Bab 4 Bahasa Arab dan Ilmu | ADA APA DENGAN BAHASA ARAB | PUSTAKA SYABAB
Bab 4 Bahasa Arab dan Ilmu >> KEMBALI KE DAFTAR ISI Ilmu diibaratkan para ulama sebagai gudang yang tertutup rapat pintunya. Adapun...
Bab 4 Bahasa Arab dan Ilmu
Ilmu
diibaratkan para ulama sebagai gudang yang tertutup rapat pintunya. Adapun
kuncinya adalah bahasa Arab. Oleh karena itu, manfaat ilmu bisa diraih jika
tersedia kunci bahasa Arab. Maka, beruntunglah orang yang mencari kunci itu. Namun,
kata orang-orang bahasa Arab itu susah, sementara yang lain mengatakan mudah.
Manakah yang benar?
1. Benarkah Bahasa Arab Itu Mudah?
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa agama itu mudah berikut
mempelajari dan mengamalkannya. Beliau bersabda:
«إِنَّ الدِّينَ
يُسْرٌ»
“Sesungguhnya
agama itu mudah.”[1]
Oleh karena itu,
mempelajari bahasa Arab itu mudah karena bahasa Arab adalah bagian dari agama.
Dalil untuk hal ini adalah perkataan Umar Radhiyallahu ‘anhu:
تَعَلَّمُوا اللَّحْنَ وَالْفَرَائِضَ فَإِنَّهُ مِنْ
دِينِكُمْ
“Pelajarilah
lahn dan faraidh karena ia termasuk agama kalian.”[2]
Allah yang maha menepati janji-Nya
menegaskan dalam firman-Nya:
ﮋ ﭛ ﭜ ﭝ ﮊ
“Dan
sungguh Kami telah memudahkan al-Qur`an itu dengan bahasamu.”[3]
Imam al-Qurthubi
(w. 671 H) berkata, “Yakni Kami jelaskan al-Qur`an dengan bahasamu Arab dan
menjadikannya mudah bagi yang mentadaburi dan merenungi. Ada
yang berpendapat, ‘Kami menurunkannya kepadamu dengan bahasa Arab agar mudah
dipahami.’”[4]
Al-Hafizh Ibnu
Katsir (w. 774 H) berkata,
“Maksudnya, Kami mudahkan al-Qur`an ini yang Kami turunkan semudah-mudahnya,
sejelas-jelasnya, seterang-terangnya, dan segamblang-gamblangnya dengan
bahasamu yang merupakan bahasa paling agung, indah, dan tinggi.”[5]
Syaikh as-Sa’di (w.
1376 H) berkata, “Maksudnya, Kami telah mudahkan ia dengan bahasamu yang
merupakan bahasa yang paling fasih secara mutlak dan paling agung, sehingga
karenanya kamu dimudahkan lafazhnya dan kamu dimudahkan maknanya.”[6]
Jika ada yang
bertanya, “Jika benar mudah, mengapa banyak orang yang mengeluh susah saat
masa-masa mempelajarinya?” Penulis jawab, “Anda harus yakin bahwa Allah tidak
akan menyalahi janji-Nya. Kemudian, Anda bersungguh-sungguh dalam
mempelajarinya, sabar, dan tidak lupa meminta pertolongan kepada Allah karena
manusia adalah hamba yang lemah. Dengan begitu, Allah akan benar-benar
menunaikan janji-Nya. Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
«الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللّٰهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ
الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ، احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
وَلَا تَعْجَزْ»
“Orang Mukmin
yang kuat lebih baik dan dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah.
Masing-masing ada kebaikannya. Bersemangatlah dalam apa yang bermanfaat bagimu
dan mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah.”[7]
Syaikh Fuad
Abdul Baqi menjelaskan, “Yang dimaksud kuat di sini adalah kemauan jiwa
yang kuat dan tinggi dalam urusan Akhirat, sehingga orang yang memiliki sifat
ini kebanyakan berada di garda depan saat jihad melawan musuh dan bersegera
menyongsongnya dan lari menerjangnya. Dia sangat kuat keinginannya untuk
beramar ma’ruf nahi mungkar dan bersabar atasnya, memikul penderitaan di jalan
Allah, sangat rindu untuk shalat, puasa, dzikir, dan semua ibadah. Dia rajin
melaksanakannya dan menjaganya.” Lanjutnya, “Maksud bersemangat adalah
dalam ketaatan kepada Allah dan bersemangat untuk mendapatkan apa yang ada di sisi-Nya.
Dia meminta pertolongan kepada Allah dalam melaksanakannya, tidak lemah, dan
tidak malas dalam meminta ketaatan dan pertolongan.”[8]
Fadhilatusy
Syaikh al-Utsaimin (w. 1421 H) berkata, “Pada awalnya, nahwu itu sulit tetapi
pada akhirnya mudah. Ia diumpamakan seperti sebuah rumah rotan dan pintunya
besi. Yakni, masuknya memang sulit tetapi setelah Anda masuk akan mudah segala
sesuatunya bagi
Anda. Oleh karena itu, semestinya bagi seseorang untuk bersungguh-sungguh saat
awal-awal mempelajarinya sehingga akan mudah baginya di sisanya. Tidak perlu
memperhatikan ucapan seseorang, ‘Nahwu itu sulit!’ karena hanya
akan menjadikan pelajar merasa minder. Ini tidaklah benar, tetapi sukar di awal dan mudah bagi
Anda di sisanya.
Perkataan seseorang, ‘Nahwu itu sukar dan panjang tangganya...’ ini tidaklah
benar. Kami tidak sependapat dengan ini, bahkan kami katakan, ‘Nahwu itu mudah
dan tangganya pendek serta pendakiannya mudah dari awalnya, insya Allah. Maka
pahamilah.’”[9]
Mempelajari
bahasa Arab akan lebih mudah bila berguru langsung kepada ahlinya yang akan
mendekatkan sesuatu yang jauh, memperjelas sesuatu yang tersamar, menunjukkan
jalan-jalan yang mudah, dan menghemat waktu. Allahu a’lam.
2. Kitab yang Direkomendasikan
Banyak para ulama yang mengarang
kitab tentang kaidah bahasa Arab. Ada yang berupa mandhumah maupun mantsurah,
yang singkat maupun yang panjang lebar. Di
antara yang paling masyhur dan lengkap pembahasannya adalah Alfiyah Ibnu
Mâlik berisi 1.000 bait syair lebih dengan syarahnya oleh Ibnu Aqil.
Sementara yang ringan dan ringkas adalah al-Ajurrumiyah karya ash-Shanhaji. Di antara
kitab bahasa Arab yang beredar dan banyak di pakai di pesantren dan lembaga
pendidikan Islam adalah: Durûsul Lughah Lighairin Nâthiqîn Bihâ 3 jilid
oleh Prof. Dr. Abdurrahim, al-Arâbiyyah Baina Yadaik 6 jilid, Nahwul
Wâdhih 3 jilid oleh Ali Jarim dan Musthafa Amin, al-Mulakhkhash, Tashriful
‘Izzi, dan al-Amtsilah at-Tashrîfiyyah.
Masing-masing kitab memiliki kelebihan-kelebihan
tersendiri sehingga menurut sebagian orang kitab A lebih mudah baginya dari
pada kitab B, tetapi tidak untuk yang lain. Hanya saja, Penulis pribadi lebih
condong kepada pendapatnya Syaikh al-Utsaimin yang merekomendasikan kitab al-Ajurrumiyah
untuk dihafal dan dipelajari[10].
Kitabnya kecil sekitar 10 halaman sehingga hanya membutuhkan 10 hari saja untuk
menghafalnya. Barangkali ini berlaku bagi mereka yang memiliki tekad yang kuat
atau telah akrab dan terbiasa dengan bahasa Arab. Namun bagi
pemula, akan lebih baik mempelajari dulu Durûsul Lughah atau al-Arabiyyah
baina Yadaik agar lebih menyenangkan, mudah, dan mengakrabkan lisan dengan
percakapan. Penulis sendiri sudah menyusun
dua modul bahasa Arab untuk orang awam dari nol bernama Bahasa Arab Metode
Balik Tangan dan Bahasa Arob Khusus Untuk Memahami Quran dan Hadits,
dan bisa dodonwload di www.terjemahmatan.com .
Adapun dalam ilmu sharaf, Penulis
merekomendasikan al-Amtsilah at-Tashrifiyah untuk dihafal. Allahu
a’lam.
Hamzah Abbas Lawadi berkata, “Satu hal yang juga
penting diperhatikan dalam mempelajari bahasa Arab, khususnya bagi pemula yang
belum pernah belajar bahasa Arab sebelumnya, yaitu dengan mempelajarinya secara
bertahap. Pembelajaran hendaknya dimulai dari yang mudah terlebih dahulu,
kemudian setelah itu baru mulai mempelajari yang lebih sulit.
Dalam hal ini, para pengajar hendaknya
memperhatikan permasalahan tersebut secara lebih serius. Mereka hendaknya
memilihkan materi pembelajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan mereka
sekarang. Seorang pengajar hendaknya tidak mengajarkan apa yang mereka
inginkan, namun lebih memilih apa yang sekarang ini mereka butuhkan dan mampu
dipahami.
Bagi seorang pemula, kami sarankan untuk tidak
mempelajari kaidah-kaidah nahwu dan sharaf terlebih dahulu. Hal tersebut
dikarenakan kaidah-kaidah tersebut akan terasa sulit dipahami dan dicerna bagi
para pemula, terlebih jika mereka diminta untuk menghafalnya.
Kenyataan yang terjadi di dunia pembelajaran bahasa
Arab, banyak sekali orang-orang yang belajar dengan materi ini di awal proses
belajarnya. Sebagian besar, bahkan hampir seluruhnya berguguran di tengah
jalan, sulit ditemukan seorang pembelajar yang dapat menyelesaikan pembelajarannya
hingga tuntas. Oleh karena itu, muncullah di tengah-tengah masyarakat satu
paradigma bahwa bahasa Arab itu sulit dipelajari, padahal tidak demikian.
