbuatan. Sedangkan ‘usro
(kesulitan) berasal dari kata ‘usr (kesulitan), yaitu mencakup segala
sesuatu yang mendatangkan kesulitan, baik dari segi keyakinan, perkataan,
maupun perbuatan.
Sebagian ahli sastra berkata: “Sesutu yang paling mulia
adalah taufiq, oleh karena itu sedikit sekali disebutkan dalam Al-Qur’an.” Ia
tidak disebutkan kecuali di dua tempat, yaitu dalam firman-Nya Ta’ala:
﴿وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ﴾
“Tidak ada taufiq bagiku kecuali dari
Allah.” (QS.
Hud: 88), dan firman-Nya Ta’ala:
﴿إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا﴾
“Jika keduanya menginginkan perdamaian maka Allah akan memberi
taufik kepada keduanya.” (QS. An-Nisa’: 35)
Karena kemuliaan dan kelangkaan
taufiq di kalangan makhluk, maka sedikit sekali penyebutannya.
Yang kedua adalah ucapannya: (Semoga
Allah menambah mereka ilmu dan Iman); karena hal yang paling
utama yang seorang hamba minta kepada Robb-nya adalah tambahan dalam Din. Yang
terkumpul dalam ilmu dan Iman, Alloh Ta’ala berfirman:
﴿وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا﴾
“Ucapkanlah: ‘Robku, tambahkanlah untukku ilmu.’” (QS.
Thoha: 114)
Dikatakan: “Alloh tidak memerintahkan
Rosul-Nya untuk meminta tambahan dalam sesuatu kecuali dalam ilmu.”
Sufyan bin ‘Uyainah berkata:
“Nabi ﷺ
senantiasa bertambah (ilmunya) hingga beliau diwafatkan Allah.”
Maka doa beliau Rohimahullah
untuk kaum Muslimin dengan tambahan ilmu dan Iman adalah sebaik-baik doa,
karena itu adalah bekal yang paling sempurna yang mereka manfaatkan di dunia
dan Akhirat. Karena keagungannya, Nabi ﷺ tidak meminta
tambahan kecuali dalam hal itu.
Aamiin
Kemudian beliau mengiringinya
dengan perkataan: (Aamiin); dan
mengucapkan Aamiin bagi seseorang atas doanya adalah boleh dan sah.
Sesungguhnya orang yang Sholat - baik sendirian maupun imam - membaca Suroh
Al-Fatihah yang di dalamnya terdapat doa, kemudian mengakhirinya dengan
perkataan: Aamiin. Ini menunjukkan kebolehan mengucapkan Aamiin atas doa diri
sendiri, karena makna (Aamiin) adalah: Ya Alloh, kabulkanlah.
Jika seorang berdoa lalu
berkata: Ya Alloh, ampunilah mereka, rohmatilah mereka, dan berilah mereka
petunjuk, Aamiin; maka itu adalah doa setelah doa.
Yang lebih sempurna adalah jika yang berdoa dan mengaminkan berbeda
orangnya.
Dalam Sunan Abi Dawud
dari Hadits ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma – dengan
sanad yang shohih – ketika disebutkan qunut Nabi ﷺ, beliau bersabda:
“Beliau mendoakan keburukan bagi kabilah-kabilah Bani Sulaim: Ri’l, Dzakwan,
dan ‘Ushoyyah. Sementara
orang-orang di belakang beliau
mengucapkan Aamiin.”
Maka (mengucapkan Aamiin)
memiliki dua tingkatan:
1. Aamiin dibaca
oleh orang selainnya.
2. Aamiin dibaca
oleh dirinya sendiri.
Tingkat pertama lebih sempurna
dari tingkat kedua, dan itulah Sunnah, sedangkan tingkat kedua adalah boleh.
Salam
Ketika beliau selesai dari
pendahuluan yang telah disebutkan, beliau mengucapkan salam kepada orang-orang
yang dituju, lalu beliau berkata: (Salaamun
‘alaikum wa Rohmatullohi wa Barokatuh).
Salam dalam tulisan seperti
salam lisan saat bertemu. Di antara adab risalah adalah memulainya dengan
salam, karena risalah adalah tempat untuk salam. Namun, tidak ada yang
mengatakan wajibnya, berbeda dengan salam langsung secara lisan.
Sebagian ahli ilmu mengatakan
wajibnya, meskipun jumhur ulama berpendapat bahwa itu adalah Sunnah, dan tidak
wajib kecuali saat menjawab, bukan saat memulai.
Di antara adab risalah kenabian
adalah Nabi ﷺ
memulainya dengan salam yang sesuai dengan penerima pesan, seperti sabda beliau
dalam suratnya kepada Heraclius: “Salam bagi orang yang mengikuti petunjuk.”
Tahiyatussalam memiliki
dua bentuk dalam permulaannya:
Yang pertama: Assalamu
‘Alaikum; dengan menetapkan (al) di awal.
Yang kedua: Salamun
‘Alaikum; tanpa (al)
Keduanya shohih, dan Sunnahnya
adalah yang pertama.
Kemudian setelah salam beliau berkata: (Amma ba’du); sebagai pemberitahuan untuk
beralih ke inti pembicaraan.
***
Istighfar Tiga Kali
Penulis Rohimahullah
berkata: “Maka aku senang mengingatkan
saudara-saudaraku se-Din bahwa Sunnahnya adalah seorang Muslim mengucapkan
setelah setiap Sholat fardhu – baik sebagai imam, makmum, atau sendirian –:
‘Astaghfirulloh (Aku memohon ampun kepada Alloh)’ 3 kali.”
Pensyarah Waffaqohullah
berkata:
Penulis Rohimahullah
mulai menjelaskan maksud risalahnya dengan mengatakan: (Fayasurruni), yaitu memasukkan kegembiraan –
yaitu keceriaan jiwa – kepadaku, (an udzakkiro
ikhwani fillah - untuk mengingatkan saudara-saudaraku se-Din)
Tadzkir (mengingatkan) adalah
memberitahukan tentang sesuatu yang sudah diketahui dengan jelas. Alloh Ta’ala
berfirman:
﴿وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ﴾
“Ingatkan karena mengingatkan bermanfaat bagi orang beriman.” (QS.
Adz-Dzariyat: 55)
Maka dengan mengingatkan, orang yang
tidur akan terbangun dan orang yang lalai akan sadar.
Mengingatkan ini dijadikan oleh
Penulis Rohimahullah untuk saudara-saudaranya se-Din, karena ikatan
persaudaraan se-Din adalah ikatan yang paling agung dalam Islam. Pengikatan janji persaudaraan
dalam Islam tidak terkait dengan kebangsaan, kedaerahan, atau sifat-sifat
lainnya, melainkan tempatnya adalah Din. Maka persaudaraan antar Muslim
terwujud dengan tetapnya Din Islam bagi setiap Muslim, sebagaimana Nabi ﷺ bersabda dalam Ash-Shohih:
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya.”
Maka Penulis Rohimahullah
bermaksud untuk mengingatkan saudara-saudaranya se-Din dari kaum Muslimin
tentang Sunnah di suatu tempat.
***
Beliau berkata: (Termasuk sunnah adalah seorang Muslim mengucapkan
setelah setiap Sholat fardhu), maka beliau menjelaskan dengan kalimat
ini tempat yang ingin beliau jelaskan, yaitu mengingatkan tentang Sunnah dalam
apa yang diucapkan seorang Muslim setelah selesai dari Sholat fardhu. Sholat
fardhu adalah Sholat yang Alloh ‘Azza wa Jalla wajibkan atas
hamba-hamba-Nya dalam sehari semalam. Ia dikhususkan dengan nama ini, yaitu Sholat
lima waktu yang dikenal: Shubuh, Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, dan ‘Isya’. Maka dzikir yang akan datang
dikhususkan untuk tempat ini.
Dzikir Sholat setelahnya ada dua
jenis:
Pertama: Dzikir Sholat
fardhu, yaitu yang disebutkan dalam risalah ini.
Kedua: Dzikir Sholat
sunnah, yaitu dua dzikir:
Salah satunya: Dzikir
yang disebutkan setelah Witir, yaitu “Subhaanal Malikil Qudduus” 3 kali,
mengeraskan suara pada yang ketiga. Ini shohih dalam Hadits Ubay bin Ka’b Rodhiyallahu
‘Anhu riwayat An-Nasa’i. Disebutkan dalam riwayat Ad-Daruquthni dan
Al-Baihaqi tambahan: “Robbul Malaa’ikati war Ruuh,” dan ini adalah
tambahan yang dho’if.
Yang kedua: Dzikir
setelah Sholat Dhuha, yaitu ucapan: “Allahummaghfirlii wa tub ‘alayya,
innaka Antat Tawwaabur Ghofuur” 100 kali. Ini shohih dalam Sunan Al-Kubro An-Nasa’i dari Hadits
seorang laki-laki dari Anshor. Tidak ada yang shohih selain itu dari dzikir
setelah Sholat sunnah.
Jika ada yang berkata:
“Istikhoroh memiliki dzikir setelahnya, yaitu ‘Allahumma inni astakhiruuka
bi ‘ilmik, wa astaqdiruka bi qudrotik...’ hingga selesai!” Maka dijawab: “Ini bukanlah dzikir setelah Sholat
Istikhoroh, melainkan ini termasuk bagian dari Sholat Istikhoroh. Sholat
Istikhoroh tersusun dari dua hal:
Pertama: Sholat dua
roka’at selain Sholat fardhu.
Kedua: Mengucapkan doa
yang disebutkan.
Sebagaimana dalam Shohih
Al-Bukhori dari Hadits Ibnu Abi Al-Mawali, dari Muhammad bin Al-Munkadir,
dari Jabir Rodhiyallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ؛ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ
غَيْرِ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ لِيَقُلِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ
...»
