[PDF] Ringkasan Fiqih Umroh - Tim Ilmiyyah Ad-Durror

Unduh PDF


Kata Pengantar

Alhamdulillah (segala puji bagi Alloh), Sholawat dan salam atas Rosulullah , keluarga, dan para Shohabatnya seluruhnya.

Amma ba’du (adapun setelah itu):

Sungguh para ulama pada setiap zaman selalu berupaya untuk mempermudah ilmu-ilmu syar’i, dan mendekatkannya kepada masyarakat umum, agar manfaatnya merata. di antara bentuk upaya tersebut adalah meringkas kitab-kitab yang tebal dan merangkum karya-karya tulis, dan hal itu memiliki pengaruh dalam memudahkan pemanfaatannya, meningkatkan minat untuk mempelajarinya, serta penyebarannya di kalangan umum dan khusus.

Yayasan memutuskan untuk mengikuti jalan mereka; karena keinginan mereka untuk menjelaskan ilmu syar’i secara ringkas tanpa menyebutkan dalil-dalil dan nash-nash ulama, juga tanpa mendokumentasikan madz-hab, hanya membatasi pada permasalahan dan hukumnya serta siapa saja yang mengatakannya.

Oleh karena itu, ringkasan ini berasal dari Fiqih ‘Umroh sebagai bagian dari kitab Haji dan ‘Umroh dari edisi kedua Ensiklopedi Fiqih di situs. Siapa yang menginginkan perincian dan tambahan, serta ingin mengetahui pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat, dan madz-hab yang paling kuat, yang didukung oleh dalil-dalilnya dari Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ (konsensus), dan lain-lain, dengan menyebutkan perkataan para ulama peneliti, sesuai dengan manhaj ilmiah yang jelas, maka hendaklah ia merujuk pada edisi kedua Ensiklopedi Fiqih di situs.

Kami memohon kepada Alloh agar memberikan manfaat kepada kami dari apa yang telah Dia ajarkan kepada kami dan mengajarkan kepada kami apa yang bermanfaat bagi kami.

Tim Ilmiyyah Yayasan

Bab Ke-1: Pengertian ‘Umroh, Hukumnya, Disyariatkannya Mengulanginya, dan Adab Memasuki Makkah dan Masjidil Harom

Pasal Ke-1: Pengertian ‘Umroh, Hukumnya, dan Disyariatkannya Mengulanginya

Ke-1: ‘Umroh secara bahasa dan istilah

‘Umroh secara bahasa: Mengunjungi dan menuju.

‘Umroh secara istilah: Beribadah kepada Alloh Ta’ala dengan Thowaf di Ka’bah, Sa’i di antara Shofa dan Marwah, dan bertahallul (melepaskan diri dari keadaan ihrom) dengan menggundul atau memendekkan rambut.

Ke-2: Hukum ‘Umroh

‘Umroh itu wajib, ini adalah pendapat sebagian Salaf, dan ini adalah madz-hab Syafi’iyyah menurut pendapat yang paling zhohir (jelas), dan madz-hab dalam Hanabilah, Zhohiriyyah, dan ini adalah pilihan Ibnu Hazm, Asy-Syinqithi, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin. Ibnu Mundzir dan Baghowiy meriwayatkan (hukum ini) dari mayoritas ulama.

Ke-3: Keutamaan ‘Umroh

1. ‘Umroh ke ‘Umroh berikutnya adalah penebus dosa di antara keduanya.

2. Mengerjakan Haji dan ‘Umroh secara berkesinambungan menghilangkan kemiskinan dan dosa.

3. ‘Umroh di bulan Romadhon setara dengan Haji bersama Nabi Muhammad .

Ke-4: Hukum Mengulangi ‘Umroh

Boleh mengulangi ‘Umroh dalam satu tahun, ini adalah pendapat sebagian Salaf, dan ini dikatakan oleh jumhur (mayoritas) ulama dari Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah, dan ini adalah pendapat Muthorrif dan Ibnul Mawwaz dari Malikiyyah.

Dimakruhkan mengulangi ‘Umroh dalam satu perjalanan, ini adalah pendapat sebagian Salaf dan ini dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin.

Pasal Ke-2: Adab memasuki Makkah dan Masjidil Harom

Ke-1: Adab memasuki Makkah

1. Memasuki Makkah dari arah bagian atas dan keluar dari arah bagian bawahnya:

Disunnahkan bagi seorang yang sedang berihrom untuk memasuki Makkah dari arah bagian atasnya dan keluar dari arah bagian bawahnya, jika hal itu memungkinkan, jika tidak, ia boleh masuk dari jalan mana saja yang ia kehendaki. Ini adalah kesepakatan madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

2. Mandi sebelum memasuki Makkah:

Disunnahkan bagi orang yang sedang berihrom untuk mandi sebelum memasuki Makkah, yaitu di Dzu Thuwa, atau tempat masuk Makkah lainnya. Ini adalah kesepakatan madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

3. Memasuki Makkah pada siang hari:

Disunnahkan bagi orang yang sedang berihrom untuk memasuki Makkah pada siang hari. Ini adalah pendapat sebagian Salaf, dan madz-hab jumhur (mayoritas) ulama dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

4. Hal pertama yang dikerjakan saat memasuki Makkah adalah Thowaf di Ka’bah:

Disunnahkan bagi orang yang sedang berihrom ketika memasuki Makkah untuk memulai dengan Thowaf. Ini adalah kesepakatan madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Ke-2: Doa ketika memasuki Masjidil Harom

Disunnahkan untuk berdoa ketika memasuki Masjidil Harom, dengan mengucapkan:

«اَللَّهُمَّ افْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ، أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ، وَبِسُلْطَانِهِ الْقَدِيْمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ»

“Ya Alloh, bukakanlah untukku pintu-pintu rohmat-Mu, aku berlindung kepada Alloh Yang Maha Agung, dengan wajah-Nya Yang Mulia, dan kekuasaan-Nya Yang Qodim (abadi), dari syaithon yang terkutuk.”

ketika keluar, ia mengucapkan:

«اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ»

“Ya Alloh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu karunia-Mu.”

Tidak ada dzikir dan doa khusus untuk Masjidil Harom.

Ke-3: Mendahulukan kaki kanan

Disunnahkan untuk mendahulukan kaki kanan ketika memasuki Masjidil Harom.

 

Bab Ke-2: Miqot ‘Umroh

Pasal Ke-1: Miqot Waktu

Mawaqit (miqot-miqot) secara bahasa: Bentuk jamak dari miqot, yaitu waktu atau tempat yang ditentukan untuk suatu perbuatan, kemudian lafazh ini biasa digunakan untuk tempat saja, di antaranya mawaqit (miqot-miqot) Haji untuk tempat-tempat berihrom. Jika dikatakan: Ini adalah miqot penduduk Syam, maknanya tempat mereka berihrom.

Mawaqit (miqot-miqot) secara istilah adalah waktu dan tempat manasik (ibadah Haji dan ‘Umroh).

Ke-1: Miqot waktu untuk berihrom ‘Umroh

‘Umroh diperbolehkan pada setiap waktu sepanjang tahun, pada setiap hari, dan setiap malamnya. Ini adalah pendapat sebagian Salaf, madz-hab Syafi’iyyah dan Hanabilah, Zhohiriyyah, dan dipilih oleh Syaukaniy.

Ke-2: Waktu ‘Umroh yang paling utama

‘Umroh di bulan Romadhon adalah mustahab (dianjurkan) menurut kesepakatan 4 madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

‘Umroh di bulan Romadhon lebih utama daripada ‘Umroh di bulan-bulan Haji. Ini ditegaskan oleh Hanafiyyah, Hanabilah, dan sebagian fuqoha (ahli fiqih) Syafi’iyyah. Ibnu Hajar dan Ibnu Utsaimin menganggapnya kuat, dan Ibnu Baz memilihnya.

Pasal Ke-2: Miqot Tempat

Jenis-jenis orang ditinjau dari tempat berihrom ada tiga:

1)    Afaqiy (orang luar): Orang yang berada di luar miqot-miqot.

2)    Miqotiy (orang miqot): Orang yang berada di antara miqot sampai Tanah Harom.

3)    Makki (orang Makkah): Penduduk Makkah atau penduduk Tanah Harom.

Ke-1: Miqot Afaqiy

Afaqiy: Orang yang tempat tinggalnya di luar wilayah miqot-miqot.

