[PDF] Membangkitkan Semangat Menuntut Ilmu - شحذ الهمة - Syaikh Samir bin Yusuf Al-Hakali

 


Pengantar Pentarjamah

Buku ini sudah kami dengarkan langsung dari penulisnya dari awal sampai akhir pada tahun 2023, dan beliau memberi kami ijazah khusus buku ini.

Kitab asli ini bisa diunduh PDF nya di sini.

Tarjamah ini adalah pekerjaan dari hamba yang lemah dan terbatas. Maka koreksi tarjamah dan penukilan bisa disampaikan ke nomor ini, untuk bahan kajian ulang pada edisi berikutnya.

Allahul muwaffiq.

Sanad Kitab

الحمد لله رب العالمين، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ولي الصالحين، أما بعد:

فقد سمع علينا طالب العلم النجيب نور كاندير كتابنا «شحذ الهمة في الطلب» في مجلس واحد، وقد أجزناه بروايته إجازة خاصة من معيّن المعين في معين بالشرط المعتبر عند أهل الحديث والأثر.

ونوصي المجاز بتقوى الله في السر والعلن، والحرص على العلم والعمل، والعناية بالسنة تعلما وتعليما وعملا ونشرا، وأن لا ينسانا ومشايخنا والمسلمين خالص دعائه.

قاله بفمه وأمر برسمه:

سمير بن يوسف بن سالم الحكلي

 

Terjemah Sanad Kitab

Segala puji hanya bagi Robb semesta alam, dan aku bersaksi bahwa tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, Dia adalah Pelindung bagi orang-orang sholih.

Adapun setelah itu:

Sungguh, telah mendengarkan kepada kami murid yang cerdas, Nor Kandir, kitab kami Syahdzul Himmah fith Tholab (Membangkitkan Semangat Menuntut Ilmu) dalam satu majelis. Dan sungguh, kami telah memberikan ijazah (izin) kepadanya untuk meriwayatkan kitab tersebut, yaitu ijazah khusus dari orang tertentu kepada orang tertentu dalam perkara tertentu, dengan syarat yang diakui oleh para Ahli Hadits dan Atsar (riwayat).

Kami mewasiatkan kepada yang diberi ijazah agar bertaqwa kepada Allah dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan, bersungguh-sungguh terhadap ilmu dan amal, serta mencurahkan perhatian kepada As-Sunnah dalam hal mempelajarinya, mengajarkannya, mengamalkannya, dan menyebarkannya, dan agar ia tidak melupakan kami, para guru kami (masyayikh) dan kaum Muslimin dalam doa-doanya yang tulus.

Ini disampaikan secara lisan dan diperintahkan untuk ditulis (diabadikan) oleh:

Samir bin Yusuf bin Salim Al-Hakali

Pembukaan

Segala puji bagi Alloh yang telah meninggikan derajat para ahli ilmu. Alloh berfirman:

﴿يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتِ

“Allah mengangkat beberapa derajat orang-orang beriman di antara kalian dan juga orang-orang yang diberi ilmu.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Sholawat dan salam semoga tercurah atas Nabi yang mulia, yang jujur, dan terpercaya, yang bersabda:

«مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقَّهْهُ فِي الدِّينِ»

“Siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah maka ia akan dijadikan faham agama.” (Muttafaqun Alain)

Begitupula atas keluarga beliau dan Shohabat beliau semuanya.

Selanjutnya:

Sungguh, ini adalah ringkasan yang indah, dan nukilan yang ringkas tentang keutamaan ilmu dan para ahlinya. Aku menuliskannya untuk mereka yang masih awam dalam ilmu sepertiku. Aku menamakannya:

«شَحْذُ الهِمَّةِ فِي الطَّلَبِ»

“Membangkitkan Semangat Menuntut Ilmu”

Hanya kepada Alloh kami memohon agar menjadikan tulisan ini ikhlas karena Wajah-Nya yang Mulia, dan agar mengedarkannya sejauh peredaran matahari di penjuru dunia, serta agar memberikan manfaat kepada penulisnya, penghafalnya, dan mereka yang menyibukkan diri dengannya.

Tidak ada taufiq bagiku kecuali dari Alloh , kepada-Nya aku bertawakkal, dan kepada-Nya aku kembali. Dia-lah yang mencukupi bagiku dan sebaik-baik wakil. Maha Suci Robbmu, Robb Yang Maha Perkasa dari apa yang mereka sifatkan. Salam sejahtera atas para Rosul, dan segala puji bagi Alloh Robb semesta alam.

Ditulis oleh:

Abu Abdirrohman

Samir bin Yusuf bin Salim bin Ahmad Al-Hakali

Yaman - Hudaidah - Al-Manzhor - Masjid Al-Huda

Hari Kamis, Robi’ul Awwal 1438 H

Bertepatan dengan Desember 2016 M

[1] Keutamaan Ilmu

Alloh berfirman:

«وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا»

“Ucapkanlah: ‘Ya Robb-ku, tambahkanlah aku ilmu.’” (QS. Thoha: 114)

Ibnu Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu (35 H) ketika membaca ayat ini berkata:

«اللَّهُمَّ زِدْنِي عِلْمًا، وَإِيمَانًا، وَيَقِينًا»

“Ya Allah, tambahkan aku ilmu, iman, dan keyakinan.”

Sufyan bin Uyainah rohimahulloh berkata:

«وَلَمْ يَزَلْ ﷺ فِي زِيَادَةٍ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ»

Nabi senantiasa bertambah ilmunya hingga Alloh mewafatkannya.

Ibnu Al-Qoyyim (751 H) rohimahulloh berkata:

«وَكَفَى بِهَذَا شَرَفًا لِلْعِلْمِ أَنْ أَمَرَ اللَّهُ نَبِيَّهُ ﷺ أَنْ يَسْأَلَهُ الْمَزِيدَ مِنْهُ»

“Cukuplah ini sebagai kemuliaan bagi ilmu karena Alloh memerintahkan Nabi-Nya untuk memohon tambahan darinya.”

Ibnu Katsir (774 H) rohimahulloh berkata:

«أَيْ زِدْنِي مِنْكَ عِلْمًا»

“Maksudnya, ‘Tambahkanlah ilmu dari-Mu untukku.’”

Guru kami, Syaikh Al-Allamah Muhammad Amin Al-Harori berkata:

«مَا أَمَرَ اللَّهُ نَبِيَّهُ أَنْ يَسْتَزِيدَ مِنْ شَيْءٍ كَمَا أَمَرَهُ أَنْ يَسْتَزِيدَ مِنَ العِلْمِ»

Alloh tidak memerintahkan Nabi-Nya untuk meminta tambahan dari sesuatu seperti Dia memerintahkannya untuk meminta tambahan ilmu.”

[2] Semangat Salaf dalam Mencari Ilmu

Ibnu ‘Aqil Al-Hanbali rohimahulloh berkata:

«إِنِّي لَأَجِدُ مِنْ حِرْصِي عَلَى العِلْمِ وَأَنَا فِي عَشْرِ الثَّمَانِينَ أَشَدَّ مِمَّا كُنْتُ أَجِدُهُ وَأَنَا ابْنُ عِشْرِينَ سَنَةً»

“Sungguh, kesungguhanku dalam mencari ilmu, padahal aku di usia 80 tahun, lebih kuat daripada yang kudapati saat aku berumur 20 tahun.”

Ibnu Al-Jauzi, saat di akhir usianya, yaitu 80 tahun, membaca Qiro’at Asyroh (10 macam bacaan Al-Qur’an) di hadapan Ibnu Al-Baqillani, ia bersama putranya Yusuf.

Adz-Dzahabi (748 H) berkomentar tentang kisah ini:

«فَانْظُرْ إِلَى هَذِهِ الهِمَّةِ العَالِيَةِ»

Lihatlah semangat yang tinggi ini.”

Ibnu Abdil Hadi rohimahulloh berkata tentang Ibnu Taimiyah (728 H):

«لَا تَكَادُ نَفْسُهُ تَشْبَعُ مِنَ العِلْمِ، وَلَا تَرْوَى مِنَ الْمُطَالَعَةِ، وَلَا تَمَلُّ مِنَ الاشْتِغَالِ، وَلَا تَكِلُّ مِنَ البَحْثِ، وَقَلَّ أَنْ يَدْخُلَ فِي عِلْمٍ مِنَ العُلُومِ إِلَّا وَيَفْتَحُ لَهُ مِنْ ذَلِكَ الْبَابِ أَبْوَابًا، وَيَسْتَدْرِكُ أَشْيَاءَ فِي ذَلِكَ العِلْمِ عَلَى حُذَّاقِ أَهْلِهِ»

“Jiwanya hampir tidak pernah kenyang dari ilmu, tidak pernah terpuaskan dari muthola’ah (membaca/menelaah), tidak bosan menyibukkan diri, dan tidak pernah lelah dari penelitian. Jarang sekali ia memasuki suatu cabang ilmu melainkan Alloh membukakan baginya banyak pintu dari cabang itu, dan ia mengoreksi hal-hal dalam ilmu tersebut dari para ahlinya yang terampil.”

Ibnu Al-Jauzi berkata:

«كَانَ طَاهِرُ ابْنُ أَبِي الصَّقْرِ مِنَ الْجَوَّالِينَ فِي الْآفَاقِ، وَمِنَ المُكْثِرِينَ مِنْ شُيُوخِ الأَمْصَارِ، وَكَانَ يَقُولُ: هَذِهِ كُتُبِي أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ وَزْنِهَا ذَهَبًا»

Thohir bin Abi Ash-Shoqr adalah salah satu ulama yang berkelana ke berbagai penjuru dunia, dan banyak mengambil ilmu dari para guru di berbagai kota. Ia berkata, “Kitab-kitabku ini lebih aku cintai daripada emas seberat timbangannya.”

Ibnu Al-Qoyyim (751 H) berkata:

«حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ أَخُو شَيْخِنَا شَيْخِ الإِسْلَامِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ : عَنْ أَبِيهِ عَبْدِ الحَلِيمِ قَالَ: كَانَ جَدِّي أَبُو البَرَكَاتِ عَبْدُ السَّلَامِ إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ يَقُولُ لِي: اقْرَأْ فِي هَذَا الكِتَابِ، وَارْفَعْ صَوْتَكَ حَتَّى أَسْمَعَ»

“Abdur Rohman bin Taimiyah, saudara Syaikh kami Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (728 H) menceritakan kepadaku, dari ayahnya Abdul Halim, ia berkata, “Kakekku Abu Al-Barokat Abdus Salam, jika masuk ke toilet, ia berkata kepadaku, ‘Bacalah kitab ini, dan keraskan suaramu agar aku bisa mendengarnya.’”