“Jika salah seorang dari kalian
berkeinginan melakukan sesuatu (yang
besar), maka hendaklah ia Sholat dua roka’at selain Sholat fardhu, kemudian
mengucapkan: ‘Allahumma inni astakhiiruka bi ‘ilmik...’” (Hadits)
Beliau menjadikan doa sebagai
bagian dari Istikhoroh. Maka jika seseorang Sholat dua roka’at tanpa doa yang
disebutkan, ia tidak dianggap melakukan Istikhoroh, sehingga diketahui bahwa
doa itu adalah bagian dari hakikatnya.
Jenis-jenis dzikir yang diucapkan
setelah Sholat fardhu mencakup imam,
makmum, dan orang yang Sholat sendirian. Jadi, itu disyariatkan untuk setiap
orang. Berikut beberapa lafazhnya:
Jenis pertama:
Mengucapkan: (Astaghfirulloh 3 kali); berdasarkan riwayat Muslim dalam Shohihnya
dari Hadits Tsauban bahwa ia berkata: “Rosululloh ﷺ jika selesai (inshirof)
dari Sholatnya, beliau beristighfar 3 kali.”
Inshirof dari Sholat
dalam Hadits-Hadits Nabi ﷺ
memiliki dua makna:
1. Salam dari Sholat.
2. Bangkit dari Sholat dengan keluar dari Masjid.
Yang dimaksud di sini adalah
yang pertama. Maka Nabi ﷺ
jika selesai dari Sholatnya dengan salam, beliau beristighfar 3 kali.
Hadits ini adalah berita tentang
terjadinya istighfar tanpa menyebutkan redaksinya. Yang disebutkan di dalamnya
adalah: “Beliau beristighfar 3 kali,” dan tidak disebutkan: “Beliau
mengucapkan: Astaghfirulloh.”
Tsauban hanya memberitakan
istighfar Nabi ﷺ,
dan tidak memberitakan tentang sifat istighfar beliau. Salah satu perowi perlu
bertanya tentang hal itu, maka dalam Shohih Muslim disebutkan bahwa
Al-Walid bin Muslim – salah satu perowi Hadits ini – berkata: “Maka aku
bertanya kepada Al-Auza’i: Bagaimana istighfar itu?” Beliau menjawab:
«تَقُولُ: أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ، أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ»
“Engkau mengucapkan: Astaghfirulloh,
Astaghfirulloh.” ini adalah yang paling sedikit untuk menetapkan istighfar.
Adapun yang paling sempurna
adalah yang Nabi ﷺ
lazimi di akhir hayatnya. Dalam Shohih Muslim dari Hadits ‘Aisyah Rodhiyallahu
‘Anha – dan asalnya ada pada Al-Bukhori – bahwa Rosululloh ﷺ ketika turun
kepadanya Suroh An-Nashr di akhir hayatnya, beliau banyak mengucapkan:
«سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ»
“Subhanallohi wa
bihamdih, astaghfirulloh wa atuubu ilaih.”
Maka istighfar yang paling
sempurna adalah ucapan: “Astaghfirulloh wa atuubu ilaih.”
Adapun ahli dzikir hanya membatasi pada
ucapan: “Astaghfirulloh,” karena itu adalah kadar minimalnya.
Maka disyariatkan bagi orang
yang selesai Sholat fardhu untuk beristighfar kepada Alloh dengan redaksi
apapun yang ia ucapkan, dan yang paling sempurna adalah: “Astaghfirulloh wa atuubu
ilaih.”
***
Antas Salam
Penulis Rohimahullah
berkata: “Allahumma Antas Salaam, wa minkas
Salaam, tabaarokta yaa Dzal Jalaali wal Ikroom.”
Pensyarah Waffaqohullah
berkata:
Penulis Rohimahullah
menyebutkan dzikir lain dari dzikir yang disyariatkan setelah Sholat fardhu,
yaitu ucapan:
«اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ، وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ يَا
ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ»
(Allahumma Antas
Salam, wa minkas Salam, tabaarokta yaa
Dzal Jalaali wal
Ikroom)
Ini shohih dari Nabi ﷺ dengan lafazh ini
dalam Shohih Muslim dari Hadits Tsauban.
Kalimat terakhir dari dzikir ini
diriwayatkan dengan dua riwayat:
Pertama: “Tabaarokta ya Dzal Jalaali wal Ikroom.”
Kedua: “Tabaarokta Dzal Jalaali wal Ikroom.”
Maka termasuk Sunnah adalah
bergantian antara keduanya, yaitu terkadang mengucapkan yang ini dan terkadang
mengucapkan yang itu, agar mendapatkan semua yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ.
Ini termasuk perintah beragam dari bentuk-bentuk dzikir, yaitu
melakukannya dengan berbagai jenis yang berbeda agar mendapatkan seluruh
Sunnah. Hal ini dipilih oleh Abu Al-‘Abbas Ibnu Taimiyyah dalam kaidah
tersendiri – yang telah dicetak dahulu di India, dengan tahqiq Abdul Somad Syarofuddin
Rohimahullah – dan Abu Al-Faroj Ibnu Rojab dalam Qowa’idih.
Orang-orang menambahkan di
dalamnya: “Ta’aalaita” setelah “Tabaarokta,” padahal tidak ada asalnya dalam Hadits.
Maka seyogyanya ditinggalkan, karena dzikir ini adalah ibadah dengan lafazhnya
di tempat ini.
Pendapat tidak boleh menambah lafazh ini – bahwa dzikir
bersifat tauqifiyyah (berdasarkan nash) – mengandung problem. Yaitu apa yang diriwayatkan
oleh Ahmad dengan sanad yang shohih dari Hadits Nafi’, dari Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu
‘Anhuma, ia berkata: “Aku mendengar Rosululloh ﷺ bersabda:
«لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ،
إِنَّ الحَمْدَ وَالنَّعْمَةَ لَكَ وَالمُلْكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ»
‘Labbaikallohumma
labbaik, labbaika la syariika laka labbaik, innal hamda wan ni’mata laka wal
mulk, la syariika laka’.”
Nafi’ berkata: “Ibnu ‘Umar
menambahkan:
لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِي يَدَيْكَ، لَبَّيْكَ
وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
‘Labbaika labbaika
wa Sa’dayka, wal khoiru fi yadayka, labbaika war roghba’u ilayka wal ‘amal’.”
Jadi, Ibnu ‘Umar menambahkan.
Oleh karena itu, dikatakan bahwa
penambahan dalam dzikir dan doa adalah boleh, dan itu adalah amalan para
Shohabat dan Tabi’in serta Salaf setelah mereka. Kecuali jika ibadah itu
terikat dengan lafazh-lafazhnya, seperti di tempat ini. Maka di tempat ini,
ibadah terikat dengan lafazhnya, sehingga seseorang tidak boleh menambah di
dalamnya, demikian pula doa istiftah dan tasyahhud. Namun, jika seseorang
berdoa dengan doa yang disebutkan dalam Shohih Muslim lalu berkata: “Allahumma
inni as’alukal huda, wat tuqo, wal ‘afafa wal ghina,” kemudian menambahkan:
“war ridho” – maka itu boleh. Karena dzikir ini tidak terikat dengan
lafazhnya di suatu tempat tertentu, berbeda dengan dzikir setelah Sholat yang
terikat dengan lafazh-lafazh yang disebutkan.
***
Lahuts Tsanaa dan Dzal Jadii
Penulis Rohimahullah
berkata: “Kemudian ia (imam) berbalik menghadap
jama’ah dan menghadapkan wajahnya kepada mereka,
lalu ia – juga makmum dan
munfarid – mengucapkan:
«لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ
وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا
بِاللَّهِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ،
وَلَهُ الفَضْلُ، وَلَهُ الثَّنَاءُ الحَسَنُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُخْلِصِينَ
لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الكَافِرُونَ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ،
وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الجَدِّ مِنْكَ الجَدُّ»
‘La ilaaha illallah wahdahuu laa syariika lah, lahul mulku wa
lahul hamdu, wa huwa ‘alaa kulli syai’iin qodiir, la hawla wa la quwwata illa
billah, la ilaha illallah, wa la na’budu illa iyyah, lahun ni’matu wa lahul
fadhlu, wa lahuts tsana’ul hasan, la ilaha illallah mukhlishina lahud Din walaw
karihal kafirun, Allahumma la mani’a lima a’thoyta, wa la mu’thiya lima
mana’ta, wa la yanfa’u dzal jaddi minkal jadd’.”
Pensyarah Waffaqohullah
berkata: Penulis Rohimahullah menyebutkan bahwa setelah selesai dari
dzikir-dzikir sebelumnya, (imam) berbalik menghadap jama’ah dan menghadapkan
wajahnya kepada mereka, sebagaimana Nabi ﷺ biasa melakukan. Maka
Sunnahnya adalah imam tidak berpindah dari arah kiblat kecuali setelah
mengucapkan dua dzikir sebelumnya, dan tetap dalam keadaan tawarruknya.
Jika ia salam, ia mengucapkan: “Astaghfirulloh
wa atuubu ilaih, Astaghfirulloh wa atuubu ilaih, Astaghfirulloh wa atuubu ilaih,
Allahumma Antas Salam, wa minkas Salam, tabarokta ya Dzal Jalali wal Ikrom,”
kemudian ia berpindah menghadap makmum, bangkit dari tawarruknya.
Makmum mengubah duduknya dari
tawarruk setelah ia selesai dari apa yang diselesaikan oleh Imamnya, yaitu dua
dzikir yang telah disebutkan. Jika makmum mengucapkan: “Astaghfirulloh wa atuubu
ilaih, Astaghfirulloh wa atuubu ilaih, Astaghfirulloh wa atuubu ilaih,
Allahumma Antas Salam, wa minkas Salam, tabarokta ya Dzal Jalali wal Ikrom,”
maka ia berpindah. Maka Sunnah baginya sama dengan Sunnah bagi Imamnya,
sebagaimana dijelaskan oleh Abu Al-Fath Ibnu Daqiq Al-’Id dan Syaikh kami,
Penulis Rohimahullah.
