[PDF] Tarjamah Kitab Janazah dari Al Kitab dan As Sunnah - Dr. Abdul Azhim Badawi
Pengantar Pentarjamah
﷽
Yang saya lakukan dalam mentarjamah:
1. Menambah judul yang dirasa kurang, agar pembaca lebih jelas membaca alur
buku.
2. Membuang takhrij dan penomoran Hadits kecuali bagian pertama,
agar pembaca ringan dalam membaca, disamping penomoran penulis tidak sama
dengan penomoran yang umum (Fu’ad Abdul Baqi).
Syaikh Albani merupakan mujtahid yang memiliki kapasitas mentarjih (menguatkan
pendapat) yang beliau rasa paling benar, dari wajib, harom, sunnah, makruh.
Namun, tidak semua pendapat beliau disepakati fuqoha dalam 4 hukum di atas,
tetapi kami biarkan tanpa komentar, karena ini masalah ijtihadiyah, yang
dimaklumi bersama. Secara umum pendapat beliau lebih tepat, karena berdasar
Hadits shohih.
﷽
Risalah ini
diringkas dari kitab “Ahkamul Janaiz” (Hukum-Hukum Janazah) karya
Al-Albani.
[1] Apa yang Dilakukan Saat
Sekarat?
Siapa yang telah didatangi kematian dari kalangan Muslim, disunnahkan
bagi keluarganya untuk mentalqin (membimbing)nya syahadat:
Dari Abu Sa’id Al-Khudhri rodhiyallahu ‘anhu, dia
berkata: Rosululloh ﷺ
bersabda:
«لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ»
“Talqinlah (bimbinglah) orang-orang yang hampir mati di
antara kalian dengan Laa ilaha illalloh (Tiada ilah yang berhak
disembah selain Alloh).” (HR. Muslim)
Sungguh Nabi ﷺ
memerintahkan talqin ini, harapannya agar kalimat terakhir yang diucapkan mayit
adalah Laa ilaha illalloh. Dari Mu’adz bin Jabal rodhiyallahu ‘anhu,
dia berkata: Rosululloh ﷺ
bersabda:
«مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ»
“Siapa yang akhir ucapannya adalah Laa ilaha illalloh,
niscaya dia akan masuk Jannah.” (HR. Abu Dawud)
Apabila orang tersebut telah meninggal dan ruhnya telah
keluar, maka ada beberapa hal yang wajib mereka lakukan:
1, 2. Memejamkan Kedua Matanya dan Mendoakannya
Dari Ummu Salamah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata:
Rosululloh ﷺ menemui Abu Salamah rodhiyallahu
‘anhu, yang ketika itu matanya terbelalak (tertarik ke atas, sehingga tidak
berkedip), lalu beliau ﷺ
memejamkannya. Kemudian beliau ﷺ
bersabda:
«إِنَّ الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ
تَبِعَهُ الْبَصَرُ»
“Sungguh ruh itu, jika dicabut, pandangan akan mengikutinya
(terbelalak).”
Beberapa
anggota keluarganya berteriak histeris (gaduh). Maka beliau ﷺ
bersabda:
«لَا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ
إِلَّا بِخَيْرٍ، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ»
“Janganlah kalian berdoa untuk diri kalian kecuali dengan
kebaikan, sebab Malaikat mengamini apa yang kalian ucapkan.”
Kemudian beliau ﷺ
bersabda:
«اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأَبِي
سَلَمَةَ، وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي الْمَهْدِيِّينَ، وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ فِي
الْغَابِرِينَ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ، وَأَفْسِحْ لَهُ فِي
قَبْرِهِ، وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ»
“Ya Alloh, ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya kepada
orang-orang yang mendapat petunjuk, gantilah dia bagi keturunannya (yang
mengurusi mereka), di kalangan orang-orang yang tersisa (yang masih hidup).
Ampunilah kami dan dia, wahai Robb semesta alam. Lapangkanlah kuburnya, dan
berilah cahaya di dalamnya.” (HR. Muslim)
3. Menutupinya dengan Kain yang Menutupi Seluruh
Badannya
Dari A’isyah rodhiyallahu ‘anha, “Sungguh Rosululloh ﷺ ketika wafat, beliau
ditutup dengan kain (selimut) hibaroh (bergaris-garis).” (HR. Muslim)
4. Menyegerakan Pengurusan Janazahnya
Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, sungguh Nabi ﷺ bersabda:
«أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ،
فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا عَلَيْهِ، وَإِنْ تَكُنْ غَيْرَ ذَلِكَ
فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ»
“Segerakanlah janazah. Jika janazah itu sholih, maka itu
adalah kebaikan yang kalian segerakan kepadanya. Namun jika janazah itu selain
itu (tidak sholih), maka itu adalah keburukan yang kalian lepaskan dari pundak
kalian.” (HR. Al-Bukhori)
Harus ada
yang segera melunasi utangnya dari harta si mayit, meskipun menghabiskan seluruh
hartanya:
Dari Jabir bin Abdillah rodhiyallahu ‘anhuma, dia
berkata: “Ada seorang lelaki meninggal, lalu kami memandikannya, mengkafaninya,
dan memberinya wewangian. Kami meletakkannya di tempat janazah yang biasa diletakkan
untuk Rosululloh ﷺ,
yaitu di dekat maqom Jibril. Kemudian kami memberitahu Rosululloh ﷺ untuk Sholat atasnya.
Beliau ﷺ datang berjalan
bersama kami beberapa langkah, lalu bersabda: “Barangkali kawan kalian ini
memiliki utang?”
Mereka menjawab: “Ya, 2 dinar.”
Beliau ﷺ
pun menahan diri (tidak mau mensholatinya). Lalu ada seorang lelaki di antara
kami yang bernama Abu Qotadah rodhiyallahu ‘anhu berkata kepada beliau: “Ya
Rosululloh, utang itu menjadi tanggunganku.”
Rosululloh ﷺ
bersabda: “2 dinar itu menjadi tanggung jawabmu, dan diambil dari hartamu,
sedangkan mayit bebas darinya?”
Dia menjawab: “Ya.”
Maka beliau pun mensholatinya. Rosululloh ﷺ, setiap kali bertemu
Abu Qotadah rodhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Apa yang telah engkau
perbuat dengan 2 dinar itu (apakah sudah engkau bayar)?”
Hingga pada pertemuan yang terakhir, dia berkata: “Sungguh
aku telah melunasinya, ya Rosululloh.”
Beliau ﷺ
bersabda:
«اَلْآنَ حِينَ بَرَدَتْ
عَلَيْهِ جِلْدُهُ»
“Sekarang barulah kulitnya menjadi dingin (tidak disiksa).” (HR. Al-Hakim)
[2] Apa yang Dibolehkan bagi Orang
yang Hadir dan Selain Mereka
Dibolehkan bagi mereka untuk menyingkap wajah mayit dan
menciumnya, serta menangisinya selama 3 hari:
1. Mencium Mayit
Dari A’isyah rodhiyallahu ‘anha, “Nabi ﷺ menemui Utsman bin
Mazh’un rodhiyallahu ‘anhu, yang ketika itu telah meninggal, lalu beliau
ﷺ menyingkap wajahnya,
kemudian menunduk dan menciumnya, dan beliau menangis hingga aku melihat air
mata mengalir di kedua pipi beliau.” (HR. Ibnu Majah)
2. Menangisi Mayit Maksimal 3 Hari
Dari Abdullah bin Ja’far rodhiyallahu ‘anhuma, “Sungguh
Nabi ﷺ menunda 3 hari untuk
mendatangi keluarga Ja’far rodhiyallahu ‘anhu, kemudian beliau
mendatangi mereka dan bersabda:
«لَا تَبْكُوا عَلَى أَخِى
بَعْدَ الْيَوْمِ»
“Janganlah kalian menangisi saudaraku setelah hari ini...” (HR.
Abu Dawud)
[3] Apa yang Wajib bagi Kerabat
Mayit
Ada 2 hal yang wajib bagi kerabat mayit ketika sampai
kepada mereka kabar kematiannya:
1. Bersabar dan Ridho Terhadap Takdir
Karena firman Alloh ﷻ:
﴿وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ
مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (١٥٥) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا
لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (١٥٦) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ
وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (١٥٧)﴾
“Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Berilah kabar gembira
kepada orang-orang yang sabar (155). Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa
musibah, mereka mengucapkan: ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun’
(Sungguh kami adalah milik Alloh dan sungguh kepada-Nyalah kami kembali) (156).
Mereka itulah yang mendapatkan Sholawat (pujian) dan rohmat dari Robb mereka.
Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (157).” (QS. Al-Baqoroh:
155-157)
Dari Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
Rosululloh ﷺ pernah melewati
seorang wanita di kuburan yang sedang menangis, lalu beliau ﷺ bersabda kepadanya:
«اتَّقِي اللَّهَ وَاصْبِرِي»
“Bertaqwalah kepada Alloh dan bersabarlah.”
Wanita itu menjawab: “Menjauhlah dariku, sungguh musibahku
belum menimpamu.”
Dan wanita itu tidak mengenal beliau. Lalu dikatakan
kepadanya: “Dia itu Rosululloh ﷺ!”
Maka dia terkejut seperti akan mati. Kemudian dia mendatangi
pintu Rosululloh ﷺ
dan tidak menemukan penjaga pintu. Dia berkata: “Ya Rosululloh, sungguh aku tidak
mengenalmu.”
Rosululloh ﷺ
bersabda:
«إِنَّ الصَّبْرَ عِنْدَ
أَوَّلِ الصَّدْمَةِ»
“Sungguh kesabaran itu (yang terbaik) adalah pada kejutan
yang pertama.” (HR. Muslim)
Kesabaran atas wafatnya anak-anak memiliki pahala yang
agung:
Dari Abu Sa’id Al-Khudhri rodhiyallahu ‘anhu, Para
wanita berkata kepada Nabi ﷺ:
“Jadikanlah untuk kami 1 hari (khusus untuk kami).”
Maka beliau ﷺ
menasihati mereka dan bersabda:
«أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَ
لَهَا ثَلَاثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ كَانُوا لَهَا حِجَابًا مِنَ النَّارِ»
“Siapa saja wanita yang ditinggal mati oleh 3 anaknya,
niscaya mereka akan menjadi penghalang baginya dari Naar.”
Seorang wanita bertanya: “Bagaimana dengan 2 anak?”
