Bab 3 Bahasa Arab dan Lahn | ADA APA DENGAN BAHASA ARAB | PUSTAKA SYABAB
Bab 3 Bahasa Arab dan Lahn >>> KEMBALI KE DAFTAR ISI Lahn adalah kesalahan dalam berbahasa Arab, baik karena kesalahan ucap atau k...
Bab 3 Bahasa Arab dan Lahn
Lahn adalah kesalahan dalam berbahasa Arab, baik karena kesalahan ucap atau karena kesalahan i’rab. Al-Fairuz Abadi berkata, “Suara yang mengandung kepalsuan.”[1]
Az-Zamarkhsyari al-Mu’tazili ghafarallahu lah berkata:
تَعَلَّمُوْا الغَرِيْبَ وَاللَّحْنَ
لِأَنَّ فِي ذَلِكَ عِلْمُ غَرِيْبِ الْقُرْآنِ وَمَعَانِيْهِ وَمَعَانِي الْحَدِيثِ
وَالسُّنَّةِ، وَمَنْ لَمْ يَعْرِفْهُ لَمْ يَعْرِفْ أَكْثَرَ كِتَابَ اللّٰهِ وَمَعَانِيهِ
وَلَمْ يَعْرِفْ أَكْثَرَ السُّنَنِ
“Pelajarilah gharib
dan lahn karena di sana ada ilmu tentang kosa kata sulit al-Qur`an dan makna-maknanya serta makna-makna hadits
dan sunnah. Barangsiapa yang tidak mengetahuinya, banyak tidak tahu Kitabullah
dan makna-maknanya serta tidak tahu mayoritas
sunnah-sunnah.”[2]
1. Perhatian Kaum Salaf Terhadap Lahn
Jika kita melihat biografi para Salaf terdahulu, ternyata lahn adalah
masalah besar bagi mereka terutama sekali bagi ahli hadits. Seandainya ada ahli
hadits yang mengalami lahn dalam periwayatannya, ini sudahlah cukup untuk
menjadikan statusnya sebagai perawi hadits diragukan.
Al-Khatib
al-Baghdadi (w. 465 H) berkata:
فَيَنْبَغِي
لِلْمُحَدِّثِ أَنْ يَتَّقِيَ اللَّحْنَ فِي رِوَايَتِهِ وَلَنْ يَقْدِرَ عَلَى ذَلِكَ
إِلَّا بَعْدَ دَرْسِهِ النَّحْوَ وَمُطَالَعَتِهِ عِلْمَ العَرَبِيَّةِ
“Selayaknya bagi ahli hadits takut terkena lahn dalam periwayatannya, dan ia tidak akan mampu terbebas
darinya kecuali setelah mempelajari nahwu dan memperdalam ilmu
bahasa Arab.”[3]
Kesalahan
lahn bukanlah kesalahan sederhana, bahkan terkadang kesalahannya sangat fatal
sehingga bisa menimbulkan rusaknya pemahanan dan kesesatan. Oleh karena itu,
kaum Salaf saling mengingatkan bila saudaranya mengalami lahn.
Telah diriwayatkan
bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib (w. 40 H) radhiyallahu ‘anhu
membaca ayat[4]:
وَنَادَوْا يَا مَالِ لِيَقْضِ
عَلَيْنَا رَبُّكَ
Kemudian hal ini diingkari oleh Ibnu
Abbas. Ali radhiyallahu ‘anhu menyanggah, “Ini tarkhîm[5]
dalam panggilan.” Ibnu Abbas berkata, “Apakah mungkin penduduk Neraka sibuk
tarkhîm dalam panggilan di Neraka?” Ali menjawab, “Kamu benar.”[6]
Imam Ahmad bin
Hanbal (w. 241 H) berkata:
لَيْسَ يَتَّقِي مَنْ لَا يَدْرِي
مَا يَتَّقِي
“Tidaklah
bertakwa seseorang yang tidak tahu apa yang perlu ditakuti.”[7]
2. Menghukum Anak Karena Lahn
Termasuk didikan para ulama Salaf kepada anak-anaknya adalah memperhatikan
kefasihan bahasa Arab mereka. Jika mereka mengalami lahn, maka mereka pun
dihukum.
Abu Ishaq ath-Thalhi
berkata:
أَنَّ عَلِيَّ
بْنَ أَبِي طَالِبٍ كَانَ يَضْرِبُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ عَلَى اللَّحْنِ
“Ali bin Abi
Thalib memukul al-Hasan dan al-Husain karena lahn.”[8]
Amr bin Dinar
berkata:
أَنَّ
ابْنَ عُمَرَ وَابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا كَانَا يَضْرِبَانِ
أَوْلَادَهُمَا عَلَى اللَّحْنِ
“Ibnu Umar dan Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma memukul anak-anak mereka berdua karena lahn.”[9]
Namun, anehnya mereka tidak dihukum karena melakukan kesalahan atau
kekeliruan selain lahn. Hal ini tidak lain sebagai bentuk penjagaan agama, di
mana kesalahan ucap dan i’rab dalam bahasa Arab bisa merubah arti dan pemahaman
sehingga menjadikannya menyimpang dalam agama.