Hassan bin Muhammad berkata:

«سَمِعْتُ مَشَائِخَنَا يَذْكُرُونَ: أَنَّ إِسْحَاقَ بْنَ مَنْصُورٍ بَلَغَهُ أَنَّ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ رَجَعَ عَنْ تِلْكَ المَسَائِلِ الَّتِي عَلَّقَهَا عَنْهُ قَالَ: فَجَمَعَ إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ تِلْكَ المَسَائِلَ فِي جِرَابٍ، وَحَمَلَهَا عَلَى ظَهْرِهِ، وَخَرَجَ رَاجِلاً إِلَى بَغْدَادَ، وَهِيَ عَلَى ظَهْرِهِ، وَعَرَضَ خُطُوطَ أَحْمَدَ عَلَيْهِ فِي كُلِّ مَسْأَلَةٍ اسْتَفْتَاهُ فِيهَا ، فَأَقَرَّ لَهُ بِهَا ثَانِيًا، وَأُعْجِبَ أَحْمَدُ بِذَلِكَ»

“Aku mendengar guru-guru kami menyebutkan bahwa telah sampai kepada Ishaq bin Manshur bahwa Ahmad bin Hanbal (241 H) telah menarik kembali fatwa-fatwa yang pernah ia berikan kepadanya. Maka, Ishaq bin Manshur mengumpulkan masalah-masalah itu ke dalam satu kantong besar, lalu memanggulnya di punggungnya. Ia pun berangkat berjalan kaki ke Baghdad, dan kantong itu masih di punggungnya. Ia menyodorkan tulisan tangan Ahmad bin Hanbal kepadanya tentang setiap masalah yang ia tanyakan, lalu Ahmad bin Hanbal membenarkannya kembali, dan Ahmad bin Hanbal merasa kagum dengan hal itu.

As-Sakhowi rohimahulloh berkata tentang gurunya, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani (852 H):

«كَانَتْ لَهُ هِمَّةٌ عَالِيَةٌ فِي المُطَالَعَةِ، وَالْقِرَاءَةِ، وَالسَّمَاءِ، وَالْعِبَادَةِ، وَالتَّصْنِيفِ، وَالْإِفَادَةِ»

“Beliau memiliki semangat yang tinggi dalam muthola’ah (meneliti), membaca, mendengar Hadits (dalam majlis sama’), beribadah, menulis, dan memberikan faedah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahulloh berkata:

«إِنِّي لَأَتَعَجَّبُ مِمَّنْ يَجْلِسُ خَالِيًا عَنِ الاِشْتِغَالِ»

Sungguh, aku heran kepada orang yang duduk berdiam diri tanpa menyibukkan diri.

[3] Semangat Salaf dalam Mencari Ilmu di Ambang Kematian

Ibrohim bin Al-Jarroh At-Tamimi berkata:

«أَتَيْتُ أَعُودُ القَاضِيَ أَبَا يُوسُفَ صَاحِبَ أَبِي حَنِيفَةَ، وَهُوَ مُغْوًى عَلَيْهِ، فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ لِي: يَا إِبْرَاهِيمُ، أَيُّهُمَا أَفْضَلُ فِي رَمْيِ الْجِمَارِ: أَنْ يَرْمِيَهُ الرَّجُلُ رَاجِلاً أَوْ رَاكِبًا ؟ فَقُلْتُ : رَاكِبًا. قَالَ: أَخْطَأْتَ. فَقُلْتُ: مَاشِيًا. قَالَ : أَخْطَأْتَ. قُلْتُ: قُلْ فِيهَا يَرْضَى اللَّهُ عَنْكَ. قَالَ: أَمَّا مَا يُوقَفُ فِيهِ لِلدُّعَاءِ فَالْأَفْضَلُ أَنْ يَرْمِيَهُ رَاجِلاً، وَأَمَّا مَا كَانَ لَا يُوقَفُ عِنْدَهُ فَالْأَفْضَلُ أَنْ يَرْمِيَهُ رَاكِبًا ثُمَّ قُمْتُ مِنْ عِنْدِهِ، فَلَمْ أَبْلُغْ بَابَ دَارِهِ حَتَّى سَمِعْتُ الصُّرَاخَ عَلَيْهِ، فَإِذَا هُوَ قَدْ مَاتَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى»

Aku datang menjenguk Qodhi Abu Yusuf, murid Abu Hanifah (150 H). Ia sedang pingsan. Ketika sadar, ia bertanya kepadaku, “Wahai Ibrohim, manakah yang lebih utama dalam melontar jumroh, apakah seseorang melontar sambil berjalan kaki atau sambil berkendara?” Aku menjawab, “Berkendara.” Ia berkata, “Kamu salah.” Lalu aku menjawab, “Berjalan kaki.” Ia berkata, “Kamu salah.” Aku berkata, “Sampaikanlah, semoga Alloh meridhoimu.” Ia menjawab, “Adapun jumroh yang padanya disunnahkan berhenti untuk berdo’a, yang lebih utama adalah melontarnya sambil berjalan kaki. Sedangkan jumroh yang padanya tidak disunnahkan berhenti, yang lebih utama adalah melontarnya sambil berkendara.” Lalu aku bangkit dari sisinya. Aku belum sampai di pintu rumahnya sampai aku mendengar teriakan tangis untuknya. Ternyata ia telah wafat rohimahulloh.

Abdur Rohman bin Abi Hatim Ar-Rozi (327 H) berkata:

«حَضَرْتُ أَبِي رَحِمَهُ اللَّهُ، وَكَانَ فِي النَّزْعِ، فَسَأَلْتُهُ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَبْدِ الغَافِرِ: أَيَرْوِي عَنِ النَّبِيِّ ﷺ؟ فَقَالَ بِرَأْسِهِ: لَا. فَلَمْ أَقْنَعْ مِنْهُ، فَقُلْتُ : أَفَهِمْتَ عَنِّي؟ أَلَهُ صُحْبَةٌ؟ فَقَالَ : هُوَ تَابِعِيُّ»

Aku menghadiri ayahku rohimahulloh saat sedang sakarotul maut. Aku bertanya kepadanya tentang Uqbah bin Abdil Ghofir, “Apakah ia meriwayatkan Hadits dari Nabi ?” Ia menjawab dengan anggukan kepala: “Tidak.” Aku belum merasa puas, lalu aku berkata, “Apakah kamu mengerti pertanyaanku? Apakah ia seorang Shohabat?” Ia menjawab: “Ia adalah seorang Tabi’in.”

Ini adalah Ibnu Malik An-Nahwi (672 H), penulis Alfiyyah dalam ilmu Nahwu. Ia menghafal 5 (lima) syawahid (contoh kalimat) Nahwiyah pada hari ia wafat.

Al-Qosimi (1332 H) menyebutkan dalam biografi Abu Al-‘Abbas Ahmad bin Abi Tholib Al-Hajjar (730 H), bahwa Al-Qur’an dibacakan di hadapannya pada hari wafatnya, padahal usianya sudah 110 tahun.

Al-Faqih At-Tabrizi berkata:

«دَخَلْتُ عَلَى أَبِي الرَّيْحَانِ، وَهُوَ يَجُودُ بِنَفْسِهِ، وَقَدْ حَشْرَجَتْ وَضَاقَ بِهَا صَدْرُهُ، فَقَالَ لِي: كَيْفَ قُلْتَ يَوْمَ حِسَابِ الْجَدَّاتِ الْفَاسِدَاتِ؟ فَقُلْتُ لَهُ إِشْفَاقًا عَلَيْهِ: أَفِي هَذِهِ الحَالَةِ؟ فَقَالَ لِي: يَا هَذَا أُوَدِّعُ الدُّنْيَا، وَأَنَا عَالِمٌ بِهَذِهِ المَسْأَلَةِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ أُوَدِّعَ الدُّنْيَا، وَأَنَا جَاهِلٌ بِهَا. فَأَعَدْتُ ذَلِكَ عَلَيْهِ، وَحَفِظَ، وَخَرَجْتُ مِنْ عِنْدِهِ، فَلَمَّا كُنْتُ بِبَابِ الدَّارِ سَمِعْتُ الصُّرَاخَ عَلَيْهِ»

Aku menemui Abu Ar-Roihan (440 H) yang sedang menghadapi sakarotul maut. Napasnya tersengal dan dadanya sesak. Ia bertanya kepadaku, “Bagaimana kamu mengatakan tentang perhitungan nenek-nenek yang fasid?” Aku menjawabnya karena kasihan kepadanya, “Apakah dalam keadaan seperti ini?” Ia menjawab, “Wahai engkau, aku meninggalkan dunia dalam keadaan mengetahui masalah ini lebih baik daripada aku meninggalkan dunia dalam keadaan bodoh tentangnya.” Maka aku ulangi lagi masalah itu kepadanya, dan ia menghafalnya. Aku keluar dari sisinya. Begitu sampai di pintu rumah, aku mendengar teriakan tangis untuknya.

Muhammad bin Jarir Ath-Thobari (310 H):

«لَمَّا حَضَرَتْهُ الوَفَاةُ سَمِعَ حَدِيثًا يُرْوَى عِنْدَهُ، فَأَخَذَ دَوَاةً، وَقَلَمًا وَكَاغِدًا ثُمَّ كَتَبَ الحَدِيثَ، وَهُوَ عَلَى فِرَاشِ مَوْتِهِ»

Ketika ajal menjemputnya, ia mendengar sebuah Hadits yang diriwayatkan di sisinya. Lalu ia mengambil tempat tinta, pena, dan kertas, kemudian ia menulis Hadits itu, padahal ia berada di ranjang kematiannya.

[4] Semangat Salaf dalam Membaca

Al-Khothib Al-Baghdadi (463 H) membaca kitab Shohih Al-Bukhori rohimahulloh di hadapan Isma’il bin Ahmad bin Abdulloh Adh-Dhorir yang wafat pada tahun 430 H, dalam 3 (tiga) majelis: dari setelah Sholat Maghrib hingga Fajar selama 2 (dua) malam, dan malam ketiga dari Dhuha hingga Fajar.

Adz-Dzahabi (748 H) berkomentar:

«هَذِهِ القِرَاءَةُ الَّتِي لَمْ يُسْمَعْ قَطُّ بِأَسْرَعَ مِنْهَا»

“Ini adalah majelis qiro’ah yang tidak pernah terdengar lebih cepat darinya,” dan ia juga berkata:

«وَهَذَا شَيْءٌ لَا أَعْلَمُ أَحَدًا فِي زَمَانِنَا يَسْتَطِيعُهُ»

“Ini adalah sesuatu yang aku tidak tahu ada seorang pun di zaman kita yang mampu melakukannya.”

