[PDF] Rangkuman Buku “Mengenal Lebih Dekat Madzhab Asy-Syafi’i (Edisi 2)” karya Nor Kandir
BAB I — Pendahuluan
Madzhab berarti jalan atau tempat menuju sesuatu, sementara
secara istilah adalah kumpulan hukum-hukum fiqih dari seorang imam mujtahid.
Madzhab Asy-Syafi’i adalah kumpulan pendapat Imam Muhammad
bin Idris Asy-Syafi’i (150–204 H) dalam masalah fiqih.
Keistimewaan madzhab ini adalah menggabungkan dua metode pendahulunya:
1. Madzhab Malikiyah yang berpegang kuat pada Hadits, dan
2. Madzhab Hanafiyah yang banyak menggunakan ro’yu (akal).
Asy-Syafi’i menyeimbangkan keduanya— menggabungkan nash (dalil) dan ijtihad rasional.
BAB II — Periode Perintisan
1: Kehidupan Imam Asy-Syafi’i
Lahir di Ghoza (Palestina) pada 150 H, wafat di Mesir pada
204 H. Hafal Al-Qur’an pada usia 7 tahun dan kitab Al-Muwaththa’ pada
usia 10 tahun.
Berguru kepada Imam Malik di Madinah, lalu menuntut ilmu ke
Hijaz, Irak, Syam, dan akhirnya menetap di Mesir.
2: Dasar Madzhab Asy-Syafi’i
Asy-Syafi’i menyebutkan dalam Al-Umm bahwa sumber
hukum terdiri dari lima tingkatan:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma’ (kesepakatan ulama)
4. Pendapat Sahabat
5. Qiyas (analogi hukum)
Para ulama Asy-Syafi’iyah menyederhanakannya menjadi empat
pokok: Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, dan qiyas.
Imam Asy-Syafi’i sangat berpegang pada Sunnah. Ia
menegaskan:
“Jika Hadits itu shohih, maka itulah madzhabku.”
Artinya, setiap Hadits yang shohih dari Rosulullah ﷺ menjadi pedoman,
meskipun belum sampai kepada beliau.
3: Qoul Qodim dan Qoul Jadid
Qoul Qodim (pendapat lama): Pendapat beliau di Irak
(Baghdad).
Qoul Jadid (pendapat baru): Pendapat beliau di Mesir.
Sebagian qoul qodim dibatalkan karena Asy-Syafi’i menemukan
dalil yang lebih kuat atau pemahaman yang lebih jelas.
Namun tidak semua qoul qodim ditinggalkan; jika qoul
tersebut didukung Hadits shohih
dan tidak bertentangan dengan qoul jadid, maka tetap digunakan oleh Syafiiyyah.
BAB III — Periode Penyebaran
Setelah wafatnya Asy-Syafi’i (204 H), murid-muridnya
menyebarkan madzhab ke berbagai wilayah: Hijaz, Irak, Syam, Khurosan, Afrika,
hingga Asia Timur.
Murid-murid utama:
Qoul Qodim: Ahmad bin Hanbal, Az-Za‘faroni, Al-Karobisi, Abu
Tsaur.
Qoul Jadid: Al-Buwaithi, Al-Muzani, Ar-Robi’ Al-Murodi, Yunus bin Abdil A‘la,
Harmalah, dan Ibnu Al-Hakam.
Mereka membentuk dua aliran utama:
Iroqiyyun
(Iraq): Dipelopori Abu Hamid Al-Isfiroyini.
Khurosaniyyun
(Khurosan): Dipelopori
Al-Qoffal Ash-Shoghir Al-Marwazi.
Dari dua jalur ini lahir karya-karya penting seperti Al-Muhadzdzab
(Asy-Syairozi) dan Al-Wasith (Al-Ghozali), yang menjadi dasar penyusunan
fiqih Syafi’i berikutnya.
BAB IV — Periode Penyaringan
1: Syaikhul Islam Ar-Rofi’i (w. 624 H)
Karya utamanya: Al-Muharror, ringkasan dari Al-Wajiz
karya Al-Ghozali.
Rantai ringkasannya luar biasa:
Al-Muharror → ringkasan Al-Wajiz
Al-Wajiz → ringkasan Al-Wasith
Al-Wasith → ringkasan Al-Basith
Al-Basith → penjabaran Bidayatul Mathlab (Imam
Haromain)
Bidayatul Mathlab → penjelasan Al-Mukhtashor
karya Al-Muzani (murid utama Asy-Syafi’i).
2: Al-Hafizh An-Nawawi (w. 676 H)
Karya besarnya:
Minhajut Tholibin – Ringkasan Al-Muharror, ditata ulang dengan
bahasa yang lebih jelas dan teratur.
Kitab ini bersama Matan Abu Syuja’ menjadi pegangan
pesantren di Nusantara.
Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab – Penjabaran Al-Muhadzdzab
karya Asy-Syairozi.
Kitab ini menjadi ensiklopedia fiqih Syafi’i paling lengkap
dan sistematis, meskipun belum selesai sempurna karena An-Nawawi wafat sebelum
menuntaskannya.
BAB V — Periode Penetapan
Dua tokoh utama madzhab, An-Nawawi dan Ar-Rofi’i, disebut
Asy-Syaikhon (dua guru besar).
Pendapat keduanya menjadi dasar resmi madzhab. Setelah
mereka, muncul ulama yang menertibkan dan mensyarah karya mereka:
1. Zakariya Al-Anshori yang meringkas Minhajut Tholibin menjadi Minhajut Thullab.
2. Ibnu Hajar Al-Haitsami (Tuhfatul Muhtaj)
3. Ar-Romli (Nihayatul Muhtaj)
4. Asy-Syirbini (Mughnil Muhtaj)
Kitab-kitab ini menjadi rujukan utama fiqih Syafi’i sampai
hari ini.
BAB VI — Kesimpulan
Imam Asy-Syafi’i adalah penggabung dua madzhab besar (Maliki
dan Hanafi). Ia menegakkan fiqih di atas empat dasar: Al-Qur’an, As-Sunnah,
Ijma’, dan Qiyas.
Warisan keilmuannya disusun, disaring, dan ditetapkan oleh
generasi demi generasi, dari Al-Muzani hingga Ibnu Hajar Al-Haitsami.
Madzhab Asy-Syafi’i tidak hanya sistem fiqih, tetapi juga
metodologi berpikir ilmiah dalam memahami nash dan realitas.
***
