Bab 1 Bahasa Arab dan Sejarahnya | ADA APA DENGAN BAHASA ARAB | PUSTAKA SYABAB
Bab 1 Bahasa Arab dan Sejarahnya >>> KEMBALI KE DAFTAR ISI Kini saatnya bagi Pembaca untuk mengenal lebih dalam bahasa Arab yang m...
Bab 1 Bahasa Arab dan Sejarahnya
Kini saatnya bagi Pembaca untuk mengenal lebih dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa Islam dan kaum Muslimin. Orang-orang mengatakan bahwa tak kenal maka tak sayang. Maka, pertama Penulis akan mengenalkan kepada Pembaca tentang sejarah bahasa Arab, kemudian disusul pembahasan nahwu dan sharaf yang merupakan bagian penting dari bahasa Arab, kemudian disusul pembahasan mengenai keutamaan bahasa Arab. Semuanya dikemas dalam bab pertama ini.
1. Sejarah Bahasa Arab dan Bahasa Dunia
Tidak ragu lagi
bahwa segala sesuatu selain Allah adalah makhluk. Sesuatu dikatakan makhluk
karena dia diciptakan dan tidak ada yang mencipta kecuali Allah subhanahu wa
ta’ala.
ﮋ ﮥ ﮦ
ﮧ ﮨ ﮩ
ﮪ ﮫ ﮬ ﮊ
“Dan
tidaklah Kami menciptakan langit-langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya kecuali dengan kebenaran (tidak sia-sia).”[1]
Firman Allah, “...
dan apa yang ada di antara keduanya ...” menunjukkan bahwa semua bahasa
adalah ciptaan Allah. Hal ini bertolak belakang dengan anggapan sebagian ilmuan
dan pakar bahasa dari Barat yang mengatakan bahwa asal-muasal bahasa ciptaan
dari suatu komunitas manusia tertentu.
Penulis telah membaca beberapa
tulisan tentang asal-usul bahasa. Ternyata mereka terombang-ambing menjadi
beragam pendapat. Di antaranya Teori Tekanan Sosial, Teori Ekotik, Teori
Interjeksi, Teori Nativistik, Teori Yo-He-Ho, Teori Isyarat, Teori Permainan
Vokal, Teori Alami, Teori Konvensi, dan lain-lain. Tetapi kemudian, hati Penulis
lebih tentram dengan merujuk kepada pemberitaan dari Allah dalam al-Qur`an yang
mudah dipahami dengan penjelasan para ulama yang mu’tamad (terpercaya), meskipun tidak terperinci.
Kita kaum Muslimin
menyakini bahwa bahasa Arab —begitu juga bahasa lainnya— diciptakan oleh Allah bukan tanpa kesengajaan
sebagaimana persangkaan orang-orang yang terombang-ambing. Allah berfirman:
ﮋ ﮟ ﮠ
ﮡ ﮢ ﮣ
ﮤ ﮥ ﮦﮧ ﮨ
ﮩ ﮪ ﮫ
ﮬ ﮭ ﮊ
“Dan di antara
tanda-tanda (kebesaran Allah) adalah penciptaan langit-langit dan bumi, dan perbedaan bahasa-bahasa kalian dan
warna-warna kulit kalian. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berilmu.”[2]
Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H)
menyebutkan bahasa-bahasa yang Allah
ciptakan berikut keberadaan bahasa lainnya yang tidak diketahui manusia. Al-Hafizh berkata, “Ada yang berbahasa Arab, Tartar, Georgia,
Romawi, Eropa, Barbar, Ethiopia, India, Sevilla, Armennia, Cina, Kurdi, dan
bahasa-bahasa manusia lainnya yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.”[3]
Adam ‘alaihis
salam yang merupakan manusia pertama yang Allah ciptakan, Allah jadikan bahasa Arab sebagai bahasanya. Allah mengajarinya
nama-nama semuanya yang nantinya digunakannya sebagai
bahasa lisannya. Allah berfirman:
ﮋ ﭰ ﭱ
ﭲ ﭳ ﮊ
“Allah
mengajari Adam nama-nama semuanya.”[4]
Mujahid bin Jabr
(w. 104 H) berkata:
عَلَّمَهُ اسْمَ كُلِّ دَابَّةٍ وَكُلِّ طَيْرٍ وَكُلِّ شَيْءٍ
“Dia
mengajarinya nama semua dabbah[5],
burung, dan segala sesuatu.”[6]
Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H) berkata:
الصَحِيْحُ أَنَّهُ عَلَّمَهُ أَسْمَاءَ الأَشْيَاءِ كُلِّهَا:
ذَوَاتِهَا وَأَفْعَالِهَا
“Tafsir yang
benar adalah Dia mengajarinya nama-nama segala sesuatu seluruhnya baik dzatnya
maupun perbuatannya.” Al-Hafizh menguatkan pendapatnya dengan sebuah hadits
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«يَجْتَمِعُ الْمُؤْمِنُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُونَ: لَوِ
اسْتَشْفَعْنَا إِلَى رَبِّنَا، فَيَأْتُونَ آدَمَ فَيَقُولُونَ: أَنْتَ أَبُو النَّاسِ
خَلَقَكَ اللّٰهُ بِيَدِهِ وَأَسْجَدَ لَكَ مَلاَئِكَتَهُ وَعَلَّمَكَ أَسْمَاءَ
كُلِّ شَىْءٍ، فَاشْفَعْ لَنَا عِنْدَ رَبِّكَ حَتَّى يُرِيحَنَا مِنْ مَكَانِنَا
هَذَا. فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكُمْ. وَيَذْكُرُ ذَنْبَهُ فَيَسْتَحِى»
“Orang-orang
Mukmin pada hari Kiamat berkata, ‘Mari kita meminta syafaat kepada Rabb kita,’
lalu mereka mendatangi Adam lalu berkata, ‘Engkau adalah ayah manusia. Allah
menciptakanmu dengan Tangan-Nya dan menjadikan para malaikat bersujud
kepadamu serta mengajarimu
nama-nama segala
sesuatu. Maka, berilah
kami syafaat di sisi Rabb-mu agar kami terbebas dari tempat ini.’ Adam
menjawab, ‘Aku bukan orangnya,’ lalu dia menyebutkan dosanya dan merasa malu.”[7] Lanjutnya, “Ini menunjukkan bahwa Dia mengajarinya
seluruh nama-nama makhluk.”[8]
Asy-Sya’rawi (w.
