[PDF] Menghadiahkan Pahala ke Mayit Menurut Ibnu Qudamah (620 H) - Nor Kandir
﷽
Pendapat
Jumhur
Ibnu
Qudamah (620 H) merupakan ulama besar dalam Madzab Hanbali. Dikatakan bahwa
Madzhab Maliki diwakili Ibnu Abdil Barr (463 H), Madzhab Syafii diwakili
Nawawi (676 H), dan Madzhab Hanbali diwakili Ibnu Qudamah (620
H).
Ibnu
Qudamah berpandangan bahwa amal apapun yang dihadiahkan untuk mayit adalah
sampai dan bermanfaat. Baik yang menghadiahkan adalah keluarganya sendiri
maupun orang lain. Ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas ulama) ulama yaitu
Hanafiyah dan Hanabilah lalu sebagian Malikiyah dan sebagian Syafiiyah. Ini
dipilih Ibnu Taimiyah dan Syaikh As-Sa’di.
Ibnu
Taimiyyah (728 H) berkata:
لَا نِزَاعَ بَيْنَ عَلَمَاءِ
السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فِي وُصُولِ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ الْمَالِيَّةِ: كَالصَّدَقَةِ
وَالْعِتْقِ، كَمَا يَصِلُ إِلَيْهِ أَيْضًا الدُّعَاءُ وَالِاسْتِغْفَارُ وَالصَّلَاةُ
عَلَيْهِ صَلَاةَ الْجَنَازَةِ وَالدُّعَاءِ عِنْدَ قَبْرِهِ. وَتَنَازَعُوا فِي وُصُولِ
الْأَعْمَالِ الْبَدَنِيَّةِ: كَالصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ وَالْقِرَاءَةِ. وَالصَّوَابُ
أَنَّ الْجَمِيعَ يَصِلُ إِلَيْهِ.
“Tidak
ada perdebatan di antara ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah tentang sampainya pahala
ibadah maliyah (harta) seperti sedekah dan memerdekakan budak, sebagaimana juga
sampai pahala ke mayit doa, istighfar, mensholatinya dengan sholat jenazah, dan
mendoakannya di kuburan. Mereka berselisih pada ibadah badaniyah seperti puasa,
sholat, dan membaca Al-Quran (untuk dihadiahkan pahalanya ke mayit). Yang benar
bahwa semua itu sampai ke mayit.” (Majmu Fatawa, 24/366)
As-Sa’di
(1376 H) berkata:
وَأَيُّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا وَجَعَلَ ثَوَابَهَا لِحَيٍّ أَوْ مَيِّتٍ مُسْلِمٍ، نَفَعَهُ
ذَلِكَ
“Qurbah
(amal sholih) apapun yang dikerjakan dan pahalanya dihadiahkan kepada orang
hidup maupun orang Muslim yang sudah meninggal, maka bermanfaat
untuknya.” (Manhajus Salikin, hal. 98)
Berikut ini
apa yang saya terjemahkan dari Al-Mughni karya Ibnu Qudamah juz 3
halaman 518-522.
Berkata
Ibnu Qudamah (620 H):
Membaca
Al-Quran di Kuburan
Tidak
mengapa membaca Al-Quran di samping kubur. Diriwayatkan dari Ahmad bahwa ia
berkata:
إذا دَخَلْتُم المَقَابِرَ اقْرأُوا آيَةَ الكُرْسِيِّ وثلاثَ مَرَّاتٍ ﴿قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ﴾، ثم قُلْ: اللَّهُمَّ إنَّ فَضْلَه لأهْلِ
المَقَابِرِ
“Jika
kamu memasuki kuburan bacalah ayat Kursi dan surat Al-Ikhlas 3x lalu ucapkan:
‘Ya Alloh keutamaan (yakni pahala bacaan) ini untuk ahli kubur.’”[1]
Adapula
riwayat lain darinya bahwa ia berkata: “Membaca Al-Quran di kuburan adalah
bid’ah.” Ini diriwayatkan juga dari Husyaim (bin Basyir guru utama Imam Ahmad).