Miqot-miqot Afaqiy beragam berdasarkan arahnya dari Tanah Harom. Setiap arah memiliki miqot tertentu. Perkataan para ulama tentang miqot-miqot mengarah pada 6 miqot. Ibnu Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Rusyd, Ibnu Qudamah, dan An-Nawawiy meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Miqot Ke-1: Dzul Hulaifah. Ini adalah miqot penduduk Madinah. Miqot ini adalah miqot terjauh dari Makkah. Sekarang disebut Bir ‘Ali. Dari sinilah Rosulullah berihrom untuk Haji Wada’ (Haji Perpisahan).

Miqot Ke-2: Juhfah. Miqot penduduk Syam, dan orang yang datang dari arahnya seperti Mesir, Maghrib, dan orang-orang di belakang mereka dari penduduk Andalus. Disebut juga Mahya’ah. Para jamaah Haji/Umroh sekarang berihrom dari Robigh. Orang yang berihrom dari Robigh berarti berihrom sebelum miqot. Dikatakan bahwa berihrom dari sana Robigh lebih hati-hati karena tidak yakin dengan lokasi Juhfah.

Miqot Ke-3: Qornul Manazil. Miqot penduduk Najd. Miqot ini adalah miqot yang paling dekat dengan Makkah. Sekarang disebut Sail.

Miqot Ke-4: Yalamlam. Miqot penduduk Yaman, Tihamah, dan India.

Miqot Ke-5: Dzatu ‘Irq. Miqot penduduk Irak dan seluruh penduduk Masyriq (Timur).

Miqot Ke-6: ‘Aqiq. ‘Aqiq adalah sebuah lembah di belakang Dzatu ‘Irq dari arah Timur.

Para ulama berbeda pendapat mengenai ihrom dari ‘Aqiq menjadi dua pendapat:

Pendapat Ke-1: Cukup dengan menyunnahkan berihrom dari Dzatu ‘Irq. Ini terletak setelah ‘Aqiq. Ini adalah madz-hab jumhur (mayoritas) ulama, termasuk Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah.

Pendapat Ke-2: Disunnahkan berihrom dari ‘Aqiq untuk penduduk Masyriq (Timur). Ini adalah madz-hab Syafi’iyyah, dan sebagian Hanafiyyah. Pendapat ini juga dikatakan oleh Ats-Tsauriy, serta dianggap baik oleh Ibnu Mundzir dan Ibnu ‘Abdil Barr.

Jeddah bukan miqot. Tidak boleh bagi seorang pun melewati miqotnya dengan berihrom dari Jeddah. Kecuali jika ia tidak melewati miqot apa pun sebelumnya. Contohnya seperti orang yang datang melalui laut dari bagian Sudan yang sejajar dengannya (Jeddah). Karena ia tidak melewati miqot apa pun sebelumnya. Ini adalah pilihan Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin. Mengenai hal ini, telah dikeluarkan fatwa dari Lajnah Ad-Da’imah (Komite Tetap), keputusan dari Hai’ah Kibaril Ulama (Badan Ulama Senior), dan Majma’ Fiqh Islamiy (Dewan Fiqih Islam).

Siapa yang tidak membawa pakaian ihrom di pesawat, ia tidak boleh menunda ihromnya hingga Jeddah. Sebaliknya, ia wajib berihrom dengan celana. Ia juga wajib membuka kepalanya. Jika telah sampai di Jeddah, ia membeli kain sarung dan melepas gamisnya. Karena ia memakai gamis, ia diwajibkan membayar kaffarot. Kaffarotnya adalah memberi makan 6 orang miskin, masing-masing setengah sho’ (sekitar 1,5 kg) kurma, atau beras, atau makanan pokok lainnya yang ada di negeri tersebut. Atau berpuasa tiga hari, atau menyembelih seekor kambing. Ini adalah keputusan dari Majma’ Fiqhiy (Dewan Fiqih) yang berafiliasi dengan Robithoh ‘Alam Islamiy (Liga Dunia Islam).

Siapa yang melewati jalan yang tidak memiliki miqot tertentu, baik melalui darat, laut, atau udara, maka ia berijtihad (berusaha menentukan) dan berihrom ketika ia sejajar dengan salah satu miqot yang disebutkan ini. Ini adalah pendapat para fuqoha (ahli fiqih) dari Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Ihrom dari miqot bagi orang yang melewatinya dengan tujuan salah satu dari dua ibadah manasik: Haji atau ‘Umroh, adalah wajib. An-Nawawiy dan Az-Zaila’iy meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Siapa yang berniat ibadah Haji atau ‘Umroh, lalu melewati miqot tanpa berihrom, maka ia wajib kembali ke miqot tersebut dan berihrom dari sana. Jika ia tidak kembali, maka wajib baginya membayar dam (denda). Ini adalah kesepakatan 4 madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah (Malikiyyah menambahkan: bahkan jika ia kembali, ia tetap wajib membayar dam), Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Ibnu ‘Abdil Barr meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Siapa yang melewati miqot tanpa berihrom, lalu kembali ke miqot dan berihrom dari sana, maka tidak ada kewajiban apa pun baginya. Kasaniy dan Syamsuddin Ibnu Qudamah meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Siapa yang berihrom setelah miqot, lalu kembali ke miqot, maka dam tidak gugur darinya. Ini adalah madz-hab Malikiyyah dan Hanabilah. Pendapat ini juga dikatakan oleh Zufar dari Hanafiyyah, dan merupakan pendapat Ibnu Mubarok.

Jika ia melewati miqot tanpa bermaksud ibadah manasik, lalu kemudian ia bermaksud melakukannya, maka ia berihrom dari tempat ia berada. Pendapat ini dianut oleh sekelompok Salaf dan juga oleh jumhur (mayoritas) fuqoha dari Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Ibnu Utsaimin juga memilih pendapat ini.

Mendahulukan Ihrom sebelum Miqot-miqot secara tempat itu boleh, berdasarkan ijma’ (konsensus) yang diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir, Marghinaniy, dan An-Nawawiy. Namun, perbuatan tersebut dimakruhkan. Ini adalah madz-hab Malikiyyah dan Hanabilah, dan dipilih oleh Ibnu Utsaimin.

Seorang wanita yang ingin melaksanakan Haji atau ‘Umroh tidak boleh melewati miqot tanpa berihrom, meskipun ia sedang haidh. Ia harus berihrom dalam keadaan haidh, dan ihromnya sah. Namun, jika ia berihrom dan tiba di Makkah, ia tidak boleh mendatangi Ka’bah dan melakukan Thowaf sampai ia suci. Ini adalah kesepakatan 4 madz-hab: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Ke-2: Miqot Miqotiy

Miqotiy adalah orang yang tinggal di antara miqot sampai Tanah Harom, seperti penduduk Jeddah, Qudaid, ‘Asfan, Marr Azh-Zhohron, Bahroh, dan Ummus Salam.

Siapa yang tinggal atau menetap di antara miqot sampai Tanah Harom, maka miqotnya adalah tempatnya berada. Jika ia melewatinya (yakni melewati batas tempat tinggalnya tanpa berihrom karena ingin berihrom di tempat yang lebih dekat dengan Makkah), ia berdosa dan wajib membayar dam (denda). Jika ia kembali ke tempat tersebut, damnya gugur. Ini adalah madz-hab jumhur (mayoritas) fuqoha dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah, dan ini adalah pilihan Ibnu Utsaimin.

Ke-3: Miqot Makki

Makki: Orang yang berada di dalam Tanah Harom, baik ia berada di Makkah atau tidak, dan baik ia penduduknya atau hanya musafir yang melintas.

Miqot Makki untuk ‘Umroh adalah tanah halal (di luar Tanah Harom), dari tempat mana saja yang ia kehendaki. Ini adalah kesepakatan 4 madz-hab: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Ibnu Qudamah meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal ini.

Bab Ke-3: Ihrom

Pasal Ke-1: Pengertian Ihrom, Hukumnya, dan Sebagian Hikmah Disyariatkannya

Ke-1: Pengertian Ihrom secara bahasa dan istilah

Ihrom secara bahasa: Masuk dalam kehormatan. Dikatakan: seseorang berihrom jika ia masuk dalam kehormatan suatu perjanjian atau ikatan; maka terlarang baginya apa yang sebelumnya halal baginya.

