[PDF] Tarjamah Ushulus Sunnah - Pokok Aqidah Salaf - Edisi 3 - Abu Bakr Al-Humaidi (219 H)
﷽
[Iman
Kepada Takdir]
* السُّنَّةُ عِنْدَنَا:
أَنْ يُؤْمِنَ الرَّجُلُ بِالقَدَرِ: خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، حُلْوِهِ وَمُرِّهِ.
Prinsip Sunnah (Aqidah)
menurut kami (para Ahli Hadits) adalah beriman kepada takdir, yang baik maupun
yang buruk, yang manis maupun yang pahit.
* وَأَنْ يَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَهُ
لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ، وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَهُ.
Meyakini bahwa apa saja
yang (ditulis dalam takdir) akan menimpanya, tidak akan meleset darinya; dan
apa yang (tertulis dalam takdir) meleset darinya, tidak akan menimpanya.
* وَأَنَّ ذَلِكَ كُلَّهُ قَضَاءٌ
مِنَ اللَّهِ عَزَّوَجَلَّ.
Semua itu merupakan
takdir dari Allah Azza wa Jalla.
[Imam
Ucapan dan Perbuatan, Bisa Bertambah dan Berkurang]
* وَأَنَّ الإِيمَانَ قَوْلٌ
وَعَمَلٌ.
Imam merupakan ucapan dan
perbuatan.
* يَزِيدُ وَيَنْقُصُ.
Bisa bertambah dan
berkurang.
* وَلَا يَنْفَعُ قَوْلٌ إِلَّا
بِعَمَلٍ، وَلَا عَمَلٌ وَقَوْلٌ إِلَّا بِنِيَّةٍ،
وَلَا قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَنِيَّةٌ إِلَّا بِسُنَّةٍ.
Ucapan tidak bermanfaat
tanpa amal; amal dan ucapan tidak bermanfaat tanpa niat (ikhlas); dan ucapan,
amal, dan niat tidak bermanfaat tanpa Sunnah (ittiba).
[Memuji
Seluruh Sahabat]
* وَالتَّرَحُّمُ عَلَى
أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ ﷺ كُلِّهِمْ، فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّوَجَلَّ قَالَ: ﴿وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنٌ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا
ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا
ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَٰنِ﴾ [الحشر: 10]، فَلَنْ يُؤْمِنَ إِلَّا بِالِاسْتِغْفَارِ لَهُمْ.
(Termasuk prinsip Aqidah
kami adalah) mendoakan ampun atas seluruh para Sahabat Muhammad ﷺ, karena Allah Azza wa Jalla berfirman: “Orang-orang
yang datang setelah para Sahabat berdoa: ‘Wahai Rob kami, ampunilah kami dan
sahabat-sahabat kami yang telah mendahului kami beriman (yakni Sahabat).’”
(QS. Al-Hasyr: 10). Maka, tidak dianggap beriman kecuali memohonkan ampunan
untuk mereka.
* فَمَنْ سَبَّهُمْ أَوْ
تَنَقَّصَهُمْ أَوْ أَحَدًا مِنْهُمْ، فَلَيْسَ عَلَى السُّنَّةِ ، وَلَيْسَ لَهُ فِي
الفَيءِ حَقٌّ.
Siapa yang memaki mereka
atau merendahkan mereka semua, bahkan meskipun seorang Sahabat saja, maka ia
tidak di atas Sunnah (Aqidah yang benar), dan ia tidak mendapatkan bagian harta
fai[1]
sedikitpun.
* أَخْبَرَنَا بِذَلِكَ غَيْرُ
وَاحِدٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ؛ أَنَّهُ قَالَ: «قَسَمَ اللَّهُ تَعَالَى الفَيءَ، فَقَالَ: ﴿لِلْفُقَرَآءِ ٱلْمُهَٰجِرِينَ ٱلَّذِينَ أُخْرِجُواْ مِن دِيَٰرِهِمْ﴾ [الحشر: 8]، ثُمَّ قَالَ: ﴿وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَٰنِ﴾ [الحشر: 10] ؛ فَمَنْ لَمْ يَقُلْ هَذَا لَهُمْ؛ فَلَيْسَ مِمَّنْ جُعِلَ
لَهُ الفَيءَ».
Tidak hanya satu orang
(dari perawi tsiqoh) yang mengabarkan kepada kami dari Malik bin Anas bahwa ia
berkata: “Allah telah menentukan bagian fai dalam firman-Nya: ‘Yaitu untuk
orang-orang fakir Muhajirin yang terusir dari kampung halamannya (Makkah),’
(QS. Al-Hasyr: 8) lalu Allah berfirman: ‘Orang-orang yang datang setelah
mereka (para Sahabat) berdoa: ‘Ya Allah, ampunilah kami dan saudara kami yang
telah mendahului kami beriman (yakni para Sahabat),’ (QS. Al-Hasyr: 10).
Maka, siapa yang tidak mendoakan mereka, ia tidak layak mendapatkan harta fai.”
