[PDF] Tarjamah Kitab Janazah dari Al Kitab dan As Sunnah - Dr. Abdul Azhim Badawi


 

Pengantar Pentarjamah

Yang saya lakukan dalam mentarjamah:

1. Menambah judul yang dirasa kurang, agar pembaca lebih jelas membaca alur buku.

2. Membuang takhrij dan penomoran Hadits kecuali bagian pertama, agar pembaca ringan dalam membaca, disamping penomoran penulis tidak sama dengan penomoran yang umum (Fu’ad Abdul Baqi).

Syaikh Albani merupakan mujtahid yang memiliki kapasitas mentarjih (menguatkan pendapat) yang beliau rasa paling benar, dari wajib, harom, sunnah, makruh. Namun, tidak semua pendapat beliau disepakati fuqoha dalam 4 hukum di atas, tetapi kami biarkan tanpa komentar, karena ini masalah ijtihadiyah, yang dimaklumi bersama. Secara umum pendapat beliau lebih tepat, karena berdasar Hadits shohih.

Risalah ini diringkas dari kitab “Ahkamul Janaiz” (Hukum-Hukum Janazah) karya Al-Albani.

[1] Apa yang Dilakukan Saat Sekarat?

Siapa yang telah didatangi kematian dari kalangan Muslim, disunnahkan bagi keluarganya untuk mentalqin (membimbing)nya syahadat:

Dari Abu Sa’id Al-Khudhri rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rosululloh bersabda:

«لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ»

“Talqinlah (bimbinglah) orang-orang yang hampir mati di antara kalian dengan Laa ilaha illalloh (Tiada ilah yang berhak disembah selain Alloh).” (HR. Muslim)

Sungguh Nabi memerintahkan talqin ini, harapannya agar kalimat terakhir yang diucapkan mayit adalah Laa ilaha illalloh. Dari Mu’adz bin Jabal rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rosululloh bersabda:

«مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ»

“Siapa yang akhir ucapannya adalah Laa ilaha illalloh, niscaya dia akan masuk Jannah.” (HR. Abu Dawud)

Apabila orang tersebut telah meninggal dan ruhnya telah keluar, maka ada beberapa hal yang wajib mereka lakukan:

1, 2. Memejamkan Kedua Matanya dan Mendoakannya

Dari Ummu Salamah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: Rosululloh menemui Abu Salamah rodhiyallahu ‘anhu, yang ketika itu matanya terbelalak (tertarik ke atas, sehingga tidak berkedip), lalu beliau memejamkannya. Kemudian beliau bersabda:

«إِنَّ الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ»

“Sungguh ruh itu, jika dicabut, pandangan akan mengikutinya (terbelalak).”

Beberapa anggota keluarganya berteriak histeris (gaduh). Maka beliau bersabda:

«لَا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلَّا بِخَيْرٍ، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ»

“Janganlah kalian berdoa untuk diri kalian kecuali dengan kebaikan, sebab Malaikat mengamini apa yang kalian ucapkan.”

Kemudian beliau bersabda:

«اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأَبِي سَلَمَةَ، وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي الْمَهْدِيِّينَ، وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ فِي الْغَابِرِينَ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ، وَأَفْسِحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ، وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ»

“Ya Alloh, ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya kepada orang-orang yang mendapat petunjuk, gantilah dia bagi keturunannya (yang mengurusi mereka), di kalangan orang-orang yang tersisa (yang masih hidup). Ampunilah kami dan dia, wahai Robb semesta alam. Lapangkanlah kuburnya, dan berilah cahaya di dalamnya.” (HR. Muslim)

3. Menutupinya dengan Kain yang Menutupi Seluruh Badannya

Dari A’isyah rodhiyallahu ‘anha, “Sungguh Rosululloh ketika wafat, beliau ditutup dengan kain (selimut) hibaroh (bergaris-garis).” (HR. Muslim)

4. Menyegerakan Pengurusan Janazahnya

Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, sungguh Nabi bersabda:

«أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ، فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا عَلَيْهِ، وَإِنْ تَكُنْ غَيْرَ ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ»

“Segerakanlah janazah. Jika janazah itu sholih, maka itu adalah kebaikan yang kalian segerakan kepadanya. Namun jika janazah itu selain itu (tidak sholih), maka itu adalah keburukan yang kalian lepaskan dari pundak kalian.” (HR. Al-Bukhori)

Harus ada yang segera melunasi utangnya dari harta si mayit, meskipun menghabiskan seluruh hartanya:

Dari Jabir bin Abdillah rodhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Ada seorang lelaki meninggal, lalu kami memandikannya, mengkafaninya, dan memberinya wewangian. Kami meletakkannya di tempat janazah yang biasa diletakkan untuk Rosululloh , yaitu di dekat maqom Jibril. Kemudian kami memberitahu Rosululloh untuk Sholat atasnya. Beliau datang berjalan bersama kami beberapa langkah, lalu bersabda: “Barangkali kawan kalian ini memiliki utang?”

Mereka menjawab: “Ya, 2 dinar.”

Beliau pun menahan diri (tidak mau mensholatinya). Lalu ada seorang lelaki di antara kami yang bernama Abu Qotadah rodhiyallahu ‘anhu berkata kepada beliau: “Ya Rosululloh, utang itu menjadi tanggunganku.”

Rosululloh bersabda: “2 dinar itu menjadi tanggung jawabmu, dan diambil dari hartamu, sedangkan mayit bebas darinya?”

Dia menjawab: “Ya.”

Maka beliau pun mensholatinya. Rosululloh , setiap kali bertemu Abu Qotadah rodhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Apa yang telah engkau perbuat dengan 2 dinar itu (apakah sudah engkau bayar)?”

Hingga pada pertemuan yang terakhir, dia berkata: “Sungguh aku telah melunasinya, ya Rosululloh.”

Beliau bersabda:

«اَلْآنَ حِينَ بَرَدَتْ عَلَيْهِ جِلْدُهُ»

“Sekarang barulah kulitnya menjadi dingin (tidak disiksa).” (HR. Al-Hakim)

[2] Apa yang Dibolehkan bagi Orang yang Hadir dan Selain Mereka

Dibolehkan bagi mereka untuk menyingkap wajah mayit dan menciumnya, serta menangisinya selama 3 hari:

1. Mencium Mayit

Dari A’isyah rodhiyallahu ‘anha, “Nabi menemui Utsman bin Mazh’un rodhiyallahu ‘anhu, yang ketika itu telah meninggal, lalu beliau menyingkap wajahnya, kemudian menunduk dan menciumnya, dan beliau menangis hingga aku melihat air mata mengalir di kedua pipi beliau.” (HR. Ibnu Majah)

2. Menangisi Mayit Maksimal 3 Hari

Dari Abdullah bin Ja’far rodhiyallahu ‘anhuma, “Sungguh Nabi menunda 3 hari untuk mendatangi keluarga Ja’far rodhiyallahu ‘anhu, kemudian beliau mendatangi mereka dan bersabda:

«لَا تَبْكُوا عَلَى أَخِى بَعْدَ الْيَوْمِ»

“Janganlah kalian menangisi saudaraku setelah hari ini...” (HR. Abu Dawud)

[3] Apa yang Wajib bagi Kerabat Mayit

Ada 2 hal yang wajib bagi kerabat mayit ketika sampai kepada mereka kabar kematiannya:

1. Bersabar dan Ridho Terhadap Takdir

Karena firman Alloh :

﴿وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (١٥٥) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (١٥٦) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (١٥٧)﴾

“Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (155). Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun’ (Sungguh kami adalah milik Alloh dan sungguh kepada-Nyalah kami kembali) (156). Mereka itulah yang mendapatkan Sholawat (pujian) dan rohmat dari Robb mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (157).” (QS. Al-Baqoroh: 155-157)

Dari Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rosululloh pernah melewati seorang wanita di kuburan yang sedang menangis, lalu beliau bersabda kepadanya:

«اتَّقِي اللَّهَ وَاصْبِرِي»

“Bertaqwalah kepada Alloh dan bersabarlah.”

Wanita itu menjawab: “Menjauhlah dariku, sungguh musibahku belum menimpamu.”

Dan wanita itu tidak mengenal beliau. Lalu dikatakan kepadanya: “Dia itu Rosululloh !”

Maka dia terkejut seperti akan mati. Kemudian dia mendatangi pintu Rosululloh dan tidak menemukan penjaga pintu. Dia berkata: “Ya Rosululloh, sungguh aku tidak mengenalmu.”

Rosululloh bersabda:

«إِنَّ الصَّبْرَ عِنْدَ أَوَّلِ الصَّدْمَةِ»

“Sungguh kesabaran itu (yang terbaik) adalah pada kejutan yang pertama.” (HR. Muslim)

Kesabaran atas wafatnya anak-anak memiliki pahala yang agung:

Dari Abu Sa’id Al-Khudhri rodhiyallahu ‘anhu, Para wanita berkata kepada Nabi : “Jadikanlah untuk kami 1 hari (khusus untuk kami).”

Maka beliau menasihati mereka dan bersabda:

«أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَ لَهَا ثَلَاثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ كَانُوا لَهَا حِجَابًا مِنَ النَّارِ»

“Siapa saja wanita yang ditinggal mati oleh 3 anaknya, niscaya mereka akan menjadi penghalang baginya dari Naar.”

Seorang wanita bertanya: “Bagaimana dengan 2 anak?”

