[PDF] Membangkitkan Semangat Menuntut Ilmu - شحذ الهمة - Syaikh Samir bin Yusuf Al-Hakali
Pengantar Pentarjamah
Buku ini
sudah kami dengarkan langsung dari penulisnya dari awal sampai akhir pada tahun
2023, dan beliau memberi kami ijazah khusus buku ini.
Kitab asli
ini bisa diunduh PDF nya di sini.
Tarjamah
ini adalah pekerjaan dari hamba yang lemah dan terbatas. Maka koreksi tarjamah
dan penukilan bisa disampaikan ke nomor ini, untuk bahan kajian ulang pada edisi
berikutnya.
Allahul
muwaffiq.
Sanad Kitab
﷽
الحمد لله رب العالمين، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا
شريك له ولي الصالحين، أما بعد:
فقد سمع علينا طالب العلم النجيب نور كاندير كتابنا
«شحذ الهمة في الطلب» في مجلس واحد، وقد أجزناه بروايته إجازة خاصة من معيّن المعين
في معين بالشرط المعتبر عند أهل الحديث والأثر.
ونوصي المجاز بتقوى الله في السر والعلن، والحرص على العلم
والعمل، والعناية بالسنة تعلما وتعليما وعملا ونشرا، وأن لا ينسانا ومشايخنا والمسلمين
خالص دعائه.
قاله بفمه وأمر برسمه:
سمير بن يوسف بن سالم الحكلي
Terjemah
Sanad Kitab
﷽
Segala puji hanya bagi Robb semesta alam, dan aku bersaksi bahwa tiada
ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu
bagi-Nya, Dia adalah Pelindung bagi orang-orang sholih.
Adapun setelah itu:
Sungguh, telah mendengarkan kepada kami murid yang cerdas, Nor Kandir,
kitab kami Syahdzul Himmah fith Tholab (Membangkitkan Semangat
Menuntut Ilmu) dalam satu majelis. Dan sungguh, kami telah memberikan
ijazah (izin) kepadanya untuk meriwayatkan kitab tersebut, yaitu ijazah khusus
dari orang tertentu kepada orang tertentu dalam perkara tertentu, dengan syarat
yang diakui oleh para Ahli Hadits dan Atsar (riwayat).
Kami mewasiatkan kepada yang diberi ijazah agar bertaqwa kepada Allah
dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan, bersungguh-sungguh terhadap
ilmu dan amal, serta mencurahkan perhatian kepada As-Sunnah dalam hal
mempelajarinya, mengajarkannya, mengamalkannya, dan menyebarkannya, dan agar ia
tidak melupakan kami, para guru kami (masyayikh) dan kaum Muslimin dalam
doa-doanya yang tulus.
Ini disampaikan secara lisan dan diperintahkan untuk ditulis
(diabadikan) oleh:
Samir bin Yusuf bin Salim Al-Hakali
Pembukaan
﷽
Segala puji bagi Alloh ﷻ yang telah
meninggikan derajat para ahli ilmu. Alloh ﷻ berfirman:
﴿يَرْفَعِ
اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتِ﴾
“Allah
mengangkat beberapa derajat orang-orang beriman di antara kalian dan juga
orang-orang yang diberi ilmu.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Sholawat dan salam semoga tercurah atas Nabi ﷺ yang mulia, yang jujur, dan terpercaya,
yang bersabda:
«مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقَّهْهُ
فِي الدِّينِ»
“Siapa yang
dikehendaki kebaikan oleh Allah maka ia akan dijadikan faham agama.” (Muttafaqun Alain)
Begitupula atas keluarga beliau dan Shohabat beliau
semuanya.
Selanjutnya:
Sungguh, ini adalah ringkasan yang indah, dan nukilan yang
ringkas tentang keutamaan ilmu dan para ahlinya. Aku menuliskannya untuk mereka
yang masih awam dalam ilmu sepertiku. Aku menamakannya:
«شَحْذُ
الهِمَّةِ فِي الطَّلَبِ»
“Membangkitkan
Semangat Menuntut Ilmu”
Hanya kepada Alloh ﷻ kami
memohon agar menjadikan tulisan ini ikhlas karena Wajah-Nya yang Mulia, dan
agar mengedarkannya sejauh peredaran matahari di penjuru dunia, serta agar
memberikan manfaat kepada penulisnya, penghafalnya, dan mereka yang menyibukkan
diri dengannya.
Tidak ada taufiq bagiku kecuali dari Alloh ﷻ, kepada-Nya aku
bertawakkal, dan kepada-Nya aku kembali. Dia-lah yang mencukupi bagiku dan
sebaik-baik wakil. Maha Suci Robbmu, Robb Yang Maha Perkasa dari apa yang
mereka sifatkan. Salam sejahtera atas para Rosul, dan segala puji bagi Alloh ﷻ
Robb semesta alam.
Ditulis oleh:
Abu Abdirrohman
Samir bin Yusuf bin Salim bin Ahmad Al-Hakali
Yaman - Hudaidah - Al-Manzhor - Masjid Al-Huda
Hari Kamis, Robi’ul Awwal 1438 H
Bertepatan dengan Desember 2016 M
[1] Keutamaan Ilmu
Alloh ﷻ
berfirman:
«وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا»
“Ucapkanlah: ‘Ya Robb-ku, tambahkanlah aku ilmu.’” (QS.
Thoha: 114)
Ibnu Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu (35 H) ketika membaca ayat ini
berkata:
«اللَّهُمَّ زِدْنِي عِلْمًا، وَإِيمَانًا، وَيَقِينًا»
“Ya Allah,
tambahkan aku ilmu, iman, dan keyakinan.”
Sufyan bin Uyainah rohimahulloh berkata:
«وَلَمْ يَزَلْ ﷺ فِي زِيَادَةٍ حَتَّى تَوَفَّاهُ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ»
“Nabi
ﷺ senantiasa bertambah
ilmunya hingga Alloh ﷻ
mewafatkannya.”
Ibnu Al-Qoyyim (751 H) rohimahulloh berkata:
«وَكَفَى بِهَذَا شَرَفًا لِلْعِلْمِ أَنْ أَمَرَ
اللَّهُ نَبِيَّهُ ﷺ أَنْ يَسْأَلَهُ الْمَزِيدَ مِنْهُ»
“Cukuplah ini sebagai kemuliaan bagi ilmu karena Alloh ﷻ
memerintahkan Nabi-Nya ﷺ
untuk memohon tambahan darinya.”
Ibnu Katsir (774 H) rohimahulloh berkata:
«أَيْ زِدْنِي مِنْكَ عِلْمًا»
“Maksudnya, ‘Tambahkanlah ilmu dari-Mu untukku.’”
Guru kami, Syaikh Al-‘Allamah Muhammad Amin Al-Harori berkata:
«مَا أَمَرَ اللَّهُ نَبِيَّهُ أَنْ يَسْتَزِيدَ
مِنْ شَيْءٍ كَمَا أَمَرَهُ أَنْ يَسْتَزِيدَ مِنَ العِلْمِ»
“Alloh
ﷻ
tidak memerintahkan Nabi-Nya ﷺ
untuk meminta tambahan dari sesuatu seperti Dia memerintahkannya untuk meminta
tambahan ilmu.”
[2] Semangat
Salaf dalam Mencari Ilmu
Ibnu ‘Aqil Al-Hanbali rohimahulloh berkata:
«إِنِّي لَأَجِدُ مِنْ حِرْصِي عَلَى العِلْمِ
وَأَنَا فِي عَشْرِ الثَّمَانِينَ أَشَدَّ مِمَّا كُنْتُ أَجِدُهُ وَأَنَا ابْنُ عِشْرِينَ
سَنَةً»
“Sungguh, kesungguhanku dalam mencari ilmu, padahal aku di
usia 80 tahun, lebih kuat daripada yang kudapati saat aku berumur 20 tahun.”
Ibnu Al-Jauzi, saat di akhir usianya, yaitu 80 tahun,
membaca Qiro’at Asyroh (10 macam bacaan Al-Qur’an) di hadapan Ibnu
Al-Baqillani, ia bersama putranya Yusuf.
Adz-Dzahabi (748 H) berkomentar tentang kisah ini:
«فَانْظُرْ إِلَى هَذِهِ الهِمَّةِ العَالِيَةِ»
“Lihatlah
semangat yang tinggi ini.”
Ibnu Abdil Hadi rohimahulloh berkata tentang Ibnu
Taimiyah (728 H):
«لَا تَكَادُ نَفْسُهُ تَشْبَعُ مِنَ العِلْمِ،
وَلَا تَرْوَى مِنَ الْمُطَالَعَةِ، وَلَا تَمَلُّ مِنَ الاشْتِغَالِ، وَلَا تَكِلُّ
مِنَ البَحْثِ، وَقَلَّ أَنْ يَدْخُلَ فِي عِلْمٍ مِنَ العُلُومِ إِلَّا وَيَفْتَحُ
لَهُ مِنْ ذَلِكَ الْبَابِ أَبْوَابًا، وَيَسْتَدْرِكُ أَشْيَاءَ فِي ذَلِكَ العِلْمِ
عَلَى حُذَّاقِ أَهْلِهِ»
“Jiwanya hampir tidak pernah kenyang dari ilmu, tidak pernah
terpuaskan dari muthola’ah (membaca/menelaah), tidak bosan menyibukkan
diri, dan tidak pernah lelah dari penelitian. Jarang sekali ia memasuki suatu
cabang ilmu melainkan Alloh ﷻ
membukakan baginya banyak pintu dari cabang itu, dan ia mengoreksi hal-hal
dalam ilmu tersebut dari para ahlinya yang terampil.”
Ibnu Al-Jauzi berkata:
«كَانَ طَاهِرُ ابْنُ أَبِي الصَّقْرِ مِنَ الْجَوَّالِينَ
فِي الْآفَاقِ، وَمِنَ المُكْثِرِينَ مِنْ شُيُوخِ الأَمْصَارِ، وَكَانَ يَقُولُ: هَذِهِ
كُتُبِي أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ وَزْنِهَا ذَهَبًا»
Thohir bin Abi Ash-Shoqr adalah salah satu ulama yang
berkelana ke berbagai penjuru dunia, dan banyak mengambil ilmu dari para guru
di berbagai kota. Ia berkata, “Kitab-kitabku ini lebih aku cintai daripada emas
seberat timbangannya.”
Ibnu Al-Qoyyim (751 H) berkata:
«حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ
أَخُو شَيْخِنَا شَيْخِ الإِسْلَامِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ : عَنْ أَبِيهِ عَبْدِ الحَلِيمِ
قَالَ: كَانَ جَدِّي أَبُو البَرَكَاتِ عَبْدُ السَّلَامِ إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ يَقُولُ
لِي: اقْرَأْ فِي هَذَا الكِتَابِ، وَارْفَعْ صَوْتَكَ حَتَّى أَسْمَعَ»
“Abdur Rohman bin Taimiyah, saudara Syaikh kami Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah (728 H) menceritakan kepadaku, dari ayahnya Abdul Halim, ia
berkata, “Kakekku Abu Al-Barokat Abdus Salam, jika masuk ke toilet, ia berkata
kepadaku, ‘Bacalah kitab ini, dan keraskan suaramu agar aku bisa mendengarnya.’”