Abu Bakar berkata: hal ini dinukil oleh banyak orang dari Ahmad lalu beliau
rujuk setelah jelas baginya. Diriwayatkan oleh sejumlah muridnya bahwa Ahmad
melarang seseorang membaca di sisi kuburan dan berkata kepadanya: “Membaca
Al-Quran di kuburan adalah bid’ah.” Lalu Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari
berkata: “Hai Abu Abdillah (Imam Ahmad), apa pendapatmu pada Mubasyyir
Al-Halabi?” Jawabnya: “Tsiqoh (jujur dan kuat hafalannya).” Ia berkata:
“Mubasyyir mengabarkan kepadaku dari ayahnya bahwa ayahnya berwasiat jika
dikubur nanti agar dibacakan di sisinya awal Al-Baqoroh dan akhir Al-Baqoroh
dan ia berkata: ‘Aku mendengar Ibnu Umar berwasiat demikian.’ Maka Ahmad bin
Hanbal berkata: ‘Kembalilah dan katakan kepada lelaki tadi agar membaca
Al-Quran (yakni boleh di samping kubur).”
Al-Khollal
berkata: Abu Ali Al-Husain bin Al-Haitsam Al-Bazzar mengabarkan kepadaku –ia
syaikh kami yang tsiqoh dan amanah– berkata: aku melihat Ahmad bin Hanbal
sholat bermakmum kepada lelaki tersebut yang membaca Al-Quran di kuburan.
Diriwayatkan
dari Nabi ﷺ
bersabda:
«مَنْ
دَخَلَ المَقَابِرَ فَقَرأَ سُورَةَ يس خُفِّفَ عَنْهُمْ يَوْمَئِذٍ، وَكَانَ لَهُ
بِعَدَدِ مَنْ فِيهَا حَسَنَاتٌ»
“Siapa
yang memasuki kuburan lalu membaca surat Yasin maka pada hari itu si mayit akan
diringankan, dan ia mendapatkan pahala sebanyak mayit yang dikubur di sana.”[2]
Juga sabda Nabi
ﷺ:
«مَنْ
زَارَ قَبْرَ والِدَيْهِ [أوْ أحدِهما]، فَقَرأَ عِنْدَهُ أوْ عِنْدَهُمَا يس غُفِرَ
لَهُ»
“Siapa
yang mengunjungi kuburan kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya lalu
membaca di sisinya surat Yasin maka dosanya diampuni.”[3]
Menghadiahkan
Pahala ke Mayit
Ibnu
Qudamah melanjutkan:
Qurbah (amal sholih) apapun yang
dikerjakan dan menjadikan pahalanya untuk mayit Muslim maka bermanfaat baginya, in syaa Alloh.
Adapun doa, istighfar, sedekah, menunaikan kewajiban (seperti puasa nadzarnya
si mayit), aku tidak tahu ada khilaf di dalamnya, jika memang amal wajib
tersebut bisa dibadalkan (diwakilkan). Alloh berfirman:
﴿وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا
الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ﴾
“Orang-orang
yang datang setelah mereka berdoa: ‘Ya Rob kami ampunilah kami dan
saudara-saudara kami yang mendahului kami beriman.” (QS. Al-Hasyr: 10)
Alloh juga
berfirman:
﴿وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ﴾
“Mohonlah
ampun untuk dosamu dan dosa orang-orang beriman.” (QS. Muhammad: 19)
Nabi ﷺ
mendoakan Abu Salamah ketika wafat, juga mendoakan mayit yang disholatinya
dalam Hadits Auf bin Malik, juga mendoakan setiap mayit yang disholatkan.
Seseorang
berkata kepada Nabi ﷺ:
“Wahai Rosulullah, ibuku wafat, apakah bermanfaat jika aku bersedekah
atas namanya?” Jawab beliau: “Ya.” (HSR. Abu Dawud)
Hadits ini
juga diriwayatkan dari Sa’ad bin Ubadah.