Beliau menjawab:

«وَاثْنَانِ»

“2 anak (juga).” (HR. Al-Bukhori)

2. Istirja’

Perkara kedua yang wajib bagi kerabat:

Istirja’ (mengucapkan kembali kepada Alloh), yaitu mengucapkan: Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun (Sungguh kami adalah milik Alloh dan sungguh kepada-Nyalah kami kembali), sebagaimana yang datang dalam ayat Al-Qur’an. Lalu, menambahkan ucapan: Allohumma’jurni fi mushiibati wa akhlifli khoyron minhaa (Ya Alloh, berilah aku pahala dalam musibahku ini dan gantilah untukku yang lebih baik darinya).

Dari Ummu Salamah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: Aku mendengar Rosululloh bersabda:

«مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ: إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ، اللَّهُمَّ آجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا»

“Tiada seorang Muslim pun yang ditimpa musibah lalu dia mengucapkan apa yang diperintahkan Alloh (yaitu): ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Allohumma’jurni fi mushiibati wa akhlifli khoyron minhaa (Ya Alloh, berilah aku pahala dalam musibahku ini dan gantilah untukku yang lebih baik darinya)’, kecuali Alloh akan menggantikan untuknya yang lebih baik darinya.”

Dia berkata: Ketika Abu Salamah meninggal, aku berkata dalam hati: “Siapa Muslim yang lebih baik dari Abu Salamah rodhiyallahu ‘anhu, orang pertama yang berhijroh kepada Rosululloh ?”

Kemudian aku mengucapkan doa itu, maka Alloh pun menggantikan untukku Rosululloh .” (HR. Muslim)

[4] Apa yang Diharomkan bagi Kerabat Mayit

1. Niyahah (Meratapi Mayit)

Dari Abu Malik Al-Asy’ari rodhiyallahu ‘anhu, sungguh Nabi bersabda:

«أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أُمُورِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَالِاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ»

“Ada 4 perkara pada umatku termasuk urusan Jahiliyyah yang tidak mereka tinggalkan: berbangga-bangga dengan nasab, mencela nasab, meminta hujan dengan bintang, dan meratap.”

Beliau juga bersabda:

«النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ»

“Wanita yang meratap, jika dia tidak bertaubat sebelum kematiannya, niscaya akan didirikan pada Hari Kiamat dengan mengenakan pakaian dari cairan ter hitam (minyak qothiron) dan baju besi dari penyakit gatal.” (HR. Muslim)

2, 3. Menampar Pipi dan Merobek Saku Baju

Dari Abdillah bin Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi bersabda:

«لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ»

“Bukan termasuk golongan kami siapa yang menampar pipi, merobek saku baju, dan menyeru dengan seruan Jahiliyyah (niyahah).” (HR. Al-Bukhori)

4. Mencukur Rambut

Dari Abu Burdah bin Abi Musa, dia berkata: Abu Musa rodhiyallahu ‘anhu mengalami sakit, lalu dia pingsan, kepalanya berada di pangkuan salah seorang istrinya. Kemudian istri itu berteriak (menangis dengan suara keras). Abu Musa rodhiyallahu ‘anhu tidak bisa menanggapi apa-apa kepadanya. Ketika siuman, dia berkata: “Aku berlepas diri dari siapa saja yang Rosululloh berlepas diri darinya. Sungguh Rosululloh berlepas diri dari wanita yang berteriak histeris (sholiqoh), yang mencukur rambutnya (haliqoh), dan yang merobek bajunya (syaqqoh).” (HR. Al-Bukhori)

5. Mengurai (mengacak-acak) Rambut

Berdasarkan Hadits seorang wanita dari kalangan yang berbai’at kepada Nabi , dia berkata: “Termasuk perkara ma’ruf (kebaikan) yang diambil (diwajibkan) oleh Rosululloh atas kami, yang mana kami tidak boleh mendurhakainya, adalah: tidak mencakar (menampar) wajah, tidak menyeru dengan seruan celaka (wail), tidak merobek saku baju, dan tidak mengurai rambut.” (HR. Abu Dawud)

[5] Apa yang Wajib bagi Mayit

Ada 4 perkara yang wajib bagi mayit yang harus dilakukan oleh siapa saja yang hadir, baik dari keluarganya atau selain mereka: memandikannya, mengkafaninya, mensholatinya, dan menguburkannya.

[6] Memandikan

Kewajiban ini diambil dari perintah Nabi tentang hal itu dalam lebih dari 1 Hadits:

Sabda beliau tentang seorang yang sedang ihrom yang untanya menjatuhkannya hingga meninggal:

«وَاغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ»

“Mandikanlah dia dengan air dan daun sidr (bidara)...” (HR. Al-Bukhori)

Sabda beliau tentang putrinya, Zainab rodhiyallahu ‘anha:

«اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا»

“Mandikanlah dia 3 kali, atau 5 kali, atau 7 kali...” (HR. Al-Bukhori)

6.1 Tata Cara Memandikan

Dari Ummu Athiyyah rodhiyallahu ‘anha, bahwa Rosululloh bersabda kepada kaum wanita ketika memandikan putrinya:

«ابْدَأْنَ بِمَيَامِنِهَا وَمَوَاضِعِ الْوُضُوءِ مِنْهَا»

“Mulailah dari bagian kanan janazah dan tempat-tempat wudhu darinya.” (HR. Al-Bukhori)

Dari beliau (Ummu Athiyyah) rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: Nabi menemui kami saat kami sedang memandikan putrinya, lalu beliau bersabda:

«اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ»

“Mandikanlah dia 3 kali (guyuran), atau 5 kali, atau lebih dari itu jika kalian memandang perlu. Dengan air dan daun sidr (bidara). Jadikanlah pada siraman terakhir kafur (kamper) atau sedikit dari kafur. Jika kalian telah selesai, beritahu aku.”

Ketika kami telah selesai, kami memberitahu beliau. Lalu beliau memberikan kain pinggangnya (hiqwah, sarung) kepada kami dan bersabda:

«أَشْعِرْنَهَا إِيَّاهُ»

“Jadikanlah itu sebagai pakaian yang menyentuh kulitnya (menyelimutinya).” (HR. Al-Bukhori)

Dari beliau (Ummu Athiyyah) rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Kami mengepang rambutnya menjadi 3 kepangan: dua sisi kepala dan ubun-ubunnya.” (HR. Al-Bukhori)

Dari beliau (Ummu Athiyyah) rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Kami mengepang rambutnya menjadi 3 kepangan dan kami meletakkannya di belakangnya.” (HR. Al-Bukhori)

6.2 Siapa yang Mengurus Memandikan?

Yang mengurus memandikan mayit adalah siapa saja yang paling mengetahui sunnah memandikan, terutama jika dia berasal dari keluarga atau kerabatnya. Sebab, orang-orang yang mengurus memandikan beliau adalah dari kalangan keluarganya:

Dari Ali bin Abi Tholib (35 H) rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Aku memandikan Rosululloh , lalu aku memperhatikan apa yang keluar dari mayit, tetapi aku tidak melihat apa-apa. Beliau itu suci (wangi), baik ketika hidup maupun ketika wafat.” (HR. Ibnu Majah)

Wajib yang mengurus memandikan janazah laki-laki adalah para lelaki, dan janazah wanita adalah para wanita. Dikecualikan dari hal itu adalah pasangan suami istri, karena dibolehkan bagi salah satu dari keduanya untuk mengurus memandikan pasangannya:

Dari A’isyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Andai aku dapat mengulang apa yang telah kulakukan, niscaya tidak ada yang memandikan Nabi selain para istrinya.” (HR. Ibnu Majah)

Dari beliau (A’isyah) rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Rosululloh kembali kepadaku dari mengantar janazah di Baqi’, sedangkan aku sedang sakit kepala dan aku berkata: ‘Duh, kepalaku!’

Maka beliau bersabda:

«بَلْ أَنَا وَارَأْسَاهُ. مَا ضَرَّكِ لَوْ مُتِّ قَبْلِي فَغَسَّلْتُكِ وَكَفَّنْتُكِ ثُمَّ صَلَّيْتُ عَلَيْكِ وَدَفَنْتُكِ»

“Bahkan aku! Duh, kepalaku! Apa ruginya bagimu jika engkau meninggal sebelumku, lalu aku memandikanmu, mengkafaninmu, kemudian mensholatimu dan menguburkanmu?” (HR. Ibnu Majah)

6.3 Tidak Disyariatkan Memandikan Janazah Syahid yang Terbunuh di Medan Pertempuran

Dari Jabir bin Abdillah rodhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Nabi bersabda:

«اِدْفِنُوهُمْ فِي دِمَائِهِمْ -يَعْنِي يَوْمَ أُحُدٍ- وَلَمْ يَغْسِلْهُمْ»

“Kuburkanlah mereka dalam keadaan berlumuran darah mereka” -yaitu pada Perang Uhud- dan beliau tidak memandikan mereka. (HR. Al-Bukhori)

[7] Mengkafani

Kewajiban ini diambil dari perintah Nabi tentang hal itu dalam Hadits orang yang sedang ihrom yang untanya menjatuhkannya hingga meninggal:

«اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ، وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْنِ»

“Mandikanlah dia dengan air dan daun sidr (bidara), dan kafanilah dia dengan 2 helai kain...” (HR. Al-Bukhori)

Kafan atau biaya kafan diambil dari harta mayit, meskipun dia tidak meninggalkan harta lain. Hal ini berdasarkan Hadits Khobbab bin Al-Arott rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Kami berhijroh bersama Nabi mencari wajah Alloh , maka pahala kami berada di sisi Alloh. Di antara kami, ada yang meninggal dunia dan belum sempat menikmati sedikit pun pahalanya, di antaranya adalah Mush’ab bin Umair rodhiyallahu ‘anhu. Dan di antara kami, ada yang buahnya (hasil jerih payahnya) telah matang, lalu dia memetiknya. Mush’ab bin Umair rodhiyallahu ‘anhu terbunuh pada Perang Uhud, dan kami tidak mendapati kain untuk mengkafaninya selain sehelai kain burdah (selimut). Jika kami menutup kepalanya, kedua kakinya tersingkap, dan jika kami menutup kedua kakinya, kepalanya tersingkap. Maka Nabi memerintahkan kami untuk menutup kepalanya dan meletakkan tanaman idzkir (wangi) di kedua kakinya.” (HR. Al-Bukhori)

Kain kafan yang wajib adalah sehelai kain yang menutupi seluruh badan. Namun, jika tidak didapati kecuali kain yang pendek yang tidak mencukupi seluruh badan, maka kepalanya ditutup, dan diletakkan tanaman idzkir (wangi) di kedua kakinya, sebagaimana dalam Hadits Khobbab rodhiyallahu ‘anhu.