Hassan bin Muhammad berkata:
«سَمِعْتُ مَشَائِخَنَا يَذْكُرُونَ: أَنَّ إِسْحَاقَ
بْنَ مَنْصُورٍ بَلَغَهُ أَنَّ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ رَجَعَ عَنْ تِلْكَ المَسَائِلِ
الَّتِي عَلَّقَهَا عَنْهُ قَالَ: فَجَمَعَ إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ تِلْكَ المَسَائِلَ
فِي جِرَابٍ، وَحَمَلَهَا عَلَى ظَهْرِهِ، وَخَرَجَ رَاجِلاً إِلَى بَغْدَادَ، وَهِيَ
عَلَى ظَهْرِهِ، وَعَرَضَ خُطُوطَ أَحْمَدَ عَلَيْهِ فِي كُلِّ مَسْأَلَةٍ اسْتَفْتَاهُ
فِيهَا ، فَأَقَرَّ لَهُ بِهَا ثَانِيًا، وَأُعْجِبَ أَحْمَدُ بِذَلِكَ»
“Aku mendengar guru-guru kami menyebutkan bahwa telah sampai
kepada Ishaq bin Manshur bahwa Ahmad bin Hanbal (241 H) telah menarik kembali
fatwa-fatwa yang pernah ia berikan kepadanya. Maka, Ishaq bin Manshur
mengumpulkan masalah-masalah itu ke dalam satu kantong besar, lalu memanggulnya
di punggungnya. Ia pun berangkat berjalan kaki ke Baghdad, dan kantong itu
masih di punggungnya. Ia menyodorkan tulisan tangan Ahmad bin Hanbal kepadanya
tentang setiap masalah yang ia tanyakan, lalu Ahmad bin Hanbal membenarkannya
kembali, dan Ahmad bin Hanbal merasa kagum dengan hal itu.
As-Sakhowi
rohimahulloh berkata tentang gurunya, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani (852 H):
«كَانَتْ لَهُ هِمَّةٌ عَالِيَةٌ فِي المُطَالَعَةِ،
وَالْقِرَاءَةِ، وَالسَّمَاءِ، وَالْعِبَادَةِ، وَالتَّصْنِيفِ، وَالْإِفَادَةِ»
“Beliau
memiliki semangat yang tinggi dalam muthola’ah (meneliti), membaca, mendengar Hadits (dalam majlis sama’),
beribadah, menulis, dan memberikan faedah.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani rohimahulloh berkata:
«إِنِّي لَأَتَعَجَّبُ مِمَّنْ يَجْلِسُ خَالِيًا
عَنِ الاِشْتِغَالِ»
“Sungguh,
aku heran kepada orang yang
duduk berdiam diri tanpa menyibukkan diri.”
[3] Semangat Salaf dalam Mencari
Ilmu di Ambang Kematian
Ibrohim bin Al-Jarroh At-Tamimi berkata:
«أَتَيْتُ أَعُودُ القَاضِيَ أَبَا يُوسُفَ صَاحِبَ
أَبِي حَنِيفَةَ، وَهُوَ مُغْوًى عَلَيْهِ، فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ لِي: يَا إِبْرَاهِيمُ،
أَيُّهُمَا أَفْضَلُ فِي رَمْيِ الْجِمَارِ: أَنْ يَرْمِيَهُ الرَّجُلُ رَاجِلاً أَوْ
رَاكِبًا ؟ فَقُلْتُ : رَاكِبًا. قَالَ: أَخْطَأْتَ. فَقُلْتُ: مَاشِيًا. قَالَ : أَخْطَأْتَ.
قُلْتُ: قُلْ فِيهَا يَرْضَى اللَّهُ عَنْكَ. قَالَ: أَمَّا مَا يُوقَفُ فِيهِ لِلدُّعَاءِ
فَالْأَفْضَلُ أَنْ يَرْمِيَهُ رَاجِلاً، وَأَمَّا مَا كَانَ لَا يُوقَفُ عِنْدَهُ
فَالْأَفْضَلُ أَنْ يَرْمِيَهُ رَاكِبًا ثُمَّ قُمْتُ مِنْ عِنْدِهِ، فَلَمْ أَبْلُغْ
بَابَ دَارِهِ حَتَّى سَمِعْتُ الصُّرَاخَ عَلَيْهِ، فَإِذَا هُوَ قَدْ مَاتَ رَحِمَهُ
اللَّهُ تَعَالَى»
Aku datang menjenguk Qodhi Abu Yusuf, murid Abu Hanifah (150
H). Ia sedang pingsan. Ketika sadar, ia bertanya kepadaku, “Wahai Ibrohim,
manakah yang lebih utama dalam melontar jumroh, apakah seseorang melontar
sambil berjalan kaki atau sambil berkendara?” Aku menjawab, “Berkendara.” Ia
berkata, “Kamu salah.” Lalu aku menjawab, “Berjalan kaki.” Ia berkata, “Kamu
salah.” Aku berkata, “Sampaikanlah, semoga Alloh ﷻ meridhoimu.” Ia
menjawab, “Adapun jumroh yang padanya disunnahkan berhenti untuk berdo’a, yang
lebih utama adalah melontarnya sambil berjalan kaki. Sedangkan jumroh yang
padanya tidak disunnahkan berhenti, yang lebih utama adalah melontarnya sambil
berkendara.” Lalu aku bangkit dari sisinya. Aku belum sampai di pintu rumahnya
sampai aku mendengar teriakan tangis untuknya. Ternyata ia telah wafat rohimahulloh.
Abdur Rohman bin Abi Hatim Ar-Rozi (327 H) berkata:
«حَضَرْتُ أَبِي رَحِمَهُ اللَّهُ، وَكَانَ فِي
النَّزْعِ، فَسَأَلْتُهُ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَبْدِ الغَافِرِ: أَيَرْوِي عَنِ النَّبِيِّ
ﷺ؟ فَقَالَ بِرَأْسِهِ: لَا. فَلَمْ أَقْنَعْ مِنْهُ، فَقُلْتُ : أَفَهِمْتَ عَنِّي؟
أَلَهُ صُحْبَةٌ؟ فَقَالَ : هُوَ تَابِعِيُّ»
Aku menghadiri ayahku rohimahulloh saat sedang
sakarotul maut. Aku bertanya kepadanya tentang Uqbah bin Abdil Ghofir, “Apakah
ia meriwayatkan Hadits dari Nabi ﷺ?”
Ia menjawab dengan anggukan kepala: “Tidak.” Aku belum merasa puas, lalu aku
berkata, “Apakah kamu mengerti pertanyaanku? Apakah ia seorang Shohabat?” Ia
menjawab: “Ia adalah seorang Tabi’in.”
Ini adalah Ibnu Malik An-Nahwi (672 H), penulis Alfiyyah
dalam ilmu Nahwu. Ia menghafal 5 (lima) syawahid (contoh kalimat)
Nahwiyah pada hari ia wafat.
Al-Qosimi (1332 H) menyebutkan dalam biografi Abu Al-‘Abbas
Ahmad bin Abi Tholib Al-Hajjar (730 H), bahwa Al-Qur’an dibacakan di hadapannya
pada hari wafatnya, padahal usianya sudah 110 tahun.
Al-Faqih At-Tabrizi berkata:
«دَخَلْتُ عَلَى أَبِي الرَّيْحَانِ، وَهُوَ يَجُودُ
بِنَفْسِهِ، وَقَدْ حَشْرَجَتْ وَضَاقَ بِهَا صَدْرُهُ، فَقَالَ لِي: كَيْفَ قُلْتَ
يَوْمَ حِسَابِ الْجَدَّاتِ الْفَاسِدَاتِ؟ فَقُلْتُ لَهُ إِشْفَاقًا عَلَيْهِ: أَفِي
هَذِهِ الحَالَةِ؟ فَقَالَ لِي: يَا هَذَا أُوَدِّعُ الدُّنْيَا، وَأَنَا عَالِمٌ بِهَذِهِ
المَسْأَلَةِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ أُوَدِّعَ الدُّنْيَا، وَأَنَا جَاهِلٌ بِهَا. فَأَعَدْتُ
ذَلِكَ عَلَيْهِ، وَحَفِظَ، وَخَرَجْتُ مِنْ عِنْدِهِ، فَلَمَّا كُنْتُ بِبَابِ الدَّارِ
سَمِعْتُ الصُّرَاخَ عَلَيْهِ»
Aku menemui Abu Ar-Roihan (440 H) yang sedang menghadapi sakarotul maut. Napasnya
tersengal dan dadanya sesak. Ia bertanya kepadaku, “Bagaimana kamu mengatakan
tentang perhitungan nenek-nenek yang fasid?” Aku menjawabnya karena
kasihan kepadanya, “Apakah dalam keadaan seperti ini?” Ia menjawab, “Wahai
engkau, aku meninggalkan dunia dalam keadaan mengetahui masalah ini lebih baik
daripada aku meninggalkan dunia dalam keadaan bodoh tentangnya.” Maka aku ulangi
lagi masalah itu kepadanya, dan ia menghafalnya. Aku keluar dari sisinya.
Begitu sampai di pintu rumah, aku mendengar teriakan tangis untuknya.
Muhammad bin Jarir Ath-Thobari (310 H):
«لَمَّا حَضَرَتْهُ الوَفَاةُ سَمِعَ حَدِيثًا
يُرْوَى عِنْدَهُ، فَأَخَذَ دَوَاةً، وَقَلَمًا وَكَاغِدًا ثُمَّ كَتَبَ الحَدِيثَ،
وَهُوَ عَلَى فِرَاشِ مَوْتِهِ»
Ketika ajal menjemputnya, ia mendengar sebuah Hadits yang
diriwayatkan di sisinya. Lalu ia mengambil tempat tinta, pena, dan kertas,
kemudian ia menulis Hadits itu, padahal ia berada di ranjang kematiannya.
[4] Semangat
Salaf dalam Membaca
Al-Khothib Al-Baghdadi (463 H) membaca kitab Shohih
Al-Bukhori rohimahulloh di hadapan Isma’il bin Ahmad bin Abdulloh
Adh-Dhorir yang wafat pada tahun 430 H, dalam 3 (tiga) majelis: dari setelah
Sholat Maghrib hingga Fajar selama 2 (dua) malam, dan malam ketiga dari Dhuha
hingga Fajar.
Adz-Dzahabi
(748 H) berkomentar:
«هَذِهِ القِرَاءَةُ
الَّتِي لَمْ يُسْمَعْ قَطُّ بِأَسْرَعَ مِنْهَا»
“Ini adalah
majelis qiro’ah yang tidak pernah terdengar lebih cepat darinya,” dan ia juga
berkata:
«وَهَذَا شَيْءٌ
لَا أَعْلَمُ أَحَدًا فِي زَمَانِنَا يَسْتَطِيعُهُ»
“Ini adalah
sesuatu yang aku tidak tahu ada seorang pun di zaman kita yang mampu
melakukannya.”