Paradigma ini muncul karena sering kali para
pembelajar, khususnya para pemula, terburu-buru untuk bisa segera mahir dalam
bahasa Arab, yaitu dengan memilih ilmu nahwu dan sharaf sebagai materi awal
pembelajarannya. Hal tersebut dilakukan dengan harapan agar mereka bisa lebih
cepat mahir berbahasa Arab. Padahal tidak demikian, hal ini justru akan semakin
menyulitkan mereka memahami pembelajaran bahasa.
Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti ilmu nahwu
dan sharaf tidak perlu dipelajari, yang dianjurkan adalah memilih waktu yang
tepat untuk mengajarkannya. Adapun waktu yang tepat menurut hemat Penulis
adalah setelah mereka dibekali mufradat dan pendahuluan yang cukup
sebagai bekal menghadapi pelajaran nahwu dan sharaf.
Inilah sistem pembelajaran bahasa Arab modern yang
kami temukan dewasa ini. Hampir seluruh kurikulum pembelajaran bahasa Arab di perguruan-perguruan
tinggi terkemuka di Timur Tengah memilih sistem ini. Mereka tidak memulai
kurikulum nahwu dan sharaf di awal pembelajaran, tetapi mereka meletakkanya
setelah masuk semester kedua atau pada tahun berikutnya.”[11]
3. Hukum
Mempelajari Bahasa Arab
a.
Kewajiban Setiap Muslim
Hukum mempelajari bahasa Arab ada
dua, fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Syaikhul Islam (w. 728 H) berkata:
إِنَّ نَفْسَ
اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ مِنَ الدِّينِ، وَمَعْرِفَتُهَا فَرْضٌ وَاجِبٌ، فَإِنَّ
فَهْمَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَرْضٌ وَلَا يُفْهَمُ إِلاَّ بِفَهْمِ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ،
وَمَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ. ثُمَّ مِنْهَا مَا هُوَ
وَاجِبٌ عَلَى الْأَعْيَانِ وَمِنْهَا مَا هُوَ وَاجِبٌ عَلَى الْكِفَايَةِ
“Bahasa Arab itu bagian dari agama.
Mempelajarinya adalah sangat diwajibkan, karena memahami al-Kitab dan
as-Sunnah adalah wajib, dan keduanya tidak bisa dipahami kecuali dengan bahasa
Arab. Kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu
itu hukumnya wajib. Kemudian, di antara bahasa Arab itu ada yang fardhu ‘ain
dan ada yang fardhu kifayah.”[12]
Wajib bagi setiap Muslim untuk mempelajari
bagian tertentu dari bahasa Arab sekedarnya untuk membantu pelaksanakan
ibadah-ibadah yang Allah wajibkan kepadanya sehingga terhindar dari kekeliruan.
Inilah fardhu ‘ain yang dimaksud.
Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) berkata:
فَعَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَتَعَلَّمَ مِنْ لِسَانِ الْعَرَبِ
مَا بَلَغَهُ جُهْدُهُ حَتَّى يَشْهَدَ بِهِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللّٰهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَيَتْلُوْا بِهِ كِتَابَ اللّٰهِ وَيَنْطِقَ بِالذِّكْرِ
فِيمَا افْتُرِضَ عَلَيهِ مِنَ التَّكْبِيرِ وَأُمِرَ بِهِ مِنَ التَّسْبِيحِ وَالتَّشَهُّدِ
وَغَيْرِ ذَلِكَ، وَمَا ازْدَادَ مِنَ الْعِلْمِ بِاللِّسَانِ الَّذِي جَعَلَ اللّٰهُ
لِسَانَ مَنْ خَتَمَ بِهِ نُبُوَّتَهُ وَأَنْزَلَ بِهِ آخِرَ كُتُبِهِ كَانَ خَيْراً
لَهُ
“Wajib bagi setiap Muslim belajar
bahasa Arab dengan
sungguh-sungguh agar benar dalam bersyahadat lâilaha illallâh dan muhammadun
abduh wa rasûluh, membaca Kitabullah, melafazhkan dzikir yang diwajibkan
atasnya seperti takbir, tasbih, tasyahhud, dan lain-lain. Jika dia berkenan lebih mendalami
bahasa yang dijadikan Allah sebagai bahasa penutup para nabi-Nya dan bahasa
kitab terakhir yang diturunkan-Nya ini, maka itu lebih baik baginya.”[13]
Pendapat ini dikuatkan dengan sebuah
riwayat bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu memerintahkan Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu
‘anhu dan kaumnya untuk mempelajari bahasa Arab, sementara hukum asal
perintah adalah wajib.
Umar bin Zaid
berkata:
كَتَبَ
عُمَرُ إلَى أَبِي مُوسَى: أَمَّا بَعْدُ فَتَفَقَّهُوا فِي السُّنَّةِ
وَتَفَقَّهُوا فِي الْعَرَبِيَّةِ
وَأَعْرِبُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ عَرَبِيٌّ
“Umar menulis
surat kepada Abu Musa, ‘Amma ba’du: pelajarilah as-Sunnah, pelajarilah
bahasa Arab, pelajarilah i’rab al-Qur`an karena ia berbahasa Arab.’”[14]
Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu
berkata:
تَعَلَّمُوا
الْعَرَبِيَّةَ كَمَا تَعَلَّمُونَ حِفْظَ الْقُرْآنِ
“Pelajarilah bahasa Arab seperti
kalian mempelajari hafalan al-Qur`an.”[15]
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«أَعْرِبُوا الْقُرْآنَ
وَالْتَمِسُوا غَرَائِبَهُ»
“I’rablah al-Qur`an
dan carilah kosa-kata asingnya.”[16]
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«تَعَلَّمُوا مِنَ
الْعَرَبِيَّةِ مَا تُعْرِبُونَ بِهِ كِتَابَ اللّٰهِ»
“Pelajarilah
bahasa Arab yang kalian gunakan untuk mengi’rab al-Qur`an.”[17]
Hukum mempelajari bahasa Arab yang
kedua adalah fardhu kifayah. Jika telah ada sekelompok kaum Muslimin
yang mempelajarinya maka telah mencukupi. Bagian bahasa Arab yang fardhu
kifayah ini adalah yang bersifat pendalaman dan pelengkap seperti fan
balaghah, insyiqaq, atau bagian bahasa Arab lainnya yang bersifat pendalaman.
Hukum ini lebih ditekankan lagi bagi
penuntut ilmu, ahli ilmu, dai, dan pengajar. Para ulama telah sepakat bahwa di
antara syarat yang harus dipenuhi bagi seorang mujtahid atau mufti adalah
memahami bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya seperti nahwu,
sharaf, balaghah, dan lain-lain. Allahu a’lam.
b.
Mendahulukan Bahasa Arab atas Selainnya
Sepatutnya bagi penuntut ilmu untuk
mendahulukan bahasa Arab atas bahasa lainnya dan ilmu lainnya. Jalan ini adalah
jalan yang ditempuh oleh orang-orang terdahulu yang sukses dalam mendalami
bidang ilmu Islam.
Imam al-Baihaqi (w.
458 H) berkata:
وَيَنْبَغِي
لِمَنْ أَرَادَ طَلَبَ الْعِلْمِ، وَلَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِ لِسَانِ الْعَرَبِ
أَنْ يَتَعَلَّمَ اللِّسَانَ أَوَّلًا وَيَتَدَرَّبَ فِيهِ، ثُمَّ يَطْلُبَ عِلْمَ
الْقُرْآنِ، ولَنْ يصِحَّ لَهُ مَعَانِي الْقُرْآنِ إِلَّا بِالْآثَارِ
وَالسُّنَنِ، وَلَا مَعَانِي السُّنَنِ وَالْآثَارِ إِلَّا بِأَخْبَارِ
الصَّحَابَةِ، وَلَا أَخْبَارُ الصَّحَابَةِ إِلَّا بِمَا جَاءَ عَنِ
التَّابِعِينَ
“Sepatutnya bagi
seseorang yang ingin menuntut ilmu sementara dia bukan ahli berbahasa Arab
untuk pertama kalinya dengan mempelajari bahasa Arab dan mempraktikannya, baru
kemudian mempelajari ilmu al-Qur`an. Makna-makna al-Qur`an tidak akan benar
baginya kecuali dengan atsar-atsar dan sunnah-sunnah, dan tidak akan benar
makna-makna sunnah dan atsar kecuali dengan penjelasan para shahabat, dan tidak
ada penjelasan para shahabat kecuali dengan apa yang datang dari para tabi’in.”[18]
Waki’ bin
Jarrah (w. 197 H) guru besar Imam asy-Syafi’i berkata:
أَتَيْتُ
الْأَعْمَشَ أَسْمَعُ مِنْهُ الْحَدِيْثَ وَكُنْتُ رُبَمَا لَحَنْتُ فَقَالَ لِي:
يَا أَبَا سُفْيَانَ! تَرَكْتَ مَا هُوَ أَوْلَى بِكَ مِنَ الْحَدِيْثِ. فَقُلْتُ:
يَا أَبَا مُحَمَّدٍ! وَأَيُّ شَيْءٍ أَوْلَى مِنَ الْحَدِيْثِ؟ فَقَالَ: النَّحْوُ.
فَأَمْلَى عَلَيَّ الْأَعْمَشُ النَّحْوَ ثُمَّ أَمْلَى عَلَيَّ الْحَدِيْثَ
“Aku mendatangi
al-A’masy untuk mendengarkan hadits darinya dan terkadang aku mengalami lahn,
lalu dia berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Sufyan! Kamu telah meninggalkan sesuatu
yang lebih utama bagimu daripada hadits.’ Aku bertanya, ‘Wahai Abu Muhammad!