Abu Sa’id As-Sam’ani (562 H) berkata: Al-Khothib Al-Baghdadi (463 H) membaca kitab Shohih Imam Al-Bukhori rohimahulloh dalam 5 (lima) hari di hadapan Asy-Syaikhah Karimah binti Ahmad Al-Marwadzhiyyah. Ia (Karimah) mendengar Hadits-Hadits Al-Bukhori dari Al-Kusymahini. Ia adalah seorang ‘alimah (ulama wanita) yang mulia, dan usianya mencapai 100 tahun. Ia wafat pada tahun 463 H.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani (852 H) membaca kitab Shohih Imam Al-Bukhori di hadapan gurunya, Abu Al-Ma’ali Abdulloh bin Umar bin ‘Ali Al-Hindi dalam 10 (sepuluh) majelis.

Ibrohim Al-Biqo’i rohimahulloh (885 H) membaca kitab Shohih Imam Al-Bukhori secara penuh dalam 6 (enam) hari di hadapan ayahnya.

Al-Qostholani (923 H) membaca kitab Shohih Imam Al-Bukhori di hadapan An-Nasyawi dalam 5 (lima) majelis.

Abdulloh bin Sa’id Al-Umawi membaca kitab Shohih Imam Muslim di hadapan Abu Dzarr Al-Harowi dalam 1 (satu) Jum’ah, yaitu 1 (satu) pekan.

Tholhah bin Muzhoffar Al-Hanbali membaca kitab dalam 3 (tiga) majelis.

Ibnu Al-Abar membaca kitab Shohih Muslim di hadapan Al-Muhaddits Al-Mu’ammar Abu Muhammad Abdulloh bin Muhammad Al-Hajari Al-Andalusi dalam 6 (enam) hari.

Zainud Din Al-‘Iroqi (806 H) membaca kitab Shohih Muslim di hadapan Muhammad bin Isma’il Al-Khobbaz di Damaskus dalam 6 (enam) majelis. Majelis qiro’ah ini dihadiri oleh Al-Hafizh Ibnu Rojab Al-Hanbali (795 H).

Majdud Din Al-Fairuzabadi (817 H) membaca kitab Shohih Muslim di hadapan Al-Bayani di Masjidil Aqsho dalam 14 (empat belas) majelis.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani (852 H) rohimahulloh membaca kitab Shohih Muslim di hadapan Muhammad bin Muhammad bin Abdil Lathif Ibnul Kuwaik dalam 5 (lima) majelis.

Al-Fairuzabadi (817 H) membaca kitab Shohih Muslim di hadapan Ibnu Jahbal dalam 3 (tiga) hari.

Zainud Din Al-‘Iroqi (806 H) membaca kitab Musnad Ahmad di hadapan Muhammad bin Isma’il Al-Khobbaz dalam 30 (tiga puluh) majelis.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani (852 H) membaca kitab Musnad Ahmad dengan tambahannya di hadapan gurunya, Abu Al-Ma’ali Abdulloh bin Umar bin ‘Ali Al-Hindi dalam 53 (lima puluh tiga) majelis.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani (852 H) membaca kitab As-Sunan Al-Kubro karya An-Nasa’i rohimahulloh di hadapan Asy-Syaraf Ibnul Kuwaik dalam 10 (sepuluh) majelis.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani (852 H) rohimahulloh membaca kitab Sunan Ibnu Majah dalam 4 (empat) majelis.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani (852 H) membaca kitab Al-Mu’jam Ash-Shoghir karya Ath-Thobroni rohimahulloh dalam 1 (satu) majelis, dari Zhuhur hingga Ashar, di hadapan Umar bin Muhammad bin Ahmad Al-Balisi kemudian Ash-Sholihi.

Al-Mu’taman As-Saji membaca kitab Al-Muhaddits Al-Fashil karya Ar-Romahurmuzi rohimahulloh —yang merupakan kitab pertama yang disusun dalam ilmu mushtholah Hadits— di hadapan Ibnu Ath-Thoyburi dalam 1 (satu) majelis.

Al-‘Izz Ibnu Abdis Salam (660 H) membaca kitab Nihayatul Mathlab fi Diroyatil Madzhab dalam fiqih Asy-Syafi’iyyah karya Imam Al-Haromain Al-Juwaini rohimahulloh (478 H) dalam 3 (tiga) hari.

Ibnu Taimiyah (728 H) rohimahulloh membaca kitab Al-Ghoilaniyyat dalam 1 (satu) majelis.

Al-Hafizh Al-Mizzi (742 H) membaca kitab Al-Mu’jam Al-Kabir karya Ath-Thobroni rohimahulloh (360 H) dalam 60 (enam puluh) majelis, dengan dihadiri oleh Al-Birzali (739 H).

Al-Hafizh Adz-Dzahabi (748 H), penulis Siyar A’lam An-Nubala’, membaca kitab Siroh Ibnu Hisyam di hadapan Abu Al-Ma’ali dalam 6 (enam) hari.

Sirojud Din Ibnul Mulaqqin (804 H) membaca kitab Al-Ahkam karya Al-Muhibb Ath-Thobari rohimahulloh (694 H) dalam 1 (satu) hari.

[5] Membaca Satu Kitab dengan Pengulangan yang Banyak

Sa’ad bin Muhammad bin Mahmud Asy-Syaironi membaca kitab Shohih Al-Bukhori 20 (dua puluh) kali di hadapan Syamsud Din Al-Kirmani.

Burhan Al-Halabi membaca kitab Shohih Muslim lebih dari 20 (dua puluh) kali.

Utsman bin Muhammad bin Utsman membaca kitab Shohih Al-Bukhori di hadapan lebih dari 30 (tiga puluh) ‘alim (ulama).

Ibrohim bin Al-Hajjaj Al-Abnasi membaca kitab At-Taudhih lebih dari 70 (tujuh puluh) kali, dan ia membaca Syarh Ibnu Al-Mushonnif lebih dari 30 (tiga puluh) kali.

Diceritakan dari Ahmad bin Utsman bin Muhammad bin Al-Kalwatani bahwa:

«أَنَّهُ قَرَأَ صَحِيحَ الْبُخَارِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ مَرَّةً»

“Ia membaca kitab Shohih Al-Bukhori lebih dari 40 (empat puluh) kali.”

Imam Abu Bakar Al-Abhari membaca kitab Muwattho’ Imam Malik rohimahulloh 45 (empat puluh lima) kali, dan kitab Al-Mabsuuth karya As-Sarkhosi 30 (tiga puluh) kali.

Al-Fairuzabadi (817 H) berkata:

«قَرَأْتُ صَحِيحَ البُخَارِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَكْثَرَ مِنْ خَمْسِينَ مَرَّةً»

“Aku membaca kitab Shohih Al-Bukhori lebih dari 50 (lima puluh) kali.”

Ar-Robi’ bin Sulaiman Al-Murodi berkata:

«أَنَا أَنْظُرُ فِي كِتَابِ (الرِّسَالَةِ) لِلشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى مُنْذُ خَمْسِينَ سَنَةً، مَا أَعْلَمُ أَنِّي نَظَرْتُ فِيهِ مَرَّةً، إِلَّا وَأَنَا أَسْتَفِيدُ مِنْهُ شَيْئًا لَمْ أَكُنْ أَعْرِفُهُ»

“Aku telah menelaah kitab Ar-Risaalah karya Asy-Syafi’i rohimahulloh (204 H) sejak 50 (lima puluh) tahun yang lalu, dan aku tidak tahu aku pernah menelaahnya satu kali pun melainkan aku mengambil manfaat darinya sesuatu yang belum pernah aku ketahui.”

Al-Burhan Al-Halabi (841 H) berkata, dari gurunya Abu Bakar bin Muhammad bin Abdulloh bin Muqbil Al-Qohiri Al-Hanafi:

«أَنَّهُ قَرَأَ (صَحِيحَ الْبُخَارِيِّ) رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى خَمْسًا وَتِسْعِينَ مَرَّةً»

Bahwa ia membaca kitab Shohih Al-Bukhori 95 (sembilan puluh lima) kali.

Sulaiman bin Ibrohim bin Umar Nafisud Din Al-‘Alawi Al-Yamani berkata:

«مَرَرْتُ عَلَى صَحِيحِ البُخَارِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِائَةً وَخَمْسِينَ مَرَّةً، مَا بَيْنَ قِرَاءَةِ، وَسَمَاعٍ، وَإِسْمَاعٍ وَمُقَابَلَةٍ»

“Aku telah melewati kitab Shohih Al-Bukhori sebanyak 150 (seratus lima puluh) kali, antara membaca, mendengar, membacakan (kepada orang lain), dan membandingkan.”

Diceritakan dari Ahmad bin Ahmad bin Ahmad bin Abdil Lathif Asy-Syarozi:

«أَنَّهُ: أَتَى عَلَى صَحِيحِ البُخَارِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِائَتَيْنِ وَثَمَانِينَ مَرَّةً، قِرَاءَةً، وَإِقْرَاءً، وَسَمَاعًا، وَإِسْمَاعًا»

Bahwa ia telah melewati kitab Shohih Al-Bukhori sebanyak 280 (dua ratus delapan puluh) kali, antara membaca, membacakan (kepada guru/murid), mendengar, dan membacakan (kepada orang lain).

Abu Bakar Ibnu ‘Athiyyah (546 H) berkata:

«كَرَّرَ الإِمَامُ غَالِبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ غَالِبِ بْنِ تَمَامِ بْنِ عَطِيَّةَ الحَارِبِيُّ صَحِيحَ البُخَارِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى سَبْعَائَةِ مَرَّةٍ»

“Imam Gholib bin Abdur Rohman bin Gholib bin Tamam bin ‘Athiyyah Al-Haribi mengulang kitab Shohih Al-Bukhori sebanyak 700 (tujuh ratus) kali.”

[6] Mengajarkan Satu Kitab dengan Pengulangan yang Banyak

Syaikh Al-Faqih Jamalud Din Ahmad bin Muhammad Al-Washithi Al-Asymuni Asy-Syafi’i dijuluki dengan Al-Wajizi karena hafalannya dan perhatiannya terhadap kitab tersebut.

Imam Az-Zarkasyi (794 H) dijuluki dengan Al-Minhaji, dinisbatkan kepada kitab Minhajuth Tholibin karya An-Nawawi (676 H), karena perhatiannya terhadap kitab itu, hafalannya, dan penguasaannya dalam pemahaman dan syarahnya (penjelasannya).

Imam Muhyid Din Al-Kafiyaji (873 H) dijuluki demikian karena seringnya ia membaca dan memberikan perhatian pada kitab Al-Kafiyah karya Ibnul Hajib (646 H).

Kamalud Din Umar bin Abdur Rohim Ibnul ‘Ajami Asy-Syafi’i (777 H) mengajarkan kitab Al-Muhadzdzab karya Asy-Syirozi rohimahulloh (476 H) dalam fiqih Asy-Syafi’iyyah sebanyak 25 (dua puluh lima) kali.