Hal-hal yang Disunnahkan dalam Kafan

Berwarna putih. Karena sabda beliau :

«اِلْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ، فَإِنَّهَا خَيْرُ ثِيَابِكُمْ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ»

“Kenakanlah pakaian putih dari pakaian kalian, karena itu adalah sebaik-baik pakaian kalian, dan kafanilah dengannya orang-orang mati di antara kalian.” (HR. At-Tirmidzi)

Terdiri dari 3 helai kain. Berdasarkan Hadits A’isyah rodhiyallahu ‘anha: “Sungguh Rosululloh dikafani dengan 3 helai kain Yaman yang berwarna putih, jenis sahuliyyah (bergaris-garis), terbuat dari kapas, tanpa gamis dan tanpa serban.” (HR. Al-Bukhori)

Salah satunya adalah kain hibaroh (bergaris-garis) jika memungkinkan. Berdasarkan Hadits Jabir rodhiyallahu ‘anhu dari beliau :

«إِذَا تُوُفِّيَ أَحَدُكُمْ فَوَجَدَ شَيْئًا فَلْيُكَفَّنْ فِي ثَوْبِ حِبَرَةٍ»

“Jika salah seorang dari kalian wafat, lalu dia mendapatkan sesuatu (kemampuan), maka hendaklah dia dikafani dengan kain hibaroh (bergaris-garis).” (HR. Abu Dawud)

[8] Mensholati

Sholat janazah bagi mayit Muslim adalah fardhu kifayah (kewajiban kolektif), karena perintah Nabi tentang hal itu dalam beberapa Hadits:

Di antaranya adalah Hadits Zaid bin Kholid Al-Juhani rodhiyallahu ‘anhu: Seorang lelaki dari Shohabat Nabi wafat pada Perang Khoibar. Mereka menyebutkan hal itu kepada Rosululloh , lalu beliau bersabda:

«صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ»

“Sholatilah kawan kalian ini.”

Maka wajah orang-orang pun berubah karena hal itu (kaget), lalu beliau bersabda:

«إِنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ»

“Sungguh kawan kalian ini telah menggelapkan harta rampasan perang di jalan Alloh.”

Kemudian kami memeriksa barang bawaannya, lalu kami menemukan manik-manik milik kaum Yahudi yang harganya tidak sampai 2 dirham. (HR. Abu Dawud)

Dikecualikan dari hal ini 2 orang, sehingga tidak wajib mensholati keduanya:

Yang pertama: Anak kecil yang belum baligh. A’isyah rodhiyallahu ‘anha berkata: “Ibrohim, putra Nabi , wafat saat berusia 18 bulan, dan Rosululloh tidak mensholatinya.” (HR. Abu Dawud)

Yang kedua: Syahid. Dari Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu, “Sungguh para syuhada Uhud tidak dimandikan, mereka dikuburkan dalam keadaan berlumuran darah, dan beliau (Nabi ) tidak mensholati mereka.” (HR. Abu Dawud)

Namun, tidak wajibnya Sholat atas keduanya tidak menafikan (menghilangkan) disyariatkannya Sholat atas keduanya:

Dari A’isyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Rosululloh pernah didatangi janazah anak kecil dari kalangan Anshor, lalu beliau mensholatinya...” (HR. Muslim)

Dari Abdillah bin Az-Zubair rodhiyallahu ‘anhuma, “Sungguh Rosululloh pada Perang Uhud memerintahkan untuk membentangkan kain burdah di atas Hamzah rodhiyallahu ‘anhu, kemudian beliau mensholatinya dengan 9 kali takbir. Kemudian didatangkan para korban yang terbunuh, mereka dijejerkan (disusun dalam shof) dan beliau mensholati mereka, termasuk Hamzah rodhiyallahu ‘anhu bersama mereka.” (HR. Ath-Thohawi, Ma’anil Atsar, 290/ 1)

Semakin banyak jumlah jama’ah Sholatnya, maka semakin afdhol (utama) dan bermanfaat bagi mayit. Berdasarkan sabda beliau :

«مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ»

“Tiada seorang mayit pun yang disholati oleh sekelompok Muslim yang mencapai 100 orang, di mana semuanya memohon syafa’at untuknya, melainkan mereka akan diberikan syafa’at (untuknya).” (HR. Muslim)

Sabda beliau juga:

«مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ، فَيَقُومُ عَلَى جِنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمُ اللَّهُ فِيهِ»

“Tiada seorang Muslim pun yang meninggal, lalu 40 orang lelaki yang tidak menyekutukan Alloh dengan sesuatu apa pun berdiri untuk mensholati janazahnya, melainkan Alloh akan mengabulkan syafa’at mereka untuknya.” (HR. Muslim)

Disunnahkan bagi jama’ah Sholat janazah untuk membuat 3 shof (barisan) di belakang Imam, meskipun jumlah mereka sedikit:

Dari Martsad Al-Yazani dari Malik bin Hubairoh rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rosululloh bersabda:

«مَا مِنْ مَيِّتٍ يَمُوتُ فَيُصَلَّى عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوفٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا أَوْجَبَ»

“Tiada seorang mayit pun yang meninggal, lalu disholati oleh 3 shof dari kaum Muslim, melainkan dia pasti masuk Jannah.”

Dia berkata: Malik bin Hubairoh rodhiyallahu ‘anhu, jika jumlah jama’ah Sholat janazah sedikit, beliau membagi mereka menjadi 3 shof, karena Hadits ini. (HR. Abu Dawud)

Apabila terkumpul beberapa janazah, baik laki-laki maupun wanita: Maka jika disholati satu per satu, ini adalah yang asal. Namun jika disholati semuanya dengan 1 Sholat saja, itu dibolehkan. Janazah laki-laki -meskipun anak kecil- diletakkan di dekat Imam, dan janazah wanita diletakkan di dekat kiblat:

Dari Nafi’ dari Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anhuma, “Sungguh dia pernah mensholati 9 janazah sekaligus, lalu janazah para lelaki diletakkan di dekat Imam dan janazah para wanita diletakkan di dekat kiblat. Beliau menjajarkan mereka dalam 1 shof. Lalu diletakkan janazah Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Tholib (35 H), istri Umar bin Al-Khoththob rodhiyallahu ‘anhu, dan putranya yang bernama Zaid bin Umar bin Al-Khoththob rodhiyallahu ‘anhuma secara bersamaan. Imam Sholat pada hari itu adalah Sa’id bin Al-Ash. Di antara para hadirin terdapat Ibnu Abbas, Abu Huroiroh, Abu Sa’id Al-Khudhri, dan Abu Qotadah. Anak laki-laki (Zaid) diletakkan di dekat Imam.”

Seorang lelaki berkata: “Aku mengingkari hal itu, lalu aku melihat kepada Ibnu Abbas, Abu Huroiroh, Abu Sa’id Al-Khudhri, dan Abu Qotadah. Aku bertanya: ‘Apa ini?’

Mereka menjawab: “Ini adalah Sunnah.” (HR. An-Nasa’i)

8.1 Di mana Sholat Janazah Dilaksanakan

Dibolehkan melaksanakan Sholat janazah di dalam Masjid:

Dari A’isyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Ketika Sa’ad bin Abi Waqqosh rodhiyallahu ‘anhu wafat, para istri Nabi mengirim pesan agar janazahnya dilewatkan di dalam Masjid agar mereka dapat mensholatinya. Maka mereka melakukannya. Janazah Sa’ad rodhiyallahu ‘anhu diletakkan di dekat kamar-kamar mereka agar mereka dapat mensholatinya, lalu janazahnya dikeluarkan melalui pintu janazah yang menuju ke tempat duduk (di luar Masjid). Sampai berita kepada para istri Nabi bahwa orang-orang mencela perbuatan itu, dan mereka berkata: “Janazah tidak pernah dibawa masuk ke Masjid.” Ketika berita itu sampai kepada A’isyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Alangkah cepatnya orang-orang mencela sesuatu yang tidak mereka ketahui! Mereka mencela kami karena janazah dilewatkan di Masjid, padahal Rosululloh tidaklah mensholati Suhail bin Baidho’ melainkan di dalam Masjid.” (HR. Muslim)

Namun, yang paling afdhol (utama) adalah mensholati janazah di luar Masjid, di tempat yang telah disiapkan khusus untuk Sholat janazah. Hal ini seperti yang dilakukan pada masa Nabi , dan itulah yang dominan dalam petunjuk beliau:

Dari Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anhuma, “Sungguh kaum Yahudi datang kepada Nabi dengan membawa seorang lelaki dan seorang wanita dari kalangan mereka yang telah berzina. Maka beliau memerintahkan agar keduanya dirajam di dekat tempat Sholat janazah, di sisi Masjid.” (HR. Al-Bukhori)

Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, “Sungguh Rosululloh mengumumkan kabar kematian An-Najasyi pada hari wafatnya. Beliau keluar menuju musholla (lapangan tempat Sholat), lalu beliau membuat shof bersama mereka dan bertakbir 4 kali.” (HR. Al-Bukhori)

Tidak dibolehkan melaksanakan Sholat janazah di antara kuburan. Karena Hadits Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu:

«أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَى أَنْ يُصَلَّى عَلَى الْجَنَائِزِ بَيْنَ الْقُبُورِ»

“Sungguh Nabi melarang untuk mensholati janazah di antara kuburan.” (HR. Ath-Thobrani, Al-Kabir, 1/ 80/ 2)

8.2 Di mana Imam Berdiri?

Dari Abu Gholib Al-Khayyath, dia berkata: Aku menyaksikan Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu mensholati janazah seorang lelaki, lalu dia berdiri di dekat kepalanya. Ketika janazah lelaki itu diangkat, didatangkan janazah seorang wanita dari Quroisy atau dari Anshor, lalu dikatakan kepadanya: “Wahai Abu Hamzah (Anas bin Malik), ini adalah janazah Fulanah binti Fulan, Sholatilah dia.” Maka dia mensholatinya dan berdiri di tengah janazah wanita itu.

Di antara kami ada Al-A’la bin Ziyad Al-Adawi. Ketika dia melihat perbedaan posisi berdirinya (Imam) atas janazah lelaki dan wanita, dia berkata: “Wahai Abu Hamzah, apakah Rosululloh memang berdiri seperti engkau berdiri untuk janazah lelaki, dan juga seperti engkau berdiri untuk janazah wanita?”

Dia menjawab: “Ya.”

Lalu Al-A’la menoleh kepada kami dan berkata: “Hafalkanlah!” (HR. Abu Dawud)

8.3 Tata Cara Sholat

Bertakbir sebanyak 4 kali, atau 5 kali, hingga 9 kali takbir. Beliau melakukan ini kadang-kadang, dan melakukan itu kadang-kadang:

Adapun 4 kali takbir: Berdasarkan Hadits Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu: “Sungguh Rosululloh mengumumkan kabar kematian An-Najasyi pada hari wafatnya. Beliau keluar menuju musholla (lapangan tempat Sholat), lalu beliau membuat shof bersama mereka dan bertakbir 4 kali.” (HR. Al-Bukhori)

Adapun 5 kali takbir: Berdasarkan Hadits Abdurrohman bin Abi Laila, dia berkata: “Zaid bin Arqom rodhiyallahu ‘anhu biasa bertakbir 4 kali atas janazah-janazah kami. Namun dia pernah bertakbir 5 kali atas suatu janazah, lalu aku bertanya kepadanya. Dia menjawab:

«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُكَبِّرُهَا»

‘Rosululloh pernah melakukannya.” (HR. Muslim)

Adapun 6 dan 7 kali takbir: Terdapat beberapa atsar mauquf (perkataan Shohabat) mengenainya, namun dihukumi marfu’ (disandarkan kepada Nabi) karena sebagian Shohabat senior melakukannya di hadapan Shohabat lain tanpa ada yang menyanggahnya:

Dari Abdillah bin Ma’qil rodhiyallahu ‘anhu, “Sungguh Ali bin Abi Tholib (35 H) mensholati Sahl bin Hunaif rodhiyallahu ‘anhu, lalu dia bertakbir 6 kali, kemudian menoleh kepada kami dan berkata: ‘Sungguh dia adalah Ahli Badr.’” (Al-Janaiz, Al-Albani, 113)

Dari Musa bin Abdillah bin Yazid rodhiyallahu ‘anhu, “Sungguh Ali bin Abi Tholib (35 H) mensholati Abu Qotadah rodhiyallahu ‘anhu, lalu dia bertakbir 7 kali, dan dia adalah Ahli Badr.” (Al-Janaiz, Al-Albani, 114)

Dari Abd Khoir, dia berkata: “Ali bin Abi Tholib (35 H) rodhiyallahu ‘anhu bertakbir 6 kali atas Ahli Badr, 5 kali atas Shohabat Nabi (selain Ahli Badr), dan 4 kali atas semua orang selain mereka.” (Al-Janaiz, Al-Albani, 113)

Adapun 9 kali takbir: Dari Abdillah bin Az-Zubair rodhiyallahu ‘anhuma, “Sungguh Nabi mensholati Hamzah rodhiyallahu ‘anhu, dan beliau bertakbir 9 kali takbir...” (HR. Ath-Thohawi, Ma’anil Atsar, 290/ 1)

Disyariatkan baginya untuk mengangkat kedua tangannya pada takbir yang pertama:

Dari Abdillah bin Abbas rodhiyallahu ‘anhuma, “Sungguh Rosululloh biasa mengangkat kedua tangannya saat Sholat janazah pada takbir yang pertama, kemudian tidak mengulanginya.” (Al-Janaiz, Al-Albani, hal 116)

Kemudian dia meletakkan tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kiri, pergelangan tangan, dan lengan bawahnya. Lalu dia mengikat (menggenggam) keduanya di atas dadanya:

Dari Sahl bin Sa’ad rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Orang-orang diperintahkan untuk meletakkan tangan kanan di atas lengan kiri saat Sholat.” (HR. Al-Bukhori)

Kemudian setelah takbir pertama, dia membaca Surat Al-Fatihah dan 1 surat pendek:

Dari Tholhah bin Abdillah bin Auf, dia berkata: “Aku pernah Sholat di belakang Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhuma atas suatu janazah. Dia membaca Surat Al-Fatihah dan 1 surat pendek, dan mengeraskan bacaan hingga kami mendengarnya. Setelah selesai, aku memegang tangannya dan bertanya kepadanya.”

Maka dia menjawab: “Aku mengeraskan bacaan hanyalah agar kalian tahu bahwa itu adalah sunnah dan kebenaran.” (HR. An-Nasa’i)

Dia membaca dengan suara lirih. Berdasarkan Hadits Abu Umamah bin Sahl, dia berkata: “Sunnah dalam Sholat janazah adalah membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah) dengan suara lirih pada takbir pertama, kemudian bertakbir 3 kali, dan mengucapkan salam pada takbir yang terakhir.” (HR. An-Nasa’i)

Kemudian dia bertakbir yang kedua, dan membaca Sholawat atas Nabi . Berdasarkan Hadits Abu Umamah bin Sahl rodhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan, yang mengabarkan kepadanya seorang lelaki dari Shohabat Nabi : “Sungguh As-Sunnah dalam Sholat janazah adalah: Imam bertakbir, kemudian membaca Surat Al-Fatihah setelah takbir pertama dengan suara lirih (dalam hati), kemudian membaca Sholawat atas Nabi , dan mengkhususkan doa bagi janazah pada 3 takbir lainnya, tidak membaca (Al-Fatihah/surat) pada takbir-takbir itu, kemudian mengucapkan salam dengan suara lirih (dalam hati).” (Al-Janaiz, Al-Albani, 122)

Kemudian dia melaksanakan sisa takbir, dan mengkhususkan doa untuk mayit di dalamnya. Berdasarkan sabda beliau :

«إِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ فَأَخْلِصُوا لَهُ الدُّعَاءَ»

“Apabila kalian mensholati mayit, maka ikhlaskanlah doa untuknya.” (HR. Abu Dawud)

Di dalam takbir-takbir tersebut dia berdoa dengan doa-doa yang tsabit (valid) dari beliau . Di antaranya adalah doa yang diriwayatkan dari Auf bin Malik rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rosululloh mensholati janazah, lalu aku menghafal doa beliau:

«اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ، وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ»

“Ya Alloh, ampunilah dia dan rohmatilah dia. Selamatkanlah dia dan maafkanlah dia. Muliakanlah tempat persinggahannya dan luaskanlah tempat masuknya. Mandikanlah dia dengan air, es, dan embun. Sucikanlah dia dari kesalahan-kesalahan sebagaimana pakaian putih dibersihkan dari kotoran. Gantilah rumahnya dengan yang lebih baik dari rumahnya, keluarganya dengan yang lebih baik dari keluarganya, dan pasangannya dengan yang lebih baik dari pasangannya. Masukkanlah dia ke dalam Jannah, dan lindungilah dia dari adzab kubur dan adzab Naar.”

Dia (Auf bin Malik) berkata: “Aku berharap, seandainya akulah mayit itu.” (HR. Muslim)

Berdoa di antara takbir terakhir dan salam disyariatkan. Berdasarkan Hadits Abu Ya’fur dari Abdillah bin Abi Aufa rodhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Aku menyaksikannya bertakbir 4 kali atas janazah, kemudian dia berdiri sebentar -maksudnya- berdoa, lalu dia berkata: ‘Menurut kalian, apakah aku bertakbir 5 kali?’”

Mereka menjawab: “Tidak.”