Nafi’ berkata:
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَضْرِبُ
وَلَدَهُ عَلَى اللَّحْنِ وَلَا يَضْرِبُهُمْ عَلَى الْخَطَأِ
“Ibnu Umar memukul
anaknya karena lahn tetapi tidak memukul mereka karena suatu kesalahan lain.”[10]
’Umar bin Abdul ’Aziz (w. 101 H) termasuk sangat keras dalam
menyikapi lahn yang ada pada manusia baik itu anaknya, teman dekatnya,
rakyatnya, dan kadang-kadang menta’dib[11] mereka
disebabkan hal itu.”[12]
3. Lahn Termasuk Jenis Dosa
Cukuplah dikategorikan dosa apa yang membuat seseorang malu dan tidak suka bila orang lain mendengarnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
«البِرُّ حُسْنُ الْخُلْقِ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فيِ نَفْسِكَ
وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ»
“Kebaikan adalah akhlak yang mulia, dan dosa adalah apa
yang membuat sesak dadamu dan engkau tidak suka orang lain mengetahuinya.”[13]
Para ulama terdahulu merasa aib dan tidak suka seandainya lahnnya diketahui
orang lain. Hal ini sangat nampak sekali bagi ahli hadits, sebab hal ini bisa
mengurangi kepercayaan orang lain terhadapnya dalam meriwayatkan hadits.
Abu al-Muwaffaq berkata:
كُنْتُ
عِنْدَ أَبِي شَيْبَة وَعِنْدَهُ رَقْبَةٌ وَكَانَ يَلْحَنُ لَحْنًا شَدِيْدًا فَقَالَ
رَقْبَةٌ: لَوْ كَانَ لَحْنُكَ مِنَ الذُّنُوْبِ كَانَ مِنَ الْعَظَائِمِ
“Aku pernah
berada di sisi Abu Syaibah dan di sampingnya ada Raqbah. Abu Syaibah mengalami
lahn yang sangat parah, maka berkatalah Raqbah, ‘Seandainya lahnmu termasuk
dosa, tentulah berupa dosa besar.’”[14]
Orang yang berbuat
dosa dituntut untuk beristighfar dan bertobat. Begitu pula dosa lahn, orang
yang mengalami lahn dituntut untuk beristighfar kepada Allah.
Yaqut al-Hamawi (w.
626 H) berkata:
كَانَ الْحَسَنُ بْنُ أَبِي الْحَسَنِ
يَعْثُرُ لِسَانَهُ بِشَيْءٍ مِنَ اللَّحْنِ فَيَقُوْلُ: أَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ! فَقِيْلَ
لَهُ فِيْهِ؟ فَقَالَ: مَنْ أَخْطَأَ فِيْهَا فَقَدْ كَذَبَ عَلَى الْعَرَبِ، وَمَنْ
كَذَبَ فَقَدْ عَمِلَ سُوْءاً وَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى: ﮋ ﮔ ﮕ
ﮖ ﮗ ﮘ
ﮙ ﮚ ﮛ
ﮜ ﮝ ﮞ
ﮟ ﮠ ﮡ ﮊ
“Al-Hasan bin Abil Hasan
pernah terpeleset lisannya ke dalam lahn, lalu ia mengatakan, ‘Astaghfirullah.’ Kemudian ada orang yang bertanya kepadanya tentang hal
itu, lalu beliau berkata, ‘Barangsiapa yang salah
dalam bahasa Arab, maka ia telah berdusta atas nama orang Arab. Barangsiapa
yang berdusta maka ia telah melakukan kesalahan, sedangkan Allah ta’ala telah
berfirman, ‘Dan barangsiapa yang melakukan kesalahan atau menganiaya
dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah maha pengampun
lagi maha penyayang.’[15]
[16]
Al-Khalil bin Ahmad (w.
160 H) berkata:
سَمِعْتُ أَيُّوْبَ السِّجِسْتَانِي
يُحَدِّثُ بِحَدِيْثٍ فَلَحِنَ فِيْهِ، فَقَالَ: أَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ! يَعْنِي أَنَّهُ
عَدَّ اللَّحْنَ ذَنْباً
“Aku mendengar Ayyub
as-Sijistani[17]
menyampaikan hadits lalu mengalami lahn, maka dia berkata, ‘Astaghfirullah!’