Apa itu yang lebih utama daripada hadits?’ Dia menjawab, ‘Nahwu.’ Lalu
al-A’masy mengajariku nahwu baru kemudian menyampaikan hadits kepadaku.”[19]
Syu’bah berkata:
مَنْ
طَلَبَ الْحَدِيْثَ فَلَمْ يُبْصِرِ الْعَرَبِيَّةَ فَمَثَلُهُ مَثَلُ رَجُلٍ
عَلَيْهِ بُرْنُسُ وَلَيْسَ لَهُ رَأْسٌ
“Barangsiapa
mencari hadits tetapi tidak memahami bahasa Arab, maka perumpamaannya seperti seseorang yang memakai burnus
(sejenis mantel) tetapi tidak
memiliki kepala.”[20]
c.
Hukum Mempelajari Selain Bahasa Arab
Hukum mempelajari bahasa lain selain
bahasa Arab hukumnya mubah, bahkan menjadi wajib untuk urusan dakwah ilallah.
Dalil kebolehannya adalah sebuah
riwayat bahwa Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata:
أَمَرَنِي
رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَعَلَّمَ لَهُ كَلِمَاتٍ
مِنْ كِتَابِ يَهُودَ قَالَ: «إِنِّي واللّٰهِ مَا آمَنُ يَهُودَ عَلَى كِتَابٍ»
قَالَ: فَمَا مَرَّ بِي نِصْفُ شَهْرٍ حَتَّى تَعَلَّمْتُهُ لَهُ. قَالَ: فَلَمَّا
تَعَلَّمْتُهُ كَانَ إِذَا كَتَبَ إِلَى يَهُودَ كَتَبْتُ إِلَيْهِمْ، وَإِذَا كَتَبُوا
إِلَيْهِ قَرَأْتُ لَهُ كِتَابَهُمْ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyuruhku untuk mempelajari tulisan-tulisan surat Yahudi. Beliau
bersabda, ‘Demi Allah aku tidak akan percaya dengan surat Yahudi.’ Aku
pun mempelajarinya dan tidaklah berlalu bagiku kecuali setengah bulan untuk
menguasainya. Setelah aku mahir, bila beliau ingin menyurati Yahudi aku yang
menulis dan bila beliau disurati aku yang membacakannya untuk beliau surat
mereka.”[21]
Dari jalan lain, Zaid bin Tsabit radhiyallahu
‘anhu berkata:
أَمَرَنِي
رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَعَلَّمَ السُّرْيَانِيَّةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyuruhku untuk mempelajari bahasa Suryani.”[22]
Fadhilatusy Syaikh al-Utsaimin (w.
1421 H) pernah ditanya tentang hukum mempelajari bahasa Inggris pada waktu
sekarang? Beliau menjawab, “Mempelajarinya hanyalah sebagai wasilah
(pelantara/alat), yaitu saat engkau memerlukannya sebagai alat untuk mengajak
manusia kepada Allah. Namun, terkadang mempelajarinya menjadi wajib. Hanya
saja, jika engkau tidak memerlukannya maka janganlah engkau menyibukkan waktumu
untuk itu, tetapi sibukkanlah dengan pelajaran yang lebih penting dan lebih
bermanfaat. Kebutuhan manusia itu berbeda-beda dalam mempelajari bahasa
Inggris. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan Zaid bin
Tsabit untuk mempelajari bahasa Yahudi. Maka, mempelajari bahasa Inggris
hanyalah sebagai salah satu alat. Jika engkau memerlukannya maka boleh
mempelajarinya, jika tidak perlu maka janganlah engkau sia-siakan waktumu untuk
itu.”[23]
Beliau juga pernah ditanya,
“Bagaimana pendapat Anda tentang seorang penuntut ilmu mempelajari bahasa
Inggris terutama untuk berdakwah mengajak manusia kepada Allah?” Beliau
menjawab, “Kita melihat bahwa mempelajari bahasa Inggris hanyalah wasilah,
tanpa diragukan. Bisa menjadi wasilah (pelantara) yang baik jika hal itu untuk
tujuan yang baik dan bisa juga jelek jika tujuannya jelek. Akan tetapi sesuatu
yang wajib dijauhi adalah menjadikannya sebagai pengganti dari bahasa Arab,
maka ini tidak boleh. Kita telah mendengar sebagian orang bodoh berbicara
dengan bahasa Inggris sebagai pengganti bahasa Arab sehingga sebagian orang
bodoh lagi rugi itu menjadikan mereka sebagai ekor bagi orang lain, mereka
mengajari anak-anak mereka cara penghormatan orang-orang kafir. Mereka
mengajarkan ucapan bye-bye ketika berpisah, dan yang serupa dengannya.
Karena mengganti bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Qur`an sebagai bahasa
yang paling mulia adalah haram. Dan telah shahih dari kalangan Salaf tentang
larangan berbicara dalam bahasa asing (selain Arab) padahal yang dilarang bukan
orang Arab.
Adapun menggunakan bahasa Inggris
sebagai wasilah bagi dakwah, maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu terkadang
menjadi wajib. Saya tidak mempelajarinya dan saya berandai-andai dulu
mempelajarinya karena saya temukan dalam beberapa kesempatan bahwa saya amat
membutuhkannya karena penerjemah tidak mungkin mengungkapkan apa yang ada di
dalam hati saya secara sempurna.
Saya akan ceritakan sebuah kisah
kepada kalian yang terjadi di masjid bandara di Jeddah beserta beberapa tokoh
Islam. Kami berceramah setelah shalat Shubuh tentang madzhab Tijani dan itu
adalah madzhab bathil dan kufur dalam Islam. Saya berbicara dengan apa yang
saya ketahui tentang madzhab itu. Lalu datanglah seseorang dan berkata, ‘Saya
ingin Anda mengizinkan saya untuk menerjemahkan dengan bahasa Husa.’ Lalu saya
berkata, ‘Tidak apa-apa.’ Lalu dia menerjemahkannya. Lalu masuklah seorang
laki-laki dengan tergesa-gesa lalu berkata, ‘Orang yang menerjemahkan ucapan
Anda tadi memuji madzhab Tijaniyah!’ Saya pun tercengang dan bekata, ‘Innâ
lillâhi wa innâ ilaihi râjiûn, seandainya saya mengetahui bahasa ini maka
saya tidak membutuhkan orang-orang penipu ini.’ Kesimpulannya, bahwa mengetahui
bahasa lawan bicara --tanpa diragukan-- sangatlah penting dalam menyampaikan
informasi. Allah ta’ala berfirman:
ﮋ ﮖ ﮗ
ﮘ ﮙ ﮚ
ﮛ ﮜ ﮝ ﮞﮟ ﮊ
‘Dan tidaklah Kami mengutus seorang
rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya supaya dia menjelaskan kepada
mereka.’”[24]
[25]
d.
Menyesal Karena Enggan Belajar Bahasa Arab
Penyesalan selalu datang belakangan.
Ada yang menyesal disebabkan keengganan dan sibuk dengan urusan dunianya. Ada
pula yang menyesal disebabkan dulu belum memaksimalkan waktunya, disibukkan
dengan aktifitas dakwah, atau keluarga. Orang yang berbahagia adalah siapa yang
Allah selamatkan dari dua jenis musibah ini.
Saat uban mulai
tumbuh, saat kesibukan merangkul dari setiap penjuru, saat tertimpa musibah dan
persoalan yang buntu, saat memutuskan menjadi ahli ilmu, maka saat itulah dia
berteriak pilu karena tidak mampu menangis saat membaca al-Qur`an yang
berbahasa Arab. Dia kesulitan mentadaburi lafazh-lafazhnya dan uslub-uslubnya.
Dia terhalangi dari menikmati keindahan sastranya. “Andai dulu aku meluangkan
waktu mempelajari bahasa Arab meski sepenggal waktu,” gumamnya. Semoga ini
tidak terucap nanti.
Atha` bin Abi Rabbah[26]
rahimahullah (w. 114 H) berkata:
وَدِدْتُ
أَنِّي أُحْسِنُ العَرَبِيَّةَ
“Aku sangat
ingin untuk memperbagus bahasa Arabku.”[27]
4. Tiga Pengaruh Agung Bahasa Arab Bagi Orang
Mukmin
Bahasa Arab
adalah bahasa al-Qur`an, sementara al-Qur`an adalah petunjuk yang lurus bagi
manusia dan isinya tidak lain semuanya adalah ilmu. Dari sini kita
bertanya-tanya, sebenarnya ada apa dengan bahasa Arab sehingga digunakan
sebagai wasilah yang dengannya al-Qur`an bisa terbaca dan dipahami? Setidaknya
ada tiga hikmah diturunkannya al-Qur`an berbahasa Arab yang memiliki pengaruh
agung bagi orang Mukmin.
Berikut pembahasannya.
a. Pengaruh Spiritual
Al-Qur`an
diturunkan Allah dengan berbahasa Arab agar manusia semakin bertakwa
kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ﮋ ﰃ ﰄ
ﰅ ﰆ ﰇ
ﰈ ﰉ ﰊ
ﰋ ﰌ ﰍ
ﰎ ﰏ ﰐ
ﰑ ﮊ
“Dan
demikianlah Kami menurunkan Kitab itu berupa al-Qur`an dengan berbahasa Arab
dan Kami sebutkan ancaman secara berulang-ulang di dalamnya, supaya mereka bertaqwa
atau menimbulkan kesadaran bagi mereka.”[28]
Juga
firman Allah ta’ala:
ﮋ ﯣ ﯤ
ﯥ ﯦ ﯧ
ﯨ ﯩ ﯪ ﮊ
“Al-Qur`an
berbahasa Arab tanpa ada kebengkokan supaya mereka bertaqwa.”[29]
Orang yang
membaca al-Qur`an akan terguncang hatinya karena indahnya uslub-uslub
bahasanya, dalamnya makna kata yang dimilikinya, dan kesesuaian dalam pemilihan
kata antara ghayah dan lafazh yang digunakannya. Ini semua tidak
dimiliki oleh bahasa manapun, tetapi hanya ada dalam bahasa Arab karena
kefasihan bahasanya dan ini hanya bisa dinikmati oleh ahlinya, tidak selainnya.