Ihrom secara istilah: Niat untuk memulai ibadah manasik (Haji atau ‘Umroh). Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) fuqoha dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Ke-2: Sebagian hikmah disyariatkannya Ihrom

Hikmah dari disyariatkannya Ihrom:

1. Merasakan pengagungan kepada Alloh ‘Azza wa Jalla.

2. Memenuhi perintah-Nya dengan melaksanakan ibadah manasik yang diinginkan oleh orang yang berihrom.

3. Merasakan keinginan untuk mewujudkan ‘ubudiyyah (penghambaan).

4. Tunduk kepada Alloh Tabaroka wa Ta’ala.

Ke-3: Hukum Ihrom

Ihrom adalah salah satu fardhu (rukun) ibadah manasik, baik Haji maupun ‘Umroh. Ibnu Hazm meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Pasal Ke-2: Sunnah Ihrom

Ke-1: Mandi

Disunnahkan mandi untuk Ihrom. Ini adalah kesepakatan madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. An-Nawawiy meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal ini.

Disunnahkan mandi juga bagi wanita yang haidh dan nifas. Ini adalah kesepakatan 4 madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Ke-2: Ihrom dengan kain sarung dan selendang

Disunnahkan berihrom dengan kain sarung dan selendang. An-Nawawiy dan Ibnu Taimiyyah meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Ke-3: Berwangi-wangian

Disunnahkan sebelum memulai Ihrom menggunakan wangian pada badan, bukan pada pakaian, sebagai persiapan untuknya, meskipun bekasnya tetap ada setelah Ihrom. Ini adalah pendapat sebagian Salaf dan madz-hab jumhur (mayoritas) ulama dari Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Ke-4: Ihrom setelah Sholat

Para ulama berbeda pendapat tentang ini menjadi dua pendapat:

Pendapat Ke-1: Disunnahkan Sholat dua rokaat saat ingin berihrom. Ini adalah kesepakatan 4 madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. An-Nawawiy meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Pendapat Ke-2: Disunnahkan berihrom setelah Sholat wajib. Ini adalah riwayat dari Ahmad, yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah dan serupa dengannya adalah perkataan Ibnu Utsaimin.

Ke-5: Talbiyah

Talbiyah secara bahasa: Menjawab panggilan, dan juga berarti tetap di atas ketaatan.

Talbiyah secara istilah: Ucapan orang yang berihrom:

«لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ»

Labbaykallohumma labbayk, labbayka laa syariika laka labbayk, innal hamda wanni’mata laka wal mulk, laa syariika lak.”

“Aku penuhi panggilan-Mu ya Alloh, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan keni’matan adalah milik-Mu, dan kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.” (HR. Bukhori)

Talbiyah adalah sunnah dalam Ihrom. Ini adalah madz-hab Syafi’iyyah dan Hanabilah, dan ini adalah pendapat Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin.

Disunnahkan bagi laki-laki untuk mengeraskan suaranya saat Talbiyah. An-Nawawiy meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Wanita tidak mengeraskan suaranya, melainkan bertalbiyah secara lirih sebatas dirinya sendiri yang mendengarnya. Ibnu ‘Abdil Barr meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Seorang yang berihrom memulai Talbiyahnya ketika kendaraannya telah berangkat, yaitu ketika ia telah naik dan berdiri tegak. Ini adalah madz-hab Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan satu riwayat dari Hanabilah. Ini adalah pilihan An-Nawawiy, Asy-Syinqithiy, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin.

Talbiyah dalam ‘Umroh berakhir saat memulai Thowaf. Ini adalah madz-hab jumhur (mayoritas) ulama dari Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Bab Ke-4: Thowaf

Pasal Ke-1: Pengertian Thowaf, disyariatkannya, dan keutamaannya

Ke-1: Pengertian Thowaf

Thowaf secara bahasa: Mengelilingi sesuatu.

Thowaf secara istilah: Beribadah kepada Alloh ‘Azza wa Jalla dengan mengelilingi Ka’bah dengan cara tertentu.

Ke-2: Disyariatkannya Thowaf

Thowaf di Ka’bah adalah ibadah yang disyariatkan.

Ke-3: Keutamaan Thowaf

Di antara keutamaan Thowaf: Ia menjadi sebab terhapusnya kesalahan dan diampuninya dosa-dosa.

Pasal Ke-2: Sifat, syarat, dan sunnah Thowaf

Ke-1: Sifat Thowaf

Sifat Thowaf di Ka’bah adalah dimulai dari Rukun (sudut) yang terdapat Hajar Aswad. Ia menghadapnya, menyentuhnya, dan menciumnya jika tidak mengganggu orang lain dengan berdesak-desakan. Lalu ia sejajar dengan seluruh badannya dengan seluruh Hajar (Aswad)... kemudian ia memulai Thowafnya dengan menjadikan Ka’bah di sebelah kirinya, lalu ia berjalan mengelilingi Ka’bah. Kemudian ia melewati di belakang Hijr... dan mengitari Ka’bah. Ia melewati Rukun Yamaniy, lalu sampai di Rukun Hajar Aswad, yaitu tempat ia memulai Thowafnya, maka dengan demikian sempurnalah satu putaran baginya. Ia kemudian melakukan hal yang sama hingga menyelesaikan tujuh putaran.

Ke-2: Syarat Thowaf

Tidak disyaratkan menetapkan niat Thowaf jika ia berada dalam ibadah manasik (Haji atau ‘Umroh). Jika ia Thowaf dalam keadaan lupa atau lalai, maka itu sudah mencukupi untuk Thowaf yang disyariatkan pada waktunya, selama ia telah berniat ‘Umroh. Ini adalah madz-hab jumhur (mayoritas) fuqoha dari Malikiyyah dan Syafi’iyyah menurut pendapat yang paling benar, serta sebagian Hanafiyyah. Ibnu Utsaimin juga memilih pendapat ini.

Menutup aurot adalah syarat yang tanpanya Thowaf tidak sah. Ini adalah madz-hab jumhur (mayoritas) fuqoha dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Para ulama berbeda pendapat mengenai syarat Thoharoh (bersuci) dalam Thowaf menjadi tiga pendapat:

Pendapat Ke-1: Bahwa Thoharoh dari hadats adalah syarat sahnya Thowaf. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) fuqoha dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Ini juga pilihan Ibnu Baz.

Pendapat Ke-2: Bahwa Thoharoh adalah wajib dalam Thowaf. Ia harus mengulanginya kapan pun ia berada di Makkah. Jika ia telah kembali ke negerinya, ia wajib membayar dam (denda). Ini adalah madz-hab Hanafiyyah dan satu riwayat dari Ahmad.

Pendapat Ke-3: Bahwa Thoharoh adalah sunnah dalam Thowaf. Ini adalah salah satu pendapat di kalangan Hanafiyyah dan satu riwayat dari Ahmad. Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qoyyim, dan Ibnu Utsaimin memilih pendapat ini.

Memulai Thowaf dari Hajar Aswad adalah syarat sahnya Thowaf. Putaran yang dimulai setelah Hajar Aswad tidak dianggap sah. Ini adalah madz-hab Syafi’iyyah dan Hanabilah, satu riwayat dari Hanafiyyah, dan satu pendapat di kalangan Malikiyyah.

Disyaratkan untuk menjadikan Ka’bah di sebelah kirinya. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Thowaf harus dilakukan di luar Hijr Isma’il. Ini adalah kewajiban. Siapa yang meninggalkannya, Thowafnya tidak dianggap sah, meskipun ia berjalan di atas temboknya, itu tidak sah baginya. Ini adalah madz-hab jumhur (mayoritas) ulama dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Disyaratkan bahwa tempat Thowaf di sekitar Ka’bah berada di dalam Masjidil Harom, baik dekat maupun jauh dari Ka’bah. Ini adalah syarat yang disepakati oleh 4 madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. An-Nawawiy meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) bahwa Thowaf di luar Masjidil Harom tidak sah.

Disyaratkan untuk Thowaf di Ka’bah 7 kali, dan kurang dari itu tidak sah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah, dan ini adalah pilihan Kamal Ibnu Humam dari Hanafiyyah.