Jika ia berpindah, disyariatkan
baginya dan makmum, demikian pula orang yang Sholat sendirian, untuk
mengucapkan: “La ilaha illallah wahdahu la syarika lahu, lahul mulku wa
lahul hamdu...” hingga akhir. Dzikir ini – yang disebutkan oleh Penulis –
tersusun dari dua dzikir, yang harus dijelaskan:
Yang pertama:
«لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ
وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا
أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الجَدِّ مِنْكَ الجَدُّ»
“La ilaaha illallah
wahdahuu laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ‘alaa kulli
syai’iin qodiir, Allahumma la mani’a lima a’thoyta, wa la mu’thiya lima
mana’ta, wa la yanfa’u dzal jaddi minkal jadd.”
Demikianlah diriwayatkan oleh
Al-Bukhori dan Muslim dari Hadits Mughiroh bin Syu’bah.
Yang kedua:
«لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ
وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا
بِاللَّهِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ
وَلَهُ الفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الحَسَنُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُخْلِصِينَ
لَهُ الدِّينَ؛ وَلَوْ كَرِهَ الكَافِرُونَ»
“La ilaaha illallah
wahdahuu laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ‘alaa kulli
syai’iin qodiir, la hawla wa la quwwata illa billah, la ilaha illallah, wa la
na’budu illa iyyah, lahun ni’matu wa lahul fadhlu, wa lahuts tsana’ul hasan, la
ilaha illallah mukhlishina lahud Din; walaw karihal kafirun.”
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shohihnya
dari Hadits Abdulloh bin Az-Zubair.
Penulis Rohimahullah
mengikuti kaidah fuqoha Hanabilah dalam memasukkan dzikir-dzikir yang memiliki
kalimat-kalimat yang sama sehingga menjadi satu dzikir, berdasarkan kaidah (At-Tadakhul
fil a’mal - Tumpang tindih dalam amalan). Keduanya adalah dua amalan yang
redaksinya sama, maka digabungkan pada bagian yang sama, dengan tetap
menyebutkan tambahan.
Yang lebih benar, Allahu a’lam, bahwa Sunnahnya adalah
mengucapkan setiap dzikir secara terpisah. Dari sini, dzikir ketiga ini
mengandung dua dzikir. Bersama
dengan dua dzikir sebelumnya,
menjadi empat dzikir.
***
Yuhyii wa Yumiit 10x
Penulis Rohimahullah
berkata: “disyariatkan setelah Sholat Maghrib
dan Fajar – bersamaan dengan yang telah disebutkan –:
«لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ
وَلَهُ الحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ»
‘La ilaha illallah wahdahu la syarika lahu, lahul mulku wa lahul
hamdu yuhyi wa yumitu wa huwa ‘ala kulli syai’in qodir’ 10 kali.”
Pensyarah Waffaqohullah
berkata:
Penulis Rohimahullah
menyebutkan dzikir keempat yang khusus untuk Sholat Maghrib dan Fajar, yaitu
mengucapkan: “La ilaha illallah wahdahu la syarika lahu, lahul mulku wa
lahul hamdu, yuhyi wa yumitu, wa huwa ‘ala kulli syai’in qodir” 10
kali.
Diriwayatkan oleh An-Nasa’i
dalam As-Sunan Al-Kubro dari Hadits Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu,
namun tidak ada lafazh: “Yuhyi wa yumitu.”
Yang mahfuzh (terjaga)
dalam dzikir ini dengan jumlah 10 kali adalah:
«لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ
وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ»
“La ilaaha illallah
wahdahuu laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ‘alaa kulli
syai’iin qodiir.”
Sementara yang mahfuzh di tempatnya adalah bahwa itu termasuk dzikir
pagi dan sore, bukan dzikir Sholat Fajar dan Maghrib. Sebagian perowi salah
dalam meriwayatkannya berdasarkan makna, karena kebiasaan yang umum adalah
mengkhususkan Fajar dengan dzikir pagi, dan Maghrib dengan dzikir sore. Maka
sebagian perowi menduga bahwa redaksi yang disebutkan dengan jumlah 10 kali
adalah dzikir yang diucapkan setelah Fajar dan Maghrib, lalu mereka
meriwayatkannya demikian. Padahal, keadaannya tidak demikian, melainkan itu
termasuk dzikir pagi dan sore.
Maka siapa saja yang
kebiasaannya mengucapkan dzikir pagi setelah selesai dari dzikir Sholat Fajar,
maka boleh baginya mengucapkannya saat itu. Demikian pula siapa saja yang
kebiasaannya mengucapkan dzikir sore setelah selesai dari dzikir Sholat
Maghrib, maka ia mengucapkannya saat itu. Namun, perlu diketahui bahwa itu
bukan termasuk dzikir Sholat Maghrib dan Fajar, melainkan dzikir pagi dan sore
– menurut riwayat yang paling shohih.
***
Tasbih, Tahmid, Takbir
Penulis Rohimahullah
berkata: “Kemudian setelah itu ia mengucapkan:
«سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالحَمْدُ لِلَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ»
‘Subhanallah, walhamdulillah, wallahu Akbar’ 33 kali, dan untuk
menyempurnakan 100, ia mengucapkan:
«لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ
وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ»
‘La ilaaha illallah wahdahuu laa syariika lah, lahul mulku wa
lahul hamdu, wa huwa ‘alaa kulli syai’iin qodiir’.”
Pensyarah Waffaqohullah
berkata:
Penulis Rohimahullah
menyebutkan dzikir kelima – menurut hitungan beliau, dan menurut hitungan kami
menjadi dzikir keenam – yaitu ucapan: (Subhanallah, walhamdulillah, wallahu
Akbar 33 kali, dan untuk menyempurnakan 100, ia mengucapkan: ‘La ilaaha
illallah wahdahuu laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ‘alaa
kulli syai’iin qodiir’). Hal itu shohih dalam Ash-Shohih.
Tasbih, Tahmid, dan Takbir
yang diucapkan setelah Sholat memiliki lima redaksi:
Pertama: “Subhanallah
walhamdulillah, wallahu Akbar” 10, 10, 10 kali. Ini shohih dalam
kitab-kitab Sunan dari Hadits Abdulloh bin ‘Amr Rodhiyallahu ‘Anhuma,
bahwa Nabi ﷺ
bersabda:
«خَلَّتَانِ لَا يُحْصِيهِمَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ، إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ،
وَهُمَا يَسِيرٌ، وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ»، ثُمَّ قَالَ: «يُسَبِّحُ فِي دُبُرِ
كُلِّ صَلَاةٍ عَشْرًا، وَيَحْمَدُ عَشْرًا، وَيُكَبِّرُ عَشْرًا، فَذَلِكَ خَمْسُونَ
وَمِائَةٌ بِاللِّسَانِ وَأَلْفُ وَخَمْسُمِائَةٍ فِي المِيزَانِ»
“Dua kebiasaan,
tidaklah seorang Muslim menjaganya melainkan ia akan masuk Surga, dan keduanya
mudah, namun sedikit yang melakukannya.” Kemudian beliau bersabda: “Ia
bertasbih setelah setiap Sholat 10 kali, bertahmid 10 kali, dan bertakbir 10
kali. Maka itu 150 (30 x 5
waktu) di lisan dan 1500 (150
x 10 lipat) di mizan.” Sanadnya shohih.
Kedua: “Subhanallah,
walhamdulillah, wallahu Akbar” 25 kali, dan tambahan tahlil “La ilaha
illallah” 25 kali, sehingga menjadi 100. Ini shohih pada An-Nasa’i dari Hadits
Zaid bin Tsabit Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata:
«أُمِرُوا أَنْ يُسَبِّحُوا دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ،
وَيَحْمَدُوا ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَيُكَبِّرُوا أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ، فَأَتَى
رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فِي مَنَامِهِ، فَقِيلَ لَهُ: أَمَرَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ
ﷺ أَنْ تُسَبِّحُوا دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَتَحْمَدُوا ثَلَاثًا
وَثَلَاثِينَ، وَتُكَبِّرُوا أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَاجْعَلُوهَا
خَمْسًا وَعِشْرِينَ، وَاجْعَلُوا فِيهَا التَّهْلِيلَ، فَلَمَّا أَصْبَحَ أَتَى النَّبِيَّ
ﷺ، فَذَكَرَ لَهُ ذَلِكَ، فَقَالَ: «اجْعَلُوهَا كَذَلِكَ»
“Mereka diperintahkan
untuk bertasbih setelah setiap Sholat 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir
34 kali.” Kemudian seorang laki-laki dari Anshor datang dalam mimpinya dan
dikatakan kepadanya: “Rosululloh ﷺ memerintahkan kalian untuk bertasbih
setelah setiap Sholat 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 34 kali?” Ia
menjawab: “Ya.” Dikatakan: “Jadikanlah 25 kali, dan tambahkanlah di dalamnya
tahlil.” Ketika ia bangun pagi, ia mendatangi Nabi ﷺ dan menceritakan hal
itu kepada beliau, lalu beliau bersabda: “Amalkan seperti itu.” Sanadnya
shohih.