1418 H) berkata, “Jika kita runtut silsilah bahasa, maka kita akan menemukan
muaranya pada nenek moyang kita Adam. Allah-lah yang telah mengajari bahasa
kepadanya, yaitu ketika Dia mengajarinya semua nama-nama. Kemudian nama-nama ini
digunakan oleh Adam dan keturunannya sepeninggalnya sehingga mereka saling
mengerti.”[9]
Jika ada yang
bertanya, “Bagaimana bahasa-bahasa bisa ada?” Maka jawabanya: saat Allah
membinasakan umat Nabi Nuh ‘alaihis salam, Allah tidak menyisakan
manusia dipermukaan bumi kecuali Nuh dan orang-orang yang di kapalnya saja
serta binatang-binatang sepasangan. Dari keturunan inilah manusia sekarang
bernasab. Imam Qatadah (w. 118 H) berkata:
النَّاسُ كُلُّهُمْ ذُرِّيَّةُ مَنْ أَنْجَى اللّٰهُ فِي تِلْكَ
السَّفِيْنَةِ
“Seluruh manusia
adalah keturunan orang-orang yang Allah selamatkan di kapal tersebut.”[10]
Seiring
berjalannya waktu, keturunan mereka semakin banyak lalu berpencar-pencar lalu
terjadilah perbedaan logat dalam pengucapan. Kemudian, Allah mengilhamkan
mereka bahasa sebagaimana Allah memberi ilham kepada lebah untuk membuat
sarangnya. Allah berfirman:
ﮋ ﮇ ﮈ
ﮉ ﮊ ﮋ
ﮌ ﮍ ﮎ
ﮏ ﮐ ﮑ
ﮒ ﮓ ﮔ ﮊ
“Dan
Rabb-mu
mengilhamkan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di gunung-gunung, pohon-pohon, dan rumah-rumah yang dibuat manusia.’”[11]
Imam al-Qurthubi
(w. 671 H) berkata, “Penjelasan mengenai wahyu telah berlalu bahwa ia terkadang
bermakna ilham, yaitu apa yang Allah ciptakan/bisikkan di dalam hati tanpa ada
sebab yang tampak.”[12]
Yang jelas, semuanya terjadi
atas kehendak Allah dan Dia berbuat sesuatu dengan apa yang Dia inginkan. Itu
mudah bagi Allah dan Dia mahakuasa atas segala
sesuatu.
Apakah bahasa
Adam adalah bahasa Arab? Tidak ada nash yang secara tegas menunjukkan demikian.
Yang ada hanyalah pendapat sebagian kalangan, dan pendapat ini masih perlu
dikaji ulang. Yang jelas, bahasa diciptakan Allah, dan Nabi Adam sudah
berbahasa dengan baik ketika diturunkan ke bumi dan Adam diajari Allah
nama-nama di bumi.
Sebagian ulama berpandangan
bahasa langit adalah bahasa Arab. Muqatil bin Hayyan berkata:
كَلامُ أَهْلِ السَّماءِ العَرَبِيَّةُ -ثُمَّ قَرَأَ-: ﮋ ﮀ ﮁ
ﮂ ﮃ ﮄ
ﮅ ﮆ ﮇ
ﮈ ﮉ ﮊ
ﮋ ﮌ ﮍ
ﮎ ﮏ ﮐ
ﮑ ﮒ ﮓ ﮊ
“Bahasa penduduk langit adalah bahasa Arab.” Kemudian dia
membaca ayat, “Hâ Mîm. Demi al-Kitab yang jelas. Sesungguhnya Kami telah
menjadikannya berupa al-Qur`an dengan berbahasa Arab agar kamu berakal.
Sesungguhnya dia berada di Lauhul Mahfuzh di sisi Kami yang benar-benar
tinggi dan penuh hikmah.”[13]
[14]
2. Asal
Penamaan Nahwu dan Sharaf
a.
Asal Penamaan Nahwu
Nahwu
secara etimologi
minimal memiliki dua makna. Makna yang pertama adalah jihah (arah).
Makna ini ditunjukkan dalam sebuah atsar bahwa al-Bara` bin Azib radhiyallahu
‘anhu berkata:
صَلَّيْنَا مَعَ النَّبِىِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا،
ثُمَّ صَرَّفَهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ
“Kami
dahulu shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke
arah Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, kemudian
beliau memalingkannya ke arah qiblat.”[15]
Dan
juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin Umar radhiyallahu
‘anhuma, dia berkata:
قَامَ النَّبِىُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
خَطِيبًا فَأَشَارَ نَحْوَ مَسْكَنِ عَائِشَةَ فَقَالَ: «هُنَا الْفِتْنَةُ
-ثَلاَثًا- مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ»
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah lalu menunjuk ke arah rumah Aisyah
lalu bersabda, ‘Di sanalah fitnah –sebanyak tiga kali– dari tempat
muculnya tanduk setan.’”[16]
Dari
makna ini, batallah anggapan agama Syiah yang menuduh bahwa fitnah tersebut
muncul dari rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha, karena lafazh nahwu di sini
digunakan untuk arah sehingga maknanya fitnah tersebut muncul di tempat yang searah
dengan rumah Aisyah, bukan di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha, yakni
Iraq.
Makna
kedua adalah mitsal (seperti/contoh). Makna ini ditunjukan
oleh sebuah hadits bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوْئِى
هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ
فِيهِمَا نَفْسَهُ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»
“Barangsiapa berwudhu seperti atau mencontoh
wudhuku ini kemudian shalat dua rakaat dengan khusyu’, maka dosanya yang telah
lalu diampuni.”[17]
Dengan
makna ini, kata nahwu sering dipakai oleh sebagian pakar bahasa Arab saat
membawakan contoh sebuah pembahasan pada kitab-kitab mereka.
Adapun secara terminologi,
al-Jurjani[18] (w.
816 H) mendefinisikan:
النَّحْوُ هُوَ عِلْمٌ بِقَوَانِيْنَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ التَّرَاكِيبِ
العَرَبِيَّةِ مِنَ الْإِعْرَابِ وَالْبِنَاءِ وَغَيْرِهِمَا
“Nahwu adalah ilmu tentang
kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan susunan kalimat bahasa Arab baik
i’rabnya, bina`nya, atau selainnya.”[19]
Apa
hubungan lafazh ini dengan bahasa Arab sehingga salah satu disiplin ilmu ini
disebut ilmu nahwu? Berikut jawabannya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) berkata, “Ilmu nahwu bukan termasuk ilmu
nubuwwah (kenabian) tetapi ilmu yang didapat dengan hasil istinbat (kesimpulan).
Ia merupakan wasilah (sarana) untuk
memahami bahasa al-Qur`an. Pada zaman tiga Khulafa’ ar-Rasyidin belum terjadi lahn[20] sehingga
belum membutuhkan ilmu tersebut. Diriwayatkan bahwa ketika Ali radhiyallahu
‘anhu menetap di Kufah dan di sanalah terjadi pencampuran bahasa, beliau
berkata kepada Abu al-Aswad ad-Du`ali:
الكَلَامُ: اسْمٌ وَفِعْلٌ وَحَرْفٌ، انْحُ هَذَا النَّحْوَ!