Abu Sa’id
As-Sam’ani (562 H) berkata: Al-Khothib Al-Baghdadi (463 H) membaca kitab Shohih
Imam Al-Bukhori rohimahulloh dalam 5 (lima) hari di hadapan
Asy-Syaikhah Karimah binti Ahmad Al-Marwadzhiyyah. Ia (Karimah) mendengar
Hadits-Hadits Al-Bukhori dari Al-Kusymahini. Ia adalah seorang ‘alimah (ulama
wanita) yang mulia, dan usianya mencapai 100 tahun. Ia wafat pada tahun 463 H.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-‘Asqolani (852 H) membaca kitab Shohih Imam Al-Bukhori di
hadapan gurunya, Abu Al-Ma’ali Abdulloh bin Umar bin ‘Ali Al-Hindi dalam 10
(sepuluh) majelis.
Ibrohim
Al-Biqo’i rohimahulloh (885 H) membaca kitab Shohih Imam Al-Bukhori
secara penuh dalam 6 (enam) hari di hadapan ayahnya.
Al-Qostholani
(923 H) membaca kitab Shohih Imam Al-Bukhori di hadapan An-Nasyawi dalam
5 (lima) majelis.
Abdulloh
bin Sa’id Al-Umawi membaca kitab Shohih Imam Muslim di hadapan Abu Dzarr
Al-Harowi dalam 1 (satu) Jum’ah, yaitu 1 (satu) pekan.
Tholhah bin
Muzhoffar Al-Hanbali membaca kitab dalam 3 (tiga) majelis.
Ibnu
Al-Abar membaca kitab Shohih Muslim di hadapan Al-Muhaddits Al-Mu’ammar
Abu Muhammad Abdulloh bin Muhammad Al-Hajari Al-Andalusi dalam 6 (enam) hari.
Zainud Din
Al-‘Iroqi (806 H) membaca kitab Shohih Muslim di hadapan Muhammad bin
Isma’il Al-Khobbaz di Damaskus dalam 6 (enam) majelis. Majelis qiro’ah ini
dihadiri oleh Al-Hafizh Ibnu Rojab Al-Hanbali (795 H).
Majdud Din
Al-Fairuzabadi (817 H) membaca kitab Shohih Muslim di hadapan Al-Bayani
di Masjidil Aqsho dalam 14 (empat belas) majelis.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-‘Asqolani (852 H) rohimahulloh membaca kitab Shohih
Muslim di hadapan Muhammad bin Muhammad bin Abdil Lathif Ibnul Kuwaik dalam
5 (lima) majelis.
Al-Fairuzabadi
(817 H) membaca kitab Shohih Muslim di hadapan Ibnu Jahbal dalam 3
(tiga) hari.
Zainud Din
Al-‘Iroqi (806 H) membaca kitab Musnad Ahmad di hadapan Muhammad bin
Isma’il Al-Khobbaz dalam 30 (tiga puluh) majelis.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-‘Asqolani (852 H) membaca kitab Musnad Ahmad dengan
tambahannya di hadapan gurunya, Abu Al-Ma’ali Abdulloh bin Umar bin ‘Ali
Al-Hindi dalam 53 (lima puluh tiga) majelis.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-‘Asqolani (852 H) membaca kitab As-Sunan Al-Kubro karya
An-Nasa’i rohimahulloh di hadapan Asy-Syaraf Ibnul Kuwaik dalam 10
(sepuluh) majelis.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-‘Asqolani (852 H) rohimahulloh membaca kitab Sunan Ibnu
Majah dalam 4 (empat) majelis.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-‘Asqolani (852 H) membaca kitab Al-Mu’jam Ash-Shoghir karya
Ath-Thobroni rohimahulloh dalam 1 (satu) majelis, dari Zhuhur hingga
Ashar, di hadapan Umar bin Muhammad bin Ahmad Al-Balisi kemudian Ash-Sholihi.
Al-Mu’taman
As-Saji membaca kitab Al-Muhaddits Al-Fashil karya Ar-Romahurmuzi rohimahulloh
—yang merupakan kitab pertama yang disusun dalam ilmu mushtholah Hadits— di
hadapan Ibnu Ath-Thoyburi dalam 1 (satu) majelis.
Al-‘Izz
Ibnu Abdis Salam (660 H) membaca kitab Nihayatul Mathlab fi Diroyatil
Madzhab dalam fiqih Asy-Syafi’iyyah karya Imam Al-Haromain Al-Juwaini rohimahulloh
(478 H) dalam 3 (tiga) hari.
Ibnu
Taimiyah (728 H) rohimahulloh membaca kitab Al-Ghoilaniyyat dalam
1 (satu) majelis.
Al-Hafizh
Al-Mizzi (742 H) membaca kitab Al-Mu’jam Al-Kabir karya Ath-Thobroni rohimahulloh
(360 H) dalam 60 (enam puluh) majelis, dengan dihadiri oleh Al-Birzali (739 H).
Al-Hafizh
Adz-Dzahabi (748 H), penulis Siyar A’lam An-Nubala’, membaca kitab Siroh
Ibnu Hisyam di hadapan Abu Al-Ma’ali dalam 6 (enam) hari.
Sirojud Din
Ibnul Mulaqqin (804 H) membaca kitab Al-Ahkam karya Al-Muhibb
Ath-Thobari rohimahulloh (694 H) dalam 1 (satu) hari.
[5] Membaca Satu Kitab dengan
Pengulangan yang Banyak
Sa’ad bin
Muhammad bin Mahmud Asy-Syaironi membaca kitab Shohih Al-Bukhori 20 (dua
puluh) kali di hadapan Syamsud Din Al-Kirmani.
Burhan
Al-Halabi membaca kitab Shohih Muslim lebih dari 20 (dua puluh) kali.
Utsman bin
Muhammad bin Utsman membaca kitab Shohih Al-Bukhori di hadapan lebih
dari 30 (tiga puluh) ‘alim (ulama).
Ibrohim bin
Al-Hajjaj Al-Abnasi membaca kitab At-Taudhih lebih dari 70 (tujuh puluh)
kali, dan ia membaca Syarh Ibnu Al-Mushonnif lebih dari 30 (tiga puluh)
kali.
Diceritakan
dari Ahmad bin Utsman bin Muhammad bin Al-Kalwatani bahwa:
«أَنَّهُ قَرَأَ
صَحِيحَ الْبُخَارِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ مَرَّةً»
“Ia membaca
kitab Shohih Al-Bukhori lebih dari 40 (empat puluh) kali.”
Imam Abu
Bakar Al-Abhari membaca kitab Muwattho’ Imam Malik rohimahulloh
45 (empat puluh lima) kali, dan kitab Al-Mabsuuth karya As-Sarkhosi 30
(tiga puluh) kali.
Al-Fairuzabadi
(817 H) berkata:
«قَرَأْتُ صَحِيحَ
البُخَارِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَكْثَرَ مِنْ خَمْسِينَ مَرَّةً»
“Aku
membaca kitab Shohih Al-Bukhori lebih dari 50 (lima puluh) kali.”
Ar-Robi’
bin Sulaiman Al-Murodi berkata:
«أَنَا أَنْظُرُ
فِي كِتَابِ (الرِّسَالَةِ) لِلشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى مُنْذُ خَمْسِينَ
سَنَةً، مَا أَعْلَمُ أَنِّي نَظَرْتُ فِيهِ مَرَّةً، إِلَّا وَأَنَا أَسْتَفِيدُ مِنْهُ
شَيْئًا لَمْ أَكُنْ أَعْرِفُهُ»
“Aku telah
menelaah kitab Ar-Risaalah karya Asy-Syafi’i rohimahulloh (204 H)
sejak 50 (lima puluh) tahun yang lalu, dan aku tidak tahu aku pernah
menelaahnya satu kali pun melainkan aku mengambil manfaat darinya sesuatu yang
belum pernah aku ketahui.”
Al-Burhan
Al-Halabi (841 H) berkata, dari gurunya Abu Bakar bin Muhammad bin Abdulloh bin
Muqbil Al-Qohiri Al-Hanafi:
«أَنَّهُ قَرَأَ
(صَحِيحَ الْبُخَارِيِّ) رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى خَمْسًا وَتِسْعِينَ مَرَّةً»
Bahwa ia
membaca kitab Shohih Al-Bukhori 95 (sembilan puluh lima) kali.
Sulaiman
bin Ibrohim bin Umar Nafisud Din Al-‘Alawi Al-Yamani berkata:
«مَرَرْتُ عَلَى
صَحِيحِ البُخَارِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِائَةً وَخَمْسِينَ مَرَّةً، مَا
بَيْنَ قِرَاءَةِ، وَسَمَاعٍ، وَإِسْمَاعٍ وَمُقَابَلَةٍ»
“Aku telah
melewati kitab Shohih Al-Bukhori sebanyak 150 (seratus lima puluh) kali,
antara membaca, mendengar, membacakan (kepada orang lain), dan membandingkan.”
Diceritakan
dari Ahmad bin Ahmad bin Ahmad bin Abdil Lathif Asy-Syarozi:
«أَنَّهُ: أَتَى
عَلَى صَحِيحِ البُخَارِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِائَتَيْنِ وَثَمَانِينَ مَرَّةً،
قِرَاءَةً، وَإِقْرَاءً، وَسَمَاعًا، وَإِسْمَاعًا»
Bahwa ia
telah melewati kitab Shohih Al-Bukhori sebanyak 280 (dua ratus delapan
puluh) kali, antara membaca, membacakan (kepada guru/murid), mendengar, dan
membacakan (kepada orang lain).
Abu Bakar
Ibnu ‘Athiyyah (546 H) berkata:
«كَرَّرَ الإِمَامُ
غَالِبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ غَالِبِ بْنِ تَمَامِ بْنِ عَطِيَّةَ الحَارِبِيُّ
صَحِيحَ البُخَارِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى سَبْعَائَةِ مَرَّةٍ»
“Imam
Gholib bin Abdur Rohman bin Gholib bin Tamam bin ‘Athiyyah Al-Haribi mengulang
kitab Shohih Al-Bukhori sebanyak 700 (tujuh ratus) kali.”
[6] Mengajarkan Satu Kitab dengan
Pengulangan yang Banyak
Syaikh
Al-Faqih Jamalud Din Ahmad bin Muhammad Al-Washithi Al-Asymuni Asy-Syafi’i
dijuluki dengan Al-Wajizi karena hafalannya dan perhatiannya terhadap kitab
tersebut.
Imam
Az-Zarkasyi (794 H) dijuluki dengan Al-Minhaji, dinisbatkan kepada kitab Minhajuth
Tholibin karya An-Nawawi (676 H), karena perhatiannya terhadap kitab itu,
hafalannya, dan penguasaannya dalam pemahaman dan syarahnya (penjelasannya).
Imam Muhyid
Din Al-Kafiyaji (873 H) dijuluki demikian karena seringnya ia membaca dan
memberikan perhatian pada kitab Al-Kafiyah karya Ibnul Hajib (646 H).
Kamalud Din
Umar bin Abdur Rohim Ibnul ‘Ajami Asy-Syafi’i (777 H) mengajarkan kitab Al-Muhadzdzab
karya Asy-Syirozi rohimahulloh (476 H) dalam fiqih Asy-Syafi’iyyah
sebanyak 25 (dua puluh lima) kali.
Kitab Shohih
Muslim dibacakan di hadapan Abdul Ghofir bin Muhammad Al-Farisi (529 H)
lebih dari 60 (enam puluh) kali.