Seorang
wanita mendatangi Nabi ﷺ
dan berkata: “Wahai Rosulullah, kewajiban Haji berlaku saat ayahku sudah lanjut
usia, tidak mampu menaiki kendaraan, apakah boleh aku haji atas namanya?” Jawab
beliau: “Bagaimana pendapatmu seandainya ayahmu punya hutang apakah kamu boleh
melunasinya?” Jawabku: “Ya.” Beliau berkata: “Hutang kepada Alloh lebih berhak
untuk dilunasi.” (Muttafaqun Alaih)
Ada yang
berkata: “Ibuku wafat, dalam keadaan memiliki tanggungan puasa sebulan, apakah
aku boleh berpuasa atas namanya?” Jawab beliau: “Ya.” (Muttafaqun Alaih)
Hadits-Hadits
ini shohih dan menunjukkan bermanfaatnya seluruh jenis qurbah (amal
sholih) untuk mayit, karena puasa, haji, doa, istighfar merupakan ibadah badan
dan Alloh menyampaikan pahalanya ke mayit, maka begitu pula qurbah
selainnya, disamping Hadits yang sudah kami sebutkan tentang pahala membaca
Yasin dan dijadikannya mayit diringankan dengan sebab membacanya.
Amr bin
Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, meriwayatkan bahwa Rosulullah ﷺ
bersabda kepada Amr bin Al-Ash:
«لَوْ
كَانَ أَبُوكَ مُسْلِمًا، فَأعْتَقْتُمْ عَنْهُ، أوْ تَصَدَّقْتُمْ عَنْهُ، أوْ حَجَجْتُمْ
عَنْهُ، بَلَغَهُ ذَلِكَ»
“Seandainya
ayahmu Muslim, lalu kamu memerdekakan budak atas namanya atau bersedekah atas
namanya, atau berhaji atas namanya, maka pahalanya akan sampai kepadanya.” (HHR.
Abu Dawud no. 2883)
Hadits ini
umum pada haji sunnah maupun selainnya, karena ia amal sholih, sehingga
pahalanya sampai kepada si mayit, seperti sedekah, puasa, haji wajib.
Asy-Syafii
(204 H) berkata: “Kecuali ibadah wajib dan sedekah serta doa dan istighfar. (Selain
itu) tidak boleh dikerjakan atas nama mayit dan pahalanya tidak sampai kepada
mayit, berdasarkan firman Alloh:
﴿وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى﴾
“Orang
tidak mendapatkan pahala kecuali apa yang telah dikerjakan.” (QS. An-Najm:
39)
Juga sabda Nabi
ﷺ:
«إِذَا
مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ»
“Jika
anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali tiga perkara: sedekah
jariyah, ilmu yang dimanfaatkan (diamalkan setelah wafatnya), atau anak sholih
yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Juga karena
manfaat tersebut tidak melebihi pelakunya sehingga tidak menjangkau orang lain pahalanya.”
Sebagian
ulama berkata: apabila dibacakan Al-Quran di sisi mayit atau pahalanya
dihadiahkan kepadanya maka pahala tersebut untuk si pembacanya, sementara mayit
seakan-akan menghadirinya sehingga diharapkan mendapatkan rohmat.
Kami
berpendapat seperti yang telah kami sebutkan dan ini adalah ijma kaum Muslimin.
Mereka pada tiap generasi di berbagai negeri berkumpul dan membaca Al-Quran dan
menghadiahkan pahalanya untuk mayit tanpa ada pengingkaran. Juga berdasarkan Hadits
yang shohih dari Nabi ﷺ:
«إنَّ
الميِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ»
“Mayit
disiksa karena tangisan keluargnya atasnya.” (HR. Al-Bukhori)
Alloh itu
terlalu Mulia untuk menimpakan hukuman maksiat kepada mayit (karena amalan
orang lain) dan menahan darinya pahala (yang dihadiahkan untuknya). Jika Alloh
mampu menyampaikan pahala amalan yang disepakati bisa dihadiahkan kepada mayit,
maka tentu Alloh juga mampu menyampaikan pahala amalan yang mereka sangkal
(yakni amalan-amalan yang diperselisihkan sampainya).