Jika seseorang ragu tentang jumlah putaran yang telah ia lakukan saat sedang Thowaf, maka ia membangun di atas yang yakin, yaitu jumlah yang lebih sedikit, menurut jumhur (mayoritas) fuqoha dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Malikiyyah mengecualikan syak mustankah (ragu yang sering terjadi) dari hal itu. Syak mustankah adalah orang yang ragu setiap hari meskipun hanya sekali. Ibnu Mundzir meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu, dan ini adalah pilihan Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin.

Wajib berkesinambungan antara putaran-putaran. Ini adalah pendapat Malikiyyah dan Hanabilah, dan ini adalah pilihan Ibnu Utsaimin.

Masalah: Apa yang harus dilakukan jika Sholat fardhu didirikan saat sedang Thowaf?

Jika Sholat fardhu didirikan, maka ia memotong Thowafnya dengan niat untuk kembali setelah Sholat. Setelah Sholat selesai, ia melanjutkan dari tempat ia berhenti. Ini adalah pendapat sekelompok Salaf, dan ini adalah kesepakatan 4 madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Jika seseorang tidak mampu berjalan dan ia melakukan Thowaf dengan digendong, maka tidak ada fidyah (tebusan) dan tidak ada dosa baginya. Ibnu ‘Abdil Barr dan Ibnu Taimiyyah meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Masalah: Jika ia mampu, maka wajib baginya untuk melakukan Thowaf dengan berjalan kaki dalam Thowaf apa pun, dan orang yang meninggalkannya wajib membayar dam. Ini adalah madz-hab Hanafiyyah dan Hanabilah, dan ini adalah pilihan Ibnu Utsaimin. Malikiyyah mewajibkannya pada Thowaf yang wajib.

Ke-3: Sunnah Thowaf

1) Idhthiba’

Idhthiba’ secara bahasa: Berasal dari dho’ (lengan atas). Dinamakan demikian karena memperlihatkan salah satu dho’ (lengan atas).

Idhthiba’ secara istilah: Mengenakan selendang dengan mengeluarkannya dari bawah ketiak kanan, dan meletakkannya di atas bahu kiri sehingga menutupi bahu tersebut, dan memperlihatkan bahu kanan.

Idhthiba’ adalah salah satu sunnah Thowaf. Ini khusus untuk laki-laki, bukan untuk wanita. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) fuqoha dari Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Idhthiba’ hanya disyariatkan dalam Thowaf Qudum dan Thowaf ‘Umroh. Ini adalah pendapat Hanabilah, dan satu pendapat di kalangan Syafi’iyyah. Ini adalah pilihan Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin.

2) Roml

Secara bahasa: Berlari kecil. Dikatakan: Roml jika ia mempercepat langkahnya dan menggerakkan bahunya.

Secara istilah: Mempercepat langkah, dengan langkah-langkah yang berdekatan dan menggerakkan kedua bahu. Ini lebih lambat dari lompatan dan lari. Disebut juga khobab.

Roml adalah sunnah bagi orang yang berihrom. Ini adalah kesepakatan 4 madz-hab: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Roml dilakukan pada tiga putaran pertama dari Thowaf. Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Qudamah, dan An-Nawawiy meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Roml hanya khusus untuk Thowaf Qudum dan Thowaf orang yang ‘Umroh. Ibnu ‘Abdil Barr dan Ibnu Qudamah meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

3) Menyentuh Hajar Aswad dan menciumnya

Disunnahkan menyentuh Hajar Aswad dan menciumnya. Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Rusyd, An-Nawawiy, dan Ibnu Hazm meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

4) Menyentuh Rukun Yamaniy

Disunnahkan menyentuh Rukun Yamaniy, yaitu rukun yang berada sebelum Rukun Hajar Aswad. Tidak perlu menciumnya dan tidak pula mencium apa yang ia gunakan untuk menyentuhnya. Ibnu ‘Abdil Barr dan Ibnu Rusyd meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

5) Dzikir dan doa dalam Thowaf

Disunnahkan bagi orang yang Thowaf untuk memperbanyak dzikir dan doa dalam Thowafnya, dan ia boleh berdoa kepada Alloh dengan kebaikan dunia dan Akhirat apa pun yang ia kehendaki. Karena tidak ada dzikir atau doa khusus yang diriwayatkan dari Rosulullah dalam Thowaf, kecuali apa yang diucapkan di antara dua Rukun Yamaniy. Ia mengucapkan:

﴿رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Ya Robb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di Akhirat, dan lindungilah kami dari ‘adzab Neraka.” (QS. Baqoroh: 201)

6) Mendekat ke Ka’bah

Disunnahkan bagi orang yang Thowaf untuk mendekat ke Ka’bah. Ini adalah kesepakatan 4 madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

7) Sholat dua rokaat di belakang Maqom setelah Thowaf

Sholat dua rokaat di belakang Maqom setelah Thowaf adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan). Ini adalah madz-hab Syafi’iyyah menurut pendapat yang paling benar dan Hanabilah. Ibnu Hazm, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin juga memilih pendapat ini.

Para ulama sepakat bahwa yang disunnahkan adalah melaksanakan dua rokaat Thowaf di belakang Maqom jika hal itu memungkinkan. An-Nawawiy dan Ibnu Taimiyyah meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Jika orang yang ‘Umroh tidak memungkinkan untuk melaksanakannya di belakang Maqom karena berdesak-desakan atau alasan lain, maka ia melaksanakannya di tempat mana pun yang memungkinkan di dalam Masjid. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama dari Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

8) Minum air zamzam dan memenuhinya

Disyariatkan minum air zamzam dan memenuhinya bagi jamaah Haji dan ‘Umroh setelah selesai dari Thowaf di Ka’bah, dan sebelum memulai Sa’i antara Shofa dan Marwah. Ini berdasarkan kesepakatan madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

9) Menyentuh Hajar Aswad setelah selesai Thowaf

Disunnahkan bagi orang yang telah selesai dari Thowaf dan Sholat dua rokaat Thowaf untuk kembali ke Hajar Aswad dan menyentuhnya. Ini adalah pendapat sekelompok Salaf, dan ini adalah kesepakatan 4 madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Ibnu Qudamah dan Ibnu ‘Abdil Barr meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Masalah: Dimakruhkan berbicara saat Thowaf tanpa adanya kebutuhan. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama dari Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah.

Pasal Ke-3: Hukum Thowaf Wada’

Thowaf Wada’ bagi orang yang ‘Umroh bukanlah wajib. Ini adalah madz-hab jumhur (mayoritas) fuqoha, yaitu Hanafiyyah menurut pendapat yang masyhur, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Ibnu Taimiyyah memilih pendapat ini. Ini juga difatwakan oleh Lajnah Ad-Da’imah (Komite Tetap) dan Ibnu Baz.

Bab Ke-5: Sa’i antara Shofa dan Marwah

Pasal Ke-1: Pengertian Sa’i antara Shofa dan Marwah

1. Sa’i secara bahasa: Berjalan dan berlari tanpa tergesa-gesa.

2. Shofa secara bahasa: Bentuk jamak dari Shofah, yaitu batu padat yang besar yang tidak ditumbuhi apa pun. Dikatakan juga: Ia adalah batu yang halus.

Secara istilah: Tempat yang tinggi dari gunung Abu Qubaisy. Dari situlah Sa’i dimulai dan terletak di ujung selatan Mas’a (tempat Sa’i).

3. Marwah secara bahasa: Batu-batu putih yang berkilauan. Bentuk tunggalnya: marwah, dan bentuk jamaknya: marw.

Secara istilah: Gunung di Makkah dan di sanalah Sa’i berakhir. Ia berada di kaki gunung Qu’ayqi’an, dan terletak di ujung utara Mas’a (tempat Sa’i).

Sa’i secara istilah: Melintasi jarak yang berada di antara Shofa dan Marwah sebanyak 7 kali, pergi dan kembali, dalam ibadah Haji atau ‘Umroh.

Pasal Ke-2: Disyariatkannya Sa’i, asal-usulnya, dan hikmahnya

Ke-1: Disyariatkannya Sa’i

Sa’i antara Shofa dan Marwah disyariatkan dalam Haji dan ‘Umroh.