Kitab Shohih Muslim dibacakan di hadapan Abdul Ghofir bin Muhammad Al-Farisi (529 H) lebih dari 60 (enam puluh) kali.

Al-Faqih Az-Zahid Al-Hanbali, Isma’il bin Muhammad Al-Farro’ (598 H), mengajarkan kitab Al-Muqni’ sebanyak 100 (seratus) kali.

Al-Faqih As-Sakkakini mengajarkan kitab Al-Hawi 30 (tiga puluh) kali.

Abdul Qodim bin Abdur Rohman bin Husain An-Nuzaili Al-Yamani mengajarkan kitab Al-‘Ubab karya Al-Muzajjaad rohimahulloh (899 H) sebanyak 800 (delapan ratus) kali.

Kitab Shohih Al-Bukhori dibacakan di hadapan Ibrohim bin Muhammad bin Shiddiq Al-Hariri lebih dari 25 (dua puluh lima) kali.

Yahya bin Hilal Al-Qurthubi (497 H) biasa duduk setiap hari untuk memperdengarkan kitab Al-Mudawwanah dari Zhuhur hingga Ashar, dan ia menyelesaikan pembacaannya setiap bulan.

Al-Qodhi Idris bin Jabir Al-‘Aizari Al-Yamani mengajarkan kitab At-Tadzkiroh lebih dari 40 (empat puluh) kali.

Al-‘Allamah Al-Muhaddits Abu Abdulloh Muhammad At-Tawidi (1209 H) biasa membaca kitab Shohih Al-Bukhori setiap bulan Romadhon. Ia memulainya di hari pertama dan mengakhirinya di hari terakhir bulan itu.

Ia mengajarkan kitab Mukhtashor Kholil hampir 30 (tiga puluh) kali.

Ia mengajarkan kitab Al-Ajurrumiyyah lebih dari 100 (seratus) kali.

[7] Banyaknya Karya Tulis di Kalangan Salaf

Ibnu Jarir Ath-Thobari (310 H) menulis dengan tangannya sendiri 350.000 (tiga ratus lima puluh ribu) lembar karya tulis.

Yahya bin Ma’in (233 H) menulis dengan tangannya sendiri 1.000.000 (satu juta) Hadits. ‘Ali bin Al-Madini (234 H) berkata:

«مَا نَعْلَمُ أَحَدًا مِنْ لَدُنْ آدَمَ كَتَبَ مِنَ الحَدِيثِ مَا كَتَبَ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ»

“Kami tidak mengetahui seorang pun sejak zaman Nabi Adam yang menulis Hadits sebanyak yang ditulis Yahya bin Ma’in.”

Muhammad bin Nashr Al-Marwazi (294 H) berkata:

«سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ مَعِينٍ يَقُولُ : كَتَبْتُ بِيَدِيَ أَلْفَ أَلْفِ حَدِيثٍ»

Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata: “Aku menulis dengan tanganku sendiri satu juta Hadits.”

Imam Ahmad bin Hanbal (241 H) berkata:

«كُلُّ حَدِيثٍ لَا يَعْرِفُهُ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ فَلَيْسَ بِحَدِيثٍ»

“Setiap Hadits yang tidak diketahui oleh Yahya bin Ma’in, maka itu bukanlah Hadits.”

Al-Baqillani Abu Bakar bin Muhammad Ath-Thoyyib (403 H) tidak tidur sampai ia menulis 35 (tiga puluh lima) lembar karya tulis.

Ibnu Abi Ad-Dunya (281 H) mengarang 1.000 (seribu) karya tulis.

Ibnu ‘Asakir (571 H) menulis kitab At-Tarikh dalam 80 (delapan puluh) jilid.

Ibnu Syahin (385 H) menyusun 330 (tiga ratus tiga puluh) karya tulis.

Ibnu Hazm (456 H) menulis 400 (empat ratus) jilid.

Ibnu Abi Hatim Ar-Rozi (327 H) menulis 1.000 (seribu) juz karya tulis.

Al-Hakim An-Naisaburi (405 H) mengarang 1.500 (seribu lima ratus) juz.

Ibnu Taimiyah (728 H) mengarang 300 (tiga ratus) karya tulis.

Ibnu Al-Qoyyim (751 H) menulis 50 (lima puluh) jilid karya tulis.

Al-Baihaqi (458 H) mengarang 1.000 (seribu) juz.

Muhammad bin Sahnun (256 H) menulis 100 (seratus) juz.

Al-Hafizh Ibnu Hajar (852 H), Adz-Dzahabi (748 H), dan As-Suyuthi (911 H) memperbanyak karya tulis hingga mencapai batas yang tidak masuk akal, dan sesuatu yang tidak dapat disifatkan.

Ibnu ‘Aqil Al-Hanbali (513 H) menulis kitab yang bernama Al-Funun sebanyak 800 (delapan ratus) jilid.

Ibnu Al-Jauzi (597 H) menulis 500 (lima ratus) karya tulis dengan tangannya sendiri.

Al-Hafizh Al-Mundziri (656 H) menulis dengan tangannya sendiri 790 (tujuh ratus sembilan puluh) juz.

[8] Semangat Salaf dalam Memanfaatkan Waktu

Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani (189 H) tidak tidur di malam hari kecuali sedikit saja.

Ubaid bin Ya’isy berkata:

«أَقَمْتُ ثَلَاثِينَ سَنَةً، مَا أَكَلْتُ بِيَدِيَ بِاللَّيْلِ، كَانَتْ أُخْتِي تُلَقِّمُنِي، وَأَنَا أَكْتُبُ الحَدِيثَ»

“Aku tinggal selama 30 (tiga puluh) tahun, aku tidak makan dengan tanganku di malam hari. Adikku menyuapiku sementara aku menulis Hadits.”

Mundzir Al-Marwani An-Nahwi dijuluki dengan Al-Mudzakaroh karena kuatnya ketergantungan ia pada mudzakaroh (diskusi) ilmu Nahwu.

Al-Khothib Al-Baghdadi (463 H) berjalan di jalan sambil menelaah kitab.

Al-Juwaini (478 H) tidak makan dan tidak tidur kecuali karena terpaksa.

Ibnu ‘Aqil Al-Hanbali (513 H) lebih memilih menghaluskan biskuit (ka’k) lalu meminumnya dengan air daripada roti, karena perbedaan waktu mengunyah di antara keduanya.

Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu (32 H) berkata:

«مَا نَدِمْتُ عَلَى شَيْءٍ نَدَمِي عَلَى يَوْمٍ غَرَبَتْ شَمْسُهُ، نَقَصَ فِيهِ أَجَلِي، وَلَمْ يَزِدْ فِيهِ عَمَلِي»

“Aku tidak pernah menyesali sesuatu seperti penyesalanku pada hari yang mataharinya terbenam, di mana ajalku berkurang, tetapi amalku tidak bertambah.”

Umar bin Abdul ‘Aziz rodhiyallahu ‘anhu (101 H) berkata:

«إِنَّ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ يَعْمَلَانِ فِيكَ، فَاعْمَلْ فِيهِمَا»

“Sungguh, siang dan malam bekerja untuk dirimu, maka bekerjalah pada keduanya.”

Al-Hasan Al-Bashri (110 H) berkata:

«يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ، فَإِذَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ»

“Wahai anak cucu Adam, sungguh dirimu hanyalah hari-hari. Jika satu hari berlalu, maka sebagian dirimu telah hilang.”

Ia juga berkata:

«أَدْرَكْتُ أَقْوَامًا كَانُوا عَلَى أَوْقَاتِهِمْ أَشَدَّ مِنْكُمْ حِرْصًا عَلَى دَرَاهِمِكُمْ وَدَنَانِيرِكُمْ»

“Aku mendapati kaum yang perhatian mereka terhadap waktu lebih besar daripada perhatian kalian terhadap dirham dan dinar kalian.”

Dikutip dari ‘Amir bin Abdul Qois (wafat 50-an H), salah seorang Tabi’in yang zuhud, bahwa ada seorang lelaki berkata kepadanya: “Ngobrollah denganku!” Maka ‘Amir bin Abdul Qois berkata kepadanya:

«أَمْسِكِ الشَّمْسَ حَتَّى أُكَلِّمَكَ»

“Tahanlah matahari itu agar aku bisa ngobrol denganmu.”

Kisah Yahya bin Ma’in dengan Muhammad bin Al-Fadhl:

At-Tirmidzi (279 H) berkata:

«حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الفَضْلِ، قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ حَبِيبِ بْنِ الشَّهِيدِ، عَنِ الحَسَنِ البَصْرِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ - وَهُوَ فِي مَرَضِ مَوْتِهِ - يَتَّكِيُّ عَلَى أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، وَعَلَيْهِ ثَوْبٌ قَطَرِيٌّ قَدْ تَوَشَّحَ بِهِ، فَصَلَّى بِهِمْ»

 ‘Abdul bin Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Muhammad bin Al-Fadhl menceritakan kepada kami, ia berkata: Hammad bin Salamah menceritakan kepada kami, dari Habib bin Asy-Syahid, dari Al-Hasan Al-Bashri, dari Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu (93 H), bahwa Nabi keluar dari rumahnya —ketika beliau sakit menjelang wafat— bersandar pada Usamah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhuma, beliau mengenakan kain Qithri yang diselampirkan, lalu beliau mengimami Sholat mereka.

‘Abdul bin Humaid berkata: Muhammad bin Al-Fadhl berkata:

«سَأَلَنِي يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ عَنْ هَذَا الحَدِيثِ أَوَّلَ مَا جَلَسَ إِلَيَّ، فَقُلْتُ: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، فَقَالَ: لَوْ كَانَ مِنْ كِتَابِكَ، فَقُمْتُ لِأُخْرِجَ كِتَابِي، فَقَبَضَ عَلَى ثَوْبِي ثُمَّ قَالَ : أَمْلِهِ عَلَيَّ، فَإِنِّي أَخَافُ أَلَّا أَلْقَاكَ، فَأَمْلَيْتُهُ عَلَيْهِ، ثُمَّ أَخْرَجْتُ كِتَابِي، فَقَرَأْتُهُ عَلَيْهِ»

Yahya bin Ma’in (233 H) bertanya kepadaku tentang Hadits ini pertama kali ia duduk bersamaku. Aku berkata: “Hammad bin Salamah menceritakan kepada kami.” Lalu ia berkata: “Andai Hadits ini ada dalam kitabmu.” Maka aku berdiri untuk mengeluarkan kitabku, namun ia memegang bajuku lalu berkata: “Diktekanlah kepadaku dulu, karena aku khawatir tidak akan bertemu lagi denganmu.” Maka aku imlakan kepadanya, kemudian aku mengeluarkan kitabku, lalu aku membacanya kembali di hadapannya.