‘Kalam (kata) terbagi menjadi: isim, fi’il, dan huruf. Ikutilah arah (contoh/pedoman) ini!’
Maka, dia pun perlu segera melaksanakannya. Begitu pula orang-orang setelah Ali mulai merintis
pemakaian jenis huruf, tanda titik, syakal (tanda baca), tanda mad (intonasi panjang), tasydid, dan semisalnya karena kebutuhan. Setelah itu ilmu nahwu
berkembang di negeri Kufah dan Bashrah, sementara al-Khalil merintis ilmu arudh[21].”[22]
Dalam riwayat lain
disebutkan bahwa Abu al-Aswad ad-Du`ali (w. 69 H) diperintahkan
untuk mengembangkan kaidah-kaidah bahasa Arab yang sebelumnya telah dibuat Ali
bin Abi Thalib (w.
40 H). Setelah selesai, diperlihatkannya rumusan-rumusan
kaidah bahasa Arab itu kepada Ali, lalu Ali memuji rumusannnya:
مَا أَحْسَنَ هَذَا النَّحْوَ الَّذِي نَحَوْتَ!
“Alangkah bagusnya nahwu
yang kamu rumuskan ini!”
Dari sinilah mengapa
disiplin ilmu bahasa Arab ini disebut nahwu.[23]
Perumusan kaidah-kaidah
nahwu semakin mendesak untuk
dilaksanakan, yaitu saat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu mendapat laporan dari Abul Aswad ad-Du`ali tentang beberapa orang
yang lahn dalam berbahasa Arab dan membaca al-Qur`an. Di antaranya adalah
sebagai berikut:
a. Sha’sha’ah bin Shuhan
berkata, “Orang Arab datang kepada Ali bin Abi Thalib lalu berkata,
‘Assalamualaika wahai Amirul Mukminin, bagaimana Anda membaca ayat ini (لَا
يَأْكُلُهُ
إِلَّا
الْخَاطُونَ)[24]? Demi Allah, padahal setiap orang melangkah.’ Ali
radhiyallahu ‘anhu tersenyum dan berkata, ‘Hai orang Arab bacalah (لَا
يَأْكُلُهُ
إِلَّا
الْخَاطِئُونَ)[25].’ Dia berkata, ‘Demi Allah, Anda benar wahai Amirul Mukminin.
Allah pasti menyelamatkan hamba-Nya.’ Kemudian Ali pergi menemui Abul Aswad
ad-Daili[26] lalu berkata, ‘Sesungguhnya orang-orang ajam
banyak yang masuk Islam, maka rumuskanlah sesuatu untuk manusia yang digunakan
untuk meluruskan bahasa mereka.’ Dari sini dirumuskan rafa`, nashab, dan
khafadz/jer.”[27]
b. Diriwayatkan Abul Aswad
ad-Du’ali mendengar seorang qari membaca ayat:
«أَنَّ اللّٰهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
وَرَسُولِهِ»
Dengan
mengkasrahkan huruf lam yang seharusnya didhammah. Sehingga artinya berubah, “Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang
musyrik dan Rasul-Nya.” Hal ini menyebabkan arti
dari kalimat tersebut menjadi rusak. Seharusnya kalimat
tersebut dibaca:
ﮋ ﭴ ﭵ
ﭶ ﭷ ﭸﭹ ﭺﭻ ﮊ
“Sesungguhnya Allah
dan Rasul-Nya
berlepas diri dari orang-orang musyrik.”[28] [29]
Dalam
riwayat lain terjadi pada masa kekhalifahan Umar radhiyallahu ‘anhu.
Ibnu Abi Malikah
berkata, “Orang Arab datang ke Madinah pada masa Umar
lalu berkata, ‘Siapakah kiranya yang mau membacakan kepadaku apa yang telah
diturunkan kepada Muhammad?’ Lalu seorang lelaki membacakan kepadanya surat
Bara’ah:
«أَنَّ اللّٰهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
وَرَسُولِهِ»
Orang Arab itu berkata,
‘Sungguh Allah berlepas diri dari Rasul-Nya. Bila Allah berlepas dari dari
Rasul-Nya maka aku pun berlepas diri darinya.’ Ucapan ini sampai kepada Umar
lalu Umar memanggilnya dan bertanya, ‘Hai orang Arab, apakah kamu berlepas diri
dari Rasul-Nya?’ Dia berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, aku mendatangi
orang-orang musyrik tanpa sepengetahuanku lalu
aku meminta siapa yang mau membacakan untukku lalu seseorang membacakan untukku
surat ini (أَنَّ اللّٰهَ بَرِيءٌ
مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهِ),
lalu aku berkata, ‘Sungguh Allah berlepas diri dari Rasul-Nya. Bila Allah
berlepas diri dari Rasul-Nya maka aku pun berlepas diri darinya.’ Umar berkata,
‘Bukan seperti itu wahai orang Arab.’ Dia bertanya, ‘Lantas bagaimana yang
sebenarnya wahai Amirul Mukminin?’ Umar menjawab, ‘(أَنَّ اللّٰهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ).’ Orang Arab itu berkata, ‘Demi Allah, aku akan berlepas diri
kepada siapa yang Allah dan Rasul-Nya berlepas diri.’ Kemudian Umar melarang
membaca al-Qur`an kecuali siapa yang berilmu bahasa Arab.”[30]
c. Diriwayatkan bahwa suatu
ketika Abul Aswad ad-Du`ali (w. 69 H) menemui
putri-putrinya di rumah lalu seorang dari mereka berkata:
يَا أَبَتِ، مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ. فَقَالَ: يَا
بُنَيَّة نُجُومُهَا. فَقَالَتْ لَهُ: إِنِّي لَمْ أُرِدْ أَيْ شَيْءٍ مِنْهَا أَحْسَنَ،
إِنَّمَا تَعَجَّبْتُ مِنْ حُسْنِهَا. فَقَالَ: إِذَنْ فَقُولِي مَا أَحْسَنَ
السَّمَاءَ
“Wahai ayahanda, ‘Apa yang
paling indah di langit.’” Dia menjawab, “Wahai ananda, bintang-bintangnya.”
Putrinya berkata, “Bukan maksudku mana yang paling indah, tetapi aku takjub
akan keindahannya.” Dia berkata, “Kalau begitu ucapkan (مَا أَحْسَنَ السَّمَاءَ) betapa indah langit itu!”[31]
Sebagaimana
kisah Musa ‘alaihis salam berputar-putar dengan tongkatnya, Yusuf ‘alaihis
salam dengan bajunya, dan Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam dengan
al-Qur`annya, maka nahwu berputar-putar dengan i’rabnya: marfu’, manshub,
majrur, dan majzum. Ilustrasi mudahnya seperti ini:
Muhammad datang |
جاءَ مُحَمَّدٌ |
Aku melihat Muhammad |
رَأَيْتُ مُحَمَّدًا |
Aku melewati Muhammad |
مَرَرْتُ بِمُحَمَّدٍ |
Dari contoh di atas, ternyata lafazh «مُحَمَّد» terdapat tiga variasi bacaan: marfu’ (dhammah), manshub
(fathah), dan majrur (kasrah). Inilah yang disebut i’rab dan dipelajari dalam
ilmu nahwu (gramatika).
Dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, dia berkata:
كَانُوْا الحُرُوْفَ الثَّلَاثَةَ. قُلْنَا: وَمَا الحُرُوْفُ الثَّلَاثَةُ؟
قَالَ: الجَرُّ وَالرَّفْعُ وَالنَّصْبُ
“(I’rab)
itu ada tiga huruf.’ Kami bertanya, “Apa tiga
huruf itu?” Dia menjawab,
“Jarr, rafa’, dan nashab.’”[32]
b. Asal Penamaan Sharaf
Sharaf (baca: shorof) atau sharf secara etimologi artinya berpaling atau
berpindah. Selain sharaf, dikenal pula istilah tashrif. Ibnu Manzhur berkata:
الصَّرْفُ رَدُّ الشَيْءِ عَنْ وَجْهِهِ
“Sharaf adalah membalik
sesuatu dari wajahnya/asalnya.”[33]
Allah Ta’ala berfirman[34]:
ﮋ ﮕ ﮖ
ﮗ ﮘ ﮙ
ﮚ ﮛ ﮜ
ﮝ ﮞ ﮟ
ﮠ ﮡ ﮢﮣ ﮤ ﮥ ﮦ
ﮧ ﮨ ﮩ
ﮪ ﮫ ﮊ
Maksudnya, mereka balik
berpaling dari tempat pembicaraan. Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H)
berkata, “Ayat ini merupakan pemberitaan dari Allah tentang orang-orang
munafik, bahwa apabila satu surat diturunkan kepada Rasulullah mereka saling menoleh dengan mengatakan, ‘Apakah
ada orang (dari kaum Muslimin) yang melihatmu?’ Kemudian
mereka berpaling dari kebenaran. Di dunia mereka tidak teguh dalam memegang
kebenaran, tidak menerimanya, dan tidak memahaminya.”[35] Sebagai balasannya, Allah memalingkan hati mereka kepada kesesatan
dan memberikan keluasan padanya, dari keadaan mengucapkan keimanan sebelumnya.
Sedang secara terminologi,
al-Jurjani (w.
816 H) mendefinisikan:
الصَّرْفُ عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ أَحْوَالُ الْكَلِمِ مِنْ حَيْثُ الْإِعْلاَلِ
“Sharaf adalah ilmu untuk
mengetahui keadaan kalam dari sisi i’lal.”[36]
Mengenai awal penamaan ini, Penulis belum menemukan penjelasan yang bisa
dirujuk. Yang jelas, disiplin ilmu ini disebut ilmu sharaf karena mempelajari
kosa kata-kosa kata yang dipalingkan/dikembangkan atau
dibuat dari satu akar kata.
Ilustrasinya seperti ini.
Ada kata تَحْمِيْد، مُحَمَّد، حَامِد،
حَمْد، أَحْمَدُ، مَحْمُوْدٌ. Ternyata semua kata ini
dipalingkan atau dibuat dari satu akar kata حَمِدَ. Dari sinilah mengapa
disiplin ilmu ini disebut sharaf, karena mempelajari bentuk-bentuk kejadian suatu kata
(morfologi).
Demikianlah sejarah penamaan
nahwu dan sharaf. Dua disiplin ilmu ini amat penting dalam bahasa Arab yang
tidak bisa dipisahkan dan tidak boleh ditinggal oleh penuntut ilmu bahasa. Ada yang berpendapat, jumlah keseluruhan fan/disiplin bahasa Arab ada
12, yaitu al-lughât (kosa-kata), an-nahwu (gramatika), ash-sharf
(morfologi), al-isytiqâq (pecahan kata), al-ma’ani (semantik), al-bayan, al-arudh
(prosadi), al-qâfiyah, al-qardhu ays-syi’ri, al-khat (kaligrafi), al-insya’
(karang-mengarang), dan al-muhadharah (ceramah).[37] Allahu a’lam.
3. Keutamaan
Bahasa Arab
Keutamaan bahasa
Arab amatlah banyak. Di sini Penulis mencukupkan diri hanya menyebutkan dua
poin saja.
Poin pertama keutamaan secara internal dan poin kedua keutamaan secara
eksternal.
a.
Bahasa Arab Mengungguli Seluruh
Bahasa
Allah berfirman:
ﮋ ﭡ ﭢ
ﭣ ﭤ ﭥ
ﭦ ﭧ ﭨ
ﭩ ﭪ ﭫ ﮊ
“Dia-lah yang
telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk
diunggulkan-Nya atas semua agama.”[38]
Al-Jahidz berkata,
“Dan keindahan bahasa hanya ada pada bahasa Arab, karena itulah ia merupakan
bahasa yang menggungguli semua bahasa.”[39]
Keunggulan ini ada
beberapa macam. Di antaranya unggul dalam kemunculan, unggul dalam kosa-kata,
unggul dalam pengucapan, dan unggul dalam makna.
1) Unggul dalam Kemunculan
Memang tidak ada nash yang tegas menunjukkan bahasa Arab bahasa pertama
dunia, tetapi bisa kita katakan bahasa Arab jauh lebih lama usianya daripada
bahasa-bahasa yang ada hari ini.
Karena ia lebih lama
kemunculannya dari lainnya, bahasa Arab
banyak diserap ke dalam bahasa lainnya. Misalnya dalam bahasa Inggris kita
menjumpai sugar, cotton, dan cat (baca: ket) yang diserap dari sukkar,
quthn, dan qith, yang secara berturut-turut artinya gula, kapas, dan
kucing. Dalam bahasa Indonesia kita menjumpai adab, adat, ahli,
akhir, batal, berkah, bahas, dahsyat, dalil, dunia, faidah, fitnah, fitrah,
gaib, hadir, istirahat, jadwal, manfaat, nikmat, rahim, sabun, umur, zaman,
semua nama hari (Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu), bahkan
agama-agama lain mengambil istilah dari Islam seperti iman, shalih, ibadah,
amin, shalat, munafik, kiamat, dan lain-lain. Kosa-kata bahasa Indonesia dan
Melayu yang berasal dari bahasa Arab sangat banyak sekali. Hal ini bukanlah hal aneh, karena sesuatu yang kurang
akan meminta kepada sesuatu yang lebih.
2) Unggul dalam Kosa-Kata
Adapun unggul dalam kosa-kata, karena tidak ada satu bahasa manapun yang
lebih kaya kosa-katanya melebihi bahasa Arab.