Ke-2: Asal-usul Sa’i

Asal-usul disyariatkannya Sa’i adalah Sa’inya Hajar ‘Alaihassalam, ketika Ibrohim ‘Alaihissalam meninggalkannya bersama putranya, Isma’il, di Makkah. Bekal makanan dan minumannya habis. Ia dan putranya mulai merasa haus, lalu ia melakukan Sa’i antara Shofa dan Marwah 7 kali untuk mencari air. Ibnu ‘Abbas berkata: “Ibu Isma’il menyusui Isma’il dan minum dari wadah air. Hingga ketika air dalam wadah kulitnya habis, ia merasa haus dan anaknya pun haus. Ia mulai melihat anaknya meronta-ronta – atau ia berkata: menggeliat (berguling-guling di tanah) – lalu ia pergi karena tidak tega melihatnya. Ia menemukan Shofa, gunung terdekat yang ada di hadapannya, lalu ia berdiri di atasnya. Kemudian ia menghadap ke lembah, melihat apakah ada orang, tetapi ia tidak melihat siapa pun. Ia turun dari Shofa, hingga ketika ia sampai di lembah, ia mengangkat ujung pakaiannya, lalu berjalan dengan Sa’i layaknya orang yang kelelahan. Hingga ketika ia melewati lembah, ia mendatangi Marwah. Ia berdiri di atasnya dan melihat apakah ada orang, tetapi ia tidak melihat siapa pun. Ia melakukan hal itu sebanyak 7 kali.”

Ibnu ‘Abbas berkata: Nabi bersabda: “Itulah Sa’inya manusia di antara keduanya.” (HR. Bukhori no. 3364)

Ke-3: Hikmah Sa’i

1. Mendirikan dzikir kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

2. Sa’i disyariatkan untuk mengabadikan kenangan Ibrohim, istrinya Hajar, dan putra mereka, Isma’il ‘Alaihimussalam, serta sebagai penghormatan bagi mereka.

3. Agar hamba merasakan bahwa kebutuhannya dan kefakirannya kepada Kholiqnya (Pencipta) dan Rozzaqnya (Pemberi Rizki) seperti kebutuhan dan kefakiran wanita tersebut dalam kesulitan yang besar itu kepada Kholiqnya dan Rozzaqnya. agar ia mengingat bahwa siapa yang taat kepada Alloh seperti Ibrohim ‘Alaihi wa ‘Ala Nabiyyina Ash-Sholah was-Salam, maka Alloh tidak akan menyia-nyiakannya dan tidak akan mengecewakan doanya.

Pasal Ke-3: Hukum Sa’i dan Sa’i Sunnah

Ke-1: Hukum Sa’i

Sa’i antara Shofa dan Marwah adalah rukun dari rukun-rukun Haji dan ‘Umroh. Pendapat ini dianut oleh sebagian Salaf dan ini adalah madz-hab jumhur (mayoritas) fuqoha, yaitu Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Ke-2: Sa’i Sunnah antara Shofa dan Marwah

Tidak disyariatkan Sa’i Sunnah antara Shofa dan Marwah bagi selain jamaah Haji dan ‘Umroh. Ibnu Hajar dan Asy-Syinqithi meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Pasal Ke-4: Berkesinambungan antara Sa’i dan Thowaf

Tidak wajib berkesinambungan antara Thowaf dan Sa’i, meskipun hal itu dianjurkan. Pendapat ini dianut oleh sebagian Salaf dan ini adalah madz-hab jumhur (mayoritas) fuqoha dari Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Pasal Ke-5: Syarat Sa’i

Syarat Ke-1: Mencakup seluruh jarak antara Shofa dan Marwah

Disyaratkan untuk sahnya Sa’i untuk melintasi seluruh jarak antara Shofa dan Marwah. Jika ia tidak melintasinya secara keseluruhan, maka Sa’inya tidak sah. Ini adalah kesepakatan 4 madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Syarat Ke-2: Tertib, yaitu memulai dari Shofa dan berakhir di Marwah

Disyaratkan untuk memulai Sa’inya dari Shofa dan berakhir di Marwah, sehingga ia mengakhiri Sa’inya di Marwah. Jika ia memulai dari Marwah, maka putaran itu dianggap tidak sah. Pendapat ini dianut oleh sebagian Salaf dan disepakati oleh madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Syarat Ke-3: Harus tujuh putaran

Disyaratkan untuk sahnya Sa’i antara Shofa dan Marwah untuk melaksanakannya sebanyak tujuh putaran. Pergi dari Shofa ke Marwah dihitung satu putaran, dan kembali dari Marwah ke Shofa dihitung satu putaran. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama: Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah, serta pendapat Zhohiriyyah.

Syarat Ke-4: Terjadi setelah Thowaf

Disyaratkan untuk sahnya Sa’i bahwa ia terjadi setelah Thowaf. Ibnu ‘Abdil Barr dan Mawardiy meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Syarat Ke-5: Berkesinambungan antara putaran-putaran Sa’i

Para ulama berbeda pendapat mengenai syarat berkesinambungan antara putaran-putaran Sa’i menjadi dua pendapat:

Pendapat Ke-1: Tidak disyaratkan berkesinambungan antara putaran-putaran Sa’i. Ini adalah madz-hab Hanafiyyah dan Syafi’iyyah, serta satu riwayat dari Ahmad. Ibnu Qudamah dan Ibnu Baz memilih pendapat ini.

Pendapat Ke-2: Disyaratkan berkesinambungan antara putaran-putarannya. Ini adalah madz-hab Malikiyyah dan Hanabilah. Ibnu Utsaimin memilih pendapat ini.

Masalah: Jika Sholat didirikan saat sedang Sa’i, ia memotong Sa’inya dan Sholat, lalu menyempurnakan putaran-putaran yang tersisa. Ini adalah madz-hab Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Pasal Ke-6: Apa yang tidak disyaratkan dalam Sa’i

Ke-1: Niat

Niat tidak disyaratkan dalam Sa’i menurut jumhur (mayoritas) ulama dari Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.

Ke-2: Thoharoh dari hadats besar dan kecil

Thoharoh (suci) dari dua hadats, kecil maupun besar, tidak disyaratkan dalam Sa’i antara Shofa dan Marwah. Ini adalah kesepakatan 4 madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Ke-3: Menutup aurot

Menutup aurot tidak disyaratkan untuk sahnya Sa’i. Ini adalah kesepakatan 4 madz-hab: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Pasal Ke-7: Sunnah Sa’i

Ke-1: Naik ke atas Shofa dan Marwah, serta berdoa dan berdzikir di atas keduanya dan di antara keduanya

Disyariatkan jika mendekati Shofa untuk membaca firman Alloh Ta’ala:

﴿إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِ اللَّهِ﴾ «أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ»

“Sungguh Shofa dan Marwah termasuk syi’ar Allah.” (QS. Al-Baqoroh: 158) “Aku memulai dari apa yang Allah mulai (yakni Shofa).”

Ia membatasi ucapannya ini hanya di Shofa pada putaran pertama saja. Lalu ia naik ke atas Shofa hingga melihat Ka’bah dan menghadapnya. Ia bertakbir tiga kali:

«اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ»

“Alloh Maha Besar, Alloh Maha Besar, Alloh Maha Besar.”

Lalu mengucapkan:

«لَا إِلَـٰهَ إِلَّا اللَّـهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لَا إِلَـٰهَ إِلَّا اللَّـهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ»

“Tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Alloh, Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan dan bagi-Nya segala pujian. Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa. Tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Alloh semata, yang menepati janji-Nya, memenangkan hamba-Nya, dan mengalahkan golongan-golongan (musuh) sendirian.”

Kemudian ia berdoa dengan apa yang mudah baginya sambil mengangkat kedua tangannya, dan ia mengulanginya tiga kali.

Ia mengucapkan dan melakukan hal yang sama di Marwah seperti apa yang ia ucapkan dan lakukan di Shofa pada ketujuh putaran, kecuali membaca ayat dan ucapan:

﴿إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِ اللَّهِ﴾ «أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ»

Ia memperbanyak doa dan dzikir saat Sa’i, di antaranya:

«رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ، إِنَّكَ أَنْتَ الأَعَزُّ الأَكْرَمُ»

“Ya Robb, ampuni dan rohmatilah, sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Mulia.”

Ke-2: Berlari kencang di antara dua tanda hijau

Disunnahkan untuk berjalan biasa antara Shofa dan Marwah, kecuali di antara dua tanda hijau, maka disunnahkan untuk berjalan kencang di antaranya. Ini dilakukan di ketujuh putaran. Ibnu ‘Abdil Barr dan An-Nawawiy meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang dianjurkannya hal itu.

