Biografi Sa’id bin Zaid Mustajab Doa yang Termasuk 10 yang Diberi Kabar Masuk Surga
Unduh PDF
﷽
Nasab Sa’id
Beliau adalah Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail bin ‘Abdil
‘Uzza bin Riyah bin ‘Adiy bin Ka’ab bin Lu’ayy. Abul A’war Al-Qurosyi
Al-Adawi.
Ibu Sa’id bin Zaid adalah Fatimah bintu Ba’jah bin
Umayyah bin Khuwailid bin Kholid dari kabilah Khuza’ah. (Ath-Thobaqot
Al-Kubro, Ibnu Sa’d, 3/289-290)
Sa’id bin Zaid adalah keponakan ‘Umar bin Al-Khoththob,
karena keduanya bertemu pada garis nasab di Nufail bin ‘Abdil ‘Uzza.
Sa’id bin Zaid menikahi Fatimah bintu Al-Khoththob, saudari ‘Umar
bin Al-Khoththob.
Adapun ‘Umar bin Al-Khoththob menikahi ‘Atikah bintu Zaid,
saudari Sa’id bin Zaid. (Usudul Ghobah, Ibnu Al-Atsir, 2/253)
Anak-Anak Sa'id
Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan kepada
Sa’id bin Zaid sebanyak 34 anak; dari mereka: 14 laki-laki dan 20 perempuan. (Ath-Thobaqot Al-Kubro, Ibnu
Sa’d, 3/292)
Masuk Islamnya Sa’id dan Hijrohnya ke
Madinah
Ibnu Sa’d meriwayatkan dari Yazid bin Rumaan, ia berkata: “Sa’id
bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail masuk Islam sebelum Rosulullah ﷺ masuk ke rumah
Al-Arqom, dan sebelum beliau berdakwah di dalamnya.” (Ath-Thobaqot Al-Kubro,
Ibnu Sa’d, 3/292)
Sa’id bin Zaid hijroh ke Madinah, dan Nabi ﷺ menjalin ikatan
persaudaraan antara dia dan Ubay bin Ka’ab. (Usudul Ghobah, Ibnu Al-Atsir, 2/253)
Islam Masuk ke Hati ‘Umar bin Al-Khoththob di Rumah Sa’id
Sa’id bin Zaid Rodhiyallohu ‘Anhu termasuk dari kaum Muhajirin
yang pertama, dan ia masuk Islam sejak lama sebelum ‘Umar, dan karena
istrinyalah ‘Umar bin Al-Khottob masuk Islam.
Dari Qois, ia berkata: Aku mendengar Sa’id bin Zaid berkata
kepada kaum:
لَوْ رَأَيْتُنِي مُوثِقِي عُمَرُ عَلَى الْإِسْلَامِ، أَنَا وَأُخْتُهُ، وَمَا أَسْلَمَ، وَلَوْ
أَنَّ أُحُدًا انْقَضَّ لِمَا صَنَعْتُمْ بِعُثْمَانَ، لَكَانَ مَحْقُوقًا أَنْ يَنْقَضَّ
“Seandainya
kalian melihat aku ketika ‘Umar mengikatku karena Islam—aku dan saudara
perempuannya—sedangkan ia belum masuk Islam. Dan seandainya Gunung Uhud runtuh
karena apa yang kalian lakukan terhadap ‘Utsman, sungguh ia pantas untuk runtuh[1].” (HR. Al-Bukhori no. 3867)
Ibnu Sa’d meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa ‘Umar bin
Al-Khoththob keluar sambil menghunus pedangnya, lalu ia bertemu seorang dari
Bani Zuhroh. Orang itu bertanya: “Hendak ke mana engkau, wahai ‘Umar?” ‘Umar
menjawab, “Aku hendak membunuh Muhammad.” Orang itu bertanya, “Bagaimana engkau
bisa merasa aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhroh setelah engkau membunuh
Muhammad?” ‘Umar berkata, “Sepertinya engkau telah murtad—masuk ke agama
Muhammad dan meninggalkan agamamu?” Orang itu menjawab, “Maukah engkau aku
tunjukkan sesuatu yang mengherankan, wahai ‘Umar? Sesungguhnya iparmu, Sa’id
bin Zaid, dan saudara perempuanmu telah murtad dan meninggalkan agamamu.” Maka ‘Umar
pun berjalan dengan marah hingga mendatangi keduanya. Saat itu bersama mereka
ada seorang dari Muhajirin bernama Khobbab. Ketika Khobbab mendengar suara ‘Umar,
ia bersembunyi. ‘Umar masuk ke rumah dan bertanya: “Apa suara bisik-bisik yang
tadi kudengar dari kalian?” Mereka sedang membaca surat Thoha. Keduanya
menjawab, “Tidak, hanya obrolan biasa.” ‘Umar bertanya, “Mungkinkah kalian
telah murtad?” Maka Sa’id bin Zaid berkata: “Bagaimana pendapatmu, wahai ‘Umar,
jika kebenaran ternyata ada di luar agamamu?” Maka ‘Umar pun menyerang iparnya
dan menginjaknya dengan keras. Saudara perempuannya datang mendorong ‘Umar dari
suaminya, namun ia dipukul oleh ‘Umar hingga wajahnya berdarah. Lalu ia berkata
marah: “Wahai ‘Umar, jika kebenaran ada di luar agamamu, aku bersaksi bahwa
tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rosulullah.”