Imam
asy-Syifi’i (w. 204 H) berkata:
وَلِسَانُ الْعَرَبِ أَوْسَعُ
الْأَلْسِنَةِ مَذْهَباً وَأَكْثَرُهَا أَلْفَاظاً
“Bahasa Arab adalah
bahasa yang paling luas cakupan bahasanya dan paling kaya kosa-katanya.”[40]
Di antara bukti akan
keluasan bahasa Arab adalah ia memiliki kosa-kata lebih 12.305.412
bentuk kalimat dan 6.699.400 kata. Adapun bahasa Inggris hanya memiliki
sekitar 100.000 kata dan bahasa Prancis sekitar 25.000.[41]
Dalam literatur lain
disebutkan, Tahiyya Abdul Aziz seorang dosen Linguistik Inggris telah melakukan
riset bertahun-tahun tentang bahasa-bahasa dunia. Hasilnya, dia mengatakan,
“Bahasa Arab adalah bahasa yang paling luas kosa-katanya. Bahasa Latin hanya memiliki 700 akar kata, Saxonia memiliki 1.000 akar
kata, sementara bahasa Arab memiliki 16.000 akar kata.
Di samping itu,
bahasa Arab kaya akan padanan kata (satu akar kata). Misalkan sifat good
dalam bahasa Inggris dan jayyid dalam bahasa Arab yang berarti bagus.
Jayyid memiliki banyak padanan kata, misalnya jaud, jaudah, jawad, dan
jiyad. Akan tetapi, kita tidak mendapati kosa-kata lain yang berasal dari
kata good.
Yang lebih
mengagumkan, bahasa Arab memiliki sinonim yang melimpah ruah bahkan sampai
ribuan untuk satu kata saja. Misalnya asad yang artinya singa
memiliki sinonim laits, hafsh, ghadanfar, dargham, dzaigham, sabu, ri’bal,
wardu, qashwar, dan lain-lain yang banyak sekali.”
Abul Hasan Ibnu
Faris ar-Razi berkata, “Di antara hal yang tidak mungkin dinukil seluruhnya
adalah sinonim dari kata pedang, singa, tombak, dan kata yang sepadan. Telah diketahui bahwa bahasa ajam (non-Arab)
tidak mengenal kata singa kecuali hanya satu saja. Adapun kita memiliki 150
nama untuk singa. Bahkan telah menyampaikan kepadaku Ahmad bin Muhammad bin
Bundar bahwa dia mendengar Abu Abdillah bin Khalawaih berkata, ‘Aku telah mengumpulkan
500 nama untuk singa dan 200 nama untuk ular.”[42]
Al-Fairuz Abadi
--pengarang kamus terkenal al-Qâmûs al-Muhîth-- menulis sebuah buku yang
menyebutkan nama-nama madu. Beliau juga menyebutkan
dalam kitab tersebut lebih dari 80 nama untuk madu, dan menemukan
minimal 1.000 nama untuk pedang.[43]
Karena saking
banyaknya kosa-kata bahasa Arab, tidak semua orang Arab mengetahuinya. Para
ulama pun banyak menyusun kitab tentang kosa-kata asing ini, misalnya al-Mufrâdât
fi Gharîbil Qur`ân karya al-Allamah ar-Raghib al-Asfahani, Gharîbul
Qur`ân karya al-Farahi, Gharîbul Qur`ân karya Abu Bakar as-Sijistani
(w. 330 H), dan Gharâ`ibul Ightirâb karya al-Alusi. Kebanyakan bahasa
gharib ini diketahui oleh orang-orang pedalaman dan Badui, untuk itu mengapa
Imam asy-Syafi’i bermukim ke kabilah pedalaman untuk mempelajari bahasanya hingga beliau menjadi pakar bahasa dan syair. Beliau
berkata:
وَلاَ نَعْلَمُهُ
يُحِيْطُ بِجَمِيْعِ عِلْمِهِ إِنْسَانٌ غَيْرُ نَبِيٍّ
“Dan kami tidak tahu
ada manusia yang mengetahui semua kosa-kata bahasa Arab selain Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.”[44]
Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
كُنْتُ لَا أَدْرِي مَا ﮋ ﮡ ﮢ ﮊ حَتَّى أتَانِيَ
أَعْرَابِيَّانِ يَخْتَصِمَانِ فِي بِئْرٍ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا: أَنَا
فَطَرْتُهَا، أي ابْتَدَأْتُهَا
“Dulu aku tidak tahu
apa makna (فَاطِرُ السَّمَوَاتِ) hingga aku didatangi dua orang Baduwi
yang saling bersengketa tentang sebuah sumur. Salah seorang dari
mereka berkata, ‘Akulah pembuatnya.’ Yakni, yang membuatnya pertama kali.”[45]
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu,
dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«لَسْتُ مِنْ دَدٍ وَلاَ دَدٌ مِنِّى»
“Aku bukan dari dad dan dad itu bukan dariku.” Ali bin al-Madini
berkata, “Aku bertanya kepada Abu Ubaidah seorang pakar bahasa tentang hadits ini, lalu dia menjawab:
لَسْتُ مِنَ البَاطِلِ وَلاَ
البَاطِلُ مِنِّى
‘Aku bukan dari kebatilan dan kebatilan bukan dariku.’’’[46]
Ahmad Arif al-Hijazi
seorang doktor bidang bahasa Arab dari Mesir berkata, “Dalam sebuah pembahasan
pelik di antara para ahli mengenai bahasa yang besar kemungkinan masih
digunakan oleh manusia pada beberapa abad yang akan datang, mereka sepakat
bahwa bahasa Arab yang kemungkinan bisa bertahan. Sehingga peradaban
bisa menitipkan ilmu dan sejarahnya lewat bahasa Arab untuk disampaikan pada
manusia di masa mendatang.”
Sejarah membuktikan,
dahulu Mesir, Sudan, Iraq, Iran, Palestina, Yordania, Libanon, Suriah, Libia, Maroko,
Tunisia sampai Aljazair bukanlah negeri Arab dan memiliki bahasa-bahasa
sendiri. Namun setelah Islam masuk, mereka mempelajari bahasa Arab lalu
menggunakannya sebagai bahasa resmi bahkan kesultanan Islam di bumi Nusantara
menggunakan bahasa resmi Arab. Adapun bahasa Inggris Modern jelas telah berubah
total dari bahasa Inggris kuno. Maka besar kemungkinan ia akan bernasib seperti
bahasa Mesir kuno yang telah terkubur bersama para Fir’aun di padang pasir.
Hamzah Abbas Lawadi
berkata, “Kaum Muslimin yang memahami bahasa Arab, saat ini mampu untuk
memahami perkataan orang-orang Arab 15 abad yang lalu. Bagaimana hal tersebut
terjadi? Seperti yang kita tahu, hal itu bukanlah sesuatu yang mengherankan.