Al-Faqih
Az-Zahid Al-Hanbali, Isma’il bin Muhammad Al-Farro’ (598 H), mengajarkan kitab Al-Muqni’
sebanyak 100 (seratus) kali.
Al-Faqih
As-Sakkakini mengajarkan kitab Al-Hawi 30 (tiga puluh) kali.
Abdul Qodim
bin Abdur Rohman bin Husain An-Nuzaili Al-Yamani mengajarkan kitab Al-‘Ubab
karya Al-Muzajjaad rohimahulloh (899 H) sebanyak 800 (delapan ratus)
kali.
Kitab Shohih
Al-Bukhori dibacakan di hadapan Ibrohim bin Muhammad bin Shiddiq Al-Hariri
lebih dari 25 (dua puluh lima) kali.
Yahya bin
Hilal Al-Qurthubi (497 H) biasa duduk setiap hari untuk memperdengarkan kitab Al-Mudawwanah
dari Zhuhur hingga Ashar, dan ia menyelesaikan pembacaannya setiap bulan.
Al-Qodhi
Idris bin Jabir Al-‘Aizari Al-Yamani mengajarkan kitab At-Tadzkiroh lebih
dari 40 (empat puluh) kali.
Al-‘Allamah
Al-Muhaddits Abu Abdulloh Muhammad At-Tawidi (1209 H) biasa membaca kitab Shohih
Al-Bukhori setiap bulan Romadhon. Ia memulainya di hari pertama dan
mengakhirinya di hari terakhir bulan itu.
Ia
mengajarkan kitab Mukhtashor Kholil hampir 30 (tiga puluh) kali.
Ia
mengajarkan kitab Al-Ajurrumiyyah lebih dari 100 (seratus) kali.
[7] Banyaknya Karya Tulis di
Kalangan Salaf
Ibnu Jarir
Ath-Thobari (310 H) menulis dengan tangannya sendiri 350.000 (tiga ratus lima
puluh ribu) lembar karya tulis.
Yahya bin
Ma’in (233 H) menulis dengan tangannya sendiri 1.000.000 (satu juta) Hadits. ‘Ali
bin Al-Madini (234 H) berkata:
«مَا نَعْلَمُ
أَحَدًا مِنْ لَدُنْ آدَمَ كَتَبَ مِنَ الحَدِيثِ مَا كَتَبَ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ»
“Kami tidak
mengetahui seorang pun sejak zaman Nabi Adam yang menulis Hadits sebanyak yang
ditulis Yahya bin Ma’in.”
Muhammad
bin Nashr Al-Marwazi (294 H) berkata:
«سَمِعْتُ يَحْيَى
بْنَ مَعِينٍ يَقُولُ : كَتَبْتُ بِيَدِيَ أَلْفَ أَلْفِ حَدِيثٍ»
Aku
mendengar Yahya bin Ma’in berkata: “Aku menulis dengan tanganku sendiri satu
juta Hadits.”
Imam Ahmad
bin Hanbal (241 H) berkata:
«كُلُّ حَدِيثٍ
لَا يَعْرِفُهُ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ فَلَيْسَ بِحَدِيثٍ»
“Setiap
Hadits yang tidak diketahui oleh Yahya bin Ma’in, maka itu bukanlah Hadits.”
Al-Baqillani
Abu Bakar bin Muhammad Ath-Thoyyib (403 H) tidak tidur sampai ia menulis 35
(tiga puluh lima) lembar karya tulis.
Ibnu Abi
Ad-Dunya (281 H) mengarang 1.000 (seribu) karya tulis.
Ibnu ‘Asakir
(571 H) menulis kitab At-Tarikh dalam 80 (delapan puluh) jilid.
Ibnu Syahin
(385 H) menyusun 330 (tiga ratus tiga puluh) karya tulis.
Ibnu Hazm
(456 H) menulis 400 (empat ratus) jilid.
Ibnu Abi
Hatim Ar-Rozi (327 H) menulis 1.000 (seribu) juz karya tulis.
Al-Hakim
An-Naisaburi (405 H) mengarang 1.500 (seribu lima ratus) juz.
Ibnu
Taimiyah (728 H) mengarang 300 (tiga ratus) karya tulis.
Ibnu
Al-Qoyyim (751 H) menulis 50 (lima puluh) jilid karya tulis.
Al-Baihaqi
(458 H) mengarang 1.000 (seribu) juz.
Muhammad
bin Sahnun (256 H) menulis 100 (seratus) juz.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar (852 H), Adz-Dzahabi (748 H), dan As-Suyuthi (911 H) memperbanyak
karya tulis hingga mencapai batas yang tidak masuk akal, dan sesuatu yang tidak
dapat disifatkan.
Ibnu ‘Aqil
Al-Hanbali (513 H) menulis kitab yang bernama Al-Funun sebanyak 800
(delapan ratus) jilid.
Ibnu
Al-Jauzi (597 H) menulis 500 (lima ratus) karya tulis dengan tangannya sendiri.
Al-Hafizh
Al-Mundziri (656 H) menulis dengan tangannya sendiri 790 (tujuh ratus sembilan
puluh) juz.
[8] Semangat Salaf dalam
Memanfaatkan Waktu
Muhammad
bin Al-Hasan Asy-Syaibani (189 H) tidak tidur di malam hari kecuali sedikit
saja.
Ubaid bin
Ya’isy berkata:
«أَقَمْتُ ثَلَاثِينَ
سَنَةً، مَا أَكَلْتُ بِيَدِيَ بِاللَّيْلِ، كَانَتْ أُخْتِي تُلَقِّمُنِي، وَأَنَا
أَكْتُبُ الحَدِيثَ»
“Aku
tinggal selama 30 (tiga puluh) tahun, aku tidak makan dengan tanganku di malam
hari. Adikku menyuapiku sementara aku menulis Hadits.”
Mundzir
Al-Marwani An-Nahwi dijuluki dengan Al-Mudzakaroh karena kuatnya
ketergantungan ia pada mudzakaroh (diskusi) ilmu Nahwu.
Al-Khothib
Al-Baghdadi (463 H) berjalan di jalan sambil menelaah kitab.
Al-Juwaini
(478 H) tidak makan dan tidak tidur kecuali karena terpaksa.
Ibnu ‘Aqil
Al-Hanbali (513 H) lebih memilih menghaluskan biskuit (ka’k) lalu meminumnya
dengan air daripada roti, karena perbedaan waktu mengunyah di antara keduanya.
Abdulloh
bin Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu (32 H) berkata:
«مَا نَدِمْتُ
عَلَى شَيْءٍ نَدَمِي عَلَى يَوْمٍ غَرَبَتْ شَمْسُهُ، نَقَصَ فِيهِ أَجَلِي، وَلَمْ
يَزِدْ فِيهِ عَمَلِي»
“Aku tidak
pernah menyesali sesuatu seperti penyesalanku pada hari yang mataharinya
terbenam, di mana ajalku berkurang, tetapi amalku tidak bertambah.”
Umar bin
Abdul ‘Aziz rodhiyallahu ‘anhu (101 H) berkata:
«إِنَّ اللَّيْلَ
وَالنَّهَارَ يَعْمَلَانِ فِيكَ، فَاعْمَلْ فِيهِمَا»
“Sungguh,
siang dan malam bekerja untuk dirimu, maka bekerjalah pada keduanya.”
Al-Hasan
Al-Bashri (110 H) berkata:
«يَا ابْنَ آدَمَ،
إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ، فَإِذَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ»
“Wahai anak
cucu Adam, sungguh dirimu hanyalah hari-hari. Jika satu hari berlalu, maka
sebagian dirimu telah hilang.”
Ia juga
berkata:
«أَدْرَكْتُ أَقْوَامًا
كَانُوا عَلَى أَوْقَاتِهِمْ أَشَدَّ مِنْكُمْ حِرْصًا عَلَى دَرَاهِمِكُمْ وَدَنَانِيرِكُمْ»
“Aku
mendapati kaum yang perhatian mereka terhadap waktu lebih besar daripada
perhatian kalian terhadap dirham dan dinar kalian.”
Dikutip
dari ‘Amir bin Abdul Qois (wafat 50-an H), salah seorang Tabi’in yang zuhud,
bahwa ada seorang lelaki berkata kepadanya: “Ngobrollah denganku!” Maka ‘Amir
bin Abdul Qois berkata kepadanya:
«أَمْسِكِ الشَّمْسَ
حَتَّى أُكَلِّمَكَ»
“Tahanlah
matahari itu agar aku bisa ngobrol denganmu.”
Kisah Yahya
bin Ma’in dengan Muhammad bin Al-Fadhl:
At-Tirmidzi
(279 H) berkata:
«حَدَّثَنَا عَبْدُ
بْنُ حُمَيْدٍ، قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الفَضْلِ، قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ
بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ حَبِيبِ بْنِ الشَّهِيدِ، عَنِ الحَسَنِ البَصْرِيِّ، عَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ
- وَهُوَ فِي مَرَضِ مَوْتِهِ - يَتَّكِيُّ عَلَى أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، وَعَلَيْهِ
ثَوْبٌ قَطَرِيٌّ قَدْ تَوَشَّحَ بِهِ، فَصَلَّى بِهِمْ»
‘Abdul bin Humaid menceritakan kepada kami, ia
berkata: Muhammad bin Al-Fadhl menceritakan kepada kami, ia berkata: Hammad bin
Salamah menceritakan kepada kami, dari Habib bin Asy-Syahid, dari Al-Hasan
Al-Bashri, dari Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu (93 H), bahwa Nabi ﷺ keluar dari rumahnya —ketika beliau sakit menjelang wafat—
bersandar pada Usamah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhuma, beliau mengenakan
kain Qithri yang diselampirkan, lalu beliau mengimami Sholat mereka.
‘Abdul bin
Humaid berkata: Muhammad bin Al-Fadhl berkata:
«سَأَلَنِي يَحْيَى
بْنُ مَعِينٍ عَنْ هَذَا الحَدِيثِ أَوَّلَ مَا جَلَسَ إِلَيَّ، فَقُلْتُ: حَدَّثَنَا
حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، فَقَالَ: لَوْ كَانَ مِنْ كِتَابِكَ، فَقُمْتُ لِأُخْرِجَ
كِتَابِي، فَقَبَضَ عَلَى ثَوْبِي ثُمَّ قَالَ : أَمْلِهِ عَلَيَّ، فَإِنِّي أَخَافُ
أَلَّا أَلْقَاكَ، فَأَمْلَيْتُهُ عَلَيْهِ، ثُمَّ أَخْرَجْتُ كِتَابِي، فَقَرَأْتُهُ
عَلَيْهِ»
Yahya bin
Ma’in (233 H) bertanya kepadaku tentang Hadits ini pertama kali ia duduk
bersamaku. Aku berkata: “Hammad bin Salamah menceritakan kepada kami.” Lalu ia
berkata: “Andai Hadits ini ada dalam kitabmu.” Maka aku berdiri untuk
mengeluarkan kitabku, namun ia memegang bajuku lalu berkata: “Diktekanlah
kepadaku dulu, karena aku khawatir tidak akan bertemu lagi denganmu.” Maka aku
imlakan kepadanya, kemudian aku mengeluarkan kitabku, lalu aku membacanya
kembali di hadapannya.