Tentang kefasihan ini, Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan:
ﮋ ﮓ ﮔ
ﮕ ﮖ ﮗ
ﮘ ﮙ ﮚ
ﮛ ﮜ ﮝ
ﮞ ﮟ ﮠ
ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ
ﮦ ﮊ
“Dan
sesungguhnya dia benar-benar diturunkan dari Rabb semesta alam. Dibawa turun
oleh ar-Ruhul Amin kepada hatimu supaya kamu menjadi pemberi peringatan, dengan
bahasa Arab yang jelas (fasih).”[30]
Al-Qur`an
menjadi kalam yang enak dibaca dan meninggalkan bekas yang sangat mendalam bagi
pembacanya, sampai-sampai bergetar hati yang membacanya dan berlinang air
matanya. Ini tidak lain adalah pengaruh makna-makna yang mendalam pada bahasa
Arab yang dengannya al-Qur`an dibaca. Para shahabat adalah contoh nyata dalam
hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
ﮋ ﭧ ﭨ
ﭩ ﭪ ﭫ
ﭬ ﭭ ﭮ
ﭯ ﭰ ﭱ
ﭲ ﭳ ﭴ
ﭵ ﭶ ﭷ
ﭸ ﮊ
“Sesungguhnya
orang-orang Mukmin itu hanyalah orang-orang yang apabila disebut nama Allah
maka bergetarlah hati-hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka, dan hanya kepada Rabb-nya
mereka bertawakal.”[31]
Dari Abdullah
bin Urwah bin Zubair bahwa dia bertanya kepada neneknya --Asma` binti Abu Bakar
radhiyallahu ‘anhuma--:
كَيْفَ كَانَ يَصْنَعُ أَصْحَابُ رَسُولِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَرَءُوا الْقُرْآنَ؟ قَالَتْ: كَانُوا كَمَا نَعَتَهُمُ
اللّٰهُ عَزَّ وَجَلَّ: تَدْمَعُ أَعْيُنُهُمْ وَتَقْشَعِرُّ جُلُودُهُمْ
“Bagaimana
keadaan shahabat Rasulullah shallallau ‘alaihi wa sallam apabila mereka
membaca al-Qur`an?” Dia menjawab, “Mereka seperti yang disifatkan Allah azza
wa jalla, ‘Mata mereka berlinang air mata dan kulit-kulit mereka
bergetar.’”[32]
Di sini Allah subhanahu
wa ta’ala mengabarkan bahwa bacaan yang menggetarkan jiwa ini menghasilkan
buah tawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga bertambahlah
rasa takut dan ketaqwaan mereka kepada-Nya.
Orang-orang yang
bisa mentadaburi al-Qur`an dengan bantuan bahasa Arabnya memiliki tingkat
spiritual yang tinggi kepada Rabb-nya. Hidupnya selalu bergantung kepada-Nya,
sehingga lapang dadanya dan mendapat sebaik-baik bimbingan dan petunjuk. Adapun
selain mereka, tidak bisa mengambil manfaat dari al-Qur`an kecuali hanya
sedikit, sehingga sempit hidupnya dan banyak mengalami keraguan dan kegoncangan
dalam hidupnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ﮋ ﯳ ﯴ
ﯵ ﯶ ﯷ
ﯸ ﯹ ﯺ
ﯻ ﯼ ﯽ
ﯾ ﯿ ﰀ
ﰁ ﰂ ﰃ
ﰄ ﰅ ﰆ
ﰇ ﰈ ﭑ
ﭒ ﭓ ﭔ ﭕﭖ ﭗ
ﭘ ﭙ ﭚ ﮊ
“Dan
barangsiapa yang berpaling dari al-Qur`an-Ku, maka dia akan mendapatkan
kehidupan yang sempit dan kelak Kami akan menggiringnya pada hari Kiamat dalam
keadaan buta. Dia berkata, ‘Wahai Rabb-ku, mengapa Engkau menggiringku dalam
keadaan buta padahal dahulunya aku bisa melihat?’ Allah berfirman,
‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami lalu kamu melupakannya, dan
demikian pula pada hari ini kamu pun dilupakan.’”[33]
Abdullah bin
Mas’ud (w. 32 H) radhiyallahu
‘anhu berkata:
إِنَّ الْقُرْآنَ
شَافِعٌ وَمُشَفَّعٌ وَمَاحِلٌ مُصَدِّقٌ فَمَنْ جَعَلَهُ أَمَامَهُ قَادَهُ إِلَى
الْجَنَّةِ وَمَنْ جَعَلَهُ خَلْفَهُ سَاقَهُ إِلَى النَّارِ
“Sesunggunya
al-Qur`an adalah pemberi syafaat yang diterima syafaatnya dan pendebat yang
dibenarkan hujjahnya. Barangsiapa yang menaruhnya di depannya maka dia akan
membimbingnya menuju Surga, dan barangsiapa yang menaruhnya di belakangnya maka
dia akan mencampakkannya menuju Neraka.”[34]
b. Pengaruh
Intelijensi
Bahasa Arab akan
menjadikan seseorang memiliki tingkat intelijensi yang tinggi. Allah yang mahatahu
berfirman:
ﮋ ﮩ ﮪ
ﮫ ﮬ ﮭ
ﮮ ﮯ ﮊ
“Sesungguhnya
Kami menurunkannya berupa al-Qur`an dengan berbahasa Arab supaya kalian berakal.”[35]
Juga
firman Allah ta’ala:
ﮋ ﮅ ﮆ
ﮇ ﮈ ﮉ
ﮊ ﮋ ﮊ
“Sesungguhnya
Kami menjadikan al-Kitab itu berupa al-Qur`an dengan berbahasa Arab
supaya kalian berakal.”[36]
Hal ini terjadi
karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih dan sangat mendalam makna
kosa-katanya, dan bahasa yang paling mudah dihafal bagi yang menguasai
kaidah-kaidahnya. Dikatakan cerdas apabila seseorang bisa mengungkapkan kalimat
yang ringkas tapi sangat mendalam maknanya, dan juga banyak hafalannya. Dua
keutamaan ini (kalimat ringkas dan banyak hafalan), sangat mungkin dicapai
dengan bahasa Arab.
Bukti untuk yang
pertama adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah
lelaki yang berbahasa Arab dan memiliki intelijensi yang sangat mengagumkan
dalam menyingkat kalimat, yang umum di kalangan ulama disebut sebagai jawami’ul
kalim. Beliau bersabda:
«أُوْتِيْتُ جَوَامِعَ
الْكَلِمِ»
“Aku
telah diberi jawami’ul kalim.”[37]
Al-Qadhi
Izzuddin Abdul Aziz al-Kahari (w. 724 H)
menulis kitab yang berisi 1.000 faidah dari sebuah hadits tentang kaffarat
jima’ di bulan Ramadhan sebanyak dua jilid.[38]
Bukti untuk yang
kedua adalah para Salafus shalih. Para Salafus shalih adalah orang-orang yang
mendahulukan bahasa Arab, apabila sudah menguasai bahasa Arab baru mereka
menghafal al-Qur`an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syu’bah berkata:
إِذَا كَانَ الْمُحَدِّثُ لَا يَعْرِفُ
النَّحْوَ فَهُوَ كَالْحِمَارِ يَكُونُ عَلَى رَأْسِهِ مِخْلَاةٌ لَيْسَ فِيهَا
شَعِيرٌ
“Apabila
seorang ahli hadits tidak mengetahui ilmu nahwu, maka ia seperti keledai yang
terdapat muatan di atas kepalanya tetapi tidak berisi apapun.”[39]
Mereka memiliki
hafalan yang luar biasa banyaknya dan luar biasa kuatnya. Ma’mar berkata:
اجْتَمَعْتُ
أَنَا وَشُعْبَةُ وَالثَّوْرِيُّ وَابْنُ جُرَيْجٍ، فَقَدِمَ عَلَيْنَا شَيْخٌ،
فَأَمْلَى عَلَيْنَا: أَرْبَعَةَ آلافِ حَدِيثٍ عَنْ ظَهْرِ قَلْبٍ، فَمَا
أَخْطَأَ إِلاَّ فِي مَوْضِعَيْنِ، لَمْ يَكُنِ الْخَطَأُ مِنَّا وَلا مِنْهُ،
إِنَّمَا الْخَطَأُ مِنْ فَوْقِهِ، وَكَانَ الرَّجُلُ طَلْحَةُ بْنُ عَمْرٍو
“Aku pernah
berkumpul bersama Syu’bah, ats-Tsauri, dan Ibnu Juraij. Kemudian, datanglah
seorang syaikh kepada kami, lalu dia menyampaikan 4.000 hadits dari hafalannya. Dia tidak keliru kecuali di
dua tempat, tetapi kesalahan itu bukan berasal dari kami dan bukan pula
darinya. Kesalahan itu berasal dari perawi di atasnya. Lelaki itu adalah Thalhah bin Amr.”[40]
Abu Zur’ah
ar-Razi berkata:
أَحْفَظُ
مِائَتَيْ أَلْفِ حَدِيثٍ كَمَا يَحْفَظُ الإِنْسَانُ: ﮋ ﭑ ﭒ
ﭓ ﭔ ﭕ ﮊ وَفِي الْمُذَاكَرَةِ ثَلاثُمِائَةِ أَلْفِ
حَدِيثٍ
“Aku hafal 200.000 hadits seperti seseorang hafal surat al-Ikhlas,
dan dalam mudzakarah (diskusi/murajaah/catatan)
mencapai 300.000 hadits.”[41]
Dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal
bahwa dia mendengar Abu Zur’ah
ar-Razi berkata:
كَانَ
أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ يَحْفَظُ أَلْفَ أَلْفِ حَدِيثٍ. فَقِيلَ لَهُ: وَمَا
يُدْرِيْكَ؟ قَالَ: ذَاكَرْتُهُ، وَأَخَذْتُ عَلَيْهِ الأَبْوَابَ
“Ahmad bin
Hanbal hafal satu juta hadits.” Ditanyakan
kepadanya, “Dari mana Anda tahu?” Dia menjawab, “Aku pernah belajar
kepadanya dan mengambil beberapa bab darinya.”[42]
Inilah bahasa
Arab. Tidak ada satupun bahasa yang mampu dihafal dengan hafalan yang banyak
selain bahasa Arab. Kita melihat tidak ada satupun kitab berbahasa yang banyak
dihafal selain al-Qur`an yang berbahasa Arab. Bukti ini sudah cukup untuk
menunjukkan keutamaan bahasa Arab sebagai bahasa ilmu.