Bukankah bagi kita yang sekarang ini memahami bahasa Arab mampu untuk memahami
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disabdakan kurang lebih 15
abad yang lalu? Bukankah kita sekarang ini mampu memahami perkataan para
shahabat yang diucapkan pada waktu yang sama? Bahkan kita pun mampu untuk
memahami syair-syair Arab sebelum Islam. Keistimewaan ini mutlak hanya ada pada
bahasa Arab dan tidak ada pada bahasa lainnya.
Bahasa Arab
merupakan bahasa tertua di dunia. Bahasa ini telah lama ada dan akan terus ada
sepanjang masa karena Allah subhanahu wa ta’ala yang secara langsung
menjaga dan melindunginya. Pada saat dunia menyaksikan punahnya berbagai bahasa
yang ada dalam sejarah, di saat yang sama dunia akan menyaksikan terjaganya
bahasa Arab sepanjang zaman.”[47]
3) Unggul dalam Pengucapan
Adapun unggul dalam
pengucapan, karena bahasa Arab memiliki makharijul huruf (tempat-tempat
keluarnya huruf hijaiyyah). Dengan makharijul huruf ini pengucapan lebih indah,
merdu, dan jelas karena melibatkan semua alat pengucap: rongga mulut,
kerongkongan, lidah, bibir, dan rongga hidung.
Hujjatul
Qurra` Ibnul Jazari berkata:
مَخَارِجُ الحُرُوْفِ سَبْعَةَ
عَشَرْ ... عَلَى الَّذِي يَخْتَارُهُ مَنِ اخْتَبَرْ
“Makharijul huruf ada tujuh belas … bagi siapa yang memilih
pendapat yang terpilih”[48]
Tidak sampai di sini saja. Setiap huruf hijaiyyah juga memiliki 5 sampai 7 sifat
unik. Di sana ada sifat hams, syiddah, isti’lâ`, ithbâq, dan idzlâq
yang masing-masing memiliki kebalikan, maupun sifat yang tidak memiliki
kebalikan seperti sifat shafîr, qalqalah, lîn, inhirâf, takrîr, tafasysyî, dan
istithâlah. Contoh mudahnya adalah huruf ro`(ر). Dia memiliki dua variasi bacaan, tipis (ro` muraqqaqah)
dan tebal (ro` mufakhkhamah).
Contoh lainnya
makhraj dhad (ض). Dikatakan bahwa dhad adalah huruf yang
paling susah. Susah di sini bukan berarti sulit dipelajari, tetapi dia memiliki
3 tingkatan kesukaran. Pengucapan yang paling mudah adalah pinggir-tepi lidah
bagian kanan ditempelkan dengan gigi geraham atas. Yang agak susah dari itu
bila yang ditempelkan adalah pinggir-tepi lidah bagian kiri. Dan yang paling
sukar bila yang ditempelkan kedua-duanya. Sehingga, jadilah dhad sebagai huruf
yang paling sukar diucapkan dan orang ajam tidak mampu mengucapkannya. Oleh
karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dijuluki shâhibu
lughati ahlidh dhad.[49]
Sayang sekali bukan di sini tempatnya untuk
memperluas pembahasan. Bagi yang ingin lebih lengkap bisa merujuk ke syarah Muqaddimah
al-Jazariyyah yang ditulis oleh syaikh Shafwat Mahmud Salim.[50]
Subhanallah! Oleh
karena itu, al-Qur`an menjadi bacaan yang
paling merdu sepanjang sejarah, merdu karena substansi dan merdu karena bahasanya.
Ia membuat menangis para qari dan pendengarnya, hingga orang-orang
berbondong-bondong masuk Islam hanya karena mendengarnya meskipun tidak tahu artinya.
Allah berfirman:
ﮋ ﭨ ﭩ
ﭪ ﭫ ﭬ
ﭭ ﭮ ﭯ
ﭰ ﭱ ﭲ
ﭳ ﭴ ﭵ
ﭶ ﭷ ﭸ
ﭹ ﭺ ﭻﭼ ﮊ
“Allah telah
menurunkan sebaik-baik ucapan yaitu sebuah kitab yang serupa dan
berulang-ulang. Karenanya gemetar kulit orang-orang yang takut kepada Rabb-nya,
kemudian kulit-kulit mereka dan hati-hati mereka menjadi tenang kembali ketika
mengingat Allah.”[51]
Meskipun pengucapan
bahasa Arab dengan makhraj dan sifat, hal ini tidaklah memberatkan dalam
pengucapan, bahkan mudah dan menyenangkan.
Ibnu Faris berkata, “Di antara kekhususan bahasa Arab --setelah apa yang
disebutkan sebelumnya-- diubahnya huruf menjadi huruf lain karena huruf yang
kedua lebih ringan dari yang pertama, misalkan ucapan (مِيْعَادٌ) tidak
diucapkan (مِوْعَادٌ) padahal keduanya berasal dari (وَعْدٌ). Hal ini
karena yang kedua lebih ringan.”[52]
Abul Fath Utsman bin Jinni berkata, ”Kata pokok dalam bahasa Arab ada tiga:
tsulatsi (kata yang terdiri dari tiga huruf), ruba’i (kata yang
terdiri dari empat huruf), dan khumasi (kata yang terdiri dari lima
huruf). Adapun yang paling banyak
digunakan dan paling sederhana susunan katanya adalah tsulatsi karena ia
terdiri dari satu huruf pembuka, satu huruf tengah, dan satu huruf penutup.”[53]
Hamzah Abbas Lawadi
berkata --secara ringkas--, “Banyaknya penggunaan kata yang terdiri dari tiga
huruf dalam bahasa Arab menunjukkan ringan dan sederhananya bahasa Arab. Jika
kita melakukan uji perbandingan antara bahasa Arab dengan bahasa lainnya, kita
akan melihat bukti nyata dari apa yang telah disebutkan di atas. Misalkan, kata
(جَدٌّ) dalam bahasa Arab sama artinya dengan kakek
dalam bahasa Indonesia, grand father dalam bahasa Inggris, le
grand-pere dalam bahasa Prancis, dan der gross vater dalam bahasa
Jerman.
Kita lihat bahasa
Arab yang terdiri dari 3 atau 4 huruf sebanding dengan kata dalam bahasa lain
yang berjumlah hingga 10 huruf atau lebih. Dalam bahasa Arab, kata terpanjang
hanya 7 huruf seperti (اِسْتِخْرَاجٌ). Bahasa lain panjangnya bisa mencapai 15 huruf atau lebih,
seperti internationalism dalam bahasa Inggris atau enstchuldigung
dalam bahasa Jerman.