[9] Perjalanan (Rihlah) Salaf
dalam Menuntut Ilmu
Abu Dzarr
Al-Harowi (434 H) berkata:
«حَرْفٌ فِي الحَدِيثِ
سَأَلْتُ عَنْهُ مَنْ لَقِيتُ أَرْبَعِينَ سَنَةً: هَلْ رُوِيَتْ بِالتَّشْدِيدِ أَوِ
التَّخْفِيفِ؟»
“Ada 1
(satu) huruf dalam Hadits yang aku tanyakan kepada siapa pun yang aku temui
selama 40 (empat puluh) tahun: Apakah diriwayatkan dengan tasydid (penekanan)
atau takhfif (ringan)?”
Al-Bukhori (256
H) meriwayatkan secara ta’liq (gugur sanad di awalnya) dalam kitab
Shohihnya, bahwa Jabir bin Abdulloh rodhiyallahu ‘anhuma (78 H)
melakukan perjalanan selama 1 (satu) bulan menuju Abdulloh Ibnu Unais rodhiyallahu
‘anhu (54 H) hanya untuk menanyakan 1 (satu) Hadits saja.
Al-Humaidi
(219 H) meriwayatkan dalam kitab Musnadnya bahwa Abu Ayyub Al-Anshori rodhiyallahu
‘anhu (52 H) melakukan perjalanan menuju Uqbah bin ‘Amir Al-Anshori rodhiyallahu
‘anhu (68 H) di Mesir, demi mencari 1 (satu) Hadits saja.
Imam Malik
(179 H) meriwayatkan dari Sa’id Ibnu Al-Musayyib (94 H), ia berkata:
«إِنْ كُنْتُ
لَأَمْشِي اللَّيَالِيَ وَالْأَيَّامَ؛ لِطَلَبِ حَدِيثٍ وَاحِدٍ»
“Sungguh,
aku berjalan berhari-hari dan bermalam-malam demi mencari 1 (satu) Hadits saja.”
Sa’id ini
adalah salah satu diwan (kitab rujukan) dari diwan-diwan As-Sunnah, dan
salah satu Hafizh (penghafal Hadits) yang besar.
Ibnu
Ad-Dailami berkata:
«بَلَغَنِي عَنْ
عَمْرِو ابْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَنَّهُ قَالَ:
«إِنَّ اللَّهَ لَيَكْتُبُ لِعَبْدِهِ المُؤْمِنِ بِالْحَسَنَةِ الوَاحِدَةِ أَلْفَ
أَلْفِ حَسَنَةٍ»، فَرَكِبْتُ إِلَى الطَّائِفِ؛ لِأَسْأَلَهُ، وَكَانَ ابْنُ الدَّيْلَمِيِّ
فِي فِلَسْطِينَ»
“Telah
sampai kepadaku dari ‘Amr Ibnu Al-‘Ash rodhiyallahu ‘anhu (43 H) bahwa
ia meriwayatkan dari Rosululloh ﷺ
bahwa beliau bersabda: ‘Sungguh, Alloh ﷻ mencatat bagi hamba-Nya yang
Mu’min untuk satu kebaikan, 1.000.000 (satu juta) kebaikan.’ Maka aku
berkendara menuju Thoo’if untuk bertanya kepadanya.” Padahal Ibnu Ad-Dailami
saat itu berada di Palestina.
Ini adalah kisah
Ziyad bin Hubab:
Ziyad bin
Hubab bin Ubaid Al-Imam Al-Hafizh Al-Mutqin Al-Hujjah (204 H) berkata:
«كُنْتُ فِي مَجْلِسِ
سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ بِالْكُوفَةِ، فَحَدَّثَنَا عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ عَنْ
مُوسَى ابْنِ عَلِيٌّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي قَيْسٍ مَوْلَى عَمْرِو ابْنِ العَاصِ
عَنْ عَمْرِو ابْنِ العَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: «فَرْقُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا
وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ» قَالَ فَذَهَبْتُ لِأَقُومَ، فَقَالَ
لِي رَجُلٌ: قَدْ خَلَّفْتُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ حَيًّا بِالْمَدِينَةِ. قَالَ: فَرَكِبْتُ
رَاحِلَتِي وَأَتَيْتُ المَدِينَةَ، فَلَقِيْتُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، فَقُلْتُ لَهُ:
حَدِيثٌ حَدَّثَنِيهِ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ عَنْكَ عَنْ مُوسَى بْنِ عَلَيَّ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ أَبِي قَيْسٍ مَوْلَى عَمْرِو ابْنِ الْعَاصِ عَنْ عَمْرِو ابْنِ العَاصِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: «فَرْقُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الكِتَابِ
أَكْلَةُ السَّحَرِ» فَقَالَ أُسَامَةُ ابْنُ زَيْدٍ: حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ عَلِيِّ
بْنِ رَبَاحٍ اللَّحْمِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي قَيْسٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ العَاصِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: «فَرْقُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الكِتَابِ
أَكْلَةُ السَّحَرِ» قَالَ زِيَادُ ابْنُ حُبَابٍ: فَذَهَبْتُ لَأَقُومَ، فَقَالَ لِي
رَجُلٌ: خَلَّفْتُ مُوسَى بْنَ عَلِيٌّ فِي مِصْرَ . قَالَ: فَرَكِبْتُ رَاحِلَتِي،
فَأَتَيْتُ مِصْرَ، فَجَلَسْتُ بِبَابِ مُوسَى بْنِ عَلِيٍّ، فَخَرَجَ شَيْخٌ عَلَى
فَرَسٍ، فَلَمَّا رَآنِي قَالَ: هَلْ مِنْ حَاجَةٍ؟ قُلْتُ : نَعَمْ، حَدِيثٌ حَدَّثَنِيهِ
سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ عَنْ أُسَامَةَ ابْنِ زَيْدٍ عَنْكَ عَنْ أَبِيكَ عَنْ أَبِي
قَيْسٍ مَوْلَى عَمْرِو ابْنِ العَاصِ عَنْ عَمْرِو ابْنِ العَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
ﷺ قَالَ: «فَرْقُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ»
قَالَ: نَعَمْ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ أَبِي قَيْسٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ العَاصِ، أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: «فَرْقُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ
أَكْلَةُ السَّحَرِ» ثُمَّ رَجَعَ إِلَى الكُوفَةِ
Aku berada
di majelis Sufyan Ats-Tsauri (161 H) di Kufah, lalu ia menceritakan Hadits
kepada kami dari Usamah bin Zaid, dari Musa bin Ali, dari ayahnya, dari Abu
Qois maula ‘Amr Ibnu Al-‘Ash, dari ‘Amr Ibnu Al-‘Ash rodhiyallahu ‘anhu
(43 H), bahwa Rosululloh ﷺ
bersabda: “Pembeda antara Puasa kami dengan Puasa Ahli Kitab adalah makan
Sahur.”
Lalu aku
hendak berdiri, namun ada seorang lelaki berkata kepadaku: “Kamu baru saja
meninggalkan Usamah bin Zaid dalam keadaan hidup di Madinah.”
Ziyad
berkata: Maka aku menaiki kendaraanku dan mendatangi Madinah. Aku bertemu
Usamah bin Zaid, dan aku berkata kepadanya: “Sebuah Hadits telah diceritakan
kepadaku oleh Sufyan Ats-Tsauri, dari dirimu, dari Musa bin Ali, dari ayahnya,
dari Abu Qois maula ‘Amr Ibnu Al-‘Ash, dari ‘Amr Ibnu Al-’Ash rodhiyallahu ‘anhu,
bahwa Rosululloh ﷺ
bersabda: “Pembeda antara Puasa kami dengan Puasa Ahli Kitab adalah makan
Sahur.”
Maka Usamah
bin Zaid berkata: “Musa bin Ali bin Robah Al-Lakhmi menceritakan kepadaku, dari
ayahnya, dari Abu Qois, dari ‘Amr bin Al-’Ash rodhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rosululloh ﷺ
bersabda: “Pembeda antara Puasa kami dengan Puasa Ahli Kitab adalah makan
Sahur.”
Ziyad bin
Hubab berkata: Lalu aku hendak berdiri, namun seorang lelaki berkata kepadaku: “Kamu
baru saja meninggalkan Musa bin Ali di Mesir.”
Ziyad
berkata: Maka aku menaiki kendaraanku, dan aku mendatangi Mesir. Aku duduk di
pintu rumah Musa bin Ali. Lalu keluarlah seorang Syaikh di atas kuda. Ketika
melihatku, ia berkata: “Apakah ada keperluan?”
Aku
menjawab: “Iya. Sebuah Hadits diceritakan kepadaku oleh Sufyan Ats-Tsauri, dari
Usamah bin Zaid, dari dirimu, dari ayahmu, dari Abu Qois maula ‘Amr Ibnu Al-‘Ash,
dari ‘Amr Ibnu Al-‘Ash rodhiyallahu ‘anhu, bahwa Rosululloh ﷺ bersabda: “Pembeda antara Puasa kami dengan Puasa Ahli Kitab
adalah makan Sahur.”
Ia berkata:
“Iya. Ayahku menceritakan kepadaku, dari Abu Qois, dari ‘Amr bin Al-‘Ash rodhiyallahu
‘anhu, bahwa Rosululloh ﷺ
bersabda: “Pembeda antara Puasa kami dengan Puasa Ahli Kitab adalah makan
Sahur.” Kemudian ia kembali ke Kufah.
Ibnu
Khirosy berkata:
«شَرِبْتُ بَوْلِي
فِي هَذَا الشَّأْنِ خَمْسَ مَرَّاتٍ»
“Aku
meminum air kencingku (karena kehabisan bekal) dalam urusan ini (mencari
Hadits) sebanyak 5 (lima) kali).”
Imam Muslim
(261 H) berkata: Yahya Ibnu Abi Katsir berkata:
«لَا يُنَالُ
العِلْمُ بِرَاحَةِ الجَسَدِ»
“Ilmu tidak
akan didapatkan dengan mengistirahatkan jasad.”
Muhammad
bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdulloh Az-Zuhri (124 H) berkata:
«مَنْ أَخَذَ
العِلْمَ جُمْلَةً ذَهَبَ عَنْهُ جُمْلَةً، وَالعِلْمُ إِذَا أَعْطَيْتَهُ كُلَّكَ
أَعْطَاكَ بَعْضَهُ»
“Siapa yang
mengambil ilmu secara keseluruhan (misalnya dihatamkan sehari saja), maka ilmu
itu akan hilang darinya secara keseluruhan. Dan ilmu, jika kamu berikan seluruh
dirimu kepadanya, ia akan memberimu sebagian darinya.”
[10] Keharusan Menyibukkan Diri
dengan Hal yang Penting dari yang Tidak Penting
Al-Hafizh
Al-Khothib Al-Baghdadi rohimahulloh (463 H) berkata:
“Ilmu itu
seperti lautan yang sulit ditakar, dan seperti tambang yang tidak pernah putus
perolehannya. Maka, sibukkanlah diri dengan hal yang penting darinya. Karena,
siapa yang menyibukkan dirinya dengan hal yang tidak penting, akan merusak hal
yang penting.”