[9] Perjalanan (Rihlah) Salaf dalam Menuntut Ilmu

Abu Dzarr Al-Harowi (434 H) berkata:

«حَرْفٌ فِي الحَدِيثِ سَأَلْتُ عَنْهُ مَنْ لَقِيتُ أَرْبَعِينَ سَنَةً: هَلْ رُوِيَتْ بِالتَّشْدِيدِ أَوِ التَّخْفِيفِ؟»

“Ada 1 (satu) huruf dalam Hadits yang aku tanyakan kepada siapa pun yang aku temui selama 40 (empat puluh) tahun: Apakah diriwayatkan dengan tasydid (penekanan) atau takhfif (ringan)?”

Al-Bukhori (256 H) meriwayatkan secara ta’liq (gugur sanad di awalnya) dalam kitab Shohihnya, bahwa Jabir bin Abdulloh rodhiyallahu ‘anhuma (78 H) melakukan perjalanan selama 1 (satu) bulan menuju Abdulloh Ibnu Unais rodhiyallahu ‘anhu (54 H) hanya untuk menanyakan 1 (satu) Hadits saja.

Al-Humaidi (219 H) meriwayatkan dalam kitab Musnadnya bahwa Abu Ayyub Al-Anshori rodhiyallahu ‘anhu (52 H) melakukan perjalanan menuju Uqbah bin ‘Amir Al-Anshori rodhiyallahu ‘anhu (68 H) di Mesir, demi mencari 1 (satu) Hadits saja.

Imam Malik (179 H) meriwayatkan dari Sa’id Ibnu Al-Musayyib (94 H), ia berkata:

«إِنْ كُنْتُ لَأَمْشِي اللَّيَالِيَ وَالْأَيَّامَ؛ لِطَلَبِ حَدِيثٍ وَاحِدٍ»

“Sungguh, aku berjalan berhari-hari dan bermalam-malam demi mencari 1 (satu) Hadits saja.”

Sa’id ini adalah salah satu diwan (kitab rujukan) dari diwan-diwan As-Sunnah, dan salah satu Hafizh (penghafal Hadits) yang besar.

Ibnu Ad-Dailami berkata:

«بَلَغَنِي عَنْ عَمْرِو ابْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ اللَّهَ لَيَكْتُبُ لِعَبْدِهِ المُؤْمِنِ بِالْحَسَنَةِ الوَاحِدَةِ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ»، فَرَكِبْتُ إِلَى الطَّائِفِ؛ لِأَسْأَلَهُ، وَكَانَ ابْنُ الدَّيْلَمِيِّ فِي فِلَسْطِينَ»

“Telah sampai kepadaku dari ‘Amr Ibnu Al-‘Ash rodhiyallahu ‘anhu (43 H) bahwa ia meriwayatkan dari Rosululloh bahwa beliau bersabda: ‘Sungguh, Alloh mencatat bagi hamba-Nya yang Mu’min untuk satu kebaikan, 1.000.000 (satu juta) kebaikan.’ Maka aku berkendara menuju Thoo’if untuk bertanya kepadanya.” Padahal Ibnu Ad-Dailami saat itu berada di Palestina.

Ini adalah kisah Ziyad bin Hubab:

Ziyad bin Hubab bin Ubaid Al-Imam Al-Hafizh Al-Mutqin Al-Hujjah (204 H) berkata:

«كُنْتُ فِي مَجْلِسِ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ بِالْكُوفَةِ، فَحَدَّثَنَا عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ عَنْ مُوسَى ابْنِ عَلِيٌّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي قَيْسٍ مَوْلَى عَمْرِو ابْنِ العَاصِ عَنْ عَمْرِو ابْنِ العَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: «فَرْقُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ» قَالَ فَذَهَبْتُ لِأَقُومَ، فَقَالَ لِي رَجُلٌ: قَدْ خَلَّفْتُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ حَيًّا بِالْمَدِينَةِ. قَالَ: فَرَكِبْتُ رَاحِلَتِي وَأَتَيْتُ المَدِينَةَ، فَلَقِيْتُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، فَقُلْتُ لَهُ: حَدِيثٌ حَدَّثَنِيهِ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ عَنْكَ عَنْ مُوسَى بْنِ عَلَيَّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي قَيْسٍ مَوْلَى عَمْرِو ابْنِ الْعَاصِ عَنْ عَمْرِو ابْنِ العَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: «فَرْقُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ» فَقَالَ أُسَامَةُ ابْنُ زَيْدٍ: حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ عَلِيِّ بْنِ رَبَاحٍ اللَّحْمِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي قَيْسٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ العَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: «فَرْقُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ» قَالَ زِيَادُ ابْنُ حُبَابٍ: فَذَهَبْتُ لَأَقُومَ، فَقَالَ لِي رَجُلٌ: خَلَّفْتُ مُوسَى بْنَ عَلِيٌّ فِي مِصْرَ . قَالَ: فَرَكِبْتُ رَاحِلَتِي، فَأَتَيْتُ مِصْرَ، فَجَلَسْتُ بِبَابِ مُوسَى بْنِ عَلِيٍّ، فَخَرَجَ شَيْخٌ عَلَى فَرَسٍ، فَلَمَّا رَآنِي قَالَ: هَلْ مِنْ حَاجَةٍ؟ قُلْتُ : نَعَمْ، حَدِيثٌ حَدَّثَنِيهِ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ عَنْ أُسَامَةَ ابْنِ زَيْدٍ عَنْكَ عَنْ أَبِيكَ عَنْ أَبِي قَيْسٍ مَوْلَى عَمْرِو ابْنِ العَاصِ عَنْ عَمْرِو ابْنِ العَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: «فَرْقُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ» قَالَ: نَعَمْ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ أَبِي قَيْسٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ العَاصِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: «فَرْقُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ» ثُمَّ رَجَعَ إِلَى الكُوفَةِ

Aku berada di majelis Sufyan Ats-Tsauri (161 H) di Kufah, lalu ia menceritakan Hadits kepada kami dari Usamah bin Zaid, dari Musa bin Ali, dari ayahnya, dari Abu Qois maula ‘Amr Ibnu Al-‘Ash, dari ‘Amr Ibnu Al-‘Ash rodhiyallahu ‘anhu (43 H), bahwa Rosululloh bersabda: “Pembeda antara Puasa kami dengan Puasa Ahli Kitab adalah makan Sahur.”

Lalu aku hendak berdiri, namun ada seorang lelaki berkata kepadaku: “Kamu baru saja meninggalkan Usamah bin Zaid dalam keadaan hidup di Madinah.”

Ziyad berkata: Maka aku menaiki kendaraanku dan mendatangi Madinah. Aku bertemu Usamah bin Zaid, dan aku berkata kepadanya: “Sebuah Hadits telah diceritakan kepadaku oleh Sufyan Ats-Tsauri, dari dirimu, dari Musa bin Ali, dari ayahnya, dari Abu Qois maula ‘Amr Ibnu Al-‘Ash, dari ‘Amr Ibnu Al-’Ash rodhiyallahu ‘anhu, bahwa Rosululloh bersabda: “Pembeda antara Puasa kami dengan Puasa Ahli Kitab adalah makan Sahur.”

Maka Usamah bin Zaid berkata: “Musa bin Ali bin Robah Al-Lakhmi menceritakan kepadaku, dari ayahnya, dari Abu Qois, dari ‘Amr bin Al-’Ash rodhiyallahu ‘anhu, bahwa Rosululloh bersabda: “Pembeda antara Puasa kami dengan Puasa Ahli Kitab adalah makan Sahur.”

Ziyad bin Hubab berkata: Lalu aku hendak berdiri, namun seorang lelaki berkata kepadaku: “Kamu baru saja meninggalkan Musa bin Ali di Mesir.”

Ziyad berkata: Maka aku menaiki kendaraanku, dan aku mendatangi Mesir. Aku duduk di pintu rumah Musa bin Ali. Lalu keluarlah seorang Syaikh di atas kuda. Ketika melihatku, ia berkata: “Apakah ada keperluan?”

Aku menjawab: “Iya. Sebuah Hadits diceritakan kepadaku oleh Sufyan Ats-Tsauri, dari Usamah bin Zaid, dari dirimu, dari ayahmu, dari Abu Qois maula ‘Amr Ibnu Al-‘Ash, dari ‘Amr Ibnu Al-‘Ash rodhiyallahu ‘anhu, bahwa Rosululloh bersabda: “Pembeda antara Puasa kami dengan Puasa Ahli Kitab adalah makan Sahur.”

Ia berkata: “Iya. Ayahku menceritakan kepadaku, dari Abu Qois, dari ‘Amr bin Al-‘Ash rodhiyallahu ‘anhu, bahwa Rosululloh bersabda: “Pembeda antara Puasa kami dengan Puasa Ahli Kitab adalah makan Sahur.” Kemudian ia kembali ke Kufah.

Ibnu Khirosy berkata:

«شَرِبْتُ بَوْلِي فِي هَذَا الشَّأْنِ خَمْسَ مَرَّاتٍ»

“Aku meminum air kencingku (karena kehabisan bekal) dalam urusan ini (mencari Hadits) sebanyak 5 (lima) kali).”

Imam Muslim (261 H) berkata: Yahya Ibnu Abi Katsir berkata:

«لَا يُنَالُ العِلْمُ بِرَاحَةِ الجَسَدِ»

“Ilmu tidak akan didapatkan dengan mengistirahatkan jasad.”

Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdulloh Az-Zuhri (124 H) berkata:

«مَنْ أَخَذَ العِلْمَ جُمْلَةً ذَهَبَ عَنْهُ جُمْلَةً، وَالعِلْمُ إِذَا أَعْطَيْتَهُ كُلَّكَ أَعْطَاكَ بَعْضَهُ»

“Siapa yang mengambil ilmu secara keseluruhan (misalnya dihatamkan sehari saja), maka ilmu itu akan hilang darinya secara keseluruhan. Dan ilmu, jika kamu berikan seluruh dirimu kepadanya, ia akan memberimu sebagian darinya.”

[10] Keharusan Menyibukkan Diri dengan Hal yang Penting dari yang Tidak Penting

Al-Hafizh Al-Khothib Al-Baghdadi rohimahulloh (463 H) berkata:

“Ilmu itu seperti lautan yang sulit ditakar, dan seperti tambang yang tidak pernah putus perolehannya. Maka, sibukkanlah diri dengan hal yang penting darinya. Karena, siapa yang menyibukkan dirinya dengan hal yang tidak penting, akan merusak hal yang penting.”

Al-‘Abbas rohimahulloh berkata:

“Ketahuilah bahwa pemikiranmu tidak akan mampu mencakup segala sesuatu, maka kosongkanlah (pusatkanlah) ia untuk hal yang penting.”