Kekhususan dan
keistimewaan bahasa Arab di sisi ini memiliki banyak faidah penting, di
antaranya hemat waktu, tenaga, dan harta. Ditambah lagi kata yang sedikit
hurufnya tentu lebih ringan dalam pengucapan, lebih cepat, dan lebih ringkas
dalam Penulisan.”[54]
4) Unggul dalam Makna
Adapun unggul dalam
makna, karena bahasa Arab memiliki i’rab yang tidak dimiliki oleh bahasa
manapun.
Mudahnya, i’rab
adalah perubahan harakat atau huruf pada suatu kata. Penjelasan dan contohnya
akan datang insya Allah pada bab Mengoreksi Bacaan al-Qur`an dengan Nahwu.
Di antara kategori
keunggulan makna adalah bahasa Arab memiliki makna yang sangat mendalam dan
terkadang bertingkat-tingkat untuk sinonim kata yang sama. Misalnya kata (الذِّبْحُ), (النَّحْرُ), dan (العَقْرُ) yang artinya sama-sama menyembelih
tetapi sedikit berbeda maknanya.
Kata (الذِّبْحُ) digunakan untuk menyembelih pada leher. Ibnu
Manzhur berkata, “Yaitu memotong tenggorokan sampai ke dalam uratnya, yaitu
tempat penyembelihan di tenggorokan.”[55]
Allah berfirman:
ﮋ ﯽ ﯾ
ﯿ ﰀ ﰁ
ﰂ ﰃ ﰄ ﮊ
“Ibrahim berkata,
‘Wahai ananda, sesungguhnya aku melihatmu dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu.’”[56] Yakni, aku menyembelihmu tepat di leher tidak di
bagian tubuh yang lain.
Kata (النَّحْرُ) dipakai untuk menyembelih dalam rangka
ibadah dan ketaatan pada hari Qurban, sebagaimana firman Allah:
ﮋ ﮊ ﮋ
ﮌ ﮍ ﮊ
“Maka, shalatlah
kepada Rabb-mu dan menyembelihlah.”[57]
Al-Hafizh (w. 774 H) berkata, “Yang benar adalah pendapat pertama bahwa
maksud (النَّحْرُ) adalah
menyembelih pada hari Nask/Qurban. ”[58]
Kata (العَقْرُ) dipakai untuk menyembelih dengan
kekejaman dan menyakiti dan tidak mesti di leher. Allah berfirman tentang kaum
Nabi Shalih ‘alaihis salam:
ﮋ ﮎ ﮏ
ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮊ
“Lalu mereka
menyembelih untu itu dan mereka menentang perintah Rabb mereka.”[59]
Imam al-Qurthubi (w. 671 H) berkata, “Maksudnya menyembelih dengan melukai. Ada
yang berpendapat, memotong anggota tubuh yang menyayat hati.”[60]
Demikianlah bahasa Arab. Ia memiliki
kefasihan dan mampu mengungkapkan makna-makna yang terbesit dalam jiwa.
Abu Utsman Amr bin
Bahr al-Jahidz berkata, “Perlu dijelaskan di sini bahwa ini adalah dalil yang
menunjukkan bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang paling jelas dan paling luas.
Lafazhnya lebih jelas dalam menunjukkan suatu makna, berbagai bentuk kalimatnya
lebih bervariasi dan sangat banyak, dan permisalahan yang disebutkan lebih
indah dan sederhana.”[61]
b. Bahasa
Arab Bahasa Malaikat Terbaik, Bahasa Rasul Terbaik, Bahasa Kitab Terbaik, Bahasa
Umat Terbaik
Para ulama kaum Muslimin telah bersepakat tanpa ada yang berselisih bahwa
Jibril adalah malaikat terbaik di kalangan penduduk langit; Muhammad bin
Abdillah adalah Rasul terbaik di kalangan penduduk bumi; al-Qur`an adalah kitab
terbaik di antara Zabur, Taurat, Injil, dan shuhuf-shuhuf; umat Islam adalah
umat terbaik di antara seluruh umat-umat di dunia. Maka bahasa Arab adalah
bahasa Malaikat terbaik, Rosul terbaik, umat terbaik, Kitab terbaik.
Secara mengagumkan
al-Hafizh (w.
774 H) telah mengumpulkan dua poin keunggulan ini dalam ucapannya yang singkat dan padat:
وَذَلِكَ لِأَنَّ لُغَةَ الْعَرَبِ
أَفْصَحُ الْلُغَاتِ وَأَبْيَنُهَا وَأَوْسَعُهَا وَأَكْثَرُهَا تَأْدِيَّةً لِلْمَعَانِي
الَّتِي تَقُوْمُ بِالنُّفُوْسِ فَلِهَذَا أُنْزِلَ أَشْرَفُ الْكُتُبِ بِأَشْرَفِ
اللُّغَاتِ عَلَى أَشْرَفِ الرُّسُلِ بِسَفَارَةِ أَشْرَفِ الْمَلاَئِكَةِ وَكاَنَ
ذَلِكَ فِي أَشْرَفِ بَقَاعِ الْأَرْضِ وَابْتُدِىءَ إِنْزَالُهُ فِي أَشْرَفِ شُهُوْرِ
السَّنَةِ وَهُوَ رَمَضَانُ، فَكَمْلٌ مِنْ كُلِّ الْوُجُوْهِ
“Hal tersebut
dikarenakan bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan
banyak kandungan makna-maknanya yang begitu menyentuh hati. Oleh karena itu,
kitab yang mulia ini diturunkan dengan bahasa yang paling mulia kepada Rasul
yang paling mulia lewat Malaikat yang paling mulia, turunnya di bagian bumi
yang paling mulia, dan permulaan turunnya di bulan yang paling mulia yaitu
Ramadhan. Maka, ia adalah kesempurnaan dari berbagai sisi.”[62]
Apakah bahasa Surga adalah bahasa Arab? Tidak ada dalil yang shohih tertang
ini. Ada beberapa hadits tentangnya tetapi sanadnya dipermasalahkan oleh ulama.
Akan tetapi, seandainya bahasa penduduk Surga diambil dari bahasa dunia, maka dimungkinkan
ia adalah bahasa Arab. Allahu a’lam.
/
[1] QS. Al-Hijr [15]: 85.
[2] QS. Ar-Rûm [30]: 22.
[3] Tafsîr Ibnu Katsîr (VI/309).
[4] QS. Al-Baqarah [2]: 31.
[5] Abu al-Husain
Ibnu Faris berkata:
كُلُّ
مَا مَشَى عَلَى الْأَرْضِ فَهُوَ دَابَّةٌ
“Segala sesuatu yang berjalan di atas bumi
adalah dabbah.” Mu’jam Maqâyisil Lughah (II/263).