Al-‘Abbas rohimahulloh
berkata:
“Ketahuilah
bahwa pemikiranmu tidak akan mampu mencakup segala sesuatu, maka kosongkanlah
(pusatkanlah) ia untuk hal yang penting.”
[11] Siapa yang Mengajarimu, Ia Menjadi
Majikanmu
Syu’bah bin
Al-Hajjaj rohimahulloh (160 H) berkata:
“Setiap
orang yang darinya aku mendengar Hadits, maka aku adalah budaknya.”
Muhammad
bin ‘Ali Al-Atfuhi rohimahulloh berkata: Apabila seseorang belajar dari
seorang ‘alim (ulama), dan mengambil faedah-faedah darinya, maka ia adalah
budaknya. Dalilnya adalah Firman Alloh ﷻ Ta’ala: “Dan (ingatlah)
ketika Musa berkata kepada pembantunya.” (QS. Al-Kahfi: 60)
Ia adalah
Yusya’ bin Nun, dan ia bukanlah budak milik Musa, tetapi ia adalah muridnya
yang mengikuti jalannya. Maka, Alloh ﷻ menjadikannya sebagai ‘pembantunya’
karena hal itu.
Imam
Asy-Syafi’i rohimahulloh (204 H) berkata:
“Orang yang
merdeka adalah siapa yang mengingat kecintaan sesaat, dan pengajaran satu
lafazh.”
[12] Bertahap dalam Menuntut Ilmu
Siapa yang
bertahap, ia akan lulus (berhasil). Siapa yang tidak bertahap, ia tidak akan
lulus.
Bertahap
terbagi menjadi 2 (dua) bagian:
1. Bertahap dalam
mempelajari ilmu-ilmu yang berbeda.
2. Bertahap dalam
mempelajari 1 (satu) ilmu.
Bertahap
dalam ilmu-ilmu yang berbeda adalah dengan memulai dari yang paling penting
lalu yang penting. Dan bertahap dalam mempelajari 1 (satu) ilmu adalah dengan
memulai dari ilmu yang kecil sebelum ilmu yang besar.
Seorang
Robbani adalah siapa yang mengajarkan manusia ilmu yang kecil sebelum ilmu yang
besar.
Kaidah:
Bertahap
dalam menuntut ilmu adalah cara yang benar dan jalan yang diikuti oleh para
Salaf.
Ibnu Abdil
Barr rohimahulloh (463 H) berkata:
التَّدَرُّجُ طَرِيقَةُ السَّلَفِ، وَمَنْ خَالَفَهَا فَقَدْ خَالَفَ السَّلَفَ
“Bertahap
adalah metode para Salaf, dan siapa yang menyelisihinya sungguh ia telah
menyalahi para Salaf.”
Sebagian
ulama kami rohimahumulloh berkata:
مَنْ تَدَرَّجَ تَخَرَّجَ، وَمَنْ لَمْ يَتَدَرَّجْ لَمْ يَتَخَرَّجْ
“Siapa yang
bertahap, ia akan lulus (berhasil). Siapa yang tidak bertahap, ia tidak akan
lulus (berhasil).”
Ibnu Abdil
Barr rohimahulloh (463 H) berkata:
طَلَبُ العِلْمِ دَرَجَاتٌ، وَمَنَاقِلُ، وَرُتَبُ لَا يَنْبَغِي تَعَدِّيهَا، وَمَنْ تَعَدَّاهَا جُمْلَةً فَقَدْ تَعَدَّى سَبِيلَ السَّلَفِ
“Menuntut
ilmu adalah bertahap, betingkat dan berjenjang, yang tidak sepantasnya
dilangkahi. Siapa yang melangkahinya secara keseluruhan sungguh ia telah
melangkahi jalan para Salaf.”
[13] Tingkatan Mengambil Ilmu
مَرَاتِبُ أَخْذِ العِلْمِ
كَتْبٌ، إِجَازَةٌ، وَحِفْظُ الرَّسْمِ
قِرَاءَةُ، تَدْرِيسُ اخْذُ الْعِلْمِ
Tingkatan
mengambil ilmu (adalah):
Menulis,
ijazah, menghafal teks (kitab)
Membaca,
mengajar, mengambil ilmu.
وَمَنْ يُقَدِّمْ رُتْبَةً عَلَى الْمَحَلْ
مِنْ ذِي المَرَاتِبِ المَرَامَ لَمْ يَنَلْ
Siapa
yang mendahulukan satu tingkatan sebelum tempatnya yang benar
Dari
tingkatan-tingkatan ini, ia tidak akan mencapai maksudnya.
Seseorang
berwasiat kepada putrinya, ia berkata:
لَا تَطْلُبِيهِ؛ كَيْ تَكُونِي عَالِمَهْ
بَلِ اطْلُبِي كَيْ لَا تَكُونِي جَاهِلَهْ
Janganlah
kamu menuntut ilmu agar kamu menjadi seorang ‘alimah (ulama wanita,
Tetapi
tuntutlah agar kamu tidak menjadi orang yang jahil.
[14] Duduk Bersama Para Ulama
Mu’adz bin
Jabal rodhiyallahu ‘anhu (18 H) berkata:
«مَا أَحْبَبْتُ
الدُّنْيَا إِلَّا لِثَلاثَةِ؛ لِظَمَإِ الهَوَاجِرِ، وَمُكَابَدَةِ اللَّيْلِ، وَمُجَالَسَةِ
العُلَمَاءِ»
“Aku tidak
mencintai dunia kecuali karena 3 (tiga) hal: karena dahaga di tengah terik
siang (saat Puasa), karena berjuang melawan malam (untuk Sholat), dan karena duduk
bersama para ulama.”
Abdulloh
bin Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu (32 H) berkata:
«كُنْ عَالِمًا
أَوْ مُتَعَلَّمًا ، وَلَا تَكُنْ الثَّالِثَةَ فَتَهْلِكَ»
“Jadilah
seorang ‘alim (ulama) atau seorang muta’allim (penuntut ilmu), dan jangan
menjadi yang ketiga, karena engkau akan binasa.”
Adz-Dzahabi
rohimahulloh (748 H) berkata:
«لَوْ لَمْ يَكُنْ
فِي مُجَالَسَةِ العُلَمَاءِ إِلَّا المُذَاكَرَةُ لَكَفَى»
“Seandainya
tidak ada manfaat pada duduk bersama para ulama kecuali mudzakaroh
(diskusi/mengulang ilmu), niscaya itu sudah cukup.”
Abu
Al-Hajjaj Al-Mizzi rohimahulloh (742 H) berkata:
«مَنْ حَازَ العِلْمَ وَذَاكَرَهُ صَلُحَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتُهُ،
فَأَدِمْ لِلْعِلْمِ مُذَاكَرَةً فَحَيَاةُ العِلْمِ مُذَاكَرَتُهُ»
“Siapa yang
menguasai ilmu lalu mendiskusikannya, niscaya baiklah dunia dan Akhiroh-nya. Maka,
abadikanlah diskusi ilmu, karena kehidupan ilmu adalah diskusinya.”
Ibnul
Khollad rohimahulloh (368 H) berkata:
«حِفْظُ حَدِيثٍ
وَاحِدٍ خَيْرٌ مِنْ كِتَابَةِ أَلْفِ حَدِيثٍ»
“Menghafal
1 (satu) Hadits lebih baik daripada menulis 1.000 (seribu) Hadits).”
Sebagian
ulama berkata:
«مُذَاكَرَةُ
اثْنَيْنِ خَيْرٌ مِنْ حَمْلِ وِقْرَيْنِ، وَحِفْظُ سَطْرَيْنِ خَيْرٌ مِنْ ذَيْنِ»
“Diskusi
dua orang lebih baik daripada membawa dua beban (kitab yang berat), dan
menghafal dua baris lebih baik daripada itu.”
Asy-Syafi’i
rohimahulloh (204 H) berkata:
«لَيْسَ بِعِلْمٍ
مَا حَوَى القِمَطْرُ
مَا العِلْمُ
إِلَّا مَا حَوَاهُ الصَّدْرُ»
“Bukanlah
ilmu apa yang dimuat oleh lemari kitab,
Ilmu hanyalah
apa yang dimuat oleh dada (dihapal).”
Abu Zur’ah rohimahulloh
(264 H) berkata:
«كَانَ الإِمَامُ
أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللَّهُ يَحْفَظُ أَلْفَ أَلْفِ حَدِيثٍ»
“Imam Ahmad
rohimahulloh (241 H) menghafal 1.000.000 (satu juta) Hadits).”
Abu ‘Ali
Al-Qoli rohimahulloh (356 H) berkata:
«كَانَ شَيْخُنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ الأَنْبَارِيُّ يَحْفَظُ ثَلَاثَ مِائَةِ أَلْفِ شَاهِدٍ لِلْقُرْآنِ»
“Guru kami
Abu Bakar Ibnul Anbari (328 H) menghafal 300.000 (tiga ratus ribu) syahid
(bukti/dalil) untuk Al-Qur’an).”
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh (728 H) berkata:
«مَنْ كَانَتْ
بِدَايَتُهُ مُحْرِقَةً، كَانَتْ نِهَايَتُهُ مُشْرِقَةً»
“Siapa yang
permulaannya membakar (penuh perjuangan), niscaya akhirnya akan bersinar).”
Imam
Al-Bukhori rohimahulloh (256 H) ditanya:
بِمَ نِلْتَ
هَذَا العِلْمَ؟ قَالَ: «حَفِظْنَا وَلَمْ نَنْسَ، وَحَفِظُوا وَنَسُوا»
Dengan apa
kamu meraih ilmu ini? Ia menjawab: “Kami menghafal dan tidak lupa, sementara
mereka menghafal dan lupa.”
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh (728 H) berkata:
«مَحَابِرُ العُلَمَاءِ
أَفْضَلُ مِنْ دِمَاءِ الشُّهَدَاءِ»
“Tinta para
ulama lebih utama daripada darah para syuhada’.”
[15] Bait-Bait Syi’ir Mengenai
Keutamaan Ilmu
Imam Ahmad rohimahulloh
(241 H) berkata:
«دِينُ النَّبِيِّ
مُحَمَّدٍ أَخْبَارُ
نِعْمَ المَطِيَّةُ
لِلْفَتَى الْآثَارُ
لَا تَرْغَبَنَّ
عَنِ الحَدِيثِ وَأَهْلِهِ
فَالرَّأْيُ
لَيْلٌ وَالْحَدِيثُ نَهَارُ
فَلَرُبَّمَا
سَلَكَ الْفَتَى أَثَرَ الْهُدَى
وَالشَّمْسُ
بَازِغَةٌ لَهَا أَنْوَارُ»
“Agama Nabi Muhammad ﷺ adalah khobar-khobar (Hadits).
Sebaik-baik
tunggangan bagi seorang pemuda adalah Atsar (Hadits).
Jangan engkau
berpaling dari Hadits dan ahlinya,
Maka ro’yu
(pendapat) adalah malam, dan Hadits adalah siang.
Berapa
banyak pemuda yang menempuh jalan petunjuk,
Sementara
matahari bersinar terang dengan cahayanya.”