Ketika ‘Umar putus asa (melihat keteguhan mereka), ia berkata: “Berikan kepadaku kitab
yang kalian baca itu agar aku membacanya.” Ia memang bisa membaca. Saudarinya
berkata: “Sesungguhnya engkau najis, dan tidak boleh menyentuhnya kecuali orang-orang
yang suci. Maka mandilah atau berwudhulah terlebih dahulu.” Maka ‘Umar pun
berwudhu lalu mengambil mushaf dan membaca ayat:
﴿ طه * مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى
* إِلَّا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى * تَنْزِيلًا مِمَّنْ خَلَقَ الْأَرْضَ وَالسَّمَاوَاتِ
الْعُلَى * الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى * لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا
فِي الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى * وَإِنْ تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ
فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى * اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْأَسْمَاءُ
الْحُسْنَى * وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى * إِذْ رَأَى نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ
امْكُثُوا إِنِّي آنَسْتُ نَارًا لَعَلِّي آتِيكُمْ مِنْهَا بِقَبَسٍ أَوْ أَجِدُ عَلَى
النَّارِ هُدًى * فَلَمَّا أَتَاهَا نُودِيَ يَا مُوسَى * إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ
نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى * وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ
لِمَا يُوحَى * إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ
الصَّلَاةَ لِذِكْرِي ﴾ [طه: 1 - 14]
(1–2) Thoha. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an kepadamu
(wahai Muhammad) untuk membuatmu celaka dan letih karena memikulnya. (3)
Tetapi Kami turunkan ia sebagai peringatan bagi orang yang takut kepada Allah,
yaitu yang tunduk dan taat kepada-Nya. (4) Al-Qur’an ini adalah wahyu
yang diturunkan dari Dzat yang menciptakan bumi dan langit-langit yang tinggi. (5)
Dialah Ar-Rohman, Yang Maha Pengasih, yang beristiwa di atas ‘Arsy dengan
istiwa’ yang sesuai dengan keagungan-Nya. (6) Milik-Nya-lah segala apa
yang ada di langit, di bumi, di antara keduanya, dan apa yang ada di bawah
tanah. (7) Jika engkau mengeraskan ucapanmu, maka sungguh Dia mengetahui
rahasia dan yang lebih tersembunyi lagi dari itu. (8) Dialah Allah,
tidak ada yang berhak disembah selain Dia. Bagi-Nya nama-nama yang terbaik. (9–10)
Sudahkah sampai kepadamu kisah Musa, ketika dia melihat api, lalu berkata
kepada keluarganya, “Tinggallah kalian di sini. Sesungguhnya aku melihat api.
Mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit nyala darinya atau aku dapat menemukan
petunjuk di tempat api itu.” (11) Maka ketika dia mendatanginya, dia
dipanggil, “Wahai Musa, (12) sesungguhnya Aku adalah Robbmu. Maka tanggalkanlah kedua
sandalmu. Sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, yaitu Thuwa. (13)
Dan Aku telah memilihmu, maka dengarkanlah baik-baik apa yang akan diwahyukan
kepadamu. (14) Sesungguhnya Aku adalah Allah. Tidak ada yang berhak
disembah selain Aku. Maka sembahlah Aku dan tegakkanlah Sholat untuk
mengingat-Ku.” (QS. Thoha: 14)
‘Umar
pun berkata: “Tunjukkan aku kepada Muhammad.” Ketika Khobbab mendengar hal itu,
ia keluar dan berkata: “Bergembiralah wahai ‘Umar, semoga engkau adalah jawaban
dari doa Rosulullah ﷺ
pada malam Kamis:
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ بِعُمَرَ
بْنِ الْخَطَّابِ أَوْ بِعَمْرِو بْنِ هِشَامٍ
‘Ya Allah, muliakanlah Islam dengan ‘Umar bin Al-Khoththob atau
dengan ‘Amr bin Hisyam.’”
Khobbab berkata: “Rosulullah ﷺ berada di rumah yang
ada di dasar bukit Shofa, yaitu rumah Al-Arqom bin Abi Al-Arqom.” Maka ‘Umar pun
pergi ke sana. Di pintu rumah itu ada Hamzah bin ‘Abdil Muththolib, Tholhah bin
‘Ubaidillah, dan beberapa Shohabat. Ketika Hamzah melihat ketakutan orang-orang terhadap ‘Umar,
ia berkata: “Ini ‘Umar. Jika Allah menghendaki kebaikan untuknya, maka ia akan
masuk Islam dan mengikuti Nabi ﷺ. Jika tidak, maka aku akan membunuhnya,
tidak sukar bagiku.” Nabi ﷺ
sedang berada di dalam rumah menerima wahyu. Lalu beliau keluar menemui ‘Umar,
memegang baju dan sabuk pedangnya, dan berkata:
أَمَا أَنْتَ مُنْتَهِيًا يَا عُمَرُ،
حَتَّى يُنْزِلَ اللَّهُ بِكَ مِنَ الْخِزْيِ وَالنَّكَالِ مَا أَنْزَلَ بِالْوَلِيدِ
بْنِ الْمُغِيرَةِ، اللَّهُمَّ هَذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، اللَّهُمَّ أَعِزَّ
الدِّينَ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
“Tidakkah engkau berhenti, wahai ‘Umar, hingga Allah turunkan
atasmu kehinaan sebagaimana yang Dia turunkan kepada Al-Walid bin Al-Mughiroh?
Ya Allah, ini adalah ‘Umar bin Al-Khoththob. Ya Allah, muliakanlah agama ini
dengan ‘Umar bin Al-Khoththob.”
‘Umar berkata: “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rosulullah.”
Maka ia pun masuk Islam dan berkata: “Keluarlah wahai Rosulullah.” (Ath-Thobaqot Al-Kubro, Ibnu
Sa’d, 3/202-203)
Jihadnya di Jalan Allah Ta’ala
Sa’id bin Zaid tidak ikut serta dalam Perang Badar karena
Nabi ﷺ
mengutusnya bersama Tholhah bin ‘Ubaidillah dalam sebuah tugas sebelum
terjadinya peperangan.