Beliau ﷺ
menjawab:
«وَاثْنَانِ»
“2 anak (juga).” (HR. Al-Bukhori)
2.
Istirja’
Perkara kedua yang wajib bagi kerabat:
Istirja’ (mengucapkan kembali kepada Alloh), yaitu
mengucapkan: Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun (Sungguh kami
adalah milik Alloh dan sungguh kepada-Nyalah kami kembali), sebagaimana yang
datang dalam ayat Al-Qur’an. Lalu, menambahkan ucapan: Allohumma’jurni fi
mushiibati wa akhlifli khoyron minhaa (Ya Alloh, berilah aku pahala dalam
musibahku ini dan gantilah untukku yang lebih baik darinya).
Dari Ummu Salamah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata:
Aku mendengar Rosululloh ﷺ
bersabda:
«مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ
مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ: إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ،
اللَّهُمَّ آجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا أَخْلَفَ
اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا»
“Tiada seorang Muslim pun yang ditimpa musibah lalu dia
mengucapkan apa yang diperintahkan Alloh (yaitu): ‘Innaa lillaahi wa innaa
ilaihi rooji’uun. Allohumma’jurni fi mushiibati wa akhlifli khoyron minhaa
(Ya Alloh, berilah aku pahala dalam musibahku ini dan gantilah untukku yang
lebih baik darinya)’, kecuali Alloh akan menggantikan untuknya yang lebih baik
darinya.”
Dia berkata: Ketika Abu Salamah meninggal, aku berkata dalam
hati: “Siapa Muslim yang lebih baik dari Abu Salamah rodhiyallahu ‘anhu,
orang pertama yang berhijroh kepada Rosululloh ﷺ?”
Kemudian aku mengucapkan doa itu, maka Alloh pun
menggantikan untukku Rosululloh ﷺ.”
(HR. Muslim)
[4] Apa yang
Diharomkan bagi Kerabat Mayit
1. Niyahah (Meratapi Mayit)
Dari Abu Malik Al-Asy’ari rodhiyallahu ‘anhu, sungguh
Nabi ﷺ bersabda:
«أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي
مِنْ أُمُورِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ
فِي الْأَنْسَابِ، وَالِاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ»
“Ada 4 perkara pada umatku termasuk urusan Jahiliyyah yang
tidak mereka tinggalkan: berbangga-bangga dengan nasab, mencela nasab, meminta
hujan dengan bintang, dan meratap.”
Beliau ﷺ
juga bersabda:
«النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ
تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ
وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ»
“Wanita yang meratap, jika dia tidak bertaubat sebelum
kematiannya, niscaya akan didirikan pada Hari Kiamat dengan mengenakan pakaian
dari cairan ter hitam (minyak qothiron)
dan baju besi dari penyakit gatal.” (HR. Muslim)
2, 3. Menampar Pipi dan Merobek Saku Baju
Dari Abdillah bin Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu, dia
berkata: Nabi ﷺ
bersabda:
«لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ
الْخُدُودَ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ»
“Bukan termasuk golongan kami siapa yang menampar pipi,
merobek saku baju, dan menyeru dengan seruan Jahiliyyah (niyahah).” (HR. Al-Bukhori)
4. Mencukur Rambut
Dari Abu Burdah bin Abi Musa, dia berkata: Abu Musa rodhiyallahu
‘anhu mengalami sakit, lalu dia pingsan, kepalanya berada di pangkuan salah
seorang istrinya. Kemudian istri
itu berteriak (menangis dengan suara keras). Abu Musa rodhiyallahu ‘anhu
tidak bisa menanggapi apa-apa kepadanya. Ketika siuman, dia berkata: “Aku
berlepas diri dari siapa saja yang Rosululloh ﷺ berlepas diri darinya. Sungguh Rosululloh ﷺ berlepas diri dari
wanita yang berteriak histeris (sholiqoh), yang mencukur rambutnya (haliqoh),
dan yang merobek bajunya (syaqqoh).” (HR. Al-Bukhori)
5. Mengurai (mengacak-acak) Rambut
Berdasarkan Hadits seorang wanita dari kalangan yang berbai’at
kepada Nabi ﷺ,
dia berkata: “Termasuk perkara ma’ruf (kebaikan) yang diambil (diwajibkan)
oleh Rosululloh ﷺ
atas kami, yang mana kami tidak boleh mendurhakainya, adalah: tidak mencakar
(menampar) wajah, tidak menyeru dengan seruan celaka (wail), tidak
merobek saku baju, dan tidak mengurai rambut.” (HR. Abu Dawud)
[5] Apa yang Wajib
bagi Mayit
Ada 4 perkara yang wajib bagi mayit yang harus
dilakukan oleh siapa saja yang hadir, baik dari keluarganya atau selain mereka:
memandikannya, mengkafaninya, mensholatinya, dan menguburkannya.
[6] Memandikan
Kewajiban ini diambil dari perintah Nabi ﷺ tentang hal itu dalam
lebih dari 1 Hadits:
Sabda beliau ﷺ
tentang seorang yang sedang ihrom yang untanya menjatuhkannya hingga meninggal:
«وَاغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ»
“Mandikanlah dia dengan air dan daun sidr (bidara)...”
(HR. Al-Bukhori)
Sabda beliau ﷺ
tentang putrinya, Zainab rodhiyallahu ‘anha:
«اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا
أَوْ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا»
“Mandikanlah dia 3 kali, atau 5 kali, atau 7 kali...” (HR.
Al-Bukhori)
6.1 Tata Cara Memandikan
Dari Ummu Athiyyah rodhiyallahu ‘anha, bahwa
Rosululloh ﷺ bersabda kepada kaum
wanita ketika memandikan putrinya:
«ابْدَأْنَ بِمَيَامِنِهَا
وَمَوَاضِعِ الْوُضُوءِ مِنْهَا»
“Mulailah dari bagian kanan janazah dan tempat-tempat wudhu
darinya.” (HR. Al-Bukhori)
Dari beliau (Ummu Athiyyah) rodhiyallahu ‘anha, dia
berkata: Nabi ﷺ
menemui kami saat kami sedang memandikan putrinya, lalu beliau ﷺ bersabda:
«اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا
أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ»
“Mandikanlah dia 3 kali (guyuran), atau 5 kali, atau lebih dari itu jika kalian
memandang perlu. Dengan air dan daun sidr (bidara). Jadikanlah pada
siraman terakhir kafur (kamper) atau sedikit dari kafur. Jika kalian telah
selesai, beritahu aku.”
Ketika kami telah selesai, kami memberitahu beliau. Lalu
beliau ﷺ memberikan kain
pinggangnya (hiqwah, sarung) kepada kami dan bersabda:
«أَشْعِرْنَهَا إِيَّاهُ»
“Jadikanlah itu sebagai pakaian yang menyentuh kulitnya
(menyelimutinya).” (HR. Al-Bukhori)
Dari beliau (Ummu Athiyyah) rodhiyallahu ‘anha, dia
berkata: “Kami mengepang rambutnya menjadi 3 kepangan: dua sisi kepala dan
ubun-ubunnya.” (HR. Al-Bukhori)
Dari beliau (Ummu Athiyyah) rodhiyallahu ‘anha, dia
berkata: “Kami mengepang rambutnya menjadi 3 kepangan dan kami meletakkannya di
belakangnya.” (HR. Al-Bukhori)
6.2
Siapa yang Mengurus Memandikan?
Yang mengurus memandikan mayit adalah siapa saja yang paling
mengetahui sunnah memandikan,
terutama jika dia berasal dari keluarga atau kerabatnya. Sebab, orang-orang
yang mengurus memandikan beliau ﷺ
adalah dari kalangan keluarganya:
Dari Ali bin Abi Tholib (35 H) rodhiyallahu ‘anhu,
dia berkata: “Aku memandikan Rosululloh ﷺ, lalu aku memperhatikan apa yang keluar dari mayit, tetapi aku
tidak melihat apa-apa. Beliau ﷺ
itu suci (wangi), baik ketika hidup maupun ketika wafat.” (HR. Ibnu Majah)
Wajib yang mengurus memandikan janazah laki-laki
adalah para lelaki, dan janazah wanita adalah para wanita. Dikecualikan dari
hal itu adalah pasangan suami istri, karena dibolehkan bagi salah satu dari
keduanya untuk mengurus memandikan pasangannya:
Dari A’isyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Andai
aku dapat mengulang apa yang telah kulakukan, niscaya tidak ada yang memandikan
Nabi ﷺ selain para istrinya.”
(HR. Ibnu Majah)
Dari beliau (A’isyah) rodhiyallahu ‘anha, dia
berkata: “Rosululloh ﷺ
kembali kepadaku dari mengantar janazah di Baqi’, sedangkan aku sedang sakit
kepala dan aku berkata: ‘Duh, kepalaku!’
Maka beliau ﷺ
bersabda:
«بَلْ أَنَا وَارَأْسَاهُ.