Dia berkata:

«إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يُكَبِّرُ أَرْبَعًا»

“Sungguh Rosululloh biasa bertakbir 4 kali.” (Al-Janaiz, Al-Albani, 126)

Kemudian dia mengucapkan 2 kali salam, seperti salam dalam Sholat wajib. Yang pertama ke kanan dan yang lainnya ke kiri. Berdasarkan Hadits Abdullah bin Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Ada 3 perkara yang biasa Rosululloh lakukan, tetapi ditinggalkan oleh orang-orang. Salah satunya adalah mengucapkan salam pada Sholat janazah, seperti salam dalam Sholat (wajib).” (Al-Janaiz, Al-Albani, 127)

Dibolehkan hanya mencukupkan pada salam yang pertama saja. Berdasarkan Hadits Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu: “Sungguh Rosululloh mensholati janazah, lalu beliau bertakbir 4 kali, dan mengucapkan 1 kali salam.” (Al-Janaiz, Al-Albani, 128)

Tidak dibolehkan melaksanakan Sholat janazah pada waktu-waktu yang diharomkan Sholat di dalamnya, kecuali jika ada kebutuhan yang mendesak. Berdasarkan Hadits Uqbah bin ‘Amir rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Ada 3 waktu yang Rosululloh melarang kami untuk Sholat di dalamnya atau menguburkan mayit kami di dalamnya: saat matahari terbit hingga meninggi, saat matahari berada tepat di tengah langit hingga tergelincir (masuk waktu Zhuhur), dan saat matahari mulai condong ke barat (menjelang terbenam) hingga benar-benar terbenam.” (HR. Muslim)

8.4 Keutamaan Sholat Janazah dan Mengiringinya

Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu dari Nabi , beliau bersabda:

«مَنْ صَلَّى عَلَى جِنَازَةٍ وَلَمْ يَتْبَعْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ، فَإِنْ تَبِعَهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ»

“Siapa yang mensholati janazah dan tidak mengikutinya, maka dia mendapatkan 1 qiroth. Dan siapa yang mengikutinya, maka dia mendapatkan 2 qiroth.”

Ditanyakan: “Apakah 2 qiroth itu?”

Beliau bersabda:

«أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ»

“Yang paling kecil dari keduanya adalah seperti Gunung Uhud.” (HR. Muslim)

Keutamaan mengikuti janazah ini hanyalah untuk para lelaki, bukan untuk para wanita. Karena Nabi melarang mereka (para wanita) untuk mengikutinya, dan larangan itu adalah larangan tanzih (tidak sampai harom). Ummu Athiyyah rodhiyallahu ‘anha berkata: “Kami dilarang mengikuti janazah, tetapi beliau tidak memaksa kami (larangan yang sangat keras).” (HR. Al-Bukhori)

Tidak dibolehkan mengiringi janazah dengan hal-hal yang menyalahi Syari’at. Sungguh telah datang nash (dalil) mengenai 2 perkara: meninggikan suara tangisan, dan mengiringinya dengan dupa. Hal itu terdapat dalam sabda beliau :

«لَا تُتْبَعُ الْجِنَازَةُ بِصَوْتٍ وَلَا نَارٍ»

“Janganlah janazah diiringi dengan suara (tangisan) dan tidak pula dengan api.” (HR. Abu Dawud)

Termasuk pula yang dilarang adalah meninggikan suara dzikir di depan janazah, karena itu adalah bid’ah (perkara baru dalam agama). Juga berdasarkan perkataan Qois bin Ubad:

«كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ ﷺ يَكْرَهُونَ رَفْعَ الصَّوْتِ عِنْدَ الْجَنَائِزِ»

“Dahulu para Shohabat Nabi membenci meninggikan suara ketika mengiringi janazah.” (Al-Janaiz, Al-Albani, 71)

Hal itu juga karena mengandung unsur menyerupai kaum Nashroni, karena mereka meninggikan suara mereka dengan sesuatu dari Injil mereka dan dzikir-dzikir mereka, disertai dengan irama dan lagu yang menyedihkan. Yang lebih buruk lagi adalah mengiringi janazah dengan alunan alat musik di depannya dengan irama yang menyedihkan, sebagaimana yang dilakukan di sebagian negeri-negeri Muslim sebagai bentuk taklid kepada orang-orang kuffar.

Hanya kepada Alloh kita memohon pertolongan.

Wajib mempercepat langkah ketika berjalan mengiringinya, dengan berjalan biasa tanpa berlari-lari kecil. Berdasarkan sabda beliau :

«أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ، فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا عَلَيْهِ، وَإِنْ تَكُنْ غَيْرَ ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ»

“Segerakanlah janazah. Jika janazah itu sholih, maka itu adalah kebaikan yang kalian segerakan kepadanya. Namun jika janazah itu selain itu (tidak sholih), maka itu adalah keburukan yang kalian lepaskan dari pundak kalian.” (HR. Al-Bukhori)

Dibolehkan berjalan di depan janazah dan di belakangnya, serta di kanan dan kirinya, asalkan berada di dekatnya. Kecuali bagi yang berkendaraan, dia berjalan di belakangnya. Berdasarkan Hadits Al-Mughiroh bin Syu’bah rodhiyallahu ‘anhu, Rosululloh bersabda:

«اَلرَّاكِبُ خَلْفَ الْجِنَازَةِ، وَالْمَاشِي حَيْثُ شَاءَ مِنْهَا»

“Orang yang berkendaraan (berjalan) di belakang janazah, sedangkan orang yang berjalan kaki boleh (berjalan) di mana saja di dekatnya.” (HR. At-Tirmidzi)

Namun, yang paling afdhol adalah berjalan di belakangnya, karena hal itu sesuai dengan tuntutan sabda Nabi : “Ikutilah janazah.”

Hal ini dikuatkan oleh perkataan Ali bin Abi Tholib (35 H) rodhiyallahu ‘anhu: “Berjalan di belakang janazah lebih afdhol daripada berjalan di depannya, seperti keutamaan Sholat seseorang secara berjama’ah dibandingkan Sholatnya sendirian.” (Al-Janaiz, Al-Albani, 74)

8.5 Apa yang Diucapkan jika Memasuki Kuburan atau Melewatinya

Dari A’isyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: Aku bertanya: “Bagaimana aku harus mengucapkan (salam) kepada mereka, ya Rosululloh?”

Beliau bersabda, “Ucapkanlah:

«السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ»

“Keselamatan atas kalian, wahai para penghuni kubur dari kalangan Mu’min dan Muslim. Semoga Alloh merohmati orang-orang yang mendahului kami dan orang-orang yang datang kemudian. Sungguh kami, in sya Alloh, akan menyusul kalian.” (HR. Muslim)

Dari Sulaiman bin Buroidah dari ayahnya rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rosululloh biasa mengajarkan mereka jika keluar ke pemakaman:

«السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ، أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ»

“Keselamatan atas kalian, wahai para penghuni kubur dari kalangan Mu’min dan Muslim. Sungguh kami, insya Alloh, akan menyusul kalian. Aku memohon kepada Alloh bagi kami dan kalian keselamatan.” (HR. Muslim)

[9] Menguburkan

Wajib menguburkan mayit meskipun dia seorang kafir. Berdasarkan sabda Nabi kepada Ali bin Abi Tholib (35 H) ketika Abu Tholib meninggal:

«اذْهَبْ فَوَارِهِ»

“Pergilah dan kuburkanlah dia.” (HR. An-Nasa’i)

Sunnahnya adalah menguburkan di pemakaman, karena Nabi biasa menguburkan janazah di pemakaman Baqi’, sebagaimana telah mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang) kabar tentang hal itu. Tidak ada riwayat dari seorang pun dari kalangan Salaf bahwa dia dikuburkan di selain pemakaman, kecuali yang juga mutawatir bahwa Nabi dikuburkan di kamarnya, dan itu adalah kekhususan beliau , sebagaimana ditunjukkan oleh Hadits A’isyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata:

“Ketika Rosululloh wafat, mereka berselisih tentang di mana beliau akan dikuburkan. Lalu Abu Bakar rodhiyallahu ‘anhu berkata: Aku mendengar sesuatu dari Rosululloh yang tidak pernah aku lupakan, beliau bersabda:

«مَا قَبَضَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُدْفَنَ فِيهِ»

‘Tidaklah Alloh mewafatkan seorang Nabi kecuali di tempat yang Dia sukai untuk dikuburkan di situ.’

Maka mereka menguburkan beliau di tempat tidurnya.” (HR. At-Tirmidzi)

Dikecualikan dari hal itu adalah para syuhada di medan pertempuran, karena mereka dikuburkan di tempat mereka syahid, dan tidak dipindahkan ke pemakaman. Berdasarkan Hadits Jabir rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

“Ketika Perang Uhud, para korban yang terbunuh diangkut untuk dikuburkan di Baqi’. Lalu penyeru Rosululloh berseru:

«إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَدْفِنُوا الْقَتْلَى فِي مَضَاجِعِهِمْ»

‘Sungguh Rosululloh memerintahkan kalian untuk menguburkan para korban yang terbunuh di tempat mereka gugur.’” (HR. Abu Dawud)

Tidak dibolehkan menguburkan janazah pada waktu-waktu berikut kecuali karena darurat:

Dari Uqbah bin ‘Amir rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Ada 3 waktu yang Rosululloh melarang kami untuk Sholat di dalamnya, atau menguburkan mayit kami di dalamnya: saat matahari terbit hingga meninggi, saat matahari berada tepat di tengah langit hingga tergelincir (masuk waktu Zhuhur), dan saat matahari mulai condong ke barat (menjelang terbenam) hingga benar-benar terbenam.” (HR. Muslim)

Dari Jabir rodhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi diberitahu tentang seorang lelaki dari Shohabatnya yang wafat lalu dikafani dengan kain kafan yang tidak sempurna dan dikuburkan pada malam hari. Maka Nabi melarang keras seseorang dikuburkan pada malam hari sampai disholati, kecuali jika seseorang terpaksa melakukannya.” (HR. Muslim)

Jika mereka terpaksa menguburkan pada malam hari, itu dibolehkan, meskipun dengan menggunakan lampu dan menurunkannya ke dalam kubur untuk memudahkan proses penguburan. Berdasarkan Hadits Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhuma: “Sungguh Rosululloh pernah memasukkan janazah seorang lelaki ke dalam kuburnya pada malam hari, dan beliau menyalakan lampu di dalam kuburnya.” (Al-Janaiz, Al-Albani, 141)

Wajib memperdalam kubur, meluaskannya, dan memperbagusnya:

Dari Hisyam bin ‘Amir rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Ketika Perang Uhud, banyak kaum Muslim yang gugur, dan orang-orang menderita luka-luka. Kami berkata: ‘Ya Rosululloh, menggali kubur untuk setiap orang sangat berat bagi kami, bagaimana engkau memerintahkan kami?’