Imam
Asy-Syafi’i rohimahulloh (204 H) berkata:
«أَخِي لَنْ تَنَالَ
العِلْمَ إِلَّا بِسِتَّةٍ
«سَأُنْبِيكَ
عَنْ تَفْصِيلِهَا بِبَيَانِ
ذَكَاءٌ، وَحِرْصٌ،
وَاجْتِهَادٌ، وَبُلْغَةٌ
وَصُحْبَةُ
أُسْتَاذٍ، وَطُولُ زَمَانِ»
“Saudaraku,
kamu tidak akan meraih ilmu kecuali dengan 6 (enam) hal,
Aku akan
memberitahumu rinciannya dengan jelas:
Kecerdasan,
kesungguhan, keseriusan, biaya (bekal),
Duduk
bersama Ustadz (guru), dan waktu yang panjang.”
Imam
Asy-Syafi’i rohimahulloh (204 H) berkata:
«اصْبِرْ عَلَى
مُرِّ الْجَفَا مِنْ مُعَلِّمِ
فَإِنَّ رُسوبَ
العِلْمِ فِي نَفَرَاتِهِ
وَمَنْ لَمْ
يَذُقْ مُرَّ التَّعَلُّمِ سَاعَةً
تَجَرَّعَ
ذُلَّ الجَهْلِ طُولَ حَيَاتِهِ
وَمَنْ فَاتَهُ
التَّعْلِيمُ وَقْتَ شَبَابِهِ
فَكَبِّرْ
عَلَيْهِ أَرْبَعًا لِوَفَاتِهِ
وَذَاتُ الْفَتَى
وَاللَّهِ بِالْعِلْمِ وَالتَّقَى
إِذَا لَمْ
يَكُونَا لَا اعْتِبَارَ لِذَاتِهِ»
“Bersabarlah
atas kerasnya perlakuan yang pahit dari seorang pengajar,
Karena
diamnya ilmu (berhenti menuntut) ada pada sikapnya yang menjauh.
Siapa
yang tidak merasakan pahitnya belajar sesaat,
Ia akan
menelan kehinaan kebodohan sepanjang hidupnya.
Siapa
yang kehilangan masa belajar di waktu mudanya,
Maka
takbirkanlah 4 (empat) kali baginya karena kematiannya.
Dan jati
diri seorang pemuda, demi Alloh ﷻ, adalah dengan ilmu dan taqwa,
Jika
keduanya tidak ada, maka jati dirinya tidak ada nilainya.”
Imam
Asy-Syafi’i rohimahulloh (204 H) berkata:
«سَهَرِي لِتَنْقِيحِ
العُلُومِ أَلَذُّ لِي
مِنْ وَصْلِ
غَانِيَةٍ وَطِيبِ عِنَاقِ
وَصَرِيرُ
أَقْلَامِي عَلَى صَفَحَاتِهَا
أَحْلَى مِنَ
الدُّوكَاءِ وَالْعُشَّاقِ
وَأَلَذُّ
مِنْ نَقْرِ الْفَتَاةِ لِدَفِّهَا
نَقْرِي لِأُلْقِيَ
الرَّمْلَ عَنْ أَوْرَاقِي
وَتَمَايُلِي
طَرَبًا لِحَلِّ عَوِيصَةٍ
فِي الدَّرْسِ
أَشْهَى مِنْ مُدَامَةِ سَاقِ
يَا مَنْ يُحَاوِلُ
بِالْأَمَانِي رُتْبَتِي
كَمْ بَيْنَ
مُسْتَفِلٍ وَآخَرَ رَاقِي ؟!
أَأَبِيتُ
سَهْرَانَ الدُّجَى وَتَبِيتُهُ
نَوْماً، وَتَبْغِي
بَعْدَ ذَاكَ لَحَاقِي ؟!»
“Begadangku
untuk menyaring ilmu lebih nikmat bagiku,
Daripada
bersama seorang wanita cantik dan nikmatnya pelukan.
Dan gemerincing
pena-penaku di atas lembaran-lembaran kertas,
Lebih
manis daripada tawa dan para perindu (asmara).
Dan
lebih lezat daripada ketukan seorang gadis pada rebana miliknya,
Ketukanku
untuk menghilangkan pasir dari lembaran-lembaran kitabku.
Dan ayunanku
karena gembira memecahkan masalah yang sulit,
Dalam
pelajaran lebih nikmat daripada khomar yang disuguhkan oleh pelayan.
Wahai
siapa yang mencoba meraih tingkatanku dengan angan-angan,
Berapa
jauh jarak antara yang merendah dan yang menanjak?!
Apakah aku
menghabiskan malam dalam keadaan begadang di kegelapan, dan kamu
menghabiskannya
Dalam
keadaan tidur, lalu kamu ingin menyusulku setelah itu?!
Imam
Asy-Syafi’i rohimahulloh (204 H) berkata:
«تَغَرَّبْ عَنِ
الْأَوْطَانِ فِي طَلَبِ الْعُلَا
وَسَافِرْ؛
فَفِي الْأَسْفَارِ خَمْسُ فَوَائِدِ
تَفَرُّجُ
هَمٌّ، وَاكْتِسَابُ مَعِيشَةٍ
وَعِلْمٌ،
وَآدَابٌ، وَصُحْبَةُ مَاجِدِ
وَإِنْ قِيلَ:
فِي الْأَسْفَارِ ذُلٌّ، وَمِحْنَةٌ
وَقَطْعُ الْفَيَافِي،
وَارْتِكَابُ الشَّدَائِدِ
فَمَوْتُ الْفَتَى
خَيْرٌ لَهُ مِنْ حَيَاتِهِ
بِدَارِ هَوَانٍ
بَيْنَ وَاشٍ وَحَاسِدِ»
“Pergilah
ke negeri asing untuk mencari kemuliaan,
Dan
safarlah, karena dalam safar ada 5 (lima) faedah:
Hilangnya
kesedihan, memperoleh penghidupan,
Ilmu,
adab, dan berteman dengan orang yang mulia.
Dan jika
dikatakan: “Dalam safar itu ada kehinaan dan kesulitan,
Dan
menempuh padang pasir yang luas, serta menghadapi kesusahan.”
Maka
kematian seorang pemuda lebih baik baginya daripada hidupnya
Di
negeri kehinaan di antara pengadu domba dan pendengki.”
Ibnu ‘Aqil
Al-Hanbali rohimahulloh (513 H) berkata:
«مَا شَابَ عَزْمِي،
وَلَا حَزْمِي، وَلَا خُلُقِي
وَلَا وَلَائِي،
وَلَا دِينِي وَلَا كَرَمِي
وَإِنَّمَا
اعْتَاضَ شَعْرِي غَيْرَ صِبْغَتِهِ
وَالشَّيْبُ
فِي الشَّعْرِ غَيْرُ الشَّيْبِ فِي الهِمَمِ»
“Tidaklah
memutihnya tekadku, tidak pula keteguhanku, tidak pula akhlakku,
Tidak
pula loyalitasku, tidak pula agamaku, tidak pula kemuliaanku.
Hanya
saja rambutku berganti dari warna aslinya.
Dan uban
pada rambut berbeda dengan uban pada semangat.”
Muhammad
Murtadho bin Muhammad Az-Zabidi rohimahulloh (1205 H) berkata:
«فَمَا حَوَى
الْغَايَةَ فِي أَلْفِ سَنَهْ
شَخْصٌ؛ فَخُذْ
مِنْ كُلِّ فَنْ أَحْسَنَهْ
بِحِفْظِ مَتْنٍ
جَامِعٍ لِلرَّاجِحِ
تَأْخُذُهُ
عَلَى مُفِيدٍ نَاصِحِ»
“Tidak seorang
pun yang meraih tujuan akhir dalam 1.000 (seribu) tahun,
Maka
ambillah dari setiap disiplin ilmu yang terbaik.
Dengan
menghafal matan (teks inti) yang menghimpun pendapat yang kuat (roojih),
Kamu
mengambilnya dari orang yang memberi faedah dan nasihat.”
An-Nazhim
(penyusun syi’ir, yaitu pengarang kitab ini) rohimahulloh berkata:
«عَلَيْكَ بِالْحِفْظِ
دُونَ الْجَمْعِ مِنْ كُتُبِ
فَإِنَّ لِلْكُتُبِ
آفَاتٌ تُفَرِّقُهَا
النَّارُ تُحْرِقُهَا
وَالْفَارُ تَأْكُلُهَا
وَالْمَاءُ
يُغْرِقُهَا وَاللِّصُّ يَسْرِقُهَا»
“Wajib
bagimu menghafal, bukan sekadar mengumpulkan kitab,
Karena
kitab-kitab memiliki bencana yang memisahkannya:
Api
membakarnya, tikus memakannya,
Air
menenggelamkannya, dan pencuri mencurinya.”
Abdur
Rohman bin Nashir bin Sa’di (1376 H) berkata:
فَقَهْوَتِيَ الْحِبْرُ، وَالْمِزْمَارُ لِي قَلَمِي
وَالْعِلْمُ فَاكِهَتِي، وَالْكُتُبُ جُلَاسِي
طُوبَى لِمَنْ يُبْتَغَى فِي مَجَالِسِهِ
بِلَفْظَةِ المُصْطَفَى عَنِ ابْنِ عَبَّاسِ
“Kopiku
adalah tinta, dan seruling bagiku adalah penaku.
Dan ilmu
adalah buahku, dan kitab-kitab adalah teman dudukku.
Beruntunglah
siapa yang di majelisnya dicari (ilmu),
Dengan
lafazh Al-Musthofa (Nabi ﷺ) yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas.”
Lalu
penyair yang lain berkata:
الْعِلْمُ نُورٌ، وَالْجَهَالَةُ حَلَكْ
فَمَنْ سَرَى فِي ظُلْمَةِ الْجَهْلِ هَلَكْ
“Ilmu
adalah cahaya, dan kebodohan adalah kegelapan yang pekat.
Maka
siapa yang berjalan di kegelapan kebodohan, ia binasa.”
An-Nazhim
berkata:
وَطَلَبُ الْعِلْمِ وُجُوبُهُ شَمَلْ
نَوْعَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ كَالْعَمَلِ
وَمَنْ عَلَى تَرْكِ التَّعَلُّمِ اسْتَمَرْ
لَهْوَ كَلْبٌ أَوْ حِمَارٌ أَوْ أَشَرٌ
وَتَارِكُ التَّعْلِيمِ عَاصٍ أَبَدًا
إِنْ كَانَ تَرْكُهُ بِلَا عُذْرٍ بَدَا
وَعُذْرُهُ طَلَبُ عَيْشٍ لَازِمِ
أَوِ اشْتِدَادُ مَرَضِ مُلَازِمِ
“Menuntut
ilmu adalah wajib yang mencakup
Jenis
para lelaki dan wanita seperti halnya amal (perbuatan).
Siapa
yang terus-menerus meninggalkan belajar,
Ia
seperti anjing, atau keledai, atau orang yang jahat.
Dan
siapa yang meninggalkan belajar, ia adalah orang yang terus-menerus bermaksiat,
Jika ia
meninggalkannya tanpa ada udzur yang nyata.
Dan
udzurnya adalah mencari nafkah yang wajib,
Atau
sakit keras yang terus-menerus.”