مَا ضَرَّكِ لَوْ مُتِّ قَبْلِي فَغَسَّلْتُكِ وَكَفَّنْتُكِ ثُمَّ صَلَّيْتُ عَلَيْكِ
وَدَفَنْتُكِ»
“Bahkan aku! Duh, kepalaku! Apa ruginya bagimu jika engkau
meninggal sebelumku, lalu aku memandikanmu, mengkafaninmu, kemudian
mensholatimu dan menguburkanmu?” (HR. Ibnu Majah)
6.3 Tidak Disyariatkan Memandikan Janazah Syahid yang Terbunuh di Medan Pertempuran
Dari Jabir bin Abdillah rodhiyallahu ‘anhuma, dia
berkata: Nabi ﷺ
bersabda:
«اِدْفِنُوهُمْ فِي دِمَائِهِمْ
-يَعْنِي يَوْمَ أُحُدٍ- وَلَمْ يَغْسِلْهُمْ»
“Kuburkanlah mereka dalam keadaan berlumuran darah mereka”
-yaitu pada Perang Uhud- dan beliau tidak memandikan mereka. (HR. Al-Bukhori)
[7] Mengkafani
Kewajiban ini diambil dari perintah Nabi ﷺ tentang hal itu dalam
Hadits orang yang sedang ihrom yang untanya menjatuhkannya hingga meninggal:
«اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ،
وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْنِ»
“Mandikanlah dia dengan air dan daun sidr (bidara),
dan kafanilah dia dengan 2 helai kain...” (HR. Al-Bukhori)
Kafan atau biaya kafan diambil dari harta mayit, meskipun
dia tidak meninggalkan harta lain. Hal ini berdasarkan Hadits Khobbab bin Al-Arott
rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Kami berhijroh bersama Nabi ﷺ mencari wajah Alloh ﷻ,
maka pahala kami berada di sisi Alloh. Di antara kami, ada yang meninggal dunia
dan belum sempat menikmati sedikit pun pahalanya, di antaranya adalah Mush’ab
bin Umair rodhiyallahu ‘anhu. Dan di antara kami, ada yang buahnya
(hasil jerih payahnya) telah matang, lalu dia memetiknya. Mush’ab bin Umair rodhiyallahu
‘anhu terbunuh pada Perang Uhud, dan kami tidak mendapati kain untuk
mengkafaninya selain sehelai kain burdah (selimut). Jika kami menutup
kepalanya, kedua kakinya tersingkap, dan jika kami menutup kedua kakinya,
kepalanya tersingkap. Maka Nabi ﷺ
memerintahkan kami untuk menutup kepalanya dan meletakkan tanaman idzkir (wangi)
di kedua kakinya.” (HR. Al-Bukhori)
Kain kafan yang wajib adalah sehelai kain yang
menutupi seluruh badan. Namun, jika tidak didapati kecuali kain yang pendek
yang tidak mencukupi seluruh badan, maka kepalanya ditutup, dan diletakkan
tanaman idzkir (wangi) di kedua kakinya, sebagaimana dalam Hadits Khobbab rodhiyallahu
‘anhu.
Hal-hal yang Disunnahkan dalam Kafan
Berwarna putih. Karena sabda beliau ﷺ:
«اِلْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ
الْبَيَاضَ، فَإِنَّهَا خَيْرُ ثِيَابِكُمْ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ»
“Kenakanlah pakaian putih dari pakaian kalian, karena itu
adalah sebaik-baik pakaian kalian, dan kafanilah dengannya orang-orang mati di
antara kalian.” (HR. At-Tirmidzi)
Terdiri dari 3 helai kain. Berdasarkan Hadits A’isyah rodhiyallahu
‘anha: “Sungguh Rosululloh ﷺ
dikafani dengan 3 helai kain Yaman yang berwarna putih, jenis sahuliyyah
(bergaris-garis), terbuat dari kapas, tanpa gamis dan tanpa serban.” (HR.
Al-Bukhori)
Salah satunya adalah kain hibaroh (bergaris-garis)
jika memungkinkan. Berdasarkan Hadits Jabir rodhiyallahu ‘anhu dari
beliau ﷺ:
«إِذَا تُوُفِّيَ أَحَدُكُمْ
فَوَجَدَ شَيْئًا فَلْيُكَفَّنْ فِي ثَوْبِ حِبَرَةٍ»
“Jika salah seorang dari kalian wafat, lalu dia mendapatkan
sesuatu (kemampuan), maka hendaklah dia dikafani dengan kain hibaroh
(bergaris-garis).” (HR. Abu Dawud)
[8] Mensholati
Sholat janazah bagi mayit Muslim adalah fardhu kifayah
(kewajiban kolektif), karena perintah Nabi ﷺ tentang hal itu dalam beberapa Hadits:
Di antaranya adalah Hadits Zaid bin Kholid Al-Juhani rodhiyallahu
‘anhu: Seorang lelaki dari Shohabat Nabi ﷺ wafat pada Perang Khoibar. Mereka menyebutkan hal itu kepada
Rosululloh ﷺ, lalu beliau
bersabda:
«صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ»
“Sholatilah kawan kalian ini.”
Maka wajah orang-orang pun berubah karena hal itu (kaget),
lalu beliau bersabda:
«إِنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ»
“Sungguh kawan kalian ini telah menggelapkan harta rampasan
perang di jalan Alloh.”
Kemudian kami memeriksa barang bawaannya, lalu kami
menemukan manik-manik milik kaum Yahudi yang harganya tidak sampai 2 dirham. (HR.
Abu Dawud)
Dikecualikan dari hal ini 2 orang, sehingga tidak wajib
mensholati keduanya:
Yang pertama: Anak kecil yang belum baligh. A’isyah rodhiyallahu
‘anha berkata: “Ibrohim, putra Nabi ﷺ, wafat saat berusia 18 bulan, dan Rosululloh ﷺ tidak mensholatinya.”
(HR. Abu Dawud)
Yang kedua: Syahid. Dari Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,
“Sungguh para syuhada Uhud tidak dimandikan, mereka dikuburkan dalam keadaan
berlumuran darah, dan beliau (Nabi ﷺ)
tidak mensholati mereka.” (HR. Abu Dawud)
Namun, tidak wajibnya Sholat atas keduanya tidak
menafikan (menghilangkan) disyariatkannya Sholat atas keduanya:
Dari A’isyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Rosululloh
ﷺ pernah didatangi janazah
anak kecil dari kalangan Anshor, lalu beliau ﷺ mensholatinya...” (HR. Muslim)
Dari Abdillah bin Az-Zubair rodhiyallahu ‘anhuma, “Sungguh
Rosululloh ﷺ pada Perang Uhud
memerintahkan untuk membentangkan kain burdah di atas Hamzah rodhiyallahu
‘anhu, kemudian beliau mensholatinya dengan 9 kali takbir. Kemudian
didatangkan para korban yang terbunuh, mereka dijejerkan (disusun dalam shof)
dan beliau mensholati mereka, termasuk Hamzah rodhiyallahu ‘anhu bersama
mereka.” (HR. Ath-Thohawi, Ma’anil Atsar, 290/ 1)
Semakin banyak jumlah jama’ah Sholatnya, maka semakin afdhol
(utama) dan bermanfaat bagi mayit. Berdasarkan sabda beliau ﷺ:
«مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي
عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ
إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ»
“Tiada seorang mayit pun yang disholati oleh sekelompok
Muslim yang mencapai 100 orang, di mana semuanya memohon syafa’at untuknya,
melainkan mereka akan diberikan syafa’at (untuknya).” (HR. Muslim)
Sabda beliau ﷺ
juga:
«مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
يَمُوتُ، فَيَقُومُ عَلَى جِنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ
شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمُ اللَّهُ فِيهِ»
“Tiada seorang Muslim pun yang meninggal, lalu 40 orang
lelaki yang tidak menyekutukan Alloh dengan sesuatu apa pun berdiri untuk
mensholati janazahnya, melainkan Alloh akan mengabulkan syafa’at mereka
untuknya.” (HR. Muslim)
Disunnahkan bagi jama’ah Sholat janazah untuk membuat 3 shof
(barisan) di belakang Imam, meskipun jumlah mereka sedikit:
Dari Martsad Al-Yazani dari Malik bin Hubairoh rodhiyallahu
‘anhu, dia berkata: Rosululloh ﷺ
bersabda:
«مَا مِنْ مَيِّتٍ يَمُوتُ
فَيُصَلَّى عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوفٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا أَوْجَبَ»
“Tiada seorang mayit pun yang meninggal, lalu disholati oleh
3 shof dari kaum Muslim, melainkan dia pasti masuk Jannah.”
Dia berkata: Malik bin Hubairoh rodhiyallahu ‘anhu,
jika jumlah jama’ah Sholat janazah sedikit, beliau membagi mereka menjadi 3
shof, karena Hadits ini. (HR. Abu Dawud)
Apabila terkumpul beberapa janazah, baik laki-laki maupun
wanita: Maka jika disholati satu per satu, ini adalah yang asal. Namun jika
disholati semuanya dengan 1 Sholat saja, itu dibolehkan. Janazah laki-laki
-meskipun anak kecil- diletakkan di dekat Imam, dan janazah wanita diletakkan
di dekat kiblat:
Dari Nafi’ dari Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anhuma, “Sungguh
dia pernah mensholati 9 janazah sekaligus, lalu janazah para lelaki diletakkan
di dekat Imam dan janazah para wanita diletakkan di dekat kiblat. Beliau
menjajarkan mereka dalam 1 shof. Lalu diletakkan janazah Ummu Kultsum binti Ali
bin Abi Tholib (35 H), istri Umar bin Al-Khoththob rodhiyallahu ‘anhu,
dan putranya yang bernama Zaid bin Umar bin Al-Khoththob rodhiyallahu ‘anhuma
secara bersamaan. Imam Sholat pada hari itu adalah Sa’id bin Al-‘Ash. Di antara para hadirin
terdapat Ibnu Abbas, Abu Huroiroh, Abu Sa’id Al-Khudhri, dan Abu Qotadah. Anak
laki-laki (Zaid) diletakkan di dekat Imam.”
Seorang lelaki berkata: “Aku mengingkari hal itu, lalu aku
melihat kepada Ibnu Abbas, Abu Huroiroh, Abu Sa’id Al-Khudhri, dan Abu Qotadah.
Aku bertanya: ‘Apa ini?’”
Mereka menjawab: “Ini adalah Sunnah.” (HR. An-Nasa’i)
8.1
Di mana Sholat Janazah Dilaksanakan
Dibolehkan melaksanakan Sholat janazah di dalam Masjid:
Dari A’isyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Ketika
Sa’ad bin Abi Waqqosh rodhiyallahu ‘anhu wafat, para istri Nabi ﷺ mengirim pesan agar janazahnya
dilewatkan di dalam Masjid agar mereka dapat mensholatinya. Maka mereka
melakukannya. Janazah Sa’ad rodhiyallahu ‘anhu diletakkan di dekat
kamar-kamar mereka agar mereka dapat mensholatinya, lalu janazahnya dikeluarkan
melalui pintu janazah yang menuju ke tempat duduk (di luar Masjid). Sampai
berita kepada para istri Nabi ﷺ
bahwa orang-orang mencela perbuatan itu, dan mereka berkata: “Janazah tidak
pernah dibawa masuk ke Masjid.” Ketika berita itu sampai kepada A’isyah rodhiyallahu
‘anha, dia berkata: “Alangkah cepatnya orang-orang mencela sesuatu yang
tidak mereka ketahui! Mereka mencela kami karena janazah dilewatkan di Masjid,
padahal Rosululloh ﷺ
tidaklah mensholati Suhail bin Baidho’ melainkan di dalam Masjid.” (HR.