Beliau bersabda:

«احْفِرُوا وَأَوْسِعُوا، وَأَعْمِقُوا، وَأَحْسِنُوا، وَادْفِنُوا الِاثْنَيْنِ وَالثَّلَاثَةَ فِي الْقَبْرِ، وَقَدِّمُوا أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا»

‘Galilah, luaskanlah, dalamkanlah, dan perbaguslah. Kuburkanlah 2 atau 3 orang dalam 1 kubur, dan dahulukanlah yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya.’

Dia (Hisyam) berkata: “Maka ayahku adalah orang ketiga dari 3 orang, dan dia adalah yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya, maka dia didahulukan.” (HR. An-Nasa’i)

Diperbolehkan dalam kubur membuat lahd (liang di sisi qiblat kubur) atau syaq (liang di tengah kubur), karena keduanya telah diamalkan pada masa Nabi , tetapi yang pertama (lahd) lebih afdhol. Dari Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Ketika Nabi wafat, di Madinah ada seorang lelaki yang biasa membuat lahad, dan yang lain biasa membuat dhorih (syaq). Mereka berkata: ‘Kita memohon pilihan kepada Robb kita, dan kita utus seseorang kepada keduanya. Siapa pun yang datang lebih dulu, kita serahkan kepadanya.’ Maka diutuslah seseorang kepada keduanya, dan pembuat lahad datang lebih dulu, maka mereka membuat lahad untuk Nabi .” (HR. Ibnu Majah)

Yang mengurus menurunkan mayit, meskipun mayit wanita, adalah para lelaki, bukan para wanita, karena hal itu yang biasa dilakukan pada masa beliau dan telah menjadi amalan kaum Muslim hingga hari ini.

Para wali (kerabat) mayit lebih berhak untuk menurunkannya. Berdasarkan keumuman firman Alloh :

﴿وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ﴾

“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Alloh.” (QS. Al-Ahzab: 6)

Juga berdasarkan Hadits Ali bin Abi Tholib (35 H) rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Aku memandikan Rosululloh , lalu aku memperhatikan apa yang biasa keluar dari mayit, tetapi aku tidak melihat apa-apa. Beliau itu suci (wangi), baik ketika hidup maupun ketika wafat. Yang mengurus penguburan dan pemakamannya selain orang lain adalah 4 orang: Ali, Al-Abbas, Al-Fadhl, dan Sholih, maula (bekas budak) Rosululloh . Dibuatkan lahad untuk Rosululloh dan diletakkan bata di atasnya.” (Al-Janaiz, Al-Albani, 53)

Diperbolehkan bagi suami untuk mengurus sendiri penguburan istrinya. Berdasarkan Hadits A’isyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata:

“Rosululloh menemuiku pada hari beliau mulai sakit, lalu aku berkata: ‘Duh, kepalaku!’

Beliau bersabda:

«وَدِدْتُ أَنَّ ذَلِكَ كَانَ وَأَنَا حَىٌّ، فَهَيَّأْتُكِ وَدَفَنْتُكِ»

‘Aku berharap hal itu terjadi saat aku masih hidup, sehingga aku dapat mengurusimu dan menguburkanmu...’” (HR. Al-Bukhori)

Namun, hal itu disyaratkan jika dia (suami) tidak menggauli (berhubungan intim) pada malam itu. Jika tidak, maka tidak disyariatkan baginya untuk menguburkannya, dan orang lain lebih utama untuk menguburkannya meskipun orang asing, dengan syarat yang telah disebutkan. Berdasarkan Hadits Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

“Kami menyaksikan (pemakaman) putri Rosululloh , dan Rosululloh duduk di atas kuburan. Aku melihat kedua matanya berlinang air mata, kemudian beliau bersabda:

«هَلْ مِنْكُمْ مِنْ رَجُلٍ لَمْ يُقَارِفِ اللَّيْلَةَ؟»

‘Apakah di antara kalian ada seorang lelaki yang tidak menggauli (istrinya) malam ini?’

Abu Tholhah rodhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Aku, ya Rosululloh.’

Beliau bersabda: ‘Turunlah.’

Dia (Anas) berkata: ‘Maka dia turun ke dalam kuburnya.’” (HR. Al-Bukhori)

Sunnahnya adalah memasukkan mayit dari arah belakang kubur. Berdasarkan Hadits Abu Ishaq, dia berkata:

“Al-Harits berwasiat agar Abdillah bin Yazid mensholatinya. Maka dia mensholatinya, kemudian memasukkannya ke dalam kubur dari arah kaki kubur dan berkata: ‘Ini adalah bagian dari As-Sunnah.’” (HR. Abu Dawud)

Mayit diletakkan di dalam kuburnya di atas sisi kanannya, wajahnya menghadap kiblat, kepala dan kakinya ke arah kanan dan kiri kiblat. Atas dasar inilah amalan kaum Muslim berlangsung sejak masa Rosululloh hingga hari ini.

Orang yang meletakkannya di dalam lahad mengucapkan: “Bismillaah, wa ‘ala sunnati Rosuulillaah” (Dengan nama Alloh, dan di atas sunnah Rosululloh), atau “Millati Rosuulillaah ” (Agama Rosululloh ).

Dari Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anhuma, “Sungguh Nabi ketika meletakkan mayit di dalam kubur, beliau mengucapkan:

«بِسْمِ اللَّهِ، وَعَلَى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ»

Dengan nama Alloh, dan di atas sunnah Rosululloh.” (HR. Abu Dawud)

Juga berdasarkan Hadits Al-Bayadhi rodhiyallahu ‘anhu dari Rosululloh , bahwa beliau bersabda: “Mayit jika diletakkan di dalam kuburnya, hendaklah orang-orang yang meletakkannya saat diletakkan di dalam lahad mengucapkan:

«بِاسْمِ اللَّهِ، وَبِاللَّهِ، وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ»

Dengan nama Alloh, demi Alloh, dan di atas agama Rosululloh .’” (Al-Janaiz, Al-Albani, 152)

Disunnahkan bagi siapa saja yang berada di dekat kubur untuk menaburkan tanah sebanyak 3 kali genggaman dengan kedua tangannya setelah selesai menutup lahad. Berdasarkan Hadits Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, “Sungguh Rosululloh mensholati janazah, kemudian beliau mendatangi mayit dan menaburkan tanah dari arah kepalanya sebanyak 3 kali.” (HR. Ibnu Majah)

9.1 Disunnahkan Beberapa Perkara Setelah Selesai Menguburkan

Yang pertama: Meninggikan kubur dari permukaan tanah sedikit, sekitar sejengkal, dan tidak meratakannya dengan tanah. Tujuannya adalah agar kubur itu dapat dikenali sehingga terjaga dan tidak dihinakan. Berdasarkan Hadits Jabir rodhiyallahu ‘anhu, “Nabi dibuatkan lahad untuknya, dan diletakkan bata di atasnya, dan kuburnya ditinggikan dari permukaan tanah sekitar sejengkal.” (Al-Janaiz, Al-Albani, 153)

Yang kedua: Membuatnya berbentuk punuk (cembung). Berdasarkan Hadits Sufyan At-Tammar, dia berkata:

“Aku melihat kubur Nabi berbentuk punuk.” (HR. Al-Bukhori)

Yang ketiga: Memberinya tanda dengan batu atau semacamnya, agar dapat menjadi penanda untuk menguburkan anggota keluarga lain yang meninggal. Berdasarkan Hadits Al-Muththolib bin Abi Wada’ah rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Ketika Utsman bin Mazh’un rodhiyallahu ‘anhu meninggal, janazahnya dibawa keluar dan dikuburkan. Nabi memerintahkan seorang lelaki untuk membawakannya sebuah batu, tetapi dia tidak mampu membawanya. Maka Rosululloh bangkit dan menyingsingkan lengan bajunya. Al-Muththolib berkata: ‘Orang yang mengabarkan kepadaku tentang Rosululloh berkata: ‘Seolah-olah aku melihat putihnya kedua lengan Rosululloh ketika beliau menyingsingkannya.’ Kemudian beliau membawanya dan meletakkannya di dekat kepala Utsman rodhiyallahu ‘anhu, dan bersabda:

«أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي، وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي»

‘Aku memberi tanda pada kubur saudaraku ini, dan aku akan menguburkan di dekatnya siapa saja dari keluargaku yang meninggal.’” (HR. Abu Dawud)