Ketiga: “Subhanallah,
walhamdulillah, wallahu Akbar” 33 kali dari masing-masing, tanpa
menyempurnakan 100. Ini shohih dalam Hadits Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu
dalam Ash-Shohihain bahwa ia berkata: “Orang-orang fakir datang kepada
Nabi ﷺ
lalu berkata: ‘Orang-orang kaya telah mendapatkan derajat yang tinggi dan
kenikmatan yang kekal?’“ Beliau bertanya: “Apa itu?” Mereka menjawab: “Mereka Sholat
sebagaimana kami Sholat, mereka puasa sebagaimana kami puasa, dan mereka
bersedekah sedangkan kami tidak bersedekah, dan mereka membebaskan budak
sedangkan kami tidak membebaskan budak.” Maka Rosululloh ﷺ bersabda:
«أَفَلَا أُعَلِّمُكُمْ شَيْئًا تُدْرِكُونَ بِهِ مَنْ سَبَقَكُمْ،
وَتَسْبِقُونَ بِهِ مَنْ بَعْدَكُمْ، وَلَا يَكُونُ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِنْكُمْ إِلَّا
مَنْ صَنَعَ مِثْلَ مَا صَنَعْتُمْ؟!»
“Tidakkah aku ajarkan
kepada kalian sesuatu yang dengannya kalian dapat menyusul orang-orang sebelum
kalian, dan kalian dapat mengungguli orang-orang setelah kalian, dan tidak ada
seorang pun yang lebih utama dari kalian kecuali orang yang melakukan seperti
yang kalian lakukan?!” Mereka menjawab: “Tentu, wahai Rosululloh.” Beliau
bersabda:
«تُسَبِّحُونَ وَتُكَبِّرُونَ وَتَحْمَدُونَ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا
وَثَلَاثِينَ مَرَّةً»
“Kalian bertasbih,
bertakbir, dan bertahmid setelah setiap Sholat 33 kali.”
Di dalamnya terdapat perintah
Nabi ﷺ
kepada mereka untuk bertasbih kepada Alloh 33 kali, bertahmid 33 kali, dan
bertakbir 33 kali, dan tidak disebutkan penyempurnaan 100.
Keempat: “Subhanallah
walhamdulillah, wallahu Akbar” 33 kali, dan diakhiri dengan 100: “Allahu
Akbar.” Ini shohih dalam Shohih Muslim dari Hadits Ka’b bin ‘Ujroh;
bahwa Rosululloh ﷺ
bersabda:
«مُعَقِّبَاتٌ لَا يَخِيبُ قَائِلُهُنَّ - أَوْ: فَاعِلُهُنَّ - دُبُرَ
كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ: ثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَسْبِيحَةً، وَثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ
تَحْمِيدَةً، وَأَرْبَعٌ وَثَلَاثُونَ تَكْبِيرَةً»
“Ada kalimat-kalimat
yang tidak akan merugi orang yang mengucapkannya – atau: orang yang
melakukannya – setelah setiap Sholat wajib: 33 tasbih, 33 tahmid, dan 34
takbir.” Juga disebutkan dalam Hadits Al-Anshori pada An-Nasa’i.
Kelima: “Subhanallah,
walhamdulillah, wallahu Akbar” 33 kali, dan diakhiri dengan 100: “La
ilaaha illallah wahdahuu laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa
‘alaa kulli syai’iin qodiir.”
Ini shohih dalam Shohih
Muslim dari Hadits Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu; bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ،
وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ،
فَتِلْكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ، وَقَالَ تَمَامَ المِائَةِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ؛ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ البَحْرِ»
“Siapa bertasbih
kepada Alloh setelah setiap Sholat 33 kali, bertahmid kepada Alloh 33 kali, dan
bertakbir kepada Alloh 33 kali, maka itu 99, dan beliau mengucapkan untuk
menyempurnakan 100: ‘La ilaha illallah wahdahu la syarika lahu, lahul mulku
wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qodir’; maka dosa-dosanya
diampuni walaupun sebanyak buih di lautan.”
Lima redaksi ini adalah redaksi
yang shohih dari Nabi ﷺ.
Diriwayatkan juga redaksi keenam:
yaitu 11 kali dari setiap jenis, namun tidak shohih. Suhail bin Abi Sholih salah
dalam meriwayatkannya dari ayahnya dari Abu Huroiroh, padahal ia adalah salah
satu perowi yang tsiqoh (terpercaya). Namun riwayatnya salah karena menyelisihi
perowi-perowi tsiqoh lainnya.
Yang disyariatkan bagi seorang
hamba adalah melakukan salah satu redaksi saja, dan tidak boleh menggabungkan
semuanya. Kaidahnya dalam hal ini: Dzikir-dzikir yang disebutkan di satu
tempat, dilihat apakah tempat tersebut memungkinkan untuk menampung semuanya.
Jika tempat tersebut memungkinkan, maka semuanya boleh dilakukan, seperti
dzikir pagi dan sore. Jika tidak, maka cukup memilih salah satunya, seperti
berbagai jenis doa istiftah, tasyahhud, dan tasbih setelah Sholat, karena
tempat tersebut tidak memungkinkan untuk menggabungkan semuanya, berbeda dengan
dzikir pagi dan sore.
Ini adalah kaidah yang
bermanfaat dalam dzikir-dzikir yang beraneka ragam di satu tempat, yaitu
dilihat apakah tempat tersebut memungkinkan untuk menampung semuanya, dan yang
menjadi rujukan dalam menentukan hal itu adalah khithob syar’i (nash
syara’)
Dalam Shohih Al-Bukhori,
Abu Huroiroh berkata: “Rosululloh ﷺ diam sebentar antara takbir dan qiro’ah
(Al-Fatihah) – perowi dari Abu Huroiroh berkata: Aku kira ia berkata: sebentar
sekali. Maka aku bertanya: Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, wahai Rosululloh,
apa yang engkau ucapkan saat engkau diam antara takbir dan qiro’ah? Beliau
menjawab: Aku mengucapkan:
«اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ
المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ...»
‘Allahumma ba’id
bayni wa bayna khothoyaya kama ba’adta baynal masyriqi wal maghrib...’ (Hadits).”
Nabi ﷺ menyebutkan satu
istiftah saja, sehingga diketahui bahwa beliau hanya menyebutkan satu dzikir
saja.
Berdasarkan hal ini, Sunnah
dalam tasbih-tasbih ini adalah seorang Muslim bergantian di antara berbagai
redaksi dalam Sholat-Sholatnya. Hal ini lebih ditekankan ketika memperhatikan
keadaan, seperti musafir atau orang yang sedang mengerjakan Nusuk. Maka ia
meringankan dirinya dengan bertasbih, bertahmid, dan bertakbir 10 kali. Maka
Sunnah jumlah ini lebih ditekankan saat itu. Ini termasuk kaidah Sunnah dalam
hal-hal yang meringankan, karena di antara tempat-tempat keringanan dalam
Sunnah adalah safar (perjalanan) dan kesibukan dengan Nusuk. Contohnya: Nabi ﷺ tidak Sholat dengan Suroh-Suroh
yang panjang dalam perjalanannya, melainkan beliau Sholat dengan Al-Falaq,
An-Nas, At-Tin, Az-Zaitun, dan Suroh-Suroh pendek dari Al-Mufashshol. Ini untuk
meringankan jiwa agar mudah
dalam aktifitas safarnya, baik ibadah maupun lainnya.
***
Mengeraskan Dzikir dan Berjamaah
Penulis Rohimahullah
berkata: “Sunnah bagi imam, orang yang Sholat
sendirian, dan makmum adalah mengeraskan dzikir-dzikir ini setelah setiap Sholat
fardhu dengan suara sedang, tanpa dibuat-buat. Telah shohih dalam Ash-Shohihain
dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma bahwa mengeraskan suara dengan dzikir
ketika orang-orang selesai dari Sholat wajib terjadi pada masa Nabi ﷺ.
Ibnu ‘Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma berkata:
«كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ»
‘Aku mengetahui mereka telah selesai dari Sholat dengan
mendengar suara itu.’
Tidak
boleh mengeraskan suara secara berjama’ah, tetapi setiap orang berdzikir
sendiri tanpa memperhatikan suara orang lain, karena dzikir berjama’ah adalah
bid’ah yang tidak ada asalnya dalam Syari’at yang suci.”
Pensyarah Waffaqohullah
berkata:
Penulis Rohimahullah
menyebutkan bahwa Sunnah dalam dzikir-dzikir yang telah disebutkan adalah
mengeraskannya (setelah setiap Sholat fardhu dengan suara sedang, tanpa
dibuat-buat).
Hakikat mengeraskan suara:
seseorang bermaksud agar orang lain mendengarnya, walaupun tidak terdengar.
Jika ia bermaksud agar orang lain mendengarnya, maka disebut (mengeraskan
suara) walaupun tidak terdengar.
Hakikat melirihkan suara: seseorang
bermaksud agar dirinya sendiri mendengarnya, walaupun orang lain mendengarnya.
Masalah ini cukup rumit. Ibnu
Daqiq Al-’Id – yang merupakan salah satu orang terpintar di dunia – mengatakan:
“Aku tidak tahu perbedaan antara mengeraskan dan melirihkan,” dan itu bukan
karena kebodohannya, melainkan karena kerumitan masalahnya. Tampaknya, Allahu
a’lam, adalah apa yang telah kami sebutkan.
Beliau menyebutkan bahwa Sunnah
adalah mengeraskannya (dengan suara sedang) yaitu tidak berlebihan dalam
mengeraskan suara, sehingga tidak ada kesulitan. Sebagaimana dalam Ash-Shohihain
dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma, bahwa mengeraskan suara
dengan dzikir ketika orang-orang selesai dari Sholat wajib adalah pada masa
Nabi ﷺ.
Ibnu ‘Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma
berkata: “Aku mengetahui mereka telah selesai dari Sholat dengan mendengar
suara itu.” Hadits Ibnu ‘Abbas ini adalah dasar bagi sekelompok ulama Salaf dan
Kholaf bahwa disunnahkan mengeraskan suara dengan dzikir setelah Sholat, dan ini
dipilih oleh sekelompok para peneliti, seperti Ibnu Jarir Ath-Thobari, Ibnu
Hazm Al-Andalusi, dan Ibnu Taimiyyah An-Numairi Rohimahumulloh Ta’ala.