Maksudnya, dia menganggap lahn adalah suatu dosa.”[18]
Ayyub as-Sikhtiyani
pernah lahn dalam suatu huruf, lalu beliau berkata, ”Astaghfirullah.”[19]
4. Mereka Juga Pernah Lahn
Manusia lahir dalam
keadaan jahil tidak mengerti apa-apa. Seandainya mereka tidak mau belajar, maka
dia akan menetap pada kondisinya yang awal, jahil dan tidak mengerti apa-apa.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ﮋ ﯤ ﯥ
ﯦ ﯧ ﯨ
ﯩ ﯪ ﯫ
ﯬ ﯭ ﯮ
ﯯ ﯰﯱ ﯲ
ﯳ ﯴ ﮊ
“Dan Allah telah
mengeluarkanmu dari rahim ibumu dalam keadaan tanpa mengetahui apapun, kemudian
Dia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.”[20]
Dari sini, jelaslah
bahwa lahn yang dialami oleh para ulama Salaf terdahulu adalah hal yang alami.
Hanya saja mereka selalu berbenah diri dengan belajar sehingga lahn pun hilang
sama sekali dari mereka.
Abu Musa berkata:
قَالَ رَجُلٌ لِلْحَسَنِ:
يَا أَبَا سَعِيدٍ! وَاللّٰهِ مَا أَرَاكَ تَلْحَنُ، فَقَالَ: يَا ابْنَ أَخِي!
إنِّي سَبَقْتُ اللَّحْنَ
“Seseorang berkata kepada
al-Hasan al-Bashri, ‘Hai
Abu Sa’id! Demi Allah, aku tidak pernah melihatmu mengalami lahn.’ Dia berkata, ‘Hai putra saudaraku!
Sungguh dahulu aku pernah mengalami lahn.’[21]
Ibnu Aun berkata,
“Ibnu Sirin dulu mengalami lahn dalam hadits.”[22]
Abu Mashar berkata,
“Al-Auza’i pernah mengalami lahn.”[23]
Lahn perawi
terkadang mempengaruhi perawi dibawahnya, hal ini bisa terjadi karena
ketidaktelitian dalam mendengarkan hadits dari perawi yang mengalami lahn atau
bisa jadi pula karena khawatir dianggap berdusta atas Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bila mengoreksi i’rab secara sendiri.
Affan berkata:
كَانَ يَزِيْدُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ
التُّسْتُرِي إِذَا حَدَّثَ عَنِ الْحَسَنِ لَمْ يَلْحَنْ وَإِذَا حَدَّثَ عَنْ مُحَمَّدٍ
لَحِنَ
“Yazid bin Ibrahim
at-Tusturi apabila menyampaikan hadits dari al-Hasan
al-Bashri tidak mengalami lahn, tetapi apabila menyampaikan hadits dari Muhammad mengalami lahn.”[24]
Yang benar adalah
membetulkan kesalahan lahn itu, jika benar-benar tahu bahwa hal tersebut adalah
lahn dari perawi hadits di atasnya. Ini adalah pendapat sejumlah ulama Salaf di
antaranya Imam al-Auza’i dan Imam Abu Dawud as-Sijistani
pengarang kitab Sunan Abu Dawud.
Al-Auza’i (w. 157 H) berkata:
لَا بَأْسَ بِإِصْلاَحِ الْخَطَأِ
وَاللَّحْنِ وَالتَّصْحِيْفِ فِي الْحَدِيْثِ
“Tidak
mengapa membetulkan kesalahan, lahn, dan tashhif[25]
dalam hadits.”[26]
Abu Dawud Sulaiman
bin al-Asy’ats (w. 275 H) berkata:
كَانَ أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ
يَقُوْمُ كُلَّ لَحْنٍ فِي الْحَدِيْثِ
“Ahmad bin
Shalih meluruskan setiap lahn dalam hadits.”[27]
Abu
Ja’far Muhammad bin Ishaq bin Bahlul berkata:
سَأَلْتُ الْحَسَنَ بْنَ مُحَمَّدٍ
الزَّعْفَرَانِي عَنِ الرَّجُلِ يَسْمَعُ الْحَدِيْثَ مَلْحُوْناً أَيُعْرِبُهُ؟ قَالَ:
نَعَمْ
“Aku
bertanya kepada al-Hasan bin Muhammad az-Za’farani tentang seseorang yang mendengar
hadits lahn, apakah dia boleh membetulkan i’rabnya?’ Dia menjawab, ‘Ya.’”[28]
Seandainya ada
hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang lahn, menurut sejumlah ulama
hadits hal itu membuat cacat hadits dan matruk bila lahnnya berat.