[11] Siapa yang Mengajarimu, Ia Menjadi Majikanmu

Syu’bah bin Al-Hajjaj rohimahulloh (160 H) berkata:

“Setiap orang yang darinya aku mendengar Hadits, maka aku adalah budaknya.”

Muhammad bin ‘Ali Al-Atfuhi rohimahulloh berkata: Apabila seseorang belajar dari seorang ‘alim (ulama), dan mengambil faedah-faedah darinya, maka ia adalah budaknya. Dalilnya adalah Firman Alloh Ta’ala: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya.” (QS. Al-Kahfi: 60)

Ia adalah Yusya’ bin Nun, dan ia bukanlah budak milik Musa, tetapi ia adalah muridnya yang mengikuti jalannya. Maka, Alloh menjadikannya sebagai ‘pembantunya’ karena hal itu.

Imam Asy-Syafi’i rohimahulloh (204 H) berkata:

“Orang yang merdeka adalah siapa yang mengingat kecintaan sesaat, dan pengajaran satu lafazh.”

[12] Bertahap dalam Menuntut Ilmu

Siapa yang bertahap, ia akan lulus (berhasil). Siapa yang tidak bertahap, ia tidak akan lulus.

Bertahap terbagi menjadi 2 (dua) bagian:

1. Bertahap dalam mempelajari ilmu-ilmu yang berbeda.

2. Bertahap dalam mempelajari 1 (satu) ilmu.

Bertahap dalam ilmu-ilmu yang berbeda adalah dengan memulai dari yang paling penting lalu yang penting. Dan bertahap dalam mempelajari 1 (satu) ilmu adalah dengan memulai dari ilmu yang kecil sebelum ilmu yang besar.

Seorang Robbani adalah siapa yang mengajarkan manusia ilmu yang kecil sebelum ilmu yang besar.

Kaidah:

Bertahap dalam menuntut ilmu adalah cara yang benar dan jalan yang diikuti oleh para Salaf.

Ibnu Abdil Barr rohimahulloh (463 H) berkata:

التَّدَرُّجُ طَرِيقَةُ السَّلَفِ، وَمَنْ خَالَفَهَا فَقَدْ خَالَفَ السَّلَفَ

“Bertahap adalah metode para Salaf, dan siapa yang menyelisihinya sungguh ia telah menyalahi para Salaf.”

Sebagian ulama kami rohimahumulloh berkata:

مَنْ تَدَرَّجَ تَخَرَّجَ، وَمَنْ لَمْ يَتَدَرَّجْ لَمْ يَتَخَرَّجْ

“Siapa yang bertahap, ia akan lulus (berhasil). Siapa yang tidak bertahap, ia tidak akan lulus (berhasil).”

Ibnu Abdil Barr rohimahulloh (463 H) berkata:

طَلَبُ العِلْمِ دَرَجَاتٌ، وَمَنَاقِلُ، وَرُتَبُ لَا يَنْبَغِي تَعَدِّيهَا، وَمَنْ تَعَدَّاهَا جُمْلَةً فَقَدْ تَعَدَّى سَبِيلَ السَّلَفِ

“Menuntut ilmu adalah bertahap, betingkat dan berjenjang, yang tidak sepantasnya dilangkahi. Siapa yang melangkahinya secara keseluruhan sungguh ia telah melangkahi jalan para Salaf.”

[13] Tingkatan Mengambil Ilmu

مَرَاتِبُ أَخْذِ العِلْمِ

كَتْبٌ، إِجَازَةٌ، وَحِفْظُ الرَّسْمِ

قِرَاءَةُ، تَدْرِيسُ اخْذُ الْعِلْمِ

Tingkatan mengambil ilmu (adalah):

Menulis, ijazah, menghafal teks (kitab)

Membaca, mengajar, mengambil ilmu.

وَمَنْ يُقَدِّمْ رُتْبَةً عَلَى الْمَحَلْ

مِنْ ذِي المَرَاتِبِ المَرَامَ لَمْ يَنَلْ

Siapa yang mendahulukan satu tingkatan sebelum tempatnya yang benar

Dari tingkatan-tingkatan ini, ia tidak akan mencapai maksudnya.

Seseorang berwasiat kepada putrinya, ia berkata:

لَا تَطْلُبِيهِ؛ كَيْ تَكُونِي عَالِمَهْ

بَلِ اطْلُبِي كَيْ لَا تَكُونِي جَاهِلَهْ

Janganlah kamu menuntut ilmu agar kamu menjadi seorang ‘alimah (ulama wanita,

Tetapi tuntutlah agar kamu tidak menjadi orang yang jahil.

[14] Duduk Bersama Para Ulama

Mu’adz bin Jabal rodhiyallahu ‘anhu (18 H) berkata:

«مَا أَحْبَبْتُ الدُّنْيَا إِلَّا لِثَلاثَةِ؛ لِظَمَإِ الهَوَاجِرِ، وَمُكَابَدَةِ اللَّيْلِ، وَمُجَالَسَةِ العُلَمَاءِ»

“Aku tidak mencintai dunia kecuali karena 3 (tiga) hal: karena dahaga di tengah terik siang (saat Puasa), karena berjuang melawan malam (untuk Sholat), dan karena duduk bersama para ulama.”

Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu (32 H) berkata:

«كُنْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلَّمًا ، وَلَا تَكُنْ الثَّالِثَةَ فَتَهْلِكَ»

“Jadilah seorang ‘alim (ulama) atau seorang muta’allim (penuntut ilmu), dan jangan menjadi yang ketiga, karena engkau akan binasa.”

Adz-Dzahabi rohimahulloh (748 H) berkata:

«لَوْ لَمْ يَكُنْ فِي مُجَالَسَةِ العُلَمَاءِ إِلَّا المُذَاكَرَةُ لَكَفَى»

“Seandainya tidak ada manfaat pada duduk bersama para ulama kecuali mudzakaroh (diskusi/mengulang ilmu), niscaya itu sudah cukup.”

Abu Al-Hajjaj Al-Mizzi rohimahulloh (742 H) berkata:

«مَنْ حَازَ العِلْمَ وَذَاكَرَهُ صَلُحَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتُهُ، فَأَدِمْ لِلْعِلْمِ مُذَاكَرَةً فَحَيَاةُ العِلْمِ مُذَاكَرَتُهُ»

“Siapa yang menguasai ilmu lalu mendiskusikannya, niscaya baiklah dunia dan Akhiroh-nya. Maka, abadikanlah diskusi ilmu, karena kehidupan ilmu adalah diskusinya.”

Ibnul Khollad rohimahulloh (368 H) berkata:

«حِفْظُ حَدِيثٍ وَاحِدٍ خَيْرٌ مِنْ كِتَابَةِ أَلْفِ حَدِيثٍ»

“Menghafal 1 (satu) Hadits lebih baik daripada menulis 1.000 (seribu) Hadits).”

Sebagian ulama berkata:

«مُذَاكَرَةُ اثْنَيْنِ خَيْرٌ مِنْ حَمْلِ وِقْرَيْنِ، وَحِفْظُ سَطْرَيْنِ خَيْرٌ مِنْ ذَيْنِ»

“Diskusi dua orang lebih baik daripada membawa dua beban (kitab yang berat), dan menghafal dua baris lebih baik daripada itu.”

Asy-Syafi’i rohimahulloh (204 H) berkata:

«لَيْسَ بِعِلْمٍ مَا حَوَى القِمَطْرُ

مَا العِلْمُ إِلَّا مَا حَوَاهُ الصَّدْرُ»

“Bukanlah ilmu apa yang dimuat oleh lemari kitab,

Ilmu hanyalah apa yang dimuat oleh dada (dihapal).”

Abu Zur’ah rohimahulloh (264 H) berkata:

«كَانَ الإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللَّهُ يَحْفَظُ أَلْفَ أَلْفِ حَدِيثٍ»

“Imam Ahmad rohimahulloh (241 H) menghafal 1.000.000 (satu juta) Hadits).”

Abu ‘Ali Al-Qoli rohimahulloh (356 H) berkata:

«كَانَ شَيْخُنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ الأَنْبَارِيُّ يَحْفَظُ ثَلَاثَ مِائَةِ أَلْفِ شَاهِدٍ لِلْقُرْآنِ»

“Guru kami Abu Bakar Ibnul Anbari (328 H) menghafal 300.000 (tiga ratus ribu) syahid (bukti/dalil) untuk Al-Qur’an).”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh (728 H) berkata:

«مَنْ كَانَتْ بِدَايَتُهُ مُحْرِقَةً، كَانَتْ نِهَايَتُهُ مُشْرِقَةً»

“Siapa yang permulaannya membakar (penuh perjuangan), niscaya akhirnya akan bersinar).”

Imam Al-Bukhori rohimahulloh (256 H) ditanya:

بِمَ نِلْتَ هَذَا العِلْمَ؟ قَالَ: «حَفِظْنَا وَلَمْ نَنْسَ، وَحَفِظُوا وَنَسُوا»

Dengan apa kamu meraih ilmu ini? Ia menjawab: “Kami menghafal dan tidak lupa, sementara mereka menghafal dan lupa.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh (728 H) berkata:

«مَحَابِرُ العُلَمَاءِ أَفْضَلُ مِنْ دِمَاءِ الشُّهَدَاءِ»

“Tinta para ulama lebih utama daripada darah para syuhada’.”

[15] Bait-Bait Syi’ir Mengenai Keutamaan Ilmu

Imam Ahmad rohimahulloh (241 H) berkata:

«دِينُ النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ أَخْبَارُ

نِعْمَ المَطِيَّةُ لِلْفَتَى الْآثَارُ

لَا تَرْغَبَنَّ عَنِ الحَدِيثِ وَأَهْلِهِ

فَالرَّأْيُ لَيْلٌ وَالْحَدِيثُ نَهَارُ

فَلَرُبَّمَا سَلَكَ الْفَتَى أَثَرَ الْهُدَى

وَالشَّمْسُ بَازِغَةٌ لَهَا أَنْوَارُ»

Agama Nabi Muhammad adalah khobar-khobar (Hadits).

Sebaik-baik tunggangan bagi seorang pemuda adalah Atsar (Hadits).

Jangan engkau berpaling dari Hadits dan ahlinya,

Maka ro’yu (pendapat) adalah malam, dan Hadits adalah siang.

Berapa banyak pemuda yang menempuh jalan petunjuk,

Sementara matahari bersinar terang dengan cahayanya.”