Dari sudut
pandang inilah akan mucul tingkat intelijensi yang mengagumkan. Pasalnya, orang
yang banyak hafalannya dan terbiasa dalam menghafal maka otaknya akan cerdas
dan mudah menghafal satu informasi dalam sekejab. Dalam ilmu fisiologi, otak
manusia terdiri dari ratusan milyar sel saraf yang saling terhubung satu sama lain, semakin
banyak hafalannya maka jaring-jaring sel saraf akan semakin melebar dan kokoh.
Berikut ini bukti konkretnya.
Abul Khaththab Qatadah bin Du’amah
as-Sudusi (w. 118 H) berkata:
مَا
سَمِعَتْ أُذُنَايَ شَيْئًا قَطُّ إِلا وَعَاهُ قَلْبِي
“Tidaklah kedua telingaku mendengar sesuatu
melainkan akan dihafal oleh hatiku.”[43]
Hal ini tidaklah berlebihan, dengan
seizin Allah. Bahkan, Allah menegaskan kecerdasan ini dalam firmannya:
ﮋ ﭘ ﭙ ﭚ
ﭛ ﭜ ﭝ
ﭞ ﭟ ﮊ
“Sebuah kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya
secara terperinci dengan berbahasa Arab bagi kaum yang mengetahui.”[44]
Lafazh (يَعْلَمُونَ)
seakan mengisyaratkan bahwa orang yang mahir
bahasa Arab lalu mampu mengambil faidah dari ayat-ayat al-Qur`an, akan terkumpul padanya ilmu[45]
sehingga dia pun menjadi orang yang cerdas.
c. Pengaruh Emosional
Orang yang ahli dalam bahasa Arab
memiliki tingkat kejiwaan yang stabil dan juga pandai bergaul dengan
masyarakat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ﮋ ﮏ ﮐ
ﮑ ﮒ ﮓ
ﮔ ﮕ ﮖ
ﮗ ﮘ ﮙ
ﮚ ﮛ ﮜ
ﮝ ﮞﮟ ﮠ
ﮡ ﮢ ﮣ
ﮤ ﮥ ﮦ ﮊ
“Dan
demikianlah Kami telah mewahyukan kepadamu al-Qur`an berbahasa Arab,
supaya kamu memberi peringatan kepada penduduk Makkah dan negeri-negeri
sekitarnya, dan supaya kamu memberi peringatan akan hari perkumpulan yang tidak
diragukan lagi, di mana sebagian mereka di Surga dan sebagian lain di Neraka.”[46]
Ayat ini berbentuk perintah tetapi
tidak menutup kemungkinan memiliki makna khabar,
seperti hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
«وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
“Dan barangsiapa yang berdusta dengan
sengaja atas namaku, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di Neraka.”[47]
Imam Ibnu Rajab
berkata, “Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas bentuknya
amr/perintah tetapi maknanya adalah khabar/penjelasan bahwa barangsiapa yang
berdusta terhadapku, berarti dia telah menyiapkan tempat duduknya di Neraka.”[48]
Dalam ayat ini Allah mengabarkan
bahwa al-Qur`an diwahyukan kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan berbahasa Arab. Lalu pengaruhnya pun nampak pada
diri beliau sehingga dikatakan bahwa al-Qur`an seluruhnya adalah akhlak beliau.
Kemudian akhlak ini pun diketahui oleh orang-orang sehingga mereka mengagumi
beliau, enggan menatap beliau dalam-dalam, mentaati perintahnya, dan rela berkorban demi
membelanya. Dengan akhlak yang mulia ini, beliau diperintahkan untuk berdakwah
kepada ummat yang ada di negeri Makkah dan negeri-negeri lain sekitar Makkah.
Umar (w. 23 H) radhiyallahu ‘anhu
berkata:
تَعَلَّمُوا
الْعَرَبِيَّةَ فَإِنَّهَا تُثَبِّتُ الْعَقْلَ وَتَزِيدُ فِي الْمُرُوءَةِ
“Pelajarilah bahasa Arab karena ia
mengokohkan akal dan menambah muruah (kewibawaan/norma).”[49]
Imam asy-Syafi’i
(w.
204 H) berkata:
وَاعْلَمْ
أَنَّ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ جَلَّ فِي عُيُوْنِ النَّاسِ، وَمَنْ تَعَلَّمَ الْحَدِيْثَ
قَوِيَتْ حُجَّتُهُ، وَمَنْ تَعَلَّمَ النَّحْوَ هِيبَ، وَمَنْ تَعَلَّمَ الْعَرَبِيَّةَ
رَقَّ طَبْعُهُ
“Ketahuilah,
barangsiapa mepelajari al-Qur`an maka dia menjadi begitu agung di mata manusia,
barangsiapa mempelajari hadits maka kuat hujjahnya, barangsiapa mempelajari
nahwu maka akan berwibawa, dan barangsiapa yang mempelajari bahasa Arab
maka akan baik kepribadiannya.”[50]
Abdurrahman bin
Mahdi (w. 198 H) berkata:
مَنْ
طَلَبَ العَرَبِيَّةَ فَآخِرُهُ مُؤَدَّبٌ، وَمَنْ طَلَبَ الشِّعْرَ فَآخِرُهُ
شَاعِرٌ يَهْجُو أَوْ يَمْدَحُ بِالبَاطِلِ، وَمَنْ طَلَبَ الكَلاَمَ فَآخِرُ
أَمرِهِ الزَّنْدَقَةُ، وَمَنْ طَلَبَ الحَدِيْثَ فَإِنْ قَامَ بِهِ كَانَ
إِمَاماً
“Barangsiapa belajar
bahasa Arab, maka kesudahannya menjadi orang beradab. Barangsiapa
belajar syair, maka kesudahannya menjadi ahli syair yang suka mencela atau
memuji dengan kebatilan. Barangsiapa yang belajar ilmu kalam, maka kesudahannya
menjadi orang zindiq (munafiq). Barangsiapa mencari hadits lalu mengamalkannya,
maka dia akan menjadi imam.”[51]
Maka, jelaslah
bagi kita siapa yang menginginkan energi emosional yang tinggi untuk
mengumpulkan kewibawaan, adab, kepribadian, maka pelajarilah bahasa Arab.
Imam az-Zuhri (w.
124 H) berkata:
مَا أَحْدَثَ النَّاسُ مُرُوْءَةً أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ تَعَلُّمِ
النَّحْوِ
“Tidak ada
kewibawaan yang selalu diperbarui seseorang yang lebih aku cintai melebihi
mempelajari nahwu.”[52]
Ibnu Syubrumah berkata:
مَا لَبِسَ الرِّجَالُ لِبَاسًا أَزْيَنَ مِنَ
الْعَرَبِيَّةِ
“Tidak ada orang yang mengenakan pakaian lebih
indah melebihi bahasa Arab.”[53]
Secara lengkap tiga pengaruh agung ini
dikumpulkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam ucapannya:
وَاعْلَمْ
أَنَّ اعْتِيَادَ اللُّغَةِ يُؤَثِّرُ فِي الْعَقْلِ وَالْخُلُقِ وَالدِّيْنِ تَأْثِيْراً
قَوِيّاً بَيِّناً، وَيُؤَثِّرُ أَيْضاً فِي مُشَابَهَةِ صَدْرِ هَذِهِ الْأُمَّةِ
مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ، وَمُشَابَهَتُهُمْ تَزِيْدُ الْعَقْلَ وَالدِّيْنَ
وَالْخُلُقَ
“Ketahuilah bahwa membiasakan bahasa
Arab menimbulkan pengaruh pada akal (intelijensi), akhlak (emosional), dan
agama (spiritual) dengan pengaruh yang jelas. Ia juga menimbulkan pengaruh
untuk menyerupai inti umat ini shahabat
dan tabi’in, sementara menyerupai mereka akan menambah akal, agama, dan
akhlak.”[54]
Pembaca
yang budiman, Anda telah mengetahui tiga pengaruh agung bahasa Arab. Hanya saja
tiga pengaruh agung ini tidak bisa diraih kecuali bagi orang Mukmin. Di sana
banyak orang-orang yang mahir bahasa Arab, fasih lisannya, kuat hujjahnya, dan
menyihir ucapannya tetapi bahasa Arab dan al-Qur`an tidak menambah mereka
kecuali hanya kerugian. Mereka itulah orang-orang kafir dan munafik. Jika
mereka berbicara,
Anda akan tersihir karena fasih lisannya dan memikat pembicarannya. Allah
berfirman:
ﮋ ﭯ ﭰ
ﭱ ﭲ ﭳ
ﭴ ﭵ ﭶ
ﭷ ﭸ ﭹ
ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ
ﭿ ﮀ ﮊ
“Dan di antara manusia ada ucapannya
tentang kehidupan dunia membuatmu takjub, dan dia bersaksi kepada Allah
mengenai isi hatinya, padahal dia adalah penentang yang paling keras.”[55]
Dan juga firman-Nya:
ﮋ ﯞ ﯟ
ﯠ ﯡ ﯢﯣ ﯤ
ﯥ ﯦ ﯧﯨ ﯩ
ﯪ ﯫﯬ ﮊ
“Dan jika engkau melihat mereka, rupa
mereka membuatmu takjub, dan jika mereka berkata engkau mendengarkan dengan
seksama ucapan mereka, seolah-olah mereka adalah kayu yang disandarkan.”[56]
Imam al-Qurthubi (w. 671 H) berkata,
“Mereka adalah orang-orang yang indah rupanya seolah-olah kayu yang bersandar.