Muslim)
Namun, yang paling afdhol (utama) adalah mensholati janazah
di luar Masjid, di tempat yang telah disiapkan khusus untuk Sholat janazah. Hal
ini seperti yang dilakukan pada masa Nabi ﷺ, dan itulah yang dominan dalam petunjuk beliau:
Dari Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anhuma, “Sungguh kaum
Yahudi datang kepada Nabi ﷺ
dengan membawa seorang lelaki dan seorang wanita dari kalangan mereka yang
telah berzina. Maka beliau ﷺ
memerintahkan agar keduanya dirajam di dekat tempat Sholat janazah, di sisi
Masjid.” (HR. Al-Bukhori)
Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, “Sungguh
Rosululloh ﷺ mengumumkan kabar
kematian An-Najasyi pada hari wafatnya. Beliau ﷺ keluar menuju musholla (lapangan tempat Sholat), lalu
beliau membuat shof bersama mereka dan bertakbir 4 kali.” (HR. Al-Bukhori)
Tidak dibolehkan melaksanakan Sholat janazah di antara
kuburan. Karena Hadits Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu:
«أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَى
أَنْ يُصَلَّى عَلَى الْجَنَائِزِ بَيْنَ الْقُبُورِ»
“Sungguh Nabi ﷺ
melarang untuk mensholati janazah di antara kuburan.” (HR. Ath-Thobrani,
Al-Kabir, 1/ 80/ 2)
8.2 Di mana Imam Berdiri?
Dari Abu Gholib Al-Khayyath, dia berkata: Aku menyaksikan
Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu mensholati janazah seorang lelaki,
lalu dia berdiri di dekat kepalanya. Ketika janazah lelaki itu diangkat,
didatangkan janazah seorang wanita dari Quroisy atau dari Anshor, lalu
dikatakan kepadanya: “Wahai Abu Hamzah (Anas bin Malik), ini adalah janazah
Fulanah binti Fulan, Sholatilah dia.” Maka dia mensholatinya dan berdiri di tengah
janazah wanita itu.
Di antara kami ada Al-A’la bin Ziyad Al-‘Adawi. Ketika dia melihat perbedaan
posisi berdirinya (Imam) atas janazah lelaki dan wanita, dia berkata: “Wahai
Abu Hamzah, apakah Rosululloh ﷺ
memang berdiri seperti engkau berdiri untuk janazah lelaki, dan juga seperti
engkau berdiri untuk janazah wanita?”
Dia menjawab: “Ya.”
Lalu Al-A’la menoleh kepada kami dan berkata: “Hafalkanlah!”
(HR. Abu Dawud)
8.3
Tata Cara Sholat
Bertakbir sebanyak 4 kali, atau 5 kali, hingga 9 kali
takbir. Beliau ﷺ
melakukan ini kadang-kadang, dan melakukan itu kadang-kadang:
Adapun 4 kali takbir: Berdasarkan Hadits Abu Huroiroh rodhiyallahu
‘anhu: “Sungguh Rosululloh ﷺ
mengumumkan kabar kematian An-Najasyi pada hari wafatnya. Beliau ﷺ keluar menuju musholla
(lapangan tempat Sholat), lalu beliau membuat shof bersama mereka dan bertakbir
4 kali.” (HR. Al-Bukhori)
Adapun 5 kali takbir: Berdasarkan Hadits Abdurrohman bin Abi
Laila, dia berkata: “Zaid bin Arqom rodhiyallahu ‘anhu biasa bertakbir 4
kali atas janazah-janazah kami. Namun dia pernah bertakbir 5 kali atas suatu janazah,
lalu aku bertanya kepadanya. Dia menjawab:
«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
ﷺ يُكَبِّرُهَا»
‘Rosululloh ﷺ
pernah melakukannya.” (HR.
Muslim)
Adapun 6 dan 7 kali takbir: Terdapat beberapa atsar
mauquf (perkataan Shohabat) mengenainya, namun dihukumi marfu’
(disandarkan kepada Nabi) karena sebagian Shohabat senior melakukannya di
hadapan Shohabat lain tanpa ada yang menyanggahnya:
Dari Abdillah bin Ma’qil rodhiyallahu ‘anhu, “Sungguh
Ali bin Abi Tholib (35 H) mensholati Sahl bin Hunaif rodhiyallahu ‘anhu,
lalu dia bertakbir 6 kali, kemudian menoleh kepada kami dan berkata: ‘Sungguh
dia adalah Ahli Badr.’” (Al-Janaiz, Al-Albani, 113)
Dari Musa bin Abdillah bin Yazid rodhiyallahu ‘anhu, “Sungguh
Ali bin Abi Tholib (35 H) mensholati Abu Qotadah rodhiyallahu ‘anhu,
lalu dia bertakbir 7 kali, dan dia adalah Ahli Badr.” (Al-Janaiz, Al-Albani,
114)
Dari Abd Khoir, dia berkata: “Ali bin Abi Tholib (35 H) rodhiyallahu
‘anhu bertakbir 6 kali atas Ahli Badr, 5 kali atas Shohabat Nabi ﷺ (selain Ahli Badr),
dan 4 kali atas semua orang selain mereka.” (Al-Janaiz, Al-Albani, 113)
Adapun 9 kali takbir: Dari Abdillah bin Az-Zubair rodhiyallahu
‘anhuma, “Sungguh Nabi ﷺ
mensholati Hamzah rodhiyallahu ‘anhu, dan beliau bertakbir 9 kali
takbir...” (HR. Ath-Thohawi, Ma’anil Atsar, 290/ 1)
Disyariatkan baginya untuk mengangkat kedua tangannya pada
takbir yang pertama:
Dari Abdillah bin Abbas rodhiyallahu ‘anhuma, “Sungguh
Rosululloh ﷺ biasa mengangkat
kedua tangannya saat Sholat janazah pada takbir yang pertama, kemudian tidak
mengulanginya.” (Al-Janaiz, Al-Albani, hal 116)
Kemudian dia meletakkan tangan kanannya di atas punggung
telapak tangan kiri, pergelangan tangan, dan lengan bawahnya. Lalu dia mengikat
(menggenggam) keduanya di atas dadanya:
Dari Sahl bin Sa’ad rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Orang-orang
diperintahkan untuk meletakkan tangan kanan di atas lengan kiri saat Sholat.” (HR.
Al-Bukhori)
Kemudian setelah takbir pertama, dia membaca Surat
Al-Fatihah dan 1 surat pendek:
Dari Tholhah bin Abdillah bin Auf, dia berkata: “Aku pernah
Sholat di belakang Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhuma atas suatu janazah.
Dia membaca Surat Al-Fatihah dan 1 surat pendek, dan mengeraskan bacaan hingga
kami mendengarnya. Setelah selesai, aku memegang tangannya dan bertanya
kepadanya.”
Maka dia menjawab: “Aku mengeraskan bacaan hanyalah agar
kalian tahu bahwa itu adalah sunnah dan kebenaran.” (HR. An-Nasa’i)
Dia membaca dengan suara lirih. Berdasarkan Hadits Abu
Umamah bin Sahl, dia berkata: “Sunnah dalam Sholat janazah adalah membaca Ummul
Qur’an (Al-Fatihah) dengan suara lirih pada takbir pertama, kemudian bertakbir
3 kali, dan mengucapkan salam pada takbir yang terakhir.” (HR. An-Nasa’i)
Kemudian dia bertakbir yang kedua, dan membaca Sholawat atas
Nabi ﷺ. Berdasarkan Hadits
Abu Umamah bin Sahl rodhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan, yang
mengabarkan kepadanya seorang lelaki dari Shohabat Nabi ﷺ: “Sungguh As-Sunnah
dalam Sholat janazah adalah: Imam bertakbir, kemudian membaca Surat Al-Fatihah
setelah takbir pertama dengan suara lirih (dalam hati), kemudian membaca
Sholawat atas Nabi ﷺ,
dan mengkhususkan doa bagi janazah pada 3 takbir lainnya, tidak membaca
(Al-Fatihah/surat) pada takbir-takbir itu, kemudian mengucapkan salam dengan
suara lirih (dalam hati).” (Al-Janaiz, Al-Albani, 122)
Kemudian dia melaksanakan sisa takbir, dan mengkhususkan doa
untuk mayit di dalamnya. Berdasarkan sabda beliau ﷺ:
«إِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى
الْمَيِّتِ فَأَخْلِصُوا لَهُ الدُّعَاءَ»
“Apabila kalian mensholati mayit, maka ikhlaskanlah doa
untuknya.” (HR. Abu Dawud)
Di dalam takbir-takbir tersebut dia berdoa dengan doa-doa
yang tsabit (valid) dari beliau ﷺ.
Di antaranya adalah doa yang diriwayatkan dari Auf bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,
dia berkata: Rosululloh ﷺ
mensholati janazah, lalu aku menghafal doa beliau:
«اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ
وَارْحَمْهُ، وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ،
وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا
يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ
دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ
الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ»
“Ya Alloh, ampunilah dia dan rohmatilah dia. Selamatkanlah
dia dan maafkanlah dia. Muliakanlah tempat persinggahannya dan luaskanlah
tempat masuknya. Mandikanlah dia dengan air, es, dan embun. Sucikanlah dia dari
kesalahan-kesalahan sebagaimana pakaian putih dibersihkan dari kotoran.
Gantilah rumahnya dengan yang lebih baik dari rumahnya, keluarganya dengan yang
lebih baik dari keluarganya, dan pasangannya dengan yang lebih baik dari
pasangannya. Masukkanlah dia ke dalam Jannah, dan lindungilah dia dari adzab
kubur dan adzab Naar.”
Dia (Auf bin Malik) berkata: “Aku berharap, seandainya
akulah mayit itu.” (HR. Muslim)
Berdoa di antara takbir terakhir dan salam disyariatkan.
Berdasarkan Hadits Abu Ya’fur dari Abdillah bin Abi Aufa rodhiyallahu ‘anhuma,
dia berkata: “Aku menyaksikannya bertakbir 4 kali atas janazah, kemudian dia
berdiri sebentar -maksudnya- berdoa, lalu dia berkata: ‘Menurut kalian, apakah
aku bertakbir 5 kali?’”
Mereka menjawab: “Tidak.”
Dia berkata:
«إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ
ﷺ كَانَ يُكَبِّرُ أَرْبَعًا»
“Sungguh Rosululloh ﷺ biasa bertakbir 4 kali.” (Al-Janaiz, Al-Albani, 126)
Kemudian dia mengucapkan 2 kali salam, seperti salam dalam
Sholat wajib. Yang pertama ke kanan dan yang lainnya ke kiri.