Ibnu Sa’d meriwayatkan dari Haritsah Al-Anshori bahwa ketika
Rosulullah ﷺ
memperkirakan kedatangan kafilah dagang Quroisy dari Syam, beliau mengutus
Tholhah bin ‘Ubaidillah dan Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail sepuluh malam
sebelum beliau keluar dari Madinah, untuk memantau kabar kafilah itu. Maka
keduanya keluar hingga sampai ke Al-Hauro’. Mereka tinggal di sana hingga
kafilah melewati mereka, dan berita tentang kafilah tersebut sampai kepada Nabi
ﷺ
sebelum Tholhah dan Sa’id kembali. Lalu Nabi ﷺ mengajak para
Shohabat keluar mengejar kafilah tersebut. Namun kafilah Quroisy menuju jalur
pesisir dan mempercepat perjalanan mereka, siang dan malam, karena takut
dikejar. Tholhah bin ‘Ubaidillah dan Sa’id bin Zaid kembali ke Madinah untuk
memberitahu Nabi ﷺ
tentang kafilah itu, namun mereka tidak tahu bahwa Nabi ﷺ sudah keluar. Maka
keduanya sampai di Madinah pada hari Nabi ﷺ bertemu pasukan Quroisy
di Badar. Lalu keduanya keluar dari Madinah menyusul Nabi ﷺ, dan mereka bertemu
beliau sepulang dari Perang Badar. Maka mereka tidak ikut perang tersebut,
tetapi Nabi ﷺ
tetap memberi bagian rampasan perang dan pahala bagi keduanya, sebagaimana yang
hadir dalam peperangan itu. (Ath-Thobaqot Al-Kubro, Ibnu Sa’d, 3/292-293)
Sa’id bin Zaid mengikuti Perang Uhud, Khondaq, dan seluruh
peperangan bersama Rosulullah ﷺ,
serta ikut dalam Perang Yarmuk dan penaklukan Damaskus. (Al-Ishobah, Ibnu Hajar Al-’Asqolani, 2/44)
Sa’id bin Zaid Termasuk Ahli Surga
At-Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Abdur Rohman bin ‘Auf bahwa
Rosulullah ﷺ
bersabda:
«أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ، وَعُمَرُ
فِي الْجَنَّةِ، وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ، وَطَلْحَةُ
فِي الْجَنَّةِ، وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي
الْجَنَّةِ، وَسَعْدٌ فِي الْجَنَّةِ، وَسَعِيدٌ فِي الْجَنَّةِ، وَأَبُو عُبَيْدَةَ
بْنُ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ»
“Abu Bakr di Surga, ‘Umar di Surga, ‘Utsman di Surga, ‘Ali
di Surga, Tholhah di Surga, Az-Zubair di Surga, ‘Abdur Rohman bin ‘Auf di
Surga, Sa’ad di Surga, Sa’id di Surga, dan Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarroh di Surga.”
(HSR. At-Tirmidzi,
no. 2946)
Mustajab
Doa
Muslim meriwayatkan bahwa Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail
pernah dipersengketakan oleh Arwa bintu Uwais dalam sengketa tanah. Sa'id berkata:
دَعُوهَا وَإِيَّاهَا؛ فَإِنِّي سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: «مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ بِغَيْرِ حَقِّهِ
طُوِّقَهُ فِي سَبْعِ أَرَضِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»، اللَّهُمَّ إِنْ كَانَتْ كَاذِبَةً،
فَأَعْمِ بَصَرَهَا، وَاجْعَلْ قَبْرَهَا فِي دَارِهَا
“Biarkan dia merampasnya, karena aku mendengar Rosulullah ﷺ bersabda: ‘Barang
siapa mengambil sejengkal tanah tanpa hak, maka pada Hari Kiamat ia akan
dikalungi tanah dari tujuh bumi.’ Ya Allah, jika dia berdusta, butakanlah
matanya dan jadikanlah kuburnya di dalam rumahnya.”
Anas berkata:
فَرَأَيْتُهَا عَمْيَاءَ تَلْتَمِسُ الْجُدُرَ،
تَقُولُ: أَصَابَتْنِي دَعْوَةُ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ، فَبَيْنَمَا هِيَ تَمْشِي فِي
الدَّارِ مَرَّتْ عَلَى بِئْرٍ فِي الدَّارِ فَوَقَعَتْ فِيهَا، فَكَانَتْ قَبْرَهَا
“Aku melihatnya (Arwa) dalam keadaan buta, meraba-raba
dinding, sambil berkata: ‘Aku terkena doa Sa’id bin Zaid.’ Suatu hari saat ia
berjalan di rumah, ia terjatuh ke dalam sumur di rumah tersebut, dan sumur itu
menjadi kuburnya.” (HR. Muslim, no. 138)
Dalam riwayat lain, dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya,
bahwa: Arwa bintu Uwais menuduh Sa’id bin Zaid bahwa ia mengambil sesuatu dari
tanah miliknya, lalu ia menggugatnya kepada Marwan bin Al-Hakam. Maka Sa’id
berkata: “Apakah aku akan mengambil sesuatu dari tanahnya setelah apa yang aku
dengar dari Rosululloh ﷺ?” Marwan bertanya: “Apa yang engkau dengar
dari Rosululloh ﷺ?” Ia menjawab: “Aku mendengar Rosululloh ﷺ bersabda:
«مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ ظُلْمًا ، طُوِّقَهُ إِلَى سَبْعِ
أَرَضِينَ»
‘Barangsiapa
mengambil sejengkal tanah secara zholim, maka ia akan dikalungkan dengan tanah
itu hingga tujuh lapis bumi.’”