Pemisalan mereka dengan kayu yang bersandar ke dinding karena mereka tidak
mendengar dan berakal, hidup tanpa ruh, dan berjasad tanpa kedewasaan.”[57]
Orang-orang yang mahir bahasa Arab
tetapi tidak mendapat hidayah sunnah dan mengikuti Salaf, cenderung memahami
agama dengan akalnya. Akibatnya, dengan kepandaiannya dalam bahasa itu dia
dipermainkan setan untuk berbicara tanpa ilmu dan petunjuk. Lihatlah Bisyr
al-Marisi al-Mu’tazili yang mengkampayekan al-Qur`an adalah makhluk, hingga
Imam asy-Syafi’i berkata, “Orang ini tidak akan beruntung selamanya.” Lihatlah
al-Jahidz pakar bahasa kenamaan tetapi cacat agamanya, di mana Imam adz-Dzahabi
berkata tentangnya, “Dia dungu, sedikit agamanya, dan memiliki banyak
keanehan.” Bersamaan dengan itu al-Imam juga berkata, “Dia termasuk lautan ilmu
bahasa dan banyak karyanya.”[58]
Lihatlah Abu Ubaidah Ma’mar bin
al-Mutsanna asy-Syaibani pakar bahasa terkenal, ahli tafsir, dan ahli sastra,
tetapi kemudian terpengaruh dengan paham Mu’tazilah sehingga Imam Ahmad mencelanya
karena hal itu. Lihatlah Abul Qasim az-Zamakhsyari ghafarallahu lah
seorang pakar bahasa dan menjadi rujukan di masanya tetapi dia memiliki akidah
yang menyimpang yakni Mu’tazilah yang dia tuangkan di kitab tafsirnya al-Kasysyaf.
Dia
memiliki banyak karya, sibuk menulis, dan mengajar di jalan Allah hingga tidak
sempat menikah. Semoga Allah mengampuninya mereka.
Di Indonesia ada kelompok sesat lagi
menyesatkan yang menyebut dirinya dengan JIL[59]
(Jaringan Islam Liberal). Dengan bahasa Arab ala kadarnya, mereka berhasil
menyesatkan umat, bahkan sebagian dimurtadkan. Mereka menafsirkan al-Qur`an
hanya mengandalkan bahasa dan akal mereka!
Demikian fakta
yang banyak terjadi. Para pakar bahasa zaman dahulu yang berlebihan dalam
bahasa dan melupakan ilmu kaum Salaf cenderung menyimpang dan mengikuti paham
Muktazilah sesuai dengan kadar penyimpangannya.
5. Mengoreksi Bacaan al-Qur`an dengan Nahwu
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad
ash-Shanhaji (w. 723 H) berkata saat mendefinisikan i’rab:
الإِعْرَابُ
هُوَ تَغْيِيْرُ أَوَاخِرِ الْكَلِمِ لِاخْتِلاَفِ الْعَوَامِلِ الدَّاخِلَةِ عَلَيْهَا
لَفْظاً أَوْ تَقْدِيْراً
“I’rab adalah perubahan akhir kalam
karena perbedaan amil yang masuk padanya baik secara lafazh maupun perkiraan.”[60]
Mudahnya, i’rab adalah perubahan akhir
harakat atau huruf pada suatu kata sesuai dengan tarkib
(kedudukan kalimat).
Dinisbatkan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«تَعَلَّمُوا
مِنَ الْعَرَبِيَّةِ مَا تُعْرِبُونَ بِهِ كِتَابَ اللّٰهِ»
“Pelajarilah
bahasa Arab yang kalian gunakan untuk mengi’rab al-Qur`an.”[61]
Ummu ad-Darda` berkata:
إِنِّي لَأُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَهُ كَمَا أُنْزِلَ يَعْنِي
إعْرَابَ الْقُرْآنِ
“Sungguh aku ingin membaca al-Qur`an
seperti saat diturunkan, yaitu mengi’rab al-Qur`an.”[62]
Berikut adalah delapan contoh tentang perbandingan bacaan i’rab yang benar dan
yang salah dalam sebagian ayat al-Qur`an:
Pertama: QS. Al-Kafirun [109]: 2
ﮋ ﭑ ﭒ
ﭓ ﭔ ﭕ
ﭖ ﭗ ﭘ
ﭙ ﮊ
“Katakanlah,
‘Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah.’”
Seandainya
lafazh (لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ) dibaca (لَأَعْبُدُ
مَا تَعْبُدُونَ) dengan lafazh
lâ dibaca pendek, maka artinya berubah menjadi, “Katakanlah, ‘Wahai
orang-orang kafir! sungguh aku akan menyembah apa yang kalian sembah.’”
Penjelasan:
Yang pertama
adalah lâ nafi yang berfungsi meniadakan perkerjaan, sedang yang kedua
adalah lam taukid yang berfungsi menguatkan atau menegaskan pekerjaan
setelahnya.
Kedua:
QS. Fatir [35]: 28
ﮋ ﯞ ﯟ
ﯠ ﯡ ﯢ ﯣﯤ ﮊ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah
dari kalangan hamba-hamba-Nya adalah para ulama.”
Seandainya lafazh (اللّٰهَ) dibaca (اللّٰهُ)
dengan didhammah dan (الْعُلَمَاءُ) dibaca (الْعُلَمَاءَ) dengan difathah, maka artinya berubah menjadi, “Sesungguhnya
yang takut kepada para ulama dari kalangan para hamba adalah Allah.”
Penjelasan:
Lafazh Allah pada
bacaan pertama menjadi maf’ul bih dengan alamat manshubnya berupa
fathah, sementara lafazh Allah pada bacaan kedua menjadi fa’il dengan
alamat marfu’nya berupa dhammah.
Ketiga: QS. An-Nisa` [4]: 164
ﮋ ﭹ ﭺ
ﭻ ﭼ ﭽ ﮊ
“Dan
Allah berbicara kepada Musa dengan sebenarnya.”
Seandainya
lafazh (اللّٰهُ) dibaca (اللّٰهَ) dengan difathah, maka artinya berubah
menjadi, “Dan Musa berbicara kepada Allah dengan sebenarnya.”
Penjelasan:
Lafazh Allah pada
bacaan pertama menjadi fa’il dengan alamat marfu’nya berupa dhammah,
sementara lafazh Allah pada bacaan kedua menjadi maf’ul bih dengan
alamat manshubnya berupa fathah. Lalu di mana maf’ul bih
untuk bacaan yang pertama dan fa’il untuk bacaan yang kedua? Jawabannya
adalah lafazh Musa. Musa berupa isim maqsur sekaligus isim mamnu’
minash
sharfi sehingga marfu’ dan manshubnya muqaddarah
(diperkirakan atau tidak
mengalami perubahan harakat secara zhahir)
Tanbih:
Bacaan kedua
adalah bacaan kaum Mu’tazilah yang mengingkari bahwa Allah
berbicara langsung dengan Musa ‘alaihis salam. Mereka mengedepankan
akalnya dalam memahami ayat ini sehingga bacaannya harus dirubah. Mereka
beranggapan bahwa Allah terlalu mulia untuk berbicara langsung dengan Musa ‘alaihis
salam.
Adapun Ahli Sunnah mengimani zhahir ayat
bahwa Allah berbicara langsung kepada Nabi Musa ‘alaihis salam. Hal ini
juga didukung oleh banyak hadits, di antaranya perkataan manusia saat di padang mahsyar kepada Nabi Musa ‘alaihis
salam:
«يَا
مُوسَى! أَنْتَ رَسُولُ اللّٰهِ، فَضَّلَكَ اللّٰهُ بِرِسَالَتِهِ وَبِكَلاَمِهِ
عَلَى النَّاسِ، اشْفَعْ لَنَا إِلَى رَبِّكَ! أَلاَ تَرَى إِلَى مَا نَحْنُ
فِيهِ؟»
“Hai Musa! Engkau adalah Rasulullah.
Allah telah memuliakanmu dengan kerasulan dan dengan kalam-Nya atas seluruh
manusia. Maka, berilah kami syafa’at kepada Rabb-mu. Tidakkah engkau melihat
kesulitan kami ini?”[63]
Maksud “dengan kalam-Nya” adalah
beliau diajak berbicara langsung oleh Allah sehingga beliau dijuluki Kalimullah
“orang yang pernah diajak bicara langsung oleh Allah.”
Allah ta’ala berfirman:
ﮋ ﯦ ﯧ
ﯨ ﯩ ﯪ
ﯫ ﯬ ﯭ
ﯮ ﯯﯰ ﯱ
ﯲ ﯳ ﯴ
ﯵ ﭑ ﭒ
ﭓ ﭔ ﭕ
ﭖ ﭗ ﭘ
ﭙ ﭚ ﭛ
ﭜ ﭝ ﭞ
ﭟ ﭠ ﭡ
ﭢ ﮊ
“Lalu tatkala Musa mendatanginya dia
diseru, ‘Hai Musa! Sesungguhnya Aku adalah Rabb-mu, maka lepaskanlah sandalmu. Sesungguhnya
kamu berada di lembah Thuwa yang suci, dan Aku telah memilihmu, maka
dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya Aku adalah Allah
yang tidak ada ilah yang berhak disembah selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.’”[64]
Sebenarnya takwil mereka ini batal
dengan sendirinya bila mereka mau adil. Sebab mereka mati kutu dan tidak bisa
mentakwil ayat yang jelas di bawah ini:
ﮋ ﯺ ﯻ
ﯼ ﯽ ﯾ ﭑ ﭒ
ﭓ ﭔ ﭕ
ﭖ ﭗ ﭘ
ﭙ ﭚ ﭛ
ﭜ ﭝ ﮊ
“Apakah telah datang kepadamu kisah
Musa. Yaitu ketika dia dipanggil oleh Rabb-nya di lembah suci Thuwa,
‘Pergilah kami kepada Fir’aun. Sesungguhnya dia melampaui batas.’”[65]
Dhamir hû di sini tidak bisa
merujuk kecuali kepada Musa, dan rabbuhû tidak bisa dijadikan kecuali fâ’il
dari nâdâ. Mereka tidak memiliki pilihan kecuali ini.