Abdullah bin Rihbi
berkata:
سَمِعْتُ بَعْضَ أَصْحَابِنَا
يَقُوْلُ: إِذَا كَتَبَ لَحَّانٌ فَكَتَبَ عَنِ اللَّحَّانِ لَحَّانٌ آخَرُ فَكَتَبَ
عَنِ اللَّحَّانِ لَحَّانٌ آخَرُ صَارَ الْحَدِيْثُ بِالْفَارِسِيَّةِ
“Aku mendengar
sebagian sahabat-sahabat kami berkata, ‘Apabila perawi hadits yang mengalami
lahn menulis hadits dari perawi lahn lainnya, lalu perawi lahn itu menulis dari
perawi lahn lainnya pula, maka jadilah hadits tersebut berbahasa Persia.’”[29]
Inilah
pendapat yang mereka pegang. Bila benar-benar mengetahui lahn kemudian tidak
membenarkannya dikhawatirkan telah berdusta atas nama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dulu kaum Salaf sangat memperhatikan masalah ini dan
memperingatkan umat darinya.
Al-Ashma’i berkata:
أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَى طَالِبِ
الْعِلْمِ إِذَا لَمْ يَعْرِفِ النَّحْوَ أَنْ يَدْخُلَ فِي جُمْلَةِ قَوْلِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ» لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَلْحَنُ، فَمَهْمَا رَوَيْتَ
عَنْهُ وَلَحَنْتَ فَقَدْ كَذَبْتَ عَلَيْهِ
“Yang paling aku takutkan atas penuntut ilmu adalah apabila dia tidak
mengerti nahwu sehingga dia tercakup dalam
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah dia
menyiapkan tempat duduknya di Neraka.’ Sebab beliau tidak mengalami
lahn. Seandainya Anda meriwayatkan hadits dari beliau dan mengalami lahn, berarti Anda telah berdusta atas nama beliau.”[30]
Anas
bin Malik al-Anshari (w. 92 H) radhiyallahu
‘anhu melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari 9
tahun, tetapi hadits yang dia riwayatkan dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak sebanyak Abu Huroiroh yang hanya 3 tahun bersama beliau. Dia khawatir apa yang disampaikannya tidak sama
persis dengan apa yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
karena lahn.
Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
إِنَّهُ لَيَمْنَعُنِيْ أَنْ
أُحَدِّثَكُمْ حَدِيثًا كَثِيرًا أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: «مَنْ تَعَمَّدَ عَلَىَّ كَذِبًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
“Sungguh benar-benar
menghalangiku untuk banyak menyampaikan hadits kepada kalian sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, ‘Barangsiapa yang sengaja
berdusta atas namaku, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di Neraka.’”[31]
Affan
berkata:
سَمِعْتُ حَمَّادًا بْنَ سَلَمَةَ
يَقُولُ
لِإِنْسَانٍ:
إِنْ لَحَنْتَ فِي حَدِيْثِي فَقَدْ كَذَبْتَ عَلَيَّ فَإِنِّي لَا أَلْحَنُ
“Aku mendengar
Hammad bin Salamah berkata kepada seseorang, ‘Jika kamu mengalami lahn dalam
haditsku, berarti kamu telah berdusta atas namaku karena aku tidak mengalami
lahn.’[32]
Guru besar Imam
Ahmad ini tidak rela haditsnya diriwayatkan secara lahn, tentu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lebih berhak lagi untuk itu.
Saat menghadiri
kajian as-Sunnah di Surabaya, Penulis sering mendengar di antara para ustadz
seusai membawakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
أَوْ
كَمَا قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Atau seperti yang disabdakan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.” Padahal terkadang redaksinya sama persis dengan apa
yang ada di kitab induk. Barangkali ini karena kehati-hatian dan penjagaan dari
ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
5. Kisah Lucu Sekaligus Memalukan
Lahn merupakan aib
yang memalukan. Aib ini lebih berat lagi bila menimpa ahli ilmu atau penuntut
ilmu. Alangkah indahnya pepatah seseorang:
Cacat
pada orang jahil yang tidak dikenal itu tidak begitu diperhatikan.
Sedangkan
cacat pada orang mulia dan terkenal itu
diperhatikan.[33]
Yaqut al-Hamawi
bercerita:
قَالَ رَجُلٌ لِسَمَّاكٍ بِالْبَصْرَةِ:
بِكَمْ هَذِهِ السَّمَكَةُ؟ قَالَ: بِدِرْهَمَانِ. فَضَحِكَ الرَّجُلُ، فَقَالَ
السّمَّاكُ: وَيْلَكَ أَنْتَ أَحْمَقُ! سَمِعْتُ سِيْبَوَيْهَ يَقُوْلُ:
ثَمَنُهَا دِرْهَمَانِ
“Seorang lelaki berkata
kepada penjual ikan di Bashrah, ‘Berapa harga ikan-ikan ini?’ Dia menjawab, ‘Dua
dirham.’ Lelaki itu tertawa, lalu si penjual
ikan berkata, ‘Sialan kamu hai orang bodoh! Aku
pernah mendengar Sibawaih berkata, ‘Harganya dua dirham!’”[34]
Jika Anda tertawa, berarti Anda paham Nahwu. Selamat!