Ini berbeda dengan mazhab-mazhab imam Empat yang populer. Yang populer di
antara mereka adalah bahwa yang Sunnah adalah melirihkan dzikir setelah Sholat,
kecuali imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Dikeraskan jika untuk mengajar.” Hadits jelas
menunjukkan bahwa Sunnahnya adalah mengeraskannya.
Namun, pengerjaan dzikir dengan
suara keras harus memperhatikan:
tidak mengganggu orang lain. Jika di dekatnya ada orang yang sedang
menyempurnakan Sholatnya, maka ia tidak mengeraskan suaranya, agar tidak
mengganggu Sholatnya. Jika tidak ada yang dikhawatirkan akan terganggu, maka ia
mengeraskan suara dengan sedang.
Dzikir Berjamaah
Kemudian beliau Rohimahullah
menyebutkan bahwa imam dan makmum tidak boleh mengeraskan suara dalam
dzikir secara berjama’ah yaitu dengan kesepakatan mereka untuk
mengeraskan suara dalam dzikir. Jika terjadi tanpa kesepakatan, itu bukan
dzikir berjama’ah. Misalnya, jika setelah selesai mereka mengucapkan:
“Astaghfirulloh, Astaghfirulloh,” dan ini terjadi secara serasi di awal di
antara mereka, maka hal seperti itu tidak termasuk dalam hakikatnya. Hakikatnya
kembali pada muwatho’ah (kesepakatan).
Ahli ilmu berbeda pendapat
mengenai kebolehannya atau keharomannya menjadi dua pendapat. Yang paling
shohih, dan Alloh lebih mengetahui, adalah bahwa itu tidak boleh. Hal ini
ditegaskan oleh Asy-Syathibi – dari mazhab Malikiyyah – dalam Al-I’tishom,
dan Ibnu Taimiyyah An-Numairi – dari mazhab Hanabilah – Rohimahumallah.
Tidak ada dalil yang shohih dan jelas dalam semua yang dijadikan hujjah untuk
dzikir berjama’ah. Dalil-dalil orang yang membolehkan dzikir berjama’ah ada dua
jenis:
1. Jelas tetapi tidak shohih.
2. Shohih tetapi tidak jelas.
Karena tidak adanya Hadits
shohih yang secara jelas menunjukkan hal tersebut, maka yang paling kuat, dan
Alloh lebih mengetahui, adalah bahwa dzikir berjama’ah yang terjadi atas dasar
kesepakatan tidak boleh. Bahkan, menurut orang-orang yang melarang – seperti
Asy-Syathibi dan Abu Al-‘Abbas Ibnu Taimiyyah – itu termasuk bid’ah
idhofiyyah yang tidak ada asalnya dalam Syari’at yang suci.
***
Ayat Kursi dan Mu’awwidzaat
Penulis Rohimahullah
berkata: “Kemudian disyariatkan bagi setiap imam,
makmum, dan orang yang Sholat sendirian untuk membaca Ayat Kursi secara sirr
(pelan). Kemudian setiap orang dari mereka membaca: Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas
secara sirr.
Setelah
Maghrib dan Fajar, diulang: Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas 3 kali.”
Itu
adalah yang terbaik, karena semua yang telah kami sebutkan sebelumnya adalah
shohih.
Semoga
sholawat dan salam tercurah atas Nabi kita Muhammad, keluarga dan Shohabat
beliau, serta para pengikutnya dengan baik hingga hari Kiamat.
Mufti
Umum Kerajaan ‘Arobiyyah Saudi, Ketua Dewan Ulama Senior, dan Ketua Departemen
Riset Ilmiah dan Fatwa. 24/10/1414 H.”
Pensyarah Waffaqohullah
berkata:
Penulis Rohimahullah
menyebutkan dzikir keenam – menurut beliau, dan menurut hitungan kami menjadi
yang ketujuh – yaitu membaca Ayat Al-Kursi. Yaitu firman Alloh Ta’ala dalam
Suroh Al-Baqoroh:
﴿اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا
هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ، لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ
وَمَا فِي الْأَرْضِ، مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ، يَعْلَمُ
مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ، وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ
إِلَّا بِمَا شَاءَ، وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ، وَلَا يَئُودُهُ
حِفْظُهُمَا، وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ﴾
Allah, tidak ada yang berhak
disembah selain Dia, Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri. Tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan
apa yang ada di bumi. Siapakah
yang dapat memberi syafa'at di sisi-Nya tanpa izin-Nya? Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang di
belakang mereka, dan mereka tidak
mengetahui apa pun dari ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa berat memelihara
keduanya. Dia Maha Tinggi lagi Maha Agung.” (QS. Al-Baqoroh: 255)
Dinamakan Ayat Kursi karena
kekhususannya, tidak ada nama tersebut di Suroh lain dalam Al-Qur’an. Tidak
disebutkan dalam Al-Qur’an kecuali dalam ayat ini.
Dalil dzikir ini adalah apa yang
diriwayatkan oleh An-Nasa’i dengan sanad hasan dalam As-Sunan Al-Kubro
dari Hadits Abu Umamah Rodhiyallahu ‘Anhu; bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«مَنْ قَرَأَ آيَةَ الكُرْسِيِّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ
لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُولِ الجَنَّةِ إِلَّا أَنْ يَمُوتَ»
“Siapa membaca Ayat
Kursi setelah setiap Sholat wajib, tidak ada yang menghalanginya masuk Surga
kecuali kematian.”
Di dalamnya terdapat keutamaan
membaca Ayat Kursi dan besarnya manfaatnya bagi seorang hamba, dan bahwa jika
ia membacanya setelah Sholat wajib, tidak ada antara dirinya dan masuk Surga
kecuali ia meninggal! Ini adalah keutamaan yang agung, maka ia termasuk Sunnah
dzikir terbesar setelah Sholat yang seyogyanya seorang Muslim menjaganya.
Penulis menyebutkan bahwa Ayat
Kursi dibaca secara lirih, sama dengan pendapat Sunnahnya mengeraskan dzikir
setelah Sholat kecuali dzikir Al-Quran, seperti Abu Al-‘Abbas Ibnu Taimiyyah.
Membaca Suroh-Suroh dan
ayat-ayat dari Al-Qur’an dalam dzikir setelah Sholat disepakati bahwa ia
dibaca sirr. Adapun dzikir
yang mendahuluinya, maka ia dibaca jahr (keras).
Apa yang dilakukan sebagian
orang yang mengkhususkan jahr pada awal dzikir kecuali tasbih, tahmid,
dan takbir adalah pemaksaan yang tidak ada dalilnya. Hal ini disebutkan oleh
Sulaiman bin Sahman dalam risalahnya Tahqiqul
Kalam fi Masyru’iyyatil Jahri bidz Dzikri ba’das Salam.
Maka mengeraskan dzikir setelah Sholat
mencakup seluruh dzikir. Namun,
jika seseorang membaca ayat-ayat dan Suroh-Suroh yang disyariatkan
setelah Sholat, ia membacanya secara sirr.
Kemudian beliau menyebutkan
dzikir ketujuh, yaitu membaca (Qul
Huwallahu Ahad, dan Qul A’udzu bi Robbil Falaq, dan Qul A’udzu bi Robbin Nas),
yaitu Suroh secara lengkap. Maka ia membaca Suroh Al-Ikhlash lengkap, Suroh
Al-Falaq lengkap, dan Suroh An-Nas lengkap, (secara sirr) tanpa jahr.
Setelah Maghrib dan Fajar diulang 3
kali, yaitu membaca Suroh Al-Ikhlash 3 kali, Suroh Al-Falaq 3 kali, dan Suroh
An-Nas 3 kali.
Diriwayatkan dalam hal ini
sebuah Hadits pada Abu Dawud dan lainnya dari ‘Uqbah bin ‘Amir, akan tetapi Hadits
itu salah. Yang mahfuzh di tempat ini (Maghrib dan Subuh) adalah apa
yang ada dalam Shohih Muslim dari Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«أَلَمْ تَرَ آيَاتٍ أُنْزِلَتِ اللَّيْلَةَ لَمْ يُرَ مِثْلُهُنَّ
قَطُّ: ﴿قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ﴾ ، وَ ﴿قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ﴾»
“Tidakkah engkau
melihat ayat-ayat yang diturunkan malam ini, tidak pernah terlihat yang serupa
dengannya sama sekali:
Al-Falaq dan An-Nas.”
Para perowi telah melakukan
berbagai jenis kekeliruan dalam hal ini. Terkadang mereka menjadikannya sebagai
dzikir setelah Sholat wajib, dan terkadang mereka menjadikannya sebagai dzikir
pagi dan sore, padahal tidak ada satu pun dari itu yang mahfuzh.
Melainkan yang shohih adalah bahwa keduanya adalah ta’awudz (doa
perlindungan) umum, yaitu diucapkan untuk perlindungan di setiap tempat di mana
seorang hamba ingin memohon kepada Alloh ‘Azza wa Jalla untuk
melindunginya. Jika ia ingin melindungi dirinya, ia membaca Suroh Al-Falaq dan
An-Nas. Jika ia memasuki suatu negeri dan takut penduduknya, ia membaca Suroh
Al-Falaq dan An-Nas untuk berlindung dengan keduanya.
Nabi ﷺ telah bersabda:
“Tidak pernah terlihat yang serupa dengannya sama sekali,” yaitu tidak pernah
terlihat yang serupa dengan kedua Suroh ini dalam memohon perlindungan kepada
Alloh – yaitu berlindung dan berpegang teguh kepada-Nya. Ini adalah yang mahfuzh
pada keduanya.