Keempat:
QS. Taubah [9]: 3
ﮋ ﭴ ﭵ
ﭶ ﭷ ﭸﭹ ﭺﭻ ﮊ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari
orang-orang musyrik.”
Seandainya
lafazh (رَسُولُهُ) dibaca (رَسُولِهِ) dengan dikasrah, maka artinya akan berubah menjadi, “Sesungguhnya
Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya.”
Penjelasan:
Lafazh (رَسُولُهُ) menjadi mubtada’ yang alamat marfu’nya dhammah
dan khabarnya mahdzuf (dibuang) taqdirannya adalah barîun
minhum aidhan.[66]
Sementara bacaan
(رَسُولِهِ) menjadi ma’thuf dari musyrikin dengan i’rab majrur
alal kasrah.
Kelima: QS. Al-Maidah [5]: 6
ﮋ ﭑ ﭒ
ﭓ ﭔ ﭕ
ﭖ ﭗ ﭘ
ﭙ ﭚ ﭛ
ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡﭢ ﮊ
“Wahai
orang-orang yang beriman! Apabila kamu berdiri hendak shalat, maka basuhlah
wajahmu dan tanganmu, dan usaplah kepalamu dan (basuhlah) kakimu hingga
ke mata kaki.”
Seandainya
lafazh (أَرْجُلَكُمْ) dibaca (أَرْجُلِكُمْ) maka hukum kaki tidak dibasuh tetapi cukup diusap.
Penjelasan:
Bacaan pertama
menjadi ma’thuf dari wa aidiyakum, sementara bacaan kedua menjadi
ma’thuf dari bi rû-ûsikum.
Tanbih:
Apakah dampak
dari bacaan yang kedua ini? Dampaknya amat besar, yaitu diancam Neraka. Tidak
main-main, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang mengancamnya.
Dari Abdullah
bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:
تَخَلَّفَ
عَنَّا النَّبِىُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى سَفْرَةٍ سَافَرْنَاهَا،
فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقَتْنَا الصَّلاَةُ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ، فَجَعَلْنَا
نَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا، فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ: «وَيْلٌ
لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ!» مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
tertinggal dari kami dalam suatu safar kami. Kemudian beliau berhasil menyusul
kami saat masuk waktu shalat sementara kami sedang berwudhu. Saat kami mulai mengusap
kaki-kaki kami, beliau berteriak dari kejauhan, ‘Celakalah tumit-tumit dari Neraka!’
Sebanyak dua atau tiga kali.”[67]
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengingkari para shahabat yang hanya mengusap kakinya
karena yang benar adalah membasuhnya. Sebagian ahli fikih mengatakan bahwa dikatakan mengusap jika
hanya dipercikkan air lalu dilap (al-mas-hu bit takhfif) dan dikatakan membasuh jika dicuci dengan air secara merata dan sempurna (al-ghuslu bit
taghlizh).
Ini diperkuat dengan hadits Utsman
bin Affan. Diriwayatkan bahwa Humran maula Utsman menceritakan tata cara wudhu
Utsman bin Affan. Di antara yang dia sebutkan:
ثُمَّ غَسَلَ
رِجْلَيْهِ ثَلاَثَ مِرَارٍ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Kemudian dia membasuh kedua
kakinya tiga kali sampai ke siku-siku.”[68]
Keenam: QS. Ali Imran [3]: 7
ﮋ ﮗ ﮘ
ﮙ ﮚ ﮛ
ﮜ ﮝ ﮞ
ﮟ ﮠ ﮡ
ﮢ ﮣﮤ ﮥ
ﮦ ﮧ ﮨ
ﮩ ﮪ ﮫ
ﮬ ﮭ ﮮ
ﮯ ﮰ ﮱﯓ ﯔ
ﯕ ﯖ ﯗ ﯘﯙ ﯚ
ﯛ ﯜ ﯝ
ﯞ ﯟ ﯠ
ﯡ ﯢ ﯣﯤ ﯥ
ﯦ ﯧ ﯨ
ﯩ ﯪ ﮊ
“Dialah
yang telah menurunkan kepadamu al-Kitab. Di antaranya berupa ayat-ayat muhkamat
yaitu Ummul Kitab dan di antaranya pula berupa ayat-ayat mutasyabihat. Adapun
orang-orang yang di dalam hatinya ada penyimpangan akan mengikuti yang
mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan mencari-cari takwilnya. Padahal, tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang dalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman
terhadapnya. Semuanya dari sisi Rabb kami’ Dan tidak ada yang bisa mengambil pelajaran kecuali
orang-orang yang berakal.”
Penjelasan:
Seandainya wawu
pada lafazh (وَالرَّاسِخُونَ) dijadikan wawu athaf bukan wawu ibtida`, maka
akan berubah maknanya, yaitu yang mengerti takwil ayat-ayat mutasyabihat tidak
hanya Allah tetapi juga orang-orang yang mendalam ilmunya.
Tanbih:
Tentang
ayat-ayat mutasyabihat, Ibnu Katsir berkata:
وَقِيْلَ: هِيَ الْحُرُوْفُ الْمُقَطَّعَةُ
فِي أَوَائِلِ السُّوَرِ، قَالَهُ مُقَاتِلُ بْنُ حَيَّانٍ
“Ada yang
berpendapat bahwa maksudnya adalah huruf-huruf muqaththa’ah (huruf-huruf
potongan/tunggal) yang berada di awal surat. Ini pendapat Muqatil bin Hayyan.”[69]
Ulama yang
menjadikan wawu di sini sebagai wawu ibtida` berpandangan bahwa
takwil huruf-huruf muqaththa’ah hanya Allah saja yang mengetahui.
Sementara ulama yang menjadikannya sebagai wawu athaf berpandangan bahwa
huruf-huruf muqatha’ah bisa ditakwil. Al-Hafizh
berkata:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: الم، قَالَ: أَنَا اللّٰهُ
أَعْلَمُ
“Dari Ibnu Abbas, dia berkata tentang makna alif lam
mim, ‘Aku adalah Allah
yang Mahatahu.’”[70]
Wallahu a’lam
mana dari dua jenis wawu ini yang rajih. Yang nampak bagi Penulis, bacaan wawu
athaf adalah bacaan yang diterima dengan alasan cukup banyak atsar dari
para shahabat yang mentakwil huruf-huruf ini, jika memang telah shahih
riwayatnya. Hanya saja Penulis lebih condong kepada pendapatnya Ibnul Jauzi.
Al-Hafizh Ibnul
Jauzi berkata, “Apakah orang-orang yang dalam ilmunya mengetahui takwilnya apa
tidak? Ada dua pendapat.
Pertama, mereka tidak mengetahui
takwilnya. Thawus telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia membacanya:
«وَيَقُولُ
الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ آمَنَّا بِهِ»
Qiraah ini dijadikan dalil oleh Ibnu
Mas’ud, Ubai bin Ka’ab, Ibnu Abbas, Urwah, Qatadah, Umar bin Abdul Aziz,
al-Farra`, Abu Ubaidah, Tsa’lab, Ibnul Anbari, dan Jumhur.
Ibnul Anbari berkata, ‘Dalam qiraah
Abdullah bin Mas’ud (إِنْ تَأْوِيْلِهِ إِلاَّ عِنْدَ اللّٰهِ وَالرَّاسِخُوْنَ
فِي الْعِلْمِ), dan qiraah Ubai dan Ibnu Abbas (وَيَقُوْلُ الرَّاسِخُونَ), terdapat penjelasan bahwa Allah
menurunkan banyak hal di dalam kitab-Nya yang Dia sembunyikan ilmunya, seperti
firman Allah ta’ala:
ﮋ ﰐ ﰑ
ﰒ ﰓ ﰔ ﮊ
‘Katakanlah, ‘Sesungguhnya ilmu
tersebut hanya di sisi Allah.’[71] Begitu pula firman Allah ta’ala:
ﮋ ﮍ ﮎ
ﮏ ﮐﮑ ﮊ
‘Dan umat-umat yang banyak di antara
mereka.’[72] Allah menurunkannya secara mujmal (global) agar orang Mukmin
beriman dengan gembira dan orang kafir ingkar dengan celaka.
Kedua,
mereka mengetahui takwilnya. Mereka termasuk yang dikecualikan. Mujahid
meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata:
أَنَا مِمَّنْ
يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ
‘Aku
termasuk yang mengetahui takwilnya.’ Ini pendapatnya Mujahid dan ar-Rabi’ serta
dipilih oleh Ibnu Qutaibah dan Abu Sulaiman ad-Dimasyqi.’ Sayang Ibnu al-Anbari
berkata, ‘Yang meriwayatkan pendapat ini dari Mujahid adalah Ibnu Abi Najih,
sementara riwayat tafsirnya dari Mujahid
tidak sah.’”[73]
Dari sini, sepertinya Ibnul Jauzi menguatkan pendapat yang pertama. Allahu
a’lam.
Ketujuh:
QS. Al-Baqarah [2]: 124
ﮋ ﮤ ﮥ
ﮦ ﮧ ﮨ
ﮩ ﮪﮫ ﮊ
“Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Rabb-nya dengan beberapa kalimat lalu dia melaksanakannya
dengan sempurna.”