Ke-3: Berjalan antara Shofa dan Marwah bagi yang mampu

Berjalan antara Shofa dan Marwah lebih utama daripada berkendara, kecuali bagi yang memiliki udzur. An-Nawawiy dan Ibnu Qudamah meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Masalah: Orang yang Sa’i antara Shofa dan Marwah dengan berkendara, ia memiliki dua keadaan:

Keadaan pertama: Karena udzur, maka ini diperbolehkan. Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Qudamah, dan Ibnul Qoyyim meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang kebolehannya.

Keadaan kedua: Orang yang Sa’i antara Shofa dengan berkendara tanpa udzur, maka para ulama memiliki dua pendapat tentangnya:

Pendapat pertama: Boleh Sa’i dengan berkendara, dan tidak ada kewajiban apa pun baginya. Ini adalah pendapat sekelompok Salaf. Ini adalah madz-hab Syafi’iyyah, dan dipilih oleh Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Asy-Syinqithi, dan Ibnu Baz.

Pendapat kedua: Tidak boleh Sa’i dengan berkendara tanpa udzur. Ini adalah madz-hab jumhur (mayoritas) fuqoha dari Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Pendapat ini juga dikatakan oleh Layts bin Sa’d, Abu Tsaur, dan Ibnu Utsaimin.

 

Bab Ke-6: Halq (Menggundul) dan Taqshir (Memendekkan)

Pasal Ke-1: Hukum menggundul dan memendekkan

Menggundul atau memendekkan rambut kepala adalah wajib dari kewajiban-kewajiban ‘Umroh. Ini adalah madz-hab jumhur (mayoritas) fuqoha dari Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah.

Pasal Ke-2: Tempat mencukur untuk Tahallul dari ‘Umroh

Menggundul atau memendekkan tidak terkhusus pada tempat tertentu. Namun, yang paling utama adalah melakukannya di Marwah setelah selesai dari Sa’i. Ini ditegaskan oleh Syafi’iyyah, dan dipilih oleh Ibnu Utsaimin.

Pasal Ke-3: Kadar wajib yang digundul atau dipendekkan

Wajib menggundul semua sisi kepala, atau memendekkan semua sisi kepala. Ini adalah madz-hab Malikiyyah dan Hanabilah. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abdil Barr, Lajnah Ad-Da’imah, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin.

Pasal Ke-4: Mana yang lebih utama, menggundul atau memendekkan?

Menggundul seluruh kepala lebih utama daripada memendekkannya. Ibnu ‘Abdil Barr dan An-Nawawiy meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Pasal Ke-5: Apakah memendekkan rambut mencukupi sebagai pengganti menggundul?

Memendekkan rambut mencukupi sebagai pengganti menggundul. Ibnu Mundzir, An-Nawawiy, dan Ibnu Hajar meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Pasal Ke-6: Menggundul dan Memendekkan bagi wanita

Ke-1: Menggundul rambut wanita

Wanita tidak diperintahkan untuk menggundul, melainkan memendekkan (rambutnya). Ibnu Mundzir, Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Qudamah, dan An-Nawawiy meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Ke-2: Ukuran memendekkan rambut wanita

Wanita memendekkan rambutnya seukuran ruas jari, yaitu ruas buku jari. Ia memegang kepang rambutnya jika ia memiliki kepang, atau ujung rambutnya jika tidak memiliki kepang, dan memotongnya seukuran ruas jari. Ini adalah kesepakatan 4 madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Ukurannya sekitar dua sentimeter.

Pasal Ke-7: Menggerakkan pisau cukur pada kepala yang tidak berambut

Jika tidak ada rambut di kepalanya - seperti orang yang botak atau yang di kepalanya ada luka-luka - maka para ulama berbeda pendapat tentangnya menjadi beberapa pendapat, di antaranya:

Pendapat Ke-1: Disunnahkan baginya untuk menggerakkan pisau cukur di kepalanya. Ini adalah madz-hab Syafi’iyyah dan Hanabilah, dan satu pendapat di kalangan Hanafiyyah.

Pendapat Ke-2: Wajib baginya menggerakkan pisau cukur. Ini adalah madz-hab Malikiyyah dan Hanafiyyah menurut pendapat yang paling benar.

Pendapat Ke-3: Tidak disunnahkan baginya untuk menggerakkan pisau cukur di kepalanya. Ini diriwayatkan dari Abu Bakr Ibnu Dawud, dan cenderung kepada pendapat ini adalah Mardawiy, dan ini dipilih oleh Ibnu Utsaimin.

Pasal Ke-8: Hukum memulai dari sisi kanan dalam mencukur kepala

Disunnahkan untuk memulai dari sisi kanan dalam mencukur kepala, yaitu mendahulukan sisi kanan, kemudian sisi kiri. Adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Jumhur (mayoritas) ulama dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah, serta Ibnul Humam dari Hanafiyyah, berpendapat bahwa yang menjadi pertimbangan adalah sisi kanan orang yang dicukur, maka dimulai dari sisi kanan kepalanya kemudian sisi kiri.

Bab Ke-7: Larangan Ihrom dan Fidyah

Pasal Ke-1: Pengertian larangan, fidyah, dan jenisnya

Ke-1: Makna larangan Ihrom dan fidyah

Larangan ihrom adalah sesuatu yang pelakunya dihukum, dan merupakan sinonim dari harom.

Larangan ihrom adalah hal-hal terlarang yang wajib dijauhi oleh orang yang berihrom karena ihromnya dan karena ia telah memasuki ibadah manasik (Haji atau ‘Umroh).

Fidyah secara bahasa: menjadikan sesuatu sebagai pengganti sesuatu untuk melindunginya, dan darinya adalah memfidyah tawanan yaitu membebaskannya dengan harta.

Fidyah secara istilah: sesuatu yang wajib karena melakukan hal yang dilarang atau meninggalkan kewajiban, dan dinamakan fidyah, karena firman Alloh Ta’ala:

﴿فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكِ﴾

“Maka membayar fidyah dalam bentuk puasa, shodaqoh, atau nusuk (menyembelih).” (QS. Baqoroh: 196)

Ke-2: Jumlah larangan-larangan ihrom

Jumlah larangan-larangan:

Larangan-larangan ihrom yang berlaku untuk laki-laki dan wanita ada 7:

1. Mencukur rambut.

2. Memotong kuku.

3. Memakai wewangian.

4. Berburu.

5. Akad nikah.

6. Jima’ (hubungan suami istri).

7. Bermesraan dengan wanita.

Larangan-larangan yang khusus untuk laki-laki ada dua:

1. Memakai pakaian yang berjahit.

2. Menutup kepala.

Larangan-larangan yang khusus untuk wanita ada dua:

1. Niqob (penutup wajah).

2. Memakai sarung tangan.

Ke-3: Pembagian larangan-larangan ihrom berdasarkan fidyahnya

Larangan-larangan ihrom terbagi menjadi 4 bagian berdasarkan fidyahnya:

1. Fidyahnya adalah fidyah adza (fidyah gangguan). Fidyah adza adalah dam (menyembelih), memberi makan, atau berpuasa.

2. Fidyahnya adalah membayar dengan yang sepadan. Ini berlaku pada berburu.

3. Hal yang tidak ada fidyahnya, yaitu akad nikah.

4. Fidyahnya adalah fidyah yang diperberat, yaitu jima’.

Pasal Ke-2: Larangan ihrom yang mewajibkan fidyah adza

Ke-1: Jenis larangan taroffuh dan dendanya

Larangan-larangan taroffuh (mencari kenyamanan) mencakup lima larangan.

1.    Mencukur rambut.

2.    Memotong kuku.

3.    Memakai wewangian.

4.    Menutup kepala.

5.    Memakai pakaian yang berjahit.

Siapa yang mencukur, memotong kuku, menutup kepala, memakai wewangian, atau memakai pakaian yang berjahit karena udzur atau untuk menghilangkan gangguan, maka ia diwajibkan fidyah adza dalam semua hal itu. Ia diberi pilihan antara berpuasa tiga hari, atau memberi makan enam orang miskin dan masing-masing orang miskin setengah sho’ (sekitar 1,5 kg), atau menyembelih seekor kambing. Ini adalah pendapat sekelompok Salaf dan juga pendapat jumhur (mayoritas) ulama, dan kesepakatan 4 madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Tidak ada perbedaan dalam pilihan fidyah adza antara orang yang melakukan larangan karena udzur atau secara sengaja. Ini adalah madz-hab jumhur (mayoritas) ulama dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah, dan ini adalah pilihan Asy-Syinqithi.