Dalam cerita lain,
Yaqut al-Hamawi berkisah:
اسْتَأْذَنَ رَجُلٌ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
النَّخَعِي فَقَالَ: أَبَا عِمْرَانَ فِي الدَّارِ؟ فَلَمْ يُجِبْهُ. فَقَالَ:
أَبِي عِمْرَانَ فِي الدَّارِ؟ فَنَادَاهُ: قُلِ الثَّالِثَةَ وَادْخُلْ
“Seseorang meminta
izin masuk kepada Ibrahim an-Nakha’i. Ia berkata, ‘Aba Imran ada di
rumah?’ Ibrahim tidak menjawab. Ia berkata lagi, ‘Abi Imran ada di
rumah?’ Ibrahim berkata, ‘Katakanlah yang ketiga --maksudnya Abu-- dan
masuklah.’”[35]
Dalam kisah lain
diriwayatkan bahwa al-Qasim bin Muhammad bin Bisyar al-Anbari berkata,
“Mustamli[36]
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal bertugas menyampaikan ayat al-Qur`an dengan
akurat. Ketika Abdullah bin Ahmad mendiktekan hadits tentang ayat[37]:
ﮋ ﯮ ﯯ
ﯰ ﯱ ﮊ
Dia membacanya
dengan marfu’ mendhammah huruf ta ( آيَاتُنَا), sehingga orang-orang tertawa dan majlis pun gaduh.
Mustamli itu berkata, ‘Diam kalian!’ Lalu dia membacanya dengan menfathah ta (آيَاتَنَا).”[38]
Dia masih keliru, yang terbayang dalam benaknya manshub adalah dengan fathah,
padahal tanda manshub untuk isim jama’ muannats salim adalah kasrah.
Dalam kisah lain
diriwayatkan bahwa Abu Bakar bin Khallad berkata:
أَمْلَى عَلَيْناَ أَبُو دَاوُدَ
الطَّيَالِسِي فِي حَدِيْثِ ﮋ ﯦ ﯧ
ﯨ ﯩ ﯪ
ﯫ ﯬﯭ ﮊ بِكَسْرِ الْعَيْنِ، فَقَالَ لَهُ عَمَّارٌ المُسْتَمْلِي: يَا أَبَا دَاوُدَ
إِنَّمَا هُوَ «يَرْفَعُهُ»، فَقَالَ: هَكَذَا الْوَقْفُ عَلَيْهِ
“Abu Dawud
ath-Thayalisi[39]
mendiktekan kepada kami hadits tentang ayat: (إِلَيْهِ يَصْعُدُ الْكَلِمُ
الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ)[40]
tetapi dengan mengkasrah ‘ain. Maka, Ammar al-Mustamli berkata kepadanya,
’Wahai Abu Dawud, yang benar adalah: (يَرْفَعُهُ).’ Dia menjawab, ‘Memang seperti itu bila
diwaqaf.’”[41]
[???]
Dalam kisah lain
diriwayatkan bahwa Isma’il bin ash-Shalt berkata:
سَمِعْتُ عُثْمَانَ بِنْ أَبِي
شَيْبَةَ يَقْرَأُ: وَاتَّبِعُواْ مَا تَتْلُواْ الشَّيَاطِيْنُ عَلَى مُلْكِ
سُلَيْمَانَ فَقُلْتُ: «وَاتَّبَعُواْ» فَقَالَ: وَاتَّبِعُواْ، وَاتَّبِعُواْ
“Aku mendengar
Utsman bin Abi Syaibah membaca: (وَاتَّبِعُواْ مَا تَتْلُواْ
الشَّيَاطِيْنُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَان). Maka aku berkata, ‘(وَاتَّبَعُواْ).’ Dia menjawab, ‘(وَاتَّبِعُواْ), (وَاتَّبِعُواْ).’”[42]
Ayat yang benar
adalah yang datang dari Ismail, yaitu:
ﮋ ﭑ ﭒ
ﭓ ﭔ ﭕ
ﭖ ﭗﭘ ﮊ
“Dan
mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan
Sulaiman.”[43] Bila dibaca (وَاتَّبِعُواْ), maka artinya
berubah, “Dan ikutilah …” Ini adalah bacaan yang keliru.
Jangan keburu meremahkan mereka, memang tiga kisah terakhir nampak sekali
bahwa kesalahan mereka terdapat pada salah baca al-Qur`an. Seolah-olah orang
masa kini lebih ahli dan mutqin (kokoh dan kuat hafalannya) daripada mereka,
belum lagi bahasa mereka adalah bahasa Arab.