Adapun selain itu dari apa yang
diriwayatkan oleh para perowi dalam Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir, atau Hadits
Abdulloh bin Khubaib, atau selain keduanya, semuanya tidak shohih menurut para
ahli Hadits yang mengetahui ‘ilal (cacat) Hadits. Oleh karena itu, kedua
penyusun Ash-Shohih (Al-Bukhori dan Muslim) tidak mengambil
riwayat-riwayat tersebut, dan Muslim hanya mengeluarkan riwayat yang telah
disebutkan kepada kalian.
***
Kemudian beliau Rohimahullah
berkata: (Itu adalah yang terbaik karena semua
yang telah kami sebutkan sebelumnya adalah shohih), berdasarkan apa yang
sampai pada ijtihad beliau Rohimahullah.
Menshohihkan dan mendho’ifkan Hadits
adalah masalah ijtihad, dan yang paling sempurna dalam masalah-masalah ijtihad
adalah bergantung pada imam-imam kritikus. Siapa saja yang ingin mengambil
manfaat dari penshohihan dan pendho’ifan, maka hendaklah ia mengikuti para imam
besar terdahulu, seperti Al-Bukhori, Muslim, Ahmad, Abu Zur’ah, Abu Hatim
Ar-Roziyyain, dan Ad-Daruquthni. Ini tidak berarti tidak mengambil manfaat dari
para huffazh (penghafal Hadits) dan ulama yang muncul setelah mereka. Karena
mengabaikan mereka adalah tindakan jafa’ (kurang ajar) dan pengkhianatan
terhadap kedudukan mereka, serta pemusnahan terhadap usaha yang telah mereka
curahkan Rohimahumulloh Ta’ala. Maka kedudukan mereka harus dijaga dan
ilmu mereka diambil manfaatnya.
Namun, Asy-Syathibi menyebutkan
dalam Al-Muwafaqot – dalam perkataan yang bermanfaat – bahwa mengambil
manfaat dari ilmu-ilmu orang-orang terdahulu lebih agung daripada mengambil
manfaat dari ilmu-ilmu orang-orang yang datang kemudian. Beliau Rohimahullah
benar. Ini mencakup semua bab dalam tafsir, Hadits, fiqih, nahwu, shorof, dan
balaghah, bahkan ilmu-ilmu aqliyyah, seperti filsafat dan mantik. Maka
mazhab-mazhab orang-orang terdahulu lebih sempurna daripada mazhab-mazhab
orang-orang yang datang kemudian di dalamnya, meskipun itu termasuk ilmu yang
dicari di tempatnya, dan tidak dicari oleh setiap orang. Seseorang meningkat
dalam pengetahuan dan ilmu dengan bimbingan seorang ulama yang mengetahui apa
yang bermanfaat baginya.
***
Kesimpulan
6 Dzikir Ba’da Sholat
Berdasarkan apa yang telah disebutkan, maka dzikir
yang shohih setelah Sholat wajib ada 6:
Pertama: Istighfar 3
kali, dan yang paling sempurna adalah:
«أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ» [3]
“Astaghfirulloh wa atuubu
ilaih.”
Kedua:
«اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ، وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ يَا
ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ»
“Allahumma Antas
Salaam, wa minkas Salaam, tabaarokta ya Dzal Jalaali wal Ikroom.”
Ketiga:
«لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ
وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا
أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الجَدِّ مِنْكَ الجَدُّ»
“La ilaaha illallah
wahdahuu laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ‘alaa kulli
syai’iin qodiir, Allahumma la mani’a lima a’thoyta, wa la mu’thiya lima
mana’ta, wa la yanfa’u dzal jaddi minkal jadd.”
Keempat:
«لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ
وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا
بِاللَّهِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ
وَلَهُ الفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الحَسَنُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُخْلِصِينَ
لَهُ الدِّينَ؛ وَلَوْ كَرِهَ الكَافِرُونَ»
“La ilaaha illallah
wahdahuu laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ‘alaa kulli
syai’iin qodiir, la haula wa la quwwata illa billah, la ilaha illallah
wa la na’budu illa Alloh, lahun ni’matu wa lahul fadhlu, wa lahuts tsana’ul
hasan, la ilaha illallah mukhlishina lahud Din; walaw karihal kafirun.”
Kelima:
«سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالحَمْدُ لِلَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ»
Tasbih, Tahmid, Takbir, dan
Tahlil; dengan lima jenisnya; maka ia mengucapkan salah satunya.
Keenam: Membaca Ayat Al-Kursi.
***
Berdzikir
dengan Jari
Yang perlu diperhatikan adalah
pengkhususan menghitung dengan jari untuk tasbih, tahlil, dan tahmid.
Menggerakkan jari dengan menekuk dan melipatnya hanya dilakukan saat
mengucapkan: “Subhanallah, walhamdulillah, wallahu Akbar.” Ini karena
telah shohih dalam riwayat empat imam dari Hadits Abdulloh bin ‘Amr bahwa Nabi ﷺ biasa menghitung
tasbih dengan tangannya. Yang dimaksud adalah tasbih yang dilakukan setelah Sholat.
Beliau mendahulukan penyebutan
(tasbih) karena itu adalah yang pertama. Maka yang pertama dari dzikir-dzikir
ini adalah: “Subhanallah.” Adapun istighfar 3 kali, tidak termasuk Sunnah untuk
menghitungnya dengan jari. Namun jika dilakukan, itu boleh, karena tujuan dari
menghitung adalah untuk menetapkan jumlah. Jika seseorang dapat menetapkan
jumlah tanpa menghitung, maka ia tidak perlu menghitung. Maka ia mengucapkan: “Astaghfirulloh,
Astaghfirulloh, Astaghfirulloh, Allahumma Antas Salaam, wa minkas Salaam,
tabaarokta ya Dzal Jalaali wal Ikroom,” kemudian ia berpindah, lalu
mengucapkan dzikir-dzikir lainnya, dan ia tidak menghitung kecuali pada tasbih.
Masalah-masalah yang berkaitan
dengan dzikir-dzikir ini lebih dari 30 masalah, namun waktu tidak memungkinkan
untuk menyebutkannya. Kami telah menjelaskannya di tempat lain, dan semoga Alloh
Ta’ala mengizinkan kami untuk mengulanginya segera dalam beberapa
pelajaran.
Ini adalah akhir penjelasan yang
didiktekan pada kitab ini. Segala puji bagi Alloh Robb semesta alam. Semoga
sholawat dan salam tercurah atas hamba dan Rosul-Nya Muhammad, keluarga dan
Shohabatnya seluruhnya.
***
Beberapa Pertanyaan
(1): Apakah
ada dalil mengenai urutan ini sehingga wajib diikuti?
Jawaban: Tidak ada dalil
mengenai urutan ini. Jika ia mengucapkannya dengan urutan apa pun, itu boleh.
Urutan ini adalah untuk pengajaran, dan ini adalah tujuan yang baik. Adapun
mendahulukan atau mengakhirkan, tidak ada larangan.
(2): Apakah
boleh melantunkan dzikir yang diucapkan dengan keras?
Jawaban: Adapun
melantunkan dengan nada, itu tidak boleh, karena dzikir adalah ibadah yang
bersifat tauqifiyyah (berdasarkan nash) dalam pelaksanaannya,
sebagaimana ia juga tauqifiyyah dalam lafazh-lafazhnya. Namun, sebagian
orang melakukan hal-hal yang termasuk dalam tanaghum (melantunkan dengan
nada).
Ini adalah kesalahan, karena yang
populer dari Salaf – dan diriwayatkan Hadits-Hadits tentangnya – perkataan
mereka: “Al-Qur’an dibaca dengan melodi orang ‘Arob.” Melodi orang ‘Arob adalah
Sunnah-Sunnah, kaidah-kaidah, mazhab-mazhab, dan tabiat mereka dalam berbicara.
Misalnya: Jika seseorang setelah Sholat mengucapkan: “La ilaaha illallah
wahdahuu laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ‘alaa kulli
syai’iin qodiir” dengan memanjangkan alif “laa” pada “Laa ilaha illallah”,
itu tidak termasuk menyimpang. Dalilnya ada pada qiro’ah Ibnu Katsir
dari jalur At-Thoyyibah dalam mad untuk pengagungan. Hal ini berlaku dalam
posisi qosrul munfashil (memendekkan mad munfashil). Ibnu Katsir
memanjangkannya sebagai bentuk pengagungan meskipun ia bermadzhab qoshr,
dan bagi selainnya dari para qori, itu adalah pilihan. Hal ini diketahui oleh
orang ‘Arob dalam melodi mereka, karena mereka memanjangkan untuk pengagungan.
Di antaranya apa yang disebutkan
dalam dzikir “Subhanal Malikil Quddus” 3 kali setelah Witir, dalam Hadits:
“ia memanjangkan pada yang ketiga,” atau semacam itu dari jenis-jenis mad.
Ini adalah sesuatu yang dikenal di kalangan orang ‘Arob.
Maka seyogyanya bagi penuntut
ilmu untuk berhati-hati dari berani berbicara dalam masalah-masalah ini tanpa
memiliki ilmu yang memadai, yaitu dengan memastikan kebid’ahan sesuatu padahal
ilmunya kurang.
(3): Apakah talbiyah Ibnu ‘Umar sunnah yang Nabi ﷺ telah menyebutkannya?
Jawaban: Ibnu ‘Umar
menambahkannya setelah wafatnya Nabi ﷺ.
(4): Apakah
Sunnah dan yang paling afdhol adalah seseorang mengucapkan: “Subhanallah,
walhamdulillah, wallahu Akbar” secara bersamaan? Atau bertasbih 33 kali,
bertahmid 33 kali, dan bertakbir 33 kali?