Maka Marwan
berkata kepadanya: “Aku tidak meminta bukti darimu setelah ini.” Lalu Sa’id
berkata:
اللهُمَّ إِنْ كَانَتْ كَاذِبَةً فَعَمِّ بَصَرَهَا ، وَاقْتُلْهَا فِي أَرْضِهَا
“Ya
Alloh, jika dia berdusta, maka butakanlah matanya dan matikanlah dia di
tanahnya.” Maka ia tidak mati hingga matanya buta, dan ketika ia sedang
berjalan di tanahnya, tiba-tiba ia jatuh ke dalam lubang dan mati di dalamnya. (HR.
Muslim no. 1610)
Hadits-Hadits Sa’id bin Zaid
Sa’id bin Zaid meriwayatkan 48 hadits. Dari jumlah tersebut, dua
hadits disepakati oleh Asy-Syaikhon (Al-Bukhori dan Muslim), dan satu
hadits diriwayatkan secara khusus oleh Al-Bukhori.
Di antara yang meriwayatkan hadits dari Sa’id bin Zaid
adalah: ‘Abdullah bin ‘Umar, Abu Thufail, ‘Amr bin Huroith, Zirr bin Hubaisy,
Abu ‘Utsman An-Nahdi, ‘Urwah bin Az-Zubair, ‘Abdullah bin Zholim, Abu Salamah
bin ‘Abdir Rohman, dan sejumlah lainnya. (Siyar A’lamin Nubala’,
Adz-Dzahabi, 1/125 dan 143)
Ayah Sa’id di Atas Agama Nabi Ibrohim
Zaid bin ‘Amr bin Nufail, ayah Sa’id, dahulu menyembah Allah
Ta’ala di atas agama Ibrohim
‘Alaihissalam.
Adz-Dzahabi (748 H) berkata: Ayah Sa'id, Zaid bin
Amr, termasuk orang yang lari menyelamatkan diri kepada Allah dari penyembahan
berhala. Ia berkelana di negeri Syam mencari agama yang lurus. Ia melihat kaum
Nasrani dan Yahudi, tetapi tidak menyukai agama mereka. Ia berkata: “Ya Allah,
aku berada di atas agama Ibrahim.” Namun, ia tidak menemukan syariat Ibrahim
'alaihis salam secara sempurna dan tidak menemukan orang yang bisa
membimbingnya. Ia termasuk orang yang selamat, karena Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersaksi bahwa ia akan dibangkitkan sebagai umat yang berdiri sendiri.
Ia adalah sepupu Kholifah Umar bin Al-Khaththab. Ia pernah melihat Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, tetapi tidak hidup sampai masa kenabian beliau.
Yunus bin Bukair—seorang ahli sejarah—meriwayatkan dari
Muhammad bin Ishaq, ia berkata: Dahulu sekelompok orang Quraisy—Zaid bin Amr
bin Nufail, Waroqoh bin Naufal, Utsman bin Al-Harits bin Asad, Ubaidullah bin
Jahsy, dan Umaimah binti Abdul Muththolib—hadir di dekat berhala milik
Quraisy saat mereka menyembelih hewan untuk perayaan. Ketika mereka berkumpul,
kelompok ini saling berbisik dan berkata:
تَعْلَمُنَّ
وَاللَّهِ مَا قَوْمُكُمْ عَلَى شَيْءٍ ، لَقَدْ أَخْطَئُوا دِينَ إِبْرَاهِيمَ وَخَالَفُوهُ
، فَمَا وَثَنٌ يُعْبَدُ لَا يَضُرُّ وَلَا يَنْفَعُ ، فَابْتَغُوا لِأَنْفُسِكُمْ
“Kalian tahu, demi Allah, kaum kalian tidak berada di atas
kebenaran. Mereka telah menyimpang dari agama Ibrahim dan menyelisihinya.