[Al-Qur’an
Kalamullah]
* وَالقُرْآنُ: كَلَامُ
اللهِ.
Al-Quran adalah
Kalamullah.
* سَمِعْتُ سُفْيَانَ يَقُولُ:
«القُرْآنُ كَلَامُ اللهِ، وَمَنْ قَالَ مَخْلُوقٌ؛ فَهُوَ مُبْتَدِعٌ،
لَمْ نَسْمَعْ أَحَدًا يَقُولُ هَذَا».
Aku mendengar Sufyan bin
Uyainah berkata: “Al-Qur’an adalah Kalamullah, dan siapa yang mengatakan
makhluk maka ia seorang ahli bid’ah, dan kami tidak pernah mendengarkan seorang
pun (dari Ahlus Sunnah) yang berpendapat demikian (makhluk).”
[Pendapat
Sufyan Tentang Definisi Iman]
* وَسَمِعْتُ سُفْيَانَ
يَقُولُ: «الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، وَيَزِيدُ وَيَنْقُصُ»، فَقَالَ لَهُ أَخُوهُ إِبْرَاهِيمُ بْنُ عُيَيْنَةَ:
«يَا أَبَا مُحَمَّدٍ؛ لَا تَقُلْ يَنْقُصْ»، فَغَضِبَ؛ وَقَالَ: «اسْكُتْ يَا صَبِيُّ؛ بَلْ حَتَّى لَا يَبْقَى مِنْهُ
شَيءٌ».
Aku mendengar Sufyan bin
Uyainah berkata: “Iman adalah ucapan dan perbuatan, bisa bertambah dan
berkurang.” Lalu saudaranya bernama Ibrohim bin Uyainah berkata: “Wahai Abu
Muhammad, jangan mengatakan berkurang.” Sufyan marah dan berkata: “Diamlah
wahai bocah, bahkan sampai tidak tersisa sedikitpun.”
[Melihat
Allah di Akhirat]
* وَالإِقْرَارُ بِالرُّؤْيَةِ
بَعْدَ المَوْتِ.
(Termasuk prinsip Aqidah
kami adalah) menetapkan melihat Allah setelah wafat.
[Menetapkan
Sifat Allah]
* وَمَا نَطَقَ بِهِ القُرْآنُ
وَالحَدِيثُ مِثْلُ: ﴿وَقَالَتِ ٱلْيَهُودُ يَدُ ٱللَّهِ مَغْلُولَةٌۚ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ﴾ [المائدة: 64] وَمِثْلُ: ﴿وَٱلسَّمَٰوَٰتُ مَطْوِيَّـٰتٌ بِيَمِينِهِۦۚ﴾ [الزمر: 67] وَمَا أَشْبَهَ هَذَا مِنَ القُرْآنِ وَالحَدِيثِ، لَا
نَزِيدُ فِيهِ وَلَا نُفَسِّرُهُ، نَقِفُ عَلَى مَا وَقَفَ عَلَيْهِ القُرْآنُ وَالسُّنَّةُ.
(Termasuk prinsip Aqidah
kami adalah menetapkan) sifat-sifat yang dibicarakan Al-Quran dan hadits
shohih, seperti firman Allah: “Orang-orang Yahudi berkata: ‘Tangan Allah
terbelenggu,’ bahkan tangan mereka yang terbelenggu dan mereka dilaknat atas
ucapan mereka itu, akan tetapi tangan Allah terbentang.” (QS. Al-Maidah:
64). Juga seperti firman Allah: “Langit (pada hari Kiamat) dilipat dengan
tangan kanan-Nya.” (QS. Az-Zumar: 67). Begitu juga ayat dan hadits shohih
lainnya yang mirip ini, kami tidak menambahnya dan tidak menafsirkannya, kami
berhenti di mana Qur’an dan Sunnah berhenti.
* وَنَقُولُ: ﴿ٱلرَّحْمَٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ﴾ [طه: 5].
Kami berpendapat: “Allah
Yang Maha Pemurah tinggi di atas Arsy.” (QS. Thoha: 5)
* وَمَنْ زَعَمَ غَيْرَ هَذَا؛
فَهُوَ مُعَطِّلٌ جَهْمِيٌّ .
Siapa yang berpendapat
selain keyakinan ini, maka ia seorang Muathilah Jahmiyyah.
[Dosa
Besar Tidak Membatalkan Iman]
* وَأَلَّا نَقُولَ كَمَا
قَالَتِ الخَوَارِجُ: مَنْ أَصَابَ كَبِيرَةٌ فَقَدْ كَفَرَ.
Kami tidak berpendapat
seperti pendapatnya Khowarij yang mengatakan: “Siapa yang melakukan dosa besar
maka ia kafir.”
وَلَا تَكْفِيرَ بِشَيءٍ مِنَ
الذُّنُوبِ، وَإِنَّمَا الكُفْرُ فِي تَرْكِ الخَمْسِ الَّتِي قَالَ رَسُولُ اللهِ
ﷺ: «بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَلَّا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ﷺ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ
الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ البَيْتِ».