Perlu diketahui
bahwa mushaf zaman dulu kosong dari titik dan harakat. Ketika banyak
negeri-negeri yang ditaklukan dan banyak orang ajam yang masuk Islam, mereka
kesulitan untuk membaca al-Qur`an. Barulah kemudian muncul gagasan dibubuhi
titik dan harakat dan muncul pula ilmu rasmul utsmani tentang kaidah Penulisan
mushaf. Dari
Abu Raja` Muhammad bin Saif, dia berkata:
سَأَلْتُ الْحَسَنَ عَنِ
الْمُصْحَفِ يُنْقَطُ بِالْعَرَبِيَّةِ، قَالَ: لَا بَأْسَ بِهِ أَوْ مَا بَلَغَكَ
عَنْ كِتَابِ عُمَرَ أَنَّهُ كَتَبَ: تَعَلَّمُوا الْعَرَبِيَّةَ وَتَفَقَّهُوا
فِي الدِّينِ وَأَحْسِنُوا عِبَارَةَ الرُّؤْيَا؟
“Aku bertanya kepada
al-Hasan tentang mushaf yang dibubuhi titik Arab, lalu dia menjawab, ‘Tidak masalah. Tidakkah sampai kepadamu kabar bahwa dalam
salah satu surat Umar menulis, ‘Pelajarilah bahasa Arab, perdalamlah agama, dan
perbaguslah dalam menta’birkan mimpi?’”[44]
Dalam riwayat Sa’id bin Manshur terdapat tambahan bahwa Ibnu Sirin berkata,
“Hanya saja aku takut kalian menambah-nambah hurufnya.”
Dalam kisah lain
diriwayatkan dari Salim dari ayahnya, dia berkata:
مَرَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ
عَلَى قَوْمٍ يَرْمُوْنَ رَشْقًا فَقَالَ: بِئْسَ مَا رَمَيْتُمْ! فَقَالُوْا: يَا
أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ! إِنَّا قَوْمٌ مُتَعَلِّمِيْنَ. فَقَالَ: وَاللّٰهِ!
لَذَنْبُكُمْ فِي لَحْنِكُمْ أَشَدُّ عَلَيَّ مِنْ لَحْنِكُمْ فِي رَمْيِكُمْ، سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: «رَحِمَ اللّٰهُ
رَجُلاً أَصْلَحَ مِنْ لِسَانِهِ»
“Umar bin al-Khaththab pernah melewati suatu kaum yang sedang
belajar memanah, lalu dia berkata, ‘Buruk sekali cara memanah kalian.’ Mereka
menjawab, ‘Wahai Amirul Mukminin! Kami adalah kaum yang sedang belajar.’
Lalu Umar berkata, ‘Demi Allah! Sungguh kesalahan kalian dalam bahasa Arab
lebih parah menurutku daripada kesalahan kalian dalam memanah. Aku pernah
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Semoga
Allah merahmati seseorang yang membenahi bahasanya.’”[45]
Seharusnya mereka
mengatakan (إِنَّا قَوْمٌ مُتَعَلِّمُوْنَ) karena (مُتَعَلِّمُوْنَ) menjadi man’ût marfû’.
Dalam kisah lain
diriwayatkan bahwa ar-Riyasyi berkata:
مَرَّ
الْأَصْمَعِيُّ بِرَجُلٍ يَدْعُو وَيَقُولُ فِي دُعَائِهِ: يَا ذُوْ الْجَلَالِ
وَالْإِكْرَامِ! فَقَالَ لَهُ الْأَصْمَعِيُّ: يا هَذَا، مَا اسْمُكَ؟ فَقَالَ:
لَيْثٌ، فَقَالَ الْأَصْمَعِيُّ: يُنَاجِي رَبَّهُ بِاللَّحْنِ لَيْثٌ لِذَاكَ
إِذَا دَعَاهَ لَا يُجِيبُ
“Al-Ashma’i pernah melewati seseorang yang sedang berdoa dan di dalam doanya itu dia berkata, ‘Wahai Pemilik
keagungan dan kemuliaan!’ Lalu al-Ashma’i
berkata kepadanya, ‘Hai Bapak, siapa namamu?’
Dia menjawab, ‘Laits.’ Lalu al-Ashma’i berkata, ‘Laits bermunajat kepada
Rabb-nya dengan lahn, oleh karena itulah setiap kali dia berdoa kepada-Nya
tidak dikabulkan.’”[46]
Kisah lain diriwayatkan bahwa Abu Zaid
an-Nahwi berkata:
كَانَ
الَّذِي حَدَانِي عَلَى طَلَبِ الْأَدَبِ وَالنَّحْوِ أَنِّي دَخَلْتُ عَلَى جَعْفَرِ
بْنِ سُلَيْمَانَ فَقَالَ: اِدْنِهْ! فَقُلْتُ: أَنَا دَنِي، فَقَالَ:
لاَ تَقُلْ يَا بُنَيَّ أَنَا دَنِي وَلَكِنْ قُلْ أَنَا دَانٍ!