Berhala yang disembah tidak bisa memberi mudarat maupun manfaat. Maka carilah (kebenaran)
untuk diri kalian sendiri!”
Mereka pun pergi mencari dan berkelana di bumi, mendatangi
ahli kitab dari Yahudi dan Nasroni serta penganut agama lain, mencari millah
(ajaran atau agama) Ibrohim yang hanif (lurus atau tauhid). Waroqoh memeluk Nasroni dan mendalaminya, mengumpulkan
kitab-kitab, dan memiliki banyak ilmu. Di antara mereka, Zaid adalah yang
paling lurus jalannya: ia meninggalkan berhala dan agama-agama selain millah
Ibrahim, mengesakan Allah Ta’ala, dan tidak memakan sembelihan kaumnya.
Pamannya, Al-Khoththob, pernah menyiksanya sehingga
ia pindah ke atas Makkah
dan tinggal di Hiro’.
Al-Khoththob mengutus pemuda-pemuda bodoh untuk menghalanginya masuk Makkah,
sehingga ia hanya bisa masuk secara sembunyi-sembunyi.
Al-Khoth-thob—saudara ibunya—sering mencela Zaid
karena meninggalkan agama mereka. Zaid kemudian pergi ke Syam, Jazirah, dan
Mosul untuk bertanya tentang agama.
Yunus bin Bukair meriwayatkan dari Ibnu Ishaq dari Hisyam
dari ayahnya dari Asma bahwa Waraqah pernah berkata: “Ya Allah, seandainya aku
tahu wajah yang paling Engkau cintai, niscaya aku akan menyembah-Mu dengannya.
Tetapi aku tidak mengetahuinya.” Kemudian ia sujud di atas telapak tangannya.
Al-Bukhori meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar Rodhiyallahu
‘Anhuma bahwa:
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَقِيَ زَيْدَ بْنَ
عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ بِأَسْفَلِ بَلْدَحَ - اسْمُ مَكَانٍ - قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ
عَلَى النَّبِيِّ ﷺ الْوَحْيُ، فَقُدِّمَتْ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ سُفْرَةٌ، فَأَبَى أَنْ
يَأْكُلَ مِنْهَا، ثُمَّ قَالَ زَيْدٌ: إِنِّي لَسْتُ آكُلُ مِمَّا تَذْبَحُونَ عَلَى
أَنْصَابِكُمْ، وَلَا آكُلُ إِلَّا مَا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ، وَأَنَّ زَيْدَ
بْنَ عَمْرٍو كَانَ يَعِيبُ عَلَى قُرَيْشٍ ذَبَائِحَهُمْ، وَيَقُولُ: الشَّاةَ خَلَقَهَا
اللَّهُ، وَأَنْزَلَ لَهَا مِنَ السَّمَاءِ الْمَاءَ، وَأَنْبَتَ لَهَا مِنَ الْأَرْضِ،
ثُمَّ تَذْبَحُونَهَا عَلَى غَيْرِ اسْمِ اللَّهِ؛ إِنْكَارًا لِذَلِكَ، وَإِعْظَامًا
لَهُ
Nabi ﷺ
bertemu Zaid bin ‘Amr bin Nufail di daerah Asfal Baldah sebelum wahyu turun
kepada Nabi ﷺ.