Siapa yang melakukan sesuatu dari larangan-larangan ihrom karena lupa, bodoh, atau terpaksa, maka tidak ada kewajiban apa pun baginya. Ini adalah madz-hab Zhohiriyyah, dan pendapat Ishaq dan Ibnu Mundzir. Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin memilih pendapat ini.

Ke-2: Mencukur rambut

Mencukur rambut kepala adalah salah satu larangan ihrom. Ibnu Mundzir dan An-Nawawiy meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah mencukur rambut selain kepala termasuk larangan ihrom menjadi dua pendapat.

Pendapat Ke-1: Bahwa itu adalah larangan. Ini adalah kesepakatan 4 madz-hab: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Ibnu ‘Abdil Barr meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Pendapat Ke-2: Bahwa mencukur rambut selain kepala tidak dilarang. Ini adalah madz-hab Zhohiriyyah, dan diperkuat oleh Ibnu Utsaimin.

Wajib dalam mencukur rambut kepala fidyah adza berupa menyembelih seekor kambing, atau berpuasa tiga hari, atau memberi makan enam orang miskin. Ibnu Mundzir meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Fidyah wajib dalam mencukur rambut jika ia mencukur sebatas yang dapat menghilangkan gangguan. Ini adalah madz-hab Malikiyyah. Ibnu Hazm, Ibnu ‘Abdil Barr, dan Ibnu Utsaimin memilih pendapat ini.

Masalah: Jika seseorang mengambil beberapa helai rambut dari kepalanya, maka itu harom baginya, tetapi fidyah tidak wajib kecuali jika ia mencukur sebatas yang menimbulkan kenyamanan dan menghilangkan gangguan.

Masalah: Jika rambut tumbuh di matanya atau rambut alisnya memanjang hingga menutupi matanya, maka ia boleh menghilangkannya. Demikian juga jika ia memotong kulit yang ada rambutnya, maka tidak ada fidyah baginya.

Tidak mengapa orang yang berihrom mencuci kepalanya, menyisirnya, dan menggaruknya dengan lembut. Ini adalah pendapat sekelompok Salaf, dan ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) fuqoha dari Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Zhohiriyyah. Ini juga salah satu pendapat di kalangan Malikiyyah. Ibnu Mundzir mengatakan demikian dan An-Nawawiy serta Ibnu Utsaimin memilih pendapat ini.

Ke-3: Memotong kuku

Para ulama memiliki dua pendapat tentang memotong kuku orang yang berihrom.

Pendapat Ke-1: Orang yang berihrom dilarang menghilangkan kukunya. Ini berdasarkan kesepakatan madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Ibnu Mundzir dan Ibnu Qudamah meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

Pendapat Ke-2: Boleh bagi orang yang Ihrom memotong rambut dan kukunya. Ini madz-hab Zhohiriyyah.

Menghilangkan kuku sama seperti menghilangkan rambut, baik dengan memotongnya, mematahkannya, atau mencabiknya. Semua itu adalah harom dan mewajibkan fidyah.

Fidyah Adza berlaku dalam memotong kuku. Ini adalah madz-hab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, dan ini adalah pendapat mayoritas ahli ilmu.

Jika kukunya patah, boleh baginya untuk memotong bagian yang patah dan tidak ada kewajiban apa pun baginya. Ibnu Al-Mundzir dan Ibnu Qudamah telah menceritakan adanya Ijma’ mengenai hal ini.

Ke-4: Memakai Minyak Wangi

Memakai minyak wangi pada badan dan pakaian adalah larangan Ihrom. Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Qudamah, dan An-Nawawi telah menceritakan adanya Ijma’ mengenai hal ini.

Agar orang yang berihrom menjauh dari kemewahan dan perhiasan dunia serta kenikmatannya, dan agar perhatiannya terfokus pada tujuan Akhirat. Minyak wangi dapat membuatnya lupa akan ibadah yang sedang ia jalani, karena di dalamnya terdapat kemewahan yang bertentangan dengan tujuan Haji, yaitu melepaskan diri dari hal tersebut. Oleh karena itu, hal itu dilarang.

Minyak wangi adalah salah satu penyebab dorongan untuk berhubungan badan (jima’). Pengharomannya termasuk dalam menutup jalan (sadd adz-dzari'ah), karena minyak wangi dapat memberikan kegembiraan pada seseorang, dan mungkin membangkitkan syahwat dan nafsunya, sehingga terjadi fitnah baginya. Alloh Ta’ala berfirman:

 ﴿فَلَا رَفَتَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ﴾

 “Maka janganlah kamu melakukan rofats, fusuq, dan berdebat saat Haji.” (QS. Al-Baqoroh: 197)

Jika orang yang berihrom memakai minyak wangi dengan sengaja, maka wajib baginya Fidyah. Ini adalah madz-hab jumhur fuqoha dari Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.

Tidak disyaratkan untuk mewangikan seluruh anggota badan agar fidyah wajib. Ini adalah madz-hab jumhur dari Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.

Tidak mengapa bagi orang yang berihrom untuk menggunakan sabun yang memiliki aroma, meskipun lebih utama meninggalkannya.

Ke-5: Menutupi Kepala bagi Laki-laki

Menutupi kepala bagi laki-laki adalah salah satu larangan Ihrom, seperti topi, ghutroh (penutup kepala), sorban, dan sejenisnya. Ibnu Al-Mundzir, Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Rusyd, dan Ibnul Qoyyim telah menceritakan adanya Ijma’ mengenai hal ini.

Fidyah wajib dalam menutupi kepala, yaitu menyembelih seekor kambing, atau Puasa tiga hari, atau memberi makan enam orang miskin. Ini adalah kesepakatan madz-hab yang empat: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.

Tidak disyaratkan menutupi seluruh kepala untuk mewajibkan Fidyah. Ini adalah madz-hab jumhur fuqoha dari Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.

Menutupi wajah bagi laki-laki yang berihrom adalah dibolehkan. Ini adalah pendapat sekelompok Salaf (salaf). Ini juga merupakan madz-hab Syafi’iyah dan Hanabilah, dan ini adalah pilihan Ibnu Hazm dan Ibnu ‘Utsaimin.

Ke-6: Mengenakan Pakaian Berjahit

Makhiith (pakaian berjahit) adalah: Pakaian yang dibuat sesuai ukuran badan atau anggota badan sehingga melingkupinya, baik dengan jahitan atau tanpa jahitan, dan pakaian tersebut tetap berada di tempatnya karena desainnya sendiri. Contohnya adalah baju, celana panjang, dan sejenisnya.

Mengenakan pakaian berjahit bagi laki-laki adalah salah satu larangan Ihrom. Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu ‘Abdil Barr, dan Ibnu Rusyd telah menceritakan adanya Ijma’ mengenai hal ini.

Masalah: Mengenakan pakaian berjahit termasuk larangan Ihrom bagi laki-laki, bukan bagi perempuan. Ibnu Al-Mundzir dan Ibnu ‘Abdil Barr telah menukil adanya Ijma’ mengenai hal ini.

Boleh bagi orang yang berihrom untuk mengenakan cincin. An-Nawawi telah menceritakan adanya Ijma’ mengenai hal ini.

Boleh bagi orang yang berihrom untuk mengenakan jam tangan, kacamata, alat bantu dengar, atau gigi palsu.

Ke-7: Memakai Himyan

Boleh bagi orang yang berihrom untuk memakai himyan (tempat uang belanja atau tas sandang). Ini adalah pendapat sekelompok Salaf, dan kesepakatan madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah, serta Zhohiriyyah. Ini juga dikatakan oleh mayoritas ulama.

Masalah: Hukum menyematkan selendang dengan penjepit.

Jika seseorang menyematkan selendangnya dengan penjepit, maka itu tidak dianggap sebagai pakaian, melainkan hanyalah selendang yang disematkan. Tetapi sebagian orang berlebihan dalam masalah ini, sehingga seorang laki-laki menyematkan seluruh selendangnya, yang membuatnya terlihat seperti gamis tanpa lengan, dan ini tidak seharusnya dilakukan.

Ke-8: Menutup wajah wanita yang berihrom

Niqob adalah: Pakaian wajah; yaitu seorang wanita menutup wajahnya dan membuka matanya sebatas yang ia gunakan untuk melihat.