Berdasarkan Hadits Abdullah bin Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Ada
3 perkara yang biasa Rosululloh ﷺ
lakukan, tetapi ditinggalkan oleh orang-orang. Salah satunya adalah mengucapkan
salam pada Sholat janazah, seperti salam dalam Sholat (wajib).” (Al-Janaiz,
Al-Albani, 127)
Dibolehkan hanya mencukupkan pada salam yang pertama saja.
Berdasarkan Hadits Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu: “Sungguh Rosululloh ﷺ mensholati janazah,
lalu beliau bertakbir 4 kali, dan mengucapkan 1 kali salam.” (Al-Janaiz,
Al-Albani, 128)
Tidak dibolehkan melaksanakan Sholat janazah pada
waktu-waktu yang diharomkan Sholat di dalamnya, kecuali jika ada kebutuhan yang
mendesak. Berdasarkan Hadits Uqbah bin ‘Amir rodhiyallahu ‘anhu, dia
berkata: “Ada 3 waktu yang Rosululloh ﷺ melarang kami untuk Sholat di dalamnya atau menguburkan mayit
kami di dalamnya: saat matahari terbit hingga meninggi, saat matahari berada
tepat di tengah langit hingga tergelincir (masuk waktu Zhuhur), dan saat
matahari mulai condong ke barat (menjelang terbenam) hingga benar-benar
terbenam.” (HR. Muslim)
8.4
Keutamaan Sholat Janazah dan Mengiringinya
Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
«مَنْ صَلَّى عَلَى جِنَازَةٍ
وَلَمْ يَتْبَعْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ، فَإِنْ تَبِعَهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ»
“Siapa yang mensholati janazah dan tidak mengikutinya, maka
dia mendapatkan 1 qiroth. Dan siapa yang mengikutinya, maka dia mendapatkan 2
qiroth.”
Ditanyakan: “Apakah 2 qiroth itu?”
Beliau ﷺ
bersabda:
«أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ»
“Yang paling kecil dari keduanya adalah seperti Gunung Uhud.”
(HR. Muslim)
Keutamaan mengikuti janazah ini hanyalah untuk para lelaki,
bukan untuk para wanita. Karena Nabi ﷺ
melarang mereka (para wanita) untuk mengikutinya, dan larangan itu adalah
larangan tanzih (tidak sampai harom). Ummu Athiyyah rodhiyallahu ‘anha
berkata: “Kami dilarang mengikuti janazah, tetapi beliau tidak memaksa kami
(larangan yang sangat keras).” (HR. Al-Bukhori)
Tidak dibolehkan mengiringi janazah dengan hal-hal yang
menyalahi Syari’at. Sungguh telah datang nash (dalil) mengenai 2 perkara:
meninggikan suara tangisan, dan mengiringinya dengan dupa. Hal itu terdapat
dalam sabda beliau ﷺ:
«لَا تُتْبَعُ الْجِنَازَةُ
بِصَوْتٍ وَلَا نَارٍ»
“Janganlah janazah diiringi dengan suara (tangisan) dan
tidak pula dengan api.” (HR. Abu Dawud)
Termasuk pula yang dilarang adalah meninggikan suara dzikir
di depan janazah, karena itu adalah bid’ah (perkara baru dalam agama). Juga
berdasarkan perkataan Qois bin Ubad:
«كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ
ﷺ يَكْرَهُونَ رَفْعَ الصَّوْتِ عِنْدَ الْجَنَائِزِ»
“Dahulu para Shohabat Nabi ﷺ membenci meninggikan suara ketika mengiringi janazah.” (Al-Janaiz,
Al-Albani, 71)
Hal itu juga karena mengandung unsur menyerupai kaum
Nashroni, karena mereka meninggikan suara mereka dengan sesuatu dari Injil
mereka dan dzikir-dzikir mereka, disertai dengan irama dan lagu yang
menyedihkan. Yang lebih buruk lagi adalah mengiringi janazah dengan alunan alat
musik di depannya dengan irama yang menyedihkan, sebagaimana yang dilakukan di
sebagian negeri-negeri Muslim sebagai bentuk taklid kepada orang-orang kuffar.
Hanya kepada Alloh ﷻ kita memohon
pertolongan.
Wajib mempercepat langkah ketika berjalan
mengiringinya, dengan berjalan biasa tanpa berlari-lari kecil. Berdasarkan
sabda beliau ﷺ:
«أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ،
فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا عَلَيْهِ، وَإِنْ تَكُنْ غَيْرَ ذَلِكَ
فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ»
“Segerakanlah janazah. Jika janazah itu sholih, maka itu
adalah kebaikan yang kalian segerakan kepadanya. Namun jika janazah itu selain
itu (tidak sholih), maka itu adalah keburukan yang kalian lepaskan dari pundak
kalian.” (HR. Al-Bukhori)
Dibolehkan berjalan di depan janazah dan di belakangnya,
serta di kanan dan kirinya, asalkan berada di dekatnya. Kecuali bagi yang
berkendaraan, dia berjalan di belakangnya. Berdasarkan Hadits Al-Mughiroh bin
Syu’bah rodhiyallahu ‘anhu, Rosululloh ﷺ bersabda:
«اَلرَّاكِبُ خَلْفَ الْجِنَازَةِ،
وَالْمَاشِي حَيْثُ شَاءَ مِنْهَا»
“Orang yang berkendaraan (berjalan) di belakang janazah,
sedangkan orang yang berjalan kaki boleh (berjalan) di mana saja di dekatnya.” (HR.
At-Tirmidzi)
Namun, yang paling afdhol adalah berjalan di belakangnya,
karena hal itu sesuai dengan tuntutan sabda Nabi ﷺ: “Ikutilah janazah.”
Hal ini dikuatkan oleh perkataan Ali bin Abi Tholib (35 H) rodhiyallahu
‘anhu: “Berjalan di belakang janazah lebih afdhol daripada berjalan di
depannya, seperti keutamaan Sholat seseorang secara berjama’ah dibandingkan
Sholatnya sendirian.” (Al-Janaiz, Al-Albani, 74)
8.5
Apa yang Diucapkan jika Memasuki Kuburan atau Melewatinya
Dari A’isyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: Aku
bertanya: “Bagaimana aku harus mengucapkan (salam) kepada mereka, ya Rosululloh?”
Beliau ﷺ
bersabda, “Ucapkanlah:
«السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ
الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ
مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ»
“Keselamatan atas kalian, wahai para penghuni kubur dari
kalangan Mu’min dan Muslim. Semoga Alloh merohmati orang-orang yang mendahului
kami dan orang-orang yang datang kemudian. Sungguh kami, in sya Alloh, akan menyusul kalian.” (HR.
Muslim)
Dari Sulaiman bin Buroidah dari ayahnya rodhiyallahu ‘anhu,
dia berkata: Rosululloh ﷺ
biasa mengajarkan mereka jika keluar ke pemakaman:
«السَّلَامُ عَلَيْكُمْ
أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ
بِكُمْ لَلَاحِقُونَ، أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ»
“Keselamatan atas kalian, wahai para penghuni kubur dari
kalangan Mu’min dan Muslim. Sungguh kami, insya Alloh, akan menyusul kalian.
Aku memohon kepada Alloh bagi kami dan kalian keselamatan.” (HR. Muslim)
[9] Menguburkan
Wajib menguburkan mayit meskipun dia seorang kafir.
Berdasarkan sabda Nabi ﷺ
kepada Ali bin Abi Tholib (35 H) ketika Abu Tholib meninggal:
«اذْهَبْ فَوَارِهِ»
“Pergilah dan kuburkanlah dia.” (HR. An-Nasa’i)
Sunnahnya adalah menguburkan di pemakaman, karena Nabi ﷺ biasa menguburkan janazah
di pemakaman Baqi’, sebagaimana telah mutawatir (diriwayatkan oleh banyak
orang) kabar tentang hal itu. Tidak ada riwayat dari seorang pun dari kalangan
Salaf bahwa dia dikuburkan di selain pemakaman, kecuali yang juga mutawatir
bahwa Nabi ﷺ dikuburkan di
kamarnya, dan itu adalah kekhususan beliau ﷺ, sebagaimana ditunjukkan oleh Hadits A’isyah rodhiyallahu ‘anha,
dia berkata:
“Ketika Rosululloh ﷺ wafat, mereka berselisih tentang di mana beliau akan
dikuburkan. Lalu Abu Bakar rodhiyallahu ‘anhu berkata: Aku mendengar
sesuatu dari Rosululloh ﷺ
yang tidak pernah aku lupakan, beliau bersabda:
«مَا قَبَضَ اللَّهُ نَبِيًّا
إِلَّا فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُدْفَنَ فِيهِ»
‘Tidaklah Alloh mewafatkan seorang Nabi kecuali di tempat
yang Dia sukai untuk dikuburkan di situ.’
Maka mereka menguburkan beliau di tempat tidurnya.” (HR.
At-Tirmidzi)
Dikecualikan dari hal itu adalah para syuhada di medan
pertempuran, karena mereka dikuburkan di tempat mereka syahid, dan tidak
dipindahkan ke pemakaman. Berdasarkan Hadits Jabir rodhiyallahu ‘anhu,
dia berkata:
“Ketika Perang Uhud, para korban yang terbunuh diangkut
untuk dikuburkan di Baqi’. Lalu penyeru Rosululloh ﷺ berseru:
«إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ
ﷺ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَدْفِنُوا الْقَتْلَى فِي مَضَاجِعِهِمْ»
‘Sungguh Rosululloh ﷺ memerintahkan kalian untuk menguburkan para korban yang
terbunuh di tempat mereka gugur.’” (HR. Abu Dawud)
Tidak dibolehkan menguburkan janazah pada waktu-waktu
berikut kecuali karena darurat:
Dari Uqbah bin ‘Amir rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Ada 3 waktu yang Rosululloh ﷺ
melarang kami untuk Sholat di dalamnya, atau menguburkan mayit kami di
dalamnya: saat matahari terbit hingga meninggi, saat matahari berada tepat di
tengah langit hingga tergelincir (masuk waktu Zhuhur), dan saat matahari mulai
condong ke barat (menjelang terbenam) hingga benar-benar terbenam.” (HR.