Imam Asy-Syafi’i rohimahulloh (204 H) berkata:

«أَخِي لَنْ تَنَالَ العِلْمَ إِلَّا بِسِتَّةٍ

«سَأُنْبِيكَ عَنْ تَفْصِيلِهَا بِبَيَانِ

ذَكَاءٌ، وَحِرْصٌ، وَاجْتِهَادٌ، وَبُلْغَةٌ

وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ، وَطُولُ زَمَانِ»

“Saudaraku, kamu tidak akan meraih ilmu kecuali dengan 6 (enam) hal,

Aku akan memberitahumu rinciannya dengan jelas:

Kecerdasan, kesungguhan, keseriusan, biaya (bekal),

Duduk bersama Ustadz (guru), dan waktu yang panjang.”

Imam Asy-Syafi’i rohimahulloh (204 H) berkata:

«اصْبِرْ عَلَى مُرِّ الْجَفَا مِنْ مُعَلِّمِ

فَإِنَّ رُسوبَ العِلْمِ فِي نَفَرَاتِهِ

وَمَنْ لَمْ يَذُقْ مُرَّ التَّعَلُّمِ سَاعَةً

تَجَرَّعَ ذُلَّ الجَهْلِ طُولَ حَيَاتِهِ

وَمَنْ فَاتَهُ التَّعْلِيمُ وَقْتَ شَبَابِهِ

فَكَبِّرْ عَلَيْهِ أَرْبَعًا لِوَفَاتِهِ

وَذَاتُ الْفَتَى وَاللَّهِ بِالْعِلْمِ وَالتَّقَى

إِذَا لَمْ يَكُونَا لَا اعْتِبَارَ لِذَاتِهِ»

“Bersabarlah atas kerasnya perlakuan yang pahit dari seorang pengajar,

Karena diamnya ilmu (berhenti menuntut) ada pada sikapnya yang menjauh.

Siapa yang tidak merasakan pahitnya belajar sesaat,

Ia akan menelan kehinaan kebodohan sepanjang hidupnya.

Siapa yang kehilangan masa belajar di waktu mudanya,

Maka takbirkanlah 4 (empat) kali baginya karena kematiannya.

Dan jati diri seorang pemuda, demi Alloh , adalah dengan ilmu dan taqwa,

Jika keduanya tidak ada, maka jati dirinya tidak ada nilainya.”

Imam Asy-Syafi’i rohimahulloh (204 H) berkata:

«سَهَرِي لِتَنْقِيحِ العُلُومِ أَلَذُّ لِي

مِنْ وَصْلِ غَانِيَةٍ وَطِيبِ عِنَاقِ

وَصَرِيرُ أَقْلَامِي عَلَى صَفَحَاتِهَا

أَحْلَى مِنَ الدُّوكَاءِ وَالْعُشَّاقِ

وَأَلَذُّ مِنْ نَقْرِ الْفَتَاةِ لِدَفِّهَا

نَقْرِي لِأُلْقِيَ الرَّمْلَ عَنْ أَوْرَاقِي

وَتَمَايُلِي طَرَبًا لِحَلِّ عَوِيصَةٍ

فِي الدَّرْسِ أَشْهَى مِنْ مُدَامَةِ سَاقِ

يَا مَنْ يُحَاوِلُ بِالْأَمَانِي رُتْبَتِي

كَمْ بَيْنَ مُسْتَفِلٍ وَآخَرَ رَاقِي ؟!

أَأَبِيتُ سَهْرَانَ الدُّجَى وَتَبِيتُهُ

نَوْماً، وَتَبْغِي بَعْدَ ذَاكَ لَحَاقِي ؟!»

“Begadangku untuk menyaring ilmu lebih nikmat bagiku,

Daripada bersama seorang wanita cantik dan nikmatnya pelukan.

Dan gemerincing pena-penaku di atas lembaran-lembaran kertas,

Lebih manis daripada tawa dan para perindu (asmara).

Dan lebih lezat daripada ketukan seorang gadis pada rebana miliknya,

Ketukanku untuk menghilangkan pasir dari lembaran-lembaran kitabku.

Dan ayunanku karena gembira memecahkan masalah yang sulit,

Dalam pelajaran lebih nikmat daripada khomar yang disuguhkan oleh pelayan.

Wahai siapa yang mencoba meraih tingkatanku dengan angan-angan,

Berapa jauh jarak antara yang merendah dan yang menanjak?!

Apakah aku menghabiskan malam dalam keadaan begadang di kegelapan, dan kamu menghabiskannya

Dalam keadaan tidur, lalu kamu ingin menyusulku setelah itu?!

Imam Asy-Syafi’i rohimahulloh (204 H) berkata:

«تَغَرَّبْ عَنِ الْأَوْطَانِ فِي طَلَبِ الْعُلَا

وَسَافِرْ؛ فَفِي الْأَسْفَارِ خَمْسُ فَوَائِدِ

تَفَرُّجُ هَمٌّ، وَاكْتِسَابُ مَعِيشَةٍ

وَعِلْمٌ، وَآدَابٌ، وَصُحْبَةُ مَاجِدِ

وَإِنْ قِيلَ: فِي الْأَسْفَارِ ذُلٌّ، وَمِحْنَةٌ

وَقَطْعُ الْفَيَافِي، وَارْتِكَابُ الشَّدَائِدِ

فَمَوْتُ الْفَتَى خَيْرٌ لَهُ مِنْ حَيَاتِهِ

بِدَارِ هَوَانٍ بَيْنَ وَاشٍ وَحَاسِدِ»

“Pergilah ke negeri asing untuk mencari kemuliaan,

Dan safarlah, karena dalam safar ada 5 (lima) faedah:

Hilangnya kesedihan, memperoleh penghidupan,

Ilmu, adab, dan berteman dengan orang yang mulia.

Dan jika dikatakan: “Dalam safar itu ada kehinaan dan kesulitan,

Dan menempuh padang pasir yang luas, serta menghadapi kesusahan.”

Maka kematian seorang pemuda lebih baik baginya daripada hidupnya

Di negeri kehinaan di antara pengadu domba dan pendengki.”

Ibnu ‘Aqil Al-Hanbali rohimahulloh (513 H) berkata:

«مَا شَابَ عَزْمِي، وَلَا حَزْمِي، وَلَا خُلُقِي

وَلَا وَلَائِي، وَلَا دِينِي وَلَا كَرَمِي

وَإِنَّمَا اعْتَاضَ شَعْرِي غَيْرَ صِبْغَتِهِ

وَالشَّيْبُ فِي الشَّعْرِ غَيْرُ الشَّيْبِ فِي الهِمَمِ»

“Tidaklah memutihnya tekadku, tidak pula keteguhanku, tidak pula akhlakku,

Tidak pula loyalitasku, tidak pula agamaku, tidak pula kemuliaanku.

Hanya saja rambutku berganti dari warna aslinya.

Dan uban pada rambut berbeda dengan uban pada semangat.”

Muhammad Murtadho bin Muhammad Az-Zabidi rohimahulloh (1205 H) berkata:

«فَمَا حَوَى الْغَايَةَ فِي أَلْفِ سَنَهْ

شَخْصٌ؛ فَخُذْ مِنْ كُلِّ فَنْ أَحْسَنَهْ

بِحِفْظِ مَتْنٍ جَامِعٍ لِلرَّاجِحِ

تَأْخُذُهُ عَلَى مُفِيدٍ نَاصِحِ»

“Tidak seorang pun yang meraih tujuan akhir dalam 1.000 (seribu) tahun,

Maka ambillah dari setiap disiplin ilmu yang terbaik.

Dengan menghafal matan (teks inti) yang menghimpun pendapat yang kuat (roojih),

Kamu mengambilnya dari orang yang memberi faedah dan nasihat.”

An-Nazhim (penyusun syi’ir, yaitu pengarang kitab ini) rohimahulloh berkata:

«عَلَيْكَ بِالْحِفْظِ دُونَ الْجَمْعِ مِنْ كُتُبِ

فَإِنَّ لِلْكُتُبِ آفَاتٌ تُفَرِّقُهَا

النَّارُ تُحْرِقُهَا وَالْفَارُ تَأْكُلُهَا

وَالْمَاءُ يُغْرِقُهَا وَاللِّصُّ يَسْرِقُهَا»

“Wajib bagimu menghafal, bukan sekadar mengumpulkan kitab,

Karena kitab-kitab memiliki bencana yang memisahkannya:

Api membakarnya, tikus memakannya,

Air menenggelamkannya, dan pencuri mencurinya.”

Abdur Rohman bin Nashir bin Sa’di (1376 H) berkata:

فَقَهْوَتِيَ الْحِبْرُ، وَالْمِزْمَارُ لِي قَلَمِي

وَالْعِلْمُ فَاكِهَتِي، وَالْكُتُبُ جُلَاسِي

طُوبَى لِمَنْ يُبْتَغَى فِي مَجَالِسِهِ

بِلَفْظَةِ المُصْطَفَى عَنِ ابْنِ عَبَّاسِ

“Kopiku adalah tinta, dan seruling bagiku adalah penaku.

Dan ilmu adalah buahku, dan kitab-kitab adalah teman dudukku.

Beruntunglah siapa yang di majelisnya dicari (ilmu),

Dengan lafazh Al-Musthofa (Nabi ) yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas.”

Lalu penyair yang lain berkata:

الْعِلْمُ نُورٌ، وَالْجَهَالَةُ حَلَكْ

فَمَنْ سَرَى فِي ظُلْمَةِ الْجَهْلِ هَلَكْ

“Ilmu adalah cahaya, dan kebodohan adalah kegelapan yang pekat.

Maka siapa yang berjalan di kegelapan kebodohan, ia binasa.”

An-Nazhim berkata:

وَطَلَبُ الْعِلْمِ وُجُوبُهُ شَمَلْ

نَوْعَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ كَالْعَمَلِ

وَمَنْ عَلَى تَرْكِ التَّعَلُّمِ اسْتَمَرْ

لَهْوَ كَلْبٌ أَوْ حِمَارٌ أَوْ أَشَرٌ

وَتَارِكُ التَّعْلِيمِ عَاصٍ أَبَدًا

إِنْ كَانَ تَرْكُهُ بِلَا عُذْرٍ بَدَا

وَعُذْرُهُ طَلَبُ عَيْشٍ لَازِمِ

أَوِ اشْتِدَادُ مَرَضِ مُلَازِمِ

“Menuntut ilmu adalah wajib yang mencakup

Jenis para lelaki dan wanita seperti halnya amal (perbuatan).

Siapa yang terus-menerus meninggalkan belajar,

Ia seperti anjing, atau keledai, atau orang yang jahat.

Dan siapa yang meninggalkan belajar, ia adalah orang yang terus-menerus bermaksiat,

Jika ia meninggalkannya tanpa ada udzur yang nyata.

Dan udzurnya adalah mencari nafkah yang wajib,

Atau sakit keras yang terus-menerus.”