Niqob adalah salah satu larangan ihrom bagi wanita. Ini adalah pendapat sekelompok Salaf, dan madz-hab jumhur (mayoritas) ulama dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Para ulama berbeda pendapat mengenai menutup wajah wanita yang berihrom dengan selain niqob menjadi dua pendapat.

Pendapat Ke-1: Tidak boleh kecuali karena kebutuhan, seperti lewatnya orang asing. Ini adalah pendapat sekelompok Salaf dan kesepakatan 4 madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Qudamah, dan Ibnu Rusyd meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) bahwa harom bagi wanita untuk menutup wajahnya kecuali karena kebutuhan.

Pendapat Ke-2: Boleh meskipun tanpa kebutuhan. Ini adalah satu pendapat dalam madz-hab Hanabilah, dan dipilih oleh Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qoyyim, Ash-Shon’aniy, Asy-Syaukaniy, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin.

Wanita tidak dibebani untuk menjaga penutupnya dari wajahnya, baik dengan kayu, tangan, atau yang lainnya. Boleh baginya untuk menutup wajahnya karena kebutuhan, seperti untuk menutupi dari pandangan orang, dengan kain yang ia ulurkan dari atas kepalanya. Ini adalah madz-hab Malikiyyah dan Hanabilah, dan dipilih oleh Ibnu Qudamah dan Ibnu Taimiyyah.

Ke-9: Memakai sarung tangan bagi wanita yang berihrom

Sarung tangan adalah: Sesuatu yang dibuat untuk kedua tangan yang menutupi jari-jari bersama telapak tangan.

Harom bagi wanita yang berihrom untuk memakai sarung tangan. Ini adalah pendapat sekelompok Salaf dan madz-hab jumhur (mayoritas) ulama dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Masalah: Harom bagi laki-laki untuk memakai sarung tangan berdasarkan kesepakatan para ulama. An-Nawawiy, Ibnu Qudamah, dan Asy-Syinqithi menegaskan hal ini.

Ke-10: Fidyah dalam memakai pakaian yang berjahit

Dalam memakai pakaian yang berjahit bagi orang yang berihrom, wajib fidyah adza: menyembelih seekor kambing, atau berpuasa tiga hari, atau memberi makan enam orang miskin. Ini adalah kesepakatan 4 madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Fidyah wajib hanya dengan memakai (pakaian berjahit), meskipun tidak berlangsung lama. Ini adalah madz-hab Syafi’iyyah dan Hanabilah.

Disyaratkan bahwa shodaqoh dibagikan kepada orang miskin di Tanah Harom. Ini adalah madz-hab Syafi’iyyah dan Hanabilah. Asy-Syinqithi, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin memilih pendapat ini.

Boleh berpuasa di mana saja, baik secara terpisah maupun berturut-turut. An-Nawawiy meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang kebolehan memisahkan puasa. Syinqithi meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) bahwa puasa dapat dilakukan di tempat mana saja.

Pasal Ke-3: Hal yang tidak ada fidyahnya (akad nikah)

Ke-1: Hukum akad nikah bagi orang yang berihrom

Harom akad nikah bagi orang yang berihrom, dan tidak sah, baik orang yang berihrom itu adalah wali, suami, atau istri, dan tidak ada fidyah di dalamnya. Ini adalah pendapat sekelompok Salaf. Ini adalah madz-hab jumhur (mayoritas) fuqoha dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Zhohiriyyah. Ibnu ‘Abdil Barr memilih pendapat ini. Ini juga diriwayatkan dari ‘Ali dan Ibnu ‘Umar, Rodhiyallahu ‘Anhum, dan tidak diketahui ada Shohabat lain yang menentangnya.

Ke-2: Melamar bagi orang yang berihrom

Para ulama memiliki dua pendapat tentang melamar bagi orang yang berihrom:

Pendapat Ke-1: Dimakruhkan melamar bagi orang yang berihrom, dan makruh melamar bagi wanita yang berihrom, dan makruh bagi orang yang berihrom untuk melamar bagi orang yang tidak berihrom. Ini adalah madz-hab Syafi’iyyah dan Hanabilah. Ibnu Qudamah memilih pendapat ini.

Pendapat Ke-2: Harom melamar bagi orang yang berihrom. Ini adalah madz-hab Malikiyyah, dan ini adalah pilihan Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyyah, Ash-Shon’aniy, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin.

Pasal Ke-4: Yang menyebabkan fidyah berat (jima’)

Ke-1: Jima’ dalam manasik

Bersenggama di kemaluan adalah harom bagi orang yang berihrom, dan merusak ibadah manasik-nya. Adanya ijma’ (konsensus) tentang rusaknya manasik karena bersenggama diriwayatkan oleh: Ibnu Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd, An-Nawawiy, dan Ibnu Muflih.

Jima’ dalam ‘Umroh tidak lepas dari tiga keadaan:

Keadaan pertama: Jima’ dilakukan sebelum Thowaf; maka ‘Umrohnya batal berdasarkan ijma’, yang diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir dan Asy-Syinqithiy.

Keadaan kedua: Jima’ dilakukan sebelum Sa’i; maka ‘Umrohnya batal menurut jumhur (mayoritas) ulama dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Abu Tsaur juga mengatakan demikian.

Keadaan ketiga: Jima’ dilakukan setelah Sa’i dan sebelum mencukur, maka ‘Umrohnya tidak batal, dan ia wajib membayar hadyu (kurban). Ini adalah madz-hab jumhur (mayoritas) ulama dari Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Ibnu Ats-Tsawriy juga mengatakan demikian, dan Ibnu Mundzir memilih pendapat ini.

Terdapat lima konsekuensi dari jima’ dalam ‘Umroh:

1.    Dosa.

2.    Batalnya ‘Umroh.

3.    Wajib untuk melanjutkan ibadah yang batal tersebut, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.

4.    Wajib qodho’ (mengganti). Sekelompok Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum memberikan fatwa tentang hal itu, dan tidak diketahui ada yang menentang mereka. An-Nawawiy dan lainnya meriwayatkan adanya ijma’ (konsensus) tentang hal itu.

5.    Fidyah. Wajib fidyah bagi orang yang merusak ibadah ‘Umrohnya dengan jima’. Para ulama sepakat tentang hal itu, dan yang wajib adalah seekor kambing. Ini adalah madz-hab Hanafiyyah dan Hanabilah. ‘Atho’ juga mengatakan demikian. Ibnu Qudamah memilih pendapat ini dan begitu pula Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin.

Ke-2: Pendahuluan jima’

Harom bermesraan dengan wanita dalam manasik. Ini dikatakan oleh sekelompok Salaf, dan ini adalah kesepakatan 4 madz-hab: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Bermesraan dengan wanita tanpa bersenggama tidak membatalkan ibadah manasik. Ini adalah madz-hab jumhur (mayoritas) ulama dari Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

Siapa yang bermesraan dan tidak keluar mani, maka ia wajib membayar dam (kambing) atau penggantinya berupa memberi makan atau berpuasa. Ini dikatakan oleh sekelompok Salaf, dan ini adalah madz-hab Syafi’iyyah dan Hanabilah.

Siapa yang bermesraan lalu keluar mani, ‘Umrohnya tidak batal, dan ia wajib membayar fidyah adza: dam (kambing) atau penggantinya berupa memberi makan atau berpuasa. Ini dikatakan oleh sekelompok Salaf. Ini adalah madz-hab Hanafiyyah dan Syafi’iyyah, dan satu riwayat dari Ahmad. Ibnu Utsaimin memilih pendapat ini.

Pasal Ke-5: Kewajiban dari Meninggalkan Wajib Manasik

Kewajiban-kewajiban manasik: Adalah apa yang wajib dilakukan dalam manasik, dan wajib fidyah jika meninggalkannya, seperti berihrom dari miqot yang telah ditentukan.

Meninggalkan kewajiban-kewajiban tidak gugur karena lupa, bodoh, dan terpaksa kapan saja memungkinkan untuk mengejarnya.

Wajib dam (kambing) karena meninggalkan kewajiban. Ini adalah kesepakatan 4 madz-hab fiqih: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. ‘Atho’ juga mengatakan demikian. Ibnu ‘Abdil Barr dan Asy-Syinqithi memilih pendapat ini, begitu pula Ibnu Baz.

***


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url