Saat itu dihidangkan makanan kepada Nabi ﷺ, namun beliau tidak
mau memakannya. Zaid berkata: “Aku tidak makan sembelihan yang disembelih atas
nama berhala kalian. Aku hanya makan yang disebut nama Allah atasnya.” Zaid
mencela sembelihan Quroisy dan berkata: “Kambing itu Allah yang menciptakannya,
Allah turunkan hujan untuknya, Allah tumbuhkan rumput untuknya, lalu kalian
menyembelihnya atas nama selain Allah?” (HR. Al-Bukhori, no. 3826)
Dalam riwayat lain dari Ibnu Umar, ia berkata:
أَنَّ زَيْدَ بْنَ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ
خَرَجَ إِلَى الشَّأْمِ يَسْأَلُ عَنِ الدِّينِ وَيَتَّبِعُهُ، فَلَقِيَ عَالِمًا مِنَ
الْيَهُودِ، فَسَأَلَهُ عَنْ دِينِهِمْ، فَقَالَ: إِنِّي لَعَلِّي أَنْ أَدِينَ دِينَكُمْ،
فَأَخْبِرْنِي فَقَالَ: لَا تَكُونُ عَلَى دِينِنَا حَتَّى تَأْخُذَ بِنَصِيبِكَ مِنْ
غَضَبِ اللَّهِ، قَالَ زَيْدٌ: مَا أَفِرُّ إِلَّا مِنْ غَضَبِ اللَّهِ، وَلَا أَحْمِلُ
مِنْ غَضَبِ اللَّهِ شَيْئًا أَبَدًا، وَأَنَّى أَسْتَطِيعُهُ؟ فَهَلْ تَدُلُّنِي عَلَى
غَيْرِهِ؟ قَالَ: مَا أَعْلَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ حَنِيفًا، قَالَ زَيْدٌ: وَمَا
الْحَنِيفُ؟ قَالَ: دِينُ إِبْرَاهِيمَ، لَمْ يَكُنْ يَهُودِيًّا، وَلَا نَصْرَانِيًّا،
وَلَا يَعْبُدُ إِلَّا اللَّهَ، فَخَرَجَ زَيْدٌ فَلَقِيَ عَالِمًا مِنَ النَّصَارَى
فَذَكَرَ مِثْلَهُ، فَقَالَ: لَنْ تَكُونَ عَلَى دِينِنَا حَتَّى تَأْخُذَ بِنَصِيبِكَ
مِنْ لَعْنَةِ اللَّهِ، قَالَ: مَا أَفِرُّ إِلَّا مِنْ لَعْنَةِ اللَّهِ، وَلَا أَحْمِلُ
مِنْ لَعْنَةِ اللَّهِ وَلَا مِنْ غَضَبِهِ شَيْئًا أَبَدًا، وَأَنَّى أَسْتَطِيعُ؟
فَهَلْ تَدُلُّنِي عَلَى غَيْرِهِ؟ قَالَ: مَا أَعْلَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ حَنِيفًا،
قَالَ: وَمَا الْحَنِيفُ؟ قَالَ: دِينُ إِبْرَاهِيمَ، لَمْ يَكُنْ يَهُودِيًّا، وَلَا
نَصْرَانِيًّا، وَلَا يَعْبُدُ إِلَّا اللَّهَ، فَلَمَّا رَأَى زَيْدٌ قَوْلَهُمْ فِي
إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، خَرَجَ، فَلَمَّا بَرَزَ رَفَعَ يَدَيْهِ، فَقَالَ:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَشْهَدُ أَنِّي عَلَى دِينِ إِبْرَاهِيمَ
Zaid pergi ke Syam untuk mencari agama yang benar. Ia
bertemu dengan seorang ‘alim Yahudi yang mengatakan bahwa untuk masuk Yahudi,
ia harus menanggung bagian dari murka Allah. Zaid berkata: “Aku lari dari murka
Allah, bagaimana bisa aku menanggungnya?” Orang Yahudi itu berkata: “Aku tidak
tahu (yang benar) kecuali agama Hanif, yaitu
agama Ibrahim.” Kemudian ia bertanya kepada pendeta Nasroni dan mendapatkan jawaban serupa. Maka
Zaid pun berkata: “Ya Allah, aku bersaksi bahwa aku berada di atas agama Ibrohim.” (HR. Al-Bukhori,
no. 3827)
Al-Laits bin Sa’d berkata: Hisyam bin ‘Urwah bin Az-Zubair
menulis surat kepadaku dari ayahnya, dari Asma’ bintu Abi Bakr Rodhiyallahu ‘Anhuma,
ia berkata:
رَأَيْتُ زَيْدَ بْنَ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ
قَائِمًا مُسْنِدًا ظَهْرَهُ إِلَى الْكَعْبَةِ، يَقُولُ: يَا مَعَاشِرَ قُرَيْشٍ،