“Sesuatu yang memotifasiku untuk belajar adab dan nahwu adalah ketika aku
masuk menemui Ja’far bin Sulaiman lalu dia berkata, ‘Mendekatlah!’ Aku
menjawab, ‘Aku mendekat.’ Dia bekata, ‘Jangan katakan (أَنَا دَنِي) tetapi katakan (أَنَا
دَانٍ).’”[47]
Abu Zaid telah keliru. Lafazh (الدَّانِي) merupakan isim fâ’il manqûsh dari (دَنَا) artinya
dekat. Karena ia isim manqûsh maka keadaan nakirahnya dengan membuang yâ
lâzimah menjadi (دَانٍ), seperti firman Allah:
ﮋ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﮊ
“Dan masing-masing kaum memiliki seorang pemberi
petunjuk.”[48]
Masih ada lagi tiga kisah lucu nan memalukan berkaitan dengan al-Hasan
al-Bashri seorang tabi’in senior ulama Bashrah dan ahli bahasa.
Diriwayatkan bahwa Huraits
bin as-Sa`ib berkata:
شَهِدْتُ الْحَسَنَ
فَأَتَاهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا أَبُوْ سَعِيْدٍ! قَالَ: كَسْبُ
الدَّوَانِيقِ شَغَلَكَ أَنْ تَقُوْلَ: يَا أَبَا سَعِيْدٍ!
“Aku pernah
hadir saat al-Hasan didatangi seseorang lalu dia berkata, ‘Hai Abu Sa’id!’ Dia
menjawab, ‘Bagaimana kamu ini! Seharusnya kamu mengatakan, ‘Hai Aba
Sa’id!’”[49]
Yaqut al-Hamawi
berkisah bahwa ada seseorang yang mengetuk pintu rumah al-Hasan al-Bahsri
sambil berseru:
يَا أَبُوْ سَعِيْدٍ؟
فَلَمْ يُجِبْهُ، فَقَالَ: أَبِي سَعِيْدٍ؟ فَقَالَ الْحَسَنُ: قُلِ الثَّالِثَةَ
وَادْخُلْ!
“Hai Abu
Sa’id?” Namun, tidak dijawab. Dia berkata, “Abi Sa’id?” Lalu al-Hasan
berkata, “Katakanlah yang ketiga --maksudnya Aba-- dan masuklah.”[50]
Abu Zaid an-Nahwi berkata:
قَالَ رَجُلٌ لِلْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ:
مَا تَقُولُ فِي رَجُلٍ تَرَكَ أَبِيهِ وَأَخِيهِ؟ قَالَ الْحَسَنُ: تَرَكَ أَبَاهُ وَأَخَاهُ. فَقَالَ الرَّجُلُ:
فَمَا لِأَبَاهُ وَأَخَاهُ؟ فَقَالَ الْحَسَنُ: فَمَا لِأَبِيهِ وَأَخِيهِ.
فَقَالَ الرَّجُلُ لِلْحَسَنِ: أَرَانِي كُلَّمَا تَابَعْتُكَ خَالَفْتَنِي
“Seseorang bertanya kepada al-Hasan al-Bashri, ‘Apa pendapat Anda tentang
seseorang yang wafat dan meninggalkan ayahnya dan saudaranya?’ Al-Hasan menjawab, ‘Meninggalkan ayahnya dan saudaranya.’
Lelaki itu berkata, ‘Berapa bagian untuk ayahnya dan saudaranya?’
Al-Hasan berkata, ‘untuk ayahnya dan saudaranya.’ Akhirnya berkatalah lelaki
itu kepada al-Hasan, ‘Aku melihat diriku setiap kali mengikutimu Anda justru
menyelisihiku.’”[51]
Ketahuilah, semua kisah-kisah ini tidak bisa dinikmati secara sempurna
kecuali siapa yang menguasai bahasa Arab, meskipun hanya bahasa Arab dasar.
/
[1] Al-Qâmûs al-Muhîth (hal. 1587) oleh al-Fairuz Abadi.
[2] Lisâbul Arâb (XIII/379) oleh Ibnu Manzhur.
[3] Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwî (no. 1071)
oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[4] QS. Az-Zukhrûf
[43]: 77 yang berbunyi:
ﮋ ﭦ ﭧ ﭨ
ﭩ ﭪﭫ ﮊ
“Dan mereka memanggil-manggil, ‘Wahai
Malik, mintalah Rabb-mu untuk mematikan kami saja.’”
[5] Pembuangan huruf
akhir dalam panggilan (nida`) untuk memperindah dan mempersopan panggilan
tersebut.
[6] Mu’jamul Udabâ` (I/1) oleh
Yaqut al-Hamawi. Sanad ini perlu dikaji ulang. Jika dalam sebuah atsar
ada ungkapan yang menyudutkan seorang dari Sahabat, maka perlu dicurigai
kevalidannya, dan Penulis kira atsar ini menyudutkan Sahabat mulia Ali bin Abi
Tholib, dan nampaknya sanadnya bermasalah. Penulis cantumkan hanya sebagai
wawasan akan buruknya lahn.