Yang keempat: Berdiri di atas kubur, mendoakannya agar diberi keteguhan, memohonkan ampun untuknya, dan memerintahkan para hadirin untuk melakukan hal yang sama. Berdasarkan Hadits Utsman bin Affan (35 H) rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

“Nabi , jika telah selesai menguburkan mayit, beliau berdiri di atasnya dan bersabda:

«اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ، وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ»

‘Mohonkanlah ampun untuk saudara kalian, dan mintalah keteguhan untuknya, karena sungguh dia sekarang sedang ditanya.’” (HR. Abu Dawud)

Diperbolehkan duduk di dekat kubur saat penguburan dengan tujuan mengingatkan para hadirin akan kematian dan apa yang terjadi setelahnya. Berdasarkan Hadits Al-Baro’ bin ‘Azib rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Kami keluar bersama Nabi mengiringi janazah seorang lelaki dari Anshor. Kami sampai di kubur saat lahad belum selesai digali. Rosululloh duduk, dan kami pun duduk di sekelilingnya, seolah-olah di atas kepala kami ada burung. Di tangannya ada sebatang kayu, lalu beliau mulai menggoreskannya ke tanah, kemudian beliau mengangkat kepalanya dan bersabda:

«اسْتَعِيذُوا بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ»

‘Berlindunglah kepada Alloh dari adzab kubur,’ (sebanyak) 2 atau 3 kali. Kemudian beliau bersabda: ‘Sungguh seorang hamba Mu’min, jika berada dalam keadaan akan meninggalkan dunia dan menyongsong Akhiroh, turunlah kepadanya para Malaikat dari langit yang berwajah putih, seolah-olah wajah mereka adalah matahari. Mereka membawa kafan dari kafan Jannah dan wewangian dari wewangian Jannah, hingga mereka duduk darinya sejauh mata memandang. Kemudian datanglah Malaikat Maut ‘alaihissalam hingga duduk di dekat kepalanya, lalu berkata: ‘Wahai jiwa yang baik, keluarlah menuju ampunan dari Alloh dan keridhoan.’ Maka ruh itu keluar mengalir seperti tetesan air yang mengalir dari mulut kantong air. Lalu dia (Malaikat Maut) mengambilnya. Ketika dia mengambilnya, para Malaikat (lainnya) tidak membiarkannya di tangannya sekejap mata pun sampai akhirnya mereka mengambilnya dan meletakkannya di dalam kafan dan wewangian itu. Keluarlah darinya aroma seperti aroma misk terwangi yang pernah ada di muka bumi.

Maka mereka naik membawanya. Tidaklah mereka melewati sekelompok Malaikat melainkan mereka bertanya: ‘Ruh yang baik siapakah ini?’ Mereka (para Malaikat pembawa ruh) menjawab: ‘Fulan bin Fulan,’ dengan nama terbaiknya yang biasa mereka panggil di dunia, hingga mereka sampai ke langit dunia. Mereka meminta dibukakan pintu, lalu dibukakan untuk mereka. Para Malaikat terdekat dari setiap langit mengiringinya hingga ke langit berikutnya, sampai akhirnya sampai ke langit ketujuh. Maka Alloh berfirman: ‘Tulislah kitab hamba-Ku di ‘Illiyyin, dan kembalikanlah dia ke bumi, karena sungguh dari sanalah Aku menciptakan mereka, di sanalah Aku mengembalikan mereka, dan dari sanalah Aku akan mengeluarkan mereka pada kali yang lain.’

Maka ruhnya dikembalikan ke dalam jasadnya. Lalu datanglah 2 Malaikat yang mendudukkannya, lalu keduanya bertanya: ‘Siapa Robbmu?’ Dia menjawab: ‘Robbku adalah Alloh.’ Keduanya bertanya: ‘Apa agamamu?’ Dia menjawab: ‘Agamaku adalah Islam.’ Keduanya bertanya: ‘Siapakah lelaki ini yang diutus di antara kalian?’ Dia menjawab: ‘Dia adalah Rosululloh .’ Keduanya bertanya: ‘Apa ilmumu?’ Dia menjawab: ‘Aku membaca kitab Alloh, lalu aku beriman kepadanya dan membenarkannya.’ Maka terdengarlah seruan dari langit: ‘Sungguh benar hamba-Ku, maka bentangkanlah untuknya hamparan dari Jannah, pakaikanlah untuknya pakaian dari Jannah, dan bukakanlah untuknya sebuah pintu menuju Jannah.’

Maka datanglah kepadanya aroma dan wewangian Jannah, dan dilapangkan kuburnya sejauh mata memandang.

Datanglah kepadanya seorang lelaki berwajah tampan, berpakaian indah, dan beraroma wangi, lalu berkata: ‘Bergembiralah dengan apa yang membuatmu bahagia, ini adalah harimu yang telah dijanjikan kepadamu.’

Dia (si mayit) bertanya kepadanya: ‘Siapakah engkau? Wajahmu adalah wajah yang membawa kebaikan.’ Dia menjawab: ‘Aku adalah amal sholihmu.’ Maka dia (si mayit) berkata: ‘Robb, segerakanlah Hari Kiamat agar aku dapat kembali kepada keluarga dan hartaku.’

Dan sungguh seorang hamba kafir, jika berada dalam keadaan akan meninggalkan dunia dan menyongsong Akhiroh, turunlah kepadanya dari langit para Malaikat berwajah hitam. Mereka membawa kain kasar. Mereka duduk darinya sejauh mata memandang. Kemudian datanglah Malaikat Maut hingga duduk di dekat kepalanya, lalu berkata: ‘Wahai jiwa yang keji, keluarlah menuju kemurkaan dari Alloh dan kemarahan.’

Maka ruh itu tercerai-berai di dalam jasadnya, lalu dia (Malaikat Maut) mencabutnya seperti mencabut tusuk sate dari wol yang basah. Lalu dia mengambilnya. Ketika dia mengambilnya, para Malaikat (lainnya) tidak membiarkannya di tangannya sekejap mata pun sampai mereka meletakkannya di dalam kain kasar itu. Keluarlah darinya aroma seperti aroma bangkai terbusuk yang pernah ada di muka bumi. Maka mereka naik membawanya. Tidaklah mereka melewatinya di hadapan sekelompok Malaikat melainkan mereka bertanya: ‘Ruh yang keji siapakah ini?’ Mereka (para Malaikat pembawa ruh) menjawab: ‘Fulan bin Fulan,’ dengan nama terburuknya yang biasa dipanggil di dunia, hingga sampai ke langit dunia. Dimintakan untuk dibukakan pintu, tetapi tidak dibukakan untuknya.’ Kemudian Rosululloh membaca:

﴿لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ﴾

‘Tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk Jannah, hingga unta masuk ke lubang jarum.’ (QS. Al-A’rof: 40)

Maka Alloh berfirman: ‘Tulislah kitabnya di Sijjin di bumi yang paling bawah.’ Lalu ruhnya dilemparkan.’ Kemudian beliau membaca:

﴿وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ﴾

‘Siapa yang menyekutukan (sesuatu) dengan Alloh, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.’ (QS. Al-Hajj: 31)

Maka ruhnya dikembalikan ke dalam jasadnya. Datanglah kepadanya 2 Malaikat yang mendudukkannya, lalu keduanya bertanya: ‘Siapa Robbmu?’ Dia menjawab: ‘Hah, hah, aku tidak tahu.’ Keduanya bertanya: ‘Apa agamamu?’ Dia menjawab: ‘Hah, hah, aku tidak tahu.’ Keduanya bertanya: ‘Siapakah lelaki ini yang diutus di antara kalian?’ Dia menjawab: ‘Hah, hah, aku tidak tahu.’ Maka terdengarlah seruan dari langit: ‘Sungguh dia telah berdusta, maka bentangkanlah untuknya hamparan dari Naar, dan bukakanlah untuknya sebuah pintu menuju Naar.’ Maka datanglah kepadanya panas dan angin beracun Naar, dan disempitkan kuburnya hingga tulang rusuknya saling bersilangan. Datanglah kepadanya seorang lelaki berwajah buruk, berpakaian jelek, dan beraroma busuk, lalu berkata: ‘Terimalah kabar buruk yang akan menimpamu, ini adalah harimu yang telah dijanjikan kepadamu.’ Dia (si mayit) bertanya: ‘Siapakah engkau? Wajahmu adalah wajah yang membawa keburukan.’ Dia menjawab: ‘Aku adalah amal burukmu.’ Maka dia (si mayit) berkata: ‘Robb, janganlah tegakkan Hari Kiamat.’

Dalam riwayat lain: ‘Kemudian ditugaskan kepadanya (Malaikat) yang buta, tuli, dan bisu. Di tangannya ada sebuah palu godam yang jika dipukulkan ke gunung, niscaya akan menjadi debu. Dia memukulnya sekali hingga menjadi debu. Kemudian Alloh mengembalikannya seperti semula, lalu dia memukulnya lagi. Dia berteriak dengan teriakan yang didengar oleh segala sesuatu kecuali jin dan manusia.’” (Al-Janaiz, Al-Albani, 159)

9.2 Ta’ziyah

Disyariatkan berta’ziyah kepada keluarga mayit dengan ucapan yang diperkirakan dapat menghibur mereka, meredakan kesedihan mereka, dan mendorong mereka untuk ridho dan sabar, dengan ucapan yang valid dari Nabi jika dia mengetahuinya dan mengingatnya. Jika tidak, maka dengan ucapan baik apa pun yang mudah baginya yang dapat mencapai tujuan dan tidak bertentangan dengan syari’at:

Dari Usamah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Kami berada di sisi Nabi , lalu salah seorang putri beliau mengutus seseorang untuk memanggil beliau dan mengabarkan bahwa anaknya, laki-laki atau perempuan, sedang dalam keadaan sakarotul maut.