وَاللَّهِ مَا مِنْكُمْ عَلَى دِينِ إِبْرَاهِيمَ غَيْرِي، وَكَانَ يُحْيِي الْمَوْؤُودَةَ،
يَقُولُ لِلرَّجُلِ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَقْتُلَ ابْنَتَهُ: لَا تَقْتُلْهَا، أَنَا
أَكْفِيكَهَا مَؤُونَتَهَا، فَيَأْخُذُهَا، فَإِذَا تَرَعْرَعَتْ، قَالَ لِأَبِيهَا:
إِنْ شِئْتَ دَفَعْتُهَا إِلَيْكَ، وَإِنْ شِئْتَ كَفَيْتُكَ مَؤُونَتَهَا
“Aku melihat Zaid bin ‘Amr bin Nufail berdiri menyandarkan
punggungnya ke Ka’bah, lalu berkata: ‘Wahai kaum Quroisy, demi Allah tidak ada
seorang pun dari kalian yang berada di atas agama Ibrohim selain aku.’ Ia biasa
menyelamatkan bayi perempuan dari dikubur hidup-hidup. Ia berkata kepada sang
ayah bayi: ‘Jangan bunuh dia, aku yang menanggung nafkahnya.’ Lalu Zaid
mengasuhnya. Ketika ia sudah dewasa, ia berkata kepada bapaknya: ‘Aku serahkan
kepadamu jika kamu mau, atau aku tetap menanggung nafkahnya.” (HR. Al-Bukhori, no. 3823)
Martabat
Said
Sa’id bin Jubair berkata:
كَانَ مَقَامُ أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَلِيٍّ، وَسَعْدٍ، وَسَعِيدٍ،
وَطَلْحَةَ، وَالزُّبَيْرِ، وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاحِدًا، كَانُوا أَمَامَهُ فِي الْقِتَالِ، وَخَلْفَهُ
فِي الصَّلَاةِ
“Kedudukan Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Sa’d, Sa’id, Tholhah,
Az-Zubair, dan ‘Abdurrohman bin ‘Auf bersama Nabi ﷺ
adalah satu kedudukan; mereka berada di depan beliau dalam peperangan dan di
belakang beliau dalam sholat.” (Al-Ishobah fi Tamyiz Ash-Shohabah, 3/87)
Usia Wafat Sa’id bin Zaid
Sa’id bin Zaid Rodhiyallahu ‘Anhu wafat di daerah Al-’Aqiq,
dekat Madinah. Yang memandikannya adalah Sa’ad bin Abi Waqqosh. Kemudian ia
dibawa dan dimakamkan di Madinah. Yang turun ke liang lahad adalah Sa’ad bin
Abi Waqqosh dan ‘Abdullah bin ‘Umar. Beliau wafat pada tahun 50 atau 51 Hijriyah dalam usia lebih
dari 70 tahun. (Ath-Thobaqot Al-Kubro, Ibnu
Sa’d, 3/294)
Referensi
Diterjemahkan
dan ditambah dari:
1. https://www.alukah.net/culture/0/162818/%D8%B3%D8%B9%D9%8A%D8%AF-%D8%A8%D9%86-%D8%B2%D9%8A%D8%AF/
[1] Ucapan ini adalah bentuk
kecaman dan kesedihan mendalam dari Sa’id bin Zaid atas fitnah dan pembunuhan
keji terhadap ‘Utsman bin ‘Affan. Ia mengisyaratkan bahwa perbuatan yang
dilakukan terhadap ‘Utsman—yakni pemberontakan dan akhirnya dibunuh dalam
keadaan puasa dan membaca Al-Qur’an—adalah perbuatan besar, sangat zholim,
hingga seandainya Gunung Uhud bisa merasakan dan bereaksi terhadap kedzoliman
itu, maka pantas baginya untuk runtuh. Dalam satu nafas, Sa’id mengisahkan
dirinya disiksa oleh ‘Umar sebelum masuk Islam (yang kemudian menjadi pejuang
Islam), lalu langsung menyinggung tentang ‘Utsman yang diperlakukan secara
zholim meskipun ia seorang Sahabat utama. Ini mengandung isyarat: dulu
orang-orang kafir menyiksa kami karena Islam, tapi kini orang-orang mengaku
Muslim justru menumpahkan darah pemimpin yang sholih dan mulia.