Muslim)
Dari Jabir rodhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ diberitahu
tentang seorang lelaki dari Shohabatnya yang wafat lalu dikafani dengan kain
kafan yang tidak sempurna dan dikuburkan pada malam hari. Maka Nabi ﷺ melarang keras
seseorang dikuburkan pada malam hari sampai disholati, kecuali jika seseorang
terpaksa melakukannya.” (HR. Muslim)
Jika mereka terpaksa menguburkan pada malam hari, itu
dibolehkan, meskipun dengan menggunakan lampu dan menurunkannya ke dalam kubur
untuk memudahkan proses penguburan. Berdasarkan Hadits Ibnu Abbas rodhiyallahu
‘anhuma: “Sungguh Rosululloh ﷺ
pernah memasukkan janazah seorang lelaki ke dalam kuburnya pada malam hari, dan
beliau menyalakan lampu di dalam kuburnya.” (Al-Janaiz, Al-Albani, 141)
Wajib memperdalam kubur, meluaskannya, dan
memperbagusnya:
Dari Hisyam bin ‘Amir rodhiyallahu ‘anhu, dia
berkata: “Ketika Perang Uhud, banyak kaum Muslim yang gugur, dan orang-orang
menderita luka-luka. Kami berkata: ‘Ya Rosululloh, menggali kubur untuk setiap
orang sangat berat bagi kami, bagaimana engkau memerintahkan kami?’
Beliau ﷺ
bersabda:
«احْفِرُوا وَأَوْسِعُوا،
وَأَعْمِقُوا، وَأَحْسِنُوا، وَادْفِنُوا الِاثْنَيْنِ وَالثَّلَاثَةَ فِي الْقَبْرِ،
وَقَدِّمُوا أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا»
‘Galilah, luaskanlah, dalamkanlah, dan perbaguslah.
Kuburkanlah 2 atau 3 orang dalam 1 kubur, dan dahulukanlah yang paling banyak
hafalan Al-Qur’annya.’
Dia (Hisyam) berkata: “Maka ayahku adalah orang ketiga dari
3 orang, dan dia adalah yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya, maka dia
didahulukan.” (HR. An-Nasa’i)
Diperbolehkan dalam kubur membuat lahd (liang di sisi
qiblat kubur) atau syaq (liang di tengah kubur), karena keduanya telah
diamalkan pada masa Nabi ﷺ,
tetapi yang pertama (lahd) lebih afdhol. Dari Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,
dia berkata: “Ketika Nabi ﷺ
wafat, di Madinah ada seorang lelaki yang biasa membuat lahad, dan yang lain
biasa membuat dhorih (syaq). Mereka berkata: ‘Kita memohon pilihan kepada
Robb kita, dan kita utus seseorang kepada keduanya. Siapa pun yang datang lebih
dulu, kita serahkan kepadanya.’ Maka diutuslah seseorang kepada keduanya, dan
pembuat lahad datang lebih dulu, maka mereka membuat lahad untuk Nabi ﷺ.” (HR. Ibnu Majah)
Yang mengurus menurunkan mayit, meskipun mayit wanita,
adalah para lelaki, bukan para wanita, karena hal itu yang biasa dilakukan pada
masa beliau ﷺ
dan telah menjadi amalan kaum Muslim hingga hari ini.
Para wali (kerabat) mayit lebih berhak untuk menurunkannya.
Berdasarkan keumuman firman Alloh ﷻ:
﴿وَأُولُو الْأَرْحَامِ
بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ﴾
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di
dalam kitab Alloh.” (QS. Al-Ahzab: 6)
Juga berdasarkan Hadits Ali bin Abi Tholib (35 H) rodhiyallahu
‘anhu, dia berkata: “Aku memandikan Rosululloh ﷺ, lalu aku memperhatikan apa yang biasa keluar dari mayit,
tetapi aku tidak melihat apa-apa. Beliau ﷺ itu suci (wangi), baik ketika hidup maupun ketika wafat. Yang
mengurus penguburan dan pemakamannya selain orang lain adalah 4 orang: Ali,
Al-Abbas, Al-Fadhl, dan Sholih, maula (bekas budak) Rosululloh ﷺ. Dibuatkan lahad
untuk Rosululloh ﷺ
dan diletakkan bata di atasnya.” (Al-Janaiz, Al-Albani, 53)
Diperbolehkan bagi suami untuk mengurus sendiri penguburan
istrinya. Berdasarkan Hadits A’isyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata:
“Rosululloh ﷺ
menemuiku pada hari beliau mulai sakit, lalu aku berkata: ‘Duh, kepalaku!’
Beliau ﷺ
bersabda:
«وَدِدْتُ أَنَّ ذَلِكَ
كَانَ وَأَنَا حَىٌّ، فَهَيَّأْتُكِ وَدَفَنْتُكِ»
‘Aku berharap hal itu terjadi saat aku masih hidup, sehingga
aku dapat mengurusimu dan menguburkanmu...’” (HR. Al-Bukhori)
Namun, hal itu disyaratkan jika dia (suami) tidak menggauli
(berhubungan intim) pada malam itu. Jika tidak, maka tidak disyariatkan baginya
untuk menguburkannya, dan orang lain lebih utama untuk menguburkannya meskipun
orang asing, dengan syarat yang telah disebutkan. Berdasarkan Hadits Anas bin
Malik rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Kami menyaksikan (pemakaman) putri Rosululloh ﷺ, dan Rosululloh ﷺ duduk di atas
kuburan. Aku melihat kedua matanya berlinang air mata, kemudian beliau
bersabda:
«هَلْ مِنْكُمْ مِنْ رَجُلٍ
لَمْ يُقَارِفِ اللَّيْلَةَ؟»
‘Apakah di antara kalian ada seorang lelaki yang tidak
menggauli (istrinya) malam ini?’
Abu Tholhah rodhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Aku, ya
Rosululloh.’
Beliau ﷺ
bersabda: ‘Turunlah.’
Dia (Anas) berkata: ‘Maka dia turun ke dalam kuburnya.’” (HR.
Al-Bukhori)
Sunnahnya adalah memasukkan mayit dari arah belakang kubur.
Berdasarkan Hadits Abu Ishaq, dia berkata:
“Al-Harits berwasiat agar Abdillah bin Yazid mensholatinya.
Maka dia mensholatinya, kemudian memasukkannya ke dalam kubur dari arah kaki
kubur dan berkata: ‘Ini adalah bagian dari As-Sunnah.’” (HR. Abu Dawud)
Mayit diletakkan di dalam kuburnya di atas sisi kanannya,
wajahnya menghadap kiblat, kepala dan kakinya ke arah kanan dan kiri kiblat.
Atas dasar inilah amalan kaum Muslim berlangsung sejak masa Rosululloh ﷺ hingga hari ini.
Orang yang meletakkannya di dalam lahad mengucapkan: “Bismillaah,
wa ‘ala sunnati Rosuulillaah” (Dengan nama Alloh, dan di atas sunnah
Rosululloh), atau “Millati Rosuulillaah ﷺ” (Agama Rosululloh ﷺ).
Dari Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anhuma, “Sungguh Nabi ﷺ ketika meletakkan
mayit di dalam kubur, beliau mengucapkan:
«بِسْمِ اللَّهِ، وَعَلَى
سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ»
‘Dengan nama Alloh, dan di atas sunnah Rosululloh.” (HR.
Abu Dawud)
Juga berdasarkan Hadits Al-Bayadhi rodhiyallahu ‘anhu
dari Rosululloh ﷺ,
bahwa beliau bersabda: “Mayit jika diletakkan di dalam kuburnya, hendaklah orang-orang
yang meletakkannya saat diletakkan di dalam lahad mengucapkan:
«بِاسْمِ اللَّهِ، وَبِاللَّهِ،
وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ»
‘Dengan nama Alloh, demi Alloh, dan di atas agama
Rosululloh ﷺ.’”
(Al-Janaiz, Al-Albani, 152)
Disunnahkan bagi siapa saja yang berada di dekat kubur untuk
menaburkan tanah sebanyak 3 kali genggaman dengan kedua tangannya setelah
selesai menutup lahad. Berdasarkan Hadits Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu,
“Sungguh Rosululloh ﷺ
mensholati janazah, kemudian beliau mendatangi mayit dan menaburkan tanah dari
arah kepalanya sebanyak 3 kali.” (HR. Ibnu Majah)
9.1 Disunnahkan Beberapa Perkara Setelah Selesai
Menguburkan
Yang pertama: Meninggikan kubur dari permukaan tanah
sedikit, sekitar sejengkal, dan tidak meratakannya dengan tanah. Tujuannya
adalah agar kubur itu dapat dikenali sehingga terjaga dan tidak dihinakan.
Berdasarkan Hadits Jabir rodhiyallahu ‘anhu, “Nabi ﷺ dibuatkan lahad
untuknya, dan diletakkan bata di atasnya, dan kuburnya ditinggikan dari permukaan
tanah sekitar sejengkal.” (Al-Janaiz, Al-Albani, 153)
Yang kedua: Membuatnya berbentuk punuk (cembung).
Berdasarkan Hadits Sufyan At-Tammar, dia berkata:
“Aku melihat kubur Nabi ﷺ berbentuk punuk.” (HR. Al-Bukhori)
Yang ketiga: Memberinya tanda dengan batu atau
semacamnya, agar dapat menjadi penanda untuk menguburkan anggota keluarga lain
yang meninggal. Berdasarkan Hadits Al-Muththolib bin Abi Wada’ah rodhiyallahu
‘anhu, dia berkata: “Ketika Utsman bin Mazh’un rodhiyallahu ‘anhu
meninggal, janazahnya dibawa keluar dan dikuburkan. Nabi ﷺ memerintahkan seorang
lelaki untuk membawakannya sebuah batu, tetapi dia tidak mampu membawanya. Maka
Rosululloh ﷺ bangkit dan
menyingsingkan lengan bajunya. Al-Muththolib berkata: ‘Orang yang mengabarkan
kepadaku tentang Rosululloh ﷺ
berkata: ‘Seolah-olah aku melihat putihnya kedua lengan Rosululloh ﷺ ketika beliau
menyingsingkannya.’ Kemudian beliau membawanya dan meletakkannya di dekat
kepala Utsman rodhiyallahu ‘anhu, dan bersabda:
«أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ
أَخِي، وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي»
‘Aku memberi tanda pada kubur saudaraku ini, dan aku akan
menguburkan di dekatnya siapa saja dari keluargaku yang meninggal.’” (HR.