Hafizh
Ahmad Hakami rohimahulloh (1377 H) berkata:
يَا طَالِبَ العِلْمِ لَا تَبْغِي بِهِ بَدَلًا
فَقَدْ ظَفِرْتَ، وَرَبِّ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
وَعَظِّمِ العِلْمَ، وَاعْرِفْ قَدْرَ حُرْمَتِهِ
فِي الْقَوْلِ، وَالْفِعْلِ، وَالْآدَابِ، وَالْقِيَمِ
“Wahai
penuntut ilmu, janganlah kamu mencari pengganti baginya (ilmu),
Karena
sungguh kamu telah beruntung, demi Robb Lauh (Lauhul Mahfuzh) dan Qolam (pena).
Agungkanlah
ilmu, dan ketahuilah kadar kehormatannya,
Dalam
ucapan, perbuatan, adab, dan nilai-nilai.”
Seorang
penyair rohimahulloh berkata:
إِذَا كَانَ يُؤْذِيكَ حَرُّ الْمَصِيفِ
وَيُبْسُ الْخَرِيفِ وَبَرْدُ الشَّتَا
وَيُلْهِيكَ حُسْنُ زَمَانِ الرَّبِيعُ
فَأَخْذُكَ لِلْعِلْمِ قُلْ لِي: مَتَى؟!
“Jika
panasnya musim panas mengganggumu,
Dan
keringnya musim gugur serta dinginnya musim dingin,
Dan indahnya
musim semi melalaikanmu,
Maka
katakan padaku: Kapan kamu akan mengambil ilmu?!”
Seorang
penyair berkata:
أَتَانَا أَنَّ سَهْلًا ذَمَّ جَهْلًا
عُلُومًا لَيْسَ يَدْرِيهِنَّ سَهْلُ
عُلُومًا لَوْ دَرَاهَا مَا قَلَاهَا
وَلَكِنَّ الرَّضَى بِالْجَهْلِ سَهْلُ
“Telah
sampai kepada kami bahwa Sahl (nama orang) mencela dalam kebodohan,
Ilmu-ilmu
yang tidak diketahuinya.
Ilmu-ilmu
yang seandainya ia mengetahuinya, niscaya ia tidak akan membencinya,
Tetapi
ridho (puas) dengan kebodohan adalah hal yang mudah (sahl).”
Salah
seorang ulama Syinqith berkata:
وَإِنْ تُرِدْ تَحْصِيلَ فَنٍّ تَمِّمَهُ
وَعَنْ سِوَاهُ قَبْلَ الِانْتِهَاءِ مَهْ
وَفِي تَرَادُفِ الْعُلُومِ الْمَنْعُ جَا
إِنْ تَوْأَمَانِ اسْتَبَقَا لَنْ يَخْرُجَا
“Jika
kamu ingin meraih satu disiplin ilmu, tuntaskanlah,
Dan dari
selainnya sebelum selesai, berhentilah.
Dalam
mengerjakan ilmu secara berbarengan ada larangan,
Jika dua
bayi kembar berlomba, mereka tidak akan keluar (lahir bersamaan).”
Ibnu
An-Nahhas Al-Halabi rohimahulloh (814 H) berkata:
الْيَوْمَ شَيْءٌ وَغَدًا مِثْلُهُ مِنْ نُخَبِ الْعِلْمِ الَّتِي تُلْتَقَطْ
يُحَصِّلُ الْمَرْءُ بِهَا حِكْمَةً وَإِنَّمَا السَّيْلُ اجْتِمَاعُ النُّقَطْ
“Hari
ini sesuatu, dan besok yang semisalnya dari intisari ilmu yang dipetik,
Seseorang
akan memperoleh hikmah dengannya, karena sesungguhnya banjir itu adalah
kumpulan dari tetesan.”
[16] Pentingnya Sanad
Mathor
Al-Warroq (125 H) berkata, tentang Firman Alloh ﷻ Ta’ala:
﴿أَوْ أَثَارَةٍ
مِنْ عِلْمٍ﴾
“Atau
atsar (jejak) ilmu…” (QS. Al-Ahqof: 4)
Ia berkata:
“Yakni, sanad Hadits.”
Abdulloh
bin ‘Aun (151 H) berkata:
“Al-Hasan
Al-Bashri (110 H) menyampaikan kepada kami Hadits-Hadits, yang seandainya ia
menyandarkannya (dengan sanad), niscaya itu lebih kami sukai.”
Al-Auza’i
(157 H) berkata:
“Tidaklah
hilangnya ilmu kecuali dengan hilangnya Sanad.”
Syu’bah bin
Al-Hajjaj Abu Bisthom (160 H) berkata:
Setiap ilmu
yang tidak ada padanya lafazh: “Haddatsana” (Ia menceritakan kepada kami) dan “Akhbarona”
(Ia mengabarkan kepada kami), maka itu hanyalah cuka dan sayur (tidak bernilai).
Sufyan
Ats-Tsauri (161 H) berkata:
“Sanad
adalah senjata seorang Mu’min. Jika ia tidak memiliki senjata, dengan apa ia
akan berperang?!”
Hammad bin
Zaid (179 H) berkata, ketika Baqiyyah bin Al-Walid menyebutkan Hadits-Hadits
kepadanya, maka Hammad berkata:
“Alangkah
bagusnya Hadits-Hadits itu, andai ia memiliki sayap?” Maksudnya: Sanad-Sanad.
Malik bin
Anas (179 H) berkata, tentang Firman Alloh ﷻ Ta’ala:
﴿وَإِنَّهُ
لَذِكْرٌ لَكَ وَلِقَوْمِكَ﴾
“Sesungguhnya
ia adalah kebanggaan untukmu dan kaummu.” (QS. Az-Zukhruf: 44)
Ia berkata:
“Yaitu ucapan seseorang: ‘Ayahku mengabarkan kepadaku, dari kakekku...’ dan
seterusnya.” Maksudnya adalah periwayatan dengan sanad yang bersambung.
Abdulloh
bin Al-Mubarok (181 H) berkata:
“Sanad
adalah bagian dari Agama, dan kalau bukan karena sanad, niscaya siapa pun akan
berkata apa pun yang ia mau.”
Dari beliau
juga:
“Perumpamaan
orang yang mencari urusan agamanya tanpa sanad, seperti perumpamaan orang yang
naik ke atap tanpa tangga.”
Ia ditanya
tentang Hadits dari Al-Hajjaj bin Dinar, dari Nabi ﷺ, lalu ia berkata:
“Sungguh,
antara Al-Hajjaj dengan Nabi ﷺ
ada padang pasir luas yang di sana leher unta pun akan putus.”
Yazid bin
Zuroi’ (183 H) berkata:
“Setiap
agama memiliki ksatria, dan ksatria agama ini adalah para pemilik sanad.”
Asy-Syafi’i
(204 H) berkata:
“Perumpamaan
orang yang menuntut ilmu tanpa hujjah—yaitu tanpa sanad—seperti perumpamaan
orang yang mencari kayu bakar di malam hari, ia mengumpulkan seikat kayu bakar
yang di dalamnya ada ular berbisa yang akan mematuknya sementara ia tidak tahu.”
Abu Sa’id
Al-Haddad (221 H) berkata:
“Sanad itu
seperti anak tangga. Jika kakimu tergelincir dari anak tangga, kamu akan
terjatuh.”
Abdulloh
bin Thohir berkata:
“Meriwayatkan
Hadits tanpa sanad adalah pekerjaan orang-orang yang lemah (cacat), karena
sesungguhnya sanad Hadits adalah kemuliaan dari Alloh ﷻ untuk ummat Muhammad ﷺ.”
Abu Hatim
Ar-Rozi (277 H) berkata:
“Tidak ada
pada satu pun umat dari sekian banyak umat, sejak Alloh ﷻ
menciptakan Nabi Adam, para orang yang terpercaya yang menjaga atsar
(jejak/sunnah) Rosul, kecuali pada umat ini.”
Abu ‘Ali
Al-Hayyani (498 H) berkata:
“Alloh ﷻ
telah mengkhususkan umat ini dengan 3 (tiga) hal yang tidak Dia berikan kepada
umat-umat sebelumnya: sanad, nasab, dan i’rob (tata bahasa).”
Muhammad
bin Hatim bin Al-Muzhoffar berkata:
“Sungguh,
Alloh ﷻ
telah memuliakan, menghormati, dan mengutamakan umat ini dengan sanad. Tidak
ada satu pun dari semua umat, baik yang dahulu maupun yang baru, yang memiliki sanad.
Yang ada pada mereka hanyalah lembaran-lembaran di tangan mereka, dan mereka
telah mencampur aduk berita-berita mereka ke dalam kitab-kitab mereka. Tidak
ada pembedaan di sisi mereka antara apa yang turun dari Taurat dan Injil dengan
apa yang mereka sisipkan ke dalam kitab-kitab mereka berupa berita-berita yang
mereka ambil dari orang-orang yang tidak terpercaya.”
Manusia
dalam ilmu sanad terbagi menjadi 4 (empat) bagian:
1. Kelompok yang
menyibukkan diri dengan sanad secara diroyah (pemahaman) dan riwayah (periwayatan).”
2. Kelompok yang
tidak menyibukkan diri dengan ilmu sanad, tidak secara diroyah maupun riwayah.
3. Kelompok yang
menyibukkan diri dengan ilmu sanad hanya secara riwayah.
4. Kelompok yang
menyibukkan diri dengan ilmu sanad hanya secara diroyah.
[17] Keutamaan Majelis Sama’
Abdulloh bin Abdur Rohman Ad-Darimi (255 H) berkata, Bab Tentang Al-‘Ardh:
“‘Ashim Al-Ahwal menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku
menyodorkan Hadits-Hadits Fiqih kepada Asy-Sya’bi (103 H), lalu ia memberikan
ijazah (otorisasi) kepadaku untuk meriwayatkannya.”
As-Sakhowi
(902 H) berkata:
“Guru kami,
Al-Hafizh Ibnu Hajar (852 H), mengadakan lebih dari 1.000 (seribu) majelis
untuk Hadits dan Ijazah.”
Penutup
Tibalah
kita pada penutup kebaikan dalam penulisan buku yang indah ini, ringkasan yang
ringkas yang dinamakan شَحْذُ الهِمَّةِ فِي الطَّلَبِ (Membangkitkan Semangat
Menuntut Ilmu). Aku memohon kepada Alloh ﷻ agar memberikan manfaat dengannya
bagiku di dunia dan Akhiroh.
Segala puji
bagi Alloh ﷻ,
di awal dan di akhir. Segala puji bagi Alloh ﷻ, yang dengan ni’mat-Nya
sempurnalah segala amal sholih. Maha Suci Robbmu, Robb Yang Maha Perkasa dari
apa yang mereka sifatkan. Salam sejahtera atas para Rosul, dan segala puji bagi
Alloh ﷻ
Robb semesta alam. Semoga sholawat dan salam dari Alloh ﷻ
tercurah atas sebaik-baik makhluk-Nya, Muhammad ﷺ, keluarga beliau, dan Shohabat beliau.
Ditulis
oleh:
Abu Abdir
Rohman
Samir bin
Yusuf bin Salim bin Ahmad Al-Hakali
Yaman -
Hudaidah - Al-Manzhor - Masjid Al-Huda
Hari Kamis,
Robi’ul Awwal 1438 H
Bertepatan
dengan Desember 2016 M
***