Ayat yang
mereka gunakan sebagai dalil sebenarnya hanya khusus pada amalan yang mereka
akui sampainya. Maka amalan yang masih diperselisihkan maknanya, cukup
diqiyaskan kepada yang disepakati itu.
Mereka juga
tidak punya hujjah dalam Hadits yang mereka jadikan dasar, karena Hadits itu
hanya menunjukkan bahwa amalan si mayit terputus setelah meninggal. Itu tidak
ada hubungannya dengan sampainya pahala dari orang lain untuknya. Dan
seandainya Hadits itu dianggap sebagai dalil (untuk menolak sampainya pahala),
maka tetap saja berlaku khusus pada amalan yang memang tidak sampai — sesuai
yang mereka setujui. Sementara amalan yang lain bisa diqiyaskan kepada amalan
yang mereka akui sampainya.
Alasan yang
mereka sebutkan pun tidak benar, karena sampainya pahala bukanlah sesuatu yang
mengikuti sampainya manfaat secara logika. Pendapat mereka juga batal oleh
dalil sampainya pahala Puasa dan Haji kepada mayit, dan pendapat mereka tidak
memiliki dasar yang kuat untuk dijadikan rujukan. Alloh lebih mengetahui []
Kesimpulan
Ahli ilmu
sepakat bahwa doa dan amal maliyah yang dihadiahkan ke mayit, sampai kepadanya.
Mereka berselisih pada amal badaniyyah seperti Sholat dan Puasa, begitu pula
tilawah Qur’an. Ibnu Taimiyyah (728 H), Ibnu Qudamah (620 H), As-Sa’di (1376 H),
dan sejumlah ulama memandang sampai.
Ini masuk
ranah ijtihadiyyah dan fiqhiyyah, yang semestinya berlapang dada dan tidak
keras di dalamnya atas yang berbeda pendapat dengan kita.
Semoga
Alloh memberi taufik.
***
[1] Dalam riwayat lain dari Abu Bakar
Al-Marrudzi (275 H) bahwa ia mendengar Imam Ahmad berkata: “Jika kalian masuk
ke kuburan, bacalah Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas. Lalu hadiahkan
pahalanya untuk ahli kubur karena hal itu sampai kepada mereka. Ini biasa
dilakukan kaum Anshor ketika datang kepada orang yang wafat. Mereka membaca
Al-Quran.” (Matholib Ulil Nuha, hal. 935, Musthofa Al-Hanbali)
Guru Imam Ahmad, Imam Syafii (204 H)
juga berpendapat semisal:
وَأُحِبُّ لَوْ قُرِئَ عِنْدَ الْقَبْرِ، وَدُعِيَ
لِلْمَيِّتِ وَلَيْسَ فِي ذَلِكَ دُعَاءٌ مُؤَقَّتٌ
“Aku suka seandainya dibacakan
Al-Quran di sisi kuburan dan mayit didoakan juga, hanya saja tidak ada doa
tertentu (yang ditetapkan waktunya) dalam hal itu.” (Al-Umm, 1/322)
[2] Dilemahkan Al-Mubarokfuri dan
As-Sakhowi; dinilai palsu oleh Al-Albani. Ibnu Qudamah mengetahui status Hadits
ini, adapun beliau mencantumkannya di sini karena Hadits lemah menurut jumhur
—selama dalam fadhilah amal dan ditopang dalil lain yang shohih— boleh
diamalkan, seperti Ibnul Mubarok, Tsauri, Laits, Malik, Syafii, Ishaq, Ahmad,
dan At-Tirmidzi.
[3] Di dalamnya ada rowi bernama Amr bin
Ziyad yang dinilai lemah dan sebagian menilai palsu. Hadits ini dinilai palsu oleh Adz-Dzahabi,
Asy-Syaukani, Ibnu Adi, Ibnu Al-Qoisaroni, Ibnul Jauzi, Al-Albani. Dilemahkan
oleh As-Suyuthi.
%20-%20Nor%20Kandir.jpg)