Dosa-dosa besar apapun
tidak sampai menyebabkan kafir. Akan tetapi menjadi kafir jika meninggalkan
lima perkara yang disabdakan Rosulullah ﷺ: “Islam
dibangun di atas lima perkara: syahadat lā ilāha illallāh dan muhammad
rosūlullāh, menegakkan sholat, menunaikan zakat, puasa Romadhon, dan haji ke
Ka’bah.”
* فَأَمَّا ثَلَاثٌ مِنْهَا
فَلَا يُنَاظَرُ تَارِكُهُ: مَنْ لَمْ يَتَشَهَّدْ، وَلَمْ يُصَلِّ، وَلَمْ يَصُمْ؛
لِأَنَّهُ لَا يُؤَخَّرُ شَيءٌ مِنْ هَذَا عَنْ وَقْتِهِ، وَلَا يُجْزِئُ مَنْ قَضَاهُ
بَعْدَ تَفْرِيطِهِ فِيهِ عَامِدًا عَنْ وَقْتِهِ.
Adapun tiga pertama,
tidak ada perselisihan pendapat tentang orang yang meninggalkannya (bahwa ia
kafir), yaitu [1] siapa yang tidak bersyahadat, [2] tidak sholat, dan [3] tidak
puasa, karena waktu pelaksanaan perkara ini tidak boleh ditunda, dan tidak sah orang
yang menqodhonya setelah meremehkan waktu pelaksanaannya dengan sengaja.
* فَأَمَّا الزَّكَاةُ فَمَتَى
مَا أَدَّاهَا أَجْزَأَتْ عَنْهُ وَكَانَ آثِمًا فِي الحَبْسِ.
Adapun zakat, kapan pun
ia menunaikannya maka sah, tetapi ia berdosa jika menahannya.
* وَأَمَّا الحَجُّ فَمَنْ وَجَبَ
عَلَيْهِ، وَوَجَدَ السَّبِيلَ إِلَيْهِ؛ وَجَبَ عَلَيْهِ.
Adapun haji, siapa yang
sudah terkena wajib haji dan mampu menempuh jalannya, maka menjadi wajib
baginya.
وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ فِي عَامِهِ
ذَلِكَ حَتَّى لَا يَكُونَ لَهُ مِنْهُ بُدٌّ.
Dia tidak wajib
menunaikan haji pada tahun tertentu kecuali memang harus melaksanakannya (kapanpun).
مَتَى أَدَّاهُ كَانَ مُؤَدِّيًا،
وَلَمْ يَكُنْ آثِمًا فِي تَأْخِيرِهِ إِذَا أَدَّاهُ، كَمَا كَانَ آثِمًا فِي الزَّكَاةِ،
لِأَنَّ الزَّكَاةَ حَقٌّ لِمُسْلِمِينَ مَسَاكِينَ حَبَسَهُ عَلَيْهِمْ؛ فَكَانَ
آثِمًا حَتَّى وَصَلَ إِلَيْهِمْ، وَأَمَّا الحَجُّ فَكَانَ فِيمَا بَيْنَهُ
وَبَيْنَ رَبِّهِ إِذَا أَدَّاهُ فَقَدْ أَدَى.
Kapan pun ia
melaksanakannya, maka ia dianggap telah melaksanakannya, dan ia tidak berdosa
jika menunda melaksanakannya, tidak sebagaimana dengan zakat, ia berdosa
menundanya, karena zakat adalah hak kaum Muslimin yang miskin. Ia berdosa
sampai harta itu sampai kepada mereka. Adapun haji, maka ia berkaitan antara
dirinya dengan Allah, jika sudah dikerjakan maka ia sudah gugur kewajibannya.
وَإِنْ هُوَ مَاتَ وَهُوَ وَاجِدٌ
مُسْتَطِيعٌ وَلَمْ يَحُجَّ، سَأَلَ الرَّجْعَةَ إِلَى الدُّنْيَا أَنْ يَحُجَّ.
Jika ia mati belum haji,
padahal ia mapan dan mampu, maka kelak ia akan meminta dikembalikan ke dunia
untuk berhaji.
وَيَجِبُ لِأَهْلِهِ أَنْ يَحُجُّوا
عَنْهُ، وَنَرْجُو أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ مُؤَدِّيًا عَنْهُ؛ كَمَا لَوْ كَانَ عَلَيْهِ
دَيْنٌ فَقُضِيَ عَنْهُ بَعْدَ مَوْتِهِ.
Keluarganya wajib menghajikannya,
dan kami berharap hal itu menggugurkan kewajibannya, sebagaimana jika ia
menanggung hutang lalu dilunasi oleh keluarganya sepeninggalnya.
***
[1] Fai dan ghonimah
sama-sama harta rampasan perang, bedanya jika didapatkan tanpa peperangan,
seperti musuh kabur, maka ia benama fai.
.jpg)
Izin download
Masya alloh ... jazakalloh khoir yaa akhi ... barokallohu fik