Penjelasan:
Jika lafazh (إِبْرَاهِيمَ) dibaca (إِبْرَاهِيمُ) dengan didhammah
dan lafazh (رَبُّهُ) dibaca (رَبَّهُ) dengan difathah, maka artinya akan
berubah menjadi, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim menguji Rabb-nya dengan
beberapa kalimat lalu Dia melaksanakannya dengan sempurna.” Mahasuci
Allah. Ini adalah bacaan yang bathil dan sesat.
Kedelapan:
QS. Thaha [20]: 121
ﮋ ﮱ ﯓ
ﯔ ﯕ ﯖ ﮊ
“Dan Adam bermaksiat kepada Rabb-nya
sehingga dia sesat.”
Penjelasan:
Jika lafazh (آدَمُ) dibaca (آدَمَ)
dengan difathah dan lafazh (رَبَّهُ)
dibaca (رَبُّهُ) dengan didhammah,
maka artinya akan berubah menjadi, “Dan Adam dimaksiati oleh Rabb-nya
sehingga Dia sesat.” Mahasuci Allah. Ini adalah bacaan yang bathil dan
sesat.
Sungguh amatlah banyak dalam
al-Qur`an kesalahan-kesalahan fatal hanya sekedar sedikit salah baca. Dengan
yang sedikit ini, mudah-mudahan bisa menambah kehati-hatian kita dalam membaca
al-Qur`an.
Dulu kaum Salaf, sangat perhatian
dalam memilih imam shalat mereka. Jika mereka cacat nahwunya dan sering lahn,
maka dia pun ditinggal.
Diriwayatkan dari Idris --dia
termasuk manusia terbaik pada masanya-- bahwa dia berkata:
قِيلَ لِلْحَسَنِ:
إِنَّ لَنَا إِمَامًا يَلْحَنُ، قَالَ: أَخِّرُوهُ!
“Ditanyakan kepada al-Hasan, ‘Kami memiliki
imam shalat yang lahn.’ Dia menjawab, ‘Akhirkan dia!’”[74]
Ini menunjukkan
bahwa dalam memilih seorang imam, hendaknya diperhatikan tentang kefasihannya
dalam membaca ayat-ayat al-Qur’an.
Hal ini sangatlah tersamar kecuali
bagi ahli ilmu yang benar-benar menguasai bahasa Arab. Untuk itu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
«يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ
اللّٰهِ، فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ
كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ
سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا»
“Yang menjadi imam bagi suatu kaum
adalah yang paling aqra`[75]
di antara mereka terhadap Kitabullah. Jika mereka sama dalam bacaan, maka yang
menjadi imam mereka adalah yang paling berilmu tentang sunnah. Jika mereka sama
dalam sunnah, maka yang yang paling dahulu hijrahnya. Jika mereka dalam hijrah
sama, maka yang paling dahulu masuk Islam.”[76]
/
[1] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 39) dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu.
[2] Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (no. 30546) dalam al-Mushannaf. Maksudnya, pelajarilah bahasa Arab agar kalian terhindar dari lahn.
[3] QS. Maryam [19]: 97
dan ad-Dukhân [44]: 58.
[4] Tafsîr
al-Qurthubî (XI/162).
[5] Tafsîr Ibnu
Katsîr (VII/263).
[6] Tafsîr as-Sa’dî
(hal. 774).
[7] Shahih: HR. Muslim (no. 2664), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[8] Ta’lîq Shahîh Muslim (IV/2052)
oleh Abdul Baqi.
[9] Syarah al-Jurrumiyah (hal. 6) oleh Syaikh
al-Utsaimin.
[10] Lihat Kitâbul
Ilmi (hal. 111) oleh Syaikh al-Utsaimin.
[11] Keutamaan dan
Kewajiban Mempelajari Bahasa Arab (hal. 103-105) oleh Hamzah Abbas Lawadi.
[12] Iqtidha`
ash-Shirât al-Mustaqîm (I/527) oleh Syaikhul Islam.
[13] Ar-Risâlah
(hal. 48-49) oleh Imam asy-Syafi’i.
[14] HR. Ibnu Abi Syaibah (no. 30534) dalam al-Mushannaf.
[15] Telah berlalu
takhrijnya.
[16] HR. Ibnu Abi Syaibah (no. 30532) dalam al-Mushannaf.
Diriwayatkan dari Ibnu Idris dari Maqburiy dari kakeknya dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu.
[17] HR. Al-Baihaqi (no. 1594)
dalam Syu’abul Iman. Dia berkata, “Abu Ja’far al-Mustamli
mengabarkan kepadaku, Muhammad bin Muhammad bin Sinan an-Nahwi mengabarkan
kepadaku, al-Hasan bin Sufyan mengabarkan kepadaku, Humaid bin Zanjawaih
mengabarkan kepadaku, Utsman bin Shalih mengabarkan kepadaku, Ibnu Lahi’ah
mengabarkan kepadaku, dari Atha`, dari Abu Hurairah.” Ibnu Lahi’ah didha’ifkan setelah kitab-kitabnya terbakar.
[18] Telah berlalu takhrijnya.
[19] Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwî (no. 1078) oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[20] Ibid (no. 1080).
[21] Hasan Shahih:
HR. At-Tirmidzi (no. 2715).
[22] Hasan Shahih:
HR. At-Tirmidzi (no. 2715). Dinilai hasan shahih oleh al-Albani dan at-Tirmidzi.
[23] Kitâbul Ilmi
(hal. 139, pertanyaan ke-18) oleh Syaikh al-Utsaimin.
[24] QS. Ibrâhîm [14]:
4.
[25] Kitâbul Ilmi
(hal. 155-156, pertanyaan ke-33) oleh al-Utsaimin.
[26] Imam dan mufti
Masjidil Haram, berguru kepada 200 shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, imam dan guru para tabi’in.
[27] As-Siyar (V/87). Adz-Dzahabi berkata, “Pada hari itu umurnya 90
tahun!”
[28] QS. Thâhâ [20]: 113.
[29] QS. Az-Zumar [39]: 28.
[30] QS. Asy-Syu’arâ` [26]: 192-195.
[31] QS. Al-Anfâl [8]: 2.
[32] Diriwayatkan Sa’id bin Manshur (no. 95) dalam Sunannya.
[33] QS. Thâhâ [20]: 124-126.
[34] Shahih: HR. Abdurrazzaq (no. 6010) dalam al-Mushannaf.
Lihat Thabarani (no.
8655) dalam al-Mu’jam al-Kabîr.
[35] QS. Yûsûf [12]: 2.
[36] QS. Az-Zukhrûf [43]: 3.
[37] Shahih: HR. Ahmad (no. 7403) dalam al-Musnad dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Maksudnya,
kalimat yang ringkas tapi padat dan sarat makna.
[38] Lihat at-Ta’rif bima Ufrida Minal Ahadits (hal. 164) oleh Yusuf
al-Athiq.
[39] Syu’abul Iman (no. 1566) oleh Imam
al-Baihaqi.
[40] Al-Hatstsu ‘ala Hifzil Ilmi (hal. 72) oleh Ibnul Jauzi.
[41] Ibid (hal. 76).
[42] Ibid (hal. 53).
[43] Ibid (hal. 89).
[44] QS. Fushshilat [41]: 3.
[45] (عِلْمٌ) adalah mashdar dari (عَلِمَ) è
(يَعْلَمُ)/( يَعْلَمُوْنَ) è
(عِلْماً).
[46] QS. Asy-Syûra [42]: 7.
[47] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 110) dan Muslim
(no. 3) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[48] Lihat Jâmi’ul Ulûm wal Hikam
(I/498).
[49] Syu’abul-Iman (no. 1556) oleh Imam al-Baihaqi dan Mu’jamul Udabâ` (I/3)
oleh Yaqut
al-Hamawi.
[50] Hilyatul Auliyâ` (IX/123) oleh Abu Nu’aim
al-Ashfahani.
[51] As-Siyar (IX/199) oleh
adz-Dzahabi.
[52] Mu’jamul Udabâ` (I/3) oleh Yaqut al-Hamawi.
[53] Syu’abul Iman
(no. 1564) oleh al-Baihaqi.
[54] Iqtidha`
ash-Shirât al-Mustaqîm (I/527) oleh Syaikhul Islam.
[55] QS. Al-Baqarah [2]: 204.
[56] QS. Al-Munâfiqûn [63]: 4.
[57] Tafsir al-Qurthubî (VIII/125).
[58] As-Siyar (XI/527) oleh adz-Dzahabi.
[59] Sebagian orang yang geram dengan mereka memplesetkan
menjadi Jaringan Iblis Laknatullah.
[60] Al-Hâsyiyah
al-Jaliyyah ‘alâ Matnil Jurrumiyyah (hal. 12) oleh Abu Anas Malik bin Salim
al-Muhdziri.
[61] Telah berlalu
takhrijnya.
[62] Diriwayatkan
Ibnu Abi Syaibah (no. 30543) dalam al-Mushannaf.
[63] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 4712) dan Muslim (no. 194) dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu.
[64] QS. Thâhâ [20]:
11-14.
[65] QS. An-Nâzi’ât
[79]: 15-17.
[66] Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr (IV/103).
[67] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 60) dan Muslim (no. 241).
[68] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari
(no. 159) dan Muslim (no. 226). Hadits ini merupakan dalil yang paling shahih dan
lengkap tentang tata cara wudhu.
[69] Tafsîr Ibnu Katsîr (II/7).
[70] Ibid (I/157).
[71] QS. Al-A’râf
[7]: 187.
[72] QS. Al-Furqan [25]:
38.
[73] Zâdul Masîr
(I/301) oleh Ibnul Jauzi.
[74] Diriwayatkan Sa’id
bin Manshur (no. 40) dalam Sunannya.
[75] Muhammad Fuad Abdul
Baqi berkata, “Yang paling banyak hafalannya dan paling baik bacaan
tajwidnya.” [Ta’lîq Sunan Ibnu Mâjah (I/313)]
[76] Shahih: HR. Muslim
(no. 673), dari Abu Mas’ud al-Anshari radhiyallahu ‘anhu.