Jawaban: Yang paling
sempurna, dan Alloh lebih mengetahui, adalah menggabungkannya: “Subhanallah,
walhamdulillah, wallahu Akbar.” Untuk dua hal:
1. Salah satunya dari segi kesempurnaan lafazh, dengan adanya
tambahan (wawu)
di antara setiap kalimat.
2. Yang kedua dari segi kesempurnaan makna, ia menggabungkan dalam
mengagungkan Alloh: tasbih, tahmid, dan takbir-Nya.
(5): Bukankah
termasuk dzikir: “Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni
‘ibadatika”?
Jawaban: Ya, itu termasuk
dzikir.
«اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ»
Namun yang shohih adalah tempat pengucapannya
sebelum salam, bukan setelahnya.
(6): Apakah
lebih utama tetap beristighfar seperti yang disebutkan oleh Al-Auza’i karena beliau adalah salah satu perowi?
Jawaban: Mengikuti apa
yang Nabi ﷺ
lazimi lebih baik daripada yang lainnya. Beliau melazimi “Astaghfirulloh wa atuubu
ilaih.”
(7): Apa
hukum menggunakan tasbih?
Jawaban: Penggunaan tasbih untuk membaca tasbih, tahlil, dan
tahmid memiliki dua keadaan:
Keadaan pertama:
Penggunaannya dengan tujuan mendekatkan diri dengannya. Ini adalah bid’ah yang
tidak disyariatkan. Maka siapa saja yang bertasbih dengan tasbih dengan tujuan
mendekatkan diri dengan perbuatannya, itu adalah bid’ah.
Keadaan kedua:
Menggunakannya untuk tujuan menghitung jumlah dan membantu dalam dzikir. Ini
boleh.
Yang paling utama adalah
seseorang bertasbih dengan jari-jarinya, sebagaimana Sunnah telah menetapkan
hal itu.
(8): Siapa
saja yang menggabungkan dua Sholat – seperti menjama’ Zhuhur dan ‘Ashar –
apakah ia mengucapkan dzikir dua kali atau satu kali?
Jawaban: Dua Sunnah ini
saling tumpang tindih di sini. Ia mengucapkan dzikir satu kali dengan niat
sebagai dzikir untuk kedua Sholat.
(9): Apakah
menghitung tasbih dilakukan dengan tangan kanan atau dengan kedua tangan?
Jawaban: Pendapat yang
paling shohih di antara para ahli ilmu adalah bahwa menghitung tasbih dilakukan
dengan kedua tangan. Hadits Abu Dawud:
«يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ بِيَمِينِهِ»
“Ia menghitung tasbih
dengan tangan kanannya” adalah syadz (keliru) dan tidak shohih.
(10): Apakah
boleh menyebarkan Hishnul Muslim, terutama karena ada beberapa perbedaan dari
dzikir yang Anda sebutkan yang shohih?
Jawaban: Ya, boleh. Dzikir-dzikir
di kitab ini berisi khilaf ulama dalam keshohihannya, dari apa yang dipilih
dari Nabi ﷺ.
Apa yang sampai pada pandangan saya yang terbatas adalah keshohihan apa yang
kami sebutkan. Siapa saja yang berbeda pendapat dalam hal itu dari ahli
pengetahuan Hadits atau orang yang mereka taklid, maka itu haknya. penyusun Hishnul
Muslim Rohimahullah sebagian besar bertaklid dalam hal itu kepada
dua ulama, Abdul ‘Aziz Ibnu Baz dan Abu ‘Abdir Rohman Al-Albani Rohimahumallah.
Maka tidak ada celaan baginya saat itu.
(11): Apakah
boleh mengucapkan dzikir dengan makna?
Jawaban: Tidak, karena
dzikir adalah sesuatu yang diibadahi dengan lafazh-lafazhnya. Oleh karena itu,
ia dikecualikan oleh ahli Hadits dari apa yang boleh diriwayatkan dengan makna.
Maka dzikir yang diibadahi dengan lafazh-lafazhnya, seseorang berpegang pada
apa yang diriwayatkan di dalamnya, dan tidak mengucapkannya dengan makna.
(12): Apakah
pantas bagi seorang Muslim untuk tidak menghafal dzikir-dzikir ini?
Jawaban: Yang pantas bagi
seorang hamba adalah banyak berdzikir kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Yang
paling agung dari itu adalah menghafal dzikir-dzikir yang ditetapkan dalam
sehari semalam, dan termasuk di antaranya dzikir-dzikir yang telah kami
sebutkan ini.
(13): Apakah
membaca Al-Ikhlash dan Al-Mu’awwidzatain setelah setiap Sholat satu kali, dan
setelah Sholat Fajar dan Maghrib 3 kali, disyariatkan?
Jawaban: Diriwayatkan
dalam hal itu Hadits yang tidak shohih. Hadits yang diriwayatkan dalam hal itu
adalah wahm (kekeliruan) dari perowi, dan tidak ada yang shohih dari
membaca Al-Qur’an dalam dzikir Sholat setelahnya kecuali Ayat Kursi.
(14):
Bagaimana menjawab orang yang mengatakan bahwa mengeraskan dzikir setelah Sholat
mengganggu orang-orang yang berdzikir? Apakah mengeraskannya termasuk Sunnah
yang ditinggalkan?
Jawaban: Apa yang Nabi ﷺ ridhoi bagi kita
adalah kebaikan bagi kita. Ketaatan kita kepada beliau serta meneladani beliau ﷺ dalam apa yang beliau
lakukan adalah bukti kejujuran kita dalam membenarkan beliau, beriman, tunduk,
dan mengikuti beliau. Beliau ﷺ
melakukan itu, maka tidak bisa dikatakan saat itu: “Sesungguhnya itu mengganggu
orang-orang yang berdzikir.” Justru, ini menghidupkan dzikir dalam jiwa mereka,
karena yang biasa terjadi adalah jika seseorang mendengar orang lain berdzikir
di dekatnya, itu menguatkannya untuk berdzikir.
Namun, jika di dekatnya ada
orang yang sedang menyempurnakan Sholatnya, maka saat itu seseorang harus
menahan diri dari mengeraskan suaranya. Ini karena Sholat membutuhkan
pengaturan dalam ruku’, sujud, dan dzikir-dzikir tertentu di dalamnya. Adapun jika
seluruh jama’ah Masjid atau orang yang Sholat telah selesai dari Sholat mereka,
maka Sunnahnya saat itu adalah mengeraskan suara, dan semua kebaikan ada pada
mengikuti Sunnah.
Di antara ungkapan yang harus dihindari adalah
ungkapan: (Termasuk Sunnah yang ditinggalkan: begini dan begitu). Karena
pengetahuan tentang keadaan seluruh
makhluk adalah milik Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Cukuplah ia mengatakan: (Termasuk
Sunnah yang sedikit diamalkan: begini dan begitu). Adapun mengklaim bahwa
Sunnah itu telah ditinggalkan secara total, itu adalah pengetahuan Alloh Subhanahu
wa Ta’ala.
(15): Apa
dalil pengkhususan pembacaan Ayat Kursi secara sirr, berbeda dzikir-dzikir
lainnya?
Jawaban: Dalilnya adalah
ijma’ (konsensus). Sesungguhnya para fuqoha bersepakat bahwa jahr
(mengeraskan suara) dikhususkan untuk dzikir-dzikir yang mengandung
pengagungan, tasbih, dan tahlil. Adapun Ayat Kursi, mereka semua menyebutkan
pembacaannya secara sirr.
(16): Apa
hukum orang yang mengucapkan dzikir setelah Sholat secara berjama’ah?
Jawaban: Itu tidak
disyariatkan. Bahkan yang disyariatkan bagi seorang hamba adalah membatasi diri
pada dzikirnya sendiri. Setiap orang yang Sholat berdzikir sendiri, dan ini ditegaskan
oleh Asy-Syathibi – dari mazhab Malikiyyah – dalam Al-I’tishom dan
lainnya, serta dari mazhab Hanabilah adalah Ibnu Taimiyyah An-Numairi. Jika
terjadi keseragaman suara di antara mereka, itu tidak membahayakan. Namun, yang
membahayakan adalah kesepakatan untuk itu secara sengaja, yaitu mereka sepakat
untuk berdzikir bersama-sama. Hal ini tidak disyariatkan.
(17): Apakah
boleh menunda dzikir sampai berdiri setelah Sholat?
Jawaban: Ya, itu boleh.
Semua keadaan adalah tempat untuk berdzikir, baik Anda mengucapkannya sambil
berdiri, duduk, atau berbaring.
(18):
Bagaimana keshohihan Hadits tentang membaca Ayat Kursi setelah Sholat?
Jawaban: Hadits Ayat
Kursi: “Siapa membaca Ayat Al-Kursi setelah setiap Sholat wajib, tidak ada yang
menghalanginya masuk Surga kecuali ia meninggal,” adalah Hadits hasan.
Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam Al-Kubro dari Hadits Muhammad bin Humair,
dari Muhammad bin Ziyad, dari Abu Umamah Rodhiyallahu ‘Anhu, dan ini
adalah sanad hasan. Muhammad bin Humair ada perbincangan tentangnya, dan Al-Bukhori meriwayatkan
darinya dalam mutaba’at.
Pendapat terbaik mengenainya adalah bahwa ia termasuk orang yang Haditsnya
dihasankan. Hadits ini telah dihasankan oleh sekelompok ahli ilmu baik dari
masa lalu maupun masa kini.
(19): Anda menyebutkan
bahwa (dubur sholah) memiliki dua makna; mengapa Hadits Mu’adz: “Allahumma
a’inni ‘ala dzikrika...” dimaknai dubur sholah dengan setelah Sholat?
Jawaban: Dihubungkan
dengan itu – menurut pendapat yang paling shohih – karena itu adalah doa. Maka
pendapat yang paling shohih di antara para ahli ilmu adalah bahwa ucapan:
«اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ»
“Allahumma a’inni
‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik” adalah pada dubur sholah
yang bersambung dengannya sebelum salam, karena itu adalah doa.