Rosululloh bersabda:

«ارْجِعْ إِلَيْهَا فَأَخْبِرْهَا: أَنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ، وَلَهُ مَا أَعْطَى، وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى، فَمُرْهَا فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ»

‘Kembalilah kepadanya dan kabarkanlah: Sungguh milik Alloh apa yang Dia ambil, dan milik-Nya apa yang Dia berikan. Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ajal yang telah ditentukan. Maka perintahkanlah dia untuk bersabar dan mengharap pahala...’” (HR. Al-Bukhori)

Hendaknya menghindari 2 perkara meskipun orang-orang telah terbiasa melakukannya:

1. Berkumpul untuk ta’ziyah di tempat khusus seperti rumah, pemakaman, atau Masjid.

2. Keluarga mayit membuat makanan untuk menjamu orang-orang yang datang untuk ta’ziyah.

Hal itu berdasarkan Hadits Jarir bin Abdillah Al-Bajali rodhiyallahu ‘anhu:

“Kami menganggap berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan setelah penguburannya termasuk niyahah (meratap).” (HR. Ibnu Majah)

Sunnahnya adalah kerabat dan tetangga mayit membuatkan makanan yang mengenyangkan untuk keluarga mayit. Berdasarkan Hadits Abdullah bin Ja’far rodhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Ketika datang kabar kematian Ja’far rodhiyallahu ‘anhu saat dia terbunuh, Nabi bersabda:

«اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا، فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ، أَوْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ»

‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena sungguh telah datang kepada mereka suatu urusan yang menyibukkan mereka.’” (HR. Abu Dawud)

9.3 Apa yang Bermanfaat bagi Mayit

Mayit dapat mengambil manfaat dari amalan orang lain dalam beberapa hal:

1) Doa seorang Muslim untuknya. Berdasarkan firman Alloh :

﴿وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ﴾

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: ‘Ya Robb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Robb kami, sungguh Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Al-Hasyr: 10)

Juga berdasarkan sabda Nabi :

«دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ، كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ»

“Doa seorang Muslim untuk saudaranya dari kejauhan (tanpa sepengetahuannya) itu mustajab. Di dekat kepalanya ada seorang Malaikat yang ditugaskan. Setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, Malaikat yang ditugaskan itu berkata: ‘Aamiin, dan untukmu yang semisal.’” (HR. Muslim)

2) Pelunasan utang darinya oleh siapa pun. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya tentang pelunasan 2 dinar oleh Abu Qotadah rodhiyallahu ‘anhu untuk seorang mayit.

3) Pelunasan nadzar darinya, baik Puasa atau lainnya. Berdasarkan Hadits Sa’ad bin Ubadah rodhiyallahu ‘anhu, bahwa dia meminta fatwa kepada Rosululloh dan berkata: “Sungguh ibuku meninggal dan dia memiliki utang nadzar?”

Beliau bersabda:

«اقْضِهِ عَنْهَا»

Lunasilah untuknya.” (HR. Al-Bukhori)

4) Apa yang dilakukan oleh anak sholih dari amalan-amalan sholih:

Alloh berfirman:

﴿وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى﴾

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)

Nabi bersabda:

«إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَدَهُ مِنْ كَسْبِهِ»

“Sungguh sebaik-baik apa yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya sendiri, dan sungguh anaknya adalah dari hasil usahanya.” (HR. Abu Dawud)

5) Apa yang dia tinggalkan berupa jejak-jejak kebaikan dan sedekah jariyah:

Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, bahwa Rosululloh bersabda:

«إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ»

“Jika manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali dari 3 perkara: sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

9.4 Ziarah Kubur

Disyariatkan ziarah kubur untuk mengambil pelajaran dan mengingat Akhiroh, dengan syarat tidak mengucapkan di sana apa yang membuat murka Robb , seperti berdoa kepada penghuni kubur dan meminta pertolongan kepadanya selain kepada Alloh dan semacamnya. Dari Abu Sa’id Al-Khudhri rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rosululloh bersabda:

«إِنِّي نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّ فِيهَا عِبْرَةً، وَلَا تَقُولُوا مَا يُسْخِطُ الرَّبَّ»

“Sungguh aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur, maka sekarang ziarahilah, karena sungguh di dalamnya terdapat pelajaran. Dan janganlah kalian mengucapkan apa yang membuat murka Robb.” (Al-Janaiz, Al-Albani, 179)

Para wanita seperti para lelaki dalam hal disunnahkannya ziarah kubur, karena mereka juga memiliki alasan yang sama mengapa ziarah kubur disyariatkan. Juga berdasarkan apa yang telah disebutkan sebelumnya tentang apa yang diucapkan saat ziarah, bahwa A’isyah rodhiyallahu ‘anha bertanya kepada Rosululloh apa yang harus dia ucapkan jika berziarah kubur.

Maka beliau mengajarinya apa yang harus diucapkan dan tidak melarangnya, dan tidak menjelaskan bahwa wanita tidak boleh berziarah.

9.5 Apa yang Diharomkan di Kuburan

1) Menyembelih untuk Alloh . Karena sabda beliau :

«لَا عَقْرَ فِي الْإِسْلَامِ»

“Tidak ada penyembelihan (hewan) di kuburan dalam Islam.”

Abdurrozzaq bin Hammam berkata: “Mereka dahulu biasa menyembelih sapi atau kambing di kuburan.” (HR. Abu Dawud)

2-6) Apa yang terkandung dalam Hadits ini:

Dari Jabir rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rosululloh melarang kuburan dikapur, diduduki, dibangun di atasnya, ditambahi (tanah/bangunan) di atasnya, atau ditulis di atasnya.” (HR. Abu Dawud)

7) Sholat menghadap ke arahnya. Karena sabda beliau :

«لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ»

“Janganlah kalian Sholat menghadap ke kuburan...” (HR. Muslim)

8) Sholat di dekatnya meskipun tidak menghadapnya.

Dari Abu Sa’id Al-Khudhri rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rosululloh bersabda:

«الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ»

“Seluruh bumi adalah Masjid, kecuali pemakaman dan kamar mandi.” (HR. Abu Dawud)

9) Membangun Masjid di atasnya. Dari A’isyah dan Abdullah bin Abbas rodhiyallahu ‘anhum, keduanya berkata:

“Ketika (sakarotul maut) datang kepada Rosululloh , beliau mulai meletakkan selimutnya di atas wajahnya. Ketika beliau merasa sesak, beliau menyingkapnya dari wajahnya dan bersabda dalam keadaan seperti itu:

«لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ»

‘Laknat Alloh atas kaum Yahudi dan Nashroni, mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai Masjid.’ Beliau memperingatkan dari apa yang mereka perbuat.” (HR. Al-Bukhori)

Dari A’isyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: Rosululloh bersabda dalam sakitnya yang tidak membuatnya bangkit lagi:

«لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ»

“Alloh melaknat kaum Yahudi dan Nashroni, mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai Masjid.”

Dia (A’isyah) berkata: “Kalau bukan karena itu, niscaya kubur beliau akan ditampakkan, hanya saja dikhawatirkan akan dijadikan Masjid.” (HR. Al-Bukhori)

10) Menjadikannya sebagai hari raya, yang dikunjungi pada waktu-waktu tertentu dan musim-musim yang dikenal, untuk beribadah di sana atau untuk tujuan lain. Berdasarkan Hadits Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rosululloh bersabda:

«لَا تَتَّخِذُوا قَبْرِي عِيدًا، وَلَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا، وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي»

“Janganlah kalian menjadikan kuburku sebagai hari raya, dan janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Di mana pun kalian berada, bersholawatlah kepadaku, karena sungguh Sholawat kalian akan sampai kepadaku.” (HR. Abu Dawud)

11) Melakukan perjalanan khusus ke sana:

Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu dari Nabi , beliau bersabda:

«لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ ﷺ، وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى»

“Janganlah melakukan perjalanan safar (dengan niat ibadah) kecuali ke 3 Masjid: Masjidil Harom, Masjid Rosul , dan Masjidil Aqsho.” (HR. Al-Bukhori)

12) Menyalakan lampu di atasnya, karena itu adalah bid’ah yang tidak dikenal oleh Salafush Sholih, dan beliau telah bersabda:

«كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ»

“Setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan berada di dalam Naar.” (HR. Abu Dawud)

Di dalamnya juga terdapat penyia-nyiaan harta, dan itu dilarang berdasarkan nash (dalil). Berdasarkan sabda beliau :

«إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا: قِيلَ وَقَالَ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ»

“Sungguh Alloh membenci 3 hal bagi kalian: qiila wa qoola (desas-desus), menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.” (HR. Al-Bukhori)

13) Mematahkan tulangnya. Karena sabda beliau :

«إِنَّ كَسْرَ عَظْمِ الْمُؤْمِنِ مَيِّتًا مِثْلُ كَسْرِهِ حَيًّا»

“Sungguh mematahkan tulang seorang Mu’min saat dia telah meninggal sama seperti mematahkannya saat dia masih hidup.” (HR. Abu Dawud)

***

 


Unduh PDF

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url