[7] Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwî (no.
1072) oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[8] Ibid (no. 1089).
[9] Syu’abul Iman
(no. 1558) oleh al-Baihaqi. Lihat Gharîbul Hadîts
(I/61) oleh al-Khaththabi, Akhbârun Nahwiyyin (no. 12, hal. 25-26) oleh Abdul Wahid bin ‘Umar al-Muqri’, dan Mu’jamul Udabâ’ (I/67)
oleh Yaqut al-Hamawi.
[10] Ibid (no. 1091).
[11] Memberikan sangsi dengan tujuan memberi pelajaran (mendidik).
[12] Lihat Mu’jamul Udabâ’
(I/88-89)
oleh Yaqut al-Hamawi.
[13] Shahih:
HR. Muslim (no. 2553), at-Tirmidzi (no. 2389),
Ahmad (IV/182), al-Bukhari
(no. 295, 302) dalam al-Adâb al-Mufrâd, ad-Darimi (II/322) Sunannya, dan al-Hakim
(II/14) dalam al-Mustadrâk dari an-Nawwas bin Sam’an al-Anshari radhiyallahu ‘anhuma.
[14] Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwî (no. 1093)
oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[15] QS. An-Nisâ`
[4]: 110.
[16] Mu’jamul Udabâ` (I/1) oleh
Yaqut al-Hamawi.
[17] Mungkin
as-Sijistani di sini adalah asy-Syikhtiyani karena ia
ahli hadits yang membuka majlisnya di Bashrah, dan al-Khalil yang semasa
dengannya juga tinggal di Bashrah.
[18] Mu’jamul Udabâ` (I/3) oleh
Yaqut al-Hamawi. Lihat Gharîbul Hadîts oleh al-Khaththabi (I/61)
dan Tanbîh Ulil Albâb (hal. 86).
[19] Lihat Gharîbul
Hadîts (I/61) oleh al-Khaththabi, Mu’jamul
Udabâ’ (I/79) oleh Yaqut al-Hamawi,
dan Tanbîh Ulil Albâb (hal. 86).
[20] QS. An-Nahl [16]:
78.
[21] Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (no. 30540) dalam al-Mushannaf.
[22] Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwî (no. 1063)
oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[23] Ibid (no. 1064).
[24] Ibid (no. 1065).
[25] Mungkin kesalahan dalam menulis.
[26] Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwî (no. 1067)
oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[27] Ibid (no. 1069).
[28] Ibid (no. 1070).
[29] Ibid (no. 1071).
[30] Mu’jamul Udabâ` oleh
Yaqut al-Hamawi.
[31] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari
(no. 108) dan Muslim (no. 2).
[32] Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwî (no. 1095)
oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[33] Lihat adz-Dzakhîrah
(I/50) oleh al-Qarafi.
[34] Mu’jamul Udabâ` (II/230) oleh
Yaqut al-Hamawi.
[35] Ibid (II/230).
[36] Orang yang bertugas
meneruskan ucapan seorang syaikh kepada para penuntut ilmu dengan suara yang
nyaring karena saking banyaknya yang hadir, biasanya mencapai ribuan. Di masa
sekarang fungsinya seperti speaker.
[37] “Kami akan
perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru.” [QS.
Fussilat [41]: 53 dengan ta dikasrah karena maf’ul bih]
[38] Lihat Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwî (no. 1098)
oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[39] Ahli hadits
kenamaan dan pengarang kitab al-Musnad dalam hadits. Dia bukan Abu Dawud
as-Sijistani pengarang kitab Sunan Abû
Dâwûd.
[40] QS. Fâthir [35]:
10.
[41] Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwî (no. 1096)
oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[42] Ibid (no. 1097).
[43] QS. Al-Baqarah [2]:
102.
[44] Diriwayatkan
al-Baihaqi (no. 2424) dalam Syu’abul Iman dan Sa’id bin Manshur (no. 89)
dalam Sunannya.
[45] Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwî (no.
1073) oleh al-Khathib al-Baghdadi. Lihat al-Malâhin (hal. 72) oleh Ibnu Duraid
al-Azdi.
[46] Syu’abul Iman (no. 1565)
oleh al-Baihaqi.
[47] Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwî (no. 1083)
oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[48] QS. Ar-Ra’du [13]: 7.
[49] Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwî (no.
1563) oleh al-Khathib al-Baghdadi.
[50] Mu’jamul Udabâ` (I/3)
oleh Yaqut al-Hamawi. Kisah ini mirip dengan kisah Ibrahim an-Nakha’i di muka.
Terjadinya dua peristiwa yang mirip mungkin saja terjadi dan tidak mustahil,
seperti ungkapan, “Hati-hati mereka serupa.”
[51] Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwî (no.
1562) oleh al-Khathib al-Baghdadi.