[6]Tafsîr Ibnu Katsîr (I/223). Di antara ahli
bahasa ada yang membatasi dabbah dengan makhluk yang berjalan di permukaan bumi
saja, sehingga Mujahid menambah dalam penjelasannya “burung” yang mewakili
makhluk-makhluk di udara, sehingga tidak ada lagi kesamaran bahwa Allah mengajari
Adam semua nama-nama makhluk. Allahu a’lam.
[7] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no.
4476), Muslim (no. 193), Ibnu Majah (no. 4312), dan an-Nasa`i (no. 10984 dan
11243) dalam as-Sunan al-Kubrâ dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu.
[8] Tafsîr Ibnu Katsîr (I/223-224).
[9] Tafsîr asy-Sya’rawî (I/7119).
[10] Zâdul Masîr fi Ilmit Tafsîr (IV/143)
oleh Ibnul Jauzi.
[11] QS. An-Nahl [16]: 68.
[12] Tafsîr al-Qurthubî (X/133).
[13] QS. Az-Zukhrûf
[43]: 1-4.
[14] Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (no. 30545) dalam
al-Mushannaf.
[15] Muttafaqun ‘Alaih:
HR. Al-Bukhari (no. 4492) dan Muslim (no. 525).
[16] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 3104) dan Muslim (no. 2905).
[17] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 159) dan Muslim (no. 226) dari Utsman bin Affan radhiyallahu
‘anhu.
[18] Az-Zarkali menyebutkan dalam al-A’lâm (II/115) bahwa ada 12 orang
yang bernama al-Jurjani berikut tahun wafatnya. Adapun al-Jurjani di sini
adalah Ali bin Muhammad al-Jurjani.
[19] At-Ta’rîfât
(no. 1541, hal. 308) oleh al-Jurjani.
[20] Kesalahan
dalam berbahasa Arab baik karena salah ucap atau salah i’rab. Akan datang
penjelasannya pada bab khusus in syaa Allah.
[21] Ilmu tentang
kaidah-kaidah syair Arab.
[22] Minhâjul Muslim
an-Nabawiyyah (VII/388) oleh Ibnu Taimiyyah.
[23] Lihat Siyar A’lâmin Nubalâ`
(IV/82) oleh adz-Dzahabi.
[24] “Tidak ada yang
memakannya (darah dan nanah) melainkan orang yang melangkah.” Orang itu salah
baca. (الْخَاطُونَ) artinya “orang yang melangkah”
sementara (الْخَاطِئُونَ) artinya “orang
yang salah”
dan ini yang benar.
[25] QS. Al-Haqqah [69]:
37.
[26] Ahli tarajjum (sejarah/biografi) membacanya
dengan dua cara ad-Du`ali dan ad-Daili.
[27] Syu’abul Iman
(no. 1561) oleh al-Baihaqi.
[28] QS. At-Taubah [9]:
3.
[29] Lihat Wafayâtul
A’yân (II/537) oleh Ibnu Khallikan dan Akhbârun
Nahwiyyin (hal. 1) oleh Abu Thahir al-Muqri’.
[30] Sababu Wadh’i
Ilmil Arabiyyah (hal. 30) oleh Imam as-Suyuthi.
[31] Wafayâtul A’yân (II/537) oleh Ibnu
Khallikan, Târîkhul Ulamâ` an-Nahwiyyin (I/15) oleh
at-Tanukhi, Sababu Wadh’i Ilmil Arabiyyah (hal. 53) oleh Imam
as-Suyuthi, Akhbârun Nahwiyyin (hal. 2) oleh Abu Thahir
al-Muqri’, dan Inbâhur Ruwât ‘ala Anbâhin
Nuhât (I/52)
oleh Jalaluddin al-Qifthi.
[32] Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwi (no. 1075) oleh al-Khathib al-Baghdadi. Demikian yang tercantum kânû. Barangkali yang benar kânat dengan al-hurûfû
marfu’ isim kânât karena salah cetak.
[33] Lisânul Arâb (IX/189) oleh Ibnu
Manzhur.
[34] QS. At-Taubah [9]:
127.
[35] Tafsîr Ibnu Katsîr (IV/240).
[36] At-Ta’rifât
(no. 864, hal. 174) oleh al-Jurjani.
[37] Lihat Hasyiyah
ash-Shabhân (I/16) oleh
Muhammad bin Ali ash-Shabhan.
[38] QS. At-Taubah [9]:
33, al-Fath [48]: 28, dan ash-Shaff [61]: 9.
[39] Lihat al-Bayan
wa at-Tibyan (IV/55) oleh al-Jahidz.
[40] Ar-Risâlah
(hal. 42) oleh Imam asy-Syafi’i.
[41] Lihat Keutamaan
dan Kewajiban Mempelajari Bahasa Arab (hal. 7) oleh Hamzah Abbas Lawadi.
[42] Lihat Ash-Shahibi
fi Fiqhil Lughah al-Arabiyyah (hal. 21-22) oleh Ibnu Faris.
[43] Lihat Keutamaan
dan Kewajiban Mempelajari Bahasa Arab (hal. 9) oleh Hamzah Abbas Lawadi.
[44] Ar-Risâlah
(hal. 42) oleh Imam asy-Syafi’i.
[45] Syu’abul Iman
(no. 1559) oleh al-Baihaqi.
[46] Diriwayatkan
al-Baihaqi (no. 21493) dalam as-Sunan al-Kubrâ.
[47] Keutamaan dan
Kewajiban Mempelajari Bahasa Arab (hal. 14-15) oleh Hamzah Abbas Lawadi.
[48] Muqaddimah
al-Jazariyah
(hal. 1) oleh Ibnul Jazari.
[49] Lihat Fathu
Rabbil Bariyyah (hal. 53) oleh Syaikh Shafwat Mahmud Salim. Dalam kitab tersebut beliau tidak menyebutkan teks haditsnya, yang jelas
hadits tentang dhâd adalah lemah menurut para pakar hadits.
[50] Ibid (hal. 49-76).
[51] QS. Az-Zumar [39]:
23.
[52] Lihat ash-Shahabi
fi Fiqhil Lughah al-Arabiyyah (hal. 21) oleh Ibnu Faris.
[53] Lihat al-Khasâ`ish
(I/55) oleh Ibnul Jinni.
[54] Lihat Keutamaan
dan Kewajiban Mempelajari Bahasa Arab (hal. 23-25) oleh Hamzah Abbas
Lawadi.
[55] Lisânul Arab
(II/436) pada entri dz-b-h.
[56] QS. Ash-Shâffât
[37]: 102.
[57] QS. Al-Kautsar
[106]: 2.
[58] Tafsîr Ibnu
Katsîr (VIII/503).
[59] QS. Al-A’râf
[7]: 77.
[60] Tafsîr
al-Qurthubî (VII/240).
[61] Lihat al-Bayan
wa at-Tibyan (I/384) oleh al-Jahidz.
[62] Tafsîr Ibnu Katsîr (IV/365-366).