Abu Dawud)
Yang keempat: Berdiri di atas kubur, mendoakannya
agar diberi keteguhan, memohonkan ampun untuknya, dan memerintahkan para
hadirin untuk melakukan hal yang sama. Berdasarkan Hadits Utsman bin Affan (35
H) rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Nabi ﷺ,
jika telah selesai menguburkan mayit, beliau berdiri di atasnya dan bersabda:
«اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ،
وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ»
‘Mohonkanlah ampun untuk saudara kalian, dan mintalah
keteguhan untuknya, karena sungguh dia sekarang sedang ditanya.’” (HR. Abu
Dawud)
Diperbolehkan duduk di dekat kubur saat penguburan dengan
tujuan mengingatkan para hadirin akan kematian dan apa yang terjadi setelahnya.
Berdasarkan Hadits Al-Baro’ bin ‘Azib rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Kami
keluar bersama Nabi ﷺ mengiringi janazah seorang lelaki dari Anshor. Kami
sampai di kubur saat lahad belum selesai digali. Rosululloh ﷺ duduk, dan kami pun
duduk di sekelilingnya, seolah-olah di atas kepala kami ada burung. Di
tangannya ada sebatang kayu, lalu beliau mulai menggoreskannya ke tanah,
kemudian beliau mengangkat kepalanya dan bersabda:
«اسْتَعِيذُوا بِاللَّهِ
مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ»
‘Berlindunglah kepada Alloh dari adzab kubur,’ (sebanyak) 2
atau 3 kali. Kemudian beliau bersabda: ‘Sungguh seorang hamba Mu’min, jika
berada dalam keadaan akan meninggalkan dunia dan menyongsong Akhiroh, turunlah
kepadanya para Malaikat dari langit yang berwajah putih, seolah-olah wajah
mereka adalah matahari. Mereka membawa kafan dari kafan Jannah dan wewangian
dari wewangian Jannah, hingga mereka duduk darinya sejauh mata memandang.
Kemudian datanglah Malaikat Maut ‘alaihissalam hingga duduk di dekat
kepalanya, lalu berkata: ‘Wahai jiwa yang baik, keluarlah menuju ampunan
dari Alloh dan keridhoan.’ Maka ruh itu keluar mengalir seperti tetesan air
yang mengalir dari mulut kantong air. Lalu dia (Malaikat Maut) mengambilnya.
Ketika dia mengambilnya, para Malaikat (lainnya) tidak membiarkannya di tangannya
sekejap mata pun sampai akhirnya mereka mengambilnya dan meletakkannya di dalam
kafan dan wewangian itu. Keluarlah darinya aroma seperti aroma misk terwangi
yang pernah ada di muka bumi.
Maka mereka naik membawanya. Tidaklah mereka melewati
sekelompok Malaikat melainkan mereka bertanya: ‘Ruh yang baik siapakah ini?’
Mereka (para Malaikat pembawa ruh) menjawab: ‘Fulan bin Fulan,’ dengan nama
terbaiknya yang biasa mereka panggil di dunia, hingga mereka sampai ke langit
dunia. Mereka meminta dibukakan pintu, lalu dibukakan untuk mereka. Para
Malaikat terdekat dari setiap langit mengiringinya hingga ke langit berikutnya,
sampai akhirnya sampai ke langit ketujuh. Maka Alloh ﷻ berfirman: ‘Tulislah
kitab hamba-Ku di ‘Illiyyin, dan kembalikanlah dia ke bumi, karena sungguh dari
sanalah Aku menciptakan mereka, di sanalah Aku mengembalikan mereka, dan dari
sanalah Aku akan mengeluarkan mereka pada kali yang lain.’
Maka ruhnya dikembalikan ke dalam jasadnya. Lalu datanglah 2
Malaikat yang mendudukkannya, lalu keduanya bertanya: ‘Siapa Robbmu?’ Dia
menjawab: ‘Robbku adalah Alloh.’ Keduanya bertanya: ‘Apa agamamu?’ Dia
menjawab: ‘Agamaku adalah Islam.’ Keduanya bertanya: ‘Siapakah lelaki ini yang
diutus di antara kalian?’ Dia menjawab: ‘Dia adalah Rosululloh ﷺ.’ Keduanya bertanya: ‘Apa
ilmumu?’ Dia menjawab: ‘Aku membaca kitab Alloh, lalu aku beriman kepadanya dan
membenarkannya.’ Maka terdengarlah seruan dari langit: ‘Sungguh benar hamba-Ku,
maka bentangkanlah untuknya hamparan dari Jannah, pakaikanlah untuknya pakaian
dari Jannah, dan bukakanlah untuknya sebuah pintu menuju Jannah.’
Maka datanglah kepadanya aroma dan wewangian Jannah, dan
dilapangkan kuburnya sejauh mata memandang.
Datanglah kepadanya seorang lelaki berwajah tampan,
berpakaian indah, dan beraroma wangi, lalu berkata: ‘Bergembiralah dengan apa
yang membuatmu bahagia, ini adalah harimu yang telah dijanjikan kepadamu.’
Dia (si mayit) bertanya kepadanya: ‘Siapakah engkau? Wajahmu
adalah wajah yang membawa kebaikan.’ Dia menjawab: ‘Aku adalah amal sholihmu.’
Maka dia (si mayit) berkata: ‘Robb, segerakanlah Hari Kiamat agar aku dapat
kembali kepada keluarga dan hartaku.’
Dan sungguh seorang hamba kafir, jika berada dalam keadaan
akan meninggalkan dunia dan menyongsong Akhiroh, turunlah kepadanya dari langit
para Malaikat berwajah hitam. Mereka membawa kain kasar. Mereka duduk darinya
sejauh mata memandang. Kemudian datanglah Malaikat Maut hingga duduk di dekat
kepalanya, lalu berkata: ‘Wahai jiwa yang keji, keluarlah menuju kemurkaan dari
Alloh dan kemarahan.’
Maka ruh itu tercerai-berai di dalam jasadnya, lalu dia
(Malaikat Maut) mencabutnya seperti mencabut tusuk sate dari wol yang basah.
Lalu dia mengambilnya. Ketika dia mengambilnya, para Malaikat (lainnya) tidak
membiarkannya di tangannya sekejap mata pun sampai mereka meletakkannya di
dalam kain kasar itu. Keluarlah darinya aroma seperti aroma bangkai terbusuk
yang pernah ada di muka bumi. Maka mereka naik membawanya. Tidaklah mereka
melewatinya di hadapan sekelompok Malaikat melainkan mereka bertanya: ‘Ruh yang
keji siapakah ini?’ Mereka (para Malaikat pembawa ruh) menjawab: ‘Fulan bin
Fulan,’ dengan nama terburuknya yang biasa dipanggil di dunia, hingga sampai ke
langit dunia. Dimintakan untuk dibukakan pintu, tetapi tidak dibukakan
untuknya.’ Kemudian Rosululloh ﷺ
membaca:
﴿لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ
السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ﴾
‘Tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan
tidak (pula) mereka masuk Jannah, hingga unta masuk ke lubang jarum.’ (QS.
Al-A’rof: 40)
Maka Alloh ﷻ
berfirman: ‘Tulislah kitabnya di Sijjin di bumi yang paling bawah.’ Lalu ruhnya
dilemparkan.’ Kemudian beliau membaca:
﴿وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ
فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ
فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ﴾
‘Siapa yang menyekutukan (sesuatu) dengan Alloh, maka adalah
ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan
angin ke tempat yang jauh.’ (QS. Al-Hajj: 31)
Maka ruhnya dikembalikan ke dalam jasadnya. Datanglah
kepadanya 2 Malaikat yang mendudukkannya, lalu keduanya bertanya: ‘Siapa
Robbmu?’ Dia menjawab: ‘Hah, hah, aku tidak tahu.’ Keduanya bertanya: ‘Apa
agamamu?’ Dia menjawab: ‘Hah, hah, aku tidak tahu.’ Keduanya bertanya: ‘Siapakah
lelaki ini yang diutus di antara kalian?’ Dia menjawab: ‘Hah, hah, aku tidak
tahu.’ Maka terdengarlah seruan dari langit: ‘Sungguh dia telah berdusta, maka
bentangkanlah untuknya hamparan dari Naar, dan bukakanlah untuknya sebuah pintu
menuju Naar.’ Maka datanglah kepadanya panas dan angin beracun Naar, dan
disempitkan kuburnya hingga tulang rusuknya saling bersilangan. Datanglah
kepadanya seorang lelaki berwajah buruk, berpakaian jelek, dan beraroma busuk,
lalu berkata: ‘Terimalah kabar buruk yang akan menimpamu, ini adalah harimu
yang telah dijanjikan kepadamu.’ Dia (si mayit) bertanya: ‘Siapakah engkau?
Wajahmu adalah wajah yang membawa keburukan.’ Dia menjawab: ‘Aku adalah amal
burukmu.’ Maka dia (si mayit) berkata: ‘Robb, janganlah tegakkan Hari Kiamat.’
Dalam riwayat lain: ‘Kemudian ditugaskan kepadanya
(Malaikat) yang buta, tuli, dan bisu. Di tangannya ada sebuah palu godam yang
jika dipukulkan ke gunung, niscaya akan menjadi debu. Dia memukulnya sekali
hingga menjadi debu. Kemudian Alloh mengembalikannya seperti semula, lalu dia
memukulnya lagi. Dia berteriak dengan teriakan yang didengar oleh segala
sesuatu kecuali jin dan manusia.’” (Al-Janaiz, Al-Albani, 159)
9.2 Ta’ziyah
Disyariatkan berta’ziyah kepada keluarga mayit dengan ucapan
yang diperkirakan dapat menghibur mereka, meredakan kesedihan mereka, dan
mendorong mereka untuk ridho dan sabar, dengan ucapan yang valid dari Nabi ﷺ jika dia
mengetahuinya dan mengingatnya. Jika tidak, maka dengan ucapan baik apa pun
yang mudah baginya yang dapat mencapai tujuan dan tidak bertentangan dengan
syari’at:
Dari Usamah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhuma, dia
berkata: “Kami berada di sisi Nabi ﷺ,
lalu salah seorang putri beliau mengutus seseorang untuk memanggil beliau dan
mengabarkan bahwa anaknya, laki-laki atau perempuan, sedang dalam keadaan sakarotul
maut.