Hafizh Ahmad Hakami rohimahulloh (1377 H) berkata:

يَا طَالِبَ العِلْمِ لَا تَبْغِي بِهِ بَدَلًا

فَقَدْ ظَفِرْتَ، وَرَبِّ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ

وَعَظِّمِ العِلْمَ، وَاعْرِفْ قَدْرَ حُرْمَتِهِ

فِي الْقَوْلِ، وَالْفِعْلِ، وَالْآدَابِ، وَالْقِيَمِ

“Wahai penuntut ilmu, janganlah kamu mencari pengganti baginya (ilmu),

Karena sungguh kamu telah beruntung, demi Robb Lauh (Lauhul Mahfuzh) dan Qolam (pena).

Agungkanlah ilmu, dan ketahuilah kadar kehormatannya,

Dalam ucapan, perbuatan, adab, dan nilai-nilai.”

Seorang penyair rohimahulloh berkata:

إِذَا كَانَ يُؤْذِيكَ حَرُّ الْمَصِيفِ

وَيُبْسُ الْخَرِيفِ وَبَرْدُ الشَّتَا

وَيُلْهِيكَ حُسْنُ زَمَانِ الرَّبِيعُ

فَأَخْذُكَ لِلْعِلْمِ قُلْ لِي: مَتَى؟!

“Jika panasnya musim panas mengganggumu,

Dan keringnya musim gugur serta dinginnya musim dingin,

Dan indahnya musim semi melalaikanmu,

Maka katakan padaku: Kapan kamu akan mengambil ilmu?!”

Seorang penyair berkata:

أَتَانَا أَنَّ سَهْلًا ذَمَّ جَهْلًا

عُلُومًا لَيْسَ يَدْرِيهِنَّ سَهْلُ

عُلُومًا لَوْ دَرَاهَا مَا قَلَاهَا

وَلَكِنَّ الرَّضَى بِالْجَهْلِ سَهْلُ

“Telah sampai kepada kami bahwa Sahl (nama orang) mencela dalam kebodohan,

Ilmu-ilmu yang tidak diketahuinya.

Ilmu-ilmu yang seandainya ia mengetahuinya, niscaya ia tidak akan membencinya,

Tetapi ridho (puas) dengan kebodohan adalah hal yang mudah (sahl).”

Salah seorang ulama Syinqith berkata:

وَإِنْ تُرِدْ تَحْصِيلَ فَنٍّ تَمِّمَهُ

وَعَنْ سِوَاهُ قَبْلَ الِانْتِهَاءِ مَهْ

وَفِي تَرَادُفِ الْعُلُومِ الْمَنْعُ جَا

إِنْ تَوْأَمَانِ اسْتَبَقَا لَنْ يَخْرُجَا

“Jika kamu ingin meraih satu disiplin ilmu, tuntaskanlah,

Dan dari selainnya sebelum selesai, berhentilah.

Dalam mengerjakan ilmu secara berbarengan ada larangan,

Jika dua bayi kembar berlomba, mereka tidak akan keluar (lahir bersamaan).”

Ibnu An-Nahhas Al-Halabi rohimahulloh (814 H) berkata:

الْيَوْمَ شَيْءٌ وَغَدًا مِثْلُهُ مِنْ نُخَبِ الْعِلْمِ الَّتِي تُلْتَقَطْ

يُحَصِّلُ الْمَرْءُ بِهَا حِكْمَةً وَإِنَّمَا السَّيْلُ اجْتِمَاعُ النُّقَطْ

“Hari ini sesuatu, dan besok yang semisalnya dari intisari ilmu yang dipetik,

Seseorang akan memperoleh hikmah dengannya, karena sesungguhnya banjir itu adalah kumpulan dari tetesan.”

[16] Pentingnya Sanad

Mathor Al-Warroq (125 H) berkata, tentang Firman Alloh Ta’ala:

﴿أَوْ أَثَارَةٍ مِنْ عِلْمٍ

“Atau atsar (jejak) ilmu…” (QS. Al-Ahqof: 4)

Ia berkata: “Yakni, sanad Hadits.”

Abdulloh bin ‘Aun (151 H) berkata:

“Al-Hasan Al-Bashri (110 H) menyampaikan kepada kami Hadits-Hadits, yang seandainya ia menyandarkannya (dengan sanad), niscaya itu lebih kami sukai.”

Al-Auza’i (157 H) berkata:

“Tidaklah hilangnya ilmu kecuali dengan hilangnya Sanad.”

Syu’bah bin Al-Hajjaj Abu Bisthom (160 H) berkata:

Setiap ilmu yang tidak ada padanya lafazh: “Haddatsana” (Ia menceritakan kepada kami) dan “Akhbarona” (Ia mengabarkan kepada kami), maka itu hanyalah cuka dan sayur (tidak bernilai).

Sufyan Ats-Tsauri (161 H) berkata:

“Sanad adalah senjata seorang Mu’min. Jika ia tidak memiliki senjata, dengan apa ia akan berperang?!”

Hammad bin Zaid (179 H) berkata, ketika Baqiyyah bin Al-Walid menyebutkan Hadits-Hadits kepadanya, maka Hammad berkata:

“Alangkah bagusnya Hadits-Hadits itu, andai ia memiliki sayap?” Maksudnya: Sanad-Sanad.

Malik bin Anas (179 H) berkata, tentang Firman Alloh Ta’ala:

﴿وَإِنَّهُ لَذِكْرٌ لَكَ وَلِقَوْمِكَ

“Sesungguhnya ia adalah kebanggaan untukmu dan kaummu.” (QS. Az-Zukhruf: 44)

Ia berkata: “Yaitu ucapan seseorang: ‘Ayahku mengabarkan kepadaku, dari kakekku...’ dan seterusnya.” Maksudnya adalah periwayatan dengan sanad yang bersambung.

Abdulloh bin Al-Mubarok (181 H) berkata:

“Sanad adalah bagian dari Agama, dan kalau bukan karena sanad, niscaya siapa pun akan berkata apa pun yang ia mau.”

Dari beliau juga:

“Perumpamaan orang yang mencari urusan agamanya tanpa sanad, seperti perumpamaan orang yang naik ke atap tanpa tangga.”

Ia ditanya tentang Hadits dari Al-Hajjaj bin Dinar, dari Nabi , lalu ia berkata:

“Sungguh, antara Al-Hajjaj dengan Nabi ada padang pasir luas yang di sana leher unta pun akan putus.”

Yazid bin Zuroi’ (183 H) berkata:

“Setiap agama memiliki ksatria, dan ksatria agama ini adalah para pemilik sanad.”

Asy-Syafi’i (204 H) berkata:

“Perumpamaan orang yang menuntut ilmu tanpa hujjah—yaitu tanpa sanad—seperti perumpamaan orang yang mencari kayu bakar di malam hari, ia mengumpulkan seikat kayu bakar yang di dalamnya ada ular berbisa yang akan mematuknya sementara ia tidak tahu.”

Abu Sa’id Al-Haddad (221 H) berkata:

“Sanad itu seperti anak tangga. Jika kakimu tergelincir dari anak tangga, kamu akan terjatuh.”

Abdulloh bin Thohir berkata:

“Meriwayatkan Hadits tanpa sanad adalah pekerjaan orang-orang yang lemah (cacat), karena sesungguhnya sanad Hadits adalah kemuliaan dari Alloh untuk ummat Muhammad .”

Abu Hatim Ar-Rozi (277 H) berkata:

“Tidak ada pada satu pun umat dari sekian banyak umat, sejak Alloh menciptakan Nabi Adam, para orang yang terpercaya yang menjaga atsar (jejak/sunnah) Rosul, kecuali pada umat ini.”

Abu ‘Ali Al-Hayyani (498 H) berkata:

“Alloh telah mengkhususkan umat ini dengan 3 (tiga) hal yang tidak Dia berikan kepada umat-umat sebelumnya: sanad, nasab, dan i’rob (tata bahasa).”

Muhammad bin Hatim bin Al-Muzhoffar berkata:

“Sungguh, Alloh telah memuliakan, menghormati, dan mengutamakan umat ini dengan sanad. Tidak ada satu pun dari semua umat, baik yang dahulu maupun yang baru, yang memiliki sanad. Yang ada pada mereka hanyalah lembaran-lembaran di tangan mereka, dan mereka telah mencampur aduk berita-berita mereka ke dalam kitab-kitab mereka. Tidak ada pembedaan di sisi mereka antara apa yang turun dari Taurat dan Injil dengan apa yang mereka sisipkan ke dalam kitab-kitab mereka berupa berita-berita yang mereka ambil dari orang-orang yang tidak terpercaya.”

Manusia dalam ilmu sanad terbagi menjadi 4 (empat) bagian:

1. Kelompok yang menyibukkan diri dengan sanad secara diroyah (pemahaman) dan riwayah (periwayatan).”

2. Kelompok yang tidak menyibukkan diri dengan ilmu sanad, tidak secara diroyah maupun riwayah.

3. Kelompok yang menyibukkan diri dengan ilmu sanad hanya secara riwayah.

4. Kelompok yang menyibukkan diri dengan ilmu sanad hanya secara diroyah.

[17] Keutamaan Majelis Sama’

Abdulloh bin Abdur Rohman Ad-Darimi (255 H) berkata, Bab Tentang Al-Ardh:

“‘Ashim Al-Ahwal menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku menyodorkan Hadits-Hadits Fiqih kepada Asy-Sya’bi (103 H), lalu ia memberikan ijazah (otorisasi) kepadaku untuk meriwayatkannya.”

As-Sakhowi (902 H) berkata:

“Guru kami, Al-Hafizh Ibnu Hajar (852 H), mengadakan lebih dari 1.000 (seribu) majelis untuk Hadits dan Ijazah.”

Penutup

Tibalah kita pada penutup kebaikan dalam penulisan buku yang indah ini, ringkasan yang ringkas yang dinamakan شَحْذُ الهِمَّةِ فِي الطَّلَبِ  (Membangkitkan Semangat Menuntut Ilmu). Aku memohon kepada Alloh agar memberikan manfaat dengannya bagiku di dunia dan Akhiroh.

Segala puji bagi Alloh , di awal dan di akhir. Segala puji bagi Alloh , yang dengan ni’mat-Nya sempurnalah segala amal sholih. Maha Suci Robbmu, Robb Yang Maha Perkasa dari apa yang mereka sifatkan. Salam sejahtera atas para Rosul, dan segala puji bagi Alloh Robb semesta alam. Semoga sholawat dan salam dari Alloh tercurah atas sebaik-baik makhluk-Nya, Muhammad , keluarga beliau, dan Shohabat beliau.

Ditulis oleh:

Abu Abdir Rohman

Samir bin Yusuf bin Salim bin Ahmad Al-Hakali

Yaman - Hudaidah - Al-Manzhor - Masjid Al-Huda

Hari Kamis, Robi’ul Awwal 1438 H

Bertepatan dengan Desember 2016 M

***

 


Unduh PDF dan Word

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url