Kaidah Syari’at adalah doa
dilakukan sebelum salam, dan dzikir dilakukan setelah salam. Karena itulah,
ditarjihkan bahwa dzikir yang disebutkan dalam Hadits Mu’adz adalah sebelum
salam.
(20): Apakah
boleh berdoa setelah selesai dari dzikir Sholat?
Jawaban: Ya, itu boleh.
Jika seorang hamba telah selesai dari dzikir Sholat yang diriwayatkan dari Nabi
ﷺ,
lalu ia ingin berdoa, maka ia boleh berdoa dengan apa pun yang ia kehendaki.
Jika ia ingin mengangkat kedua tangannya, boleh, dan jika ia tidak
mengangkatnya, juga boleh. Namun, yang dilarang adalah langsung mengangkat
kedua tangan setelah salam, karena itu menyelisihi Sunnah.
(21):
Bagaimana cara menghitung dengan jari saat berdzikir?
Jawaban: Menghitung
dengan jari adalah dengan menekuk ujung jari ke arah pangkal jari. Jika Anda
menekuk ujung jari ke arah pangkalnya, maka ini disebut (‘aqd).
‘Aqd adalah melipat dan menekuk. Apa
yang dilakukan sebagian orang dengan mengetuk ruas-ruas jari sebanyak 3 kali
adalah boleh, namun itu bukan ‘aqd yang Sunnah.
(22): Apakah
boleh membaca dzikir dari kitab atau kertas?
Jawaban: Jika yang
dimaksud adalah membaca dzikir dari kitab – karena tidak hafal – maka ini
boleh. Jadi, boleh membaca dzikir dari kitab atau apa pun yang setara
dengannya, seperti kertas.
(23): Anda
mengatakan bahwa yang paling sempurna dalam istighfar adalah: “Astaghfirulloh
wa atuubu ilaih”; mengapa orang yang berdzikir tidak mengucapkan: “Astaghfirullohalladzi
la ilaha illa Huwal Hayyul Qoyyum wa atuubu ilaih”?
Jawaban: Karena istighfar
yang Nabi ﷺ
lazimi di akhir hayatnya – sebagaimana dalam Ash-Shohih dari Hadits
‘Aisyah – adalah ucapan: “Astaghfirulloh wa atuubu ilaih.” Maka itu
adalah yang paling sempurna bagi seseorang.
(24): Setelah
mengucapkan: “Allahumma Antas Salam wa minkas Salam,” sebagian orang
menambahkan: “wa ‘alaikas Salam” atau “wa ilaikas Salam.” Apakah ini shohih?
Jawaban: Dua tambahan ini
tidak diriwayatkan, maka seseorang tidak boleh menambahkannya dalam dzikirnya.
Adapun ucapan: “wa ‘alaikas
Salam” telah dilarang dalam Hadits Ibnu Mas’ud dalam Ash-Shohihain:
«لَا تَقُولُوا: السَّلَامُ عَلَى اللَّهِ؛ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ السَّلَامُ»
“Janganlah kalian
mengatakan: ‘Assalamu ‘alalloh’; karena sesungguhnya Alloh adalah
As-Salam.”
(25): Apakah
shohih Hadits: “Allahumma inni as’aluka ‘ilman nafi’a, wa rizqon thoyyiba, wa ‘amalan mutaqobbala” dalam dzikir setelah Sholat
Fajar?
Jawaban: Tidak.
«اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا،
وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا»
Ini adalah Hadits Ummu Salamah
pada Ahmad dan lainnya, dan sanadnya dho’if.
(26): Apa
hukum membaca Al-Mu’awwidzat (Suroh Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas) setelah setiap Sholat?
Jawaban: Yang sampai pada
pandangan saya, dan Alloh lebih mengetahui, adalah kelemahannya. Maka itu tidak
shohih setelah Sholat. Jika penanya bertaklid kepada salah satu ulama yang
dikenal yang menyebutkan hal itu, maka tidak masalah, karena sebagian ulama
berpendapat keshohihannya, dan Alloh lebih mengetahui.
(27): Apakah
Rosululloh ﷺ
berdzikir di Masjid sampai terbit matahari?
Jawaban: Ini tidak
shohih. Yang shohih adalah bahwa beliau tetap di tempat sholatnya sampai
matahari meninggi dan indah. Shohih bahwa saat itu beliau berbincang dengan
para Shohabatnya tentang urusan Jahiliyyah, dan shohih bahwa beliau bertanya
kepada mereka: “Siapa di antara kalian yang melihat mimpi?” Namun tidak shohih
bahwa beliau sengaja melakukannya dengan niat berdzikir.
(28): Apakah
saya boleh berdzikir kepada Alloh dengan jumlah tertentu secara terpisah dari
dzikir-dzikir yang ditetapkan secara syar’i? Misalnya, saya beristighfar 100
kali, bertasbih 100 kali, dan mengucapkan: “Subhanallohi wa bihamdih” 100 kali,
dan “La ilaha illallah wahdahu la syarika lahu...” 10 kali secara terpisah?
Jawaban: Ya, Anda boleh
melakukannya. Ini semua termasuk dzikir-dzikir. Nabi ﷺ biasa berdzikir
kepada Alloh dalam setiap keadaannya. Maka seorang hamba berdzikir kepada
Robbnya semampunya.
(29): Apa hukum
menggunakan alat tasbih untuk menghitung dzikir?
Jawaban: Sunnahnya adalah
seseorang menggunakan jari-jarinya. Nabi ﷺ bersabda:
«اعْقِدْنَ بِالأَنَامِلِ، فَإِنَّهُنَّ مَسْؤُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ»
“Hitunglah dengan
jari-jemari, karena sesungguhnya mereka akan ditanyai dan diminta berbicara.”
Maka seseorang hendaknya
berusaha keras untuk mengikuti Sunnah.
(30):
Bagaimana sifat menghitung dengan jari saat tasbih?
Jawaban: Aqd, yaitu kamu menekuk jari-jari ke pangkalnya.
Kamu membaca subhanallah walhamdulillah wallahu akbar sambil menekuknya
hingga sempurna perhitungan. Ini yang sunnah.
Jika seorang hamba menggabungkan antara
menekuk dan
melepaskannya dengan cara apa pun, itu boleh. Demikian pula jika ia hanya
membatasi pada ruas jari, ini juga boleh. Namun Sunnahnya adalah menghitung
dengan menekuk dan melipat jari ke arah telapak tangan.
(31): Apakah
diriwayatkan ucapan: “La ilaaha illallah wahdahuu laa syariika lah, lahul mulku
wa lahul hamdu, wa huwa ‘alaa kulli syai’iin qodiir” setelah Fajar 10 kali
tanpa mengubah posisi Sholat?
Jawaban: Diriwayatkan ini
dalam Hadits yang tidak shohih. Yang mahfuzh adalah bahwa itu termasuk
dzikir pagi dan sore, bukan dzikir Sholat – sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya.
(32): Mana
yang lebih utama; mengucapkan dzikir setelah Sholat lalu bangun untuk Sholat
Sunnah setelah fardhu? Atau melakukan dua roka’at Sunnah lalu dzikir Sholat?
Jawaban: Justru ia
melakukan dzikir Sholat terlebih dahulu kemudian melakukan Sholat rowatib. Karena dzikir Sholat
adalah pengikutnya. Maka
semestinya Sholat fardhu, kemudian melakukan
dzikir, lalu setelah itu melakukan Sholat rowatib.
(33): Apakah
membaca: Amanar Rosul (QS. Al-Baqoroh: 285), dan Suroh
Al-Ikhlash, serta Al-Mu’awwidzatain setelah Sholat-Sholat tidak ada dalilnya?
Jawaban: Adapun membaca
akhir Suroh Al-Baqoroh, tidak ada dalilnya. Yang ada diriwayatkan dalam Hadits Abu Mas’ud Al-Badriy
Al-Anshori Rodhiyallahu ‘Anhu dalam Ash-Shohihain:
«مَنْ قَرَأَ بِالْآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ البَقَرَةِ فِي لَيْلَةٍ
كَفَتَاهُ»
“Siapa membaca dua
ayat terakhir dari Suroh Al-Baqoroh pada suatu malam, maka itu cukup baginya.”
Keduanya dibaca setelah matahari
terbenam, dan tidak termasuk yang dibaca setelah Sholat.
Adapun Al-Mu’awwidzatain dan
Al-Ikhlash, diriwayatkan Hadits-Hadits tentangnya, yang paling terkenal adalah Hadits
Abdulloh bin Hubaib. Sebagian ahli ilmu menghasankannya, namun yang lebih
mendekati adalah bahwa itu Hadits syadz yang tidak shohih. Yang mahfuzh
di dalamnya adalah Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir dalam Shohih Muslim bahwa
Nabi ﷺ
bersabda: “Tidakkah engkau melihat ayat-ayat yang diturunkan malam ini, tidak
pernah terlihat yang serupa dengannya sama sekali: (Qul A’udzu bi Robbil
Falaq), dan (Qul A’udzu bi Robbin Nas).”
Sebagian ahli ilmu menghasankan Hadits-Hadits
yang diriwayatkan khusus tentang membaca Al-Mu’awwidzatain, adapun Suroh
Al-Ikhlash tidak demikian.
Jika seseorang beramal mengikuti
orang yang ucapannya dapat diambil dalam ilmu Hadits, maka tidak ada masalah
dalam hal itu, dan permasalahannya luas, karena itu adalah dzikir kepada Alloh.
Namun siapa saja yang ingin mengetahui yang shohih dari hal itu menurut
sebagian pendapat, maka
itu adalah yang telah kami sebutkan.
***