Rosululloh ﷺ
bersabda:
«ارْجِعْ إِلَيْهَا فَأَخْبِرْهَا:
أَنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ، وَلَهُ مَا أَعْطَى، وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى،
فَمُرْهَا فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ»
‘Kembalilah kepadanya dan kabarkanlah: Sungguh milik Alloh
apa yang Dia ambil, dan milik-Nya apa yang Dia berikan. Segala sesuatu di
sisi-Nya memiliki ajal yang telah ditentukan. Maka perintahkanlah dia untuk
bersabar dan mengharap pahala...’” (HR. Al-Bukhori)
Hendaknya menghindari 2 perkara meskipun orang-orang telah
terbiasa melakukannya:
1. Berkumpul untuk ta’ziyah di tempat khusus seperti rumah,
pemakaman, atau Masjid.
2. Keluarga mayit membuat makanan untuk menjamu orang-orang yang
datang untuk ta’ziyah.
Hal itu berdasarkan Hadits Jarir bin Abdillah Al-Bajali rodhiyallahu
‘anhu:
“Kami menganggap berkumpul di rumah keluarga mayit dan
membuat makanan setelah penguburannya termasuk niyahah (meratap).” (HR.
Ibnu Majah)
Sunnahnya adalah kerabat dan tetangga mayit membuatkan
makanan yang mengenyangkan untuk keluarga mayit. Berdasarkan Hadits Abdullah
bin Ja’far rodhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Ketika datang kabar
kematian Ja’far rodhiyallahu ‘anhu saat dia terbunuh, Nabi ﷺ bersabda:
«اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ
طَعَامًا، فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ، أَوْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ»
‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena sungguh
telah datang kepada mereka suatu urusan yang menyibukkan mereka.’” (HR. Abu
Dawud)
9.3 Apa yang Bermanfaat bagi
Mayit
Mayit dapat mengambil manfaat dari amalan orang lain dalam
beberapa hal:
1) Doa
seorang Muslim untuknya. Berdasarkan firman Alloh ﷻ:
﴿وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ
بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا
بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ
رَءُوفٌ رَحِيمٌ﴾
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Anshor), mereka berdoa: ‘Ya Robb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara
kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Robb kami,
sungguh Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Al-Hasyr: 10)
Juga berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
«دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ
لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ، كُلَّمَا
دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ»
“Doa seorang Muslim untuk saudaranya dari kejauhan (tanpa
sepengetahuannya) itu mustajab. Di dekat kepalanya ada seorang Malaikat yang
ditugaskan. Setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, Malaikat yang
ditugaskan itu berkata: ‘Aamiin, dan untukmu yang semisal.’” (HR. Muslim)
2) Pelunasan utang darinya oleh siapa pun. Sebagaimana yang
telah disebutkan sebelumnya tentang pelunasan 2 dinar oleh Abu Qotadah rodhiyallahu
‘anhu untuk seorang mayit.
3) Pelunasan
nadzar darinya, baik Puasa atau lainnya. Berdasarkan Hadits Sa’ad bin Ubadah rodhiyallahu
‘anhu, bahwa dia meminta fatwa kepada Rosululloh ﷺ dan berkata: “Sungguh ibuku meninggal dan dia memiliki utang
nadzar?”
Beliau ﷺ
bersabda:
«اقْضِهِ عَنْهَا»
“Lunasilah
untuknya.” (HR. Al-Bukhori)
4) Apa
yang dilakukan oleh anak sholih dari amalan-amalan sholih:
Alloh ﷻ
berfirman:
﴿وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ
إِلَّا مَا سَعَى﴾
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa
yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)
Nabi ﷺ
bersabda:
«إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ
الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَدَهُ مِنْ كَسْبِهِ»
“Sungguh sebaik-baik apa yang dimakan oleh seseorang adalah
dari hasil usahanya sendiri, dan sungguh anaknya adalah dari hasil usahanya.” (HR.
Abu Dawud)
5) Apa
yang dia tinggalkan berupa jejak-jejak kebaikan dan sedekah jariyah:
Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rosululloh ﷺ bersabda:
«إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ
انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ،
أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ»
“Jika manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalannya
kecuali dari 3 perkara: sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak
sholih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
9.4 Ziarah Kubur
Disyariatkan ziarah kubur untuk mengambil pelajaran dan
mengingat Akhiroh, dengan syarat tidak mengucapkan di sana apa yang membuat
murka Robb ﷻ,
seperti berdoa kepada penghuni kubur dan meminta pertolongan kepadanya selain
kepada Alloh ﷻ
dan semacamnya. Dari Abu Sa’id Al-Khudhri rodhiyallahu ‘anhu, dia
berkata: Rosululloh ﷺ
bersabda:
«إِنِّي نَهَيْتُكُمْ عَنْ
زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّ فِيهَا عِبْرَةً، وَلَا تَقُولُوا مَا يُسْخِطُ
الرَّبَّ»
“Sungguh aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur, maka
sekarang ziarahilah, karena sungguh di dalamnya terdapat pelajaran. Dan
janganlah kalian mengucapkan apa yang membuat murka Robb.” (Al-Janaiz,
Al-Albani, 179)
Para wanita seperti para lelaki dalam hal disunnahkannya
ziarah kubur, karena mereka juga memiliki alasan yang sama mengapa ziarah kubur
disyariatkan. Juga berdasarkan apa yang telah disebutkan sebelumnya tentang apa
yang diucapkan saat ziarah, bahwa A’isyah rodhiyallahu ‘anha bertanya
kepada Rosululloh ﷺ
apa yang harus dia ucapkan jika berziarah kubur.
Maka beliau mengajarinya apa yang harus diucapkan dan tidak
melarangnya, dan tidak menjelaskan bahwa wanita tidak boleh berziarah.
9.5 Apa yang Diharomkan di Kuburan
1) Menyembelih untuk Alloh ﷻ. Karena sabda beliau ﷺ:
«لَا عَقْرَ فِي الْإِسْلَامِ»
“Tidak ada penyembelihan (hewan) di kuburan dalam Islam.”
Abdurrozzaq
bin Hammam berkata: “Mereka dahulu biasa menyembelih sapi atau kambing di
kuburan.” (HR. Abu Dawud)
2-6) Apa yang terkandung dalam Hadits ini:
Dari Jabir rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rosululloh
ﷺ melarang kuburan
dikapur, diduduki, dibangun di atasnya, ditambahi (tanah/bangunan) di atasnya,
atau ditulis di atasnya.” (HR. Abu Dawud)
7) Sholat menghadap ke arahnya. Karena sabda beliau ﷺ:
«لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ»
“Janganlah kalian Sholat menghadap ke kuburan...” (HR.
Muslim)
8) Sholat
di dekatnya meskipun tidak menghadapnya.
Dari Abu Sa’id Al-Khudhri rodhiyallahu ‘anhu, dia
berkata: Rosululloh ﷺ
bersabda:
«الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ
إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ»
“Seluruh bumi adalah Masjid, kecuali pemakaman dan kamar
mandi.” (HR. Abu Dawud)
9) Membangun Masjid di atasnya. Dari A’isyah dan Abdullah
bin Abbas rodhiyallahu ‘anhum, keduanya berkata:
“Ketika (sakarotul maut) datang kepada Rosululloh ﷺ, beliau mulai
meletakkan selimutnya di atas wajahnya. Ketika beliau merasa sesak, beliau
menyingkapnya dari wajahnya dan bersabda dalam keadaan seperti itu:
«لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى
الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ»
‘Laknat Alloh atas kaum Yahudi dan Nashroni, mereka
menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai Masjid.’ Beliau memperingatkan dari
apa yang mereka perbuat.” (HR. Al-Bukhori)
Dari A’isyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata:
Rosululloh ﷺ bersabda dalam
sakitnya yang tidak membuatnya bangkit lagi:
«لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ»
“Alloh melaknat kaum Yahudi dan Nashroni, mereka menjadikan
kuburan para Nabi mereka sebagai Masjid.”
Dia (A’isyah) berkata: “Kalau bukan karena itu, niscaya
kubur beliau akan ditampakkan, hanya saja dikhawatirkan akan dijadikan Masjid.”
(HR. Al-Bukhori)
10) Menjadikannya sebagai hari raya, yang dikunjungi pada
waktu-waktu tertentu dan musim-musim yang dikenal, untuk beribadah di sana atau
untuk tujuan lain. Berdasarkan Hadits Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu,
dia berkata: Rosululloh ﷺ
bersabda:
«لَا تَتَّخِذُوا قَبْرِي
عِيدًا، وَلَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا، وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَصَلُّوا عَلَيَّ
فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي»
“Janganlah kalian menjadikan kuburku sebagai hari raya, dan
janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Di mana pun
kalian berada, bersholawatlah kepadaku, karena sungguh Sholawat kalian akan
sampai kepadaku.” (HR. Abu Dawud)
11) Melakukan
perjalanan khusus ke sana:
Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
«لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ
إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ
ﷺ، وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى»
“Janganlah melakukan perjalanan safar (dengan niat ibadah)
kecuali ke 3 Masjid: Masjidil Harom, Masjid Rosul ﷺ, dan Masjidil Aqsho.” (HR. Al-Bukhori)
12) Menyalakan lampu di atasnya, karena itu adalah bid’ah
yang tidak dikenal oleh Salafush Sholih, dan beliau ﷺ telah bersabda:
«كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلُّ
ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ»
“Setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan berada
di dalam Naar.” (HR. Abu Dawud)
Di dalamnya juga terdapat penyia-nyiaan harta, dan itu
dilarang berdasarkan nash (dalil). Berdasarkan sabda beliau ﷺ:
«إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ
ثَلَاثًا: قِيلَ وَقَالَ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ»
“Sungguh Alloh membenci 3 hal bagi kalian: qiila wa qoola
(desas-desus), menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.” (HR. Al-Bukhori)
13) Mematahkan
tulangnya. Karena sabda beliau ﷺ:
«إِنَّ كَسْرَ عَظْمِ الْمُؤْمِنِ
مَيِّتًا مِثْلُ كَسْرِهِ حَيًّا»
“Sungguh mematahkan tulang seorang Mu’min saat dia telah
meninggal sama seperti mematahkannya saat dia masih hidup.” (HR. Abu Dawud)
***